• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERANAN IPPI DALAM MENYEBARKAN GAGASAN NASIONALISME MELALUI PERS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PERANAN IPPI DALAM MENYEBARKAN GAGASAN NASIONALISME MELALUI PERS"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

42

BAB III

PERANAN IPPI DALAM MENYEBARKAN

GAGASAN NASIONALISME MELALUI PERS

Perkembangan dan perjalanan pers di Indonesia yang senantiasa mengalami pasang surut perubahan tentunya menuntut adanya penjelasan “background” sejarah media itu sendiri. Menurut Edward C. Smith dalam Pembreidelan Pers di Indonesia, peran media sebagai alat perjuangan di dalam revolusi kemerdekaan telah menjadikan hal ini sebagai pengalaman dan menjadi latar belakang kepribadian pers Indonesia. Dengan demikian nama pers perjuangan pada dasarnya harus dapat diterapkan sebagai media policy/kebijakan media bagi setiap penerbitan di Indonesia, tidak hanya pada masa revolusi perjuangan Indonesia, tetapi juga diterapkan pada masa-masa selanjutnya.1 Pers di Indonesia merupakan alat perjuangan bangsa yang dapat menjamin kemerdekaan nasional yang bukan merupakan kata-kata kosong belaka, tetapi kemerdekaan nasional yang meliputi “the freedom to be free” agar dapat membentuk struktur kemasyarakatan dan mencerminkan keadilan sosial dan perdamaian abadi.2

1 Edward C. Smith., Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia, (Jakarta:

Grafiti, 1983), hlm. 44.

2 I. Taufik., Sejarah Dan Perkembangan Pers Di Indonesia, (Jakarta: P.T.

(2)

Pers memperjuangkan cita-cita bangsa Indonesia dan sebagai alat yang tidak mengenal kompromi dengan sistem yang bertentangan dengan cita-cita nasional, selain itu pers juga sebagai senjata mental bagi bangsa Indonesia dan alat pembangunan untuk ke arah tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Semakin tajam pers Indonesia sebagai alat pembangunan, maka semakin cepat pula tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Pers pada masa perjuangan pergerakan nasional, telah menampakkan keterlibatannya sebagai media komunikasi. Pers cenderung menjadi alat perjuangan dari kaum pergerakan, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pers nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan pergerakan nasional karena sesungguhnya pers merupakan bagian dari perjuangan itu. Menurut Syamsul Basri bahwa pers dan wartawan dengan tulisan dan sepak terjangnya waktu itu, berusaha menggalang dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk bercita-cita memerdekakan Indonesia dari penjajah.3

Menurut M. Tabrani, seorang wartawan dan tokoh pergerakan, memberikan karakteristik pers nasional: Pertama, harus bercorak nasional dalam arti seluas-luasnya dan kedua, menjadi pendukung gagasan kemerdekaan, namun harus berpendapat luas dalam mengolah peristiwa dan fakta yang di dalam masyarakat selalu terdapat perbedaan, ketiga; tenggang menenggang.4 Bung Karno ketika memberikan kata sambutan pada hari ulang tahun koran “Sipatahoenan” yang ke-10 di tahun 1933, mengatakan bahwa tiada perjuangan kemerdekaan secara modern yang

3 Syamsul Basri., Pers dan Wartawan Sebagai Pembangkit Kesadaran

Bangsa Melawan Penjajah, (Jakarta: Deppen RI, 1987), hlm. 28.

4 Tabrani., Pers Nasional Sebagai Bagian dari Masyarakat yang Berjuang

Mencapai Kemerdekaan. (Jakarta: Deppen RI, 1987), hlm. 39-40.

(3)

tidak perlu memakai penyuluhan, propaganda dan agitasi dengan pers.5 Pengakuan semacam ini diungkap pula oleh Muhammad Hatta sewaktu membina koran PNI Baru, “Daulat Rakjat”, yakni:

“Memang majalah gunanya untuk menambah pengetahuan, menambah pengertian dan menambah keinsyafan. Dan bertambah insyaf kaum pergerakan akan kewajiban dan makna bergerak, bertambah tahu kita mencari jalan bergerak. Sebab itu majalah menjadi pemimpin pada tempatnya. Dan anggota-anggota pergerakan yang mau memenuhi kewajibannya dalam perjuangan tidak dapat terpisah dari majalahnya”.6

Pengakuan yang diungkapkan tersebut memberi gambaran akan pentingnya peranan pers dalam perjuangan pergerakan nasional. Peranan pers nasional sebagai alat perjuangan dengan orientasinya yang mendukung perjuangan pergerakan nasional telah mengambil bagian penting dari episode perjuangan dalam upaya mencapai kemerdekaan. Di samping sebagai wadah di mana ide-ide dan aspirasi organisasi disuarakan, juga telah berperan dalam menyadarkan dan membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan yang kemudian menjadi senjata ampuh melawan politik pecah belah Belanda.

A. Kondisi Pers Nasional Pasca Kemerdekaan 1945-1948

Pada awal sejarahnya, pers di Indonesia mempunyai ciri-ciri khusus yang berhubungan dengan keadaan masyarakat, politik, dan budaya. Sejarah pertumbuhan pers di Indonesia mencerminkan struktur masyarakat yang majemuk, dengan adanya golongan penduduk yang terpisah satu sama lain, seperti penduduk Belanda, China,

5 Ibid., hlm. VI.

(4)

Arab, dan India. Penduduk Indonesia sendiri pada zaman kolonial berada dalam batas-batas hidup kesukuan. Dengan itu maka bahasa yang dipakai pun berbeda, dan pers dipakai sebagai media pemberitaan dan pendapat yang berbeda pula, dan tidak jarang merupakan suara pendukung berbagai ideologi.

Tempat terbit dan penyebaran surat kabar Belanda hanya terbatas pada kota-kota besar yang penting bagi administrasi maupun sebagai pusat perdagangan perusahaan-perusahaan Belanda. Pada awal abad ke dua puluh beberapa pers Belanda mewakili orientasi politik tertentu, yang walaupun ada perbedaan, namun bercorak mempertahankan kolonial di Indonesia.7 Isi dari pers Belanda sendiri sudah tentu berorientasi ke Eropa dan kepentingan Eropa, serta menutup mata bagi keadaan dan kepentingan Indonesia, bahkan untuk mengetahui apa yang terdapat dalam pers masyarakat Indonesia saja dirasa tidak perlu, kecuali Bataviaasch Nieuwsblad dan De

Locomotief, pada umumnya corak pers mereka dapat disebut sebagai pers kolonial.

Dengan ciri pers Belanda yaitu dengan sistem rasial, apabila suatu media masa yang dapat membuka kemungkinan untuk mengeluarkan pendapat umum terhadap kebijaksanaan pemerintah maka tidak akan mendapatkan izin terbit. Namun sejak berlakunya ketentuan Liberalisasi, khusunya keputusan penguasa untuk menghapuskan pra sensor sebelum mulai tahun 1906, wartawan Indonesia mempunyai peluang untuk menerbitkan surat kabar sendiri. Liberalisasi di negara jajahan tentu mengandung kontradiksi-kontradiksi pasal-pasal karet dalam

7 Abdurrachman Surjomihardjo., Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers,

(5)

undang yang masih diberlakukan, bahkan pers breidel ordonantie tahun 1931 tetap merupakan senjata pengekangan dan penindasan.

Puncak dari politik pemerintah terhadap kebijaksanaan pers adalah ketika disahkannya peraturan dan pemberangusan pers pada tanggal 7 September 1931. Dalam pasal 1, disebutkan bahwa pers breidel ordonantie atau pemberangusan pers merupakan hak Gubernur Jendral untuk melarang terbit penerbitan tertentu yang dinilainya bisa mengganggu ketertiban umum, sedangkan dalam pasal 2 disebutkan adanya pelarangan percetakan, penerbitan dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama delapan hari, tetapi jika sesudah terbit surat kabar yang bersangkutan dinilai mengganggu lagi ketertiban umum, maka larangan terbit bisa menjadi lebih lama, meskipun tidak terbit lebih lama dari tiga puluh hari berturut-turut. Dari pasal-pasal peraturan yang ada pada masa pemerintahan Belanda, jelas sangat menyempitkan ruang gerak setiap gerakan pers yang berada di luar kepentingan kolonial. Tidak seperti di zaman kekuasaan Belanda, pers di zaman penguasa militer Jepang banyak sekali menguntungkan bangsa Indonesia, disamping ada juga faktor-faktor penekanan.

Zaman pemerintahan militer Jepang, sarana publikasi dan komunikasi diatur dengan undang-undang nomor 16 yang dikeluarkan oleh penguasa Jawa dan Madura. Dua segi yang menonjol dari undang-undang ini ialah sistem izin terbit dan sensor preventif. Dalam pasal 1 disebutkan, bahwa semua barang cetakan harus memiliki izin terbit dan izin publikasi. Pasal 2 menyebutkan, bahwa penerbitan yang sebelumnya memusuhi Jepang dilarang untuk meneruskan penerbitan. Adapun mengenai sensor preventif ditegaskan dalam pasal 4 yang menyatakan semua barang

(6)

cetakan, sebelum diedarkan harus melewati bagian sensor Bala Tentara Jepang. Ketegasan Jepang dalam peraturan persnya terasa sekali dengan ditempatkannya Shi

Doo In (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar, yang bertugas untuk

melakukan kontrol langsung terhadap setiap terbitan sebuah surat kabar, bahkan sering para penasehat tersebut menulis sendiri artikel-artikel dengan menggunakan anggota redaksi. Untuk mengelola penerbitan surat kabar tersebut pemerintah Jepang mendirikan Jawa Shinbun Kai, yang merupakan serikat Persurat-kabaran di bawah pemerintah militer. Pengaturan kehidupan pers oleh pemerintah Jepang sudah barang tentu menyempitkan kedudukan pers sebagai sarana informasi kepada umum, namun tak dapat disangkal bahwa juga memberi sumbangan berharga bagi perjuangan kemerdekaan dan pertumbuhan pers Indonesia setelah kemerdekaan.

Dapat dicatat bahwa larangan terhadap penggunaan bahasa Belanda meratakan penggunaan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok Indonesia untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Hal tersebut diperhebat pada masa penguasa Jepang sehingga orang-orang Indonesia sendiri mendapat latihan mengenai berbagai aspek pengelolaan pers dan menduduki posisi pada semua tingkat yang bertanggung jawab.8

Zaman pendudukan Jepang mendorong perubahan masyarakat dengan membuka jabatan-jabatan baru bagi bangsa Indonesia, yang pada zaman kolonial Belanda tidak terjadi. Pada saat Jepang kalah perang dan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah siap dengan berbagai jabatan yang diperlukan dalam menyusun kemerdekaan.

(7)

Pers Indonesia sebagian tergantung kehidupannya pada situasi dan kondisi di zaman Jepang, terutama sekali karena keterbatasan sarana seperti kertas dan mesin cetak. Akibat dipindah-pindahkan menurut kemauan siasat Jepang, tetapi di mana dahulu terbit surat kabar-surat kabar Jepang, di situ terbit surat kabar Republik.9 Demikian pula halnya dengan yang terjadi di beberapa daerah, baik itu mengenai motifnya maupun tujuan dari setiap surat kabar yang ada, tidak akan terlepas dari sejarah pertumbuhan persurat-kabaran, masyarakat, situasi dan kondisi saat itu. Surat kabar sebagai salah satu media massa mempunyai peranan penting dan kedudukan tersendiri di tengah-tengah masyarakat, terutama pada masa revolusi fisik. Walaupun disadari bahwa baru kalangan tertentu dan sebagian kecil dari masyarakat yang membeli surat kabar pada waktu itu, sehingga dapat dikatakan bahwa surat kabar masih merupakan barang langka. Apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk media massa lainnya maka surat kabar merupakan sarana komunikasi massa yang paling murah dan mudah dijangkau masyarakat pada umumnya.

Mengingat kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari memerlukan alat untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain, maka pada masa revolusi fisik, sarana komunikasi massa yang berupa surat kabar ini menduduki posisi yang amat penting bagi perjuangan. Surat kabar pada waktu itu merupakan penyampai semangat dan pesan serta informasi kepada masyarakat dan pejuang. Fungsi yang amat penting adalah sebagai pelopor dan pembangkit semangat perjuangan, tetapi surat kabar juga

9 Sumanang, Beberapa Soal Tentang Pers dan Jurnalistik. (Jakarta: Balai

(8)

merupakan alat kontrol sosial, mengadakan kontrol, dan membina para pejuang untuk tetap teguh pada pendirian di dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

1. Kondisi Surat Kabar Pasca Kemerdekaan

Awal berdirinya surat kabar-surat kabar pada masa kemerdekaan masih sederhana dalam bentuk dan sistem pengelolaannya. Bentuk perusahaan pada waktu itu belum berdasarkan peraturan badan hukum, melainkan hanya semacam bentuk gotong royong, saling percaya, kerja sama atas dasar kepentingan perjuangan, tidak terikat oleh suatu peraturan badan hukum. Pada masa revolusi fisik untuk mendirikan surat kabar yang terpenting adalah memiliki idealisme dan agak mengesampingkan segi ekonomis. Untuk mempertahankan idealismenya tidak jarang seorang pemimpin perusahaan harus berkorban materi, akibatnya tidak jarang surat kabar atau majalah hanya mampu bertahan beberapa bulan bahkan hanya beberapa kali terbit. Tidak mampu bertahannya suatu surat kabar atau majalah juga disebabkan oleh masalah teknis seperti sulitnya kebutuhan pokok seperti tinta, kertas, mesin cetak dan lain-lain, selain itu tidak terlepas dari kondisi masyarakatnya, kebudayaan maupun politik. Para karyawan surat kabar pada masa itu bekerja atas dasar perjuangan demi kemerdekaan, tetapi walaupun demikian tidak berarti pihak penerbit tidak memperhatikan kesejahteraan karyawan. Bagi karyawan sendiri pada prinsipnya yang penting surat kabar dapat terbit, soal gaji tidak jadi masalah. Apalagi yang menjadi wartawan perang, keduanya mempunyai sikap yang sama yaitu bekerja untuk kemerdekaan Republik Indonesia.

(9)

Mengenai keadaan dan bentuk persurat-kabaran pada masa itu masih sangat sederhana. Kebanyakan menggunakan kertas merang yang ukuran maupun tebal tipisnya tidak sama, di satu sisi licin dan halus yang lain kasar dan tidak rata. Terdiri dari dua halaman yang masing-masing surat kabar lebarnya tidak sama, kebanyakan setengah lembar koran sekarang. Mengenai masalah pengerjaan surat kabar dari proses pencarian berita hingga penyajiannya, para karyawan pers pada masa itu tidak terpancang kepada tugas dan posisinya dalam perusahaan pers, tetapi mereka saling membantu tanpa memandang posisi dan tugasnya.

2. Peranan Ikatan Pelajar Indonesia di Bidang Pers

Para pemuda, pelajar dan mahasiswa menghimpun tenaga dan kekuatan untuk berjuang dalam bidang media masa yang memiliki kekuatan untuk mendorong semangat perjuangan seluruh komponen elemen rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaannya sendiri dan mampu memberi tekanan pada pihak penjajah terutama terhadap NICA-Belanda yang berusaha menduduki kembali Pemerintahan Indonesia pada tanggal 29 September 1945.10

Beberapa cabang dari Ikatan Pelajar Indonesia menerbitkan organnya masing-masing, pada saat itu segala sesuatunya dikerjakan dengan tekad tanpa pamrih dan semua ditunjukan untuk perjuangan kemerdekaan. Para penyelenggara berstatuskan masih pelajar, disamping giat dan aktif dalam organisasi, menulis artikel majalah masing-masing dan menghadiri konferensi pers yang diadakan oleh Kementerian

10 Slamet Muljana., Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai

(10)

Penerangan atau ormas-ormas, mereka tetap terkena kewajiban masuk sekolah dan tetap harus mengikuti ulangan umum untuk kenaikan kelas ataupun ujian penghabisan sekolah. Selain tetap harus wajib belajar dan bersekolah, pembagian kerja di kantor pun diatur sebaik-baiknya dan di jadwal secara bergiliran. Ada yang datang pada saat pagi hari dan adapula yang bekerja di sore hari. Demikian pula tata usahanya telah diatur dari mulai mengambil majalah dari percetakan, menulis alamat para pelanggan, mengurus pembukuan dan ekspedisi sampai pengiriman ke kantor pos mereka lakukan sendiri. Semua itu tanpa adanya honor, mereka juga tidak menjagakan bantuan dari pihak lain karena mereka melakukannya dengan sistem gotong royong, percaya kepada diri sendiri dan ikhlas tanpa pamrih.

Penyerbuan Belanda ke wilayah de facto RI menghentikan semua kegiatan penerbitan secara legaal. Para pemuda, pelajar dan mahasiswa tetap terus berjuang di luar kota dan tidak sedikit pula yang bersikap pasif dengan Belanda. Pelajar dan pemuda yang berjuang ke luar kota sebagian tergabung dalam Tentara Pelajar ataupun yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan gerilya. Setelah kedaulatan RI diakui Belanda para pemuda yang semula ada di luar kota dan berjuang di hutan-hutan kembali ke kota untuk meneruskan belajar dan kembali aktif menuntut ilmu di sekolah atau diperguruan tinggi masing-masing.11 Selama itu nampak tidak banyak organ yang ditebitkan oleh para pelajar dan mahasiswa ini dikarenakan mereka mengejar ketinggalan yang selama ini mereka tinggalkan pada saat berada di daaerah pedalaman.

11 Marwati Djoened Poesponegoro Dan Nugroho Notosusanto., Sejarah

(11)

a. Pelita Zaman

Ikatan Pemuda Indonesia di Jawa Timur yang berpusat di Mojokerto menerbitkan majalah Pelita Zaman dengan dipimpin oleh Mohammad Icksan dan mengenai isinya dipercayakan kepada Dachlan dan Sujati. Pelita Zaman menyuarakan mengenai bahasa Indonesia yang dinilai sebagai bahasa persatuan dan perjuangan yang harus diterapkan dan memiliki kedudukan yang sangat penting. Editorial Tjamboek pada tanggal 20 Januari 1946 menunjukkan para pemimpin yang berusaha menerapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang penting meski dibawah pemerintahan Belanda, berita-beritanya antara lain:

Editorial Tjamboek pada tanggal 20 Januari 1946 :

Bahasa Indonesia, Bahasa Persatoean Dan Perdjoeangan

“Perkataan Bahasa Melajoe diganti dengan perkataan Bahasa Indonesia, Soenggoeh soeatoe tindakan jang sekali goes mereboet hati kita. Bertahoen-tahoen dalam zaman pemerintahan Hindia-Belanda dahoeloe kita perdjoeangkan soal bahasa Indonesia itoe. Para pemimpin tidak berhenti-berhentinja beroesaha soepaja bahasa Indonesia itoe diakoei oleh pemerintah ketika itoe tetapi tersia-sia belaka, betapa djoega hebatnja perdjoeangan diloear dan didalam badan perwakilan seperti Volksraad, Provinciale Raad dan Stadsgemeenteraad.

Tentang kedoedoekan bahasa Indonesia sebagai bahasa perdjoeangan, koerang sekali didapati penerangan. Angkatan moedalah jang telah banjak berdjasa dalam hal ini. Jaitoe beroepa soempahnja, bahwa kita bertanah air satoe; bangsa Indonesia; berbahasa satoe, bahasa Indonesia. Soempah angkatan moeda ini meloeas mendjadi soempah seloeroeh bangsa Indonesia. Ini memang tidak bisa lain karena kalau kita berdjoeang oentoek mentjapai Indonesia Merdeka, dengan sendirinja tanah air kita itoe haroes bernama Indonesia, bangsa kita bergelar bangsa Indonesia. Amat djanggallah djika misalja tanah air dan bangsa bertjap Indonesia. Sedang bahasanja bahasa Melajoe atau bahasa Djawa misalnja. Poen sebaliknja, djanggal poela biamana bangsa dan bahasa diseboetkan Indonesia, tetapi tanah air dinamakan Djawa atau Soematera. Djadi teranglah, bahwa bahasa Indonesia itoe boekan hanja bahasa persatoean. Tetapi, djoega bahasa perdjoeangan menoedjoe Indonesia merdeka jang boelat, jang tidak terpetjah-petjah, ibaratkan Indonesia merdeka

(12)

itoe sapoe lidi. Maka bahasa Indonesia itoe adalah tali jang mengikatnja poeloehan lidi itoe mendjadi satoe…”.12

Berita di atas, memuat mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, kaena bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan tanah air Indonesia. Selain bahasa persatuan, sebagai bahasa perjuangan menuju Indonesia merdeka dan bertujuan untuk mengusir kaum penjajah. Pada tanggal 15 November 1946 ditandatangani Perjanjian Linggarjati, Belanda menyerang Mojokerto dan semua penerbitan yang ada di Mojokerto termasuk Pelita Zaman menjadi kacau dan pemuda pelajar yang menanganinya harus mengungsi dan meneruskan perjuangan di tempat yang baru.13

b. Pemuda Merdeka

Selain Pelita Zaman, IPI cabang Kediri memiliki majalah bernama Pemuda

Merdeka dan dipimpin oleh Moerdjimin seorang pelajar Taman Guru Taman Siswa

Kediri. Tetapi Moerdjimin gugur ditembak Belanda ketika naik rakit hendak menyeberangi Sungai Brantas untuk kembali ke kotanya Nganjuk dengan melaksanakan tugas organisasinya di sana. Selain Moerdjimin kedua temannya anggota redaksi Sanyoto Padmodimulyo dan Pranata Sastrosuprapto yang juga pelajar Taman Siswa juga terkena tembakan Belanda dan tenggelam hanyut di Sungai Brantas. Pemuda Merdeka banyak menyuarakan informasi mengenai perjuangan bagi seluruh pemuda di Indonesia dan jalannya usaha mempertahankan kemerdekaan baik itu pemberitaan mengenai jalannya berperang melawan imperialisme Belanda,

12 Pelita Zaman, 20 Januari 1946, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional 13 Rushdy Hoesein., Terobosan Sukarno Dalam Perundingan Linggarjati,

(13)

maupun dampak dari pertempuran antara pemuda Indonesia dan Belanda. Seperti yang diterangkan oleh tulisan Trisula menerangkan keadaan para wanita, anak-anak dan kaum laki-laki yang dirampas hak dan diperbudak oleh tentara-tentara Belanda. Selain itu, perjuangan pemuda dalam menghadapi dan memperjuangkan kemerdekaannya tulisan-tulisannya antara lain :

Editorial Suryo Timur 15 Djoeli 1946 : PEMOEDA

“Banjak sedikitnja kita semoea soedah tahoe tentang perang Diponegoro. Oleh sebab itoe, soedah bisalah membajangkan bagaimana keadaan masjarakat dikala itoe. Bisa poela membajangkan bagaimana hidoep dimasa itoe. Sebeloem perang disana-sini, dipermoekaan Noesantara kita ini, kaki imperialisme Belanda mengindjak-indjak semaoe-maoenja. Sesoedah perang, sampai kepada zaman baroe ini kaki imperialisme Belanda jang mengindjak itoe diperkoeat. Teroetama oleh tangan-tangan berkoekoe tadjam jang hebat menjengkeram. Tangan-tangan imperialisme Amerika-Inggris kalau sedikit sadja Indonesia kita ini bergerak makin berloemoeran darahlah loeka-loeka tjengkeraman imperialis itoe. Selama berperang, desa-desa dibakar, pertanian diroesakkan, ternak dirampas, perempoean dan kanak-kanak ditangkap. Laki-laki dipaksa bekerdja mendirikan benteng-benteng moesoeh. Diboenoeh mati sesoeka hatinja. Hanja mereka jang toeroet berperang sadja jang hindar dari keboeasan ini. Mereka jang toeroet berperang sadja menikmatkan bahagia merdeka!. Mereka jang toeroet berperang djoega jang diloehoerkan selama-lamanja!.

Dalam membajangkan semoea ini sekarang, kiranja tidak berlebih-lebih kalau dikatakan: tiap temboesan peloeroe lawan jang menoempahkan darah nenek mojang kita, tiap djerit wanita dan kanak-kanak jang disiksa, tiap adoeh manoesia jang dibakar roemahnja, dirampas ternaknja, dipaksa bekerdja dengan semena-mena. Dan memangnjalah, semoeanja itoe pasti akan berlakoe kembali kalau kaki imperalis itoe mengindjak tanah air kita ini kembali. Oleh sebab itoe, disaat moesoeh itoe mendekat-dekat hendak mengindjakkan kaki diboemi kita lagi, kita mesti soedah mempoenjai sikap dan terlahirkan sebagai bangsa jang baroe”.14

Pemuda Merdeka kemudian digabung dengan majalah Pelajar Pejuang

dengan berganti nama Patria pada tanggal 10 Juli 1946 dengan dipimpin redaksinya

(14)

oleh Soetomo dari Sekolah Guru Laki-Laki Blitar dan di kemudian hari di kenal dengan Vifa Soetomo.

c. Patria

Patria sering menerbitkan mengenai penyampaian ide, misi dan perjuangan

melawan penjajahan Belanda. Selain itu, Patria juga menggambarkan mengenai perjuangan Pemuda pelajar. Pada Patria edisi No. 5 tertanggal 25 Oktober 1946 menerbitkan artikel berjudul “Pemoeda Dan Kemadjoean Bangsa”, antara lain:

“Peladjar penting oentoek masa pembangoenan, salah soeatoe kewadjiban jang amat penting bagi pemoeda dan pemoedi bangsa kita ialah keberanian, bahwa merekalah pemangkoe nasib bangsa. Kepada para pemoeda pemoedilah harapan bangsa ditoedjoekan. Dari mereka diharap sifat dinamis (gerak) jang dapat meroebah keadaan jang pintjang, meroebah keadaan setjepat-tjepatnja. Rasa kebangsaan, rasa satoe dengan bangsanja, rasa tjinta pada tanah air adalah salah satoe hal yang perloe oentoek menggelorakan djiwanja dan membakar semangat perdjoeangannja. Haroes poela pemoeda kita siap oentoek bertempoer dengan moesoeh djika tanah air terantjam. Kaoem pemoedi dalam oesaha dan persiapan haroes tahoe menempatkan dirinja pada tempat-tempat jang lowong karena ditinggalkan pemoeda kemedan perang, jang dapat diganti dengan tenaga pemoedi dan disitoelah lapangan oentoek mentjoerahkan tenaganja dan memenoehi djandjinya.”.15

Artikel ini menyebutkan para pelajar memiliki rasa berjuang untuk mempertahankan bangsa Indonesia. Pemuda pelajar adalah harapan untuk merubah dan menentang kaum penjajah. Perjuangan pemuda adalah perjuangan rakyat, para pemuda harus menjadi paling depan dalam menghadapi ancaman pihak luar. Selain itu, Patria menerbitkan sajak dari Usmar Ismail yang memiliki makna menceritakan kekecewaan rakyat yang telah tertipu oleh penjajah dan rakyat masih memiliki

(15)

harapan akan kemerdekaan. Sajak ini diterbitkan pada tanggal 25 September 1946, seperti berikut ini :

Tjaja Merdeka Kepada Tanah Airkoe. Sekali akoe terbangoen dalam tjerkammoe, Dari dalam djoerang jang gelap-hitam Kau renggoet akoe hingga akar-djiwakoe, Kau angkat akoe memboeboeng

Menatap wadjah Soeria Merdeka… Boeta akoe disorot ni’mat sinar gemilang, Diseret hanjoet gelora aroesmoe,

Kemoedian kau lemparkan dakoe Kepantai tindakan njata!

Telah kau remoek akoe,

Bersatoe padoe dengan sinarmoe, Ta’ moengkin akoe’kan soeroet lagi Sampai lipoer tjajamoe dalam matikoe…

Akan mengemboes angin dari tepi koeboerkoe setiap pendjoeroe, Membawa ni’mat Tjaja Merdeka…

Dan soedjoedlah akoe dihadirat Toehankoe menoenggoe.16

Patria berkantor di Mojokerto tetapi di cetak di Kediri dan bila percetakan

telah selesai, majalah diikat menjadi satu dan di angkut dengan kereta api ke Mojokerto ke rumah Mas Isman komandan TRIP Jawa Timur yang sekaligus di jadikan kantor majalah tersebut.

d. Obor

Ikatan Pelajar Indonesia juga menerbitkan majalah dengan nama Obor yang berarti Suluh di Blitar yang di kenal sebagai Kota Pelajar. Terbit dalam Bahasa Jawa dimaksudkan untuk memberi penerangan kepada rakyat pedesaan yang memang

(16)

belum begitu paham dengan Bahasa Indonesia.17 Pemimpin Redaksi Obor adalah Masroeroen di bantu oleh Siti Sudarmani, keduannya adalah pelajar SGL dan SGP setempat. Bentuk majalah ini sangat sederhana dan terkadang menggunakan kertas merang, ukurannya pun disesuaikan dengan kemampuan percetakan yang ada di Kota Blitar masa itu. Namun yang terpenting adalah isinya yang sungguh bermanfaat bagi para rakyat pedesaan terutama bagi perjuangan bangsa dan tetap menggalang persatuan seluruh bangsa Indonesia. Berlawanan sekali dengan penerbitan pihak Belanda yang meskipun menggunakan bahasa Indonesia tetapi isinya mengajak kealam penjajahan kembali, seperti media masa yang diterbitkan atas prakasa Dinas Penerangan Belanda “Regeerings Voorlichttings Dients”. Beberapa media Belanda tersebut seperti: Warta Indonesia (Jakarta), De Courant (Bandung) dan Het Dagblaad

voor Sumatera (Medan).

e. Soeara Moeda

Kemudian disusul Soeara Moeda yang diterbitkan oleh Ikatan Pelajar Indonesia daerah Surakarta mula-mula terbit secara mingguan kemudian diterbitkan tiga kali seminggu dan merupakan penerbitan IPI yang bertahan paling lama. Soeara

Moeda mula-mula berbentuk lembaran kemudian berbentuk majalah dan nomor

penerbitan perdananya terbit pada 1 November 1945. Soeara Moeda berkantor di Jl. Purwosari 314-316 Solo dan harga langganan untuk 3 bulan adalah F1 5.25; sedangkan untuk eceran seharga F1 0.30 atau tiga puluh sen. Dicantumkan sebagai penyelenggara Boestami dan Idham sedangkan redaksinya Slamet Moeljono, Singgih,

17 Soebagijo., Sebelas Perintis Pers Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1976),

(17)

Soeharto, Soekarto dan Soetikno dan sebagai Tata Usaha Rahoela, Toni Darto dan Hartono.18

Pada waktu itu Soeara Moeda mempunyai rubrik “pojok” yang di beri nama

nDjomplang dengan penjaga pojok Srempet. Tiga minggu kemudian terjadi

perubahan susunan baik dalam bidang redaksi maupun tata usaha dan pembaharuan redaksi di cantumkan nama-nama Soekarto, Soetikno, Moeljoto, Soetadi, Soeharto, Moeljono, Singgih, Hartoko dan Soemantri, sedangkan tata usaha antara lain Seno, Roesman dan Sri Tartani. Dalam sejarah pers Indonesia, Soeara Moeda merupakan korban pertama dari Pemerintah Republik Indonesia yang terkena persbreidel atau di batasi. Ini disebabkan penguasa setempat (Polisi Militer) Solo mempunyai penafsiran bahwa Soeara Moeda dianggap mendukung pihak swa-praja tetapi sebenarnya ialah anti swa-praja. Selain itu Soeara Moeda terbitan IPI Solo ini pula di catat sebagai usaha pelajar pedalaman yang mengirimkan wartawannya untuk menyertai konferensi pers dengan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook yang mewakili Mahkota Belanda di Indonesia pada masa itu.

f. Api Merdeka

Ikatan Pelajar Indonesia di Daerah Yogyakarta pun memiliki majalah bernama

Api Merdeka dan sebagai modal dalam menerbitkan majalah adalah kertas

pembungkus roti yang diperoleh dari sumbangan Komite Nasional Indonesia Daerah.

Api Merdeka baru menerbitkan dua nomor dan penerbitan di lanjutkan bersama

dengan PB IPI yang pada saat itu pindah dari Jakarta ke Yogyakarta dan bermarkas di Tugu Kulon 70.

(18)

Penyelenggara majalah Api Merdeka adalah sebagai berikut : Pemimpin Umum : Achmad Dahlan Ranoewihardjo Pemimpin Redaksi : Soebagijo Ilham Notodidjojo Pemimpin Administrasi : Rikoesworo Dirdjokoesoemo

Anggota Redaksi : Abdoel Madjid H. Ibrahim, Djalioes Djalil, Tjiptohardjono, Sartini dan Astoeti

Anggota Administrasi : Soedarsono, Soemarto, Soepomo, Soemardjan, Indroharto, Siti Soemar, Soegijanti dan Soeharti.19

Api Merdeka mempunyai pengaruh sampai ke luar Jawa ini dikarenakan para

pelajar di Sumatra yang di ketuai Boestaman menerbitkan majalah dengan nama

Menyala, penerbitan ini di namakan dengan Menyala sebab agar Api Merdeka di

Yogyakarta agar selalu menyala terus di Sumatra. Contoh tulisan Tjinta Tanah Air terbitan Api Merdeka pada tanggal 19 Agustus 1947 yang membuat semua rakyat memiliki semangat yang terus menyala, berisikan :

“Djika sempit, wahai tanah airkoe, djika sempit boeat dirikoe lapanganmoe, moga-moga langkahmoe akan bertambah lebar, lantaran pengorbanankoe. Bilakah lantaran tjinta kepadamoe, akoe akan naik tiang gantoengan soepaja sesoedahkoe hilang kelak bisa naik poela kekoersi mahtigai kemoeliaanmoe. Kita semoea haroes beroesaha soepaja penglaksanaan perdjoeangan berhasil, berbahagialah soeatoe tanah air jang poetera-poeteranja mentjintainja lebih daripada tjinta kepada diri sendiri. Akan djajalah soeatoe bangsa, akan sentausalah soeatoe masjarakat jang anggautanja siap sedia mentiadakan diri sendiri, mengenjampingkan diri sendiri, goena kehormatan agama, bangsa dan negara”.20

Suara yang tercermin dalam beritanya menunjukkan bahwa Api Merdeka sangat berharap besar bagi para putra-putri Indonesia dalam melaksanakan

19 Susunan Lengkap Pengurus Majalah Api Merdeka, Tahun 1947. Koleksi

Arsip Nasional Republik Indonesia, Arsip Susunan PB IPPI, No. 103.

(19)

perjuangan yang bertujuan untuk kehormatan agama, bangsa dan negara. Kehadiran majalah Api Merdeka di Sumatra di bawa oleh pemuda yang di kirim oleh pemerintah untuk mengadakan propaganda sekaligus menjadi penghubung antara pemerintah pusat di Yogyakarta dengan Pemerintah RI di Pulau Perca tersebut. Peran media masa terutama majalah sering memuat tulisan mengenai usaha mempertahankan kemerdekaan disebabkan masa itu adalah masa di mana Indonesia sedang melakukan usaha dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

B. Peranan IPPI di Bidang Pers Tahun 1948-1965

IPPI merupakan penyatuan dari organisasi SMI dan IPI yang lahir pada tanggal 2 febuari 1948 melalui kongres pemuda ketiga di Yogyakarta. Penyatuan ini dimaksudkan untuk menghimpun pengalaman dan kekuatan para pelajar dan mahasiswa dalam sebuah wadah perjuangan. IPPI terus-menerus mempelopori usaha-usaha mempertahankan dan mengobarkan semangat persatuan yang pada saat itu Belanda masih berusaha untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Wujud perjuangan IPPI sebagai sebuah organisasi pelopor perjuangan dari pemuda pelajar dalam mempertahankan kemerdekaan indonesia antara lain melalui bidang pers. Seiring dengan bangkitnya kesadaran nasional, pers telah dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyebarluaskan cita-cita mencapai Indonesia merdeka.21

21 Anwar Kurnia dan Moh. Suryana., Sejarah 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

(20)

1. Menyala

Pada masa pergerakan nasional, terbit surat kabar yang dikelola organisasi IPPI di Sumatra menerbitkan majalah Menyala yang ke dua dengan nomor terbitan 25 Juni 1949 seharga Rp.50,- dan sampul bertuliskan: Diterbitkan IPPI Sumatra Tengah. Pemimpin redaksinya adalah Sukardjo Wirjopranoto dan Adinegoro, majalah ini berisikan mengobarkan semangat kemerdekaan, semangat Republik, semangat pengabdian kepada negara dan bangsa. Seperti ditulis pada tanggal 30 Juni 1949 oleh Poenggoek berisikan :

BOEAH PIKIRAN SEORANG PEMOEDA

“Bangsa kita, jaitoe bangsa Indonesia. Bangsa jang tidak merdeka, tjita-tjitanja hanja satoe, dan paling penting, jaitoe Indonesia Merdeka. Ra’yat Merdeka. Kemerdekaan itoe ada seperti satoe boeah jang bergantoeng di pohon dan jang kita dapat petik kalau kita hendak menaik, hendak mengeloerakan tenaga kita dan peloeh kita. Kalau berdiam dibawah pohon itoe dan hanja melihat sadja tentoe kita tidak dapat boeah itoe. Kemerdekaan itoe adalah soeatoe hak segenap rakyat, maka soedah seharoesnja soeatoe ra’jat djadjahan mengorbankan harta bendanja, tenaga dan fikiran oentoek mendapatkan kemerdekaan itoe jang telah moesna.

Djikalau kita menanja kenapa hanja orang asing sadja jang mempoenjai gedong-gedong besar maka sebagai djawaban kita senantiasa dapat : salah bangsa Indonesia Sendiri, tanah air kita adalah negeri jang kaja sendiri. Walaupoen begitoe toch kita terhitoeng mahloek jang paling melarat. Segala initiatief, kemaoean oentoek berdiri sendiri padam. Bagi pemoeda hidoep sengsara boekanlah mendjadi soal lagi. Tidak banjak tempat pekerdjaan karena masih hoetan. Sekarang soedah waktoenja kita membikin hoetan-hoetan itoe mendjadi keboen-keboen. Sebab kita toch tidak akan selamanja memboentoeti kaoem kapitalisten sadja”.22

Suara yang tercermin dalam petikan diatas menunjukkan dasar dan tujuan berjuang untuk tetap tegaknya kemerdekaan Republik Indonesia, muatan tulisan tersebut menunjukkan bahwa Menyala sangat bersemangat untuk menyadarkan

(21)

segenap rakyat bahwa bangsa Indonesia memiliki hak untuk merdeka dan menyatukan tenaga dan pikiran untuk berjuang mendapatkan kemerdekaan. Buktinya adalah tulisan-tulisannya yang selalu lantang dalam menyebarkan kesadaran dan semangat bagi segenap rakyat Indonesia. Mengingat majalah ini diterbitkan di pedalaman oleh sebab itu proses penerbitan dengan alat dan bahan seadanya dengan menggunakan stensilan berukuran kwarto atau folio dan sebagai kop majalah di bagian kiri di lukis burung hantu di atas buku dengan menggunakan tinta, pena dan kertas di bagian kanan. Sedang di tengah ada gambar api menyala, sebagai semboyannya di pilihlah Suara Pelajar Republik.

2. Gerinda

Selain majalah Menyala, pemuda pelajar juga menerbitkan Gerinda di Semarang yang memuat tulisan yang bersifat politis. Kata Gerinda di ambil dari alat yang di pakai untuk mempertajam pisau, gunting dan sebagainya. Pada saat itu majalah Gerinda di resmikan di rumah Moh. Nugroho dan menerbitkan majalah bersifat politis karena setelah pihak Belanda dengan pasukannya melalui harian Suluh

Rakyat berusaha menyebarkan paham federalis dan spontan membuat IPPI bergerak

melalui tajuk rencana di majalah Gerinda menentang paham federalis tersebut. Susunan redaksi Gerinda antara lain Moh. Nugroho, V. Sugiono, Hartono, Abdullah dan Poeji Rahajoe. Akibat perlawanan pemuda pelajar melalui media pers melawan paham federalis, ketua IPPI yuwono di tangkap Belanda karena melakukan beberapa kesalahan yaitu mengenai agitasi jangan masuk sekolah Belanda, propaganda RI melalui majalah Gerinda dan menyebarkan pamflet gelap. Propaganda yang dilakukan oleh para pemuda membahas mengenai memberikan semangat dan

(22)

mengajak untuk bersatu melawan Belanda terutama memberi gambaran dalam perang gerilya yang pernah terjadi pada tanggal 25 November 1828, seperti tulisan yang berjudul Merdeka Atau Mati diterbitkan oleh Gerinda pada tanggal 17 September 1948 berisikan tentang :

“Oleh Karena itoe, dengan bersaksi kepada Toehan Jang Maha Esa, kami tetap berdiri tegak atas ketegoehan hati teroes meneroes berdjoeang oentoek mentjapai kemenangan achir dan Indonesiaa Merdeka. Kami memperhebat segala tenaga oentoek mendorongkan rakjat agar seloeroeh djiwanja dilipoeti oleh keinginan memiliki Indonesia Merdeka dengan semangat pertempoeran joega. Berkobar-kobar laksana api jang. Membakar berjala-njala penoeh dengan keichlasan mengatasi segala kesoekaran dan pengoerbanan, walaupoen akan menghadapi maoet. Kita dengan ketegoehan bathin dan ketetapan hati teroes-meneroes berdjoeang dengan sembojan : “Merdeka Atau Mati!”.

Dan betapa akibatnja penjerangan Goerila dari tentara Diponegoro itoe dapat kita lihat dalam soerat pelapor Ledel kepada Goepenoer Djenderal De Kock tertanggal Tegalweroe, 25 Nopember 1828 No.338, jang berboenji:

“Kita kira, oentoek mendoedoeki daerah sini (Tegalwero) kita haroes memboetoehkan riboe militer lengkap-koeat dengan sendjata api, sedang tentara tamtama jang ada disekitar goenoeng itoe hanja terdiri atas 100 orang”

Demikianlah hebat perang Goerila dan kalau kita mengingat, bahwa loekisan diatas ini diberikan oleh penoelis Belanda (E.S. De Klerck dalam boekoenja ,, Java Oorlong”) maka sidang pembatja dapat membajangkan bahwa perang Goerilla jang dilakoekan itoe lebih hebat. Alangkah hebatnja perkataan itoe, hebat menggetarkan kalboe. Perkataan itoe mendjadi poentjak soempah jang kita moelai dengan penjataan : Kita tidak maoe didjadjah lagi! Kita lebih soeka melihat seloeroeh Indonesia tenggelam di bawah gelombang Semoedera Hindia dia daripada memilikinja sebagai djadjahan orang lain!! Dengan soempah inilah kita menjosongsong Indonesia Merdeka. Merdeka atau mati! Soedah insjaflah semoea kita aka misi dan konsekwensi dari perkataan itoe? Isi perkataan itoe ialah: perdjoeangan tidak akan kita hentikan sebeloem seloeroeh imperialisme roentoeh. Kalau moesoeh berani mengindjakan kakinja di Tanah Air kita, maka dengan serentak seloeroeh rakjat haroes bangkit melawannja”. 23

(23)

Tulisan ini memiliki makna besar untuk berani menentang penjajah dan memiliki keteguhan untuk terus berjuang sampai seluruh kaum imperialisme pergi. Tulisan ini juga memberikan semangat melalui gambaran perang Gerilya yang dihadapi tentara Diponegoro untuk tidak takut menghadapi musuh dan memiliki prinsip untuk lebih baik mati karena bencana daripada harus mati ditangan penjajah yang berartikan bangsa lemah. Selain Yuwono, Soebijantoro yang mengambil alih pimpinan IPPI kemudian di tangkap dan di jebloskan di penjara ke dalam tahanan oleh IVG di Tilema-plein Semarang. Ini merupakan bukti kekuatan dan ketahanan pemuda pelajar melalui tulisan-tulisan yang di muat betapapun sederhana bentuknya tetapi memiliki makna mendalam bagi bangsa Indonesia.

3. Pemuda Masyarakat

Pada tahun 1951 IPPI Jakarta Raya memiliki majalah Pemuda Masyarakat yang mula-mula merupakan bulletin dan memiliki perkembangan di cetak secara modern dengan ukuran menyesuaikan pada waktu itu. Djafar Husin Assegaff seorang tentara pelajar, sebelumnya aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Pejuang Lampung, ketika sekolah di Jakarta bergabung menjadi anggota IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan Ormas ini punya majalah Pemuda Masyarakat dan di sana Assegaff belajar menulis artikel.24 Majalah Pemuda Masyarakat ini beralamatkan Jalan Subang No.16 Jakarta, majalah ini terbit tiap satu bulan sekali dan di jual dengan harga Rp.2,- tiap nomor, tetapi sebagai anggota IPPI hanya berharga Rp.3,- untuk tiga nomor. Di

24 Djafar Husin Assegaff, Wartawan Tak Kenal Pensiun, http://www.tokoh

indonesia.com//biografi//article//90286-direktori//1066wartawantidakkenalpensiun,

(24)

sampul depan majalah Pemuda Masyarakat tertera lambang IPPI dan di tengah lambang dari IUS yang menandakan bahwa IPPI adalah anggota IUS, tetapi setelah IPPI keluar dari IUS maka nama IUS pun sudah tidak di cantumkan sebagai lambang majalah Pemuda Masyarakat.25 Pimpinan Umum Redaksi majalah Pemuda

Masyarakat adalah Eddy Abdurrachman dan pemimpin Redaksi adalah Roestam

Anwar, tetapi jabatan itu tidak berlangsung lama karena Eddy Abdurrachman terkena pemecatan dan di gantikan oleh Makkateru Syamsuddin dan staff redaksinya adalah A. Hamid, Rostan dan Erno A.S dan tata usahanya adalah Sagaf Sofjan.

Pemuda Masyarakat mempunyai koresponden atau pembantu tetap di

beberapa kota bahkan ada di luar negeri. Beberapa kota yang bertanggung jawab dalam redaksi majalah Pemuda Masyarakat antara lain :

1. Jakarta di ketuai oleh Syahril dan Dodong Djiwapradja 2. Tegal di ketuai oleh Isw. Sukimin

3. Yogyakarta di ketuai oleh Suwardja S. 4. Padang di ketuai oleh Temas

5. Makasar di ketuai oleh Akhas Pangerang 6. Serang di ketuai oleh Andhrijs Djunaedi 7. Bandung di ketuai oleh Djayusman

25 International Union of Student (IUS) berdiri di Praha, Cekoslovakia pada

tahun 1948. IUS bergabung dengan IPPI karena dilandasi kesamaan visi dan misi perjuangan IPPI, yang berazaskan masyarakat yang bertujuan untuk membebaskan rakyat tertindas dan menciptakan keadilan serta kemakmuran pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat. Dan pada tahun 1954 PB IPPI Boestaman memutuskan hubungan dengan IUS karena menjadikan anggotanya tidak produktif karena selama ini IUS hanya menguntungkan salah satu blok dunia yang membuat IPPI tidak netral.

(25)

8. Sambas di ketuai oleh Aspia Mahjus 9. Singaraja di ketuai oleh Suwita M.S.

10. Dan di luar negeri Nederland di ketuai oleh Salamun dan Surjanto Utomo.

Salah satu redaksi majalah Pemuda Masyarakat di Bandung yang diketuai oleh Djayusman menerbitkan artikel dengan judul Setia Bangsa Dan Tanah Air yang membahas peranan penting pemuda dalam menjalani kewajiban pembangunan Negara Indonesia serta menanamkan nilai rasa cinta tanah air, memperteguh dan membela persatuan tanah air. Artikel ini diterbitkan pada tanggal 20 April 1951 berisikan seperti :

Setia Bangsa Dan Tanah Air

“Seloeroeh doenia kini mendjadi medan pertempoeran, api dan darah dimana-mana. Djoega di tanah air kita. Doenia lama sedang roentoeh dan doenia baroe sedang timboel dari gelombang dan badai zaman. Jaitoe Negara Indonesia Merdeka. Kewadjiban pemoeda dalam masa peperangan dan pembangoenan ini hanjalah satoe, jaitoe ikoet berjoeang. Ikut berjoeang, soepaja berwoedjoed tjita-tjita jang menjadi taroeh segenap bangsa Asia Merdeka jang bebas dari imperialisme. Ikoet berdjoeang, soepaja berwoedjoed tjita-tjita jang dikandoeng setiap anak Indonesia jang tidak mendoeharkai Tanah Airnja, jaitoe Indonesia Merdeka!.

Pemoeda pertjaja, bahwa doenia ini dapat dibentoeknja menoeroet kehendaknja. Pemoeda merasa bahwa didalam dirinya ada daja sjakti jang menjala sebagai api. Itoelah sebabnja, maka setiap zaman pantjaroba pertjaja kepada pemoeda, pertjaja bahwa tangan pemoeda akan dapat membangoenkan boemi baroe dan langit baroe jang lebih indah dari doenia lama, membangoenkan manoesia baroe jang akan hidoep berbahagia sebagai dewa didalam doenia!. Djoega kakak-kakak kita pertjaja kepada pemoedanja. Dengarkanlah oetjapan boeng Karno jang berboenji: Siapa jang menggenggam pemoeda, dialah jang menggenggam masa datang!. Dan boeng Hatta ada mengoetjapkan perkataan jang sederhana, tapi indah bagai intan. Jang berboenjinja “pemoeda, engkau pahlawan dalam hatikoe!”.26

26 Pemoeda Masyarakat, 20 April 1951, Koleksi Arsip Monumen Pers

(26)

Isi artikel Djayusman ini memiliki makna bahwa dalam kondisi buruk yang terjadi pada bangsa Indonesia pada saat itu, pemuda memiliki kewajiban untuk ikut berjuang dengan tujuan terwujudnya cita-cita segenap bangsa Indonesia merdeka dan bebas dari imperialism. Bung Karno dan Bung Hatta percaya bahwa pemuda memiliki peran penting untuk melanjutkan cita dan harapan bangsa. Majalah Pemuda

Masyarakat ini bertahan sampai tahun ke-IV dan setelah para pengurusnya terlibat

dalam berbagai kegiatan dan akhirnya pengelolaan majalah menjadi terbengkalai. 4. Bulletin Organisasi Intern

Sepuluh tahun kemudian Departemen Penerangan Pengurus Besar IPPI pada tahun 1965 menerbitkan “Bulletin Organisasi Intern”, namun hanya berbentuk bulletin, Pengurus Bulletin Organisasi Intern ini adalah Abd. Kahar Dangka sebagai pimpinan umum, pimpinan redaksi oleh Rachmat Timur dan penanggung jawab di pegang oleh Jusuf A., Rawis, Zimmi Nata, Munawar Hasan dan Hari. Bulletin

Organisasi Intern ini berkantorkan di Jalan Tanah Abang No. III/24 Jakarta.27

Bulletin ini terbit tiap satu bulan sekali dan di jual dengan harga Rp 5,- tiap nomor, tetapi sebagai anggota IPPI hanya berharga Rp 4,- untuk tiga nomor. Namun bulletin

Organisai Intern ini tidak bertahan lama karena adanya kerusuhan Gestapu.

Seperti halnya surat kabar-surat kabar pejuang lain pada umumnya, surat kabar terbitan dari IPPI dengan motivasi dasar menegakkan kemerdekaan guna mencapai kehidupan yang adil dan sejahterah serta mendorong semangat

27 Susunan Lengkap Pengurus Bulletin Organisasi Intern IPPI (Ikatan

Pemuda Pelajar Indonesia) Tahun 1968, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia,

(27)

nasionalisme yang menggerakkan para pemimpin nasionalis dengan suatu kebutuhan yang mendesak untuk berbicara secara bebas, meskipun dalam keadaan serba kekurangan. Dari kondisi tersebut dapat dirasakan bahwa pada dasarnya pers Indonesia pada masa awal berdirinya dan pada masa revolusi fisik masih dan hanya menekankan dari segi perjuangan, sedangkan dari segi komersilnya belum mendapat tempat dan perhatian khusus. Bangsa Indonesia dalam berjuang mempertahankan republik mempunyai tekat: “Merdeka atau Mati”, maka surat kabar Indonesia pun berorientasi dengan pedoman : “Lebih baik mati dari pada dijajah”.28

C. Hambatan IPPI Dalam Menjalankan Perannya

Pada saat Belanda mengacau dan menyerang wilayah Indonesia, dengan sendirinya juga dilakukan terhadap pers Republik Indonesia.29 Demikian pula pada saat terjadi agresi militer Belanda pertama pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers Republik (disebut pers Republiken pada waktu itu) bertambah berat. Pihak Belanda mulai pula menerbitkan koran-koran propaganda sendiri.30 Aksi-aksi Belanda sewaktu agresi militer baik yang pertama maupun kedua terhadap kegiatan adalah pertama, merampas alat-alat percetakan pada setiap penerbitan pers yang dilakukan rakyat Indonesia. Tentu saja tujuannya agar alat percetakan tersebut tidak dipergunakan oleh para penulis untuk memojokkan kedudukan mereka di Indonesia. Kedua, menangkap para penerbit dan menahannya agar tidak bisa bekerja melakukan

28 Gerinda , 17 September 1948, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional 29 Tribuana Said., Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila,

(Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1987), hlm. 77.

(28)

kegiatannya sebagai penyampai informasi kepada masyarakat. Ketiga, seperti yang sudah disebutkan di atas yaitu menerbitkan koran-koran propaganda sendiri, tetapi biasanya tidak pernah mendapat tanggapan dan simpati dari masyarakat.

Disamping kesulitan-kesulitan yang telah dikemukan di atas berhubungan dengan adanya pendudukan Belanda, kesulitan yang dihadapi Pers Republik di daerah-daerah pendudukan kecuali pemberangusan dan penangkapan, juga persediaan kertas koran dan percetakan. Masalah ini disadari oleh para penerbit pers nasional, seperti terbukti ketika mereka berkumpul di Surakarta pada bulan Februari 1946 untuk menyatukan barisan. Blokade militer Inggris dan Belanda di satu pihak, dan pembreidelan pers di lain pihak, jelas memukul eksistensi dan pertumbuhan pers republik. Blokade menutup jalur persediaan kertas, sedang pembreidelan pers mengakibatkan penyusutan dana karena tertutup sumber pemasukan penerbit. Demikian pula penangkapan-penangkapan terhadap para penerbit maupun penulis republik pun jelas mematikan pers Republik. Menyadari pentingnya kehadiran pers sebagai media komunikasi massa untuk penerangan dan meneguhkan semangat perjuangan mutlak ditingkatkan. Oleh karena itu sejak proklamasi dan selama perang kemerdekaan, jumlah surat kabar meningkat pesat karena memang tidak ada pembatasan dari pemerintah. Bahkan, pemerintah Republik menganjurkan kepada pemuda pelajar agar memperbanyak penerbitan artikel perjuangan dan pertahanan.31 Seperti: Pelita Zaman, Pemuda Merdeka, Patria, Obor, Soeara Moeda, Api Merdeka, Menyala, Gerinda, Pemuda Masyarakat dan Bulletin Organisasi Intern.

(29)

Pada saat Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dengan agresi militernya yang kedua yaitu pada bulan Desember 1948, surat-surat kabar nasional tidak ada yang terbit. Sebagian besar dari para penulis dan penerbit yang berhasil meloloskan diri dari tawanan Belanda memilih berpindah daerah yang dianggap aman dan mendukung dalam nelakukan kegiatan penulisan maupun penerbitan yang tidak lain untuk tetap berjuang menyebarkan semangat dan anti kolonialisme kepada rakyat Indonesia. Menyadari rakyat memerluhkan siaran dan penerangan, terutama yang diterbitkan oleh golongan Republiken, bahwa gerilya kita masih kuat dan bertambah kuat dan Belanda sudah mulai kalap, dan juga uraian-uraian untuk meninggikan semangat juang rakyat seluruhnya. Para pemuda pelajar tidak segan-segan pula memanggul senjata untuk ikut berperang sehingga pemuda pelajar memiliki tugas ganda, yaitu sebagai pejuang perang dan juga sebagai wartawan maupun penerbit. Sebagai pemuda pelajar, harus selalu menunjukkan sikap pejuang yang gigih.

Hal yang menarik dari perjuangan para pemuda pelajar ini adalah apabila siang hari mereka turut berperang secara fisik, maka apabila malam hari mereka bekerja di kantor untuk memuat tulisan-tulisan yang baru saja mereka saksikan di medan pertempuran. Walau saat pendudukan Belanda berhasil merampas alat-alat percetakan, tetapi para pemuda pelajar tetap melaksanakan kegiatan menulis dan menerbitkan meskipun harus dengan menggunakan bahan kertas sederhana, seperti menggunakan kertas pembungkus roti dan meminjam alat percetakan kepada salah satu anggota pemuda pelajar yang memiliki alat percetakan sederhana. Semua resiko tidak pernah dipikirkan oleh mereka, karena memang semboyan yang ada merupakan tekad mengusir penjajah dari bumi Indonesia, dengan slogan “Merdeka atau Mati”.

(30)

Dengan demikian pers pada masa revolusi fisik, sama halnya dengan perhatian bangsa, negara, dan pemerintah Indonesia pada waktu itu, yaitu semua memiliki tujuan tetap dalam kesatuan untuk tetap tegaknya kemerdekaan Indonesia. Ini berarti pers dan pemuda pelajar tampil menyatu dengan gelora revolusi perjuangn untuk mendukung tujuan Indonesia merdeka.

Dengan melihat kenyataan itu, dapat diketahui sejauh mana peranan pemuda pelajar terhadap perjuangan, baik perjuangan secara fisik maupun melalui pena untuk tetap mempersatukan bangsa dan mengusir penjajah. Kemenangan yang diperoleh oleh pejuang-pejuang kita, tentu tidak terlepas dari keikut-sertaan para pejuang pena yang berhasil menunjukkan keadaan Indonesia yang sebenarnya kepada dunia internasional bahwa rakyat Indonesia masih ada dan mampu memberi pukulan balasan terhadap pertahanan Belanda. Hal yang lebih penting yaitu berhasil mengembalikan kepercayaan rakyat Indonesia pada umumnya terhadap pemimpin-pemimpin Indonesia, yang juga membuktikan bahwa Republik Indonesia tidak mudah begitu saja untuk dihancurkan. Kemenangan yang nyata diperoleh ketika terjadi pengakuan dan penyerahan kedaulatan terhadap Republik Indonesia oleh Belanda. Bila ditinjau dari segi sejarah tumbuhnya pers nasional Indonesia, akan jelas bahwa memang pers Indonesia di jaman penjajahan merupakan tahap perjuangan dan pertahanan bangsa Indonesia. Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia, jaman perjuangan fisik pers untuk menegakkan kembali kemerdekaan, yakni menentang kolonialisme dan imperialisme, membutuhkan tekat, kekuatan dan dukungan rakyat.

Referensi

Dokumen terkait

Akuntan publik memberikan banyak jasa atestasi lainnya, yang kebanyakan merupakan perluasan alami dari audit atas laporan keuangan historis, karena pemakai menginginkan kepastian

Praktik kerja profesi dilaksanakan di Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik. Medan pada tanggal 28 November 2011 - 5 Januari 2012 dengan

KI 1 : Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya KI 2 : Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli toleransi, gotong royong, santun,

Dalam penelitian yang sudah ada sebelumnya, [DEWI R., 2007] aplikasi pengenalan wajah menggunakan citra wajah yang diambil dari pose frontal dan memiliki jarak pengambilan

Gambar 4 Pemetaan Pelaksanaan Safety Management System Penyedia Jasa Penerbangan Gambar 4.3 menunjukkan bahwa program keselamatan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh penyedia

perkebunan kelapa sawitnya cukup pesat dengan potensi lahan yang sesuai dan.. dialokasikan untuk tanaman kelapa sawit

Penurunan utang tersebut karena perseroan telah menyelesaikan pembayaran MSN senilai Rp405 miliar yang jatuh tempo pada 25 September 2009 secara tunai. Perseroan menurunkan beban