BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pergerakan Gigi Secara Ortodonti
Menurut Graber (2000), pergerakan gigi secara ortodonti pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pergerakan gigi secara fisiologis seperti migrasi atau erupsi gigi. Akan tetapi, selama perawatan ortodonti, gigi bergerak lebih cepat dibandingkan pergerakan selama gigi erupsi, sehingga penanda remodeling tulang terlihat lebih jelas dan lebih dapat diukur. Remodeling tulang yang terjadi pada perawatan ortodonti merupakan reaksi jaringan pendukung gigi terhadap tekanan yang diberikan.
Peristiwa remodeling tulang alveolar terjadi berdasarkan konsep resorpsi dan aposisi tulang secara terus menerus oleh osteoklas dan osteoblas. Tekanan yang diberikan pada gigi akan menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi sebagai stimulus perubahan seluler pada pergerakan gigi (Proffit, 2007). Peristiwa ini akan menyebabkan perubahan komposisi pada cairan sulkus gingiva (CSG) yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi prostaglandin dan berbagai sitokin mediator inflamasi (Khrisnan, 2006). Hal ini menjadikan CSG sebagai salah satu alat bantu diagnosa yang dapat digunakan untuk melihat perubahan seluler yang terjadi selama pergerakan gigi secara ortodonti .
Pergerakan gigi dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah usia dan kepadatan tulang (Graber, 2000), hormon, dan kondisi metabolisme tulang (Yee, 2007). Selain itu diketahui bahwa konsumsi obat-obatan, pemberian suplemen yang
mengandung hormon pertumbuhan juga akan mempengaruhi kecepatan pergerakan gigi (Varble, 2009).
Usia berperanan penting dalam perawatan ortodonti. Perawatan dengan piranti cekat dapat dimulai segera setelah foramen apikal terbentuk sempurna. Perawatan yang memerlukan modifikasi pertumbuhan dapat dimulai tanpa harus menunggu masa tumbuh kembang selesai, sementara apabila diindikasikan perawatan secara bedah, maka perawatan yang akan dilakukan haruslah menunggu hingga masa tumbuh kembang selesai. Pada anak perempuan, puncak pertumbuhan terjadi sesaat sebelum terjadi menarche, sementara pada anak laki-laki berjalan lebih lambat (Proffit, 2007).
2.1.1 Biomekanika pergerakan gigi
Pergerakan gigi terjadi akibat tekanan pada gigi. Tekanan ini akan direspon oleh gigi dan jaringan pendukungnya melalui reaksi biologis yang kompleks sehingga menyebabkan jaringan pendukung gigi mengalami remodeling. Ligamen periodontal memegang peranan penting dalam proses pergerakan gigi secara ortodonti karena kemampuannya dalam merespon kekuatan mekanik yang diterimanya akan menyebabkan adanya remodeling tulang alveolar sehingga memungkinkan gigi untuk bergerak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tekanan optimal yang dikenakan pada gigi akan menyebabkan daerah ligamen periodontal yang mengalami regangan akan terjadi aposisi tulang sedangkan pada daerah yang mengalami tekanan akan terjadi resorpsi tulang (Profit, 2007; Mulyani, 1994).
Berbagai teori mengenai pergerakan gigi telah banyak dikemukakan. Teori tekanan-regangan menyatakan bahwa pergerakan gigi terjadi akibat adanya aktivitas
osteoklastik pada sisi yang mengalami tekanan dan terjadi aktivitas osteoblastik pada sisi yang mengalami regangan. Pada teori ini, perubahan aliran darah pada ligamen periodontal terjadi akibat pemberian tekanan yang stabil yang menyebabkan gigi bergerak pada posisinya dalam ligamen periodontal untuk kemudian menekan suatu area dan meregang di daerah yang lain (Gambar 2.1). Aliran darah berkurang pada area dimana ligamen priodontal tertekan dan meningkat pada area dimana ligamen periodontal meregang. Tekanan dan regangan pada ligamen periodontal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi sebagai stimulus perubahan seluler pada pergerakan gigi. Secara garis besar yang terjadi menurut teori tekanan-regangan adalah adanya perubahan aliran darah karena terjadi tekanan pada ligamen periodontal, kemudian terjadi pembentukan atau pelepasan pesan kimia, dan terjadi aktivitas sel yang dipicu oleh perubahan kimia (Proffit dkk, 2007 ; Khrisnan, 2009).
Selain teori tekanan-regangan, teori lain mengenai pergerakan gigi adalah teori piezoelektrik. Piezoelektrik adalah suatu fenomena yang terlihat pada matriks inorganik yang berkristal, dimana deformasi struktur kristal akan menghasilkan suatu aliran listrik karena adanya perpindahan elektron pada kristal-kristal tersebut. Bila suatu daya dikenakan pada tulang sehingga menyebabkan tulang melengkung (bending), maka akan terlihat sinyal piezoelektrik. Teori piezoelektrik tidak dapat menjelaskan lebih dalam mengenai pergerakan gigi, karena jenis daya yang digunakan dalam merangsang pergerakan gigi secara ortodonti tidak menghasilkan tekanan yang menghasilkan sinyal listrik. Sebaliknya, teori tekanan-regangan lebih dapat menerangkan pergerakan gigi
secara ortodonti karena teori ini merupakan stimulus bagi diferensiasi seluler berdasarkan pesan kimiawi (Proffit, dkk, 2007).
A B
Gambar 2.1. Gambaran histologis jaringan periodontal saat diberikan tekanan mekanik. A. Ligamen periodontal dalam keadaan normal, B. Pemberian tekanan yang ringan akan menyebabkan ligamen periodontal mengalami konstriksi (Proffit, 2007)
Menurut sudut pandang klinis ortodonti, pergerakan gigi secara ortodonti terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase displacement, fase delay, dan fase acceleration and
linear. Fase pertama merupakan reaksi awal gigi terhadap daya yang diberikan dimana
reaksi akan terjadi dalam hitungan detik, dan mencerminkan pergerakan gigi yang terjadi diantara pergerakan viskoelastisitas ligamen periodontal. Fase kedua atau fase
delay ditandai dengan tidak adanya pergerakan secara klinis. Pada fase kedua ini tidak
terdapat pergerakan, namun terjadi remodeling secara luas pada semua jaringan pendukung gigi. Fase ketiga ditandai dengan pergerakan gigi secara cepat. Pergerakan gigi pada fase ini dimulai dengan adaptasi jaringan pendukung ligamen periodontal dan perubahan tulang alveolar (Huang, dkk, 2005).
Burstone (cit Sigh, 2007) membagi pergerakan gigi ke dalam 3 fase, yaitu fase inisial, fase lag, dan fase post-lag. Fase pertama dimulai segera setelah dilakukan
aplikasi daya dan ditandai dengan sedikit pergerakan gigi di dalam soketnya. Fase ini terjadi dalam hitungan detik. Fase kedua merupakan fase dimana komponen seluler di sekitar daerah yang terlibat teraktivasi agar terjadi pergerakan gigi. Pemberian daya yang ringan akan menyebabkan fase ini berlangsung singkat. Fase ketiga atau fase post
lag ditandai dengan pergerakan yang dimediasi oleh osteoklas. Fase ini berlangsung
kurang lebih 2 hari setelah pemberian daya. Pada fase ketiga, bila daya yang diberikan melampaui besar daya yang dapat diterima oleh pembuluh darah kapiler, maka untuk dapat terjadi pergerakan gigi, daerah yang mengalami hialinisasi haruslah dihilangkan terlebih dahulu. Hal ini akan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan pergerakan gigi pada aplikasi daya yang ringan. Secara singkat, fase pergerakan gigi terdapat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Respon tubuh terhadap pemberian tekanan mekanis (Singh, 2007)
Fase Waktu Perubahan yang terjadi
Fase inisial
< 1detik
1-2 detik
3-5 detik
Cairan ligamen periodontal tertekan, tulang alveolar melengkung dan terbentuk sinyal piezoelektrik
Cairan ligamen periodontal terlihat seiring dengan pergerakan gigi di dalam ligamen periodontal
Pembuluh darah pada ligamen periodontal akan tertekan pada sisi yang mengalami tekanan dan dilatasi pada sisi yang tertarik, serat ligamen periodontal dan sel akan mengalami distorsi
Fase Lag 4 jam Peningkatan kadar cAMP, diferensiasi selular yang dimulai pada ligamen periodontal
Fase post
lag
2 hari Terjadi pergerakan gigi yang ditandai dengan remodeling tulang pada soketnya oleh osteoklas dan osteoblas
Mustofa dkk (1983, cit Yee, 2007) mengajukan model hipotetik pergerakan gigi yang terdiri dari dua teori yang bersama-sama menginduksi pergerakan gigi (Gambar 2.2). Jalur pertama menggambarkan respon biologis tulang, yang biasanya dihubungkan dengan pertumbuhan dan remodeling normal tulang, sementara jalur kedua menggambarkan respon inflamasi lokal yang berhubungan dengan pergerakan gigi secara ortodonti.
Jalur pertama yaitu bahwa tekanan ortodonti membuat vektor-vektor tekanan dan regangan yang menyebabkan tulang membengkok, penghimpunan polarisasi bioelektrik dan akhirnya terjadi remodeling. Sistem messenger I mengubah aktivitas sel melalui membran plasma, bergabung dengan sinyal-sinyal elektrik, bereaksi pada jalur nukleotida siklik di permukaan sel, dan menyebabkan perubahan-perubahan pada tahap II messenger interseluler. Efek ini pada akhirnya akan mengarah ke proliferasi, diferensiasi, dan aktivitas sel.
Jalur pertama ini juga menjelaskan arah atau kontrol pergerakan gigi dengan melihat perubahan bentuk antara konkaf dan konveks dari tulang alveolar yang meregang. Polarisasi elektrik matriks, misalnya daerah dengan elektrik netral atau positif akan mendorong aktivitas osteoklas sementara daerah dengan elektrik negatif akan mendorong aktivitas osteoblas yang mungkin akan mengubah polarisasi sel membran dan mendorong terjadinya peningkatan level cAMP.
Jalur kedua menjelaskan pergerakan gigi secara ortodonti sebagai suatu respon inflamasi klasik yang terjadi setelah dilakukan aplikasi tekanan. Tekanan ortodonti akan memicu terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular dan infiltrasi seluler yang mendorong terjadinya proses inflamasi. Limfosit, monosit, dan makrofag akan memasuki jaringan dan meningkatkan sintesis prostaglandin dan sekresi enzim hidrolitik. Peningkatan lokal prostaglandin akan meningkatkan konsentrasi cAMP seluler yang kemudian meningkatkan aktivitas osteoklastik (Gambar 2.2) (Mustofa, dkk, 1983, cit Yee, 2007).
Gambar 2.2. Jalur pergerakan gigi (Mustofa dkk, 1983, cit Yee, 2007)
Proses inflamasi akut pada fase awal pergerakan gigi secara ortodonti pada dasarnya adalah peristiwa eksudatif, dimana plasma dan lekosit keluar dari
kapiler-kapiler daerah paradental yang mengalami regangan. Beberapa hari kemudian akan diganti oleh inflamasi kronik yang ditandai oleh sel-sel fibroblas, endotel dan sel-sel sumsum tulang alveolar. Inflamasi kronis ini akan terus terjadi hingga waktu aktivasi berikutnya. Fase inflamasi akut akan kembali terjadi pada saat dilakukan aktivasi piranti, bersamaan dengan fase inflamasi kronis yang sedang berlangsung (Khrisnan, 2006).
2.1.2
Mekanisme Selular Remodeling Tulang dan Jaringan PeriodontalSiklus remodeling tulang akan memakan waktu sekitar 4 bulan yang ditandai dengan resorpsi yang cepat dan diikuti pembentukan tulang yang lambat. Pada individu yang sehat, resorpsi tulang selalu diikuti dengan pembentukan tulang dalam jumlah yang sama sehingga tidak terdapat kehilangan massa tulang. Hal inilah yang akan menjaga integritas tulang (Nanda, 2005).
Menurut Proffit (2007), agar gigi dapat bergerak, haruslah terdapat osteoklas yang menghancurkan tulang pada area yang berdekatan dengan bagian ligamen periodontal yang tertekan. Osteoblas diperlukan untuk membentuk tulang baru pada daerah yang mengalami regangan. Pada tahap awal, pergerakan gigi ortodonti selalu melibatkan respon inflamasi akut yang ditandai dengan dilatasi periodontal dan migrasi leukosit keluar dari kapiler. Migrasi sel ini menghasilkan berbagai sitokin, molekul sinyal biokimia, yang berinteraksi secara langsung ataupun tidak langsung dengan sel origin. Sitokin, bersama dengan molekul sinyal lokal atau sistemik lain, menimbulkan sintesis dan sekresi berbagai substan oleh sel target, termasuk prostaglandin, growth
Metabolisme tulang merupakan suatu proses kompleks yang bergantung pada interaksi antara RANK ligand (Receptor activator of nuclear factor - κβ ligand), RANK (Receptor activator of nuclear factor-κβ), dan osteoprotegrin (OPG). RANK ligand (RANK-L) adalah salah satu mediator resorpsi tulang yang paling penting yang diekspresikan oleh osteoblas, limfosit-T, sel dendritik, dan sel tumor. RANK -L akan berikatan dengan RANK dan berada pada pada sel prekursor osteoklas yang mendorong terjadinya perkembangan dan aktivasi osteoklas (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Remodeling tulang secara fisiologis. Terlihat interaksi antara osteoklas dan osteoblas dengan OPG, RANK ligand, dan RANK (Juhasz-Boss dkk, 2003)
2.1.3 Remodeling Tulang
Kemampuan tulang untuk beradaptasi terhadap beban mekanis terjadi melalui proses berkesinambungan antara pembentukan dan resorpsi tulang. Bila proses ini terjadi pada lokasi yang berbeda, maka morfologi tulang akan berubah sehingga proses ini disebut dengan modeling tulang. Pada keadaan yang homeostatis, proses resorpsi
dan aposisi terjadi secara seimbang. Dalam keadaan ini, tulang lama akan digantikan oleh tulang yang baru secara terus menerus. Hal ini akan menyebabkan integritas tulang tetap terjaga, dan tidak terjadi perubahan bentuk secara keseluruhan. Keadaan ini disebut remodeling tulang (Frost, 1990, cit Ruimerman, 2005). Dari sudut pandang ortodonti, modeling merupakan peristiwa penting pada pertumbuhan normal struktur kraniofasial dan juga perubahan dalam ukuran dan bentuk tulang alveolar. Remodeling merupakan mekanisme reparatif dan meliputi serangkaian peristiwa selular yang terjadi secara terus menerus. Remodeling merupakan satu-satunya mekanisme fisiologis dalam menjaga dan memperbaiki struktur tulang (Huang, dkk, 2005).
Tulang terdiri dari tiga jenis sel, yaitu osteoklas, osteoblas dan osteosit. Sel utama dalam tulang yang mengatur pergantian matriks tulang adalah osteoklas dan osteoblas. Osteoklas berasal dari stem sel hematopoetik dan bertanggung jawab terhadap resorpsi tulang. Osteoblas membentuk matriks yang kemudian mengalami mineralisasi apabila terdapat regulasi yang baik. Matriks yang mengalami remineralisasi ini dapat diresorpsi oleh osteoklas bila terjadi aktivasi osteoklas. Konsep utama dari remodeling tulang didasarkan pada hipotesis bahwa prekursor osteoklas akan diaktivasi dan kemudian berdiferensiasi menjadi osteoklas, sehingga kemudian akan terjadi proses resorpsi tulang. Fase ini kemudian diikuti dengan fase pembentukan tulang. Remodeling tulang diregulasi oleh berbagai hormon, sitokin, dan growth factor (Boyle, et a, 2003 cit Juhaszboss, dkk 2012 ; Hill, 1998).
Salah satu hormon yang berperan dalam regulasi tulang adalah hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan merupakan regulator penting pada pertumbuhan
dan perkembangan skeletal paska kelahiran dan mendorong terjadinya diferensiasi dan proliferasi. Hormon pertumbuhan ini bekerja secara langsung maupun tidak langsung terhadap tulang. Hormon pertumbuhan juga terbukti berperan dalam stimulasi pembentukan tulang oleh osteoblas dan resorpsi tulang oleh osteoklas (Ong, dkk, 2001).
Hormon pertumbuhan berperan dalam remodeling tulang melalui interaksi yang kompleks dari sirkulasi hormon pertumbuhan, Insulin-like Growth Factors (IGFs), dan IGF-binding protein (IGFBPs). Penuaan akan berhubungan dengan penurunan massa tulang trabekular dan kortikal dan juga dengan memburuknya struktur tulang. Kadar serum hormon pertumbuhan dan IGFs menurun seiring dengan meningkatnya usia (Ueland, 2005). Menurut Varble (2009), hormon pertumbuhan akan mempengaruhi kadar TGF-β1 melalui jalur direk dan indirek.
Selain hormon pertumbuhan, hormon lain yang berperan dalam remodeling tulang adalah calcitonin, paratiroid hormon (PTH), dan 1,25-dihidroxy vitamin D. Ketiga hormon ini penting dalam meregulasi konsentrasi kalsium. Plasma PTH dapat meningkatkan regulasi tulang sementara 1,25-dihidroxy vitamin D berperan pada absorpsi kalsium dan penting untuk diferensiasi osteoklas dan osteoblas dan dapat menstimulasi resorpsi dan pembentukan tulang pada beberapa percobaan klinis. Hormon lain yang juga penting untuk remodeling tulang adalah estrogen. Pada keadaan dimana terjadi defisiensi estrogen, tulang akan kehilangan keadaan homeostatisnya dengan lebih banyak terjadi resorpsi dibandingkan pembentukan tulang dan massa tulang akan berkurang (Raisz, 1999).
2.1.4 Retraksi Kaninus
Perawatan ortodonti biasanya dicapai dalam beberapa tahap. Umumnya, tahapan tersebut adalah tahap leveling dan aligning, tahap penutupan ruang, dan terakhir tahap penyelesaian. Tahapan penutupan ruang biasanya dilakukan pada kasus yang memerlukan pencabutan (Proffit, 2007). Pencabutan yang umum dilakukan pada perawatan ortodonti adalah pencabutan premolar pertama.
Penutupan ruangan pada perawatan dengan pencabutan premolar pertama dapat dilakukan melalui 2 cara. Cara pertama adalah dengan melakukan retraksi 6 gigi anterior secara bersamaan dan cara kedua adalah dengan melakukan retraksi kaninus ke arah distal terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan retraksi 4 gigi anterior lainnya (Uribe dkk, 2003). Menurut Proffit (2007) besar gaya yang diperlukan untuk mendapat pergerakan translasi pada saat melakukan retraksi kaninus adalah 70g hingga 120g. Jenis daya yang dihasilkan dipengaruhi oleh besar gaya, perbandingan momen, serta bahan dan alat yang digunakan untuk melakukan retraksi kaninus tersebut.
Penutupan ruangan dalam perawatan ortodonti umumnya dilakukan melalui mekanisme sliding. Cara ini dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti penggunaan closed coil spring, elastomerik, dan metode tie back. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik mengenai kecepatan penutupan ruangan dengan menggunakan metode-metode tersebut (Yee, 2007).
2.2 Pertumbuhan Kompleks Kraniofasial
Pertumbuhan terjadi karena proses modeling dari tulang. Menurut Frost (1990,
Pertumbuhan secara sederhana diartikan sebagai penambahan ukuran, akan tetapi konsep tersebut tidaklah tepat, karena tumbuh harus dipahami dalam 3 aspek, yaitu bertambah dalam ukuran, differential growth, dan negative growth. Gambaran dari 3 aspek pertumbuhan tersebut terlihat pada kurva Scammon (Gambar 2.4) (Jacobson, 2006). Aspek bertambah dalam ukuran terjadi pada pertumbuhan tubuh secara umumnya. Pertumbuhan kepala menggambarkan aspek differential growth. Ukuran kepala bayi bertambah setelah dewasa, tetapi bila dibandingkan dengan ukuran tubuh secara keseluruhan, kepala dewasa akan tampak berkurang ukurannya bila dibandingkan dengan kepala bayi. Aspek ketiga, yaitu negative growth digambarkan oleh jaringan limfoid. Jaringan limfoid pada orang dewasa akan berkurang jumlah dan ukurannya dibandingkan pada anak-anak, sehingga dikatakan jaringan limfoid mengalami negative growth.
Gambar 2.4. Kurva Scammon. Pertumbuhan berbagai organ tubuh diperlihatkan oleh kurva Scammon. Aspek bertambah secara ukuran digambarkan oleh perubahan tubuh secara keseluruhan (general), sementara kurva
pertumbuhan neural menggambarkan aspek differential growth, dan aspek
negative growth digambarkan oleh pertumbuhan jaringan limfoid
(Jacobson, 2006).
Pada tahap seluler, pertumbuhan memiliki tiga kemungkinan. Yang pertama adalah peningkatan ukuran sel itu sendiri yang disebut hipertrofi. Kemungkinan kedua adalah pertambahan jumlah sel, yang disebut hiperplasia. Kemungkinan ketiga adalah sel akan mensekresi ekstraseluler material yang akan meningkatkan ukuran sel tersebut tanpa bergantung pada jumlah sel itu sendiri (Proffit, 2007).
Pada manusia, kecepatan pertumbuhan yang paling cepat terjadi pada permulaan diferensiasi seluler pada masa embrio dan terus meningkat hingga lahir. Pertumbuhan setelah kelahiran tidak terjadi dengan kecepatan yang datar. Ada saat dimana terjadi peningkatan pertumbuhan dengan cepat yang disebut growth spurt.
Growth spurt penting karena pada saat inilah perawatan yang memerlukan modifikasi
pertumbuhan dapat dilakukan, sedangkan perawatan yang memerlukan tindakan bedah harus ditunda hingga masa tersebut selesai (Singh, 2007).
Menurut Proffit (2007), growth spurt akan terjadi bersamaan maturitas seksual. Pada anak perempuan, menarche merupakan indikator maturitas seksual yang juga menandakan terjadinya growth spurt dan terjadi rata-rata pada usia 13 tahun. Singh (2007) mengatakan bahwa pada sebagian besar kasus, growth spurt merupakan waktu yang terbaik untuk memprediksi hasil perawatan, tujuan perawatan dan lama waktu perawatan.
Menurut Bhalajhi (2004), growth spurt pada anak laki-laki biasanya akan terjadi pada usia 14 sampai 16 tahun. Pada orang dewasa yang sudah melewati masa growth
spurt, perawatan yang mengharapkan untuk mendapat keuntungan dari sisa
pertumbuhan sudah tidak dapat dilakukan lagi. Namun, Proffit (2007) mengatakan bahwa pada orang dewasa, masih terdapat sedikit pertumbuhan wajah.
Pertumbuhan fisik manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk hormon. Bishara (2001) mengatakan bahwa, mungkin hampir semua produk kelenjar endokrin akan mempengaruhi pertumbuhan. Hormon pertumbuhan yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari penting untuk pertumbuhan postnatal. Hormon pertumbuhan mengatur kecepatan sintesis protein yang penting untuk proliferas sel kartilago, dengan demikian memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan tulang dan juga pertumbuhan tinggi badan. Fungsi pertumbuhan dari hormon pertumbuhan akan menjadi tidak efektif bila epifisis telah menutup. Hormon lain yang mempengaruhi pertumbuhan adalah hormon thyrotrophic, hormon sex, dan sekresi parathormon.
Berbeda dengan pertumbuhan yang didasarkan pada konsep pertambahan ukuran maupun jumlah sel, perkembangan lebih mengacu kepada kondisi psikologis dan perilaku seseorang.
Pertumbuhan kompleks kraniofasial secara sederhana terbagi menjadi 4 daerah yang tumbuh berbeda. Pertama adalah cranial vault atau atap kranial, kemudian basis kranial, kompleks nasomaksila, dan terakhir adalah mandibula.
Pertumbuhan dari atap kranial sangat berhubungan dengan pertumbuhan dari otak. Pada basis kranial, pertumbuhan terjadi melalui osifikasi endochondral tulang.
Kompleks nasomaksila mengalami pertumbuhan melalui dua mekanisme, yaitu remodeling permukaan dan aposisi tulang pada sutura yang menghubungkan maksila dengan kranium dan basis kranial. Maksila pada kompleks nasomaksila akan bertumbuh ke depan dan ke bawah. Serupa dengan kompleks nasomaksila yang bertumbuh ke depan dan ke bawah, mandibula juga akan tumbuh ke depan dan ke bawah dalam hubungannya dengan basis kranial. Namun, pertumbuhan mandibula bukan merupakan hasil pembesaran yang simetris dari mandibula, karena kondil dan ramus akan mengalami elongasi pada arah superior dan posterior, bersamaan dengan memanjangnya korpus mandibula (Proffit, 2007, Singh, 2007).
2.2.1 Indikator Maturitas Skeletal
Menurut Bishara (2001), sisa pertumbuhan yang masih ada pada seseorang dapat dilihat dengan menggunakan radiografi hand wrist atau dengan menggunakan radiografi sefalometri untuk melihat melalui analisa servikalis vertebra. Dasar pengukuran umur skeletal melalui radiografi yaitu adalah perbedaan pusat osifikasi yang terlihat dan matur pada saat yang berbeda. Urutan, kecepatan, dan waktu kemunculan dan perkembangan osifikasi dari berbagai pusat osifikasi akan terjadi melalui rangkaian yang dapat diprediksi.
Cara yang mudah untuk menentukan maturitas skeletal adalah dengan menggunakan servikalis vertebra. Hassel dan Farman (1995) mengembangkan suatu sistem untuk menentukan maturitas skeletal berdasarkan bentuk servikalis vertebra yang akan berubah pada setiap tahap perkembangan skeletal. Bentuk badan vertebral dari C3 dan C4 akan berubah dari bentuk seperti baji menjadi bentuk yang lebih
panjang diikuti bentuk persegi. Batas inferior vertebra datar sewaktu belum matur dan kemudian akan berubah menjadi konkaf atau cekung sewaktu telah matur. Konkafitas batas inferior ini juga akan terlihat berurutan mulai dari C2 ke C3 ke C4 seiring dengan terjadinya maturitas skeletal. Berdasarkan hal ini, Hassel dan Farman membagi tahap perkembangannya menjadi 6 tahap.
Tahapan pertama menurut Hassel dan Farman disebut tahap inisiasi. Pada tahap ini, mulai terjadi pertumbuhan dewasa. Besar pertumbuhan yang masih dapat diharapkan pada tahap ini adalah sebesar 80-100%. Batas inferior C2, C3, dan C4 datar atau rata. Bentuk vertebra tampak seperti baji, dan batas superior meruncing dari posterior ke anterior.
Tahap kedua adalah tahap akselerasi. Percepatan pertumbuhan dimulai pada tahap ini, dengan besar pertumbuhan yang masih dapat diharapkan adalah sebesar 60-80%. Batas inferior C2 dan C3 mulai menjadi konkaf.
Tahap ketiga adalah transisi yang berhubungan dengan perccepatan pertumbuhan yang mengarah kepada puncak kecepatan penambahan tinggi badan. Pada tahap ini diharapkan masih terdapat 25-65% pertumbuhan dapat terjadi. Tahap ini ditandai dengan kecekungan mulai jelas terlihat pada batas inferior C2 dan C3, dan pada C4 mulai menjadi konkaf. Badan C3 dan C4 berbentuk persegi panjang.
Tahap keempat disebut perlambatan (deceleration). Tahap ini berhubungan dengan perlambatan pertumbuhan dengan hanya sekitar 10-25% pertumbuhan yang dapat diharapkan. Batas inferior C2, C3 dan C4 mulai jelas terlihat berbentuk konkaf, dan badan C3 dan C4 mulai berbentuk persegi.
Tahap kelima adalah maturasi. Pada tahap ini terjadi maturasi dari vertebra dan hanya sekitar 5-10% pertumbuhan yang masih dapat terjadi. Kecekungan terlihat jelas pada batas inferior C2, C3 dan C4. Bentuk badan C3 dan C4 semakin persegi.
Tahap 6 adalah penyelesaian (completion). Sudah tidak ada lagi pertumbuhan yang dapat diharapkan dan kecekungan yang lebih dalam terlihat pada C2, C3 dan C4. Badan C3 dan C4 telah lebih berbentuk persegi dengan dimensi vertikal yang lebih besar dibanding dimensi horizontalnya.
2.3 Cairan Sulkus Gingiva (CSG)
Penelitian terbaru mengenai pergerakan gigi secara ortodonti telah sampai kepada detail mengenai mekanisme molekuler, seluler, dan reaksi jaringan terhadap gaya ortodonti. Cairan sulkus gingiva (CSG) memiliki peranan penting dalam mekanisme pergerakan aktif gigi yang disebabkan oleh gaya mekanis, seperti yang telah didokumentasikan oleh berbagai peneliti.
Selama beberapa tahun terakhir, CSG telah digunakan sebagai media untuk mengukur berbagai jenis molekul dan bakteri yang terdapat dalam rongga mulut dan daerah ligamen periodontal. CSG adalah suatu eksudat osmotis yang memediasi proses inflamasi yang terdapat pada sulkus gingiva, dimana volumenya cenderung untuk meningkat bila terdapat proses inflamasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. CSG merupakan alat bantu yang dapat digunakan untuk membantu klinisi dalam menegakkan diagnosa, karena kandungannya tergantung pada keadaan klinis. Pada keadaan inflamasi, volume CSG akan meningkat (Meeran, 2011), akan tetapi
peningkatan aliran tidak menggambarkan aktivitas penyakit periodontal (Carranza dkk, 2002). Junior dkk (2011) mengatakan bahwa kekurangan utama penggunaan CSG sebagai alat bantu analisa adalah jumlahnya yang sedikit saat dilakukan pengambilan. Normalnya, pada jaringan periodontal yang sehat, volume yang dapat dikumpulkan hanya sebanyak 5µl. Sedikitnya volume yang diperoleh akan membatasi jumlah analit yang dapat diperiksa kadarnya.
Volume pada CSG menggambarkan volume sisa dan influx cairan selama cairan dikumpulkan. Pada populasi yang sehat, volume sisa dan kecepatan aliran CSG relatif stabil dari waktu ke waktu. Derajat inflamasi akan mempengaruhi volume sisa, kecepatan CSG, dan waktu yang diperlukan oleh CSG untuk memenuhi sulkus gingiva yang sehat ataupun poket periodontal. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah CSG yang dikumpulkan dengan derajat inflamasi secara klinis. Penting bagi peneliti untuk memperhatikan hal-hal berikut : selalu menjaga kesehatan jaringan paradental; lebih memperhatikan pemilihan lokasi, durasi, jumlah dan interval pengambilan CSG; berhati-hati dalam mempersiapkan lokasi pengambilan sampel, menyimpan dan penatalaksanaan sampel; dan terakhir mempertimbangkan status kesehatan dan tahap perkembangan subyek penelitian (Khrisnan, 2009).
2.3.1 Komposisi Cairan Sulkus Gingiva
Selain volume, komposisi CSG juga menggambarkan kondisi sistemik ataupun lokal dari individu yang bersangkutan. Berbagai penelitian untuk mengetahui perubahan seluler yang terjadi sebagai respon jaringan terhadap daya ortodonti dilakukan dengan mengumpulkan CSG dan melihat kandungan selulernya. Barbieri dkk
(2013) melihat peningkatan kadar RANK, OPN, OPG dan TGF-β1 pada awal pergerakan ortodonti dengan menggunakan CSG sebagai medianya. Wilson (2010) menggunakan CSG untuk melihat berbagai sitokin yang terlibat pada proses inflamasi dan penanda metabolisme tulang saat dilakukan pergerakan gigi secara ortodonti. Surlin dkk (2012) juga menggunakan CSG sebagai alat bantu untuk melihat kadar MMP8, MMP9 dan TIMP1 pada pasien pengguna piranti ortodonti yang mengalami pembesaran gingiva.
Komposisi cairan gingiva dapat dibedakan menjadi protein, antibodi, antigen, enzim, dan komponen seluler. Komponen selular dari CSG terdiri dari bakteri, sel epitel deskuamasi, dan leukosit yang bermigrasi melalui sulkular epitelium. CSG juga berisi berbagai elektrolit seperti potasium, sodium dan kalsium (Carranza dkk, 2002). Secara garis besar, studi mengenai penanda spesifik pada CSG yang dihubungkan dengan pergerakan gigi terbagi menjadi : penanda yang merupakan hasil metabolik dari remodeling paradental, penanda yang merupakan mediator inflamasi dan
patient-response modifiers, dan penanda yang merupakan enzim atau inhibitor enzim dari
pasien sendiri (Khrisnan, 2009).
2.3.2 Metode Pengumpulan Cairan Sulkus Gingiva
Pengumpulan cairan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, meliputi prosedur yang non-invasif. Metode pengumpulannya memerlukan kesabaran dari klinisi, cara pengumpulannya menggunakan loop platinum, filter-paper strip, pembilasan gingiva dan pipet mikro. Cara yang terakhir lebih menguntungkan karena mudah untuk disimpan, kuantisasi, dan mudah untuk dilakukan pengujian dengan
metode elektroforesis ataupun secara kimiawi (Waddington dan Embery, 2001). Namun, metode pengumpulan yang lebih sering digunakan adalah dengan menggunakan filter-paper strip (Khrisnan, 2009).
Pendekatan yang digunakan saat ini adalah intra-sulkuler dengan dua metode standar (Gambar 2.5). Cara pertama adalah dengan memasukkan ujung kertas saring hingga terasa mencapai retensi yang minimum. Cara kedua adalah dengan meletakkan kertas pada permukaan sulkus gingiva atau pada jarak yang telah ditentukan sebelumnya, misalnya 1mm dari sulkus. Cara yang pertama cenderung untuk meningkatkan volume cairan yang dikumpulkan karena akan menyebabkan iritasi mekanis lokal atau trauma dan hasilnya akan meningkatkan permeabilitas vaskular lokal. Pada keadaan dimana struktur paradental sehat atau pada keadaan dimana saku periodontal minimal, kedua metode akan memberikan hasil yang sama (Carranza dkk, 2002).
Gambar 2.5. Metode intra sulkuler. A. Kertas saring dimasukkan hingga terasa mencapai ujung sulkus. B. Kertas saring hanya diletakkan pada permukaan sulkus (Carranza dkk, 2002)
Djaja (2009) melakukan pengumpulan CSG dengan menggunakan kertas saring Whatmann 3MM yang dimasukkan pada sulkus gingiva sedalam 1 mm pada bagian
mesial dan distal kaninus yang sedang diretraksi dan didiamkan selama 1 menit. Pada penelitian ini, kertas saring yang terkontaminasi darah sewaktu dilakukan pengambilan CSG tidak digunakan sebagai sampel. Cara lain untuk mengumpulkan CSG adalah menggunakan kertas saring dengan metode intracrevicular superficial. Metode ini dipilih oleh Hadi (2009) karena tidak invasif sehingga lebih aman dan mudah terserap. Yang perlu diingat adalah, penting bagi peneliti untuk mengukur kedalaman poket dengan menggunakan probe untuk melihat adanya kerusakan jaringan periodontal dan melakukan pembersihan debris sebelum melakukan pengambilan CSG (Yamaguchi, dkk 2006).
Susilowati (2011) melakukan penelitian untuk melihat dinamika ekspresi gen MMP-8 dan TIMP-1 pada cairan sulkus gingiva pasien yang dirawat dengan piranti ortodonti cekat dan lepasan. Metode pengumpulan CSG yang digunakan adalah dengan menggunakan paper point yang dimasukkan ke dalam sulkus gingiva yang telah dikeringkan sebelumnya. Cara ini dilakukan untuk menghindari kontaminasi CSG dengan saliva.
Junior dkk (2011) melakukan pengambilan CSG dengan menggunakan kertas saring yang dimasukkan ke dalam sulkus gingiva sedalam 1-2mm (Gambar 2.6). CSG diambil setelah dilakukan pembuangan plak supragingival, kemudian daerah pengambilan diisolasi dengan menggunakan cotton roll untuk menghindari kontaminasi saliva. Kertas saring diletakkan selama 30 detik pada sisi mesial dan distal gigi yang akan diperiksa.
Gambar 2.6. Pengumpulan CSG saat retraksi kaninus. A. Kertas saring dimasukkan pada sisi mesial atau sisi regangan. B. Kertas saring dimasukkan pada sisi distal atau sisi tekanan, dimasukkan sejauh 1-2mm dan dibiarkan selama 30 detik (Junior dkk, 2011)
2.4. Transforming Growth Factor β (TGF-β)
Resorpsi dan pembentukan tulang tidak terlepas dari peranan berbagai sitokin dan growth factor. Growth factor (GF) merupakan polipeptida kecil yang dihasilkan oleh berbagai sel seperti fibroblas dan osteoblas yang kemudian disimpan pada matriks ekstra seluler dalam bentuk laten. Ada lima tipe utama dari growth factor yang berperan pada pergerakan gigi secara ortodonti dan modeling tulang alveolar, yaitu : transforming growth factor β, fibroblast growth factor (FGF) dan insulin-like growth factor (IGF), growth factor untuk sel mesenkim yaitu dalam bentuk platelet derived growth factor (PDGF), dan connective tissue growth factor (CTGF). Diantara berbagai
growth factor yang ada, TGF-β diduga berperan sebagai faktor coupling selama
remodeling tulang. Sumber utama bagi TGF-β adalah tulang dan platelet. TGF-β mengikat monosit dan fibroblas dan pada uji in vitro menstimulasi angiogenesis. TGF-β banyak terdapat pada matriks tulang dan diyakini merupakan regulator lokal yang
penting dari osteoblas dan osteoklas selama remodeling tulang (Nishimura, 2009; Krishnan, 2009).
TGF-β adalah salah satu growth factor yang multifungsi, yang dihasilkan oleh berbagai sel pada tulang, termasuk osteoklas, osteoblas, dan fibroblas. TGF-β memberikan efek anabolik pada sel osteogenik. TGF-β merupakan produk dari sel pembentuk tulang yang disimpan pada matriks tulang. Pada pelepasannya selama resorpsi tulang, TGF-β memberikan efek parakrin untuk meningkatkan proliferasi osteoblas. TGF-β juga bekerja sebagai faktor autokrin untuk meningkatkan sintesa kolagen, alkalin fosfatase, dan osteopontin pada osteoblas. TGF-β meningkatkan sintesa PGE2 dan PDGF pada sel osteoblastik, karena itulah diperkirakan bahwa efek anabolik lokal dari TGF-β pada tulang mungkin sebagian dimediasi oleh PGE2 dan PDGF. TGF-β juga menghambat degradasi matriks melalui regulasi autokrin-negatif dari osteoklas. Selain itu, TGF-β juga meningkatkan ekspresi connexin dan komunikasi antar sel pada sel osteogenik (Garrant, 2003).
TGF-β mengontrol sebagian besar proses seluler, termasuk proliferasi, diferensiasi, produksi matriks ekstra seluler, motalitas, dan kelangsungan hidup sel. Fungsi ini diterjemahkan melalui fungsi jaringan seperti embriogenesis dan pada manusia dewasa, proses ini dicapai melalui keseimbangan antara proliferasi dan diferensiasi. Bila keseimbangan ini terganggu, maka jalur TGF-β akan mengalami malfungsi sehingga terjadi gangguan sistem imun, fibrosis, dan metastasis kanker (Al-Salihi, dkk, 2012).
TGF-β memiliki andil pada proses terjadinya beberapa penyakit. Blobe, dkk (2000) mengatakan bahwa pada sel kanker, produksi TGF-β meningkat, yang kemudian akan meningkatkan kemampuan invasif dari sel dengan cara meningkatkan aktivitas proteolitik dan meningkatkan ikatannya ke molekul sel.
Salah satu fungsi utama TGF-β adalah untuk membatasi proliferasi epitel dan menghentikan pertumbuhan pre-malignan. Akan tetapi, percobaan pada tikus membuktikan bahwa TGF-β bukanlah merupakan regulator universal dari proliferasi, namun, efek antiproliferasi tersebut akan muncul bila terdapat kerusakan jaringan atau tekanan onkogenik (Padua, 2009). Quinn dkk (2001) mengatakan bahwa ada dua cara kerja TGF-β pada pembentukan osteoklas, yaitu melalui mekanisme indirek yang melibatkan efek inhibitor pada ekspresi osteoblas RANKL dan yang lain melalui mekanisme direk yang mempengaruhi respon osteoclastogenik dari populasi prekursor hematopoetik itu sendiri.
Hormon pertumbuhan diketahui meningkatkan jumlah TGF-β1 baik pada jalur direk ataupun indirek. Pada individu penderita akromegali dengan kadar hormon pertumbuhan yang lebih tinggi akibat tumor pituitari, kadar TGF-β1 ditemukan lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Efek eksogen hormon pertumbuhan pada percobaan in vitro menunjukkan terjadi peningkatan ekspresi pada mRNA dan protein TGF-β1. Pada hewan coba, suplemen hormon pertumbuhan meningkatkan kecepatan pergerakan gigi secara ortodonti dibandingkan kelompok kontrol (Varble, 2009).
Penelitian in vivo pertama mengenai kadar growth factor dalam pergerakan gigi secara ortodonti dilakukan oleh Uematsu dkk (1996) yang melihat kadar TGF-β1 pada sisi yang tertekan saat dilakukan retraksi kaninus ke distal. Hasilnya adalah bahwa kadar TGF-β1 paling tinggi pada 24 jam pertama, kemudian menurun dengan cepat pada 168 jam setelah pemberian tekanan mekanis.
Hasil penelitian Uematsu dkk (1996) ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Barbieri dkk (2013). Penelitian Barbieri dkk (2013) juga mendapati kadar TGF-β1 pada sisi yang tertekan meningkat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian, Uematsu dkk (1996) dan Barbieri dkk (2013) menyimpulkan bahwa TGF-β1 menginduksi proses resorpsi tulang. Percobaan Tang dkk (2009) secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa TGF-β1 yang aktif akan dilepaskan selama resorpsi tulang untuk mengatur pembentukan tulang. Hal ini dilakukan dengan cara mendorong migrasi bone marrow stromal cells ke daerah yang mengalami resorpsi.
2.4.1 TGF-β2
TGF-β memiliki tiga isoform, yaitu TGF-β1, TGF-β2, dan TGF-β3 yang dihasilkan oleh proses splicing yang berbeda, dimana TGF-β1 merupakan bentuk yang paling banyak terdapat dalam tulang, dan paling banyak diteliti menyangkut remodeling dan perkembangan tulang. TGF-β1 memiliki peran spesifik dalam meregulasi remodeling tulang dengan menghubungkan resorpsi dan aposisi tulang (osteoporosis). Selama masa perkembangan, TGF-β1 dan TGF-β3 lebih dulu terlihat selama terjadinya
morfogenesis, sedangkan TGF-β2 terlihat setelahnya, yaitu pada saat terjadinya diferensiasi epitel (Blobe, dkk, 2000).
TGF-β2 merupakan bagian dari TGF-β superfamily, yang terdiri dari dua subfamili, yaitu subfamilia TGF-β, Activin, Nodal, dan subfamilia BMP (Bone
Morphogenic Protein), GDF (Growth and Differentiation Factor), dan MIS
(Muellerian Inhibiting Substance) (Kanaan, 2010). TGF-β2 merupakan growth factor multifungsi yang berperan dalam mengontrol berbagai fungsi biologis. Li dkk (2008) menyatakan bahwa TGF-β2 mungkin berperan dalam tahap inisiasi gigi, morfogenesis epitel, pembentukan matriks dentin, dan diferensiasi ameloblas. Sementara menurut Buss dkk (2007), TGF-β2 akan membantu proses perbaikan sel yang mengalami luka. Kapetanakis dkk (2010) menemukan bahwa kadar TGF-β2 meningkat pada pasien dengan osteoarthritis. Peningkatan kadar TGF-β2 juga berhubungan dengan tingkat keparahan osteoarthritis.
Pada tikus transgenik yang menunjukkan ekspresi berlebih dari TGF-β, terjadi perubahan pada keseimbangan antara pembentukan dan resorpsi tulang dan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada tulang trabekular. Selain itu, ekspresi berlebih dari TGF-β2 ditemukan menyebabkan peningkatan pembentukan matriks tulang, akan tetapi hal ini terjadi bukan karena efek TGF-β terhadap osteoblas, namun lebih disebabkan karena respon homeostatis terhadap peningkatan resorpsi tulang yang disebabkan oleh TGF-β (Erlebacher, dkk 1998). Selain itu, Erlebacher, dkk (1996) menemukan bahwa ekspresi berlebih dari TGF-β2 pada tikus transgenik akan
mengakibatkan kehilangan massa tulang yang berlebihan seperti pada keadaan osteoporosis.
Filvaroff, dkk (1999) pada percobaannya terhadap tikus transgenik menemukan hasil yang berbeda dengan Erlebacher, dkk (1998) yaitu bahwa bila terdapat hambatan reseptor TGF-β2 pada osteoblas, akan mendorong terjadinya penurunan remodeling tulang dan peningkatan kekuatan dan massa tulang trabekular.
Dong, dkk (2003) menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara konsentrasi TGF-β2 dengan karakteristik mekanis dari tulang cancellous yang menunjukkan bahwa TGF-β2 merupakan faktor penting yang mempengaruhi massa dan kekuatan tulang. Hasil yang cukup penting dari penelitian ini adalah bahwa massa tulang dan kandungan TGF-β2 memiliki korelasi negatif, sehingga pada tikus dengan konsentrasi TGF-β2 yang lebih tinggi akan diikuti dengan kehilangan massa tulang secara progresif.
Peranan TGF-β, khususnya TGF-β2 dalam regulasi tulang belum sepenuhnya jelas. Menurut Nishimura (2009) masih tetap belum diketahui apakah TGF-β2 juga menunjukkan aktivitas yang sama dengan TGF-β1 pada stem sel sumsum tulang.
2.4.2 Aktivasi TGF-β
Signalisasi TGF-β dimulai saat ligand berikatan dengan reseptornya. Ada sekitar 42 jenis ligand untuk TGF-β, yang dibagi ke dalam 2 grup utama : famili TGF-β dan famili Bone Morphogenetic Protein (BMP). Proses untuk berikatan dengan ligan akan menginduksi pembentukan kompleks quartener dari reseptor transmembran serin
threinin kinase. Reseptor ini terbagi menjadi tipe I (ALK1-7) dan tipe II (ACVR-IIA, ACVR-IIB, BMPR-II, AMHR-II dan TGF-βR-II). Transducer intraseluler pada jalur aktivasi ini adalah protein SMAD. SMAD terbagi menjadi subgrup spesifik : reseptor-regulasi (R-SMADs), co-SMAD, dan SMADs Inhibitor. Pada saat berikatan dengan ligand, reseptor tipe II akan memfosforilasi dan mengaktivasi reseptor tipe I. Reseptor tipe I yang telah teraktivasi akan memfosforilasi R-SMADs pada terminal-C. Reseptor tipe I yang telah teraktivasi akan memfosforilasi pembentukan kompleks R-SMAD dengan SMAD4 dan translokasi nukleus, yang kemudian bersama dengan kofaktor nukleus akan mengikat DNA dan meregulasi transkripsi. Secara umum, reseptor TGF-β akan diaktivasi melalui SMAD 2 dan 3, sementara BMP akan diaktivasi melalui SMAD 1, 5, dan 8 (Al-Shalihi, dkk 2012). Gambaran skematik mengenai aktivasi TGF-β ada pada Gambar 2.7.
2.5 ELISA
ELISA atau enzym-linked immunosorbent assay adalah metode yang paling sering digunakan untuk mengukur konsentrasi molekul tertentu seperti misalnya hormon di dalam suatu cairan seperti serum atau urin. ELISA adalah uji serologis yang umum digunakan diberbagai laboratorium imunologi karena memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas tinggi.
Prinsip dasar ELISA adalah menggunakan enzim untuk berikatan dengan antigen dan antibodi. Enzim akan mengubah substrat yang tidak berwarna menjadi produk berwarna, yang menandakan adanya ikatan antigen:antibodi. Jumlah antibodi yang berikatan dengan antigen sebanding dengan antigen yang terlihat dan ditetapkan melalui spektrofotometri (Gambar 2.8).
Secara sederhana, uji ELISA terbagi atas 3 metode dasar, yaitu direct ELISA, indirect ELISA, dan terakhir sandwich ELISA, yang kesemuanya disebut uji kompetitif atau inhibitor.
Gambar 2.8. Gambaran cara kerja ELISA secara skematik. (i) Antigen ditambahkan pada fasa padat dan akan berikatan dengan antibodi yang melapisi sumur secara pasif selama inkubasi. (ii) Setelah inkubasi, antigen lain yang tidak berikatan akan terbuang melalui proses pembilasan. (iii) Antibodi spesifik yang telah berikatan dengan antigen kemudian akan ditambahkan konjugat dan diinkubasi. (iv) Konjugat akan berikatan dengan ikatan antigen dan antibodi. Konjugat yang tidak berikatan akan dibuang melalui
proses pembilasan. (v) Ditambahkan larutan substrat dan enzim akan mempercepat reaksi untuk memberikan warna pada produk. Rekasi kemudian dihentikan dengan menggunakan stop solution dan warna dilihat dengan menggunakan spektrofotometer (Crowther, 2001).
2.6 Kerangka Teori
Tekanan mekanik terhadap gigi
Pergerakan gigi
Ligamen periodontal mengalami tekanan dan tarikan
Teori piezoelektrik Teori tekanan-tarikan Teori bone bending
Aktivasi matriks inorganik
Tulang alveolar melengkung
Proses remodeling yang diawali oleh proses inflamasi
Peningkatan PGE2, IL-1β,IL8, TNF α, MMP 8, sitokin pro inflamatori Kalsium regulator : PTH, hormon tiroid, estrogen, vitamin
Perubahan seluler
OPG Growth Factor RANKL osteoblas osteoklas Perubahan molekuler Resorpsi Formasi PDGF, TGF, IGF, CTGF, FGF
2.7 Kerangka Konsep
2.8 Hipotesis
1. Terdapat perbedaan kadar antara kelompok usia 10-15 tahun dan 30-35 tahun akibat pemberian tekanan mekanis
2. Terdapat perbandingan beda kadar TGF-β2 antara kelompok usia 10-15 tahun dengan kelompok usia 30-35 tahun.
3. Terdapat peningkatan kadar TGF-β2 akibat pemberian tekanan mekanis pada 24 jam setelah, dan 72 jam setelah diberikan tekanan mekanis pada kelompok usia 10-15 tahun dan kelompok usia 30-35 tahun.
Perubahan molekuler Tekanan mekanik terhadap gigi sebesar 100g
Ligamen periodontal mengalami tekanan dan tarikan
Proses inflamasi yang dimediasi oleh mediator inflamasi
Perubahan seluler
RANKL Growth Factor OPG
osteoblas osteoklas
TGF-β2 Fase inisial/fase lag/fase post lag