BAB V
PRAKTIK PENDIDIKAN IPS DI SMU NEGERI 1 UBUD
Berdasarkan konteks yang melingkupi proses pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud, termasuk yang mewarnai praktik program Pendidikan IPSnya sebagai digambarkan pada bab terdahulu, dapat diinterpretasikan bahwa Pendidikan IPS pada dasarnya dapat merupakan proses pengalaman budaya. Karena itu, praktik Pendidikan IPS tampaknya tidak dapat dipisahkan dari pengalaman budaya pendukung-pendukungnya, baik dari unsur kepala sekolah, guru-guru, dan siswa. Untuk menjelaskan bagaimana praktik Pendidikan IPS di SMU Negeri 1 Ubud, berikut dijelaskan tema-tema pokok yang ditemukan dalam penelitian ini sebagai berikut.
A. Persepsi Guru-guru dan Siswa tentang Status Pendidikan IPS dan Implementa-sinya di Sekolah
Sesuai dengan latar belakang pendidikannya, guru-guru rumpun mata pelajaran IPS umumnya telah memahami pengertian Pendidikan IPS di sekolah sebagaimana telah diberikan pada masa kuliah sarjananya. Tetapi, ada dua orang guru Sejarah yang berasal dari sarjana muda Pendidikan Sejarah dan dua orang guru Sosiologi dan Antropologi yang berasal dari sarjana PLS dan PKK tidak pernah memahami arti Pendidikan IPS hingga kini. Ini terjadi karena mereka memang tidak pernah mendapatkan kuliah tentang materi Pendidikan IPS, dan selama menjadi guru, mereka juga belum pernah mengikuti penataran-penataran atau pelatihan yang berkaitan dengan materi pendidikan IPS.
agar dapat menjadi warga negara yang baik, yaitu: warga negara Indonesia yang beriman dan bertaqwa (crada dan bhakti) kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang baik, cerdas, dan terampil dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, dan budaya.
Kalau dianalisis tujuan Pendidikan IPS secara teoritis menurut guru-guru tersebut, tampaknya tujuan ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional dalam rangka pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-undang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003). Dengan begitu tujuan pendidikan IPS juga memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Sayangnya, dengan definisi dan tujuan seperti ini, guru-guru, dengan menyederhanakan konsep, umumnya juga menganggap bahwa Pendidikan IPS dewasa ini adalah sebagai mata pelajaran yang diberikan di sekolah kepada anak didik melalui mata pelajaran-mata pelajaran PPKn, Sejarah, Geografi, Ekonomi dan Akuntansi, Sosiologi, Antropologi, dan Tata Negara saja sesuai dengan petunjuk dan muatan yang terkandung dalam kurikulum sekolah. Menurut guru-guru, konsep seperti ini tidak bertentangan dengan makna yang telah diberikan secara teoritis di atas. Tanpa disadari, sesungguhnya, guru-guru telah melakukan reduksi terhadap pengertian Pendidikan IPS sebagaimana dimaksudkan oleh para ahli Pendidikan IPS.
Bagi guru-guru yang tidak memahami pengertian Pendidikan IPS, sebaliknya, mengajar Sejarah dan Sosiologi serta Antropologi adalah bagian dari pengajaran ilmu-ilmu sosial untuk siswa yang memilih program spesialisasi IPS. Pendidikan IPS menurut mereka lebih lanjut adalah salah satu pilihan program spesialisasi bagi siswa-siswa SMU yang ingin belajar ilmu-ilmu sosial seperti Geografi, Sejarah, Ekonomi dan Akuntansi, Sosiologi, Antropologi, dan Tata Negara.
Pendidikan IPS yang dimaksudkan para ahli Pendidikan IPS (lihat Somantri, 2001, 1996, 1995; Suwarma Al Muchtar, 2001).
Dengan kondisi seperti di atas maka interpretasi yang paling mungkin diberikan guru-guru tentang makna program Pendidikan IPS di sekolah secara kurikuler adalah sebagai pengajaran mata pelajaran-mata pelajaran PPKn, Sejarah, Geografi, Ekonomi dan Akuntansi, Sosiologi, Antropologi, dan Tata Negara yang ditujukan untuk memberikan pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, serta keterampilan sosial dan budaya yang diperlukan siswa dalam berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam implementasinya, makna seperti ini ternyata direduksi lagi oleh guru menjadi pengajaran fakta-fakta dan konsep-konsep yang relevan pada setiap mata pelajaran yang diasuh guru-guru: PPKn, Sejarah, Geografi, Ekonomi dan Akuntansi, Sosiologi, Antropologi, dan Tata Negara.
Dari status Pendidikan IPS seperti ini, jelaslah bahwa guru-guru lebih memandang Pendidikan IPS secara kurikuler sebagai seperangkat fakta dan konsep relevan dengan batasan formal masing-masing mata pelajaran yang harus diajarkan kepada siswa untuk memberikan bekal kepada mereka untuk memahami realitas kehidupan manusia dan masyarakat secara geografis, historis, ekonomi, politik, hukum dan tata negara, serta secara sosiologis dan antropologis. Di sini tampak masyarakat hanya dipahami dari struktur pengetahuan hubungan antar fakta dan konsep, tanpa memperhatikan hubungannya dengan struktur nilai-nilai dan sikap, struktur kekuasaan, sistem simbol dan makna, serta kecakapan-kecakapan atau keterampilan-keterampilan sosial yang dikembangkan. Dalam bahasa pengembangan program Pendidikan IPS dewasa ini, status Pendidikan IPS seperti di atas belumlah dapat diharapkan untuk menjadi Pendidikan IPS yang powerful, dalam arti Pendidikan IPS yang integrated, berbasis nilai, bermakna, menantang, dan membuat siswa aktif (NCCS, 2000)
Ada beberapa ciri yang ditemukan dalam proses Pendidikan IPS di SMU Negeri 1 Ubud dengan makna seperti di atas yang tidak jauh berbeda dari temuan-temuan lain seputar praktik Pendidikan IPS di sekolah seperti yang ditemukan oleh Somantri (2001), Rochiati W. dan Waterworth, 1996; Wachidi (1999), dan Lasmawan (2003). Beberapa karakteristik tersebut, yaitu sebagai berikut.
rencana pembelajarannya sebagai suatu model bagi pembelajaran yang dilakukannya (Gagne, Briggs, and Wager, 1992; Oliva, 1992), karena rencana pembelajaran yang dimiliki guru-guru cenderung hanya mengulang rencana pembelajaran tahun-tahun sebelumnya, tanpa ada pembaharuan-pembaharuan apapun yang dikembangkan.
Khusus dalam pengembangan rencana pembelajaran (RP) dan satuan pelajaran (SP), tujuan-tujuan instruksional yang dikembangkan guru-guru sepenuhnya hanya mengacu kepada aspek kognisi yang lebih menempatkan pengajaran fakta-fakta dan konsep-konsep IPS dari pada ke pengembangan generalisasi, nilai-nilai dan sikap, serta keterampilan-keterampilan intelektual, akademis, dan sosial dalam IPS. Karena itu, tujuan-tujuan intruksionalnya cenderung diformulasikan dalam bahasa-bahasa operasional seperti menyebutkan, menjelaskan, mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan memberi contoh-contoh. Dengan tujuan belajar IPS yang diformulasikan seperti itu jelas belum ada tujuan-tujuan pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir intelektual tingkat tinggi dan keterampilan berpikir akademis siswa, apalagi yang bermaksud mengembangkan nilai-nilai dan sikap serta keterampilan sosialnya.
Kedua, pembelajaran rumpun mata pelajaran IPS di kelas sesuai dengan tujuan-tujuan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru seperti di atas masih seluruhnya menggunakan pendekatan ekspositori, yang, dengan demikian, dominasi guru dalam hubungan proses belajar mengajar sangat tinggi. Di sini berlaku juga asumsi bahwa guru adalah sumber informasi utama dalam belajar. Walau siswa sebagian besar mampu untuk memiliki buku teks atau LKS sebagai sumber belajar, ada semacam keyakinan guru-guru bahwa siswa tidak bisa memahami sendiri isi atau materi buku sumber, jika tidak disertai penjelasan atau ceramah dari guru. Asumsi tersembunyi ini telah menciptakan iklim belajar bahwa siswa harus mendengarkan ceramah dari guru terlebih dahulu sebelum mereka belajar mandiri membaca catatan yang diberikan oleh guru, membaca buku teks, dan mengerjakan LKS.
Tindakan pembelajaran seperti di atas tampaknya tidak bisa dipisahkan dari keyakinan psikologis guru-guru yang memandang bahwa siswa datang ke sekolah masih seperti kertas putih atau botol kosong. Mereka dianggap belum memiliki pengetahuan awal atau pengalaman tentang materi yang akan dibahas. Hal ini diperburuk dengan sikap stereotype guru-guru bahwa input siswa yang bersekolah di SMU Negeri 1 Ubud adalah para siswa dengan tingkat kecerdasan intelek atau prestasi belajar awal yang rendah.
yang masih menekankan arti penting dominasi orang tua atau orang dewasa dan mengutamakan tokoh atau sesepuh masyarakat sebagai sumber informasi atau pengetahuan dan nilai-nilai sosial, yang kemudian dengan kemampuan penguasaan informasinya diberikan kepercayaan untuk menjadi model dan memberikan wejangan, petunjuk, dan arahan (seluruhnya bersifat doktrin) kepada anak atau kepada masyarakat pada umumnya.
Ketiga, pola interaksi sosial antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pembelajaran IPS di sekolah atau kelas masih cenderung bersifat satu arah dari guru kepada siswa. Walau guru-guru telah mencoba untuk mengembangkan interaksi belajar mengajar lebih bersifat multiarah, proses interaksi secara keseluruhan tetap menunjukkan guru-guru masih menjadi pusat pengetahuan dan pusat kekuasaan. Jadi, dalam hubungan guru dan siswa, guru masih memiliki dominasi kekuasaan yang tinggi. Lebih dari 85% waktu belajar masih didominasi oleh guru.
Keempat, proses guru-guru IPS memberikan pengalaman belajar sesuai dengan tujuan-tujuan belajar yang diformulasikan cenderung lebih berorientasi pada hasil atau produk belajar siswa dari pada menekankan keterampilan proses belajarnya. Dengan belajar seperti ini tampak guru memperlakukan siswa seperti mesin foto copy yang siap menggandakan informasi guru sesuai dengan keperluan (Gredler, 1992).
Dengan cara seperti ini guru berpikir dan berkeyakinan akan memudahkan siswa dalam melakukan proses reproduksi pengetahuan atau informasi. Guru-guru juga berupaya menyusun informasi secara sistematis sesuai dengan sistematis susunan di dalam buku teks, karena dari sumber buku teks itu pula guru mengembangkan tujuan-tujuan belajar yang diformulasikan dalam bentuk pemenggalan bagian-bagian informasi yang utuh. Bagi guru, kebenaran dalam buku teks adalah kebenaran yang sudah valid dan handal, dan, karena itu, sudah dapat disosialisasikan di mana dan kapan saja. Model pengalaman belajar seperti ini tampaknya relevan dengan model pengalaman belajar gaya bank yang disampaikan oleh Freire (1999).
Dengan dua sumber utama ini tampak guru sama sekali tidak memiliki peluang untuk mengembangkan materi ajar muatan lokal yang lebih relevan dengan konteks dunia siswa, baik yang menyangkut pengungkapan fakta-fakta dan konsep-konsep maupun generalisasinya yang memungkinkan terjadi konflik kognitif dan nilai-nilai bagi kepentingan pemecahan masalah. Menurut persepsi guru-guru, kondisi ini terjadi adalah di samping karena kurangnya pengetahuan dan wawasan guru, juga sebagai konsekuensi pendidikan yang menggunakan kurikulum yang tersentralisasi dari pusat (Depdiknas).
Negara, dalam hal ini pemerintah, ditengarai guru-guru memang memiliki kepentingan sosial politik yang tinggi dalam rangka pembentukan wawasan dan nilai-nilai nasional (kebangsaan) atas dasar prinsip-prinsip dan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Dan, kepentingan ini paling mudah disusupkan ke dalam misi dan tujuan Pendidikan IPS yang langsung atau tidak langsung dapat dimuati kepentingan-kepentingan sosial politik negara (Suryadi, 1999; Wahab, 2000).
Menurut guru-guru, kondisi seperti ini merupakan warisan upaya pemerintahan orde baru untuk dapat mempertahankan status quonya, baik yang menyangkut upaya pertahanan wawasan, ideologi, nilai-nilai, maupun pada ujungnya sebagai upaya mempertahankan kekuasaan pemerintahan yang berdaulat (Wahab, 2000).
Keenam, pembelajaran IPS di kelas secara kurikuler berdasarkan substansi materinya juga cenderung difokuskan pada belajar tentang pengetahuan. Kalaupun guru-guru memahami bahwa kapabilitas belajar siswa tidak hanya berada pada domain pengetahuan verbal, pendekatan utama yang dilakukan guru-guru IPS adalah pendekatan pengetahuan. Guru-guru berasumsi bahwa dengan mempengaruhi pengetahuan verbal siswa, dengan kemampuan transfer of learningnya, siswa dapat diharapkan akan juga membentuk nilai-nilai dan sikap serta mengembangkan keterampilannya sesuai dengan pengetahuan yang dipelajarinya. Hal ini karena ada keyakinan bahwa domain-domain belajar siswa ke dalam domain kognisi, afeksi, dan konasi bukanlan domain-domain belajar yang eksklusif satu sama lain, melainkan bersifat interdependen (Ringness,1975). Karena itu, nilai-nilai dan sikap serta keterampilan atau tindakan siswa sebagian dapat dipengaruhi baik langsung atau tidak langsung oleh tingkat pengetahuan yang dimilikinya (Zamroni, 1985; 1988). Keyakinan psikologis ini cukup kuat melandasi tindakan pembelajaran yang dilakukan oleh guru di kelas.
sebagai pengetahuan verbal atau pengetahuan deklaratif (Dahar, 1989). Pengetahuan yang dipelajari siswa juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengetahuan kognitif dan pengetahuan afeksi tentang nilai-nilai dan sikap. Untuk beberapa mata pelajaran yang sesungguhnya mengandung kegiatan praktik kerja, seperti pelajaran geografi dalam membuat peta dan mata pelajaran akuntansi, siswa juga mempelajari pengetahuan tentang prosedur keterampilan kerja.
Belajar IPS dengan karakeristik pengetahuan seperti di atas cenderung tidak memperhatikan adanya hirarkhi dalam belajar pengetahuan sosial untuk meningkatkan keterampilan intelektual dan akademis sebagai dikembangkan oleh para ilmuwan sosial (Gagne, Briggs, & Wager, 1992). Hirarkhi yang dimaksud adalah dimulai dari kumpulan fakta yang berhubungan menjadi data, pengklasifikasian dan hubungan data menjadi konsep, hubungan antar konsep menjadi proposisi, proposisi-proposisi yang teruji akan membentuk generalisasi, dan generalisasi menjadi dasar dalam pengembangan teori-teori sosial berdasarkan data, dan sebaliknya. (Somantri, 2001, 1995; UNS, 1991; Zamroni, 1988). Ketiadaan hirarkhi belajar pengetahuan sosial seperti ini dalam proses perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses belajar mengajar, dalam penyusunan buku sumber, termasuk dalam perancangan tes hasil belajar siswa menyebabkan guru tidak memberlakukan keterampilan proses dalam pembelajaran IPS di kelas dan tidak memungkinkan siswa menjadi aktif dalam belajar.
Ketujuh, guru-guru IPS cenderung tidak pernah menggunakan alat dan media pembelajaran selain kapur tulis dan papan tulis. Guru juga tidak pernah menggunakan masyarakat sebagai sumber belajar utama dalam pembelajaran IPS. Alasan utama guru-guru soal ini umumnya karena keterbatasan alat dan sarana termasuk media pembelajaran yang disediakan oleh sekolah. Sementara itu, guru-guru mengakui juga bahwa mereka tidak memiliki dana dan kemampuan untuk mengembangkan sendiri alat-alat dan media pembelajaran IPS.
Guru-guru IPS menyadari bahwa dengan status seperti di atas, pendidikan dan pembelajaran IPS di sekolah memiliki beberapa kelemahan mendasar yang dapat melemahkan kedudukan, fungsi, dan powernya sebagai program pendidikan dan studi sosial yang bertujuan membentuk warga negara Indonesia yang baik; cerdas dalam penguasaan konsep-konsep dasar ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu humaniora, dan kaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya; beriman dan berbudi pekerti luhur; terampil dalam memecahkan masalah-masalah sosial di masyarakat dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki; serta partisipatif dalam pengambilan-pengambilan keputusan publik di tingkat lokal, nasional, dan global (NCSS, 1994; Somantri, 2001; Stopsky dan Lee, 1994; White, 1996).
Dari segi kedudukan dan fungsinya sebagai program pendidikan, dengan status Pendidikan IPS seperti sekarang, guru-guru merasakan bahwa Pendidikan IPS tidak lebih dari program indoktrinasi pengetahuan dan nilai-nilai sosial berupa fakta-fakta dan konsep-konsep yang mekanistik dan tidak bermakna.
Dari segi kedudukan dan fungsinya sebagai studi sosial, Pendidikan IPS dengan status seperti sekarang di sekolah juga belum mampu memberikan keterampilan proses kepada siswa bagaimana memahami realitas fenomena sosial yang terjadi di masyarakat sesungguhnya sebagaimana para ilmuwan sosial memahami dan mengkaji fenomena sosial, sehingga menghasilkan kebijakan-kebijakan sosial yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (CCE, 2004; White, 1996).
Status Pendidikan IPS seperti di atas juga membuat pendidikan dan pembelajaran IPS di SMU Negeri 1 Ubud kurang powerful, karena pembelajaran IPS tampak kurang bermakna, kurang integratif, kurang berbasis nilai, kurang menantang, dan kurang melibatkan siswa secara aktif (NCSS, 2000). Pembelajaran IPS kurang bermakna dapat diketahui dari pembelajaran IPS yang lebih berbasis pada fakta-fakta dan konsep-konsep yang terlepas-lepas dan kurang terkait dengan pengalaman siswa serta kurang diaplikasikan pada dunia kehidupan siswa yang riil dalam masyarakat.
Pembelajaran IPS di kelas juga akhirnya kurang berbasis nilai. Hal ini terkait karena dalam pembelajaran IPS lebih menekankan pembelajaran fakta-fakta dan konsep. Kalaupun ada pembelajaran nilai, nilai-nilai itupun diajarkan dari dimensi pengetahuan nilai yang diindoktrinasikan, bukan merupakan nilai-nilai yang dianalisis secara kritis, dipertimbangkan baik buruk dan untung ruginya yang disesuaikan dengan standar norma-norma tertentu (klarifikasi nilai), dan diputuskan sesuai dengan hasil musyawarah secara cerdas (Coombs, 1971; Coombs and Meux, 1971; Su’ud, 1993).
Akhirnya, pembelajaran IPS di kelas juga kurang menantang siswa untuk belajar IPS secara aktif, karena guru tidak pernah berubah dari fungsinya sebagai penceramah ke fungsi fasilitator dan motivator dalam upaya siswa mengkontruksi pengetahuannya sendiri (Sadia, 1996; Suparno, 1997; Widja, et al, 2002). Artinya, guru-guru IPS kurang dapat memberdayakan potensi dan pengetahuan awal siswa yang sudah ada untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri dengan prinsip-prinsip alami sendiri, inkuiri, bertanya, pembentukan masyarakat pebelajar, modeling, refleksi, dan penilaian yang autentik (NCSS, 2000; Sukadi, 2003, 2004; Wahab, 2002; White, 1996).
Dari penjelasan tentang status Pendidikan IPS ditinjau dari struktur keyakinan, pengetahuan, pandangan, sikap, dan tindakan-tindakan guru-guru Pendidikan IPS di atas, jelas sekali bahwa secara sosial psikologis praktik program Pendidikan IPS secara kurikuler di sekolah lebih dominan dikuasai oleh pendekatan behavioristik (Gredler,1992), secara sosiologis banyak dipengaruhi oleh pandangan fungsionalisme (Mulder, 2003), secara ideologi lebih mengikuti pemikiran perenilialisme dan esensialisme (O’neil, 2001; Somantri, 2001; Van Scotter, et al., 1985), dan secara politik lebih mengabdi kepada kepentingan nasionalisme (Suryadi, 1999; Wahab, 2002; Winataputra, 2001). Pertama, sistem pengetahuan menurut pandangan behavioristik adalah suatu realitas di luar subjek (Gredler, 1992). Di samping itu, pengetahuan cenderung dipandang sebagai sistem yang mekanistik dan bukan bersifat organik (Skinner, 1989, 1987).
sebelumnya (Ausubel, Novak and Hanesian, 1978; Fosnot, 1996; Gagne, 1985; Woolfolk and Nicolich, 1984) serta kurang memperhatikan dukungan faktor-faktor afeksi seperti sikap, perasaan, emosi, minat, niat, motivasi, harapan, kecemasan, rasa percaya diri, konsep diri, makna, nilai-nilai dan moral, dan sejenisnya (DeVries and Zan, 1994; Ringness, 1975; Shaffer, 1996; Woolfolk and Nicolich, 1984).
Belajar dalam pendekatan ini, tujuan-tujuannya dirumuskan dalam bentuk perilaku verbal dan motorik yang spesifik dan dapat diamati. Tujuan-tujuan belajar harus dirumuskan dalam bahasa perilaku secara konkrit, jelas, spesifik, operasional, dapat diamati, dan dapat diukur (Gredler, 1992; Skinner, 1989; Woolfolk and Nicolich, 1984). Karena itulah model belajar utama yang digunakan umumnya mencatat keterangan guru, menghafalkan fakta-fakta, konsep, dan definisi, memberi contoh, dan melakukan proses imitasi model. Di sini, tidak ada pandangan bahwa proses belajar merupakan proses perkembangan kognisi yang kompleks seperti yang ditawarkan teori pengolahan informasi (Gredler, 1992) melalui model belajar pemecahan masalah, misalnya, atau belajar merupakan proses rekonstruksi pengetahuan secara mandiri melalui inkuiri seperti yang dianjurkan penganut konstruktivisme (Bettencourt, 1989; Cobb, 1996; DeVries and Zan, 1994; Fosnot, 1996).
Kedua, secara sosiologis, masyarakat dengan kebudayaannya yang dipelajari dalam program Pendidikan IPS secara kurikuler cenderung dipandang berdasarkan perspektif fungsionalisme. Dalam pandangan fungsionalisme, masyarakat dipelajari dalam struktur-strukturnya yang membentuk sistem dan berfungsi menjamin stabilitasnya. Karena itu, masyarakat lebih dipandang dalam strukturnya untuk mempertahankan sistem sosial yang ada; dan, karena itu pula, menjadi kurang dinamis (Bernard, 1983; Mulder, 2003)
Pendidikan IPS secara kurikuler yang dapat dipahami siswa dari pengalamannya dalam pembelajaran dan penilaian hasil belajar IPS tampak lebih memprihatinkan lagi. Para siswa umumnya memberi makna Pendidikan IPS sebagai kelompok mata pelajaran seperti PPKn, Sejarah, Geografi, Ekonomi dan Akuntansi, Sosiologi, Antropologi, Tata Negara, dan Kajian Budaya Bali. Dengan begitu Pendidikan IPS dimaknai sebagai mata pelajaran ilmu-ilmu sosial yang terpisah-pisah juga, walau diakui siswa bahwa, ada keterkaitan dan tumpang tindih materi pelajaran antara mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya.
1945 yang harus diikuti siswa sebagai warga negara dalam hubungannya dengan kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Tetapi, mata pelajaran PPKn dianggap terlalu propokatif dan cenderung membosankan, karena sering menganjurkan hal-hal yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetapi, sulit untuk diwujudkan serta cenderung mengulang-ulang materi yang sama (kerukunan, wawasan nusantara, mengembangkan kebudayaan daerah, demokrasi Pancasila, toleransi agama, kekeluargaan dan gotong royong, keadilan sosial, dan sejenisnya) dari level SLTP sampai dengan level SMU tanpa ada upaya pendalaman dan generalisasi aplikasi yang semakin signifikan bagi kehidupan siswa (Mulder, 2003).
Dari pandangan siswa seperti di atas, betapa tampak pandangan para siswa yang menerapkan ideologi praktis (practical ideology) (bandingkan dengan Trujillo, 1996) dalam implementasi pembelajaran PPKn di sekolah. Menurut para siswa, efektivitas pendidikan kewarganegaraan di sekolah adalah apabila norma dan nilai-nilai yang dipelajari mempunyai makna dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apa yang ada dalam persepsi para siswa, pembelajaran PPKn dirasakan kurang bermakna, karena norma-norma dan nilai-nilai ideal yang dipelajari, menurut mereka, kurang ditemukan di masyarakat.
Mata pelajaran Sejarah juga mendapat penilaian yang sama dari para siswa. Esensinya tidak lebih dari pengulangan pembelajaran peristiwa sejarah dari masa prasejarah hingga awal era reformasi di Indonesia dari pelajaran di sekolah dasar hingga SMU. Siswa merasa mata pelajaran ini benar-benar mata pelajaran hafalan tentang fakta-fakta dan peristiwa sejarah yang nilai-nilainya tetap tertinggal dalam sejarah.
Para siswa umumnya setuju bahwa, hampir sama dengan mata pelajaran PPKn, mata pelajaran sejarah berfungsi membangkitkan sikap dan nilai-nilai nasionalisme para siswa sebagai bangsa Indonesia. Tetapi, sikap dan nilai-nilai nasionalisme itu dinilai hanya sebagai pesan simbol dan slogan para elit penguasa, yang seperti pesan-pesan pariwara di televisi - diperhatikan sambil lalu – kelihatan glamor, tetapi tidak pernah terwujudkan. Jika penilaian para siswa ini diterima, betapa pembelajaran Sejarah di sekolah telah menciptakan image yang salah tentang hakikat dan fungsi pembelajaran sejarah itu sendiri (bandingkan dengan Mulder, 2003; Rochiati W. 1995).
memang digunakan sebagai dasar refleksi dalam pembangunan atau upaya rekonstruksi sejarah bangsa (Stopsky and Lee, 1994; Widja, 2001).
Pembelajaran Geografi yang diberikan di kelas I dan II saja pun tak luput dari pandangan siswa yang memprihatinkan. Pembelajaran Geografi di kelas yang lebih menonjolkan fakta-fakta dan konsep-konsep geografi dengan pendekatan memori saja telah membuat siswa tidak dapat menangkap esensi dan harapan pendidikan Geografi, karena siswa tidak dapat memetik manfaat dari pembelajaran Geografi.
Siswa memahami bahwa, dalam pembelajaran Geografi, siswa belajar tentang hubungan antar aktivitas manusia dengan pemahaman tata ruang, belajar tentang pemetaan, belajar tentang pemanfaatan sistem informasi geografis, belajar tentang dinamika kependudukan, belajar tentang aktivitas-aktivitas sosial budaya dan ekonomi masyarakat, belajar tentang persebaran flora dan fauna, belajar tentang pengideraan jauh, belajar tentang cuaca dan iklim, belajar tentang struktur permukaan bumi, dan belajar tentang sumber-sumber kekayaan alam, sosial dan budaya (Harmanto dan Somaatmadja, 2001; Sjamsuri, dkk., 1994). Tetapi, karena hanya cenderung menghafal fakta-fakta dan konsep-konsepnya saja, siswa menjadi tidak memahami apa manfaat dan kontribusi pembelajaran Geografi bagi hidupnya dan bagi masyarakatnya; dalam arti, kapan dan di mana konsep-konsep geografi itu berguna.
Di antara mata pelajaran rumpun IPS yang diberikan kepada siswa, mata pelajaran Ekonomi tampak lebih disukai siswa. Ini terjadi bukan karena pembelajaran ekonomi lebih baik diberikan guru-guru, melainkan karena bagi siswa mengikuti pelajaran ekonomi tampak lebih berguna, baik untuk kepentingan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun untuk kepentingan kehidupan sehari-hari dalam aktivitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat (Mulder, 2003). Ada cukup banyak siswa yang bercita-cita menjadi ahli ekonomi, ingin sukses kehidupannya secara ekonomi, dan lebih mudah menciptakan dan mendapatkan pekerjaan jika menguasai pengetahuan, memiliki nilai-nilai, dan keterampilan berekonomi, akuntansi, dan berwirausaha.
persoalan-persoalan yang diberikan guru-guru dalam ulangan atau ujian ternyata tidak semudah siswa menghafalkan materi pelajaran yang diberikan oleh guru-guru. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, dalam proses pembelajaran Ekonomi, guru tidak memfasilitasi siswa bagaimana dapat mengembangkan penalaran intelek tingkat tinggi dan akademisnya secara kontekstual, bermakna, dan menarik, melainkan menekankan segi belajar hafalan dan pemahaman tingkat rendah, sementara persoalan-persoalan yang diberikan dalam ulangan atau ujian mata pelajaran Ekonomi/Akuntansi cukup memerlukan keterampilan berpikir intelektual tingkat tinggi dari siswa.
Dalam banyak hal, para siswa menilai bahwa mata pelajaran Sosiologi dan Antropologi merupakan dua mata pelajaran yang banyak tumpang tindihnya dan tidak memiliki batas pengertian yang tegas. Pada keduanya, siswa belajar tentang hubungan masyarakat dan kebudayaan dan menjadikan masyarakat dan kebudayaan Indonesia sebagai objek kajian utama. Apa yang dipahami siswa tentang hubungan antara masyarakat dan kebudayaan ini kemudian adalah bahwa tidak ada masyarakat tanpa kebudayaannya dan tidak ada kebudayaan yang tidak didukung oleh kelompok masyarakatnya.
Dengan pandangan seperti itu, mata pelajaran Sosiologi dan Antropologi bagi para siswa tidak lebih dari pengetahuan sosial (pengetahuan umum) tentang masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang sudah dialami dalam kehidupan sehari-hari. Namun, karena banyaknya terminologi baru yang diberikan kepada siswa menyebabkan pelajaran ini menjadi pelajaran hafalan tentang konsep-konsep yang terkait dengan Sosiologi dan Antropologi, seperti: status sosial, stratifikasi sosial, diferensiasi sosial, komunikasi, keluarga batih, keluarga luas, kekerabatan, virus n-Ach, vested interest, prasangka, penetrasi, evolusi sosial dan budaya, akulturasi budaya, asimilasi kebudayaan, difusi kebudayaan, simbiotik mutualistik, komensalistik, akomodasi, konsiliasi, konflik sosial dan budaya, inovasi, etos kerja, dan sejenisnya (Garna, 1996; Mulder, 2003). Sekali lagi, pendekatan behavioristik telah gagal membuat siswa dapat belajar secara bermakna.
mengapa bisa terjadi kondisi ketatanegaraan di Indonesia seperti dewasa ini, apalagi diharapkan untuk memberikan alternatif-alternatif solusi untuk pemecahan masalahnya.
Dari berbagai penjelasan tentang persepsi siswa terhadap pendidikan IPS di atas, betapa dapat dirasakan begitu memprihatinkannya status pendidikan IPS di sekolah yang diimplementasikan berdasarkan harapan kurikulum seperti di atas. Penekanan pembelajaran IPS yang hanya berorientasi pada pengetahuan tingkat rendah telah menjadikan pengetahuan IPS tidak bermakna bagi siswa, dan, karena itu, juga tidak menantang siswa untuk menjadikan pembelajaran IPS lebih powerful (NCSS, 2000).
Dari segi penguasaan pengetahuan dan wawasan sosial, Pendidikan IPS melalui pembelajaran ilmu-ilmu sosial seperti di atas dinilai siswa hanya memberikan pengetahuan fakta-fakta dan konsep sosial yang relevan dengan mata pelajaran, tetapi tidak seluruhnya relevan dengan dunia pengalaman para siswa. Dalam bahasa belajar bermakna, pengetahuan seperti itu kurang mampu membentuk struktur pengetahuan sosial yang utuh yang memberikan atau membentuk skema yang fungsional bagi siswa (Ausubel, Novak, dan Hanesian, 1978). Pembentukan pengetahuan fakta-fakta dan konsep-konsep yang terlepas-lepas juga membutuhkan sistem memori harus selalu aktif, yang jika tidak pernah dipanggil lagi dalam jangka waktu yang lama menyebabkan informasi menjadi hilang terlupakan (Gredler, 1992). Akibatnya, siswa sesungguhnya tidak mampu mengaplikasikan konsep-konsep yang telah dipelajari dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dari segi misi pendidikan nilai-nilai dan moral, Pendidikan IPS secara kurikuler seperti di atas juga tidak mampu mengembangkan kemampuan penalaran nilai dan moral yang otonom kepada siswa. Hal ini tidak saja karena siswa tidak pernah diberdayakan dalam kemampuannya mengembangkan penalaran nilai dan moral serta dalam membuat keputusan-keputusan nilai secara rasional dan otonom, tetapi juga karena pesan-pesan nilai yang diajarkan guru melalui sistem pemberian informasi nilai cenderung membuat siswa terikat kepada tradisi-tradisi, sistem norma, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat yang dianggap sudah mapan (bandingkan dengan Coombs, 1971; Coombs dan Meux, 1971). Dengan begitu yang diharapkan hanyalah ketaatan siswa kepada sistem nilai dan norma yang sudah ada. Kenyataannya, pendidikan nilai seperti ini telah menimbulkan banyak konflik nilai pada diri siswa, karena dalam realitas masyarakat banyak sistem nilai dan norma yang dilanggar oleh masyarakat sendiri.
kenyataannya siswa merasakan bahwa mereka sangat miskin dari pengalaman-pengalaman pengembangan keterampilan-keterampilan sosial yang berguna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Praktik Pendidikan IPS secara kurikuler seperti di atas menyiratkan bahwa praktik pendidikan sosial secara kurikuler cenderung lebih dipengaruhi oleh perspektif filosofis guru yang lebih berorientasi perenialisme dan esensialisme dan kurang berdasar pada perspektif rekonstruksionisme. Hal ini karena Pendidikan IPS lebih diharapkan mendidik generasi muda dengan memberikan bekal-bekal pengetahuan dan nilai-nilai dasar yang fundamental untuk dapat selaras dengan kehidupan sosial dan budaya yang telah mentradisi di masyarakat. Dengan begitu kurang menjadikan Pendidikan IPS sebagai sarana pendidikan untuk memberdayakan generasi muda memiliki kemampuan reflektif dan kreatif dalam melakukan perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat (Oliva, 1992; O’neil, 2001; Somantri, 2001; Van Scotter, et al., 1985).
B. Materi Pendidikan IPS di Sekolah dan Image Kehidupan Sosial yang Ditimbul-kannya
terhadap substansi materi buku teks Pendidikan IPS akan membantu memberikan gambaran citra kehidupan sosial tersebut.
1. Materi Pendidikan Sejarah
Materi pendidikan Sejarah di SMU Negeri 1 Ubud, seperti juga materi Sejarah di SMU yang lain berdasarkan kurikulum 1994 yang disempurnakan tahun 1999, dimulai dari deskripsi masyarakat Indonesia prasejarah yang dimulai dari zaman batu awal sampai zaman besi. Dengan cukup dominan pendekatan faktual yang digunakan, siswa disuguhkan daftar panjang fakta-fakta tentang artefak prasejarah hingga kehidupan budaya, sistem kepercayaan, dan sistem sosial manusia prasejarah (Kamarga dan Kusmarni, 1996).
Selanjutnya kepada siswa diberikan materi pokok bahasan peradaban kuno di Asia dan Afrika serta Eropa dan Amerika. Dari segi penyajiannya, materi kedua pokok bahasan ini cenderung bersifat faktual juga, sehingga sedikit sekali menjelaskan makna peradaban yang dikatakan justru sangat tinggi kualitasnya. Terkesan, kedua pokok bahasan ini merupakan perbandingan sejarah peradaban kuno antara yang terdapat di Indonesia dan yang terjadi di benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Sayangnya, karena pendekatan yang bersifat faktual, informasinya menjadi terlepas-lepas kurang bermakna.
Cara pemaparan fakta-fakta seperti di atas juga hampir sama dengan penyajian materi tentang “Pertumbuhan, Pemekaran, dan Penyebaran Islam di Indonesia”. Mula-mula ditekankan tentang cepatnya perkembangan, penyebaran, dan pengaruh Islam di Indonesia, karena beberapa faktor alasan baik internal maupun eksternal (Badrika, 2000).
Selanjutnya, dijelaskan segi-segi politik, ekonomi, sosial, dan budaya kerajaan-kerajaan Indonesia yang bersifat Islam. Tidak banyak penalaran dan pesan sejarah yang dijelaskan di sini kecuali bahwa kerajan-kerajaan Islam ada yang berkembang sebagai kerajaan agraris, seperti Mataram, dan kerajaan maritim seperti Malaka, yang masing-masing tentu memberikan karakteristik segi-segi politik, ekonomi, sosial dan budaya kerajaan-kerajaan tersebut, walau penalarannya kurang memuaskan (Badrika, 2000).
Pada pelajaran Sejarah kelas dua, materi Sejarah tampak mulai lebih bermanfaat bagi siswa terutama dalam mengembangkan semangat nasionalisme yang mungkin diperlukan untuk menghadapi tantangan nasionalisme di era global. Dalam hal ini sejarah merupakan pelajaran sejarah kebudayaan di mana gagasan-gagasan sosial dan kebudayaan menunjukkan interalasinya dalam peristiwa sejarah yang patut dipelajari, walau penalaran sosialnya masih harus diakui berkadar rendah (Badrika, 2000; Mulder, 2003).
Diawali oleh Perkembangan dan Perluasan Kekuasaan Bangsa-bangsa Eropa yang mengajarkan konsep-konsep reformasi, merkantilisme, serta revolusi sosial dan industri di Eropa, ini membawa konsekuensi hubungan imperialisme dan dominasi kekuasaan penjajahan yang terjadi di Indonesia oleh bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda, dan Inggris yang dijelaskan secara faktual juga (Badrika, 2000).
Dengan agak mengabaikan periodesasi dalam sejarah, materi berikutnya yang dijelaskan adalah Perkembangan Berbagai Paham Baru dan Pergerakan Nasional Indonesia. Pada bagian ini cukup detail dijelaskan sejarah pertumbuhan dan perkembangan nasionalisme Asia-Afrika walau tidak begitu jelas logikanya sebagai sejarah sosial bagaimana hubungan semua hal tersebut dengan munculnya perang dunia pertama dan kedua sampai berdirinya PBB dengan segala detail faktanya dalam kaitannya dengan tumbuh dan berkembangnya pergerakan nasional di Indonesia (Badrika, 2000; Mulder, 2003).
kesadaran diri, sosial, dan nasional; Islam sebagai pemersatu yang agak kurang jelas penalarannya; bahasa Melayu sebagai lingua franca; dominasi ekonomi kaum keturunan Cina; perkembangan media komunikasi dan transportasi; perkembangan politik etis yang melahirkan Volksraad sebagai tempat bersatunya kaum intelektual untuk menuntut cita-cita nasional; dan tentunya juga pengaruh perkembangan nasionalisme di Asia.
Selanjutnya, dijelaskan detail tumbuh kembangnya berbagai organisasi, keinginan dan tuntutan mereka, dan kedudukannya di hadapan pemerintah kolonial yang mewujudkan semangat menuntut cita-cita nasionalisme, yakni kemerdekaan Indonesia, dari organisasi Budi Utomo sebagai perintis hingga berdirinya Gabungan politik Indonesia (GAPI). Ada pula sedikit pembagian fase-fase bangkitnya nasionalisme dalam sejarah pergerakan nasional walau tidak cukup penjelasan bagaimana fase-fase ini dikembangkan, yaitu: fase tumbuhnya nasionalisme sosial dan kebudayaan (1900-1912), nasionalisme politik (1912-1921), nasionalisme militan (1921-1926), nasionalisme politik radikal (1926-1933), nasionalisme moderat (1933-1941), dan nasionalisme pendudukan Jepang (1942-1945) (Badrika, 2000; Mulder, 2003).
Dua pokok bahasan berikutnya merupakan materi sejarah yang paling menentukan dalam era kemerdekaan Indonesia, yaitu masa Pendudukan Jepang dan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Upaya Menegakkan Kedaulatan. Cerita sejarah yang paling ditonjolkan pada materi ini adalah penderitaan rakyat Indonesia yang amat sangat pada masa pemerintahan Jepang yang sangat antagonis dengan janji-janji muluk Jepang sebagai saudara tua di Asia, tetapi di sisi lain setiap kesempatan yang diperoleh rakyat, terutama generasi muda, dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menuntut dan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia (Badrika, 2000).
Selanjutnya sejarah Indonesia memasuki fase sejarah yang paling menentukan nasib bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejarah ini lebih merupakan sejarah politik, ketatanegaraan, dan agresi militer dari pada yang bersifat sejarah kebudayaan (Badrika, 2000).
sesungguhnya adalah Indonesia yang mengalami krisis multi dimensi. Sayangnya, tidak satupun materinya menggarap keadaan krisis secara mendasar dan bagaimana siswa dapat belajar dari situasi krisis untuk mengatasi masalah.
Materi selanjutnya memberikan pemahaman kepada siswa tentang kehidupan global yang mempengaruhi kebijakan nasional melalui konsep tatanan dunia baru. Informasinya cukup detail tentang perkembangan politik dan ekonomi dunia serta munculnya berbagai organisasi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan militer antar negara baik yang bersifat kepentingan regional maupun internasional dalam perjalanan menata dunia baru. Sayangnya, sedikitpun tidak disentuh apa makna kehidupan global bagi Indonesia, baik yang menjelaskan peranan Indonesia di dunia internasional maupun dampak yang diambil Indonesia atas kehidupan global.
Pelajaran sejarah ditutup dengan satu materi tematik tentang Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Masalah Lingkungan Hidup. Satu pelajaran yang menarik bagi siswa karena siswa tidak terlalu terikat pada kronologi dan peristiwa sejarah, dan siswa mendapatkan konsep-konsep penting yang menunjukkan masyarakat dan bangsa Indonesia telah mengembangkan dan memanfaatkan serta memecahkan masalah-masalah dalam kaitannya dengan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi: satu bentuk kehidupan masyarakat berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi (Badrika, 2000).
Dari pemaparan materi pelajaran sejarah seperti di atas, tampak bahwa pelajaran sejarah ingin memberikan kepada siswa pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia di masa lalu dengan konteks kehidupan masyarakat di lain tempat yang melingkupinya sebagaimana dapat diinterpretasi oleh sejarawan. Pelajaran sejarah dengan begitu seakan-akan membawa siswa ke sebuah perjalanan ke masa lalu yang berbeda dengan kehidupan masyarakat Indonesia sekarang, dan mengetahui bahwa apa yang terjadi sekarang ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dengan apa yang terjadi di masa lalu (Stopsky dan Lee, 1994).
Ada konsep-konsep esensial yang ingin ditanamkan kepada siswa melalui pelajaran sejarah seperti di atas, yaitu konsep tentang waktu, kronologi peristiwa, serta konsep kelangsungan dan perubahan (continuity and change). Dengan kata lain dapat diasumsikan bahwa “perilaku-perilaku di masa lalu pada dasarnya dapat dimengerti dan analog dengan situasi kehidupan sekarang” (Stopsky dan Lee, 1994:293).
dipadukan sedemikian rupa sehingga membentuk deskripsi atau narasi yang interpretasinya bersifat tunggal, sehingga masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa lalu dipahami siswa juga dalam dimensi kebenarannya yang tunggal.
Penjabaran materi sejarah yang bersumber pada satu buku teks seperti di atas, dengan demikian, tidak memberikan kesempatan kepada siswa turut memberikan tafsir atas kejadian masa lalu, sehingga bersifat top down. Ini lepas dari hakikat belajar sejarah di mana interpretasi dan penemuan hubungan sebab akibat atas kejadian di masa lalu sesungguhnya adalah bersifat multiperspektif (Stopsky dan Lee, 1994).
Karena sifat interpretasinya yang tunggal, dimensi warisan budaya yang hendak diturunkan kepada siswa juga cenderung mengacu kepada warisan budaya nasional yang patriarkhi (Stopsky and Lee, 1994). Para sejarawan dan guru sejarah yang biasa terlatih dengan pandangan nasionalisme ini jadi mengabaikan peran-peran masyarakat lokal atau kelompok-kelompok minoritas dalam membentuk sejarah bangsa.
Materi seperti di atas jelas mengandung bias dari segi misi pencapaian tujuan Pendidikan IPS sebagai wahana pendidikan demokrasi (Winataputra, 2001). Penggunaan interpretasi sejarah yang bersifat tunggal, di samping dapat menjajah struktur kognitif siswa dalam belajar yang beresiko pada model belajar hafalan, juga dapat menempatkan siswa pada kedudukan subordinasi. Hal ini dapat membatasi kesempatan-kesempatan siswa memberikan interpretasi makna pada peristiwa-peristiwa masa lalu sesuai dengan dunia pengalamannya. Belajar sejarah seperti ini menjadi kurang bermakna.
2. Materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
pendidikan nilai-nilai Pancasila. Sementara itu buku pedoman materi utama PPKn yang digunakan guru-guru PPKn adalah buku-buku dari penerbit seperti Ganeca dan Erlangga.
Dengan persepsi guru-guru seperti itu materi pelajaran PPKn tidak bisa dihindarkan dari pengulangan yang membosankan di mana siswa harus mempelajari topik-topik tentang nilai-nilai Pancasila di seputar topik-topik-topik-topik inti seperti keyakinan, toleransi beragama, ketaatan, kepatuhan, kerukunan, keadilan, kerja sama, dan sejenisnya.
Pemaparan materi di atas menunjukkan bahwa PPKn lebih dimaknai guru-guru sebagai pendidikan nilai yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Secara tersirat ada kesan juga bahwa PPKn adalah wahana pendidikan politik, pendidikan kesadaran hukum, pendidikan demokrasi, dan sebagai pendidikan sosial (lihat Somantri, 2001). Hanya saja, dengan lebih menekankan pada nilai-nilai yang bersubstansi P4, PPKn lebih menonjolkan sifat pendidikan nilai dan pendidikan moral berbangsanya.
Sebagai wahana pendidikan nilai-nilai dan moral, materi PPKn di atas terstruktur dalam sistem pengetahuan nilai-nilai yang terrefleksi dalam tindakan-tindakan normatif bernuansa nilai-nilai ideal, nilai instrumental, dan nilai praksis walaupun ketiga struktur nilai-nilai di atas tidak dipisahkan secara jelas. Di sinilah nilai-nilai Pancasila sebagai nilai-nilai dasar ideal dan jabaran nilai-nilai P4 sebagai nilai-nilai instrumentalnya menjadi basis pendidikan nilai dalam PPKn.
Sayangnya, sebagai pendidikan nilai, materi PPKn seperti di atas tidak dimaksudkan untuk memberikan siswa kemampuan melakukan analisis nilai dan membuat keputusan nilai secara rasional dan otonom (Suparno, dkk., 2002). Di sini nilai-nilai dasar ideal dan nilai-nilai instrumental serta nilai-nilai praksisnya sudah dipandang sebagai produk yang baku yang siap diaplikasikan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian interpretasi nilai-nilai dalam kehidupan sosial juga bersifat tunggal. Bahkan interpretasi tunggal ini tidak semata-mata berasal dari guru atau pengarang buku, melainkan secara filosofis dan ideologis menjadi kekuasaan negara untuk menginterpretasikannya. Dalam kenyataan pembelajaran, guru dan pengarang mewakili kehendak negara dalam menentukan bagaimana cara nilai-nilai itu dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia.
landasan filosofi pendidikan perenialisme dan esensialisme telah menjadi basis pengembangan materi PPKn. Pendidikan nilai seperti ini jelas memasung perkembangan pendidikan demokrasi yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk bersama-sama masyarakat melakukan perubahan sosial secara kritis dan reflektif dari tekanan-tekanan kelompok status quo.
3. Materi Tata Negara
Pelajaran Tata Negara hanya diperoleh siswa jurusan IPS pada kelas III selama dua semester terakhir. Pelajaran ini cenderung mengajarkan siswa pengetahuan tentang negara, warga negara, dan hubungan negara dan warga negara, serta masalah-masalah politik dan hukum ketatanegaraan pada umumnya serta pengetahuan ketatanegaraan dan hukum ketatanegaraan Indonesia pada khususnya. Sebagian kecil materi pelajaran ini bersinggungan dengan materi pelajaran Sejarah dan PPKn, khususnya yang menyangkut tinjauan historis ketatanegaraan Indonesia, tata hukum negara Indonesia, demokrasi Pancasila, serta organisasi dan kerja sama internasional. Namun dalam pembelajaran, pelajaran Tata Negara ini cenderung murni bersifat pengetahuan dengan mengabaikan aspek nilai-nilai dan sikap serta keterampilan kewarganegaraan siswa. Guru Tata Negara pun cenderung mengajarkannya melalui ceramah dan pemberian beberapa tugas dengan pendekatan pemberian materi bersifat konseptual. Keadaan ini menurut guru Tata Negara banyak disebabkan oleh objek negara yang dipelajari dalam Tata Negara cenderung dalam sifatnya yang statis. Sementara itu, siswa tidak diwajibkan untuk memiliki buku pegangan siswa. Buku pegangan utama yang digunakan guru adalah Tata Negara karya Affandi (1997) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pelajaran Tata Negara ini dimulai dengan memberikan materi tentang Negara yang mencakup Pengertian Ilmu Negara dan Ilmu Tata Negara, Pengertian dan Sifat Hakikat Negara, Asal Mula Terjadinya Negara, serta Tujuan dan Fungsi Negara. Pemberian materi pertama yang bersifat konseptual seperti ini menyebabkan pelajaran Tata Negara menjadi kurang kritis, karena siswa menjadi cenderung menghafalkan konsep dari pada berupaya memahami dan mengevaluasinya secara kritis.
Dengan cara yang sama guru juga menjelaskan materi tentang Unsur-unsur Negara. Dijelaskan bahwa setiap negara memiliki empat unsur pokok, yaitu: adanya rakyat; wilayah yang dapat terdiri dari wilayah daratan, lautan, udara, dan wilayah ekstrateritorial; adanya pemerintahan yang berdaulat; dan adanya pengakuan negara lain. Selanjutnya, negara dapat mengambil bentuk negara kesatuan dan negara serikat, sedangkan pemerintahan dapat mengambil bentuk-bentuk, yang secara klasik dibagi menjadi monarki, aristokrasi, oligarki, polity, dan demokrasi; dan secara modern dibagi menjadi bentuk kerajaan (monarki absolut, konstitusional, dan parlementer) serta republik oleh rakyat dan parlementer (Affandi, 1997:13-26).
Demokrasi sebagai salah satu bentuk pemerintahan, dalam hal ini, agak dijelaskan secara panjang lebar. Dijelaskan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat yang dijelmakan ke dalam sebuah lembaga perwakilan rakyat. Menurut paham demokrasi modern, demokrasi mengakui pendapat rakyat dalam pemerintahan perwakilan, sehingga disebut demokrasi perwakilan. Dijelaskan pula di sini tanpa rasional yang jelas tentang perbedaaan sistem pemerintahan parlementer dan presidetil. Pemilu sebagai sarana pemilihan anggota badan-badan perwakilan juga mendapatkan proporsi penjelasan. Akhirnya, sebagai bagian integral dari sistem pemerintahan demokrasi dijelaskan pula makna referendum yang dibedakan antara referendum wajib dan referendum fakultatif ( Affandi, 1997:27-32).
Materi tentang Kekuasaan Negara, Negara Hukum, dan Hak Asasi Manusia dijelaskan dengan sangat ringkas. Kekuasaan negara dalam hal ini diartikan sebagai kemampuan negara untuk mempengaruhi rakyat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh negara. Dijelaskan pula bahwa dalam setiap masyarakat struktur kekuasaan itu berbentuk piramida. Sekelompok orang yang jumlahnya sedikit memiliki kekuasaan atas orang yang jumlahnya jauh lebih besar (Affandi, 1997).
Kekuasaan negara tidaklah bersifat absolut; karena itu kekuasaan negara juga perlu dibatasi dan harus dapat menjamin hak-hak dan kebebasan individu warga negara. Untuk itu, umumnya kekuasaan negara ditentukan dalam konstitusi negara. Konstitusi haruslah dapat menjamin pengaturan hak-hak azasi manusia dan warga negara, pengaturan ketatanegaraan yang fundamental, dan mengatur tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara (Affandi, 1997).
mengalami perkembangan dari negara hukum material menjadi negara hukum formal. Dalam negara hukum formal, unsur-unsur hukum dalam negara mengatur: perlindungan terhadap hak azasi manusia, pembagian atau pemisahan kekuasaan, tindakan pemerintah didasarkan pada peraturan perundang-undangan, dan adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri. Dengan pengertian tersebut, maka negara hukum menjalankan prinsip-prinsip negara hukum yang disebut the rule of law (Affandi, 1997).
Kajian negara yang masih bersifat umum adalah tentang Partai Politik dan Sistem Kepartaian. Topik materi ini masih terkait dengan konsep-konsep negara, pemerintahan , demokrasi, dan hak-hak azasi manusia (Affandi, 1997:41-48).
Selanjutnya, materi Tata Negara memasuki fase aplikasi konsep-konsep kenegaraan yang telah dipelajari secara umum di depan ke konsep-konsep aplikasinya pada fenomena negara dan pemerintahan di Indonesia. Bagaimanapun aplikasi konsep-konsep ini dianggap penting untuk mengajarkan siswa ke pemahaman ketatanegaraan dan pemerintahan di Indonesia. Konsep-konsep besar yang disajikan antara lain Ketatanegaraan Indonesia dalam dimensi Historis dan Yuridis Ketatanegaraan, Tata Hukum Negara RI, Demokrasi Pancasila, dan Kewarganegaraan Indonesia.
Begitu pula materi-materi Tata Negara yang terkait dengan Hubungan Internasional, Organisasi dan Kerja Sama Internasional, serta Masalah Regional dan Internasional sangat tumpang tindih dengan materi pelajaran Sejarah di kelas III tentang Perkembangan Tata Hubungan Dunia setelah Perang Dunia II yang menjelaskan status dan peranan Indonesia dalam percaturan politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan Indonesia di dunia internasional. Beberapa materi PPKn sebagai implementasi konsep dan nilai-nilai sila kedua Pancasila juga banyak membahas materi-materi konsep ini, sehingga materi Tata Negara ini tampak sebagai pengulangan konsep-konsepnya saja.
Akhirnya, dijelaskan pula tentang materi Perjanjian Internasional. Perjanjian internasional adalah perjanjian atau kesepakatan yang diadakan oleh dua negara atau lebih selaku subjek hukum internasional, dan bertujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Perjanjian internasional ini dapat mengambil beberapa bentuk, yaitu traktat, konvensi, persetujuan, protokol, piagam, deklarasi bersama, modus vivendi, dan memorandum of understanding (MOU).
4. Materi Sosiologi
Hampir sama dengan mata pelajaran Tata Negara, guru tidak mewajibkan siswa memiliki buku teks utama penuntun belajar Sosiologi, walau beberapa siswa ada yang memilikinya. Guru Sosiologi pun bukanlah guru yang memang memiliki spesialisasi sebagai guru Sosiologi, melainkan guru PKK yang diminta kepala sekolah untuk turut memberikan pelajaran Sosiologi. Dari latar seperti ini tampaknya wajar jika mata pelajaran Sosiologi menjadi pelajaran mencatat dan menghafalkan fakta-fakta dan konsep-konsep Sosiologi yang diberikan guru sesuai dengan buku pegangan yang dijadikan dasar memberikan ringkasan kepada siswa. Pelajaran ini dimulai dengan mencatatkan siswa tentang beberapa pengertian sosiologi yang kemudian disimpulkan menjadi ilmu yang mempelajari tentang jaringan hubungan sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, pelajaran Sosiologi dimaknai sebagai kumpulan pengetahuan tentang masyarakat. Objek Sosiologi dengan demikian adalah kehidupan masyarakat. Sementara itu masyarakat didefinisikan sebagai kesatuan kehidupan manusia yang saling berinteraksi diikat oleh satu sistem sosial budaya tertentu, yaitu adat istiadat atau tradisi-tradisi yang dilaksanakan bersama secara berkesinambungan, dan karenanya memberikan ciri identitas kebersamaan dari kesatuan masyarakat tersebut (Koentjaraningrat, 2001).
Dikatakan lebih lanjut bahwa Sosiologi sangat penting artinya bagi siswa. Sosiologi mengajarkan kepada siswa bagaimana manusia harus hidup dalam masyarakat yang terus berkembang menjadi masyarakat yang kompleks. Dianjurkan, sesuai dengan misi mata pelajaran Sosiologi dalam persepsi guru, hidup dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompleks haruslah selalu mentaati nilai-nilai, norma-norma, dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
masyarakat, dan ketika aksi tersebut berinteraksi dengan tindakan orang lain maka akan timbul tindakan sosial.
Interaksi terjadi karena adanya kebutuhan untuk bersatu sebagai makhluk sosial dan memenuhi kebutuhan afeksi, inklusi, dan kontrol. Interaksi itu dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, dan antar kelompok. Interaksi dapat terjadi jika dua orang atau lebih melakukan komunikasi karena adanya tujuan-tujuan tertentu dan komunikasi itu berpola: adanya tujuan yang jelas, berguna atau bermanfaat, dan sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Di dalam masyarakat interaksi sosial dapat berupa proses identifikasi, imitasi, sugesti, motivasi, simpati,dan empati, bahkan dalam bentuk konflik.
Materi berikutnya adalah tentang Nilai dan Norma Sosial. Materi ini ingin mengajarkan kepada siswa bahwa dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, manusia memiliki standar-standar kehidupan yang dianggap benar, baik, luhur, mulia, berguna, atau bermanfaat. Gagasan ini mengantarkan manusia pada nilai-nilai yang mendasari sikap dan tindakannya dalam interaksi sosialnya di masyarakat, yaitu apa yang dianggap benar, baik dan berguna. Apa yang dianggap bermanfaat atau bernilai itu sesungguhnya bersumber dari kebutuhan manusia, yang sudah dibagi-bagi ke dalam kebutuhan material, sosial, dan spiritual. Sebagai contoh, manusia membutuhkan rasa aman, tertib, berhubungan dengan orang lain, dapat mengaktualisasikan diri dalam masyarakat, dan kebutuhan untuk berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai dalam masyarakat itu sendiri bersifat abstrak. Ia berupa gagasan-gagasan tentang apa yang dianggap berharga atau tidak berharga, berguna atau tidak berguna, baik atau buruk, benar atau salah, indah atau tidak indah, hemat atau royal, dan sebagainya.
Nilai-nilai yang bersifat ideal dan abstrak tadi dalam realitas kehidupan sosial masyarakat terwujud dalam norma-norma sosial, yaitu aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang mengatur tata laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan cenderung bersifat memaksa melalui penerapan sanksi-sanksinya dalam rangka mewujudkan nilai-nilai sosial yang mendasarinya. Norma-norma sosial itu antara lain norma agama, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma kebiasaan atau adat/istiadat (tradisi adat) atau norma kesopanan.
menjelaskan ciri-ciri dan sifat, menjelaskan sederet fungsi, dan beberapa deskripsi kecil yang tidak terlalu signifikan maknanya. Pengajaran seperti ini seperti sudah dapat diduga tidak dapat menimbulkan daya kritis dan rasional siswa dan tidak menjadikan teori sosiologi berguna dalam memahami realitas fenomena sosial yang kompleks. Akibatnya, siswa hanya memahami Sosiologi sebagai pengetahuan untuk menggambarkan masyarakat.
Di kelas III, sebagai salah satu mata pelajaran jurusan IPS, materi Sosiologi diarahkan sebagai aplikasi konsep-konsep Sosiologi bagi upaya menganalisa secara kritis persoalan-persoalan masyarakat dan pembangunan di Indonesia. Untuk ini materi dimulai dari Stratifikasi dan Diferensiasi Masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah proses evolusi, stratifikasi dan diferensiasi sosial dijelaskan awalnya pada karakteristik masyarakat pedesaan dengan kegiatan ekonominya.
Kehidupan modern juga telah mengubah struktur stratifikasi sosial pada masyarakat Indonesia. Pendidikan, keberhasilan ekonomi, dan perjuangan politik telah membentuk stratifikasi sosial yang baru, antara lain telah menyebabkan orang-orang yang berpendidikan tinggi dan profesional, pengusaha-pengusaha yang sukses dan makmur, dan elit-elit politik dan pemerintahan tampak hidup dalam kelas atau stratifikasi sosial yang tinggi; sementara golongan menengahnya berasal dari pegawai negeri, karyawan, TNI, pengusaha kelas menengah, dan tokoh-tokoh masyarakat; dan golongan kelas bawahnya adalah kelompok petani kecil, buruh/pekerja, nelayan, dan sejenisnya..
Diferensiasi sosial yang lain dijelaskan dari dimensi keberagaman masyarakat Indonesia yang beragam agama, suku, ras, adat istiadat, daerah, dan kebudayaannya. Kondisi ini rawan konflik karena kurang kuatnya nasionalisme budaya, di samping karena adanya sikap primordialisme dan berkembangnya politik aliran.
Konflik ideologi, agama, suku, hubungan pusat dan daerah, perseteruan partai politik, dan konflik kelas tetap berlangsung hingga kini. Indonesia memang negara yang kompleks. Kita masih bersyukur nilai-nilai Pancasila masih dijadikan dasar negara dan pandangan hidup bangsa.
telah mengalami perubahan sosial, tetapi dari kaca mata anti perubahan, perubahan sosial ini diasumsikan sebagai perpecahan, disintegrasi sosial, dan penyelewengan dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Kesalahan konseptual seperti ini muncul karena perubahan sosial dianalisis dari sifat pribadi dan budaya dengan mengabaikan faktor dinamika perubahan struktural. Hal ini memang dirahasiakan agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan.
Selanjutnya dijelaskan tentang Ciri-ciri Masyarakat Tradisional dan Modern. Mula-mula dijelaskan tentang konsep masyarakat, kemudian, dan yang aneh, masyarakat tradisional itu dianggap karakteristik masyarakat yang ideal, sedangkan masyarakat modern adalah masyarakat yang telah mengalami degradasi nilai-nilai sosial. Sekali lagi makna orientasi nilai-nilai budaya dijadikan sifat analisis kajian masyarakat. Dasarnya memang perbedaan ciri-ciri dan sifat gemeinschaft dan gesselschaft.
Sampailah kemudian pada Modernisasi Masyarakat Indonesia. Ini berarti ada perubahan sosial di Indonesia. Melalui proses pembangunan jangka panjang yang terencana, perubahan sosial melalui pembangunan terutama dilakukan pada modernisasi sektor pertanian yang berpengaruh pula pada pengembangan sektor industri dan menimbulkan urbanisasi. Tetapi dengan mengutip pendapat Koentjaraningrat, modernisasi dimaksudkan sebagai usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang. Modernisasi kemudian didefinisikan sebagai suatu transformasi total dari kehidupan bersama dengan organisasi sosial dan teknologi yang tradisional ke sistem ekonomi dan politik yang terencana dan sistematis yang disebut dengan social planning.
Akhirnya, kepada siswa juga dijelaskan materi tentang cara melakukan penelitian sosial yang sesungguhnya gurunya sendiri tidak bisa dan tidak pernah melakukan penelitian. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kesalahan konsep telah terjadi. Siswa hanya diberikan prosedur penelitian sosial secara ceramah dan tidak ada model yang dapat ditunjukkan guru. Jadi, sesungguhnya sama saja siswa juga akhirnya tidak memahami apa itu penelitian sosial.
Dari pemaparan materi Sosiologi seperti di atas, jelas sekali tampak bahwa Sosiologi dalam mempelajari masyarakat dalam interaksi sosialnya yang menumbuhkan sistem nilai dan norma untuk mempertahankan kebudayaannya lebih menonjolkan perspektif fungsionalismenya dari pada peran perspektif-perspektif teori lainnya (Mulder, 2003; Ritzer and Goodman, 2004).
sistemnya dapat dibuat mekanis dengan melihat hubungan antar konsep yang terlepas-lepas. Dengan demikian, dalam pandangan guru, belajar sosiologi cukup hanya dengan menghafalkan konsep-konsep yang hubungan-hubungannya bersifat fungsional juga. Interpretasi tentang eksistensi masyarakat dan belajar yang bersifat tunggal seperti ini jelas tidak mampu membuat siswa aktif, kritis dan kreatif untuk menganalisis persoalan-persoalan hidup di masyarakat yang makin kompleks dan berdimensi ganda. Tidakkah, misalnya, struktur masyarakat itu memiliki hubungan-hubungan yang tersembunyi dengan pemilikan modal kekuasaan (ekonomi, sosial, budaya, dan simbol) budaya kelas, kebiasaan-kebiasaan, dan sistem nilai yang akhirnya justru menciptakan sistem ketidakadilan yang harus diperjuangkan (Bourdieu dalam Garner, 2000:374-375).
5. Materi Antropologi
Mata pelajaran Antropologi yang diberikan pada kelas III dan hanya maksimal diberikan dalam satu semester diberikan oleh guru yang sama untuk mata pelajaran Sosiologi. Dengan tidak adanya bekal materi Antropologi yang memadai serta kurangnya pengalaman untuk mengajarkan mata pelajaran ini, karena gurunya berasal dari spesialisasi guru PKK, dapat dimaklumi jika di samping mata pelajaran ini menjadi kurang menarik diberikan guru, beberapa kesalahan konseptual juga terjadi. Guru sepertinya sama sekali tidak memiliki landasan teori-teori antropologi yang memadai dalam menjelaskan materinya, sehingga penyajian materi hanya bersifat pemberian penggalan-penggalan konsep-konsep yang terpecah-pecah tanpa makna.
Materi Antropologi dimulai dengan menjelaskan seputar nama dan kajian Antropologi serta tujuan-tujuan mengapa siswa diberikan mata pelajaran ini. Mata pelajaran ini disimpulkan sebagai mata pelajaran yang memberikan siswa pemahaman tentang kebudayaan manusia pada umumnya dan pemahaman tentang relativisme kebudayaan Indonesia, kaitannya dengan nasionalisme kebudayaan, dan menjelaskan faktor-faktor budaya dalam perkembangan masyarakat Indonesia.
sistem ideologi atau nilai budaya, sistem gagasan atau sistem budaya, sistem tindakan berpola atau sistem sosial, dan sebagai kebudayaan fisik. Keempat wujud kebudayaan ini dalam seluruh kebudayaan yang bersifat universal mengandung tujuh unsur kebudayaan, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.
Pokok bahasan Sistem Sosial Budaya selanjutnya memberikan makna kebudayaan sebagai satu sistem di bawah universalitas budaya. Pada pokok bahasan ini siswa diberikan daftar uraian yang cukup panjang tentang spesifikasi dari konsep-konsep, seperti: sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem peralatan atau teknologi, sistem bahasa, kesenian, dan sistem pengetahuan.
Di bawah pokok bahasan tentang Perubahan Sosial Budaya, siswa tampaknya diajak mengulangi lagi materi Sosiologi tentang Perubahan Sosial. Dijelaskan antara lain faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial budaya yang dapat dimulai dari dalam masyarakat dan kebudayaan itu sendiri maupun yang mulai dari luar.
Hal yang tetap saja membingungkan siswa adalah siswa tidak pernah diberi penalaran tentang spesifikasi dalam perubahan sosial budaya ini yang entah dari mana asalnya kepada mereka diberikan sejumlah daftar konsep-konsep kecil seperti: kemajuan, regresi, evolusi, revolusi, akulturasi, asimilasi, inovasi, dan difusi kebudayaan.
Siswa juga diberikan contoh-contoh perubahan sosial budaya yang sifatnya positif yang harus selalu menjadi bahan pelajaran dan pegangan bagi siswa. Perubahan sosial budaya yang positif dikriteriakan sebagai perubahan sosial budaya yang tetap mempertahankan nilai budaya luhur bangsa Indonesia. Landasannya adalah nilai-nilai agama, Pancasila, dan tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat. Perubahan sosial budaya yang positif adalah perubahan yang tetap menjaga ketertiban, keseimbangan, dan keharmonisan dalam masyarakat.
rapat-rapat resmi. Akhir cerita dari pokok bahasan ini adalah berbicara tentang pembangunan bangsa dan kebudayaan nasional.
Pokok bahasan berikutnya adalah tentang Evolusi Sosial Budaya. Di sini terutama dijelaskan tentang makna proses evolusi sosial budaya sebagai proses penyesuaian dengan keadaan dan lingkungan budaya yang baru. Proses evolusi ini dijelaskan dari pandangan mikroskopik dan makroskopik yang melahirkan pemahaman tentang proses berulang dalam evolusi budaya dan proses mengarah dalam evolusi kebudayaan (Koentjaraningrat, 2001).
Pokok bahasan terakhir yang dijelaskan adalah tentang Pola Adaptasi Budaya Beberapa Kelompok Indonesia. Tanpa ada teori yang jelas tentang pola adaptasi tersebut, yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah deskripsi etnografi beberapa kebudayaan di Indonesia yang sangat dangkal termasuk menjelaskan etnografi kebudayaan Bali, terutama yang berkaitan dengan sistem kekerabatan di Bali.
Hampir analog dengan materi pelajaran Sosiologi, penyajian materi pelajaran Antropologi kepada siswa juga cenderung fungsionalistik. Antropologi sebagai bidang ilmu, dalam hal ini, ditekankan pada kajiannya tentang kebudayaan manusia, dinamika, dan perkembangannya (Koentjaraningrat, 2001). Budaya dalam pengertian seperti ini mengabaikan dimensi-dimensi psikologis dan sosiologis dari dinamika dan perkembangan budaya (Mulder, 2003). Sebagai contoh, bagaimana, misalnya, proses budaya menunjukkan kompleksitas yang antagonis dalam hubungan-hubungan kekuasaan (power) dan perjuangan (struggle) antara kelas-kelas dengan budayanya yang dominan dan kelas yang didominasi (Giroux, 1981). Begitu pula, misalnya, bagaimana individu-individu dengan kepribadian tertentu sebagai aktor atau agen turut mempengaruhi cara pandang masyarakat tentang dunia dan lingkungannya dan selanjutnya juga dipengaruhi oleh sejarah (Giddens, dalam Garner, 2000: 384-390; Ritzer dan Goodman, 2004), sangat terabaikan dalam pengertian budaya yang struktural fungsional
6. Materi Ekonomi
Materi ekonomi di kelas satu dimulai dengan pokok bahasan tentang Masalah Ekonomi. Pada materi ini yang dibahas adalah inti masalah ekonomi dan masalah pokok dalam ekonomi. Inti masalah ekonomi bersumber dari kebutuhan manusia yang tidak terbatas berhadapan dengan sarana dan sumber-sumber pemenuhan yang terbatas atau langka yang memerlukan adanya pengorbanan ekonomi. Di samping itu ada pula masalah faktor produksi sebagai sumber ekonomi dan barang-barang pemenuhan ekonomi yang langka. Pada masalah pokok dalam ekonomi antara lain dijelaskan barang apa yang akan diproduksi masyarakat, bagaimana cara memproduksi, dan untuk siapa barang itu diproduksi. Hal ini tergantung pada pengenalan sistem ekonomi apakah tradisional, komando, atau sistem pasar. Permasalahan ekonomi seperti ini dipelajari dalam ilmu ekonomi. Sayangnya, siswa tidak memperoleh kesempatan yang kritis dalam memahami makna ilmu ekonomi dalam membahas permasalahan di atas, terutama dalam kaitannya pula dengan ilmu-ilmu sosial lainnya (Stopsky dan Lee, 1994), karena siswa hanya diajari definisi istilah dan pembagian ilmu ekonomi ke dalam ilmu ekonomi deskriptif, teori (ekonomi mikro dan makro), dan terapan.
Tidak jauh berbeda dari karakteristik pembelajaran definsi konsep seperti di atas, pada pokok bahasan berikutnya siswa juga diajarkan untuk menghafal konsep-konsep ekonomi yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, pelaku ekonomi, prinsip ekonomi, dan motif ekonomi. Kegiatan ekonomi hanya difokuskan pada kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi. Pelaku ekonomi diterangkan dalam konsep yang tidak bermakna, yaitu tentang konsumen, produsen, pemerintah, dan masyarakat luar negeri. Prinsip ekonomi juga hanya diterangkan dalam hafalan pengertian efisien. Sedangkan motif ekonomi diringkaskan ke dalam sebutan konsep, yaitu motif ingin dihargai, mempertahankan kelangsungan keluarga, melakukan pekerjaan sosial, memperoleh penghargaan dari masyarakat, mendapatkan kekuasaan ekonomi dan politik, dan mempunyai usaha sendiri. Pada bagian ini, hubungan antara kegiatan ekonomi dan motiv kegiatan bidang sosial yang lain memang dikaitkan. Tetapi, karena tinjauannya bersifat selintas, maka dukungan teori imu-ilmu sosial lainnya cenderung terabaikan. Apa yang dijelaskan hanyalah sekadar elaborasi contoh-contoh.