• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pneumothorax

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pneumothorax"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumothorax adalah keadaan dimana adanya udara atau gas dalam cavum pleura, yang merupakan suatu ruang potensial antara pleura visceral dan parietal, dan dapat menyebabkan suatu gangguan oksigenasi dan/atau ventilasi. Pengaruh terhadap klinis pasien bergantung dari derajat kolaps paru pada sisi yang terkena. Bilamana signifikan, dapat menyebabkan pergeseran mediastinum dan memengaruhi stabilitas hemodinamik. Udara dapat masuk cavum intrapleura melalui hubungan dengan dinding trauma yang misalnya dapat disebabkan oleh trauma, atau dapat melalui parenkim paru dan melewati pleura bagian visceral (Daley, 2015).

Keadaan yang ditimbulkan oleh pneumothorax dapat mengancam nyawa sebab gangguan sirkulasi yang tidak diatasi dengan cepat dapat menimbulkan dampak serius pada penderita mulai dari kerusakan jaringan, organ hingga dapat menimbulkan kematian. Insiden pneumothorax sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1 (Hisyam dan Budiono, 2009).

Sebagai dokter umum penting sekali untuk dapat menilai dan mendiagnosis awal keadaan ini secara tepat karena dapat meningkatkan harapan hidup pasien. Radiografi pada bagian dada adalah salah satu langkah awal yang digunakan untuk menilai pneumothorax karena sederhana, cepat dan non invasif (Al-Hameed, 2013).

1.2. Batasan masalah

Tugas referat ini membahas mengenai patofisiologi dan gambaran radiologis penumothorax terutama foto polos.

1.3 Tujuan penulisan

Penulisan referat ini untuk menambah pengetahuan tentang kondisi penyakit dan gambaran foto polos pada pneumothorax.

(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi

Pneumothorax diartikan dengan adanya udara yang memenuhi rongga pleura. Meskipun tekanan intrapleura dalam siklus pernafasan biasa bersifat negatif, udara tidak dapat masuk menembus ke dalam rongga pleura karena jumlah tekanan parsial rata – rata dari gas dalam kapiler darah hanya 93,9 kPa (706 mmHg). Sedangkan gerakan gas dari kapiler darah menuju ke rongga pleura membutuhkan tekanan pleura sekitar -54 mmHg yang tidak mungkin terjadi pada keadaan normal. Namun apabila ditermukan adanya udara di kavum pleura pasti terjadi salah satu diantara keadaan berikut ini :

1. Adanya saluran atau lesi yang menghubungkan rongga alveolar dengan pleura

2. Adanya hubungan secara langsung dan tidak langsung antara atmosfer dan rongga pleura.

3. Adanya mikroorganisme dalam kavum pleura yang dapat memproduksi gas (Noppen, 2010).

Ketika adanya penguhubung antara alveolus atau rongga udara intarpulmonar dengan rongga pleura maka akan terjadi aliran udara dari alveolus menuju rongga pleura hingga tidak ada perbedaan tekanan antar dua rongga tersebut atau hingga penghubung tersebut ditutup (Jindal et al., 2008).

2.2 Epidemiologi

Insiden pneumothorax sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1 (Hisyam dan Budiono, 2009). Pneumothorax spontan primer (PSP) memiliki insidensi 7.4 – 18 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun pada laki-laki, dan 1,2 – 6 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun pada perempuan (Noppen, 2010). Berbagai macam penyakit atau kelainan pada sistem respirasi dapat menjadi penyebab pneumothorax spontan sekunder (PSS). Berdasarkan berbagai macam penyakit yang mendasari tersebut, puncak insidensi dari PSS adalah pasien berusia 60-65 tahun, dengan penyebab yang paling sering adalah penyakit paru obstruktif kronis (Noppen, 2010; Daley et al., 2015). Selain itu Seaton et al. dalam Hisyam dan Budiono (2009) melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi pneumothorax sekitar 1,4% dan jika terjadi kavitas komplikasi pneumothorax meningkat lebih dari 90%.

(3)

Pneumothorax traumatik dan pneumothorax tension lebih sering terjadi daripada pneumothorax spontan. Di Amerika, insidensi semakin meningkat seiring dengan modalitas pelayanan ICU menjadi yang bergantung pada ventilasi tekanan positif, pemasangan central venous catheter, dan lain-lain yang berpotensi menginduksi pneumothorax iatrogenik. Insidensi pneumothorax iatrogenik adalah 5-7 per 10.000 kasus, dengan mengeksklusi pasien yang melakukan operasi thorax karena pneumothorax kemungkinan merupakan typical outcome dari operasi tersebut (Daley et al., 2015).

2.3 Anatomi

a. Cavum Thorax

Cavum thorax diisi oleh paru dan cavum pleura, di bagian tengah paru-paru dan pleura disebut sebagai mediastinum. Daerah-daerah mediastinum antara lain, mediastinum anterior yang terletak diantara pericardium dan sternum yang berisi limfonodi, mediastinum media berisi pericardium dan jantung, dan mediastinum posterior yang terletak diantara pericardium dan collum vertebra, di dalamnya berisi esofagus, ductus toracicus, trunkus simpatis, dan aorta desenden. Cavum thorax ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama dari trauma fisik. Cavum thorax memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12 pasang costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis, sternum, dan otot – otot rongga dada. Otot - otot yang menempel di luar cavum thorax berfungsi untuk membantu respirasi dan alat gerak untuk extremitas superior (Masyudi et al., 2014).

(4)

Gambar 1. Rangka dada dan cavea throacis (Putz et al., 2007)

b. Pleura

Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thorax, paru juga dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embriologi dari coelom extraembryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi 3 yakni pleura parietal, pleura visceral dan pleura bagian penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang menempel erat dengan substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal adalah lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan paru. Pelura bagian penghubung yakni pleura yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini merupakan pelura yang menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral (Masyudi et al., 2014).

Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura diafragmatika, pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura. Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma. Pleura mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke mediastinum thorax, pleura sternocostalis adalah pleura yang berhadapan dengan costa dan sternum. Sementara

(5)

cupula pleura adalah pleura yang melewati apertura thoracis superior. Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura (Masyudi et al., 2014).

Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada proses respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk melumasi dinding dalam pleura (Masyudi et al., 2014).

Gambar 2. Rongga Pleura (Putz et al., 2007). c. Paru

Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus – alveolus di paru melalui sistem kapiler.16 Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan

(6)

lobus – lobusnya antara lain yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara pada paru kiri hanya terdapat lobus superior dan lobus inferior. Namun pada paru kiri terdapat satu bagian di lobus superior paru kiri yang analog dengan lobus medius paru kanan, yakni disebut sebagai lingula pulmonis. Di antara lobus – lobus paru kanan terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura oblique (Masyudi et al., 2014).

Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembang dan mengempis ini di sebabkan karena adanya surfactan yang dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2. Namun selain itu mengembang dan mengempisnya paru juga sangat dibantu oleh Otot – otot dinding thorax dan otot pernafasan lainnya, serta tekanan negatif yang teradapat di dalam cavum pleura (Masyudi et al., 2014).

Gambar 3. Pulmo (Putz et al., 2007).

(7)

Berdasarkan etiologinya dibagi menjadi empat yaitu pneumothorax primer, sekunder, iatrogenic dan traumatic. Pada seseorang yang menderita pneumothorax kadang – kadang dapat diikuti oleh adanya hemothorax akibat adanya perdarahan dari pembuluh darah subpleura ketika paru – paru kolaps (currie et al., 2007).

a. Pneumothorax spontaneous primer

Pneumothorax spontaeuous primer (PSP) banyak terjadi pada pria usia muda, memiliki tinggi badan relative tinggi, kurus dan tidak memiliki riwayat penyakit paru dan trauma thorax sebelumnya (Currie et al., 2007). Sebagian ahli berpendapat bahwa PSP merupakan hasil dari adanya rupture dari bula yang terdapat pada lapisan subpleura. Namun, hanya beberapa pasien yang menderita PSP ditemukan adanya bula atau bleb pada pemeriksaan pencitraan atau pada saat dilakukan operasi. Mekanisme lain yang menyebabkan terjadinya PSP adalah adanya peningkatan porositas pleural akibat adanya inflamasi. Adanya perkembangan bulla, bleb ataupun porositas pleural dapat disebabkan oleh berbagai factor seperti inflamasi pada saluran nafas bawah, adanya anomali pada cabang bronkus, kelainan pada formasi jaringan pengikat , iskemia local dan adanya malnutrisi (Luh., 2010).

PSP biasanya dapat terjadi pada saat istirahat, ditandai dengan adanya onset akut dari nyeri dada pleuritis local dan diikuti oleh sesak nafas. Nyeri dada yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk mulai dari ringan hingga berat. Hal tersebut dirasakan terus menerus dan biasanya menghilang setelah 24 jam meskipun kelainan struktur pneumothorax masih ada (Luh, 2010).

b. Pneumothorax sekunder

Pneumothorax sekunder terjadi akibat sudah adanya kelainan pada paru sebelumnya. Kondisi yang paling banyak menyebabkan pneumothorax sekunder adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Berikut adalah beberapa kondisi kelainan pada paru yang dapat menyebabkan terjadinya pneumothorax sekunder (Currie et al., 2007).

Penyakit paru obstruktif

Penyakit paru obstruktif kronis Asma

Penyakit paru supuratif Bronkiektasis Kistik fibrosis

(8)

Penyakit malignancy Kanker paru Penyakit paru intertisial

Fibrosis paru

Ekstrinsik allergic alveolitis Sarkoidosis Limfangileiomiomatosis Histiositosis X Infeksi Pneumonia Tuberkulosis Lain – lain

Respiratory distress syndrome Sindrom marfan

Sindrom ehlor danlos Catamenial

Arthritis rheumatoid

Tabel 1. Kondisi yang dapat menyebabkan pneumothorax sekunder c. Pneumothorax iatrogenic

Pneumothorax iatrogenic adalah pneumothorax yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumothorax iatrogenic banyak disebabkan oleh pemasangan kanulasi vena sentral ( terutama vena subsclavia dan vena jugularis interna, biopsy pleural, biopsy transbronkial, fine needle aspiration biopsy dan dapat pula disebabkan oleh jarum akupuntur. Pasien yang memerlukan pemberian obat melalui vena sentral memiliki risiko tinggi untuk mengalami pneumothorax. Pasien intubasi dengan ventilasi mekanik dapat berkembang menjadi pneumothorax akibat tingginya tekanan udara inspirasi yang diberikan sehingga menyebabkan barotrauma pada paru – paru (Currie et al., 2007).

d. Pneumothorax traumatic

Pneumothorax traumatic disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai thorax. Trauma tersebut meliputi trauma tajam yang penetrasi pada rongga dada atau fraktur costa yang merobek pleura visceralis(Currie et al., 2007). Pneumothorax traumatic diperkirakan 40 % dari semua kasus pneumothorax. Pneumthorax trauma tidak harus disertai dengan fraktur iga atau luka penetrasi. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan pneumothorax (Sudoyo et al., 2010).

Berdasarkan jenis fistulanya pneumothorax dibagi menjadi tiga yaitu pneumothorax tertutup, terbuka dan tension pneumothorax.

(9)

Pneumothorax tertutup yaitu suatu pneumothorax dengan tekanan udara di rongga pleura yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi hemithorax kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dari tekanan atmosfir Pada jenis ini tidak didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada

b. Pneumothorax terbuka

Pneumothorax terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui lubang tersebut. Pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser kearah dinding dada yang terluka.

c. Tension pneumothorax

Terjadi karena mekanisme check-valve yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak dapat keluar. Semakin lama tekanan di dalam rongga pleura akan meningkat melebihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal nafas. Pneumothorax ini sering disebut pula pneumothorax ventil (Sudoyo et al., 2010).

(10)

Gambar 4. Mekanisme terjadinya pneumothorax

Tekanan dalam rongga pleura selalu negatif selama proses respirasi berlangsung. Tekanan negatif tersebut disebabkan karena pengembangan dada. Jaringan paru mempunyai kecenderungan untuk menjadi kolaps karena sifat yang elastik (elastic recoil). Bila ada kebocoran antara alveoli dengan rongga pleura, udara akan berpindah ke rongga pleura sampai tekanan kedua ruang tersebut sama atau sampai kebocoran tertutup sehingga paru akan menguncup karena sifat paru yang elastik. Hal yang sama akan terjadi bila terjadi hubungan antara dinding dada dengan rongga pleura. Meskipun mekanisme terjadinya pneumothorax belum jelas, percobaan menunjukkan distensi berlebih paru normal akan menyebabkan rupture alveoli subpleural. Udara akan merembes sepanjang lapisan bronkoalveolar ke arah mediastinum sehingga akan terjadi emfisema subkutan atau pneumothorax (Currie et al., 2007).

Pada pneumothorax spontan terjadi akibat robeknya suatu kantong udara dekat pleura visceralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumothorax spontan yang parunya di reseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bleb atau bulla. Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotic yang

(11)

menebal, sebagian dari jaringan fibrosa paru sendiri, dan sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematous. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang pecah melalui jaringan intertisial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura visceralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme terjadinya bula atau bleb masih belum jelas, banyak pendapat menyatakan terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli akibat tekanan pleura yang lebih negative. Selain itu salah satunya salah satu mekanisme pembentukan bula atau bleb adalah degradasi benang elastin pada paru yang diinduksi oleh asap rokok diikuti sebukan neutrofil dan makrofag menyebabkan timbulnya bleb tersebut. Degradasi ini menyebabkan ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease dan sistem oksidan dalam paru. Inflamasi dalam paru akan menginduksi obstruksi saluran napas, tekanan intraalveolar akan meningkat sehingga terjadi kebocoran udara menuju ruang interstisial paru dan ke hilus menyebabkan pneumomediastinum. Tekanan mediastinum akan meningkat dan pleura mediastinum akan rupture sehingga timbul pneumothorax. Apabila dilihat secara patologis dan radiologis pada pneumothorax spontan sering ditemukan adanya bula di apeks paru. Kelainan intriksik jaringan konektif seperti sindroma marfan, prolapse katub mitral, kelainan bentuk tubuh mempunyai kecendrungan terbentuknya bleb atau bulla. Belum ada hubungan yang jelas antara aktivitas yang berlebihan dengan pecahnya bula atau bleb karena pada keadaan istirahat juga dapat terjadi pneumothorax. Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran nafas kecil sehingga menimbulkan distensi ruang udara di bagian distalnya. Obstruksi jalan nafas bias diakibatkan oleh penumpukan mucus dalam bronkioli baik oleh karena infeksi ataupun bukan infeksi (Sudoyo et al., 2010).

Pada pneumothorax sekunder terjadi karena pecahnya bleb visceralis atau bula subpleura dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Patogenesis PSS multifactorial. Umumnya terjadi akibat komplikasi penyakit PPOK, asma, kistik fibrosis, tuberculosis paru den penyakit paru infiltrative lainnya. Pneumothorax sekunder umumnya lebih serius keadaannya dibandingkan PSP karena pada Pneumothorax sekunder terdapat penyakit paru yang mendasarinya. Arthritis rheumatoid juga dapat menyebabkan pneumothorax akibat dari terbentuknya nodul rheumatoid pada paru (Sudoyo et al., 2010).

Perubahan fisiologis akibat pneumothorax adalah penurunan kapasitas vital dan PaO2 dehingga terjadi hipoventilasi dan asidosis respiratorik. Yang paling berbahaya adalah pneumothorax ventil. Pada keadaan ini tekanan di rongga pleura akan meningkat terus hingga paru akan menguncup total selanjutnya mediastinum akan terdorong ke sisi lawannya. Pendorongan mediastinum inilah yang dapat menyebabkan gangguan aliran darah karena

(12)

tertekuknya pembuluh darah. Bila gangguannya hebat dapat terjadi syok sampai kematian (Currie et al., 2007).

2.6 Manifestasi Klinis

Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah: 1 Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien 2 Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien 3 Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien

4 Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan biasanya pada PSP.

Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi, bisa mulai dari asimptomatik atau menimbulkan gangguan ringan sampai berat (Knipe dan Gorrochategui, 2015). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai menghilang, resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor. Pneumothorax ukuran kecil biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang tidak khas. Pada pneumothorax ukuran besar biasanya didapatkan suara napas yang melemah bahkan sampai menghilang pada auskultasi, fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor. Pneumothorax tension dicurigai apabila didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum dan trakea ke kontralateral (Daley et al., 2015, Hisyam dan Budiono, 2009). Pada pneumothorax spontan dan iatrogenik, tanda-tandanya sangat bergantung pada penyakit paru yang mendasari dan luas dari pneumothorax. Takikardia merupakan tanda yang paling umum dijumpai, sedangkan takipnea dan hipoksia mungkin dapat ditemukan (Daley et al., 2015).

2.7 Pencitraan a Foto Polos

(13)

Gambar 5. Tampilan foto polos pasien pneumothorax

Bayangan udara dalam rongga pleura memberikan bayangan radiolusen yang tanpa struktur jaringan paru (avascular pattern) dengan batas paru berupa garis radioopak tipis yang berasal dari pleura visceral. Bila penumothoraxnya tidak begitu besar, foto dengan pernafasan dalam (inspirasi penuh) pun tidak akan menunjukkan kelainan yang jelas. Dalam hal ini dianjurkan membuat foto dada dengan inspirasi dan ekspirasi penuh. Selama ekspirasi maksimal udara dalam rongga pleura lebih didorong ke apeks, sehingga rongga intrapleura di apeks jadi lebih besar. Selain itu terdapat perbedaan densitas antara jaringan paru dan udara intrapleura sehingga memudahkan dalam melihat pneumothorax, yakni terdapatnya kenaikan densitas jaringan paru selama ekspirasi tapi tidak menaikkan densitas pneumothorax (Putra dan Laksminingsih, 2013).

(14)

Gambar 6. Gambaran Pneumothorax pada Posisi Supine dan Erect

Foto lateral decubitus pada sisi yang sehat dapat membantu dalam membedakan pneumothorax dengan kista atau bulla. Pada pneumothorax udara bebas dalam rongga pleura lebih cenderung berkumpul pada bagian atas sisi lateral (Putra dan Laksminingsih, 2013).

(15)

Gambar 7 Pneumothorax pada posisi supine (panah merah= posisi udara di tengah)

(16)

Gambar 8, 9. Pneumothorax Tertutup pada Proyeksi PA (panah merah= white Pleural Line dengan Udara Atmosfer di luarnya

Jika pneumothorax luas, akan menekan jaringan paru ke arah hilus atau paru menjadi kuncup/kolaps di daerah hilus dan mendorong mediastinum ke arah kontralateral. Selain itu sela iga menjadi lebih lebar. Udara dalam ruang pleura jadi lebih radiolusen dibandingkan paru-paru yang bersebelahan dengan pneumothorax tersebut, terutama jika paru-paru berkurang volumenya, dimampatkan, atau terkena penyakit yang meningkatkan kepadatan paru (Putra dan Laksminingsih, 2013).

Gambar 10. Tension Pneumothorax Kanan dengan Pergeseran Mediastinum ke Kiri b Computed Tomography (CT) Scan

(17)

Gambar 11. Tampilan hasil CT Scan Pasien Pneumothorax

CT scan Thorax adalah "gold standart" untuk deteksi dini dari pneumotoraks pada pasien trauma. Hasil diagnosa mungkin tidak dapat terlihat dalam foto polos. Oleh karena itu, CT scan dapat digunakan jika informasi mengenai adanya pneumothorax adalah hal yang sangat penting, karena pneumothorax relatif lebih mudah dideteksi pada CT sesuai potongan aksis (Putra dan Laksminingsih, 2013).

Ruang pleura yang paling kecil yaitu cekungan anteromedial dan subpulmonik terlihat pada pasien dengan posisi antero-posterior. Penumpukan udara terdapat pada kedua ruang diawali dengan peluasan lebih jauh ke arah lateral dan apikal karena peningkatan volume udara atau posisi pasien menjadi lebih tegak. Udara bebas berjalan menuju regio tertinggi dari thorax yaitu regio cardiophrenic. Volume yang lebih besar dari udara bebas selanjutnya muncul pada regio subpulmonal dan ke regio anteromedial. Hal ini tidak terlihat pada x-ray thoraxposisi antero-posterior konvensional, sehingga indikasi sebagai standar baku untuk menyingkirkan pneumothorax adalah CT scan thorax.

(18)

Gambar 12. Tampilan hasil CT Scan Pasien Pneumothorax

Pneumothorax yang terlihat pada gambaran CT scan thorax diklasifikasikan menurut Wolfman et al. sebagai pneumotoraks minimal, anterior, dan anterolateral. Pneumothorax minimal didefinisikan sebagai pengumpulan udara tipis sampai ketebalan 1 cm pada irisan terbesar dan tidak terlihat lagi pada empat gambar yang berdekatan. Pneumothorax anterior dikategorikan sebagai pengumpulan udara pleura lebih dari 1 cm, berlokasi di anterior, tidak meluas sampai garis mid-koronal, yang mungkin masih terlihat pada empat atau lebih gambar yang berdekatan. Pneumothorax anterolateral didefinisikan sebagai udara pleura yang meluas paling tidak sampai ke garis mid-koronal (Putra dan Laksminingsih, 2013).

(19)

Gambar 13. Tampilan USG Pasien Pneumothorax

Ada atau tidak adanya paru-paru yang bergeser dapat digambarkan secara grafis menggunakan M-mode Doppler. Sebuah gambar yang normal akan tergambar "gelombang di pantai". Dinding dada anterior stasioner menunjukkan pola linear, sedangkan posterior ke garis pleura menunjukkan gerak paru-paru dengan pola granular tidak teratur. Pada pneumotoraks, M-mode Doppler USG hanya akan menampilkan pengulangan garis horizontal, menunjukkan kurangnya pergerakan paru yang dikenal sebagai "barcode" atau "stratosphere sign" (Seif et al., 2012).

2.8 Diagnosis Banding Klinis

Pneumothorax dapat memberikan gejala seperti infark miokard, emboli paru, dan pneumonia. Nyeri dada pada infark miokard biasanya khas seperti nyeri tertekan, terbakar, atau nyeri tajam. Nyeri tersebut merupakan nyeri retrosternal dan menjalar ke leher, pundak, lengan atas, atau rahang, dan dicetuskan oleh suatu stres, baik stres fisik maupun emosional. Takipnea dapat timbul karena ada kongesti paru. Batuk dengan dahak yang berbuih bisa terjadi (Zafari et al., 2015)

Emboli paru biasanya timbul dari trombus yang berasal dari sistem vena ekstremitas bawah, tapi dapat juga berasal dari pelvis, ekstremitas atas, atau ruang jantung kanan (jarang terjadi). Setelah melalui paru, trombus tersebut dapat menyumbat bifurcatio arteri pulmonal atau cabang lobularnya yang menyebabkan hemodynamic compromise. Selain itu nyeri dada pleuritik dan hipoksia juga dapat ditemukan. Beberapa faktor risiko yang dapat menjadi penyebab emboli paru antara lain statis vena, keadaan hiperkoagulasi, imobilisasi, trauma, kehamilan, dll (Ouellette et al., 2015).

(20)

Pada pneumonia, pasien juga akan merasa sesak napas. Hipotensi dapat ditemukan pada pneumonia yang parah. Batuknya biasanya mempunyai dahak yang purulen. Dari hasil pemeriksaan fisik, pada pneumonia dapat ditemukan fremitus tektil yang menurun, tetapi suara perkusi akan redup (Cunha et al., 2014)

Pada pasien tinggi, muda, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada pneumothorax, umumnya diagnosis kita menjurus ke PSP. PSS kadang sulit dibedakan dengan pneumothorax yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura (Hisyam dan Budiono, 2009).

Beberapa penyakit dibawah ini menunjukkan gambaran yang menyerupai pneumothorax, diantaranya:

a. Pneumomediastinum

Pneumomediastinum adalah terkumpulnya udara extraluminal di dalam mediastinum yang dapat berasal dari paru-paru, trakea, bronkus, esofagus, atau saluran dari mediastinum ke leher atau abdomen (Weerakkody and Gorrochategui, 2015)

Gambaran Radiologis Pneumomediastinum  Foto Thorax PA

o Area streaky radiolusen di mediastinum (paling sering ditemukan pada area paracardiac kiri)

o Air outlining mediastinal structure o Continous diaphragma sign of Levin

(21)

Gambar 15. Continous diaphragma sign of Levin

Panah biru menunjuk pada continous diaphragma sign . Keseluruhan diafragma tervisualisasi karena udara di mediastinum membentuk suatu garis di bagian tengah, yang biasanya ditutupi oleh jantung dan struktur soft tissue mediastinum yang kontak dengan diafragma. Panah merah menunjukkan udara di bagian posterior bawah jantung.

 Foto Thorax lateral

o Gambaran udara retrosternal

Gambar 16. Foto Lateral dengan Tampilan Udara Retrosternal

o Ring around the artery sign (tubular artery), merupakan area radiolusen di sekeliling arteri pulmonar kanan yang terlihat pada proyeksi lateral

(22)

Gambar 17. Tampilan Tubular Artery Sign  Foto Thorax LLD

o Udara tidak akan berpindah dengan perubahan posisi

 Neck Films

o Air outlining fascial planes of the neck

Gambar 18. Tampilan Foto Cervical menunjukkan Streak Lucencies dan Abberant Air

Pada bayi, ada gambaran khas pneumomediastinum, yaitu haystack sign dan Thymic sail sign. Haystack sign merupakan gambaran udara yang mengelilingi bagian superior dan inferior jantung yang membuat gambaran jantung terlihat seperti Haystack.

(23)

Gambar 19, 20. Tampilan khas pada Bayi dengan Pneumomediastinum

Sedangkan thymic spinnaker-sail sign merupakan gambaran timus yang terdorong udara ke atas (Carolan, 2015)

Pneumothorax dan Pneumomediastinum

Pneumothorax dapat dibedakan dengan pneumomediastinum bila dilihat dengan foto posisi lateral decubitus. Pada pneumothorax, posisi lateral decubitus membuat udara akan berpindah ke bagian atas, sedangkan pada pneumomediastinum, udara akan tetap berada di posisinya dan tidak berpindah. Selain itu, terdapat gambaran garis yang jelas (clear delineation) pada struktur intramediastinal (Arteri pulmonar, aorta, esofagus, dan airway) pada pneumomediastinum yang tidak ditemukan pada pneumothorax (McDonald dan Lieberman, 2002; Bevjan dan Godwin, 1996).

b. Pneumatocele

Pneumatocele merupakan ruang kistik yang berisi udara dan terdapat pada jaringan intrapulmonal dan memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi. Kerika matur pneumocele akan berupa rongga kistik dengan dinding tipis berisi udara dalam parenkim paru. Gambaran pneumatocele secara radiologis adalah sebagai berikut :

1. Batas bagian dalam kista halus

2. Apabila terdapat cairan pada kista tersebut maka volume cairannya sedikit. 3. Apabila dinding pneumocele terlihat maka dindingnya tipis dan tepinya reguler

(24)

Gambar 21. Panah putih menandakan adanya multiple pneumatocele

(25)

Gambar 23. Kista pneumatocele yang berisi air

(26)

c. Vanishing Lung Syndrome (Idiopathic Giant Bullous Emphysema)

Vanishing lung syndrome merupakan kelainan yang jarang didapatkan. Karakteristik sindrom ini adalah adanya bulla yang berukuran sangat besar (dapat mencapai 3 lobus paru). Bula adalah suatu rongga udara yang dilapisi oleh dinding tipis (<1mm) pada paru, yang dapat menyebabkan destruksi jaringan alveolar. Dinding tipis yang dimaksud dapat dibentuk oleh pleura, septum, atau jaringan paru yang terkompresi. Pasien ini dapat asimptomatik ataupun dapat ditemukan hipoksia (dispnea ataupun nyeri dada) (Knipe et al., 2013).

Pemeriksaan Radiologi  Foto Thorax

Gambar 25, 26. Tampilan pada Pasien dengan Vanishing Lung Syndrome

(27)

(1) Pada gambaran foto thorax ini didapatkan giant bulla telah menempati keseluruhan hemithorax kiri (dinding bulla ditunjukkan oleh panah putih)

(2) Didapatkan gambaran bulla berbentuk bulat (ditunjuk oleh panah kuning)

Pada pemeriksaan radiologi, bula biasanya ditemukan pada 1 sisi paru (asimetris) dan melibatkan lobus superior. Yang membedakan giant bulla dengan pneumothorax ialah tidak didapatkan visceral white line.

 CT Scan

Gambar 27, 28 Tampilan CT Scan Pasien dengan Vanishing Lung Syndrome

CT scan merupakan pemeriksaan paling akurat untuk membedakan antara giant bulla dan pneumothorax (Waseem et l.,2005). Pada CT scan dengan resolusi tinggi, dapat ditemukan diameter bulla yang mencapai 1-20cm, namun paling banyak bulla yang ditemukan berukuran 2-8 cm (Stern et al., 2015).

Pada CT scan gambar (1) didapatkan bulla yang berukuran besar telah mengkompresi lobus media dan posterior, sedangkan pada gambar (2) terlihat adanya bulla yang mengkompresi lobus superior.

2.8 Penanganan Pneumothorax

Tindakan pengobatan pneumothorax tergantung dari luasnya pneumothorax. Pneumothorax mula-mula diatasi dengan pengamatan konservatif bila kolaps paru 20% atau kurang. Udara sedikit demi sedikit diabsorbsi melalui permukaan pleura yang bertindak sebagai membran basah, yang memungkinkan difusi O2 dan CO2 (Price dan

(28)

Wilson, 2006). Tujuan dari penatalaksanaan pneumothorax adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.

Penentuan untuk observasi atau penanganan segera pada pasien pneumothorax didasarkan pada kondisi klinis pasien. Pada pasien asimptomatik, keputusan penanganan dilakukan dengan memperkirakan risiko lebih lanjut. Pada pasien simptomatik namun secara klinis stabil, dapat diberikan aspirasi simpel sebagai penanganan awal. Apabila secara klinis, pasien tidak stabil, maka segera dilakukan evakuasi udara serta diobservasi. Apabila pasien dalam kondisi yang mengancam nyawa, maka harus segera dilakukan tube thoracostomy (Daley et al., 2015).

British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan pneumothorax. Prinsip penanganan pneumothorax adalah: a. Observasi dan pemberian tambahan oksigen

Observasi simpel diberikan ppada pasien asimptomatik dengan pneumothorax minimal (< 15-20%), udara dapat tereabsorbsi secara spontan 1,25% dari ukuran pneumothorax setiap harinya. Pemberian oksigen 3L/menit secara nasal kanul digunakan untuk mengatasi hipoksemia pada pasien

b. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau tanpa pleurodesis

Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien pneumothorax yang luasnya >15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi). Tindakan dekompresi dapat dilakukan dengan cara :

- Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut (aspirasi).

- Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil (tube torakostomi) c. Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau bulla

Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop. Torakoskopi yang dipandu dengan video (Video Assisted Thoracoscopy Surgery=VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi operator maupun pasiennya karena akan diperoleh lapang pandang yang lebih luas dan gambar yang lebih bagus. Tindakan ini dilakukan apabila :

- Tindakan aspirasi maupun WSD gagal

- Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi - Terjadinya fistula brnkopleura

(29)

- Timbulnya kembali pneumothorax setelah tindakan pleurodesis

- Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh kembali d. Torakotomi

Tindakan pembelahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut

2.9 Prognosis

Pasien dengan pneumothorax spontan hampir seluruhnya akan mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumothorax yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi.

BAB III KESIMPULAN

1. Pneumothorax adalah suatu keadaan adanya udara atau gas dalam cavum pleura, dimana merupakan suatu ruang potensial antara pleura visceral dan parietal, yang dapat menyebabkan suatu gangguan oksigenasi dan/atau ventilasi yang dapat mengancam jiwa. Berdasarkan etiologinya dibagi menjadi empat yaitu pneumothorax primer, sekunder, iatrogenic dan traumatik.

2. Pemeriksaan radiologis merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis dari pneumothorax.

3. Penting untuk para klinisi untuk dapat membedakan gambaran radiologi antara pneumothorax dengan diagnosis banding lainnya.

4. Prinsip utama penanganan pneumothorax adalah dengan membebaskan udara dari cavum pleura sehingga dapat mengembalikan kestabilan hemodinamik pada pasien.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hameed FM (2013). Pneumothorax Imaging.

http://emedicine.medscape.com/article/360796-overview -(Diakses 9 Juni 2015).

Bevjan SM dan Godwin JD (1996). Pneumomediastinum: Old Signs and New Signs. AJR, 166: 1041-1048.

Carolan PL (2015). Pneumomediastinum. http://emedicine.medscape.com/article/1003409-workup#a0720 – Diakses pada 10 Juni 2015.

Cunha BA, Lopez FA, Talavera F, Sanders CV (2014). Community-Acquired Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/234240-overview#aw2aab6b9 – Diakses pada 9 Juni 2015.

Currie GP, Alluri R, Christie GL, Legge JS (2007). Pneumothorax : an update. Postgrad Med J.83(981): 461–465.

Daley BJ, Bhimji S, Bascom R, Benninghiff MG, Alam S (2015). Pneumothorax. http://emedicine.medscape.com/article/424547-overview - Diakses pada 8 Juni 2015.

Elliot M (2013). Tension pneumothorax : pathogenesis and clinical finding. http://calgaryguide.ucalgary.ca/slide.aspx?slide=Tension%20Pneumothorax.jpg (diakses pada 9 juni 2016).

(31)

Hisyam B, Budiono E (2009). Pneumothorax Spontan. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Jindal P, Sharma A (2008). Principles of diagnosis and management of traumatic pneumothorax. J. Emerg Trauma Shock. 1(1) : 34-41.

Knipe H, Muzio DB (2013). Idiopathic Giant Bullous Emphysema. Radiopaedia.org/articles/idiopathic-giant-bullous-emphysema (diakses pada 10 Juni 2015)

Knipe H, Gorrochategui M (2015). Pneumothorax.

http://radiopaedia.org/articles/pneumothorax - Diakses pada 8 Juni 2015.

Luh SP (2010). Diagnosis and treatment of primary spontaneous pneumothorax. J Zhejiang Univ Sci B. 11(10): 735–744.

Masyudi ANF (2014). Hubungan jumlah volume drainase water sealed drainage dengan kejadian udema pulmonum reekspansi pada pasien efusi pleura massif. Repository Universitas Diponegoro.

McDonald AC dan Lieberman G (2002). Pneumomediastinum: a patient presentation. eradiology.bidmc.harvard.edu/LearningLab/respiratory/McDonald.pdf – Diakses pada 10 Juni 2015.

Noppen M (2010). Spontaneous pneumothorax: epidemiology, pathophysiology and cause. European Respiratory Review, 19(117): 217-219.

Ouellette DR, Harrington A, Kamangar N (2015). Pulmonary Embolism. http://emedicine.medscape.com/article/300901-clinical - Diakses pada 8 Juni 2015.

Price SA, Wilson LM (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC, hal: 800-801.

Putra PAS, Laksminingsih NS (2012). Gambaran radiologis pada occult pneumothorax. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Putz R, Pabst R (2007). Atlas Anatomi Sobotta. Jilid 2 Edisi 22. Jakarta : EGC.

Richard G (2014). Pneumatocele. http://rad.usuhs.edu/medpix/cow_image.php? mode=case_viewer&case_prog=cow_image.php&imid=12533&pt_id=5311&quiz=&th=&ta ble=card&showall=#pic (diakses pada 10 juni 2015)

(32)

Seif D, Perera P, Mailhot T, Riley D, Mandavia D (2012). Bedside ultrasound in resuscitation and the rapid ultrasound in shock protocol. Pubmed.

Stern EJ, Webb WR, Weinacker A dan Muller NL (2015). Vanishing lung syndrome. Learningradiology.com/archive06/COW%20222-Vanishing

%20lung/vanishinglungccorrect.html#link705995CO (diakses pada 10 Juni 2015)

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2 Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Hal: 1063-1067.

Waseem M, Jones J, Brutus S, et al (2005). Giant Bulla mimicking pneumothorax. J Emerg Med; 29: 155-158.

Weerakkody Y dan Gorrochategui M (2015). Pneumomediastinum. http://radiopaedia.org/articles/pneumomediastinum - Diakses pada 10 Juni 2015.

Zafari AM, Reddy SV, Jeroudi AM, Garas SM (2015). Myocardial Infarction. http://emedicine.medscape.com/article/155919-overview - Diakses pada 9 Juni 2015.

Gambar

Gambar 1. Rangka dada dan cavea throacis (Putz et al., 2007)
Gambar 2. Rongga Pleura (Putz et al., 2007).
Gambar 3. Pulmo (Putz et al., 2007).
Gambar 4. Mekanisme terjadinya pneumothorax
+7

Referensi

Dokumen terkait

Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas rahmat-Nya lah maka tugas akhir ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya

Sampai saat ini sumber daya penyu masih merupakan salah satu sumber mata pencaharian bagi beberapa kelompok masyarakat adat tertentu.Kegiatan perburuan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pemetaan High Conservation Value Area`s (HCVA`s) dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus :

kelamin, melainkan lebih didasarkan pada atribut-atribut personalitas atau kepribadian anggota keluarga individu (Friedman, 2010). Peran-peran keluarga sangat penting dan

Kekurangan : dari setiap daerah Malaysia yang telah kami kunjungi tidak terlihat kekurangan namun setelah kami amati, ada kecendrungan sosial antara warga asli

berdasarkan dua aspek penekanan yaitu (1) Aspek fungsi (menyajikan informasi yang penting untuk melakukan suatu tindakan yang efisien dan mengevaluasi suatu aktivitas dari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor risiko lingkungan (jarak kebun, jarak sawah) dan perilaku (penggunaan kelambu, penggunaan obat nyamuk, kebiasaan ke luar