• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Latoh (Caulerpa Lentifera) Dengan Kepadatan Berbeda Untuk Pertumbuhan Phronima sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penggunaan Latoh (Caulerpa Lentifera) Dengan Kepadatan Berbeda Untuk Pertumbuhan Phronima sp."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

© Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2020 76

Penggunaan Latoh (

Caulerpa Lentifera

) Dengan Kepadatan

Berbeda Untuk Pertumbuhan

Phronima

sp.

Putri Riana Pangestika; Restiana Wisnu Ariyati; Vivi Endar Herawati*

Departemen Akuakultur,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

Jl. Prof. H. Soedarto, S.H, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah-50275, Telp/Fax. +6224 7474698 Email Koresponden :viviendar23@gmail.com

Abstract

Putri Riana Pangestika,Restiana Wisnu Ariyati, and Vivi Endar Herawati. 2020. Use of Latoh (Caulerpa Lentifera) with Different Density for the Growth of Phronima sp. Keywords: Phronima sp., C. Lentifera, Different Density, Growth Optimization. Jurnal Sains Teknologi Akuakultur, 3(2) : 75-83. Phronima sp. is one type of natural food that has many advantages, including a high nutritional content, has a size that matches the mouth opening of fish larvae, and can be cultivated en masse. Availability of Phronima sp. not developed optimally, so it needs to be developed Phronima sp. Culture of Phronima sp. mostly done by using Caulerpa Lentifera seaweed. Based on these problems, research needs to be done regarding the effect of using latoh (C. Lentifera) with different densities with sandy substrates for optimizing the growth of Phronima sp. This study aims to assess the best stocking density of C. Lentifera for the growth of Phronima sp. and specific growth rate (SGR) in C. Lentifera, weight of Biomass Phronima sp., growth rate of Phronima sp. and water quality at different stocking densities. The study was conducted in January-April 2019 at the Central Brackish Aquaculture Fisheries (BBPBAP) Jepara, Central Java. This research method, which is a completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 3 replications each. The four treatments included A (C. Lentifera 0 gram / m2), B (C. Lentifera 20 gram / m2), C (C. Lentifera 40 gram / m2), and D (C. Lentifera 60 gram / m2). Each with an initial density of Phronima sp. 3 individuals / liter. Observed data include specific growth rate (SGR) on C. Lentifera, growth rate (r) on Phronima sp., Population density of Phronima sp., Biomass Phronima sp. and water quality. The results showed that the highest value of the population density of Phronima sp., Biomass Phronima sp. and water quality obtained in treatment D, which is 9.97 ± 0.04ind / day, 0172.67 ± 1.90ind / l in the stationary phase, 3.28 ± 0.11 grams. Water quality values in maintenance culture media are in the optimal range for Phronima sp. In conclusion, the use of latoh (C. Lentifera) with a stocking density of 60 grams / m2 has a significant effect (P <0.05) on population density, and Phronima sp. Biomass, but has no significant effect (P> 0.05) on the population density of phase Lag Phase.

Keywords: Phronima sp., C. Lentifera, Different Density, Growth optimization

Abstrak

Putri Riana Pangestika,Restiana Wisnu Ariyati, dan Vivi Endar Herawati. 2020. Penggunaan Latoh (Caulerpa Lentifera) Dengan Kepadatan Berbeda Untuk Pertumbuhan Phronima sp. Jurnal Sains Teknologi Akuakultur, 3(2) : 75-83. Phronima sp. merupakan salah satu jenis pakan alami yang memiliki banyak keunggulan, diantaranya yaitu kandungan nutrisi yang tinggi, memiliki ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva ikan, dan dapat dibudidayakan secara massal. Ketersediaan Phronima sp. belum dikembangkan secara maksimal, sehingga perlu dikembangan kultur Phronima sp. Kultur Phronima sp. banyak dilakukan dengan menggunakan rumput laut jenis Caulerpa Lentifera. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian perlu dilakukan mengenai pengaruh pengguanaan latoh (C. Lentifera) dengan kepadatan berbeda dengan substrat berpasir untuk optimasi pertumbuhan Phronima sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji padat penebaran yang terbaik C. Lentifera untuk pertumbuhan Phronima sp. dan laju pertumbuhan spesifiik (SGR) pada C. Lentifera, berat Biomassa Phronima sp., laju pertumbuhan Phronima sp. dan kualitas air pada padat penebaran yang berbeda. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-April 2019 di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah. Metode penelitian ini, yaitu rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan masing-masing 3 pengulangan. Empat perlakuan tersebut meliputi A (C. Lentifera 0 gram/m2), B (C. Lentifera 20 gram/m2), C (C. Lentifera 40 gram/m2), dan D (C. Lentifera 60 gram/m2). Masing-masing dengan kepadatan awal Phronima sp. 3 individu/liter. Data yang diamati meliputi laju pertumbuhan spesifik (SGR) pada C. Lentifera, laju pertumbuhan (r) pada Phronima sp., kepadatan populasi Phronima sp., biomassa Phronima sp. dan kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai tertinggi dari kepadatan populasi Phronima sp.,biomassa Phronima sp. dan kualitas air diperoleh pada perlakuan D, yaitu 9,97±0,04ind/hari, 0172,67±1,90ind/l pada fase stasioner, 3,28±0,11 gram. Nilai kualitas air pada media kultur pemeliharaan dalam

(2)

© Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2020 77 kisaran yang optimal untuk kultur Phronima sp. Kesimpulannya, pengguanan latoh (C. Lentifera ) dengan padat penebaran 60 gram/m2 berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kepadatan populasi, dan biomassa Phronima sp., tetapi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kepadatan populasi fase Lag Phase.

Kata kunci: Phronima sp., C. Lentifera, Kepadatan Berbeda, Optimasi pertumbuhan

Pendahuluan

Phronima sp. merupakan salah satu jenis pakan alami yang memiliki banyak keunggulan, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Phronima sp. biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan larva ikan air payau pada tahap pembenihan. Beberapa keunggulan Phronima sp. yaitu kandungan nutrisi yang tinggi, memiliki ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva ikan, dan dapat dibudidayakan secara massal (Chasim, 2014). Phronima sp. bersifat non selective filter feeder sehingga penambahan nutrisi dapat dilakukan melalui media (Aoki et al., 2012). Kandungan nutrisi dalam tubuh Phronima sp. bergantung pada media yang digunakan untuk menumbuhkan fitoplankton. Media tersebut yang akan berperan sebagai sumber pakan dari Phronima sp.. Nutrisi ini dapat berasal dari banyak sumber, diantara dari bahan organik tersuspensi ke dalam media kultur, media yang sering digunakan adalah rumput laut jenis C. Lentifera.

C. Lentifera mempunyai prospek yang sangat bagus diantaranya mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, mudah dibudidayakan di tambak, serta mudah ditemukan. C. Lentifeera yang digunakan sebagai media kultur belum ditemukan padat penebaran yang tepat untuk menumbuhkan Phronima sp. secara maksimal. Keseluruhan dari rumput laut jenis C. Lentifera yaitu batang yang disebut dengan sebutan thallus. Thallus yang mati kemudian menjadi detritus yang merupakan makanan dari organisme yang lain, sehingga zooplankton yang tumbuh di sekitar rumput laut sebagai habitat tempat hidup, berlindung, memijah dan juga suplai makanan yang menunjang pertumbuhan mereka (Parker dan Maria, 2015). Kandungan nutrient yang terkandung dalam detritus dapat meningkatkan bahan organik dalam media, sehingga meningkatkan jumlah partikel organik pada media yang dapat mempengaruhi kepadatan populasi Phronima sp. sehingga, semakin banyak caulerpa yang di tanam di bak kultur, phronima sp, akan semakin banyak yang menempel pada caulerpa tersebut.

Penelitian mengenai budidaya caulerpa untuk pertumbuhan Phronima sp. masih belum banyak dilakukan sehinga perlu kajian lebih lanjut. Beberapa padat penebaran C. Lentifera yang berbeda berpotensi sebagai sarana untuk mengetahui pertumbuhan Phronima sp. Dalam hal ini dapat dilakukan penelitian tentang penggunaan latoh (C. Lentifera) dengan kepadatan berbeda dengan substrat berpasir untuk optimasi dari pertumbuhan Phronima sp. Pada kepadatan C. Lentifera yang berbeda dapat diketahui padat penebaran mana yang paling efektif digunakan untuk pertumbuhan Phronima sp.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang padat penebaran yang terbaik C. Lentifera untuk pertumbuhan Phronima sp. dan, Berat Biomassa Phronima sp., laju pertumbuhan Phronima sp. dan Kualitas air. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-April 2019 di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah.

Materi dan Metode Penelitian

Bahan uji yang dilakukan dalam penelitian ini adalah bibit C. Lentifera 2kg dan bibit Phronima sp.dengan kepadatan penebaran 3 ind/l yang berasal dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah. Bahan uji C. Lentifera sebelum dikultur dengan Phronima sp. dilakukan penebaran C. Lentifera terlebih dahulu selama 7 hari, sehingga nutrient- nutrient yang terkandung didalam pupuk organik terserap oleh C. Lentifera dan kemudian setelah 7 hari, dilakukan penebaran Phronima sp. dengan kepadatan 3 ind/l. Wadah pemeliharaan yang digunakan berupa kontiner plastik dengan volume 60 liter yang diisi air sebanyak 40 liter. Selanjutnya, selama pemelihaaran kultur Phronima sp. diberikan pupuk organik 3 hari sekali, sampling dilakukan setiap 2 hari sekali untuk Phronima sp. dan 7 hari sekali untuk C. Lentifera hingga pemeliharaan ke-42 hari.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan 4 perlakuan dan setiap penghitungan populasi diulang sebanyak 3 kali. Empat perlakuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Perlakuan A : Caulerpa 0 gram/m2 Perlakuan B : Caulerpa 20 gram/m2 Perlakuan C : Caulerpa 40 gram/m2 Perlakuan D : Caulerpa 60 gram/m2

Metode Pengumpulan Data a. Laju pertumbuhan (r)

(3)

78 © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2020

r =

dimana :

r = Laju pertumbuhan (ind/hari) ln (Nt) = Kepadatan puncak Phronima sp. ln (No) = Kepadatan awal Phronima sp. T = Waktu puncak

b. Kepadatan populasi Phronima sp.

Kepadatan populasi Phronima sp. dihitung setiap 2 hari dengan mengambil Phronima sp. pada 3 titik sampling paling padat sebanyak 1 liter kemudian dilakukan perhitungan jumlah Phronima sp. pada setiap titik sampling dan dilakukan 3 kali pengulangan pada setiap titik untuk mendapatkan data yang valid.

c. Biomassa Phronima sp.

Perolehan data biomass Phronima sp. yaitu dengan penimbangan bobot pada awal penebaran dan penimbangan bobot Phronima sp. pada akhir pemeliharaan. Penghitungan menggunakan rumus (W=Wt-W0) dimana W adalah bobot biomass Phronima sp. yang dihasilkan selama kultur, Wt merupakan bobot awal penebaran dan W0 adalah bobot akhir pemeliharaan. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui bertambahnya biomassa Phronima sp.

d. Kualitas air

Pengukuran parameter kualitas air yang meliputi suhu, DO, salinitas dan pH dilakukan setiap hari. Pengukuran DO menggunakan DO meter, pengukuraan suhu menggunakan termometer dan pengukuran pH menggunakan pH meter. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari agar kondisi media kultur phronima sp. stabil.

Analisis Data

Data yang diperoleh diantaranya ialah laju pertumbuhan spesifik, laju pertumbuhan rata–rata (r), kepadatan populasi dan kualitas nutrisi. Data-data tersebut dianalisa, apabila hasil pengujian menunjukkan bahwa data menyebar normal, homogen, dan additif maka analisa dilanjutkan dengan One way Anova untuk mengetahui adanya pengaruh terhadap kepadatan berbeda pada caulerpa untuk pertumbuhan phronim sp. Apabila diketahui terdapat pengaruh yang nyata (P<0,05) atau sangat nyata (P<0,01), maka dilanjutkan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan untuk mengetahui perbedaan nilai tengah antar perlakuan dan menentukan perlakuan yang terbaik (Srigandono, 1981).

Hasil dan Pembahasan Hasil

Hasil penelitian menunjukkan terjadi perkembangan dari kultur Phronima sp. yang di berikan (C. Lentifera ) dengan padat penebaran yang berbeda setelah 30 hati pemeliharaan yang dibuktikan dari laju pertumbuhan Phronima sp. (r), kepadatan populasi Phronima sp., biomassa Phronima sp., serta kualitas air.

Laju Pertumbuhan Phronima sp. (r)

Berdasarkan perhitungan laju pertumbuhan Phronima sp. yang telah dilakukan, diperoleh data laju pertumbuhan yang tersaji pada Gambar 2.

(4)

© Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2020 79 Gambar 2. Laju pertumbuhan Phronima sp.

Berdasarkan analisa ragam laju pertumbuhan Phronima sp. menunjukkan bahwa perlakuan padat penebaran latoh (caulerpa) yang berbeda berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan Phronima sp.(P< 0,05), dengan F hitung > F tabel. Hasil uji wilayah Duncan menunjukkan bahwa perlakuan 60 gram/liter (D) berbeda nyata dengan perlakuan 20 gram/liter (B) dan 0 gram/liter (A) dan tidak berbeda nyata terhadap perlakuan 40 gram/liter (C). Perlakuan 40 gram/liter (C) tidak berbeda nyata dengan perlakuan 20 gram/liter (B), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan 0 gram/liter (A). Perlakuan 20 gram/liter (B) tidak berbeda nyata terhadap perlakuan 0 gram/liter (A).

Kepadatan Populasi Phronima sp.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil kepadatan populasi Phronima sp. yang membentuk pola pertumbuhan populasi Phronima sp. Hasil yang didaptkan berdasarkan data pertumbuhan populasi Phronima sp. yang dikultur dengan menggunakan padat penebaran berbeda pada C. Lentifera. Hasil pengamatan pertumbuhan populasi Phronima sp. selama 24 hari dengan periode perhitungan 2 hari sekali tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik Pola Pertumbuhan Populasi Phronima sp.

Pola pertumbuhan Phronima sp. selama pemeliharaan membentuk kurva sigmoid. Kurva sigmoid terdiri dari fase adaptasi, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Fase adaptasi dimulai dari hari ke-2 hingga hari ke-4 pada masing-masing perlakuan. Fase eksponensial dimulai setelah hari ke-6 pada fase perlakuan. Fase stasioner mengalami puncak kepadatan tertinggi yang terjadi pada hari ke-16 dengan perlakuan D memiliki jumlah populasi terpadat yaitu 99,33 ind/l dan perlakuan A memiliki kepadatan terendah yaitu 55,00 ind/l. Fase kematian terjadi pada hari ke-18 pada setiap perlakuan.

Biomassa Phronima sp.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bobot biomassa Phronima sp. selama pemeliharaan dalam berat basah yang disajikan dalam Gambar 4.

[NILAI]±0,1 5c [NILAI]±0,0 9bc [NILAI]±0,04 ab [NILAI]±0,04 a 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 A B C D L A JU P E R T U M B U H A N ( IN D / H A R I ) PERLAKUAN

(5)

80 © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2020 Gambar 4. Bobot biomassa Phronima sp.

Berdasarkan pada hasil yang tersaji pada Gambar 4, bobot biomassa Phronima sp. selama pemeliharaan berat biomass dari hasil tertinggi hingga terendah terdapat pada perlakuan D yaitu sebesar 3,28 gram, perlakuan C yaitu sebesar 2,81 gram, perlakuan B sebesar 2,32 gram dan yang paling terendah terdapat pada perlakuan A yaitu sebesar 2,29 gram.

Kualitas air

Pengukuran kualitas air selama penelitian dilakukan setiap hari. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, pH, kandungan oksigen (DO), salinitas, nitrit, nitrat dan Phospat. Data pengukuran kualitas air yang didapatkan disajikan dalam bentuk kisaran dan dibandingkan berdasarkan referensi. Data pengukuran kulitas air dapat dilihat pada Tabel 1.

Variabel Kisaran Kelayakan Menurut Pustaka

DO (mg/L) 3,5-4,5 2,6-4,9* pH 8 8-9* Suhu (0C) 28-30 30-38* Salinitas 28 25-28** Nitrit (ppm) 0,031-0,075 0,056-1,329** Nitrat (ppm) 0,008-0,44 0,063-0,03*** Phospat 0,135-1,605 0,0978 – 1,705*** Keterangan : * Fattah et al., (2014) ** Fattah dan Asbar (2015) *** Azizah (2006)

Pembahasan Pertumbuhan Phronima sp.

Hasil dari beda padat penebaran Cauerpa memiliki laju pertumbuhan tertinggi pada perlakuan berat 60 gram/m2 (D) sebesar 3,32 ind/hari dengan padat penebaran awal sebanyak 3 ind/L. Laju pertumbuhan Phronima sp. sendiri dihitung berdasarkan dari kepadatan puncak perbentang kepadatan awal. Menurut dari Punnarak et al., (2017), Perbedaan laju pertumbuhan pada Phronima sp. terjadi dengan indikasi oleh adanya beberapa faktor, seperti tingkat stress dari Phronima sp. yang melakukan proses pertumbuhannya. Hal ini akan berpengaruh pada laju pertumbuhan dari Phronima sp. selama selang waktu kultur. Menurut pendapat dari Duffy dan Annie (2001) yaituBanyak factor yang mempengaruhinya, diantaranya yaitu memiliki sifat dari Amphipoda memiliki sifat pemakan detritus, dan beberapa pemakan spesies yang bersifat gazers alga, sehingga semakin padat penebarannya rumput laut maka semakin besar juga laju pertumbuhan dari Phronima sp. Laju pertumbuhan phronima sp. juga mempengaruhi dari kepadatan populasi dalam wadah kultur phronima sp., karena hasil dari perhitungan populasi Phronima sp. dapat diketahui bahwa pertumbuhan populasi Phronima sp. meliputi beberapa fase, diantaranya yaitu fase adaptasi (Lag phase), fase eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian (death phase).

Fase adaptasi yang terjadi selama penelitian berlangsung pada hari ke-0 hingga hari ke-4 pada seluruh perlakuan. Hal ini terjadi karena adanya faktor yang mempengaruhi proses adaptasi yang meliputi penyusuaian terhadap lingkungan maupun penyesuaian terhadap kandungan bahan organik yang terdapat pada media kultur Phronima sp. Proses adaptasi ini disebabkan dalam penelitian Pujiono (2013) yang menyatakan bahwa pada fase

[NILAI]±0,1 5a [NILAI]±0,1 4ab [NILAI]±0,1 2abc [NILAI]±0,1 1bc 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 A B C D B E R A T ( PERLAKUAN

(6)

© Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2020 81 ini (adaptasi) belum mengalami pertambahan jumah populasi. Hal ini disebabkan oleh penyesuaian lingkungan yang baru setelah memulai pembiakan. Pertumbuhan Lag phase merupakan pertumbuhan fase awal dimana pertumbuhan fase awal dimna penambahan kelimpahan individu yang terjadi masih rendah. Kelimpahan jumlah Phronima sp. dipengaruhi oleh ketersedian detritus dalam suatu wadah kultur dan dikung dengan kondisi lingkungan yang baik, sehingga kelimpahan Phronima yang semakin banyak dalam suatu wadah kultur ( Ibrahim et al.,2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kepadatan Phronima sp. pada fase adaptasi tertinggi terdapat pada perlakuan D (60 gram/m2) yaitu sebesar 8,44 ind/l dan terendah pada perlakuan A ( 0 gram/m2). Yaitu sebesar 0,00 ind/l. Perbedaan kepadatan populasi ini diduga karena adanya perbedaan padat penebaran pada rumput laut yang digunakan dalam media kultur, sehingga menyebabkan kelimpahan detritus berupa, dentritus merupakan makanan organic untuk Phronima sp..

Fase eksponensial merupakan fase perbanyakan individu dalam jangka waktu tertentu karena adanya proses reproduksi. Fase eksponensial pada perlakuan B, C dan D terjadi pada hari ke-8 (pengamatan ke-4) dengan kepadatan pada perlakuan B sebanyal 19,67 ind/l, perlakuan C sebanyak 28,67 ind/l, perlakuan D sebanyak 31,33 ind/l, sedangkan pada perlakuan A terjadi pada hari ke-10 ( pengamatan ke-5) dengan kepadatan sebanyak 20,33 ind/l. Jumlah populasi yang dihasilkan bergantung terhadap produktifitas dari betina Phronima sp. untuk menghasilkan anakan. Menurut Aswandy (1984) dan fattah et.al (2014), Jumlah telur yang dihasilkan seekor betina Amphipoda sangat beragam, tergantung pada beberapa faktor diantaranya yaitu jenis, umur, berat dan ukuran, sehingga terdapat adanya korelasi terhadap ukuran dan jumlah Phronima yang dihasilkan semakin besar ukuran induk Phronima sp., maka akan menghasilkan telur bertambah banyak. Telur yang dihasilkan oleh Phronima betina menetas berkisar 50-75% (Aswandy,1984).

Pola pertumbuhan Phronima sp. selama pemeliharaan membentuk kurva sigmoid. Kurva sigmoid terdiri dari fase adaptasi, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Fase adaptasi dimulai dari hari ke-2 hingga hari ke-4 pada masing-masing perlakuan. Fase eksponensial dimulai setelah hari ke-6 pada fase perlakuan. Fase stasioner mengalami puncak kepadatan tertinggi yang terjadi pada hari ke-16 dengan perlakuan D memiliki jumlah populasi terpadat yaitu 99,33 ind/l dan perlakuan A memiliki kepadatan terendah yaitu 55,00 ind/l. Fase kematian terjadi pada hari ke-18 pada setiap perlakuan. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari tingginya nutrient yang terkandung dalam rumput laut jenis C. Lentifera. Kandungan nutrient yang terkandung didalam rumput laut bisanya di pengaruhi oleh unsur hara yang terdapat pada rumput laut, sehingga tumbuh dengan baik dan tumbuh banyak thallus, karena thallus yang mati akan membentuk dentritus dan dentritus tersebut merupakan makanan untuk organisme lain lain seperti zooplankton berjenis Phronima ( Karniyama, 2004).

Penelitian yang dilakukan Izzah (2014) menyebutkan bahwa fase kematian disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah temperature tinggi, kurangnya nutrisi dalam perairan, perubahan pH, kontaminasi, serta berkurangnya proses fotosintesis. Ketersediaan nutrisi yang semakin berkurang setiap hari akan menyebabkan kematian bagi bakteri sehingga dengan adanya toksik yang dihasilkan dari kematian ini juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan. Fase akhir budidaya Phronima sp. mengalami penurunan jumlah populasi, hal ini diduga disebabkan oleh jumlah nutrient yang terkandung didalam media kultur telah berkurang (wibowo,2014).

Biomassa Phronima sp. didapatkan dari hasil perhitungan bobot akhir pada saat pemanenan dikurangi bobot awal pada saat penebaran. Produksi biomassa Phronima sp. tertinggi pada perlakuan perlakuan D dengan bobot 1,23 gram, perlakuan C dengan bobot 1,01 gram, selanjutnya pada perlakuam B dengan bobot 0,77 gram, dan yang paling rendah biomass selama pemeliharan yaitu pada perlakuan A yang hanya mencapai 0,76 gram. Menurut Krestiawan (2011) menyatakan bahwa perbedan jumlah populasi di saat panen tentu berkaitan erat dengan kandungan nutrisi dari pakan yang di berikan. Hasil terbaik pada perlakuan 60 gram/liter (D) diduga karena adanya pertambahan nilai nutrisi yang dihasilkan.

Kualitas air

Pengukuran kualitas air selama penelitian dilakukan setiap hari untuk mendapatkan kualitas air yang optimal. Parameter yang diukur meliputi suhu, pH, DO, salinitas, nitrit, nitrat, dan Phospat. Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian didapatkan hasil kandungan Do selama penelitian 3,5-4,5 mg/L. kandungan pH berada pada 8, dan suhu media kultur berada pada kisaran 28-300C. Kisaran variabel kualitas air yang diukur memenuhi kriteria layak dan optimal untuk proses kelangsungan hidup Phronima sp. dan masih dalam batas kelayakan untuk digunakan sebagai media kultur Phronima sp.. Hal ini juga dijelaskan oleh Fattah dan Asbar (2015), yang menyatakan bahwa pola pertumbuhan Phronima sp. dipengaruhi oleh 3 faktor, antara lain kondisi fisik perairan, kosentrasi pakan dan jenis pakan. Ketiga factor tersebut mendukung, makan laju pertumbuhan Phronima sp.akan berlangsung lebih cepat dan menghasilkan puncak populasi yang lebih banyak.

Pernyataan lain juga dijelaskan dalam penelitian Fattah et al.,(2014) yang menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi populasi Phronima sp. adalah kualitas air di antaranya adalah suhu, oksigen terlarut, pH. Suhu merupakan faktor abiotik yang mempengaruhi peningkatan dan penurunan aktivitas organisme seperti reproduksi, pertumbuhan dan kematian Di luar kisaran suhu optimum, Phronima sp. cenderung dorman (tidak

(7)

82 © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2020

melakukan reproduksi). Phronima sp. hidup pada kisaran suhu 28-300C. Kisaran suhu tersebut merupakan kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan Phronima sp. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting dalam perairan, terutama untuk proses respirasi bagi sebagian organisme air. Oksigen terlarut dapat ditingkatkan melalui penggunaan aerasi dan bak pemeliharaan yang diletakkan di luar ruangan, sehingga sirkulasi oksigen dapat berjalan dengan baik, dari aerasi maupun difusi udara. pH selama pemeliharaan berada pada kisaran optimum pertumbuhan Phronima sp. 8.

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut perlakuan D dengan padat penebaran 60 gram/liter merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan pertumbuhan Phronima sp. Pemberian perlakuan padat penebaran yang berbeda dalam media kultur memberikan pengaruh yang nyata (P˂0,05) terhadap laju pertumbuhan berat biomassa, dan kualitas air Phronima sp.

Daftar Pustaka

Ain, N., Ruswahyuni dan N. Widyorini. 2014. Hubungan Kerapatan Rumput Laut dengan Substrat Dasar Berbeda di Perairan Pantai Bandengan, Jepara. Diponegoro Journal of Maquares. 3(1): 99 – 107.

Aoki, M.N., C.M. Ohshima., E. Hirose., J. Nishikawa. 2013. Mother–Young Cohabitation In Phronimella elongata And Phronima spp. (Amphipoda, Hyperiidea, Phronimidae). Journal Of The Marine Biological Association Of The United Kingdom. 93(6): 1553–1556.

Azizah, TN.R. 2006. Percobaan Berbagai Macam Metode Budidaya Latoh (Caulerpa racemosa) sebagai Upaya Menunjang Kontinuitas Produksi. Jurnal Ilmu Kelautan. 11(2): 101 – 105.

Ball, E.E. 1977. Fine Structure Of The Compound Eyes Of The Midwater Amphipod Phronima In Relation To Behavior And Habitat. Journal Tissue & Cell. 9(3): 521-536.

Budiyani, F.B., K. Suwartimah dan Sunaryo. 2012. Pengaruh Penambahan Nitrogen dengan Konsentrasi yang Berbeda terhadap Laju Pertumbuhan Rumput Luat Caulerpa racemosa var. uvifera. Journal of Marine Research. 1(1): 10 – 18.

Cheng, S. H., C. S. Kuo, S. Ka, R. Kumar and J. S. Hwang. 2011. Effect of Salinity, Food Level, and The Presence of Microcrustacean Zooplankters on The Population Dynamics of Rotifer Branchionus rotundiformis. Hydrobiologia., 666: 289–299

Darmawan, J. 2014. Pertumbuhan Populasi Daphnia sp. Pada Media Budidaya Dengan Penambahan Air Buangan Budidaya Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Berita Biologi. 13(1) ; 57-63

Davenport, J. 1994. Observations On The Locomotion And Buoyancy Of Phronima sedentaria (Forsk&L, 1775) (Crustacea: Amphipoda: Hyperiidea). Journal Of Natural History. 28: 787—793.

Diebel, Carol E.1988. Observations on the anatomy and behavior of phronima sedentaria (forskal) (amphipoda: hyperiidea). Journal Of Crustacean Biology.8(1):79-90

Elder, L.E., B.A. Seibel. 2015. The Thermal Stress Response Diel Vertical Migration In The Hyperiid Amphipod Phronima sedentaria. Journal ELSEVIR. Part A 187: 20-26.

Fattah, M H dan Asbar. 2015. Dynamics of Endemic Habitats Microcrustacean Phronima Suppa (Phronima sp.) as Determinants of Artificial Production Development. Journal Of Life and Technologies. 3 (1): 26-31

Fattah, M.H., M. Saenong., Asbar., S.R. Busaeri. 2014. Production Of Endemic Microcrustacean Phronima suppa ( Phronima sp ) To Subtitute Artemia Salina In Tiger Prawn Cultivation. Journal Of Aquaculture Research & Development. 5(5): 1-5.

Fattah,M. H, M. Saenong dan S. R. Buseri. 2014. Production of Endemic Microcrustacean Phronima Suppa ( Phronima sp ) to Subtitute Artemia salina in Tiger Prawn Cultivation.Journal Of Aquaculture. 5(5): 2-5

Ibrahim, A.M., Subiyanti dan Ruswahyuni. 2014. Hubungan Kerapatan Rumput Laut Sargassum sp, Dengan Kelimpahan Epifauna Di Pantai Barakuda Pulau Kemojan, Kepulauan KarimunJawa, Jepara. Management Of Aquatic Resources. 3(2).36-44

Izzah, N. Suminto, dan V.E. Herawati. 2014. Pengaruh Bahan Organik Bekatul dan Bungkil Kelapa Melalui Proses Fermentasi Bakteri Probiotik Terhadap Pola Pertumbuhan dan Produksi Biomassa Daphnia sp. Journal of Aquaculture Management and Technology. 3(2): 44-52.

Kamiyama, T. 2004. The Microbial Loop in a Eutrophic Bay and Its Contribution to Bivalve Aquaculture. Bull. Fish. Res. Agen. Supplement, 1:41-50.

Laval, P. 1978. The Barrel Of Pelagic Amphipoda Phronima sedentaria (Forsk.) (Crustacean: Hyperiidea). J. Exp. Mar. Boil. Ecol. 33pp: 187-211.

Lowry, J.K., A.A. Myers. 2017. A Phylogeny And Classification Of The Amphipoda With The Establishment Of The New Order Ingolfiellida (Crustacea: Peracarida). Zootaxa. 4265(1): 1-89.

Macdonald, J. D. 1873. On the Anatomy and Habits of the Genus Phronima (Latr.). Proceedings of the Royal Society of London. 22: 154-158.

(8)

© Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2020 83

Moren, M., J. Sountama., G.I. Hamre., O. Karlsen., R.E. Olsen., H. Mundheim., K. Julshamn. 2006. Element Concentration In Meals From Krill And Amphipods, Possible Alternative Protein Sources In Complete Diets For Farmed Fish. Journal Of Aquaculture. 261: 174-181.

Mulyadi, H.A. 2012. Zooplankton, Strategi Daur Hidup, Biodiversitas dan Faktor Lingkungan. Jurnal Oseana. 37(4): 57-71.

Parker, A.N., M.A. Minor. 2015. Native And Adventive Detritivores (Diplopoda, Isopoda And Amphipoda) In A Modified Landscape: Influence Of Forest Type And Edge. New Zealand Journal Of Ecology. 39(2): 323-331.

Prada, P.J., I.H. Cruzado., I. Giraldez., C.F. Diaz., C. Vilas., J.P. Canavate., J.M.G. Garcia. 2018. Crustacean Amphipods From Marsh Ponds: A Nutritious Feed Resource With Potential For Application In Integrated Multi-Trophic Aquaculture. Journal PeerJ: 1-27.

Pujiono, A. E. 2013. Pertumbuhan Tetraselmis Chuii Pada Medium Air Laut Dengan Intensitas Cahaya, Lama Penyinaran Dan Jumlah Inokulan Yang Berbeda Pada Skala Laboratorium. [Skripsi]. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Jember. 57 hlm.

Punnarak, P., P. Jarayabhand and A. Piumsomboonac. 2017. Cultivation of Harpacticoid Copepods (families harpacticidae and laophontidae) Under Selected Environmental Conditions. Agriculture and Natural Resources. 51 (4) :278-285

Rojano, E.B., I.H. Cruzado., J.M.G. Garcia. 2014. Nutritional Analysis Of Freshwater And Marine Amphipods From The Strait Of Gibraltar And Potential Aquaculture Applications. Journal Of Sea Reaserch. 85: 29-36.

Srigandono, B. 1981. Rancangan Percobaan Experimental Design. Universitas Diponegoro, Semarang, 140 hlm.

Syarifah, D. H. 2015. Peforma Pertumbuhan Populasi Copepoda, Oithona sp. yang Dikultur dengan Perbedaan Diet Mikroalga (Chlorella vulgaris, Chetoceros calcitrans, dan Isochrysis galbana). [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang, 32 hlm.

Wibowo, A. 2014. Pemanfaatan Kompos Kulit Kakao (Theobroma cacao) Untuk Budidaya Daphnia sp.. e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 2 (2): 227-232

Gambar

Gambar 3. Grafik Pola Pertumbuhan Populasi Phronima sp.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, ayah harus di- ikutsertakan dan dilibatkan sedini mungkin dengan me- nyediakan ruang diskusi bagi ayah pada saat antenatal care khususnya tentang ASI eksklusif

Yang dapat dipastikan hanya bagian yang lesap tersebut cenderung lebih banyak dari- pada bagian yang tampak karena setiap snapshot hanya menampilkan konstituen berupa kata

Berdasarkan hasil penelitian dan pengumpulan data di lapangan mengenai pemanfaatan SIG dalam pemetaan sebaran SMP dan SMA negeridi Kota Metro tahun 2013 maka

Berdasarkan kesimpulan dari 5 indikator kompetensi profesional yang dimiliki guru SMA Negeri dan Swasta Kabupaten Pringsewu tahun 2014 tersebut terlihat 2

Ketidaknyamanan fasilitas yang disediakan pada Bandros baik dari bentuk dan material pada kursi, atap yang yang rendah sehingga membuat penumpang kesulitan untuk berdiri

b) Kajian ini merupakan salah satu usaha untuk mengenal pasti ciri-ciri pembelajaran kolaboratif yang boleh diterapkan kepada proses penyeliaan terutamanya menerusi

In the professional context, three themes were collected about teachers’ perceptions regarding usefulness of technology as an innovation: “Preparation for learning and

Az egykori Római-Af- rika decentralizált nyugati perifériáján a különböző berber törzsek – a modern ma- rokkói államtérhez tartozó provinciák területén: