• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ayat-ayat mutasyabihat tafsir Al Munir karya Wahbah Az-Zuhaili

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis ayat-ayat mutasyabihat tafsir Al Munir karya Wahbah Az-Zuhaili"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin dan Humaniora

Jurusan Tafsir Hadits

Oleh:

A. FAROQI

NIM: 094211001

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2016

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vii

َي يِذَّلا َوُهَو

َنوُلَعْفَت بَم ُمَلْعَيَو ِتبَئِّيَّسلا ِنَع وُفْعَيَو ِهِدبَبِع ْنَع َةَبْوَّتلا ُلَبْق

Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan,

(8)

viii

samapai penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini

2. Kakak (Khoirul Mamduh, Fauzi Maftuh, Naim Anwar Musaddat, Fathi Mubarok, Inarotul Hanifah dan Nafisatun Miswaroh) terimakasih atas masukan dan doromgan beserta adik (Zakki Fathori dan Arif Hamdani) menghibur menyemangati.

3. Teman-teman mahasiswa angkatan tahun 2009, teman seperjuangan yang telah memberikan semangat dan warna dalam hidupku selama belajar di UIN Walisongo Semarang

4. Ibu Zainuddin yang telah membantu saya selama saya tinggal di semarang. 5. Teman-teman Masjid At Taqwa Ganesha terimakasih atas fasilitasnya.

(9)

ix

diantaranya dengan Ilmu tafsir al-Qur’an, dalam perkembangan ilmu tafsir para ulama ahli tafsir mulai mempunyai arah sendiri-sendiri yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Perbedaan arah penafsiran tersebut dikarenakan tafsir merupakan penjelasan al-Qur’an, dan al-Qur’an terkadang bersifat umum, susah dipahami, memiliki berbagai kemungkinan, perlu adanya penjelasan lebih lanjut. Dalam al-Qur’an sendiri disebutkan bahwa ayat-ayat di dalam al-Qr’an ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat, penafsiran ayat-ayat mutasyabihat ini para ulama’ berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Tafsir Al Munir merupakan tafsir kontemporer yang ditulis oleh Wahbah Az Zuhaili.

Penelitian ini didasarkan pada tiga rumusan masalah yaitu bagaimana

metodologi yang digunakan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan ayat-ayat

mutasyabihat?, bagaimana tafsir ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran menurut

Wahbah az-Zuhaili?, dan bagaimanakah relevansi tafsir ayat-ayat mutasyabihat

pada Tafsir Al Munir Karya Wahbah az-Zuhaili?.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang menggunakan jenis penelitian dengan metode library research (penelitian kepustakaan) serta kajiannya disajikan secara deskriptif analitis.

Setelah melakukan penelitian ini penulis berkesimpulan Wahbah Az Zuhaili dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat adalah dengan dita’wilkan, hal ini dapat diketahui pada penafsiran kata wajhu dengan makna Dzat, yad dengan makna kekuasaan Allah, ‘ain dengan makna pengawasan atau pertolongan Allah,

saaq dengan makna kegentingan atau kepayahan yang besar seperti kiyamat, fi janbi merupakan kinayah hak Allah dan ketaatan, maksudnya yaitu ketaatan, ibadah dan mencari ridlo Allah, kata-kata istiwaa’ di atas “Arsy”, dengan makna

bersemayam, tetapi cara bersemayam-Nya, itu tidak dapat dipahami oleh akal kita, namun kita wajib mengimaninya, kata-kata jaa’a dengan makna Allah SWT datang untuk memutuskan peradilan di antara hamba-hamba-Nya, semua perintah dan hukum-Nya akan dikeluarkan untuk pembalasan dan penghitungan amal dan kata-kata ru’yah (melihat Allah) ditafsirkan dengan naadhiroh dengan arti melihat Tuhannya dengan nyata. Relevansi penafsiran ayat-ayat mutasyabihat dengan metode ta’wil sebagaimana yang dilakuakan oleh Wahbah Az Zuhaili dalam menfasirkan ayat-ayat mutasyabihat di dalam karyanya Tafsir Al Mjunir, masih relevan, karena ia dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat tersebut selalu mensucikan Allah dari sifat-sifat yang menjadi cirikhas makhluk-Nya. Karena Allah tidak mungkin memepunyai sifat seperti makhulukNya.

(10)

x

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul

ANALISIS AYAT-AYAT MUTASYABIHAT

TAFSIR AL MUNIR KARYA WAHBAH AZ-ZUHAILI, disusun

untuk memenuhi salah satu syaratguna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Ushuluddin Universitas Agama Islam Negri (UIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Rektor UIN Walisongo, Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag.

2. Dr. H. M. Mukhsin Jamil, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang yang telah merestui pembahasan skripsi ini.

3. Dr. H. Imam Taufiq, M,Ag, selaku dosen wali yang selalu mengarahkan dan membimbing penulis.

4. Dr. H. Hasyim Muhammad, M.Ag, selaku pembimbing I dan Bapak Moh Masrur, M.Ag, selaku pembimbing II karena dengan bimbingan, pengarahan dan petunjuknya selama penyusunan skripsi, penulis mampu mengembangkan dan mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Moh. Sya’roni, M.Ag. selaku Ketua jurusan Tafsir Hadits yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Hj. Sri Purwaningsih, M.Ag., selaku sekretaris jurusan Tafsir Hadits 7. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN

Walisongo Semarang, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi.

8. Ayahanda Ibnu Hisyam dan Ibunda Qoniah tercinta yang selalu memberikan kasih sayang dan doa tulusnya kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan

(11)

xi

Mubarok, Inarotul Hanifah dan Nafisatun Miswaroh) terimakasih atas masukan dan doromgan beserta adik (Zakki Fathori dan Arif Hamdani) menghibur menyemangati dan dinda Syarifatul Hidayah terimakasih atas segalanya.

10. Semua mahasiswa angkatan tahun 2009 teman seperjuangan yang telah memberikan semangat dan warna dalam hidupku selama belajar di UIN Walisongo Semarang.

11. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga amal yang telah dicurahkan akan menjadi amal yang saleh, dan mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Semarang, 30 Mei 2016 Penulis,

A. Faroqi

(12)

xii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

NOTA PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv DEKLARASI ... v MOTTO ... vi PERSEMBAHAN ... vii ABSTRAK ... viii KATA PENGANTAR ... ix DAFTAR ISI ... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Metode Penulisan ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II ANALISIS AYAT-AYAT MUTASYABIHAT TAFSIR AL MUNIR KARYA Prof. DR. WAHBAH AZ-ZUHAILIY…… 14

A. Konsep Ayat-ayat Mutasyabihat ... 14

1. Pengertian ... 14

2. Jenis-jenis Ayat-ayat Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an ... 16

3. Ayat-ayat Ayat-ayat Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an……. 17

4. Pandangan Ulama Terhadap Ayat-ayat Mutasyabih ... 19

5. Kedudukan Mutaysabih dalam Ayat ... 23

B. Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat ... 25

BAB III PENAFSIRAN WAHBAH AL-ZUHAILIY TERHADAP AYAT-AYAT MUTASYABIHAT DALAM TAFSIR AL MUNIR… 28 A. Sejarah Singkat Wahbah Az-Zuhaili ... 28

(13)

xiii

2. Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat dalam Tafsir Al-Munir … 33 BAB IV ANALISIS AYAT-AYAT MUTASYABIHAT TAFSIR

AL MUNIR KARYA WAHBAH AZ-ZUHAILI……….. 44

A. Analisis Metodologi Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyabihat Oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al Munir ... 44

B. Analisis Tafsir Ayat-ayat Mutasyabihat Dalam Al-Quran menurut Wahbah Az-Zuhaili ... 47

1. Ayat-ayat Huruf Al Muqatha’ah………. 47

2. Ayat yang berkaitan dengan Wajah ... 49

3. Ayat yang berkaitan dengan Yad (Tangan) ... 50

4. Ayat yang berkenaan dengan a‘yun (mata) ... 52

5. Ayat yang berkenaan dengan saaq (betis) ... 53

6. Ayat yang berkenaan dengan al-janb (lambung) ... 54

7. Ayat yang berkenaan dengan istiwaa’ (bersemayam) ... 56

8. Ayat yang berkenaan dengan jaa’a dan al-ityaan (datang)…. 58

9. Ayat yang berkenaan dengan ru’yah (melihat Allah) ... 59

10. Ayat yang berkenaan dengan sesuatu yang ghaib …………... 60

C. Analisis Relevansi Tafsir Ayat-ayat Mutasyabihat Pada Tafsir Al Munir Karya Wahbah Az-Zuhaili ... 61

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64

B. Saran-Saran ... 66

C. Kata Penutup ... 66 DAFTAR PUSTAKA

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an diturunkan ke bumi ini untuk menjadi petunjuk dan pembimbing bagi manusia. Dengan kedudukannya tersebut, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur‟an merupakan sebuah tuntutan bagi umat Islam. Namun demikian, tidak semua umat Islam bisa memahami al-Qur‟an secara langsung dari nashnya, meskipun dia orang Arab. Karena bahasa yang digunakan didalamnya adalah bahasa Arab yang tinggi kualitasnya,1 sehingga untuk memahaminya diperlukan kemampuan khusus.

Pada zaman Rasulullah Saw, apabila kaum muslimin mendapatkan masalah yang tidak bisa difahami pada ayat-ayat al-Qur‟an, maka mereka menanyakannya kepada Nabi. Kemudian Nabi menjelaskannya. Diriwayatkan ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw tentang potongan ayat yang berbunyi:

…..

...

Artinya: …… hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam….. (QS. al-Baqarah:187)2

Rasulullah Saw lalu menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan benang putih itu adalah siang, sedangkan benang hitam adalah malam.3 Namun ketika Rasulullah wafat, untuk memahami maksud yang terkandung dalam sebuah ayat, para sahabat banyak yang berijtihad sendiri. Diantara para sahabat yang terkenal dengan ijtihadnya pada masa itu adalah Ibnu Abbas, Umar bin Khattab, Ibnu Mas‟ud dan lain-lainnya.4

Sejak saat itu, muncul apa yang kita kenal dengan istilah tafsir, yaitu seperti yang dinukil oleh Hafizh Suyuthi yang diambil dari Imam

1Manna al-Qhattan. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, (Jakarta: Pustaka Litera

Antar Nusa, 2009), hlm. 379

2

Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 45

3Ibid, hlm. 379 4Ibid, hlm. 77

(15)

Zarkasyi yang berupa ilmu untuk memahami kitab Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Saw, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.5

Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para tabi‟in, seperti Mujahid ibn Jabir, Muhammad ibn Ka‟ab al-Qurazhi, Hasan al-Bashri,6

dan lain-lain. Pada masa tersebut, tafsir belum dibukukan secara terpisah, masih bercampur dengan hadis. Kemudian pada masa selanjutnya, yaitu ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah memiliki bab tersendiri walaupun masih belum sistematis.7 Baru setelah muncul para ulama seperti Ibn Majah, Ibn Jarir al-Thabari, Abu Bakar ibn al-Munzir al-Naisaburi dan lain-lain, terjadi pemisahan antara kandungan hadis dan tafsir,8 sehingga masing-masing dibukukan secara tersendiri.

Ilmu tafsir al-Qur‟an kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat dari masa ke masa, mulai dari bentuk, corak dan metodologinya.9 Perkembangan tersebut merupakan sebuah cerminan dari perkembangan pemahaman dan pemikiran umat Islam terhadap al-Qur‟an di satu sisi dan juga perkembangan ilmu pengetahuan disisi lainnya.10

Para ulama ahli tafsir mulai mempunyai arah sendiri-sendiri yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur‟an. Ada tafsir yang dinamai Tafsir bi

al-Ma’tsur, yaitu kelanjutan dari tafsir-tafsir masa sebelum Tabi’in, ada pula

tafsir yang disebut al-tafsir bi al-ra’yi atau al-tafsir bi al-ijtihad yang didalamnya terdapat berbagai metode penafsiran dan pemikiran yang tidak selamanya sehaluan, bahkan saling bertabrakan antara yang satu dengan yang lain.11

5Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, (Mesir:

Isa al-Babi al-Halabi, 1972), hlm. 147

6

Ibid, hlm. 147

7 Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, (Surabaya: Fak. Ushuluddin, 2007), hlm. 27-28.

8Abd. Khalid. Kuliah Madzahib al-Tafsir, (Surabaya: Fak. Ushuluddin, 2003), hlm. 33

9

Ibid, hlm. 33

10 Ibid, hlm. 33 11 Ibid, hlm. 27-28

(16)

Perbedaan metode dan arah penafsiran tersebut dikarenakan tafsir merupakan penjelasan al-Qur‟an, dan al-Qur‟an terkadang bersifat umum, susah dipahami, memiliki berbagai kemungkinan, perlu adanya penjelasan lebih lanjut, supaya al-Qur‟an dapat dicerna oleh seluruh kalangan dan dijadikan rujukan dan panduan dalam kehidupan. Dalam al-Qur‟an sendiri disebutkan bahwa ayat-ayat di dalam al-Qr‟an ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat sebagaimana Qs. Ali-Imran:7:

















Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al-Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (Qs. Ali-Imran:7).

Maksud dari ayat-ayat muhkamat sebagaimana dalam firman Allah di atas ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat-ayat mutasyaabihaat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat

(17)

yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.12

Keterangan surat Ali-Imran ayat 7 di atas mengecam orang-orang yang menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan tujuan menimbulkan fitnah. Ayat tersebut juga dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat tidak mudah, perlu kajian lebih dalam dan tidak semua orang dapat menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, tetapi orang-orang yang mempunyai ilmu agama yang lebih dalam yang dapat menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat.

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ada seorang laki-laki bernama Shabigh, sering menanyakan maksud ayat-ayat mutasyabihat yang dapat menimbulkan fitnah. Lalu Umar memukulnya dengan keras sehingga darah mengalir ke kedua tumitnya, kemudian mendeportasi kannya dari Madinah dan melarang kaum Muslimin bergaul dengannya.13

Ada asumsi yang dikembangkan bahwa ta’wil terhadap teks-teks

mutasyabihat merupakan madzhab yang tergolong bid’ah dan metedologi

yang sesat. Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, ulama Wahhabi kontemporer dari Saudi Arabia misalnya mengatakan, bahwa ta’wil merupakan distorsi dan tahrif terhadap ayat-ayat al-Qur‟an, sedangkan tahrif termasuk tradisi orang-orang Yahudi.14

Para pakar berbeda pendapat tentang teks mutasyabihat dalam ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis-hadis menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak boleh dita’wil, tetapi diberlakukan sesuai dengan pengertian literalnya, dan tidak boleh melakukan

ta’wil apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran Musyabbihah (faham yang

menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut boleh dita’wil, tetapi harus

12Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 204

13 Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, edisi Sami Muhammad Salamah, (Riyad: Dar Thaibah, 1999), hlm. 6

14 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, (Riyad: Daral-Tsurayya, 2003), hlm. 68, dan hlm. 96.

(18)

menghindari untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan dari menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan menafikan sifat-sifat yang ada dalam teks-teks tersebut. Kelompok kedua ini berkeyakinan, bahwa ta’wil terhadap teks-teks tersebut hanya Allah yang mengetahuinya. Mereka adalah aliran salaf. Ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut harus dita’wil. Kelompok ketiga ini menta’wilnya sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian Allah. Madzhab yang pertama, yaitu madzhab Musyabbihah adalah pendapat yang batil. Sedangkan dua madzhab yang terakhir dinukil dari sahabat Nabi Saw.15

Salah satu tokoh ahli tafsir kontemporer terkemuka16 adalah Wahbah az-Zuhaili dengan kitab tafsir karangannya yang terkenal yaitu Tafsir

al-Munir. Bentuk penafsirannya adalah gabungan dari bi riwāyat dan bi

al-ra’yi. Sedangkan metode penafsiran yang dipakai adalah metode tahlili.17

Wahbah Zuhaili sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir Al-Qur‟an yang didasarkan pada Al-Al-Qur‟an sendiri dan hadis-hadis sahih, mengungkapkan asbāb al-nuzūl dan takhrīj al-hadīts, menghindari cerita-cerita Isrā’iliyat, riwayat yang buruk, dan polemik, serta bersikap moderat.18

Keahlian, kepandaian, ketelitian serta kehati-hatian Wahbah az-Zuhaili dalam menulis kitab tafsirnya Tafsir al-Munir sebagaimana keterangan di atas, menarik perhatiaan penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang penfasiran

Tafsir al-Munir yang penulis fokuskan pada analisis penafsiran ayat-ayat

mutasyabihat menjadi perdebatan cara penafsirannya dikalangan para ahli tafsir.

15 Al-Imam Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan fii ‘Ulum al-Qur’an, Juz 2, edisi Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, (Kairo: al-Halabi, 1957), hlm. 78 lihat juga Muhammad Idrus Ramli, Ayat Muhkamat dan Ayat Mutasyabihat. (Surabaya: Khalista, tt), hlm. 6

16 Abdul Qadir Shalih, Al-Tafsīr wa al-Mufasirūn fi ‘Ashr al-Hadīts, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), hlm. 325

17

Wahbah Zuhaili, Al-Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdatwa al-Syarī’atwa al-Manhāj, juz I (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2005), hlm. 6

(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan problematika tersebut di atas rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana metodologi yang digunakan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat?

2. Bagaimana tafsir ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran menurut Wahbah az-Zuhaili?

3. Bagaimanakah relevansi tafsir ayat-ayat mutasyabihat pada Tafsir Al Munir Karya Wahbah az-Zuhaili?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penulisan

a. Mengetahui metodologi yang digunakan oleh Wahbah az-Zuhaili

dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat.

b. Mengetahui tafsir ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran menurut

Wahbah az-Zuhaili.

c. Mengetahui relevansi tafsir ayat-ayat mutasyabihat pada Tafsir Al Munir Karya Wahbah az-Zuhaili.

2. Manfaat Penulisan

a. Secara teoritis, karya ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang penafsiran ayat-ayat mutasyabihat dalam kepustakaan ilmu al-Quran. b. Secara praktis, hasil pembahasan ini diharapkan mampu memberikan

kontribusi dalam memahami sifat-sifat Allah yang ditunjukkan al-Quran secara abstrak, dan mengenal lebih jauh metodologi tafsir yang dilakukan Wahbah az-Zuhaili sebagai ulama‟ kontemporer.

Dalam aspek agama, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah kekuatan dan keteguhan iman kita sebagai orang yang beriman.

(20)

D. Tinjauan Pustaka

Karya-karya tulis yang telah dihasilkan dengan tema ayat-ayat

mutasyabihat dalam al-Quran sudah relatif banyak, meskipun pembahasan yang ada masih bersifat umum. Di antara karya-karya tersebut adalah sebuah tesis yang disusun oleh Nadia (08.216.608) tahun 2010 yang berjudul Teori Mutasyābih Syaikh Zakariyyāal-Anshāriy (Taĥqiq dan Dirāsah Kitab Fatĥar-Raĥmān bi Kasyf Ma Yaltabis fi al-Qur'ān). Penelitian ini mempunyai tiga rumusan masalah yait bagaimanakah deskripsi naskah kitab Raĥmanserta pengarangnya, bagaimanakah teks naskah kitab Fatĥar-Raĥmanpada pembahasan surat al-Fātiĥah dan al-Baqarah, dan bagaimanakah teori mutasyābih menurut Syaikh Zakariyyāal-Anshāriy dalam naskah tersebut. Hasil dari penelitian ini yaitu naskah kitab Fatĥar-Raĥmān yang menjadi objek kaji penelitian ini terdiri dari tiga varian naskah. Masing-masing naskah diberi kode A (Alif), B (Bā') dan C (Jīm). Pengurutan kode naskah ini berdasarkan urutan keakuratan isi naskah secara umum dan perkiraan urutan usia naskah, yaitu dimulai dengan naskah yang diperkirakan memiliki usia tertua. Syaikh Zakariyyāal-Anshāriy memaparkan penafsiran ayat-ayat mutasyābihat dengan berdasarkan pada teori mutasyābih yang dikembangkannya berbeda dengan ulama sebelumnya, ilmu ini menurut al-Anshāriy memiliki tiga bidang kaji yaitu membahas tentang keragaman redaksi pada ayat yang berbicara dalam tema yang sama, meliputi ziyādah

-nuqshān, taqdīm-ta'khir, ibdāl, nakirah-ma’rifah, dan mufrad-jama’, pengulangan redaksi dan ketepatan pemilihan kata dan hubungan kata dengan maknanya. Dalam menjelaskan problema tasyābuh pada ayat al-Qur'ān ini, al-Anshāriy mendasarkan penafsirannya kepada dua hal, periwayatan dan penalaran dan sumber periwayatan yang digunakan adalah al-Qur'ān, Hadīts, pendapat para ulama' dan lain sebagainya. Sedang pada sumber penalaran, beberapa pendekatan yang digunakan dalam penafsiran ayat mutasyābihat ini

(21)

adalah; ilmu munāsabah, asbāb nuzūl, ilmu qirā'āt, ilmu naĥwu, ilmu sharaf, ilmu balāghah, dan teologi.19

Sebuah skripsi yang ditulis oleh Agus Imam Kharomen (094211003) tahun 2012 dengan judul Ayat-Ayat Antropomorfisme Dalam Al-Quran (Studi Analisis Penafsiran Ibnu ‘Āsyūr terhadap Ayat-Ayat Antropomorfisme dalam Kitab al-Taḥrīr wa al-Tanwīr). Penelitian ini didasarkan pada tiga rumusan masalah yaitu (1) Bagaimana konsep muḥkām dan mutasyābih dalam al-Quran menurut Ibnu „Āsyūr? (2) Bagaimana metodologi yang digunakan Ibnu „Āsyūr dalam menafsirkan ayat-ayat antropomorfisme? (3) Bagaimana karakteristik penafsiran Ibnu „Āsyūr terhadap ayat-ayat antropomorfisme jika dipandang dari aspek teologis?. Dalam penelitian ini penulis berkesimpulan bahwa mengenai konsep muḥkām dan mutasyābih ia sependapat dengan para ulama, kontribusi yang diberikan di antaranya penambahan dalam beberapa aspek seperti klasifikasi kesamaran (tasyābuh), mengenai pembatasan mutasyābih pada hal yang samar, bukan pada hal ayang tidak dapat diketahui secara mutlak, seperti hari Qiyamat. Ibnu „Āsyūr menafsirkan ayat-ayat

antropomorfisme dengan pendekatan ta’wīl, metode yang digunakannya adalah pendekatan ilmu bayāni yang merupakan salah satu dari cabang ilmu -balāgah. Sebagai pendukung, digunakan beberapa pendekatan lainnya, di antaranyailmu gramatikal (naḥwu, ṣaraf). Mengenai corak teologis penafsirannya Ibnu „Āsyūr tergolong pada paham al-Asy‘ariyyah, jika mengacu pada pendapat beliau yang tidak menafikan keberadaan sifat Allah, dan kecenderungan menta‟wilkan ayat antropomorfisme dengan makna yang sesuai dengan keagungan Allah. Meskipun demikian, dalam penafsirannya Ibnu „Āsyūr bersifat mendua, adakalanya menafsirkan seperti yang dilakukan Salafiyyah, Asy„āriyyah, maupun Mu„tazilah. Salah satu contoh adalah kata

19

Nadia, Teori Mutasyābih Syaikh Zakariyyāal-Anshāriy (Taĥqiq dan Dirāsah Kitab

Fatĥar-Raĥmān bi Kasyf Ma Yaltabis fi al-Qur'ān). Tesis, (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010)

(22)

a‘yun (mata) ditafsirkan sebagai metafora untuk makna mengawasi dan memperhatikan pekerjaan, dan penjagaan-Nya.20

Sebuah jurnal yang ditulis oleh Muhsin Mahfudz dengan judul

Konstruksi Tafsir Abad 14 H/20 M (Kasus Tafsir Munir Karya Wahbah al-Zuhailiy). Dalam tulisannya ini Muhsin Mahfudz menyimpulkan bahwa di abad 15/21 sekarang ini, ternyata perkembangan metodologi tafsir sudah sangat jauh. Tafsir yang mengandalkan aspek riwayat semata tidak lagi menjadi primadona bagi pengkaji al-Qur‟an dewasa ini. Bahkan mereka lebih tertarik menggunakan filsafat bahasa semisal hermeneutika dan semiotika

untuk membiarkan al-Qur‟an berbicara sendiri atas nama dirinya. Menurut mereka, hal itu sangat dimungkinkan karena teks al-Qur‟an adalah bahasa yang sudah dibentuk oleh budaya awal ketika pertama kali diturunkan. Kesimpulan yang mengatakan bahwa metodologi tafsir klasik sudah ditinggalkan adalah “keliru” karena ternyata metode tafsir tahlili sebagai mana yang dilakukan oleh Wahbah al-Zuhaili adalah contoh terbaik untuk menunjukkan kekeliruan kesimpulan tadi.21

Dari beberapa penelitian tentang ayat-ayat mutasyabihat di atas dapat diketahui bahwa sudah banyak diadakan penelitian tentang ayat-ayat

mutasyabihat namun yang membedakan antara penelitian ini dengan penelitian di atas adalah tokoh serta kitab yang diteliti, kalau penelitian ayat-ayat mutasyabihat di atas tokoh yang diteliti yaitu Syaikh

Zakariyyāal-Anshāriy dengan kitabnya yang berjudul Fatĥar-Raĥmān bi Kasyf Ma Yaltabis fi al-Qur'ān dan Ibnu „Āsyūr dengan kitabnya yang berjudul al-Taḥrīr wa al-Tanwīr sedangkan penelitian ini mengambil tokoh Wahbah al-Zuhaili dengan kitabnya yang berjudul Tafsir al-Munir. Untuk jurnal yang ditulis oleh Muhsin Mahfudz di atas memang mengambil tokoh Wahbah al-Zuhaili dengan kitabnya yang berjudul Tafsir al-Munir tetapi tidak

20 Agus Imam Kharomen, Ayat-Ayat Antropomorfisme Dalam Al-Quran (Studi Analisis

Penafsiran Ibnu ‘Āsyūr terhadap Ayat-Ayat Antropomorfisme dalam Kitab Taḥrīr wa al-Tanwīr). Skripsi, (Semarang: Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2012).

21 Muhsin Mahfudz, Konstruksi Tafsir Abad 14 H/20 M (Kasus Tafsir al-Munir Karya

(23)

menganalisis tentang ayat-ayat mutasyabihat, sedangkan penelititn ini mengambil tokoh Wahbah al-Zuhaili dengan kitabnya yang berjudul Tafsir al-Munir dengan menganalisis penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ada dalam karyanya yaitu Tafsir al-Munir. Berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya, penelitian ini kan membahas secara khusus ayat-ayat mutasyabihat dalam tafsir al-Munir beserta pengarangnya Wahbah al-Zuhaili.

E. Metode Penulisan

1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan model metode penelitian kualitatif, sebuah metode penelitian yang berlandaskan inkuiri naturalistik atau alamiah, perspektif ke dalam dan interpretatif.22 Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan dari diri penulis terkait persoalan yang sedang diteliti, yaitu tentang indikasi adanya pemahaman terhadap penafsiran ayat-ayat

mutasyabihat di dalam Al-Qur‟an.

Perspektif ke dalam merupakan sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semulanya didapatkan dari pembahasan umum yang pada penelitian ini berupa ayat-ayat mutasyabihat, sedangkan interpretatif adalah penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan untuk mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat, atau pernyataan, dengan kata lain penerjemahan terhadap obyek bahasan, yang dalam penelitian ini berupa uraian Wahbah al-Zuhaili tentang penafsiran ayat-ayat mutasyabihat

dalam Al-Qur‟an. 2. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang menggunakan jenis penelitian dengan metode library research (penelitian kepustakaan) serta kajiannya disajikan secara deskriptif analitis, oleh karena itu berbagai sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis baik berupa literatur berbahasa Indonesia,

22 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 2.

(24)

Inggris maupun Arab yang dimungkinkan mempunyai relevansi yang dapat mendukung penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai data yang berupa tafsiran ayat-ayat mutasyabihat dalam kitab tafsir al Munir karya Wahbah Al-Zuhaili.

4. Metode Analisis Data

Setelah data-data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah mengelola data-data tersebut sehingga penelitian dapat terlaksana secara rasional, sistematis, dan terarah. Adapun metode-metode yang digunakan penulis gunakan adalah metode deskriptif-analitik.23 Dengan cara deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan pandangan atau penafsiran Wahbah az-Zuhaili tentang ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran. Dalam hal ini pandangan tokoh tersebut diuraikan sebagaimana adanya untuk memahami jalan pikirannya secara utuh dan berkesinambungan. Penelitian ini juga menggunakan metode analisis isi (Content Analysis). Dalam analisis ini, penulis menggunakan pendekatan interpretasi.24 Ini artinya penulis menyelami pemikiran Wahbah az-Zuhaili terhadap ayat-ayat mutasyabihat

dengan menggunakan metode perbandingan dengan pendapat-pendapat ulama‟ atau aliran yang terdahulu mengenai penafsiran ayat-ayat mutasyabihat, hal ini ditempuh sebagai sarana untuk mengetahui adakah sebenarnya kesinambungan antara penafsiran Wahbah az-Zuhaili dengan para pendahulunya.

23

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Rajawali, 1996, hlm. 65

24Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1990, hlm. 63

(25)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika di sini dimaksudkan sebagai gambaran atas pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat memudahkan dalam memahami dan mencerna masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun sistematika tersebut adalah sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berfungsi untuk menyatakan gambaran keseluruhan isi skripsi ini secara global, yang di dalamnya memuat sub bab yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan landasan teori, bab kedua berisikan konsep ayat-ayat mutasyabihat yang di dalamnya memuat pengertian ayat-ayat

mutasyabihat, pembagian ayat-ayat mutasyabihat, ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al Qur‟an dan pandangan para ulama‟ terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Selain itu, akan dimunculkan konsep penafsiran ayat-ayat mutasyabihat dari berbagai tokoh ahli tafsir. Dengan demikian pada baba ini, akan menjadi landsan teori yang kuat untuk menganalisis penafsiran ayat-ayat mutasyabihat

yang dilakukan oleh Wahbah az-Zuhaili pada bab IV penelitian ini.

Bab ketiga, dalam bab ini dipaparkan hasil penelitian yang meliputi biografi Wahbah az-Zuhaili, gambaran umum tafsir al Munir. Metode-metode penafsiran Wahbah az-Zuhaili terhadap ayat-ayat mutyasyabihat di dalam al-Qur‟an, kemudian dipaparkan data penelitian mengenai ayat-ayat mutasyabihat dari penafsiran Wahbah az-Zuhaili berdasarkan tema ayat-ayat tersebut, misalkan mulai dari ayat-ayat yang berbicara tangan, mata, wajah,

dan seterusnya.

Bab keempat diharapkan mampu menjawab dari rumusan masalah tentang pandangan Wahbah az-Zuhaili terhadap ayat-ayat mutasyabihat, analisis metodologi penafsiran Wahbah az-Zuhaili terhadap ayat-ayat

mutasyabihat, dan analisis penafsiran Wahbah az-Zuhaili terhadap ayat-ayat

mutasyabihat. Dengan langkah ini diharapkan dapat dicapai tujuan penlitian ini.

(26)

Bab kelima penutup yang merupakan akhir rangkaian pembahasan yang berupa simpulan, saran-saran dan kalimat penutup skripsi ini.

(27)

14 A. Konsep Ayat-ayat Mutasyabihat

1. Pengertian

Pemabahasan masalah ayat mutasyabih sudah menjadi bahan pembicaraan dikalangan mufassirin dari zaman dahulu hingga saat ini, baik dari segi makna mutasyabih itu sendiri maupun makna dari ayat yang digolongkan kepada ayat mutasyabih. Setiap generasi melakukan penelitian yang mengakibatkan munculnya ilmu-ilmu baru yang belum tergali pada masa sebelumnya.

Kata Mutasyabih dalam bahasa Arab sama maknanya dengan kata

mumatsalah dalam arti serupa atau sama diantara yang satu dengan yang lainnya, sehingga arti syabhah dapat berarti kesamaan dan kemiripan di antara dua hal yang diperbandingkan dan salah satu dari keduanya tidak dapat dibedakan. Sebagaimana firman Allah dalam Qur‟an surah al-Baqarah ayat 25 pada kalimat “wa utuu bihi mutasyabiha”. Maksudnya adalah bahwa sebagian buah-buahan surga itu

serupa dengan yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikatnnya.1 Seperti itulah adanya ayat mutasyabih dari segi kalimat ada kesamaan tapi pada hakikatnya tidak.

Imam al-Alusi dalam kitab tafsir Ruhul Ma’ani membuat defenisi tentang ayat muhkam dan mutasyabih yaitu muhkam adalah ayat yang terang maknanya, jelas dilalahnya terpelihara dari adanya kemungkinan terjadi pemalingan makna dan penyerupaan dengan yang lain. Mutasyabih yaitu ayat yang mungkin di artikan kepada beberapa makna, tidak bisa membedakan sebahagian dengan sebahagian yang lain, untuk mengahsilkan makna yang dimaksud tidak bisa didapat tanpa adanya

1 Nor Ichwan, Memahami Bahasa al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, November 2002), hal. 253.

(28)

penelitian yang lebih dalam. Ketidak jelasan makna ayat terkadang karena banyaknya pengertian suatu ayat atau penjelasannya terlalu umum.2

Defenisi muhkam dan mutasyabih menurut istilah ada beberapa pendapat. Imam al-Suyuthi telah berusaha mengumpulkan beberapa pendapat dan telah dimuat dalam kitab al-Itqannya sebagai berikut:

a. Muhkam adalah ayat yang bisa diketahui baik dengan dalil yang jelas maupun yang samar, dan mutasyabih ayat yang maknanya hanya diketahui Allah, seperti terjadinya hari kiamat, kapan keluarnya Dajjal dan hurup-hurup muqaththa’ah pada awal surah.

b. Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya dan mutasyabih sebaliknya. c. Muhkam adalah bagian ayat yang tidak mungkin ditakwilkan, yaitu

hanya memiliki satu pengertian saja, dan mutasyabih ayat yang banyak mengandung pengertian.

d. Muhkam adalah ayat dapat dipahami dengan akal, dan mutasyabih

kebalikannya, yaitu diluar jangkauan akal manusia.

e. Muhkam adalah aya-ayat yang tidak perlu penjelasan dan mutasyabih kebalikannya.

f. Muhkam adalah ayat-ayat yang memiliki makna sesuai dengan lahiriah ayat, dan mutasyabih adalah ayat yang memiliki makna lain disamping makna lahir.

g. Muhkam ayat yang menjelaskan tentang suruhan dan larangan serta menerangkan halal dan haram mutasyabih adalah ayat yang tidak jelas maknanya.3

Dari beberapa defenisi di atas nampak jelas perbedaan antara

muhkam dan mutasyabih. Secara garis besarnya perbedaan di antara

muhkam dan mutasyabih adalah bahwa muhkam jelas maknanya dan mutasyabih tidak jelas sehingga masih membutuhkan penafsiran untuk mendapatkan pengertian yang lebih jelas.

2 Syihabuddin Sayid Mahmud al-Alusi, Ruhul Ma’ani, Jil II, (Libanon: Daar al-Fikri, Cet. I, 2003 M/1423 H), hal. 99.

3 Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: Daar As-Salam, Cet I, 2008), hal. 531-532.

(29)

Menurut Muhammad Idrus Ramli ayat-ayat mutasyabihat terbagi menjadi dua. Pertama, ayat mutasyabihat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka, dan lain-lain. Dan kedua, ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi al-‘ilm), sudah menyelidikinya secara mendalam seperti maksud al-istiwa’ dalam ayat berikut:





Artinya: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy (QS. Thaha:5).

Para ulama yang mendalam ilmunya, menafsirkan istiwa’ di atas dengan menguasai (alqahr), bukan dengan bersemayam.4

2. Jenis-jenis Ayat-ayat Mutasyabihat

Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi kepada tiga macam:

a. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak mampu mengetahuinya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifatNya, pengetahuan tentang kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman dalam surat Thaha ayat 5 sebagai berikut:





Artinya: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy (QS. Thaha:5).

b. Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maknanya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul karena ringkasnya, panjangnya, ayat. Contoh firman Allah dalam surat An-Nisa‟ ayat 3:

4 Muhammad Idrus Ramli, Ayat Muhkamat dan Ayat Mutasyabihat, (Surabaya: Khalista, LTN-NU Jawa Timur), hlm. 1

(30)





















Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

c. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu yaitu ulama-ulama yang jernih jiwanya.

Melihat dari pembagian ayat-ayat mutasyabihat di atas, agaknya Az-Zarqani mengelompokkan ayat-ayat tersebut dari segi tingkat kesulitan dalam memahaminya, dalam artian beliau mengelompokkan berdasarkan orang yang akan memahaminya, rasikh tidaknya tingkat ilmu seseorang secara umum, para ulama secara khusus.5

3. Ayat-ayat Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an

Ulama tafsir berbeda pendapat tentang ketentuan ayat muhkam dan mutasyabih. Setiap perbedaan yang timbul di antara mereka tidak terlepas dari dalil yang berdasarkan dari ayat al-Qur‟an. Pendapat pertama mengatakan bahwa seluruh ayat al-Qur‟an itu muhkam, dengan dalil surah Huud ayat 1 yaitu:







Artinya: Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu (Q.S. Huud: 1).

(31)

Pendapat kedua mengatakan sebaliknya, yaitu, seluruh ayat al-Qur‟an itu mutasyabih, dengan dalil surah az-Zumar ayat 23 yaitu:

Artinya: Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, (Q.S. az-Zumar: 23).

Pendapat yang ketiga mengatakan sebagian mutasyabih dan sebagian muhkam dengan dalil surah al-„Imran ayat 7 yaitu:

Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat (Q.S. al-„Imran: 7).

Bila dipandang sepintas, dalil yang dikemukakan masing-masing pendapat seolah-olah ketiga pendapat itu bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Pendapat pertama mengatakan semua ayat muhkam pendapat kedua mengatakan semua ayat mutasyabih dan pendapat ketiga mengatakan sebagiannya muhkam dan sebagiannya mutasyabih. Setelah diperhatikan ketiga pendapat itu, ternyata tidak ada yang bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan pendapat itu terjadi karena perbedaan pandangan dari sisi yang berbeda-beda.

Maksud yang mengatakan semua ayat muhkam adalah dari segi perkataan yang benar dan fasih, kekokohan dan kerapihan susunannya dan sama sekali tidak mengandung kelemahan baik dalam lafaz, rangkaian kalimatnya maupun maknanya, tidak mungkinnya seorang dapat mendatangkan yang sama dengannya.

Maksud pendapat yang mengatakan semuanya mutasyabih adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal balaghah, I’jaz serta dalam hal kesukaran membedakan mana bagian al-Qur‟an yang lebih afdhal diantara

(32)

keseluruhannya, kesamaan sebahagian dengan sebahagian yang lainnya dalam hal kebagusan susunannya dan menguatkan sebahagian dengan sebahagian yang lain. Allah SWT berfirman dalam al-Qur‟an surah an-Nisa‟ ayat 82:







Artinya: Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (Q.S. An Nisa‟: 82).

Maksud pendapat ketiga adalah dari segi pengertiannya. Jadi menurut yang terakhir ini dari segi pengertian, dalam al-Qur‟an itu sebagian ayatnya muhkam dan sebaginnya mutasyabih.6

4. Pandangan Ulama Terhadap Ayat-ayat Mutasyabih

Ulama banyak berbeda pendapat, apakah makna ayat mutasyabih bisa diketahui manusia atau tidak. Sebagian mereka yang disebut pendapat yang pertama mangatakan tidak dapat diketahui manusia dan hanya Allah yang mengetahuinya. Pendapat ini berasal dari kebanyakan sahabat,

tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan di ikuti oleh golongan ahlusunnah wa al-jamaah.7 Pendapat kedua mengatakan bahwa makna yang terkandung dalam ayat mutasyabih dapat diketahui orang tertentu yang sudah mendalam ilmunya. Pendapat ini di pelopori ahli tafsir dari kalangan

tabi’in yang bernama Mujahid.8

Perbedaan pendapat ini berasal dari perbedaan pemahaman terhadap ayat 7 surat Ali Imran, yaitu:

6 Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib, Jil. III, (Berut, Libanon: Daar al Fikri, Cet. I, 1426 H/2005), hlm. 156.

7Ahlusunnah waljama’ah ialah mayoritas ulama dan umat Islam yang berpegang kepada sunah (perkataan, perbuatan, persetujuan) Nabi Muhammad disamping berpegang kepada kitab suci al-Qur‟an, Lihat, Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 76.

8 Manna‟ al-Qaththan, Mabahits Fi Ulum al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq el-Mazni, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, Cet. II 2007), hal. 268.

(33)

















Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (Q.S. Ali Imran:7).

Tokoh sahabat seperti Ubay ibn Ka‟ab, Ibn Mas‟ud, Ibn Abbas dan sejumlah sahabat lainnya, tabi’in dan ahlusunnah berpendapat bahwa waw

pada kalimat “war-rasikhuna fil‘ilmi yaquluna amanna bihi” adalah waw ist’naf. Pendapat ini didukung oleh hadits yang di keluarkan Abdurrazzak dalam tafsirnya dan Hakim dalam kitab Mustadrak yang berasal dari Ibn Abbas bahwa ia membaca “wama ya’lamu ta’wilahu illallah, wayaqulur rosikhuna fil‘ilmu amanna bihi”.9

Pendapat kedua mengatakan makna ayat mutasyabih dapat diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya beralasan bahwa “waw

yang ada pada kalimat “warrasikhuna fil ‘ilmi” adalah “waw athaf” bukan

waw isti’naf ” yang di ’athafkan pada kalimat sebelumnya yaitu kalimat “illallah” dan kalimat “ya quluna” menjadi “hal”.10 Jadi, kesimpulannya

9

Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: Daar As-Salam, Cet. I, 2008), hlm. 534.

(34)

adalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui maknanya (ayat mutasyabih).

Imam Abu Hasan al-Asy‟ari mengikuti pendapat yang kedua ini begitu juga Abu Ishaq asy-Syairazi dan ia memperkuat pendapat ini dengan mengatakan: “Pengetahuan Allah terhadap ayat-ayat mutasyabih itu dilimpahkan juga kepada para ulama yang mendalam ilmunya, sebab firman yang di turunkan-Nya itu adalah pujian bagi mereka. Kalau mereka tidak mengetahui maknanya, berarti mereka sama dengan orang awam”.11 Seperti itu juga imam Nawawi, ia mengatakan “pendapat inilah (yang kedua) yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-hambanya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka”.12

Mahmud ibn Abdurrazzak membantah keras pendapat yang mengatakan bahwa dalam al-Qur‟an ada ayat yang tidak diketahui maknanya, Ia mengatakan pendapat ini tidak benar karena menjadikan perkataan Allah tidak punya makna dan menjadikan para salafusshalih pada derajat orang bodoh yang disebutkan Allah sebagai orang-orang yang memperbuat kata-kata yang sia-sia dan tertutup yang tidak bisa dipahami maknanya. Tidaklah masuk akal jika kita mendengarkan perkataan orang asing yang berbicara dengan bahasanya yang tidak kita pahami dan kita tidak tau bahasanya lantas kita berkata setelah mendengarkan pembicaraannya “perkataanmu bagus, dan susunannya baik, perkataanmu itu tidak ada yang salah dan kami membenarkan setiap perkaanmu.13

Dari pernyataan di atas dapat diambil pemahaman bahwa ia meyakini seluruh ayat al-Qur‟an dapat ditafsirkan dan diambil maknanya. Pendapat ini sejalan dengan tindakan yang dilakukan Zamakhsyari ketika menafsirkan ayat, ia telah menafsirkan ayat al-Qur‟an baik yang muhkam

11 Subhi as-Shalih, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka (Pasar Minggu, Jakarta: Firdaus, Pustaka Firdaus, Cet. IX 2004), hlm. 400.

12 Manna‟ al-Qaththan, op. cit., hlm. 268.

(35)

maupun yang mutasyabih.14 Hamka memberikan penjelasan bahwa peringatan Allah tentang ayat-ayat mutasyabih bukan berarti ayat mutasyabih tidak dapat diketahui manusia. Peringatan ini bertujuan untuk menyuruh umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu al-Qur‟an dan memohon pertunjuk darinya.15

Setelah memperhatikan kedua pendapat di atas dapatlah dipahami bahwa kedua pendapat tersebut sama-sama punya dalil yang kuat. Sebagai jalan pengkompromian antara dua pendapat ini ar-Raghib al-Asfahani,16 mengambil jalan tengahnya yaitu dengan membagi ayat mutasyabih kepada tiga bagian, yaitu:

Pertama, lafaz ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya, hanya Allah yang dapat mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat, kalimat daabbatul ardhi (binatang yang akan keluar menjelang hari kehancuran alam).

Kedua, ayat mutasyabih yang dengan berbagai sarana manusia dapat mengetahui maknanya, seperti mengetahui makna kalimat yang gharib dan hukum yang belum jelas.

Ketiga, ayat mutasyabih yang khusus dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang ilmunya mendalam dan tidak dapat diketahui orang-orang selain mereka sebagaimana diisyaratkan oleh do‟a nabi bagi Ibn Abbas:

Artinya: Ya Allah, ajarkanlah ilmu agama yang mendalam kepadanya dan dan limpakanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya”17

Sebagian ulama yang meyakini bahwa di dalam Al-Qur‟an ada ayat

mutasyabih yang tidak diketahui oleh seorangpun, tapi hanya diketahui

14

al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, ketika menjelaskan surah Ali Imran ayat 7, jilid 1, hlm. 413.

15 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jil. II, (Singapura: Kerjaya Print Pte Ltd, Cet. VII, 2007), hlm. 713.

16

Ar-Raghib al-Asfahani ialah Husain ibn Mufadhal Abu al-Qasim. Ia seorang sastrawan besar. Diantara bukunya yang terpenting ialah Mufradat al-Qur‟an. Wafat tahun 502 H.

(36)

oleh Allah SWT, maksudnya adalah mengetahui hakikat suatu masalah, bukan tafsir lafazh-lafazhnya. Ayat-ayat tentang sifat Allah menjadi

mutasyabih bukan dari segi memahami maknanya tetapi ayat tersebut

mutasyabih dari segi hakikat maknanya karena semua hakikat hanya diketahui oleh Allah SWT.18

5. Kedudukan Mutaysabih dalam Ayat

Letak ayat mutasyabih dalam al-Qur‟an terdapat dalam beberapa tempat yaitu, terkadang dari segi lafaz, terkadang dari segi makna dan terkadang dari segi lafaz dan makna. Untuk lebih jelasnya bisa diperhatikan contoh di bawah ini:

a. Mutasyabih dari segi lafaz, sebagaimana dikatakan ulama tafsir dikatakan mutasyabih adalah karena perserupaan atau kemiripan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.19 Seperti yang terdapat dalam surah al-Ra‟d ayat 2 dan surah lukman ayat 29, yaitu:

Artinya: Dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan (Q.s. al-Ra‟d: 2)

Artinya: Dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan (Q.s. Lukman: 29).

Letak kemutasyabihan kedua ayat di atas adalah karena redaksi keduanya hampir sama, perbedaan keduanya hanya terletak pada kalimat “li ajli” dan “ila ajli”.

b. Mutasyabih dari segi makna yaitu ayat yang berkaitan dengan sifat Allah atau hari kiamat. Dari segi lafaz dapat dipahami dengan jelas

18 M. Sulaiman Abdullah al-Asyqar, Al-Wadih fi Ushul Fiqh, (Jordania: Daar an-Nafa'is, Cet. VI, 2005/1425), hlm. 84

19 Shalih ibn Abdullah al-Tsitsari, Al-Mutasyabih al-Lafzhi fi al-Qur’an, (Madinah al Munawwarah: Mujamma‟ al-Malik Fahd li Thaba‟ati Mushhaf al-Syarif, 2005), hlm. 3.

Referensi

Dokumen terkait

Melakukan Turjawali Guna Mengedukasi Masyarakat di wilayah hukum Polsek Balai Karimun terkait Pelaksanaan Protokol Kesehatan untuk Memutus Mata Rantai Penyebaran COVID 19 oleh Tim

Penyusunan pedoman Upaya diare Puskesmas Babat tahun 2016 merupakan tanggung jawab kami sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan terkait pelaksanaan program diare

Sukmawidiyanti (2013) memperkuat hasil penelitian Miqawati dan Sulistyo (2014) dengan penelitiannya yang memberikan simpulan: 1) terdapat peningkatan hasil

Semua data yang sudah terkumpulkan, kemudian dikelompokkan menjadi dua macam, yaiu : data subjektif (data yang disampaikan secara lisan oleh klien atau keluarga) dan data

Apabila kinerja keuangan perusahaan PT Aneka Tambang Tbk dilihat pada tingkat rasio aktivitas atau turnover asset tidak dalam kondisi baik sehingga menunjukkan bahwa

 Tutor dan WB menyimpulkan hasil pembelajaran tentang langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menghadapi resiko yang mungkin akan timbul pada usaha yang dikembangkan sesuai

Pemeliharaan merupakan salah satu hal terpenting yang harus diperhatikan dalam pengoperasian sistem tenaga listrik, karena dengan sistem pemeliharaan yang

 Argumen lain Argumen lain adalah alamat dengan ‘&’ dari adalah alamat dengan ‘&’ dari. variabel dimana scanf akan