• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERUBAHAN PA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERUBAHAN PA (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERUBAHAN PARADIGMA TENTANG MASALAH-MASALAH POKOK HUKUM PIDANA INDONESIA UNTUK

MENGANTISIPASI KEJAHATAN MAYANTARA

Laila Mulasari, SH.MH.

Abstrak

Masalah Islam dan tuntutan perubahan jaman, termasuk perubahan pola kejahatan dari yang semula dilakukan secara konvensional (fisik) kemudian berkembang menjadi non-fisik (dunia maya), merupakan persoalan yang menantang kaum cendekiawan muslim pada abad sekarang ini. Perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana di Indonesia merupakan salah satu tuntutan jaman sebagai akibat perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru yang terjadi di dunia maya (kejahatan mayantara). Tantangan untuk menjawab permasalahan ini ternyata telah ditawarkan dan dimiliki oleh hukum Islam melalui metode Ijtihad. Kajian hukum Islam terhadap perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana Indonesia dalam mengantisipasi kejahatan mayantara ternyata memiliki keunikan dan perspektif yang berbeda dari pemikiran-pemikiran yang ditawarkan oleh ilmuwan barat seperti Thomas Kuhn.

Kata Kunci : hukum Islam, perubahan paradigma, kejahatan mayantara.

A. PENDAHULUAN

Hakikat pengembangan ilmu termasuk ilmu hukum terletak dan ditentukan oleh Paradigma. Paradigma inilah yang kemudian menentukan pandangan fundamental mengenai apa yang menjadi pokok persoalan (subject-matter) disiplin ilmu hukum termasuk ilmu hukum pidana. Konsekuensinya, paradigma itu pada gilirannya juga akan membawa implikasinya yang panjang pada saat hukum ditegakkan oleh para penegak hukum.

Paradigma dapat lahir bersama (sejumlah) teori dan tersirat dari, serta dimengerti melalui pemahaman atas teori itu, tetapi ia sendiri berada pada aras metateoritik, dan pada dasarnya tak terartikulasikan. Ia diterima oleh para ilmuwan dan dijadikan pegangan di dalam mereka berkiprah di bidang ilmunya, karena mampu menghadirkan ketertiban di dalam dunia ilmu yang sedang kacau dilanda krisis besar. Krisis ini muncul dari akumulasi anomali, dari kian menyeruaknya banyak gejala/peristiwa yang tak dapat dijelaskan secara memuaskan dengan paradigma lama yang masih berlaku. Liek Wilardjo menggunakan istilah terlalu banyak “teka-teki” yang tak terpecahkan dengan ancangan (approach), metode, teknik, dan prosedur yang bertumpu pada paradigma yang masih bertahan. Oleh karena itu, perkembangan pengetahuan keilmuan terjadi secara revolusioner, bukan secara kumulatif, artinya perkembangan yang terjadi melalui lompatan paradigmatik (yaitu murtad dari asumsi lama dan merangkul asumsi baru). Namun diantara paradigma, tidak boleh ada sekat tertutup melainkan saling melengkapi satu sama

 Dosen di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang Semarang

E-mail : lailamulasari_khumaidi@yahoo.co.id

(2)

lain. Keragaman cara berpikir, justru merupakan suatu kekayaan tersendiri yang seharusnya dipelihara dan tidak dimatikan. Meskipun demikian, seperti yang terjadi pada ilmu-ilmu lain, tak menutup kemungkinan terjadinya pergeseran paradigma satu dengan lainnya.

Hal tersebut dialami pula oleh ilmu hukum pidana, sebagaimana ilmu hukum pada umumnya, yang pada hakikatnya merupakan “ilmu kemasyarakatan yang normatif” (normatieve maatschappij wetenschap), yaitu ilmu normatif tentang hubungan antar manusia. Sebagai ilmu normatif tentang kenyataan tingkah laku manusia di dalam kehidupan bermasyarakat, objek ilmu hukum pidana normatif dapat berupa hukum pidana positif, baik hukum pidana material/substantif maupun hukum pidana formal, dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit, ilmu hukum pidana positif merupakan ilmu hukum pidana yang normatif/dogmatik, karena hanya mempelajari norma-norma dan dogma-dogma yang saat ini sedang berlaku (“ius constitutum”); sedangkan dalam arti luas, ilmu hukum pidana normatif juga mempelajari hukum pidana “yang seharusnya/sebaiknya” (“ius constituendum”). Jadi, ilmu hukum pidana normatif/dogmatik pada hakikatnya lebih luas dari ilmu hukum pidana positif.

Dalam rangka mempelajari hukum pidana “yang seharusnya/sebaiknya” (“ius constituendum”), berarti harus pula memasuki/mengkaji ilmu tentang “kebijakan/politik hukum pidana” (strafrecht-politiek/criminal law-policy/penal policy). Bahkan menurut Marc Ancel, penal policy merupakan salah satu komponen esensial dari “modern criminal science” disamping “criminology” dan “criminal law”.

Menurut Sudarto, politik hukum pidana diartikan sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu upaya pembaharuan hukum pidana melalui reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang mendasari kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia, pada masa kini dan terutama masa yang akan datang.

Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat khususnya dalam menanggulangi kejahatan. Adanya kecenderungan munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru khususnya kejahatan yang berbasis teknologi (cyber crime atau virtual crime), maka politik hukum pidana menjadi sangat penting fungsinya dalam mengantisipasi kejahatan-kejahatan tersebut.

Adapun dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal melalui sarana penal (hukum pidana) adalah :

1. tentang penentuan perbuatan yang seharusnya dijadikan tindak pidana, 2. tentang penentuan sanksi (pidana) yang sebaiknya digunakan atau

dikenakan pada si pelanggar/pembuat.

Terkait dengan masalah penentuan perbuatan yang seharusnya dijadikan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaannya, jika politik hukum pidana masih menggunakan paradigma lama yaitu paradigma fisik, maka akan

 Imam Ghozali, 2004, Pergeseran Paradigma Akuntasi dari Positivisme ke Perspektif Sosiologis dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Akuntansi di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, dalam Yusriadi, 2006, Op.Cit, hal. 9.

 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 1.

(3)

menghadapi kesulitan dalam menjerat perbuatan-perbuatan baru yang tidak bersifat fisik (non-fisik) atau dengan kata lain perbuatan yang bersifat maya (virtual).

Oleh karena itu, diperlukan suatu paradigma baru yang mampu menjawab persoalan tersebut. Paradigma yang baru ini harus berangkat dari pemahaman bahwa sekalipun rangkaian kata-kata yang ditemukan dalam perundang-undangan hukum pidana diberi bobot lebih berat dibandingkan dalam hukum perdata dan penerapan analogis tidak diterima dalam hukum pidana, namun pakar hukum pidana, terutama hakim pidana, tidak mungkin menerapkan perundang-undangan pidana tanpa menggunakan penafsiran khususnya penafsiran (interpretasi) teleologis. Dalam interpretasi teleologis, maksud dan tujuan harus diutamakan atau dicapai. Ini sekaligus mengimplikasikan bahwa penjelasan atau interpretasi yang diberikan harus fungsional , sehingga pendekatan praktis disyaratkan.

Terkait dengan perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana Indonesia dalam mengantisipasi kejahatan mayantara, ternyata hukum Islam memiliki pemikiran dan perspektif yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki metode khusus yang dapat digunakan untuk mengikuti perkembangan jaman dan mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada munculnya jenis-jenis kejahatan baru yang muncul di dunia maya.

B. PERMASALAHAN

Persoalan mengenai: “bagaimana kajian hukum Islam terhadap perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana Indonesia untuk mengantisipasi kejahatan mayantara?”, perlu untuk dipecahkan dan dicari jawabannya.

C. PEMBAHASAN

Paradigma (paradigm) dapat didefinisikan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Secara umum, paradigma dapat diartikan sebagai “seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari”. Pengertian ini sejalan dengan Guba yang dikonsepsikan oleh Thomas Kuhn sebagai “seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah”. Adapun Neuman mendefinisikan paradigma serupa dengan pendekatan (approach) yang memayungi cara berpikir seseorang, melihat suatu masalah dan meneliti masalah yang bersangkutan. Secara lebih lengkap, Denzin dan Lincoln memaknakan paradigma sebagai suatu sistem filosofis utama, atau ‘payung’ yang meliputi ontologi, epistemologi dan metodologi tertentu.

 Pada tahun 1920an muncul suatu kasus terkenal berkenaan dengan penggunaan interpretasi teleologis ini, yaitu tentang pencurian (energi) listrik (Electriciteit Arrest-1921).

 Berkaitan dengan ini, perhatian juga harus diberikan pada fenomen yang oleh bangsa Jerman dinamakan

funktionsidentische zeitgenossische aequivalente (‘penggantian alat-alat atau sarana lama oleh yang baru’), artinya sarana atau alat yang baru tersebut dapat memenuhi fungsi yang sama, sekalipun dengan menggunakan teknik yang lebih canggih. Baca Jan Remmelink, Op. Cit., hal. 54.

 Guba, Egon (Ed), 1990, The Paradigm Dialog, London : Sage dalam Agus Salim, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara wacana, Yogyakarta, hal. 33.

(4)

Paradigma adalah suatu konsep tentang hal-hal yang besar dan mendasar. Pada tahun 1946, Robert Merton menggunakannya untuk membicarakan temuan-temuan (materials) yang dikodifikasikan, melalui suatu teknik tertentu. Tujuan penciptaan paradigma adalah untuk memberikan “a provisional guide for adequate and fruitful functional analyses”. Pada dasarnya paradigma merupakan model suatu tradisi penelitian, yang terdiri dari sejumlah teori dan teknik khusus yang sesuai bagi pemecahan masalah penelitian, sehingga merupakan perpaduan antara teori dan metode yang secara bersama-sama mewujudkan sesuatu yang mendekati suatu pandangan dunia untuk pencapaian ilmiah yang diakui secara universal. Dengan demikian paradigma akan senantiasa memandu setiap pikiran, pendekatan dan metode penelitian penganutnya. Senada dengan pandangan ini, Popkewitz mengartikan paradigma sebagai konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran.

Secara etimologis, paradigma berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata para

(disamping atau berdampingan) dan diegma (contoh). Sehingga paradigma (paradigm) dapat diartikan sebagai suatu pola, contoh, atau model, atau suatu konsep yang secara umum diterima oleh seluruh masyarakat (komunitas) intelektual (ilmuwan/akademisi) sebagaimana terdapat pada ilmu-ilmu alam, karena efektifitasnya dalam menjelaskan suatu proses, gagasan atau susunan data/masalah yang kompleks.

Konsep paradigma, pertama kali dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn melalui karyanya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolutions” tahun 1962. Tema sentral dari karya tersebut adalah untuk menantang asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan, yaitu bahwa perkembangan dan kemajuan suatu pengetahuan keilmuan terjadi secara kumulatif. Pandangan ini oleh Thomas S. Kuhn dinyatakan sebagai mitos yang harus ditinggalkan, dengan mengajukan suatu thesis bahwa perkembangan ilmu pengetahuan keilmuan terjadi secara revolusioner, bukan secara kumulatif, sehingga disebut sebagai suatu loncatan paradigmatik yaitu meloncat dari asumsi lama dan merangkul asumsi baru.

Sejalan dengan pemikiran Thomas Kuhn, George Ritzer mendefinisikan paradigma sebagai “subject matter” (substansi) dalam ilmu pengetahuan. Paradigma juga disebut contoh (exemplar) atau matriks disipliner (disciplinary matrix). Dengan demikian, paradigma merupakan semacam model yang dijadikan contoh oleh para ilmuwan yang melakukan kegiatan keilmuannya di dalam paradigma tersebut. Demikian pula dapat dikatakan sebagai cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkan fakta atau gejala yang diinterpretasikan dan dipahami, dengan menetapkan kriteria untuk memilih masalah yang dapat diasumsikan mempunyai solusi.

 Ibid, hal. 151.

Paradigm is a). a pattern, example, or model, b). an overall concept accapted by most people in an intellectual community, as those in one of the natural sciences, because of its effectiveness in explaining of a complex process, idea, or set of data. Lihat Webster’s New World College Dictionary, 1997, Third Edition, Macmillan Inc, New York, USA, page 979.

 Liek Wilardjo, 1990, Realita dan Desiderata, Duta Wacana University Press, Yogyakarta, hal. 135.

(5)

Sesuai dengan arti matriks dan disiplin, paradigma dapat juga merupakan kerangka keyakinan (belief framework) atau komitmen intelektual yang memberikan batasan tentang masalah dan prosedur serta metode penyelesaiannya. Apabila digabungkan kedua pengertian di atas, maka paradigma adalah model (pandangan yang mendasar) yang digunakan oleh ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan metode yang digunakan serta melalui prosedur yang harus dilakukan dalam penggarapannya. Model-model tersebut tersirat dalam asumsi-asumsi dasar yang menjadi tumpuan karya monumental-seminal dari sejumlah jenius di bidang ilmu tertentu. Monumental berarti “raksasa/agung” atau “sangat hebat’, luas dan dalam cakupannya. Seminal berarti bersifat mengilhami atau memicu lahirnya karya-karya lain yang diturunkan dari, atau mengacu ke karya yang paradigmatik itu.

Dalam hal ini, paradigma dapat lahir bersama teori dan tersirat dari, serta dimengerti melalui pemahaman atas teori itu, tetapi tetap berada pada aras metateoritik dan pada dasarnya tak terartikulasikan. Paradigma ini diterima oleh para ilmuwan dan dijadikan pegangan dalam berkiprah di bidang ilmunya, karena mampu menghasilkan ketertiban di dalam dunia ilmu yang sedang dilanda krisis besar. Krisis ini muncul dari akumulasi anomali dari banyak gejala/peristiwa yang tidak dapat dijelaskan secara memuaskan berdasarkan paradigma lama yang masih berlaku. Kondisi ini terjadi di akhir periode ilmu normal, ketika sudah banyak masalah yang tidak terpecahkan dengan pendekatan, metode, teknik dan prosedur yang berdasarkan pada paradigma yang masih berlaku.

Berdasarkan pendapat dari Thomas Kuhn, semua ilmu (termasuk juga ilmu hukum) terutama ilmu alam khususnya fisika, perkembangannya akan berputar pada sekitar lima istilah atau konsep kunci yaitu :

Pada mulanya pengumpulan fakta atau kegiatan penelitian keilmuan akan melibatkan sejumlah aliran pikiran yang saling bersaing, tapi tidak satupun yang dapat diterima secara umum. Secara perlahan-lahan salah satunya dapat diterima dan mendominasi, sehingga paradigma I telah terbentuk sebagai pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dari suatu ilmu.

Dengan terbentuknya paradigma I, maka kegiatan ilmiah dalam suatu disiplin ilmu memasuki periode ilmu normal, artinya tidak dimaksudkan untuk melakukan pembaharuan besar apalagi revolusi. Normal science adalah suatu periode akumulasi ilmu pengetahuan, yaitu saat seorang ilmuwan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Dalam periode ini sebagai periode akumulasi pengetahuan, dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu berdasarkan paradigma yang sedang dianut. Secara mendalam dan terfokus, kegiatan ilmiah dapat dilakukan dengan pedoman paradigma yang sama, sehingga semua terikat pada standar yang sama dalam rangka pengembangan ilmu dalam wujud menambah

 Liek Wilardjo, 1990, Op.Cit, hal. 1.

 Ibid.

 Thomas S. Kuhn, 2000, The Structure of Scientific Revolutions (Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains), Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 84.

Normal Science

Anomalies Paradigma I

Crisis Revolution

(6)

lingkup dan presisi dalam bidang-bidang sehingga paradigma tersebut dapat diterapkan.

Dalam kegiatan ilmiah tersebut tidak dapat dielakkan adanya pertentangan atau penyimpangan dari batas yang ditetapkan paradigma tersebut, sehingga terjadi masa anomali. Hal ini disebabkan paradigma I sudah tidak dapat lagi memberikan penjelasan mengenai masalah-masalah baru yang terjadi. Namun saat ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan atau penyimpangan, dan paradigma yang berpengaruh saat itu tidak dapat menjawab pertanyaan yang timbul dari pertentangan, muncullah krisis. Semakin kuatnya anomali yaitu penyimpangan yang semakin memuncak akan mengakibatkan timbulnya krisis, sehingga paradigma lama dipertanyakan validitasnya. Dengan demikian, anomali ini merupakan prasyarat bagi penemuan baru, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perubahan paradigma. Ketika krisis memuncak, terjadilah revolusi yang kemudian melahirkan paradigma baru sebagai pengganti paradigma lama.

Dalam perkembangan anomali, maka suatu penyelesaian dapat dipandang sebagai eksemplar baru dan mempunyai akibat sebagai umpan balik terhadap kerangka interpretasi paradigmatik. Asimilasi teori baru yang ditimbulkannya memerlukan rekonstruksi teori sebelumnya dan evaluasi ulang terhadap fakta sebelumnya, sehingga dengan itu terjadi revolusi ilmiah (paradigm shifts). Dengan demikian paradigma baru akan muncul menggantikan paradigma lama, yang menimbulkan berbagai perubahan dalam kegiatan ilmiah, sehingga standar dan kriteria untuk menentukan keabsahan suatu masalah dan solusinya juga berubah. Paradigma baru tersebut dijadikan sebagai pegangan para ilmuwan dalam pengembangan ilmu selanjutnya.

Salah satu ilmu yang berperan besar dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu sosial adalah ilmu hukum. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua ilmu sosial atau ilmu manusia mempunyai objek material yang sama. Karena itu, hal terjadinya saling mempengaruhi perkembangan masing-masing ilmu itu adalah hal yang wajar. Salah satu wujud adanya arus saling mempengaruhi antara Ilmu Hukum dan Sosiologi adalah salah satu konsep yang dikembangkan dalam teori Sosiologi yang mempengaruhi Ilmu Hukum yaitu konsep fungsi, sifat fungsional dan paham fungsionalisme. Dalam hal ini, konsep yang akan dipakai untuk menjelaskan permasalahan dalam tulisan ini adalah Ajaran Hukum Fungsional dari J. Ter Heide, karena dipandang sangat relevan dengan pokok masalahnya.

Menurut Ajaran Hukum Fungsional, tata hukum sebagai suatu aspek dari masyarakat dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas sejumlah sistem-sistem interaksi. Ter Heide berpendapat bahwa untuk subsistem-subsistem

 Tim Program Doktor, 1998, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Suatu Penjajakan, Simposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma Dalam Ilmu Hukum Indonesia, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, hal. 6

 Tokoh utamanya adalah Friedrich Von Savigny yang melahirkan Historische Rechtsschule (Mazhab Sejarah).

 Ada beberapa konsep fungsi/sifat fungsional/paham fungsionalisme dalam teori Sosiologi, yaitu Teori (mazhab) Fungsionalisme Struktural yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, Ajaran Hukum Fungsional oleh J. Ter Heide yang dipengaruhi oleh Mazhab Symbolic Interactionism (salah satu cabang dari Social Behaviourism), dan Strukturalisme Fungsional dari Niklas Luhmann. Lihat tulisan B. Arief Sidharta, Fungsionalisme Dalam Ilmu Hukum (Sebuah Catatan Tentang Pengaruh Teori Sosiologi Terhadap Ilmu Hukum), 1988, “Percikan Gagasan Tentang Hukum” (kumpulan tulisan ilmiah alumni dan staf pengajar FH Universitas Parahyangan), Intergrafika, Bandung, hal. 8.

(7)

ini berlaku rumus : B adalah behaviour, yang menunjuk pada perilaku

dari sistem interaksi (kerjasama dari aktor-aktor yang berpartisipasi). P adalah plan, yang berarti tujuan bersama dari sistem itu. In concreto, P menunjuk pada struktur masyarakat dan atau negara, sedangkan E adalah environment, yang berarti lingkungan dari sistem atau faktor-faktor situasi. f adalah fungsi yang menunjukkan relasi ketergantungan, artinya bahwa pada perubahan P dan E, maka perilaku tertentu (B) berdasarkan struktur tertentu (norma) akan terjadi. Dalam hubungannya dengan pemikiran hukum, tentu saja f ini menunjuk pada fungsi kaidah-kaidah/asas-asas hukum. Jika f berubah atau diubah, maka P dan B kemungkinan juga akan mengalami peubahan.

Dalam kerangka pemikiran di atas, maka kaidah hukum bukanlah suatu ide abadi atas suatu objek, melainkan suatu produk manusia yang dibuat (diciptakan) dalam setiap situasi interaksi. Oleh karena itu, dalam pandangan Ter Heide memelihara ketertiban masyarakat dalam arti hukum, sesungguhnya bukan suatu proses konservasi melainkan selalu ditujukan untuk menyesuaikan diri pada tuntutan jaman.

Perkembangan jaman khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata telah membawa dampak dalam perkembangan hukum termasuk hukum pidana, khususnya tentang masalah perbuatan (tindak pidana). Padahal kehidupan dunia modern saat ini tidak dapat terlepas dan bahkan seringkali bergantung pada kemajuan teknologi canggih/maju (“hitech” atau “advanced technology”), khususnya di bidang informasi dan elektronik melalui jaringan internasional (internet). Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa diikuti dengan adanya akibat (dampak), baik secara langsung maupun tidak. Di satu sisi, kemajuan teknologi canggih ini membawa dampak positif di berbagai bidang kehidupan, namun di sisi lain juga membawa dampak negatif, yaitu berpotensi membuat orang cenderung melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku. Berkaitan dengan masalah kejahatan yang berbasis teknologi, ternyata pernah terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) karena kesulitan dalam merumuskan delik dan ketidakmampuan hukum pidana positif mengejar perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) hingga munculnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah disahkan pada tanggal 21 April 2008 yang dikuti dengan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Presiden No. 10 tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Perlu diketahui bahwa di dunia mayantara telah muncul istilah-istilah : Economic Cyber Crime, EFT (Electronic Funds Transfer) Crime, Cybank Crime, Internet Banking Crime, On-Line Business Crime, Cyber/Electronic Money Laundering, High Tech WWC (White Collar Crime), Internet Fraud (antara lain bank Fraud, Credit Card Fraud, On-Line Fraud), Cyber Terrorism, Cyber Stalking, Cyber Sex, Cyber Pornography, Cyber Defamation, Cyber Criminals, dan sebagainya yang sulit dijangkau oleh hukum pidana positif apabila masih menggunakan paradigma yang bersifat fisik.

 Ibid, hal. 14.

 Seperti misal adanya e-mail, e-commerce, e-learning, “EFTS” (Electronic Funds Transfer System atau “sistem transfer dana elektronik”), internet banking, cyber bank, On-line Business dan sebagainya.

 Barda Nawawi Arief, 2006, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 172.

 Baca tulisan Annie Ruth C. Sabangan, Legal Isues, Gray Areas Allow Proliferation of ‘Internet Sex’, The Manila Times, edition : October 17th 2003, www.manilatimes.net.

(8)

Berdasarkan hal-hal tersebut, nampaknya berbagai bentuk tindak pidana/kejahatan mayantara (cyber crime) akan sulit dijangkau oleh hukum pidana positif saat ini, karena perbuatannya tidak bersifat fisik tetapi justru bersifat maya/abstrak/non-fisik dan sangat individual, sehingga tidak akan pernah dapat disentuh oleh hukum pidana positif saat ini, jika masih digunakan paradigma lama yaitu paradigma fisik. Bahkan Barda Nawawi Arief mengatakan inilah salah satu kelemahan hukum pidana konvensional saat ini yang selalu bertolak dari paradigma perbuatan dalam arti fisik/material .

Oleh sebab itu, perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana mutlak diperlukan dalam mengantisipasi bentuk-bentuk kejahatan baru yang muncul di dunia maya (kejahatan mayantara). Perlu diketahui bahwa Islam memiliki pemikiran dan perspektif yang berbeda dalam menjelaskan perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana Indonesia sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ilmuwan barat di atas.

Diantara istilah yang dikenal luas dalam kajian pemikiran metodologi studi hukum Islam (ushul al-fiqh) adalah taqlid dan ijtihad. Selama ini, taqlid selalu dihadapkan bahkan dikontraskan dengan ijtihad. Taqlid dipahami sebagai sesuatu yang negatif yang harus dijauhi (qabulu qawlin bi-la hujjah) sedangkan ijtihad sesuatu yang positif yang harus selalu digalakkan (badzlul-juhdi min al-faqih finayli hukmin syar’iyyin bi-thariq al-istimbath). Sebenarnya relasi dan dialektika taqlid dan ijtihad merupakan suatu keharusan sejarah yang selalu muncul dalam perkembangan ushul al-fiqh, dan keduanya berperan positif dalam gerak dan dinamika sejarah pemikiran umat. Lebih dari itu, relasi dan dialektika yang terjadi dalam sejarah ushul al-fiqh bukan hanya melibatkan taqlid dan ijtihad atau dalam bahasa lain berarti kontinuitas dan perubahan, melainkan melibatkan tiga terminologi sekaligus, yaitu : otoritas, kontinuitas dan perubahan. Pembahasan relasi dan dialektika tiga istilah ini ditempatkan dalam proses shifting paradigm (pergeseran/perubahan paradigma) dalam arti evolusi dan bukan revolusi. Oleh sebab itu, model pembahasan ini tidak sejalan dengan pemikiran Thomas Kuhn yang cenderung dipahami dalam pengertian revolusi sebagaimana diikuti kebanyakan kelompok modernis di Indonesia.

Secara akademik, terminologi otoritas dikenal pula dengan istilah epistemic authority atau al-quwwah al-ma’rifiyyah, istilah kontinuitas dikenal dengan continuity, turath, dan juga taqlid, sedangkan perubahan dikenal dengan change, tajdid, dan ijtihad. Dalam konteks perubahan paradigma (shifting paradigm), proses tersebut dapat dijelaskan melalui sejarah proses munculnya sebuah aliran pemikiran dalam ushul al-fiqh, yang dalam studi keislaman secara umum dikenal dengan istilah madzab, aliran, atau school of thought.

Amir Mu’allim dan Yudani menjelaskan tentang proses perubahan paradigma (yang disebutnya dengan istilah Process atau Ishlah) melalui skema berikut ini :

AUTHORITY, CONTINUITY, AND CHANGE IN USHUL AL-FIQH

 Amir Mu’allim dan Yusdani, 2004, Ijtihad Dan Legislasi Muslim Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, hal. vi-xiv.

 Ibid.

AL-Quwwah Al-Ma’rifiyyah

Epistemic Authority

Al-Turath/ Al-Taqlid Continuity

(9)

Penjelasan dari proses perubahan paradigma menurut kajian hukum Islam sebagaimana digambarkan oleh skema di atas adalah sebagai berikut :

Ishlah merupakan satu terminologi yang justru menjelaskan relasi, gerak, dan dialektika antara otoritas, kontinuitas, dan perubahan yang dalam hal ini tajdid terdapat didalamnya. Dengan menempatkan Ishlah sebagai ciri pokok dari proses, maka perubahan pemikiran dalam ushul al-fiqh dipahami sebagai proses yang lebih bersifat evolutive dan bukan revolutive. Dengan demikian dapat diketahui bahwa proses perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana Indonesia dalam mengantisipasi kejahatan mayantara jika dilihat dari kajian hukum Islam ternyata berbeda dari metode proses perubahan paradigma yang dijelaskan oleh para ilmuwan barat misalnya Thomas Kuhn.

D. PENUTUP.

Pemikiran hukum Islam sebagai hasil pemahaman dari pesan-pesan teks Al Qur’an dan Hadits akan selalu mengalami perkembangan. Tentu hal ini sebagai konsekuensi dari kondisi masyarakat dan tuntutan perkembangan jaman yang sarat dengan dinamikanya. Terkait dengan hal ini maka peran ijtihad sebagai upaya untuk menggali dan mengembangkan hukum Islam khususnya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat menjadi sangat penting. Ijtihad meskipun sulit tetapi perlu, bahkan melalui pintu ijtihad ternyata dapat digunakan sebagai metode untuk menjelaskan terjadinya perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana Indonesia dalam mengantisipasi kejahatan mayantara. Produk ijtihad yang dihasilkan oleh ulama klasik adalah sesuatu yang bernilai relatif dan dimungkinkan untuk mengalami modifikasi dan transformasi sesuai dengan tuntutan jaman. Hal inilah yang disebut dengan konsep ijtihad kontemporer.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta : Kencana

Abdul Wahid, Mohammad Labib, 2005, Kejahatan mayantara (Cyber Crime), Bandung : Refika Aditama.

(10)

Agus Raharjo, 2002, Cybercrime Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung : Citra Aditya Bakti.

Ahmad Hanafi, 1990, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang. Ahmad Wardi Muslich, 2004, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqih

Jinayah), Sinar Grafika, Jakarta.

Amir Mu’allim dan Yusdani, 2004, Ijtihad Dan Legislasi Muslim Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, hal. vi-xiv.

Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Yogyakarta : Refika Aditama.

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti.

________, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti.

________, 2006, Tindak Pidana Mayantara – Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa.

Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law: Aspek hukum Teknologi Informasi, Bandung : Refika Aditama.

Edmon Makarim, 2005, Pengantar Hukum telematika: Suatu Kompilasi Kajian, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa.

Edy Mulyanto, Agus Raharjo, TH. Endang Ratnawati, 2006, Bedah Buku: Tindak Pidana Mayantara – Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia, Semarang : Universitas Diponegoro.

Hendrojono, 2005, Sosiologi Hukum – Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, Cetakan I, Surabaya : Srikandi.

Ikama Dewi Setia Triana, 2006, Tesis : Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Cybersex di Indonesia, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Semarang : Universitas Diponegoro.

Laila Mulasari, 2009, Perubahan Paradigma Tentang Masalah-Masalah Pokok Hukum Pidana Indonesia di Bidang Mayantara, Thesis, Fakultas Hukum, Semarang : Universitas Diponegoro.

Makhrus Munajat, 2004, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta, Logung Pustaka.

Muhari Agus Santoso, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Murtadha Muthahhari, 1996, Islam dan Tantangan Jaman, Pustaka Hidayah, Bandung.

Paul Scholten, 2005, de Structuur der Rechtswetenschap – Struktur Ilmu Hukum, Bandung : Alumni.

Reda Manthovani, 2006, Problematika & Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di Indonesia, Jakarta : Malibu.

Satjipto Rahardjo, 2004, Ilmu Hukum – Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta : Muhammadiyah University Press.

Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum - Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty.

________, 1999, Mengenal Hukum – Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta : Grafiti Pers.

Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana: Kajian Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

(11)

Jurnal :

Wisnubroto A.L, 2005, “Pendekatan Hukum Progresif Dalam Mengantisipasi Perkembangan Kejahatan Berbasis Teknologi”, dalam Jurnal Hukum Progresif (PDIH UNDIP), volume : 1/Nomor 2/Oktober 2005.

Makalah:

Barda Nawawi Arief, 2005, “Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime – Cyber Sex”, Makalah Seminar : “Kejahatan Kesusilaan Melalui Cyber Crime Dalam Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban”, F.H. UNSWAGATI, Cirebon, 20 Agustus 2005.

Liek Wilardjo, 1998, “Peran Paradigma Dalam Perkembangan Ilmu”, Makalah Simposium Nasional tentang Paradigma Ilmu Hukum Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang.

Perundang-undangan :

Edmon Makarim, 2005, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Telematika, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa.

Moeljatno, 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cetakan ke-18, Bumi Aksara, Jakarta.

Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 2008, Surabaya : Kesindo Utama.

Undang-Undang Nomor: 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, 2008, Yogyakarta : Indonesiatera.

Website :

Referensi

Dokumen terkait

Organisasi adalah merupakan suatu wadah atau tempat dimana orang-orang dapat bersama untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan tanpa adanya

Semakin tinggi Debt to Equity Ratio maka berarti semakin kecil jumlah modal pemilik yang dapat dijadikan sebagai jaminan utang.Dari hasil di atas dibuktikan pada

Core principles for verification of elimination include the independence of the verification process led by the Regional Verification Commission (RVC) and National Verification

darah dengan bagian dari tinggi badan yang lebih spesifik.. seperti panjang kaki atau

poros utama diposisikan tidak berhubungan dengan roda gigi yang ada pada..

Dengan demikian penggunaan media grafis berhasil atau dapat meningkatkan hasil belajar jasmani olahraga dan kesehatan siswa Kelas III.A Sekolah Dasar Negeri 028 Kubang Jaya

Sektor UMKM yang berpotensi berperan besar menyumbang dalam pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan di Indonesia khususnya Jawa Tengah adalah sektor usaha

mengembangkan keterlibatan siswa ( student engagement). c) Guru BK atau konselor memberikan layanan khusus kepada siswa. perempuan untuk meningkatkan keterlibatan