• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kebijakan Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

Kebijakan Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab

Kebijakan Ekonomi di Masa Pemerintahan

Khalifah Umar bin Khattab

Oleh: Abdul Gafur

A. Pendahuluan

Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi, karena sejarah adalah

laboratarium umat manusia. Ekonomi sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan

kecenderungan-kecenderungan jangka panjang dalam berbagai variabel ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi (itu sendiri).[1]

Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti ini akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer, di satu pihak, dan di pihak lain, akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya.[2]

Di antara beberapa kajian sejarah pemikiran ekonomi adalah kajian ekonomi di zaman Khulafâ Râsyidûn dan sistem perekonomian yang dibangun pada masa pemerintahan mereka. Di zaman itu, terdapat beberapa sistem perekonomian Islam, seperti penarikan zakat yang tegas di zaman Abu Bakar, dan beberapa reformasi dan perombakan sistem yang digalakkan pada masa khalifah Umar bin Khattab, bahkan ada sistem yang baru dikenal dan dicetuskan dalam sejarah Islam di periode pemerintahannya. Kemudian sumber daya alam

dikembangkan di zaman Utsman bin Affan dan penghargaan terhadap para pensiunan pada masa Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah.

(2)

Salah satu khalifah yang paling sukses dari Khulafâ Râsyidûn tersebut dalam memimpin dan mensejahterakan rakyatnya adalah Umar bin Khattab. Sosok Umar dikenal tegas dalam memimpin, sederhana dalam kehidupan sehari-harinya, dan taat dalam

beragama. Sosok kepemimpinan seperti ini sangat jarang, bahkan tidak ditemukan di zaman sekarang ini. Karena itulah diperlukan suatu kajian tentang kesuksesan Umar dalam

memimpin, agar bisa dijadikan teladan oleh para pemimpin mana pun.

Aspek yang bisa dikaji dalam makalah ini adalah kajian terhadap reformasi sistem ekonomi yang telah diberlakukannya. Karena bidang ekonomi merupakan salah satu bidang yang paling utama dalam mengukur kesuksesan suatu pemerintahan. Banyak kalangan sejarawan yang menilai bahwa Umar sukses mensejahterakan perekonomian umat muslim dan non-muslim saat itu. Maka dalam tulisan makalah yang sederhana ini, penulis akan mengulas kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Umar bin Khattab di bidang ekonomi saat menjabat sebagai khalifah. Kajian kebijakan ekonomi Umar ini difokuskan pada tiga kebijakan, yaitu pendirian lembaga baitul mal, pendirian lembaga al-hisbah, dan reformasi kepemilikan tanah, berdasarkan pada data-data sejarah yang penulis kumpulkan dari berbagai sumber. Semoga tulisan makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita di kemudian hari.

B. Pembahasan

1. Sekilas tentang Umar bin Khattab

Nama beliau adalah Umar bin Khattab, putera dari Nufail al-Quraisy, dari suku Bani Aidi. Di masa jahiliyyah, Umar bekerja sebagai seorang saudagar. Dia menjadi duta kaumnya di kala timbul peristiwa-peristiwa penting antara kaumnya dengan suku Arab yang lain.[3] Umar masuk Islam tatkaka berumur dua puluh enam tahun.[4]

Beliau diberi gelar dengan nama “al-Fârûq“, karena dengan pribadi Umar itulah Allah membedakan antara yang hak dan yang batil. Sesuai dengan doa Nabi saw terhadapnya: “Ya Allah! Muliakan Islam dengan kehadiran Umar“.[5]

Umar menerima jabatan khalifah dengan wasiat dari Abu Bakar ra, kemudian

(3)

berpikir jika tidak dicalonkan siapa yang akan menggantikannya, ia khawatir akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam seperti sebelum pengangkatannya sebagai khalifah. Ketika itu hampir saja terjadi perebutan kekuasaan pemerintahan antar kaum muslimin. Terlebih lagi saat itu umat Islam sedang berperang menghadapi bangsa Persia dan Romawi.

Ketika Umar memegang tampuk kursi khilafah menggantikan Abu Bakar ra pada tahun 13 H, ia menyebut dirinya dengan gelar “Khalîfatu khalîfati Rasûlillâh“, yaitu pengganti penggantinya Rasulullah saw. Selain itu, gelar yang disandang oleh Umar dalam memegang urusan khilafah adalah “amîrul mukminîn“. Hal ini disebabkan karena gelar “khalîfatu khalîfati Rasûlillâh” terlalu panjang hingga sebagian sahabat berkumpul dan mengeluarkan ide dengan gelar baru: “Kami adalah orang-orang beriman sedangkan Umar adalah pemimpinnya (amir)”.[6] Sejak itulah gelar “amîrul mukminîn” untuk sang khalifah populer, dan Umar merupakan orang yang pertama kali mendapat gelar tersebut sebagai khalifah.

Saat Umar memerintah, wilayah kekuasaan Islam sudah begitu meluas, yang mana meliputi jazirah Arab, sebagain wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh kekuasaan Persia, termasuk Irak.[7] Karena luasnya wilayah kekuasaan Islam, maka Umar memerlukan usaha yang keras dan kontinyu, baik optimalisasi devisa negara, perencanaan sistem ekonomi, anggaran, operasional kerja ataupun pengawasannya.

Selama Umar memimpin pemerintahan, ia sangat memperhatikan rakyat yang dipimpinnya. Ia selalu mendengarkan keluhan dan protes rakyatnya, jalan ke pasar, keliling mengontrol rakyatnya di jalan, bahkan sering dengan menyamar sebagai rakyat biasa, sebab sulit membedakan antara penampilan dirinya dengan rakyat biasa jika tidak pernah

mengenalnya.

Umar wafat pada hari rabu bulan dzulhijjah 23 H. Ia ditikam oleh seseorang yang bernama Abu Lu`lu`ah, ketika sedang memimpin solat subuh berjamaah. Periode

pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun 5 bulan 21 malam.[8]

2. Membangun Lembaga Baitul Mâl

Al-Mawardi menyebutkan bahwa baitul mâl adalah semacam pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan dan pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin. Tiap hak yang wajib dikeluarkan untuk kepentingan kaum muslimin maka hak tersebut berlaku untuk

(4)

baitul mâl, maka harta tersebut telah menjadi bagian dari pengeluaran baitul mâl, baik dikeluarkan dari kasnya maupun tidak.[9]

Adapun kewajiban baitul mâl adalah untuk mengamankan harta benda yang tersimpan di kas, dan untuk mengurus penerimaan kekayaan perbendaharaan yang meliputi:[10]

Mengurus nilai yang diterima, umpamanya dengan cara kompensasi untuk membayar para serdadu atau harga senjata dan kuda.

Mengurus kepentingan umum.

Sebenarnya gagasan sistem baitul mâl (puclic treasury) ini sudah ada dan dikenal di zaman Rasulullah saw dan khalifah yang pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq ra, namun tidak secara kelembagaan. Di zaman pemerintahan Umar bin Khattab, fungsi baitul mâl lebih dikembangkan dan diefektifkan lagi, dengan mendirikan lembaga khusus untuk pengurusan dan pengelolaannya.

Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi baitul mâl dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharâj sebesar 500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena itulah, Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan harta hasil pengumpulan pajak tersebut. Maka seluruh anggota kabinet (syûrâ) bersidang dan diminta pendapat mereka tentang penggunaan uang tersebut. Sahabat Ali lebih cenderung membagikannya kepada umat, tapi khalifah Umar menolak. Pada saat-saat yang menentukan itu, Walid bin Hisyam menyatakan bahwa dia pernah melihat raja Syria menyimpan harta benda secara terpisah dari badan eksekutif. Umar menyetujui pendapat ini dan lembaga perbendaraan umat Islam pun mulai terbentuk nyata. Harta benda tersebut pertama kali disimpan di ibukota Madinah. Dan untuk menangani lembaga tersebut, Umar menunjuk Abdullah bin Arqam sebagai bendahara negara dengan Abdurrahman bin Ubaid al-Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.[11]

Riwayat pendirian baitul mâl secara institusional di atas mengisyaratkan bahwa ide pendirian tersebut tidak orisinil dari Islam, akan tetapi berasal dari pengaruh pemerintahan-pemerintahan yang ada di masa itu, seperti pemerintahan-pemerintahan kerajaan Romawi dan Persia. Adopsi sistem keuangan tersebut tidak lantas menyebabkan Umar akan mengaplikasikannya sama seratus persen dengan sistem pemerintahan kerajaan yang lain. Akan tetapi sistem dari non-Islam itu tetap dipilah dan dipilih sehingga tidak menyalahi aturan ketentuan syariat Islam.

(5)

Kebijakan yang diterapkan oleh Umar dalam lembaga baitul mâl di antaranya adalah dengan mengklasifikasikan sumber pendapatan negara menjadi empat, yaitu:

Pendapatan zakat dan `ushr. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika

terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul mâl pusat dan dibagikan kepada delapan ashnâf, seperti yang telah ditentukan dalam al-Qur`an.

Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang muslim atau bukan.

Pendapatan kharâj, fai, jizyah, `ushr, dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.

Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[12]

Klasifikasi sumber pendapatan negara di atas sangat penting untuk diterapkan dalam pemerintahan Islam. Salah satu tujuannya adalah agar suatu sumber pendapatan tidak tercampur dengan sumber pendapatan yang lain. Seperti zakat dan pajak. Redistribusi

pendapatan hasil zakat, sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu kepada 8 golongan (ashnâf) yang berhak menerima zakat. Dan jika terdapat sisa dari hasil pengumpulan zakat, maka khalifah dapat mengambil kebijakan untuk disesuaikan dengan kebutuhan social. Sedangkan redistribusi pajak dapat ditentukan oleh khalifah. Dan umumnya hasil

pemungutan pajak ditujukan untuk pembangunan negara. Karena itulah, para pejabat baitul mâl tidak mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap harta baitul mâl yang berupa zakat.

Selanjutanya dalam mendistribusikan harta baitul mâl, Umar mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:[13]

Departemen pelayanan militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana.

Departemen kehakiman dan ekskutif. Departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat ekskutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal,

(6)

yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan, hal itu tetap dalam batas-batas kewajaran.

Departemen pendidikan dan pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.

Departemen jaminan sosial. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.

Di samping mendirikan beberapa departemen dalam pendistribusian harta baitul mâl, Umar juga menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikannya. Ia tidak senang memberikan bagian yang sama kepada orang-orang yang pernah berjuang menentang Rasulullah saw dengan orang-orang yang telah berjuang membela beliau. Menurut pendapatnya bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan jika

menetapkan bagian seseorang dari kelebihan harta bangsa itu. Prinsip keadilan menghendaki bahwa usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya.[14]

Karena hal itu, Umar membentuk sistem dîwân, yang menurut pendapat terkuat mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah komite nassâb ternama yang terdiri dari Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut`im untuk membuat laporan sensus penduduk.

Setelah semua penduduk terdata, Umar mengklasifikasikan beberapa golongan yang berbeda-beda dalam pendistibusian harta baitul mâl sebagai berikut:

No.

Penerima

(7)

1.

Aisyah dan Abbas bin Abdul Muthallib

@ 12.000 dirham

2.

Para istri Nabi selain Aisyah

@ 10.000 dirham

3.

Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badr

@ 5.000 dirham

(8)

Para pejuang Uhud dan migran ke Abysinia

@ 4.000 dirham

5.

Kaum muhajirin sebelum peristiwa Fathu Mekah

@ 3.000 dirham

6.

Putra-putra para pejuang Badr, orang-orang yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa Fathu Mekah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyyah.

@ 2.000 dirham

Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham.[15] Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun berupa gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap wilayah. Peran negara

(9)

yang turut bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah dunia.[16]

Sebagaimana yang diketahui tentang sosok Umar yang tegas dan bertanggungjawab, maka Umar melarang pihak ekskutif turut campur dalam mengelola harta baitul mâl.[17] Kebijakan Umar ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam tugas, atau penyalahgunaan pendistribusian pendapatan negara untuk kepentingan pribadi.

3. Membangun lembaga Hisbah.

Hisbah adalah kantor atau lembaga yang berfungsi untuk mengontrol pasar dan moral (adab) secara umum.[18] Dalam implementasinya, lembaga al-hisbah memiliki empat rukun, yaitu:

Muhtasib (Pengelola al-hisbah).

Muhtasib adalah orang yang menjalankan tugas-tugas al-hisbah. Pengelola ini harus memenuhi persyaratan seperti: muslim, mukallaf, merdeka, mendapat rekomendasi dari pemerintah setempat, mampu, dan berilmu.

Muhtasab `alaih, yaitu orang atau pihak yang melakukan perbuatan-perbuatan atau meninggalkan jenis-jenis perbuatan tertentu yang wajib atau boleh dikenakan tindakan al-hisbah. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang muhtasib tidak boleh pilih kasih dalam menindak dan mengenakan al-hisbah atas mereka.

Mushatab fîh, yaitu obyek al-hisbah yang meliputi berbagai macam perbuatan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pelanggaran yang dilakukan oleh muhtasab fîh ini harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Kemungkaran tersebut harus nyata, lahir dan diketahui. Kemungkaran tersebut sedang berlaku.

(10)

Nafs al-ihtisâb, yaitu cara atau tindakan al-hisbah.

Tujuan dari tindakan al-hisbah adalah penghapusan segala tindakan kemungkaran sekaligus menggantinya dengan kebajikan dan kemaslahatan sehingga tercipta rasa aman dan tentram serta keadilan dalam komunitas masyarakat.[19]

Adapun segmen kegiatan al-hisbah terhadap kontrol ekonomi itu di antaranya adalah:

Membuat ketentuan hukum yang jelas agar tidak terjadi penyelewengan dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki.

Mengontrol kesempurnaan alat takaran dan timbangan para penjual.

Pedagang tidak dibenarkan untuk menyembunyikan kerusakan atau cacat yang ada pada barang perniagaannya dan dilarang bersumpah palsu dalam transaksi jual beli.

Mengawasi jalur perdagangan tetap terbuka. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan atau penimbunan barang dari segelincir orang yang berakibat pada kelangkaan beberapa jenis barang, yang pada gilirannya berimplikasi pada terjadinya inflasi.

Pedagang dilarang mengadakan monopoli terhadap suatu produk pasar tertentu. Menentukan harga standar bagi produk-produk yang akan dipasarkan.

Dalam urusan kredit, seorang muhtasib hendaklah memastikan segala urusan perniagaan terbebas dari unsur riba.

Seorang muhtasib memiliki wewenang untuk memaksa peminjam agar membayar

pinjamannya jika dianggap mampu, sebaliknya ia juga berkuasa untuk menangguhkan hutang sampai orang yang berhutang dianggap mampu membayar hutangnya.

Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kemudahan pada rakyatnya seperti makanan, pekerjaan, perumahan, dan lain sebagainya. Selain itu, orang-orang miskin dan tidak mampu, diberi modal usaha yang dananya diperoleh dari dana infaq dan sedekah sehingga kemiskinan dapat teratasi.[20]

Menilik sejarah, tanggung jawab al-hisbah mulanya dipikul oleh Rasulullah saw sehubungan dengan adanya perintah Allah kepada Nabi saw sebagai rasul untuk selanjutnya disampaikan kepada umatnya agar senantiasa mengajak kepada kebaikan dan menghindari kemungkaran. Kemudian beliau mengangkat beberapa orang sahabat yang diberi tugas untuk

(11)

mengawasi jalannya suatu transaksi bisnis. Di kota Madinah itulah, beliau mengangkat Said bin Ash dan seorang wanita yang bernama Samra binti Nuhak sebagai pengawas pasar.

Lembaga al-hisbah ini dihidupkan kembali oleh Umar dengan mengangkat seorang sahabat wanita yang bernama asy-Syifa binti Abdullah, yang bertugas sebagai pengawas pasar di kota Madinah. Di samping itu, Umar juga mengangkat Abdullah bin Utbah sebagai inspektur pasar sekaligus bertindak sebagai hakim (qâdhi).[21] Perbedaannya, di masa Rasulullah, al-hisbah masih belum berbentuk lembaga. Sedangkan di masa Khalifah Umar, al-hisbah ini sudah menjadi lembaga khusus dalam mengawasi hal-hal yang terjadi dalam pasar.

4. Reformasi atas hak tanah.

Problem hak kepemilikan tanah memang merupakan masalah yang rumit untuk dipecahkan dari zaman ke zaman. Tidak jarang terjadi persengketaan, bahkan pertumpahan darah, akibat dari persoalan hak kepemilikan tanah ini. Seiring dengan pertambahan

penduduk, tanahpun menjadi semakin langka atau sempit, dan harganya juga kian meningkat. Alasan utama meningkatnya harga tanah memang pertambahan penduduk. Karena secara alamiah, semakin banyak penduduk di suatu daerah, lahan untuk tempat dan garapan tempat tinggal akan kian dibutuhkan.

Ada tiga sifat tanah yang harus diingat, dan ini tidak dipunyai oleh unit-unti produktif lainnya: (i) tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen bagi manusia, (ii) tanah kuantitasnya terbatas, (iii) tanah bersifat tetap, (iv) tanah bukan produk tenaga kerja. Jadi segala sesuatu yang selain tanah adalah produk tenaga kerja. Tetapi bumi pun akan memberikan hasil baik jika digarap dengan baik.[22] Sifat-sifat tanah ini harus diketahui terlebih dahulu sebelum mengambil kebijakan dalam persoalan hak kepemilikan tanah.

Sepanjang pemerintahan Umar, banyak daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian damai. Penaklukkan ini memunculkan banyak masalah baru. Di antaranya mengenai hak kepemilikan tanah yang sudah ditaklukkan. Islam memandang tanah dan semua yang terkandung di dalamnya harus digunakan untuk kepentingan umum dan rakyat, dan setiap orang berhak mendapatkan makanan dari pengelolaan tanah.

(12)

Dari sudut Islam, tanah sesungguhnya milik Allah, dalam pengertian milik setiap kelompok masyarakat (komunitas). Dan tak seorang pun boleh mendapatkan hak istimewa atasnya, oleh karena itu siapa yang mengerjakan tanah yang terlantar, maka dialah

pemiliknya. Ini sesuai dengan sebuah hadits Rasulullah dari penuturan Aisyah: “Pengolahan tanah terbengkalai yang bukan milik siapapun, maka dialah yang memilikinya” (HR.

Bukhari).[23]

Umar menafsirkan hadits tersebut bahwa Rasulullah menginginkan agar tanah-tanah luas yang telah dikuasai kaum muslimin haruslah dipikirkan pemanfaatannya di masa depan. Maka ketika para pejuang mendesak dengan sangat agar tanah taklukan dibagi-bagikan kepada mereka, bersama beberapa rampasan perang lainnya, Umar menolak dengan tegas. Ia tidak mau menyerahkan tanah perkebunan dari tanah taklukan lainnya kepada para prajurit.

Dari sini ia sampai kepada kesimpulan akan perlunya pengawasan yang ketat dalam pendistribusian tanah untuk mencegah terjadinya pembagian yang tidak adil. Hak

kepemilikan tanah dicabut dari pemilik aslinya, dan kemudian si pemilik asli beralih menjadi petani biasa atau hamba atau budak pengelola tanah. Selanjutnya hak kepemillikan diberikan menurut ketentuan-ketentuan baru. Jika salah seorang pemilik baru menjual tanahnya, pengelolaannya itu dialihkan kepada pembeli berikut tanahnya.[24]

Umar menetapkan beberapa ketentuan, di antaranya jika suatu saat komunitas muslim semakin bertambah banyak, maka negara berhak untuk mengambil kembali tanah tersebut sebagai perbendaharaan guna memenuhi kebutuhan negara. Jadi jelas meskipun berwenang mengambil alih hak kepemilikan, negara juga harus dan berhak mengatur jangka waktu pemilikan tanah. Bisa saja tanah dijadikan milik pribadi dengan mengenakan pajak tanah atasnya, tapi negara juga bisa menguasai tanah yang luas dengan memberi ganti rugi dan kemudian menjadikannya milik umum.

Umar menyadari pentingnya sektor pertanian untuk memajukan ekonomi negeri. Karena itu beliau mengambil langkah-langkah pengembangan dan mengembalikan kondisi orang-orang yang bekerja di bidang itu. Dia menghadiahkan kepada orang yang sejak awalnya mengolahnya. Tapi siapa saja yang selama tiga tahun gagal mengolahnya, maka yang bersangkutan akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut.[25]

Semasa Umar, tanah yang dinyatakan sebagai milik negara berjumlah sekitar 4.000.000 hektar. Pendapatan dari tanah ini mencapai 7.000.000 dinar setiap tahun, yang

(13)

semata-mata digunakan untuik kesejajahteraan umat. Jumlah kharâj dari Iraq berkisar

86.000.000 dirham setiap tahun. Dengan penerapan sistem ini, tanah-tanah yang sebelumnya tidak terurus, kemudian terolah baik, sehingga pada tahun kedua terjadi lonjakan pendapatan yang tinggi sekali, dari 86.000.000 menjadi 100.020.000 dirham.[26]

5. Keutamaan dan Kelemahan Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab

Abu Ubaid pernah menuturkan sebuah riwayat tentang kesuksesan Umar dalam kitabnya al-Amwâl sebagai berikut:[27] Pada masa Umar, Muadz bin Jabal pernah

mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah,[28] karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun Umar mengembalikannya. Ketika Muadz mengirimkan kembali sepertiga hasil zakat tersebut, Umar juga kembali menolaknya dan berkata: “Aku tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi aku mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan

membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.” Muadz menjawab:

“Seandainya aku menjumpai orang miskin di sana, tentu aku tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu.”

Pada tahun kedua setelah itu, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipunugutnya di Yaman kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Dan pada tahun ketiga, Muadz berkata: “Aku tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang aku pungut.”

Riwayat di atas menunjukkan kesuksesan Umar dalam memerintah, khususnya dalam bidang ekonomi. Namun bukan berarti semua kebijakan yang ia ambil itu sempurna. Salah satunya adalah prinsip keutamaan yang ia terapkan dalam mendistribusikan uang negara kepada rakyatnya. Prinsip ini menyebabkan ketimpangan di bidang ekonomi dan sosial. Dan sikapnya ini mengundang reaksi dari salah seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam. Menurutnya, tindakan Umar ini akan memicu lahirnya sifat malas di kalangan para pedagang yang berakibat fatal bagi kelangsungan hidup mereka sendiri, jika suatu saat pemerintah menghentikan kebijakan tersebut.[29]

Umar menyadari kekeliruannya ini dan mengubah pendapatnya serta bersumpah jika ia masih hidup di tahun yang akan datang, ia akan menyamakan semua bantuan dan

pembagian kepada seluruh rakyatnya. Dalam pernyataannya yang populer berbunyi: “Aku bersumpah demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang tidak mempunyai hak atas kekayaan (harta) ini (yang diterima dari orang banyak)

(14)

meskipun dalam prakteknya ia mungkin memperoleh atau memiliki hak melebihi dari yang lainnya selain seorang budak. Kedudukanku dalam hal ini sama dengan kalian dan derajat kita akan ditentukan berdasarkan Kitab Allah dan Rasulullah saw. Demi Allah! Sesungguhnya jika aku masih hidup, maka pengembala di bukit sanapun akan memperoleh bagian dari harta ini di tempatnya sendiri”.[30] Namun sayangnya, Umar wafat sebelum harapannya tersebut belum dapat ia realisasikan dalam kepemimpinannya. Meskipun demikian, Umar tetap merupakan salah satu pemimpin yang disegani oleh rakyatnya, baik muslim maupun non-muslim, bahkan ia adalah salah satu sosok pemimpin yang banyak dikagumi sampai saat ini.

C. Penutup

Berdasarkan uraian makalah ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, Umar bin Khattab telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi manajemen keuangan negara dalam sejarah Islam, yaitu dengan mendirikan baitul mâl secara institusional. Karena jika lembaga baitul mâl tersebut tidak segera dibentuk, seiring dengan semakin meluasnya wilayah pemerintahan Islam saat itu, maka tentunya akan menyulitkan pemerintahan Islam sendiri dalam mengelola keuangan negara.

Kedua, selain menjadikan baitul mâl sebagai sebuah lembaga otonom dalam pemerintahannya, Umar juga menjadikan pengawasan pasar (al-hisbah) yang telah digagas oleh Rasulullah Saw menjadi sebuah lembaga tersendiri. Lembaga ini sangat membantu pemerintahan Umar untuk mengontrol harga barang di pasar dan menindak para pelaku pasar jika melakukan penyelewengan dan kecurangan dalam jual beli.

Ketiga, Umar mereformasi hak kepemilikan tanah. Sebelum masa Khalifah Umar, tanah taklukan dibagi-bagikan kepada para prajurit muslim yang ikut berperan dalam

penaklukannya secara langsung. Namun ketika Umar menjabat sebagai Khalifah, tanah-tanah yang ditaklukkan oleh kaum muslimin sudah tidak dibagi-bagikan lagi secara langsung, akan tetapi diserahkan kepada penduduk yang ditaklukkan untuk dikelola dan diberdayakan secara produktif sehingga memberikan output dan menambah income yang sangat besar bagi

keuangan negara.

Gagasan, kebijakan dan sistem yang diterapkan oleh Umar, baik dalam

(15)

untuk diteladani. Namun perlu diketahui bahwa sebaik apa pun kebijakan dan sistem yang dijalankan, tidak akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan jika sikap dan kepribadian para pemimpin masih mementingkan diri sendiri dan kurang memperhatikan nasib rakyatnya.

Wallâhu a’laim

DAFTAR ISTILAH

– Dinar adalah koin uang yang terbuat dari emas. Kandungan emas yang ada dalam koi uang dinar adalah 22 karat dan beratnya 4,25 gram. Sejak zaman Rasulullah Saw hingga masa Khalifah V Bani Umayyah yaitu Khalifah Malik bin Marwan, dinar yang digunakan oleh umat Islam adalah dinar yang berasal dari kerajaan Romawi.

– Dirham adalah koin uang yang terbuat dari perak. Kandungan perak yang ada dalam koin uang dirham adalah 15 karat dan beratnya 3,98 gram. Sejak zaman Rasulullah Saw hingga masa Khalifah Umar bin Khattab, dirham yang digunakan oleh umat Islam sebagai alat tukar dirham yang berasal dari kerajaan Persia. Pada tahun 18 H, Khalifah Umar bin Khattab mencetak mata uang dirham pertama kali dalam Islam dengan bertuliskan alhamdulillâh dan di baliknya bertuliskan Muhammad Rasûlullâh.

– Diwan adalah suatu daftar yang di dalamnya tercatat nama-nama prajurit untuk pembayaran gaji dan pensiun.

– Fai’ adalah semua harta benda yang didapati dari musuh tanpa menjalani perang yang nyata. Termasuk dalam kategori fay adalah kharâj, jizyah, dan `ushr. Harta fay ini juga dibagi lima, diqiyaskan dengan ghanîmah, yaitu segala sesuatu yang diperoleh kaum muslim setelah mengalahkan orang-orang kafir dalam peperangan. Empat per lima dari harta rampasan perang dibagikan untuk para tentara atau panglima yang ikut berperang, dan kuda yang ikut berperang. Sedangkan satu perlimanya diperuntukkan pada Rasulullah, kerabat rasul, yang mana dikemudian hari diambil oleh negara, dan akan dinafkahkan untuk golongan yang sudah ditentukan oleh Allah dalam al-Qur`an (QS. Al-Anfal: 41).

– Jizyah adalah pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindunan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengeculian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap

(16)

orang laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Jizyah ini ada dua jenis: Pertama, jizyah yang diwajibkan berdasarkan persetujuan dan perjanjian, dengan jumlah yang ditentukan bersesuaian dengan syarat-syarat persetujuan dan perjanjian tersebut. Jizyah bentuk ini tidak dapat diubah-ubah meskipun pada hari kemudian. Kedua, jizyah yang diwajibkan, secara paksa kepada penduduk suatu daerah penaklukan.

– Kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari kaum non-muslim.

– Khums adalah segala kekayaan yang datang tanpa usaha, menanam modal atau tidak, melalui rampasan perang, perdagangan, pertanian atau industri. Rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin dalam menaklukkan suatu daerah, 1/5 nya harus diserahkan untuk baitul mal.

– ‘Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dan dibayar hanya sekali dalam setahun serta hanya berlaku terhadap barang-barang yang bernilai lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang dikenakan kepada para pedagang non-muslim yang dilindungi (ahl-adz-dzimmi) adalah sebesar 5%, sedangkan pedagang muslim sebesar 2,5%, dan untuk kafir harbi sebesar 10%. Di negara Islam, permulaan diterapkannya `ushr ini pada masa khalifah Umar ibn Khattab.

– Zakat adalah sebagian harta tertentu yang dikeluarkan oleh seorang muslim untuk diberikan kepada yang berhak menurut beberapa syarat tertentu. Zakat ini hukumnya wajib. Dan kadarnya sudah ditentukan oleh syariat Islam. Zakat yang boleh dimasukkan ke dalam kas baitul mal, hanya zakat dari jenis hasil bumi dan binatang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Wahab Afif, Mengenal Sistem Ekonomi Islam. MUI Provinsi Banten

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, September 2004, cet. Ke-1, edisi kedua.

(17)

Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Mughirah, Shahîh al-Bukhâri, Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Thaha Putra, tt, juz 3.

Al-Jauzi, Ibnu, Manâqib Amîr Mukminîn Umar ibn Khattâb. Beirut: Dar wa Maktabat al-Hilal.

Al-Mawardi, Abu al-Husain Ali ibn Muhammad, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Dar al-Fikr, 1960, cet. Ke-1.

Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Târîkh ath-Thabari, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, cet. Ke-1, juz 2..

Essays on Iqtisâd. Editor: Dr. Baqir al-Hasani dan Dr. Abbas Mirakhor. USA: NUR, 1989.

Kahf, Monzer, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka pelajar, September 1995, cet. Ke-1.

Mannan, M. Abdul, Ekonomi Islam: Teori dan Paktek, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, terj. Nastangin.

Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar ibn Khattab. Pustaka Azzam, Juni 2002, Terj. Ahmad Syarifuddin Shaleh, cet. Ke-1.

Ra`ana, Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn Khattab. Pustaka Firdaus, 1977, Terj. Mansuruddin Djoely, cet. Ke-2.

(18)

Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, Juli 2003, cet. Ke-6, jilid I.

[1] Kahf, Monzer, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka pelajar, September 1995, cet. Ke-1, hal. 7.

[2] Ibid., hal. 8.

[3] Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, Juli 2003, cet. Ke-6, jilid I, hal. 203.

[4] Al-Jauzi, Ibnu, Manâqib Amîr al-Mukminîn Umar ibn Khattâb, Beirut: Dar wa Maktabat al-Hilal, hal. 15.

[5] Ibid., hal. 32.

[6] Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Târîkh ath-Thabari, Beirut: Dar Kutub al-`Ilmiyyah, cet. Ke-1, juz 2, hal. 569.

[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, September 2004, cet. Ke-1, edisi kedua, hal. 58.

[8] Al-Jauzi, op.cit., hal. 268.

[9] Al-Mawardi, Abu al-Husain Ali ibn Muhammad, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Dar al-Fikr, 1960, cet. Ke-1, hal. 213.

[10] Mannan, M. Abdul, Ekonomi Islam: Teori dan Paktek, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, Terj. Nastangin, hal. 180.

(19)

[11] Ra`ana, Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn Khattab, Pustaka Firdaus, 1977, Terj. Mansuruddin Djoely. cet. Ke-2, hal. 150.

[12] Adiwarman, op.cit., hal. 74.

[13] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid I, hal. 169-173.

[14] Afzalurrahman, op.cit., hal. 164. Kebijakan Umar ini berbeda dengan kebijakan Khalifah Abu Bakar ra sebelumnya, di mana ia menerapkan prinsip persamaan dalam pendistribusian harta baitul mâl kepada rakyat.

[15] Essays on Iqtisâd. Editor: Dr. Baqir al-Hasani dan Dr. Abbas Mirakhor, (USA: NUR, 1989, hal. 159-160.

[16] Ra`ana, op.cit., hal. 160.

[17] Ra`ana, op.cit., hal. 61.

[18] A. Wahab Afif, Mengenal Sistem Ekonomi Islam, MUI Provinsi Banten, hal. 85.

[19] Ibid., hal. 72-73.

(20)

Umar lahir dari keturunan yang mulia, Ia berasal dari suku Quraisy. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah pada leluhur mereka yang kesembilan. Pohon keturuan Umar dapat ditelusuri sebagai berikut: Umar adalah putra Khattab, putra Nufail, putra Abd al-‘Uzza, putra Riya, putra Abdullah, putra Qarth, putra Razah, putra ‘Adiy, putra Ka’ab, putra Lu’ay, putra Ghalib al-‘Adawi al-Quraisyi. Nasab Umar bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada Ka’ab. Sementara itu, ibunda Umar adalah Hantamah putri Hasyim, putra al-Mughirah al-Makhzumiyah.[1]

Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Umar dilahirkan di Makkah kira-kira empat tahun sebelum perang Fijar dan dia telah tumbuh dengan sehat. Sedangkan Ibnu Atsir dalam Usul al-Ghabah meriwayatkan bahwa Umar dilahirkan tiga belas tahun sesudah kelahiran Rasulullah SAW. Umar adalah figur kefasihan dalam berbicara dan dalam balaghah, juga merupakan figur ketegasan dalam menyatakan dan membela hak. Semasa kecil dia suka menggembala kambing milik ayahnya, kemudian aktif berdagang ke Syam. Dia adalah seorang yang berasal dari keluarga dimana kemuliaan pada zaman jahiliah bermuara kepada mereka, disamping sebagai duta besar bagi puaknya pada masa itu.[2]

Umar bin Khattab memeluk agama Islam pada tahun kelima dari kenabian.[3] sebelum menjadi muslim, beliau termasuk pemimpin Quraiys yang sangat gigih menentang Islam. Oleh karena itu dengan masuknya beliau kedalam agama Islam sangat berpengaruh terhadap kaum Quraiys. Apalagi Umar adalah salah seorang yang disegani di kalangan kaum Quraiys.

Setelah Islam, Umar menjadi salah seorag sahabat Nabi Muhammad SAW. yang terdekat. ia digelari oleh Nabi Muammad SAW. dengan al-Faruq, artinya pembeda/pemisah.

Maksudnya ,Allah telah memisahkan dalam dirinya antara yang hak dan yan bathil. Hanya Umar yang begitu berani mengemukakan pikiran-pikiran dan pendapatnya di hadapan NAbi SAW.[4]

Baca juga: Contoh Format Susunan Makalah yang Baik dan Benar

Namun, sebagian kalangan mengartikan al-Faruq sebagai penjaga Rasulullah dan pencerai berai barisan kaum kafir, musuh yang senantiasa membangkan dan melawan dakwah Rasul. Pada masa-masa awal memeluk Islam, Umar bertanya Kepada Rasul, “wahai Rasulullah, bukankah hidup dan mati kita dalam kebenaran?” Rasul Menjawab, “Ya, demi Allah, hidup dan mati kita dalam kebenaran.” Kemudian kembali Umar berkata,”jika demikian mengapa

(21)

kita sembunyi-sembunyi dalam mendakwakan ajaran agama kita? Demi zat yang mengutusmu atas nama kebenaran, sudah saatnya kita keluar.[5]

Umar juga dicatat sebagai orang yan pertama kali digelari Amir al-Mu’minin-pemimpin orang beriman. Seorang utusan dari Irak datang menghadap kepada Umar untuk

memberitakan keadaan wilayah pemerintahan Irak. Saat tiba di Madinah, utusan itu masuk ke masjid dan bertemu dengan Amr bin Ash. Ia bertanya tentang Khalifah Umar, “wahai Amr , maukah kau mengantarku menghadpa Amirul Mukminin?” Amr balik bertanya, “mengapa engkau memanggil Khalifah dengan Amirul Mukminin?” utusan itu menjawab , “ya, karena Umar adalah pemimpin (amir), sementara kita adalah orang-orang beriman (mu’minin).” Amr menilai panggilan itu sangat baik. “Demi Allah, tepat sekali engkau mnyebutkannya.” Sejak itu, gelar Amirul Mukminin lekat pada Umar dan para khalifah sesudahnya[6].

Diantara kelebihan Umar bin Khattab ialah beliau memiliki sifat yang tegas yang ia warisi dari bapaknya, selain itu beliau adalah seorang pemimpin yang shaleh, adil, jujur dan sederhana serta selalu mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan orang banyak. Karakter-karakter tersebut menjadi modal utama beliau dalam mensukseskan politik pemerintahannya .

Kekhalifaan Umar bin Khattab (13-23 H / 634-644 M)

Sebelum Abu Bakar meninggal, ditunjuklah Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Menurutnya hanya Umar bin Khattablah yang mampu untuk meneruskan tugas

kepemimpinan umat Islam yang waktu itu berada pada saat-saat yang paling menentukan dalam sejarahnya yang akan mempengaruhi keberadaan Islam dan umatnya yang masih muda usianya, khususnya dengan banyaknya penaklukan-penaklukan umat Islam.[7]

Sebelum Abu Bakar memutuskan untuk menetapkan Umar bin Khattab sebagai

penggantinya, terlebih dahulu beliau berkonsultasi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang datang menjenguknya, antara lain : Abd al-Rahman bin Auf, Usman bin Affan, Usaid bin Hudlair al-Anshary, Said bin Zaid dan lain-lain dari kaum Muhajirin dan Anshar. Ternyata mereka tidak keberatan atas maksud Khalifah untuk mencalonkan Umar bin Khattab sebagai penggantinya.[8]

Melihat kondisi umat Islam waktu itu, penunjukan Abu Bakar terhadap Umar sebagai penggantinya merupakan pilihan yang sangat tepat. Umar adalah seorang yang berkharisma tinggi, dan mempunyai sifat yang adil amat disegani terutama terhadap orang yang

mengenalnya. Salah satu bukti atas besarnya kharisma dan keadilan Umar dihadapan pengikutnya adalah kebijaksanaannya ketika memecat Khalid bin Walid yang digelari

(22)

Rasulullah saw dengan gelar pedang Allah yang amat dikagumi kawan maupun lawan. Pemecatan itu sendiri dilakukan sewaktu umat Islam sangat membutuhkan seorang panglima perang sehebat Khalid bin Walid. Tunduknya Khalid kepada kebijakan Umar itu

menunjukkan betapa hebatnya kharisma Umar bin Khattab di mata kaum muslimin.[9]

Umar yang namanya dalam tradisi Islam adalah yang terbesar pada masa awal Islam setelah Muhammad SAW. telah menjadi idola para penulis Islam karena keshalehan, keadilan dan kesederhanaannya. Mereka juga mengannggapnya sebagai personifikasi semua nilai yang harus dimiliki oleh seorang khalifah. Wataknya yang yang terpuji menjadi teladan bagi para penerusnya.[10]

Para ilmuwan Barat pun mengakui ketokohan Umar bin Khattab dalam panggung sejarah Islam. Michael H. Hart menempatkannya pada urutan ke-51 dari seratus tokoh yang dianggap sangat berpengaruh di dunia.[11]

Meskipun pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah merupakan fenomena yang baru yang menyerupai penobatan putra mahkota, tetapi harus dicatat bahwa proses peralihan kepemimpinan tersebut tetap dalam bentuk musyawarah yang tidak memakai sistem otoriter. Sebab Abu Bakar tetap meminta pendapat dan persetujuan dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar.

Perkembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik Masa Umar bin Khattab

Setelah Abu Bakar menyelesaikan tugas kekhalifaannya dan menyusul kepergian Rasulullah SAW. Kehadirat Allah SWT. Umar meneruskan langkah-langkahnya untuk membangun kedaulatan Islam sampai berdiri tegak. Kemmpuannya dalam melaksanakan pembangunan ditandai dengan keberhasilannya diberbagai bidang.

Pemerintahan dibawah kepemimpinan Umar dilandasi prinsip-prinsip musyawarah. Untuk melaksanakan prinsip musyawarah itu dalam pemerintahannya, Umar senantiasa

mengumpulkan para sahabat yang terpandang dan utama dalam memutuskan sesuatu bagi kepentingan masyarakat. Karena pemikiran dan pendapat mereka sangat menentukan bagi perkembangan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Umar menempatkan mereka dalam kedudukan yang lebih tinggi dari semua pejabat negara lainnya. Hal ini tidak lain karena dilandasi rasa tanggung jawab kepada Allah SWT.[12]

(23)

Di zaman Umar gelombang ekspansi secara besar-besaran pertama terjadi, ibukota Syiria, Damaskus ditaklukkan dan setahun kemudian (636 M), setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syiriah jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqash. Iskandaria ditaklukkan pada tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh di bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah ibukota dekat Hirah di Irak, ditaklukkan pada tahun 637 M, dari sana serangan dilanjutkan ke ibukota Persia, al-Madain ditaklukkan pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Musol dapat dikuasai. Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi jazirah Arabiah, Palestina, Syiriah, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.[13]

Umar mengajak dunia memeluk Islam dengan ajakan yang baik dan penuh hikmah. Setelah pasukan muslim menaklukkan Persia, Umar berwasiat kepada Sa’ad ibn Abi Waqash, ”kuperintahkan engkau untuk mengajak mereka memeluk Islam; ajakla mereka dengan cara yang baik, sebelum memulai pertempuran. Umar juga berwasiat kepada para pemimpin pasukan agar tidak memaksa penduduk setempat untuk mengganti agama mereka dengan Islam. Umar justru berwasiat agar umat Islam dapat memuliakan mereka dan tidak mengganggu praktik-praktik ibadah mereka.[14]

Seiring dengan berkembang dan meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab mengharuskan ia mengatur adminstrasi pemerintahannya dengan cermat. Dalam sejarah umat Islam, Umar bin Khattab dipandang sebagai Khalifah yang cukup berhasil mengembangkan dan mewujudkan tata pemerintahan dan sistem adminstrasi

kenegaraan yang baik. Baik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, politik, hukum maupun ekonomi.

Adapun sistem yang beliau terapkan dalam keihidupan sosial kemasyarakatan ialah

menerapakan perlunya menghargai hak-hak individu dalam kehidupan masyarakat. Hal itu tampak pada masyarakat yang ditaklukkannya. Beliau memberikan kelonggaran dalam menjalankan ibadah menurut ajaran agamanya masing-masing.

Dalam bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan kenegaraan, Umar menyelesaikan tiap permasalahan yang dihadapi tidak cukup dengan pengamatan fisik semata-mata. Semua diselesaikan dengan peelitian yang cermat, teliti dan seksama. Kebijakan ini diberlakukan ke seluruh wilayah yang menjadi tanggung jawab kekhalifaannya. [15]

(24)

Lebih jauh lagi, Umar berhasil menghapuskan sistem feodal Roma yang diterapkan di Suria, dan kemudian membagi-bagikan tanah di situ kepada penggarap yang asli, yang memang penduduk Suriah[16]

Wilayah kekuasaan yang sangat luas itu mendorong Umar untuk segera mengatur

administrasi negara. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi, yaitu: Mekah, Madinah, Syiriah, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir, dan yang menjadi pusat pemerintahannya adalah Madinah. Sehingga dapat dikatakan bahwa Umar bin Khatab telah menciptakan sistem desentralisasi dalam pemerintahan Islam.[17]

Sejak pemerintahan Umar, telah dilengkapi adminstrasi pemerintahan dengan beberapa jawatan yang diperlukan sesuai dengan perkembangan negara pada waktu itu. Jawatan-jawatan penting itu antara lain adalah; Dewan al-Kharaj (Jawatan-jawatan pajak) yang mengelolah adminstrasi pajak tanah di daerah-daerah yang telah ditaklukkan. Dewan al-Hadts (jawatan kepolisian) yang berfungsi untuk memelihara ketertiban dan menindak pelanggar-pelanggar hukum yang nantinya akan diadili oleh qadhi. Beliau juga telah merintis jawatan pekerjaan umum (Nazarat al-Nafiah), Jawatan ini bertangung jawab atas pembangunan dan

pemeliharaan gedung-gedung pemerintah, saluran-saluran irigasi, jalan-jalan, rumah-rumah sakit dan sebagainya.[18]

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar juga telah didirikan pengadilan, untuk

memisahkan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang pada pemerintahan Abu Bakar, khalifah dan para pejabat adminstratif merangkap jabatan sebagai qadhi atau hakim. Awalnya konsep rangkap jabatan trersebut juga diadopsi pemerintahan Umar. Tetapi, seiring dengan perkembangan keukasaan kaum muslimin, dibutuhkan mekanisme administraif yang mendukung terselenggaranya sistem pemerintahan yang baik[19].

Setidaknya ada 3 faktor penting yang ikut andil mempengaruhi kebijakan-kebijakan umar dalam bidang hukum yaitu militer, ekonomi dan demografis (multi suku)

1. faktor militer

Penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar adalah fakta yang tak dapat difungkiri. Beliau menaklukan Irak, Syiria, Mesir, Armenia dan daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan Romawi dan Persia.[20] Untuk mewujudkan dan menyiapkan pasukan profesional, Umar menciptakan suatu sistem militer yang tidak pernah dikenal sebelumnya

(25)

yaitu seluruh personil militer harus terdaptar dalam buku catatan negara dan mendapat tunjangan sesuai dengan pangkatnya. Pembentukan militer secara resmi menuntut untuk melakukan mekanimisme baru yang sesuai dengan aturan-aturan militer.

2. faktor ekonomi

Dengan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, tentu membawa dampak pada pendapatan negara. Sumber-sumber ekonomi mengalir ke dalam kas negara, mulai dari kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak perlindungan), ghanimah (harta rampasan perang), Fai’ (harta peninggalan jahiliyah), tak ketinggalan pula zakat dan harta warisan yang tak terbagi[21]. Penerimaan negara yang semakin bertumpuk, mendorong Umar untuk merevisi kebijakan khalifah sebelumnya (Abu Bakar). Umar menetapkan tunjangan yang berbeda dan bertingkat kepada para rakyat sesuai dengan kedudukan sosial dan kontribusinya terhadap Islam.

Padahal sebelumnya, tunjangan diberikan dalam porsi yang sama. 3. faktor demografis

Faktor ini juga sangat berpengaruh pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Umar. Jumlah warga Islam non-Arab semakin besar setelah terjadi penaklukan sehingga kelompok sosial dalam komunitas Islam semakin beragam dan kompleks sehingga terjadi asimilasi antara kelompok. Terlebih lagi setelah kota Kufah dijadikan sebagai kota pertemuan

antarsuku baik dari utara maupun selatan. Perbauran inilah yang membawa pada perkenalan institusi baru.

Dari uraian faktor-faktor yang ikut andil mempengaruhi kebijakan-kebijakan Umar di atas, dapat dipahami dan disimpulkan bahwa metodologi Umar dalam menetapkan hukum dipengaruhi oleh dua sikap yaitu beradaptasi dengan kemajuan zaman dengan kreatif dan berorientasi pada sejarah secara kontekstual

Beberapa Kasus Penetapan Hukum Umar

1. Kasus Mauallaf

Dalam surah Taubah ayat 60, Allah telah menjelaskan bahwa ada delapan kelompok yang berhak menerima zakat. Diantaranya adalah muallaf yaitu orang yang masih lemah imannya,

(26)

agar mereka tetap memeluk Islam dan orang yang dibujuk hatinya agar bergabung dengan Islam atau menahan diri untuk tidak mengganggu umat Islam. Namun pada masa

pemerintahan Umar, orang-orang kafir tidak lagi mendapatkan zakat sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan Abu Bakar dengan alasan bahwa kondisi umat Islam pada masanya telah kuat dan stabilitas pemerintahan sudah mantap.

Menurut Umar, muallaf dari kelompok kafir hanya berhak menerima zakat di kala Islam masih lemah, akan tetapi jika alasan itu sudah tidak ada (Islam sudah kuat) maka mereka tidak berhak lagi. Keputusan Umar ini berdasarkan penalaran ijtihad tahqiq al-manath (memperjelas dan merealisasikan alasan hukum syariat) yang tidak bersentuhan langsung dengan teks.[22] Keputusan ijtihad Umar tidaklah bertentangan dengan nash al-Qu’ran dan tidak menggugurkan hukum muallaf dari kelompok penerima zakat, melainkan hanya

merupakan penerapan hukum untuk suatu kondisi dan pada saat tertentu karena ada maslahah yang perlu dicapai. Sedangkan muallaf dari golongan Islam tetap mendapatkan zakat.[23]

2. Kasus potong tangan bagi pencuri

Dalam hukum Islam, pencurian yang dilakukan oleh seseorang akan dihukum dengan hukuman potong tangan.[24] Namun terkadang sebagian umat Islam tidak memahami model-model pencurian yang mendapat hukuman potong tangan, bahkan terkadang arogan untuk menvonis semua pencuri dihukum dengan hukuman potong tangan, sehingga menimbulkan imej bahwa hukum Islam itu tidak manusiawi. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Umar pernah tidak memberlakukan hukum potong tangan terhadap pencurian di kala umat Islam terbelit krisis ekonomi. Umar tidak menentang hukum potong tangan akan tetapi memperketat kriteria seorang pencuri dijatuhi hukuman yang sangat berat ini.

Oleh karena itu, kasus pencurian perlu difahami dan diteliti secara menyeluruh, bukan saja menyangkut objek, materi curian akan tetapi juga memahami penyebab terjadinya kejahatan itu sendiri dan sudah barang tentu pelakunya. Pada akhirnya hukuman potong tangan tidak semudah yang dipahami oleh sebagian umat Islam saat ini, sehingga tidaklah layak

mengatakan bahwa Islam tidak mengenal HAM. Dan sangat perlu diingat bahwa menjaga keamanan masyarakat itu lebih penting, meskipun dengan cara mengorbankan seseorang yang sudah menjadi sampah masyarakat.

(27)

Sejarah Islam telah menjelaskan kepada umat Islam bahwa harta yang dihasilkan dari kontak senjata dengan non-Islam, seperlimanya dialokasikan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an.[25] Sedang empat perlima dibagikan kepada pasukan yang ikut dalam peperangan. Namun Umar yang menjadi khalifah kedua tidak memberlakukan hukum di atas dengan berbagai pertimbangan.

Pertimbangan Umar dapat disimpulkan dari sidang musyawarah yang diadakan oleh beliau dengan para sahabat-sahabatnya sebagai berikut:

Penaklukkan tidak selamanya terjadi terus menerus dan penghasilan negara Islam tentunya akan berkurang.

Menjaga ekonomi dan keuangan negara

Kecenderungan umat Islam untuk berperang bukan lagi atas dasar kejayaan Islam akan tetapi karena harta rampasan.

Belanja negara yang semakin besar dan membengkak seperti biaya operasional penjaga perbatasan dan perlengkapan militer serta santunan janda-janda dan anak-anak.[26]

Pemaparan dan penjelasan berikut contoh-contoh keputusan Umar yang tertera di atas dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan Sunnah sekaligus dijadikan sebagai metode dalam mencetuskan hukum. Beberapa point penting yang terkait dengan alasan perubahan hukum yang dilakukan oleh Umar sebagai berikut :

Memperhatikan dan mengkaji alasan hukum (illat al-ahkam) Hikmah dan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat Perkembangan masyarakat yang terus berkembang dan berubah Kondisi kehidupan masyarakat

Selain membentuk lembaga peradilan negara dalam upaya penegakan hukum, Umar juga membentuk lembaga-lembaga negara lain, guna menunjang tugas-tugas pemerintahan. lembaga-lembaga yang dibentuk itu antara lain Lembaga Pendaftaran dan pencatatan

(28)

penduduk yang bertugas melakukan sensus penduduk. Sebuah lembaga yang pernah ada sebelumnya. Disamping itu Umar juga membentuk Dinas (kantor) pos, Kas Negara (baitul mall), percetakan negara yang bertugas untuk mencetak uang resmi pemerintah, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan markas-markas tentara. Lembaga-lembaga-lembaga tersebut tersebar disetiap wilayah dan ditangani oleh orang-orang atau penduduk setempat.[27]

Dalam pemerintahan Umar seluruh pejabat dan pegawai pemerintahan harus mampu melaksnakan tugas dengan baik, karena Umar juga menggunakan petugas intelejen untuk mengawasi mereka, serta selalu mencari keterangan tentang kemungkinan penyalahgunaan wewenang atau tindakan yang tidak adil terhadap penduduk.[28]

Umar adalah seorang khalifah yang bersikap keras dan tegas kepada kepada para

gubernurnya (pembantunya). Dia begitu khawatir mereka akan bertindak dengan tindakan yang akan membuat rakyat takut kepada mereka, mau menghinakan diri dan dengan

demikian berarti mereka telah dididik menjadi pengecut dan berkarakter tidak baik. Untuk itu ia selalu membuka diri untuk menerima berbagai keluhan dari para pembantunya, lalu hal tersebut disampaikan kepada masyarakat luas dalam khutbanya.[29]

Dan hal yang paling penting juga bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Khattab

penetapan kalender Hijriah dimulai sebagai kalender Islam, dengan peristiwa hijrah sebagai titik awal penghitungan sistem kalender dalam Islam.

Khalifah Umar bin Khattab memerintah selama 10 tahun (13-23 H/634-644 M), beliau dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’luah.[30] Tidak diketahui latar belakang dan tujuan utama pembunuhan itu. Tetapi para ahli sejarah mengatakan, bahwa terdapat permusuhan yang meningkat antara bangsa Persia dengan Khalifah Umar bin Khattab. Permusuhan itu antara lain disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:

1. Dimasa Umar negara Persia dibuka oleh Islam dan bangsa Arab masuk ke daerah itu. Kemungkinan hal itu dianggap bangsa Persia sebagai penjajahan, sedangkan Persia adalah satu negara besar yang tidak pernah dijajah atau ditundukkan oleh siapapun.

2. Banyak pembesar Persia seperti raja, menteri-menteri dan lain-lainnya yang kehilangan jabatan. Hal ini menimbulkan rasa kesal dan tidak puas, apalagi sebelumnya kekuasaan mereka sangat luas dan memiliki banyak hamba sahaya dan pengikut.[31]

(29)

Demikianlah gambaran singkat tentang Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang agung dengan segudang prestasi yang gemilang telah dicapai dalam pemerintahannya, eksapansi-eksapansi yang dilakukan dan penataan administrasi pemerintah yang tepat dan cermat sehingga dalam jangka waktu kurang lebih 10 tahun kepemimpinannya telah mampu membawa umat Islam kesituasi yang gemilang yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan pemaparan yang telah diuraikan di atas, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1.Umar sebagai khalifah kedua setelah abu bakar, dilahirkan dari keluarga mulia suku

quraisy, tiga belas tahun sesudah kelahiran Rasulullah SAW.. dan memeluk agama Islam pada tahun kelima dari kenabian dan menjadi slah satu sahabat nabi yang terdekat, beliau adalah sosok pemimpin yang berakhlak tinggi, tegas, cerdas dan adil. Rasulullah SAW. memberinya gelar Al-Faruq yaitu pembeda anatara yang hak dan yang bathil.

2.Pengangkatan Umar sebagai khalifah berbeda pada zaman sebelumya, dimana Umar ditunjuk oleh Abu bakar untuk menajadi pengantinya sebagai pemimpin Umat Islam setelah beliau wafat, namun hal itu terlebih dahulu dimusyawarakan dengan sahabat-sahabat yang lain dari kalangan Muhajirin dan Anshar.

3.Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab banyak sekali prestasi-prestasi gemilang yang telah dicapai pada masanya. Beliau telah meletakkan dan membangun sistem administrasi pemerintahan yang kuat, sehingga membawa negara Islam pada pucak keemasan pada masanya.

Catatan Kaki

[1] Musthafa Murad, Umar ibn al-Khattab, terj. Ahmad Ginanjar Sya’ban dan Lulu M.Sunman, Kisah Hidup Umar Bin Khattab (Cet. I; Jakarta: Zaman, 2009), h.15

[2]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam as siyasi wa ats tsaqafi wa al Ijtima, terj. H.A. Bahauddin, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Cet. I; Jakarta: Kalam Mulia , 2001), h. 402 [3] Ibid., h. 402

[4] Dewan Redaksi Insiklopedi Islam dalam Ensklopedi Isla: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid V (jakarta : 1994)

(30)

Kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab r.a. Masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab r.a. adalah masa ekspansi dan penaklukan besar-besaran. Pantas dikatakan demikian sebab kedaulatan umat Islam meluas sampai mendekati Afganistan dan Cina di sebelah timur, Tunis dan sekitarnya di Afrika Utara di bagian barat, Anatolia dan Laut Kaspia di Utara, dan kawasan Nubia di selatan. Bukan hanya itu, negeri yang ditaklukan pun bukan negeri

sembarangan, misalnya negeri Romawi dan Persia yang saat iru sedang berada dalam masa jayanya. Namun kehebatan umat Islam saat itu tidak semata-mata sebab kehebatan strategi dan keberanian berperang. Tapi juga didukung oleh stabilitas dalam negeri umat Islam yang kondusif. Umar bin Khattab r.a. mampu menciptakan atmosfir pemerintahan yang

demokratis, transparan dan penuh ketaatan tehadap Allah SWT. Umar bin Khattab menciptakan sistem pemerintahan yang sebelumnya belum pernah dikenal oleh negeri manapun, termasuk Romawi dan Persia. Umar bin Khattab menciptakan sistem kas Negara (Baitul Maal), sistem penggajian pejabat Negara dan kontrak resminya sebagai pejabat Negara, sistem check and balance antara eksekutif dan yudikatif, dan lain-lain. Maka pantas setiap penaklukan dan perluasan wilayah tidak menimbulkan konflik baru. Setiap wilayah baru tetap terjaga stabilitas dan integrasinya, sebab sistem dan kontrol baik dari Umar bin Khattab sebagai pemimpin tertinggi Negara. Perluasan Wilayah kedaulatan Kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab r.a.Kepemimpinan Umar bin Khattab tidak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan Islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo. Dalam masa kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah, penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna. Penyerangan Islam pada Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637, terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin Khattab pada tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara. Pembentukan Atmosfer Demokrasi Di awal pembaitannya sebagai khalifah Umar bin Khattab berpidato di depan kaum muslimin, ia berkata: “Saudara-saudara! Saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak sebab segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini.” Lalu dia menengadah ke atas dan berdoa: “Allahumma ya Allah, aku ini sungguh keras,

(31)

kasar, maka lunakkanlah hatiku. Allahumma ya Allah, aku sangat lemah, maka berilah aku kekuatan. Allahumma ya Allah, aku ini kikir, maka jadikanlah aku orang yang drmawan bermurah hati.” Umar berhenti sejenak, menunggu suasana lebih tenang. Kemudian dia berkata: ”Allah telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan kalian. Sepeninggal sahabatku, sekarang saya yang berada di tengah-tengah kalian. Tak ada

persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya, dan tidak ada yang tidak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan pada mereka.” Dalam pidato awal

kepemimpinannya itu Umar tidak menempatkan dirinya lebih tinggi dari umat Islam lainnya, justru Umar menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat. Suatu kali Umar berpidato di depan para Gubernurnya: “Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh dengan tindakan baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda.” Dalam pidato awal itupun Umar menegaskan bahwa semua orang sejajar di mata hukum, bahwa yang berbuat kebaikan akan memperoleh kebaikan dan yang melakukan kejahatan akan dihukum sesuai kadarnya, tidak memandang siapa dan seberapa kaya. Suatu saat anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Umar memanggilnya menghadap dan dia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu. Bukan hanya itu, Umar bin Khattab membuka keran pendapat seluas-luasnya. Umar dengan lapang dada mendengarkan kritik dan saran dari rakyatnya. Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: “O, Umar, takutlah kepada Tuhan.” Para hadirin bermaksud membungkam orang itu, tapi Khalifah mencegahnya sambil berkata: “Jika sikap jujur seperti itu tidak ditunjukan oleh rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya. Jika kita tidak mendengarkannya, kita akan seperti mereka.” Suatu kebebasan menyampaikan

pendapat telah dipraktekan dengan baik. Umar pernah berkata, “Kata-kata seorang Muslim biasa sama beratnya dengan ucapan komandannya atau khalifahnya.” Demokrasi sejati seperti ini diajarkan dan dilaksanakan selama kekhalifahan ar-rosyidin nyaris tidak ada persamaannya dalam sejarah umat manusia. Islam sebagai agama yang demokratis, seperti digariskan Al-Qur’an, dengan tegas meletakkan dasar kehidupan demokrasi dalam kehidupan Muslimin, dan dengan demikian setiap masalah kenegaraan harus dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan. Pembentukan Majelis Permusyawaratan dan Dewan

Pertimbangan Musyawarah bukan bentuk pembatasan wewenang khalifah dalam memimpin kaum muslimin seperti dalam pengertian parlemen sekarang ini. Musyawarah dilakukan sebagai upaya mencari ke-ridho-an dan keberkahan Allah dalam setiap pengambilan

kebijakan negara. Keputusan tertinggi tetap berada ditangan khalifah. Nabi saw sendiri tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa melakukan musyawarah, kecuali yang sifatnya wahyu dari Allah SWT. Pohon demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu Bakar mencapai puncaknya pada jaman Khalifah Umar. Semasa pemerintahan Umar telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat yang satu adalah sidang umum atau majelis permusyawaratan yang diundang bersidang bila negara menghadapi bahaya. Sifatnya insidental dan melibatkan banyak orang yang mempunyai kompetensi akan masalah yang sedang dibicarakan. Sedang yang satu lagi adalah badan khusus yang terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak diragukan untuk diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan

(32)

masalah pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini, dan keputusannya dipatuhi. Pembentukan Lembaga Peradilan yang Independent Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, “Dahulu hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah penguasa yang ditetapkan berdasar undang-undang, sebab undang-undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur

dikuasakan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif.” Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini. Pemisahan wewenang ini menghidupkan check and balance antara eksekutif yang melaksanakan pemerintahan dengan lembaga

peradilan sebagai ujung tombak penegakkan hukum. Dengan sistem ini eksekutif tidak dapat meng-intervensi keputusan dan proses hukum yang sedang berjalan, hingga jauh dari budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Maka sesungguhnya, jauh sebelum ada teori mengenai trias politica (Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif), Umar bin Khattab sudah menerapkan hal itu. Cuma perbedaannya Umar tidak menjadikannya sebagai teori, tp Umar menerapkan dalam pemerintahannya. Sebagaimana yang pernah Umar sampaikan di depan kaum muslimin: “Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat Anda senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar Anda melayaniku. Aku berhasrat mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui perbuatan.” Umar mendidik rakyatnya dengan perbuatan dan contoh, bukan dengan teori dan kata-kata. Sistem Monitoring dan Kontroling Pemerintah Daerah Wilayah

kedaulatan umat Islam yang semakin meluas mengharuskan Umar bin Khattab sebagai khalifah melakukan monitoring dan kontroling baik pada gubernur-gubernurnya. Sebelum diangkat seorang gubernur harus menandatangani apa yang dinyatakan yang mensyaratkan bahwa “Ia harus mengenakan pakaian sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat.” Lalu dibuat daftar barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang terpilih diangkat. Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu tertentu, dan penguasa itu harus mempertanggung-jawabkan pada setiap hartanya yang bertambah dengan sangat mencolok. Pada saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi harus melapor kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap orang berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi

sekalipun, dan pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat itu memperoleh ganjaran hukuman. Selain itu Umar mengangkat seorang penyidik keliling, ia adalah

Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas tinggi. Ia mengunjungi berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu, Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, gubernur Kufah, telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar memutus Muhammad Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata menghambat jalan masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian istana yang merugikan kepentingan umum itu lalu dibongkar. Kasus pengaduan lainnya menyebabkan Sa’ad dipecat dari jabatannya. Pembentukkan Lembaga Keuangan (Baitul Maal) Umar bin Khattab menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha perbaikan

(33)

keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang sehat. Dia membentuk “Diwan” (departemen keuangan) yang dipercayakan menjalankan administrasi pendapatan negara. Kas negara dipungut dari zakat, Kharaj dan jizyah. Zakat atau pajak yang dikenakan secara bertahap pada Muslim yang berharta. Kharaj atau pajak bumi dan Jizyah atau pajak perseorangan. Pajak yang dikenakan pada orang non Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang dibebankan pada kaum Muslimin. Umar bin Khattab menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan tanah yang terkena. Dia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah 2 dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb (gandum pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami tidak dipungut pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat dipercaya, pendapatan pajak tahunan di Irak berjumlah 860 juta dirham. Jumlah itu tidak pernah terlampaui pada masa setelah wafatnya Umar. Pendapat Umar pada uang rakyatpun sangat keras, Umar berkata: “Aku tidak berkuasa apa pun pada Baitul Maal (harta umum) selain sebagai petugas penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian! Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala

tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.” Dalam penggunaan anggaran kas negara ini, Umar membentuk Departemen-Departemen yang dibutuhkan, contohnya Departemen Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pertanian. Departemen

Kesejahteraan Rakyat dibentuk untuk mengawasi pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Di bidang pertanian Umar memperkenalkan reform (penataan) yang luas, hal yang bahkan tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi di zaman modern ini. Salah satu dari reform itu ialah penghapusan zamindari (tuan tanah), sehingga pada

gilirannya terhapus pula beban buruk yang mencekik petani penggarap. Hal Lainnya Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of Islam: “Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-Muslim, pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang memperoleh hak untuk pensiun tentara (divan), pengadaan pusat-pusat militer (amsar) yang dikemudian hari berkembang menjadikota -kota besar Islam, pembentukan kantor kadi (qazi), semuanya adalah hasil karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti sembahyang tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi pemabuk, dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina.” Umar bin Khattab adalah Khalifah yang sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu saat secara diam-diam dia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, saat sedang berkeliling di luarkota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, saat menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang dia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya dia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Dia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, dia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu dia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya

(34)

Referensi

Dokumen terkait

Kajaba saka fungsi manifest, uga ana fungsi laten. Fungsi laten ing kene ngrugekake masyarakat kang nonton pagelaran kesenian ludruk. WUJUD OWAH-OWAHANE KESENIAN LUDRUK

Perjalanan dilanjutkan menuju Jericho untuk mengunjungi Mesjid dan Maqom Nabi Musa, Mt of Temptaion, setelah itu perjalanan dilanjutkan menuju Allenby Bridge untuk

Sehingga Filsafat pendidikan nasional Indonesia dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan

keaneragaman hayati sebagai aset bangsa. Pasokan bahan jamu sangat terkait dengan kelancaran produksi & kualitas jamu, di samping itu aktivitas ini berdampak

Hasil percobaan lapang dan hasil Uji DMRTpengaruh konsentrasi dan pemberian insektisida nabati (daun mimba) terhadap pengendalian hama penggerek polong tanaman

[r]

Xuan Trach (2004) melaporkan teknologi peningkatan nilai nutrisi jerami padi dengan penambahan urea sebagai pakan ternak sapi pada kondisi peternakan rakyat dapat

The lesson planned was for pupils to investigate key words in the text related to the theme of friendship as content and schema knowledge and to words that relate to aspects