• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK DAN PERILAKU LOVEBIRD JANTAN SERTA BETINA SPESIES Agapornis fischeri VARIAN HIJAU STANDAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK DAN PERILAKU LOVEBIRD JANTAN SERTA BETINA SPESIES Agapornis fischeri VARIAN HIJAU STANDAR"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

228

KARAKTERISTIK DAN PERILAKU

LOVEBIRD

JANTAN SERTA BETINA

SPESIES

Agapornis fischeri

VARIAN HIJAU STANDAR

Characteristics and Behaviour of Males and Females Lovebird

Species Agapornis fischeri of Standard Green Variant

Dina Sari Dewia, Tintin Kurtinib, Rr. Riyantib

a

TheStudent of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University b

TheLecture of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University

Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung 35145 Telp (0721) 701583. e-mail: kajur-jptfp@unila.ac.id. Fax (0721)770347

ABSTRACT

The purpose of this research was identify the characteristics and behaviour of males and females lovebird species Agapornis fischeri of standard green variant. The research has been conducted in February till April 2015 in the lovebird breeding room’s on the Senopati street of Jatimulyo village, Jati Agung, South Lampung. The object being observed are five pairs of lovebird who have reached sexual maturity (≥9 months). The males and females of body weight obtained through scale digital after behaviour observation and fasted it first. The result were analyzed using chi-square method with level of 5% on the characteristics and focal animal sampling method to behaviour observated via video camera for six days in each cage object. Assessment of characteristics lovebird observed are body shape, head shape, and tail feather shape while the observation of behaviours were ingestive (eating, drinking, and cleaning beak), idle behaviour (perching and resting), and sexual behaviour (approaching females, delouse, flirting, and mating). The result of this research showed difference nonsignificant (P>0.05) between of males and females lovebird on the characteristics. The average percentage of lovebird behaviours were drinking, cleaning up of beak, perching, approached females, and delouse behaviour in males larger than females. Otherwise, the average percentage of lovebird behaviours were eating, resting, and flirting behaviour in females larger than males. Keywords: Lovebird Agapornis fischeri, variant, gender, characteristics, and behaviours.

PENDAHULUAN

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan di bidang peternakan yang semakin luas, jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat pun semakin beragam. Beternak saat ini, bukan hanya mengacu pada pemenuhan kebutuhan protein hewani saja melainkan juga sebagai kesenangan (fancy) bagi pemiliknya. Salah satu ternak yang dimaksud adalah burung.

Pada dasarnya, burung dipelihara untuk memberikan kepuasan bagi pemiliknya karena dapat memberikan suasana alami berupa penampilan bentuk, warna, dan kicauannya yang indah (Hamiyanti dkk., 2011). Salah satu jenis burung hias yang banyak digemari adalah lovebird. Hal ini karena lovebird memiliki karakteristik dan perilaku khas yang mampu menarik perhatian. Dalam menarik perhatian para penghobi burung hias khususnya lovebird, maka penangkar terus mengembangkannya melalui persilangan sehingga akan menghasilkan corak warna yang beragam dan dikenal sebagai varian. Varian green series seperti hijau standar merupakan varian spesies Agapornis

fischeri. Sampai saat ini, varian tersebut masih

diburu para penghobi untuk diikutsertakan dalam kontes kicauan.

Budidaya lovebird merupakan usaha untuk mengembangbiakan burung tersebut agar dapat memenuhi permintaan secara berkelanjutan.

Agapornis fischeri merupakan anggota kelompok

monomorpic yakni jantan maupun betina

mempunyai penampilan yang terlihat sama terutama warna pada bulunya (Prawoto, 2011). Keterbatasan informasi mengenai karakteristik dan perilaku lovebird jantan maupun betina dapat menimbulkan penundaan proses perkawinan normal dan sulitnya menentukan sex ratio

lovebird. Dampak tersebut memengaruhi

keberhasilan telur yang ditetaskan dan keberhasilan usaha pengembangbiakan lovebird.

Manfaat lain mengenal karakteristik dan perilaku pada lovebird jantan dan betina dapat menghindari peternak dari kerugian pakan selama pengembangbiakan akibat perkawinan tanpa menghasilkan individu baru yang diharapkan. Penggunaan waktu juga akan lebih efisien untuk menghasilkan varian warna bulu yang menarik sehingga penentuan jenis kelamin lovebird

menjadi penting.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penting dilakukan penelitian mengenai karakteristik dan perilaku lovebird jantan dan betina spesies

(2)

229

MATERI DAN METODE Materi Penelitian

Alat yang digunakan adalah kandang kawat, tempat pakan, tempat minum, timbangan digital (ketelitian 0,1 g), ring untuk lovebird

betina, kamera video, kamera cadangan, alat tulis,

termohigrometer (ketelitian 0,1˚C dan 1%), dan

stopwatch. Adapun bahan yang digunakan pada

penelitian ini adalah 5 pasang Agapornis fischeri

varian hijau standar berumur 9 bulan. Bahan pakan yang diberikan selama penelitian meliputi millet merah dan millet kuning, kangkung, jagung muda, sumber mineral, dan vitamin. Pakan diberikan dengan takaran tertentu sebanyak dua kali yakni pagi dan sore hari. Penelitian dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa Jatimulyo, Jati Agung, Lampung Selatan pada Februari--April 2015.

Metode Penelitian

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan langsung terhadap karakteristik dan perilaku harian lovebird. Adapun data sekunder diambil dari jurnal maupun peternak lovebird di Bandar Lampung sebagai data pendukung. A. Karakteristik

Pengamatan karakteristik lovebird jantan dan betina yang meliputi bentuk tubuh, bentuk kepala, dan bentuk bulu ekor lovebird diamati secara visual pada setiap kandang yang dinilai berdasarkan kriteria tertentu dengan pemberian skor (1) dan (2). Langkah kerja yang dilakukan pada pengamatan karakteristik lovebird sebagai berikut.

1. Bentuk tubuh, bentuk kepala, dan bentuk bulu ekor lovebird diamati secara visual selama 1 hari pada setiap kandang sedangkan penimbangan bobot tubuh dilakukan setelah pengamatan perilaku dan dipuasakan terlebih dahulu;

2. pencatatan hasil dinilai berdasarkan kriteria yang meliputi bentuk tubuh ramping, kepala bulat, dan bulu ekor tidak rata diberikan skor (1) sedangkan bentuk tubuh kompak, kepala rata, dan bulu ekor rata diberikan skor (2), serta;

3. hasil pengamatan karakteristik lovebird

dianalisis menggunakan metode chi-square

untuk membuktikan adanya hubungan atau tidak antara peubah dengan jenis kelamin

Agapornis fischeri varian hijau standar.

B. Perilaku

Perilaku lovebird jantan dan betina diamati pada kandang kawat berukuran panjang 60 cm,

lebar 40 cm, dan tinggi 35 cm yang direkam melalui kamera videopada interval waktu tertentu. Adapun penggunaan ring (R) untuk betina sedangkan nonring (NR) untuk jantan bertujuan untuk memudahkan perhitungan aktivitas jantan dan betina selama pengamatan. Langkah kerja yang dilakukan pada penelitian ini sebagai berikut.

1. Pencatatan aktivitas burung lovebird

dilakukan pukul 06.00 sampai 18.00 WIB di ruang penangkaran;

2. pengambilan data pengamatan perilaku meliputi perilaku ingestif, perilaku diam, dan perilaku seksual/kawin;

3. lama waktu perilaku lovebird jantan dan betina dihitung menggunakan stopwatch

dengan lama pengamatan selama 6 hari pada setiap kandang objek, dan;

4. data hasil pengamatan perilaku harian

lovebird dianalisis menggunakan rumus yang

telah ditentukan. Analisis Data

A. Analisis kuantitatif

Data karakteristik lovebird yang diperoleh dianalisis menggunakan metode chi-square pada taraf 5% berdasarkan rumus Sujarweni dan Endrayanto (2012) sebagai berikut.

dengan kriteria: hitung > tabel = Ho ditolak hitung < tabel = Ho diterima

Adapun data perilaku lovebird dihitung untuk mengetahui rata-rata perilaku, persentase frekuensi relatif, dan persentase waktu relatif berdasarkan rumus Sudjana (1992) sebagai berikut.

Rata-rata perilaku =

Frekuensi relatif =

Waktu relatif =

B. Analisis deskriptif

Data yang diperoleh dianalisis dengan cara deskriptif dalam hal karakteristik dan perilaku

lovebird jantan maupun betina pada spesies

(3)

230

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Lovebird

Pada pengamatan karakteristik dilakukan di luar ruangan setelah selesai pengamatan perilaku harian lovebird. Hal ini dilakukan karena kandang menempel di dinding sehingga diturunkan dengan tujuan pengamatan lebih dekat, fokus, jelas, dan memudahkan pengumpulan data pendukung karakteristik lovebird pada masing-masing kandang pengamatan.

1. Bentuk tubuh dan bobot tubuh lovebird Pengamatan bentuk tubuh lovebird jantan dan betina pada masing-masing kandang yang diberikan kode huruf dinilai berdasarkan kriteria tertentu yang dimasukkan dalam skor (1) ataupun (2) yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengamatan bentuk tubuh Agapornis fischeri varian hijau standar.

Nomor kandang Skor (1) (2) NR R NR R A   B C   D   E   x2 hitung (2,02)< x2tabel (3,84) Keterangan:

Skor (1): bentuk tubuh relatif ramping memanjang dengan bagian dada cenderung cembung Skor (2): bentuk tubuh relatif gemuk dengan bagian dada cenderung datar melebar

NR : nonring asumsi jantan R : ring asumsi betina

Hasil analisis Tabel 1 menunjukkan bahwa

lovebird jantan dan betina memberikan perbedaan

yang tidak nyata (P>0,05) terhadap bentuk tubuh. Bentuk tubuh yang relatif sama antara lovebird

jantan dan betina diduga karena jantan dan betina memiliki ukuran tubuh yang relatif sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nishida dkk. (1982) dan Susanti dkk. (2006) bahwa indikasi bentuk tubuh pada unggas dibedakan berdasarkan ukuran pada bagian tubuhnya seperti panjang sayap, tulang paha, dan ukuran shanknya. Pada kelompok burung monomorfik (famili Psittacidae) spesifiknya berasal dari bayanan menunjukkan bahwa antara jantan maupun betina memiliki ukuran yang sama (Campbell dan Lack, 1985) sehingga antara jantan maupun betina terlihat sulit dibedakan. Dengan demikian, ukuran dan bentuk memiliki keterkaitan sehingga ukuran tubuh cenderung memberikan gambaran pada bentuk tubuh.

Data bobot tubuh lovebird jantan dan betina diperoleh berdasarkan penimbangan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Bobot tubuh lovebird fischeri varian hijau standar. Nomor kandang Bobot tubuh (g) NR R A 43,3 41,0 B 40,4 52,1 C 38,4 48,7 D 36,6 51,0 E 36,6 52,2 mean±sd 39,1±2,8 49,0±4,7 Keterangan:

NR: nonring asumsi jantan R : ring asumsi betina

Rata-rata bobot tubuh betina 49,0±4,7 g lebih berat dibandingkan dengan lovebird jantan sebesar 39,1±2,8 g. Penimbangan bobot badan

lovebird dikondisikan saat ternak betina tidak

dalam masa produksi. Akan tetapi, selisih beberapa hari setelah banyak melakukan aktivitas mengeram. Sedikitnya aktivitas yang dilakukan

lovebird betina selama mengeram dan asupan

makanan yang diterima tubuh kemungkinan berlebih maka zat-zat makanan tersebut dapat ditimbun menjadi lemak yang memengaruhi bobot tubuhnya.

Dalam hal ini, hormon pada jantan maupun betina juga berperan penting terutama dalam produktivitas ternak. Hormon testosteron menekan pertumbuhan lemak tubuh pada ternak jantan tetapi memacu pertumbuhan tulang sedangkan hormon estrogen memacu pertumbuhan lemak tubuh pada ternak betina tetapi menghambat pertumbuhan tulang. Oleh sebab itu, kerangka ternak betina lebih kecil daripada kerangka ternak jantan tetapi betina menimbun lemak dalam tubuhnya lebih tinggi daripada jantan (Padang dan Irmawaty, 2007).

Sistem hormonal tersebut diyakini memberikan pengaruh terhadap bobot badan

lovebird betina yang lebih berat daripada jantan

dengan kondisi ternak telah melewati masa pubertas. Ternak yang telah melewati fase pubertas, menyebabkan kecepatan tumbuh ternak mulai berkurang dan pertumbuhan berhenti ketika umur bobot dewasa tercapai. Pada kondisi tersebut pertumbuhan otot menurun dan deposisi lemak dapat meningkat (Kurtini dkk., 2011). 2. Bentuk kepala lovebird

Bentuk kepala lovebird jantan dan betina diamati berdasarkan kriteria penilaian skor (1) dan (2) yang dapat dlihat pada Tabel 3.

Hasil analisis Tabel 3 menunjukkan bahwa

lovebird jantan dan betina memberikan perbedaan

yang tidak nyata (P>0,05) terhadap bentuk kepala. Hal ini diduga karena sifat genetik yang diturunkan oleh masing-masing pejantan dan induknya berasal dari genus (Agapornis) yang sama. Setiap individu akan mewarisi setengah dari sifat-sifat tetua jantan dan induknya

(4)

231

(Hardjosubroto, 1994). Pernyataan tersebut selaras dengan penelitian Niraldy (2010) pada bayanan dalam genus Psittacula yang mengindikasikan perbedaan bentuk kepala mengarah pada perbedaan genus dan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik daripada lingkungan. Bentuk kepala memiliki hubungan erat dengan tulang tengkorak (kranium). Namun, bentuk kranium pada spesies yang sama tidak diketahui jelas keterkaitannya dengan jenis kelamin.

Tabel 3. Pengamatan bentuk kepala Agapornis fischeri varian hijau standar.

Nomor kandang Skor (1) (2) NR R NR R A   B   C   D   E   x2 hitung (3,03)< x2tabel (3,84) Keterangan:

Skor (1): bentuk kepala relatif bulat melengkung Skor (2): bentuk kepala relatif rata/datar/pipih sehingga terlihat seperti kotak NR : nonring asumsi jantan R : ring asumsi betina

3. Bentuk bulu ekor lovebird

Bentuk bulu ekor lovebird jantan dan betina diamati berdasarkan kriteria penilaian skor (1) dan (2) yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengamatan bentuk bulu ekor Agapornis fischeri varian hijau standar.

Nomor kandang Skor (1) (2) NR R NR R A   B   C   D   E   x2 hitung (0,15)< x2tabel (3,84) Keterangan:

Skor (1): bentuk ekor relatif tidak rata/meruncing dengan bentuk bulu ekor memanjang dan lebar bulu menyempit

Skor (2): bentuk ekor relatif rata/membulat dengan bentuk bulu ekor bulat pada ujungnya NR : nonring asumsi jantan

R : ring asumsi betina

Hasil analisis Tabel 4 menunjukkan bahwa

lovebird jantan dan betina memberikan perbedaan

tidak nyata (P>0,05) terhadap bentuk bulu ekor. Hal ini dimungkinkan karena ketidakhadiran hormon androgen yang menyebabkan jantan membentuk tipe bulu seperti betina ataupun sebaliknya sehingga pola bulu terlihat sama. Kurtini dkk. (2011) menyatakan bahwa warna dan

pola bulu adalah karakteristik genetis. Pertumbuhan bulu juga dipengaruhi oleh hormon. Hormon yang penting dalam pembedaan dan pemolaan bulu pada unggas muda dan dewasa adalah tiroksin. Selain itu, hormon estrogen dan testosteron juga berpengaruh dalam pertumbuhan bulu dan pembedaan bulu jantan maupun betina. B. Perilaku Lovebird

1. Perilaku ingestif

Perilaku ingestif yang diamati meliputi perilaku makan, minum, dan membersihkan paruh (Takandjandji dkk., 2010).

Perilaku makan banyak dilakukan di pagi hari pada suhu rata-rata 25,4˚C dengan kelembapan 84,5% diduga karena suhu lebih rendah sehingga memicu mengonsumsi makanan lebih banyak untuk meningkatkan suhu tubuh (Iskandar dkk., 2009). Keadaan suhu lingkungan yang panas menyebabkan hewan mengurangi kecepatan metabolisme dalam tubuh dengan menurunkan konsumsi pakan. Penambahan panas dari hasil metabolisme menyebabkan hipotalamus merangsang pusat kenyang. Temperatur lingkungan yang dingin menyebabkan kegiatan makan terus berlangsung sampai saluran pencernaan penuh sesuai dengan kapasitasnya (Sulistyoningsih, 2004).

Perilaku makan, menunjukkan rata-rata persentase frekuensi makan lovebird betina (52,99%) selama 92,16 menit lebih besar daripada jantan (46,73%) selama 91,07 menit.

Gambar 1. Grafik perilaku ingestif lovebird jantan sebelum memberi makanan ke betina.

Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat fenomena menarik yakni lovebird jantan lebih banyak mengambil makanan daripada betina yang dapat dilihat pada Gambar 1. Makanan yang sudah ditelan oleh jantan kemudian akan dimuntahkan kembali bercampur saliva yang diberikan pada betina saat saling memasukkan paruh satu sama lain dan terlihat sering dilakukan saat perilaku makan bersama-sama. Dengan demikian, jumlah frekuensi makan lovebird jantan menambah jumlah frekuensi makan betina sehingga menjadi lebih besar daripada jantan.

(5)

232

Perilaku membersihkan paruh biasanya dilakukan setelah aktivitas makan. Rata-rata persentase frekuensi membersihkan paruh lovebird

jantan (44,72%) selama 7,33 menit lebih besar daripada betina (40,59%) selama 6,57 menit. Hal ini karena seiring perilaku makan yang meningkat maka meningkatkan perilaku membersihkan paruh

Persentase perilaku minum, menunjukkan bahwa rata-rata persentase frekuensi minum

lovebird jantan (8,55%) selama 1,6 menit lebih

besar daripada betina (6,42%) selama 1,27 menit. Rekapermana dkk. (2006) menjelaskan bahwa frekuensi minum lebih banyak dilakukan seiring banyaknya frekuensi makanan yang dikonsumsi. Perilaku minum lovebird dilakukan setelah makan pada kisaran suhu 26,3--27,2˚C atau saat kehausan karena cuaca panas (Abidin, 2007) antara 31,0--31,1˚C dan akan terus dilakukan hingga burung merasa hausnya hilang (Takandjandji dkk., 2010). Perilaku minum juga dilakukan ketika di sela-sela waktu istirahat (Rekapermana dkk., 2006) pukul 11.00--12.00 WIB pada jantan sedangkan pada betina pukul 15.00--16.00 WIB.

2. Perilaku diam

Perilaku diam yang diamati meliputi perilaku bertengger dan beristirahat. Rata-rata persentase frekuensi bertengger lovebird jantan (88,51%) selama 70,01 menit lebih tinggi daripada betina (87,01%) selama 70,57 menit. Hal ini diduga karena jantan memiliki sifat melindungi, lebih agresif, dan lebih berani terhadap gangguan daripada betina yang sering berada di nest box

(kotak sarang) dalam waktu yang cukup lama (Takandjandji dkk., 2010).

Adapun rata-rata persentase frekuensi istirahat jantan (11,49%) selama 28,37 menit lebih rendah daripada betina (12,99%) selama 31,04 menit. Persentase frekuensi istirahat jantan tersebut tidak jauh berbeda dengan betina karena perilaku istirahat lovebird dilakukan secara berpasangan. Menurut Abidin (2007), pada burung paruh bengkok seperti kasturi jantan saat beristirahat terlihat betina mengikuti jantan sehingga istirahat dilakukan bersama-sama.

Perilaku istirahat lovebird berkisar antara suhu 28,2--30,7˚C. Hal ini diduga karena kisaran suhu tersebut nyaman untuk beristirahat setelah banyak melakukan aktivitas lain. Sulistyoningsih (2004) menjelaskan perilaku beristirahat berkaitan dengan faktor kenyamanan. Temperatur lingkungan yang nyaman membuat ternak dapat beristirahat lebih banyak sedangkan saat tercekam panas lebih gelisah sehingga waktu istirahat lebih sedikit.

3. Perilaku kawin

Perilaku pra kopulasi adalah perilaku sebelum kopulasi, bertujuan menarik pasangannya agar siap atau mau melakukan kopulasi yang

biasanya dilakukan jantan, dengan bergerak mendekati betina atau menyelisik bulu (Masyud, 2007), dan melakukan aktivitas bercumbu.

Hasil pengamatan menunjukkan perilaku menarik pasangan dilakukan oleh jantan dengan cara mendekati betina dengan rata-rata persentase frekuensi (1,93%) selama 4,21 menit. Lovebird

jantan mengelilingi betina kemudian menaiki tubuh betina saat betina siap dan mulai membuka sayap. Rata-rata persentase frekuensi kawin

lovebird adalah 2,4% selama 2,76 menit dan sering

terjadi di pagi hari pukul 09.00--10.00 WIB (Masyud, 2007) pada frekuensi tertinggi dengan kisaran suhu rata-rata 27,2˚C.

Perilaku menyelisik pada lovebird bukan hanya saat akan melakukan proses kopulasi, melainkan juga saat bertengger dan beristirahat. Frekuensi aktivitas ini lebih banyak ditemukan pada jantan saat berpasangan (85,37%) selama 89,23 menit daripada betina (75,61%) selama 86,98 menit. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pendapat Masyud (2007) bahwa jantan lebih banyak melakukan aktivitas menyelisik bulu.

Berbeda dengan perilaku bercumbu, frekuensi bercumbu lovebird betina (24,39%) selama 13,02 menit lebih tinggi daripada jantan (12,70%) selama 6,55 menit. Perilaku percumbuan dapat terjadi akibat dorongan pengaruh hormonal di dalam tubuh ternak. Pudjirahaju (2014) menjabarkan bahwa perilaku reproduksi hewan betina tidak terlepas dengan keberadaan hormon dalam tubuhnya. Hal tersebut berkaitan langsung dengan terjadinya estrus (kesediaan melakukan hubungan seksual), ovulasi, pendekatan pada jantan, percumbuan, dan kopulasi.

Mekanisme tersebut diawali dari sel-sel syaraf pusat yang menstimulasi hipotalamus akibat respon dari lingkungan internal dan eksternal. Kelenjar hipotalamus berperan mengeluarkan

releasing factor (faktor pelepas) yang bertindak

sebagai kontrol pada kelenjar hipofisis (Kurtini dkk., 2011). Kemudian, releasing factor yang berkaitan menuju target sasaran dengan menyekresikan gonadotropin-releasing hormone

(GnRH). GnRH tersebut merangsang kelenjar hipofisis bagian anterior untuk menghasilkan

luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating

hormone (FSH). Selanjutnya, FSH merangsang

tubuli seminiferi pada testis menghasilkan sperma dari proses spermatogenik yang kemudian akan siap membuahi ovum. Adapun LH merangsang sel-sel interstitial pada testis untuk menyekresikan hormon testosteron. Hormon testosteron tersebut menjadi karakteristik organ kelamin dan sifat-sifat kelamin sekunder jantan, merangsang organ-organ kelamin pelengkap, serta tingkah laku seksual (libido).

Sudarmoyo dkk. (2007) menambahkan bahwa pada betina, FSH dan LH bekerja merangsang sekresi estrogen (dari folikel) dan merangsang lepasnya folikel yang sudah matang.

(6)

233

Fungsi utama hormon estrogen adalah perkembangan tanda seksual sekunder betina dan memengaruhi munculnya birahi (estrus) pada betina.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Karakteristik lovebird jantan dan betina spesies Agapornis fischeri varian hijau standar tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap bentuk tubuh, bentuk kepala, dan bentuk bulu ekor. Rata-rata persentase frekuensi dan waktu relatif pada lovebird jantan dan betina menunjukan persentase yang berbeda terhadap perilaku ingestif, perilaku diam, dan perilaku kawin.

Saran

Penelitian selanjutnya disarankan untuk mengukur ukuran pada bagian tubuh lovebird

kelompok monomorfik dengan jumlah sampel yang lebih banyak. Hal tersebut dilakukan untuk melengkapi informasi secara mendetail mengenai perbedaan jantan dan betina.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, J. 2007. Studi Perilaku Harian Burung Kasturi Merah (Eos bornea) Di Penangkaran Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong Bogor. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Campbell, B. dan E. Lack. 1985. A Dictionary of Birds. The British Ornithologists’ Union, Great Britain.

Hamiyanti, A.A., Achmanu, Muharlien, dan A.P. Putra. 2011. Pengaruh jumlah telur terhadap bobot telur, lama mengeram, fertilitas serta daya tetas burung kenari. Jurnal Ternak Tropika Vol. 12 (1) : 95-101. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan

Ternak di Lapangan. Penerbit Grasindo. Jakarta.

Iskandar, S., S.D. Setyaningrum, Y. Amanda, dan I. Rahayu H.S. 2009. Pengaruh kepadatan kandang terhadap pertumbuhan dan perilaku ayam Wareng-Tangerang Dara. JITV Vol. 14 (1) : 19-24.

Kurtini, T., K. Nova, dan D. Septinova. 2011. Produksi Ternak Unggas. Anugrah Utama Raharja. Bandar Lampung.

Masyud, B. 2007. Pola reproduksi burung tekukur (Streptopelia chinensis) dan telur

(Streptopelia risoria) di penangkaran.

Media Konservasi Vol. 12 (2) : 80-88. Niraldy, F. 2010. Karakteristik Ukuran dan

Bentuk Kepala Burung Bayan-Bayanan

(Psittacidae) di Indonesia. Skripsi.

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nishida, T., K. Nozawa, Y. Hayashi, T. Hashiguchi, and S.S. Mansjoer. 1982. Body measurement and analysis of external genetic characters of Indonesian native fowl. The Origin and Phylogeny of Indonesian Native Livestock. The Research Group of Overseas Scientific Survey. Pp. 73-83.

Padang dan Irmawaty. 2007. Pengaruh jenis kelamin dan lama makan terhadap bobot dan persentase karkas kambing kacang. Jurnal Agrisistem Vol. 3 (1) : 13-20. Prawoto, B. 2011. Memelihara dan Menangkar

Lovebird. Sahabat. Klaten.

Pudjirahaju, A. 2014. Biologi Reproduksi Muncak (Muntacus muntjak muntjak,

Zimmermann 1780) Betina di Penangkaran.

Disertasi. Program Studi Biologi Reproduksi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rekapermana, M., M. Thohari, dan B. Masy’ud. 2006. Pendugaan jenis kelamin menggunakan ciri-ciri morfologi dan perilaku harian pada gelatik Jawa (Padda

oryzivora Linn, 1758) di penangkaran.

Media Konservasi Vol. 11 (3) : 89-97. Sudarmoyo, B., Isroli, dan S. Susanti. 2007.

Hormon dan Sistem Reproduksi pada

Ternak. Academic Curriculum

Development. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang. Sudjana. 1992. Metode Statistika. Penerbit

Tarsito. Bandung.

Sujarweni, V.W. dan P. Endrayanto. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Edisi Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Sulistyoningsih, M. 2004. Respon Fisiologis dan Tingkah Laku Ayam Broiler Periode Starter Akibat Cekaman Temperatur dan Awal Pemberian Pakan yang Berbeda. Tesis. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.

Susanti, T., S. Iskandar, dan S. Sopiyana. 2006. Karakteristik kualitatif dan ukuran-ukuran tubuh ayam Wareng Tangerang. Prosiding Seminar Nasional Ilmu dan Teknologi Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (Inpress), Bogor.

Takandjandji, M., Kayat, dan G. ND. Njurumana. 2010. Perilaku burung bayan sumba

(Eclectus roratus cornelia bonaparte) di

penangkaran Hambala, Sumba Timur, NTT. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 07 (4) : 357-369.

Gambar

Tabel 2.  Bobot tubuh lovebird fischeri varian                   hijau standar.  Nomor  kandang  Bobot tubuh (g) NR  R  A  43,3  41,0  B  40,4  52,1  C  38,4  48,7  D  36,6  51,0  E  36,6  52,2  mean±sd  39,1±2,8  49,0±4,7  Keterangan:
Gambar 1.  Grafik perilaku ingestif lovebird jantan  sebelum memberi makanan ke betina

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melihat hasil penelitian yang telah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa peran kepala sekolah sebagai pendidik dalam meningkatkan kompetensi pedagogik

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang selanjutnya disebut SMK3 Rumah Sakit adalah bagian dari manajemen Rumah Sakit secara keseluruhan dalam

 Bila spalling diinginkan untuk terjadi, kuat tarik dinamik harus lebih kecil daripada tegangan tarik radial yang dihasilkan dari pantulan pulsa tegangan tekan awal di

Penelitian ini bertujuan untuk: 1 mengetahui bentuk-bentuk peran majelis ta‟lim triwulan Muslimat Nahdlatul Ulama‟ pada masyarakat Dusun Songaran Desa Sidomulyo Kecamatan Modo

berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada proses penyimpanan dimana terdapat 13 rumah makan yang mengeringkan peralatannya secara alami dikeringkan sendiri

Cara pencucian peralatan makan yang dil- akukan di rumah makan MR dan MJ masih kurang memenuhi syarat sanitasi karena saat pencucian peralatan makan tidak

Hal itu merupakan ketentuan yang harus dipatuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas