• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. teori itu sendiri. Landasan teori ini meliputi, pengertian wacana, aspek keutuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. teori itu sendiri. Landasan teori ini meliputi, pengertian wacana, aspek keutuhan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini dijabarkan mengenai penelitian yang relevan dan landasan teori itu sendiri. Landasan teori ini meliputi, pengertian wacana, aspek keutuhan wacana, dan kerangka berpikir. Ketiga hal tersebut diuraikan seperti subbab berikut ini.

A. Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang unsur keutuhan wacana, yaitu kohesi dan koherensi sudah pernah dilakukan sebelumnya, tetapi penelitian tentang Analisis Unsur Kohesi dan Koherensi Wacana Rubrik “Ruang Kita” pada Harian Kompas belum ada. Untuk membuktikannya, penulis meninjau dua buah skripsi yaitu skripsi Marsinah (2004) yang berasal dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan Yuanita Hartanti (2007) dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Marsinah (2004) NIM 0101540010, dalam skripsinya yang berjudul Analisis Kohesi dan Koherensi Paragraf pada Karangan Siswa Kelas VI SDN 3 Karangsalam Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara Tahun Pelajaran 2003-2004.Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 87, 57% dari seluruh paragraf karangan siswa kelas VI SDN 3 Karangsalamyang diteliti memiliki hubungan yang kohesif. Penanda kohesi gramatikal yang ditemukan, meliputi; referensi, substitusi, elipsis, dan kolokasi. Penanda kohesi leksikal ditandai dengan repetisi, sinonim, antonim, hiponim, dan ekuivalensi. Penanda koherensi yang ditemukan

(2)

meliputi, kausalitas, kontras, aditif, rincian, temporal, perian, posesifdan kronologis.

Meskipun sama-sama meneliti tentang kohesi dan koherensi, penelitian yang dilakukan oleh Marsinah dengan yang peneliti lakukan mempunyai perbedaan.Perbedaannya terletak pada sumber data yang diteliti.Pada penelitian Marsinah sumber datanya paragraf karangan siswa kelas VI SDN 3 Karangsalam Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara tahun pelajaran 2003-2004, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan sumber datanya cerpen yang terdapat pada rubrik “Ruang Kita” Harian Kompas.

Yuanita Hartanti (2007) NIM 011224065 melakukan penelitian yang berkaitan dengan kohesi dan koherensi. Penelitian ini berjudul Kohesi dan Koherensi dalam Wacana Pada Buku Teks Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA Kelas X Karangan Dawud, Dkk. Terbitan Erlangga Tahun 2004.Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penanda kohesileksikal dan kohesigramatikal yang ditemukan pada buku teks Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA Kelas X Karang Dawud, dkk. Terbitan Erlangga Tahun 2004 ini memiliki hubungan antarkalimat yang dijalin dengan baik adanya. Penanda kohesi leksikal ditandai dengan repetisi, sinonim, antonim, hiponim, dan ekuivalensi. Penanda kohesi gramatikal yang ditemukan, meliputi; referensi, substitusi, elipsis, dan kolokasi. Penanda koherensiyang ditemukan meliputi, kausalitas, kontras, aditif, temporal, perurutan, dan intensitas.

(3)

Meskipun sama-sama meneliti tentang kohesi dan koherensi, penelitian yang dilakukan oleh Yuanita dengan yang peneliti lakukan mempunyai perbedaan. Perbedaannya terletak pada sumber data yang diteliti.Pada penelitian Yuanitasumber datanya wacana yang terdapatpada buku teks Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA kelas X Karangan Dawud, dkk.terbitan erlangga tahun 2004, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan sumber datanya cerpenyang terdapat pada rubrik “Ruang Kita” Harian Kompas.

B. Landasan Teori 1. Pengertian Wacana

Secara etimologis istilah “wacana” berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya ‘berkata’ atau ‘berucap’ (Douglas dalam Mulyana, 2005:3). Kata tersebut kemudian mengalami perubahan atau perkembangan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah suatu akhiran, yang berfungsi membedakan (nominalisasi). Jadi kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.

Istilah wacana di Indonesia muncul pada tahun 1970-an sebagai terjemahan istilah discourse’ dari bahasa Inggris (Sobur, 2009:9). Konsep wacana secara etimologi berasal dari bahasa Latin discurcus yang bermakna ‘lari kian kemari’. Kata discurcus terbentuk dari dua kata yaitu dari ‘dis’ (dari/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari). Dalam kamus Webster, wacana berarti, (1)

(4)

percakapan; (2) komunikasi secara umum terutama sebagai subjek studi atau pokok telaah; (3) risalah tulisan, disertasi formal, kuliah, ceramah, dan khotbah (Tarigan, 1987:23). Dengan demikian, konsep wacana memiliki ranah kajian yang sangat luas, termasuk kajian wacana humor verbal yang termasuk dalam wacana tekstual dan kontekstual.

Menurut Moeliono (Ed)(2007: 1265), wacana adalah salah satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah. Sedangkan menurut Samsuri (dalam Suwandi, 2008: 146), wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula memakai bahasa tulisan.

Wacana tulis dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap (Kridalaksana, 2008:259). Suatu kata, dalam hal ini, sudah harus mengandung potensi sebagai kalimat. Jadi, bukan semata-mata kata yang tersebut dari konteksnya. Dalam buku Djajasudarma (2010:4) dikatakan bahwa wacana adalah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula menggunakan bahasa tulis. Apa pun bentuknya, wacana mengasumsikan adanya penyapa (addressor), dan pesapa (addressee). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar.

Wacana dikatakan pula sebagai salah satu istilah umum dalam contoh pemakaian bahasa, yakni bahasa yang dihasilkan oleh tindak komunikasi (Richards dalam Djajasudarma, 2010:3). Tata bahasa, dikatakannya mengacu pada

(5)

kaidah-kaidah pemakaian bahasa, pada unit-unit gramatikal, seperti: frase, klausa, dan kalimat, sedangkan wacana mengacu pada unit-unit bahasa yang lebih besar, seperti paragraf-paragraf, percakapan-percakapan, dan wawancara-wawancara. Wacana dianggap sebagai tindakan komunikasi (pemakaian bahasa) dan sebagai unit-unit bahasa yang lebih besar dari morfologi dan sistaksis.

Sementara itu, Tarigan (1987:27) mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi, berkesinambungan, mempunyai awal dan akhir, jelas, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Definisi di atas dapat lebih jelas dengan memperhatikan apa yang dimaksud kohesi dan koherensi. Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur satu dan unsur yang lain dalam wacana, sedangkan koherensi adalah kepaduan wacana sehingga komunikatif mengandung suatu ide (Djajasudarma, 2010:4). Jadi, suatu kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya, dapat disebut sebagai wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya.

Lebih lanjut dijelaskan wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang mengandung proposisi-proposisi yang berkaitan, dan membentuk satu kesatuan. Dari pengertian itu, Djajasudarma (2010:1) menjelaskan makna proposisi adalah konfigurasi makna yang menjelaskan isi komunikasi (dari pembicara) yang melahirkan statements (pernyataan kalimat).

(6)

lisan) yang lebih luas daripada kalimat. Wacana dianggap sebagai sekelompok ujaran dari suatu peristiwa wicara yang dapat dikenalikan, seperti percakapan, lelucon, pidato atau khotbah, dan wawancara. Sementara itu, dari sudut pandang psikolinguistik, memandang wacana sebagai suatu proses dinamis pengungkapan dan pemahaman yang mengatur penampilan orang dalam interaksi kebahasaan.

Pendapat para ahli bahasa tentang wacana mengingatkan kita pada pemahaman wacana adalah : (1) perkataan, ucapan, tutur yang merupakan satu kesatuan; (2) keseluruhan tutur (lihat Adiwimarta dalam Djajasudarma, 2010:3). Dalam hal ini, wacana dipandang sebagai keseluruhan tutur yang menggambarkan muatan makna (semantik) yang mendukung wacana.

Dari beberapa pendapat tentang wacana yang telah penulis himpun semuanya mempunyai pendapat yang hampir sama mengenai wacana. Penulis simpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah.

2. Aspek Keutuhan Wacana

Wacana yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu. Aspek-aspek-aspek yang dimaksud, antara lain, adalah aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek fonologis,topik wacana, dan aspek semantis.

(7)

Beberapa aspek keutuhan wacana yang disebutkan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua unsur, yaitu kohesi dan koherensi. Unsur kohesi meliputi aspek-aspek leksikal, gramatikal, fonologis, sedangkan unsur koherensi mencakup aspek semantik dan aspek topikalisasi. Oleh karena itu kedua aspek ini akan dibahas secara lebih proporsional.

a. Pengertian Kohesi

Halliday dan Hasan (dalam Suwandi, 2008:121) mengemukakan bahwa kohesi adalah perangkat sumber-sumber kebahasaan yang dimiliki setiap bahasa sebagai bagian dari metafungsi tekstual untuk mengaitkan satu bagian teks dengan bagian lainnya. Ahli lain berpendapat bahwa kohesi merupakan perekat, yang melekatkan bagian-bagian karangan. Sebuah karangan dikatakan kohesif jika antarkalimat dan antarparagraf dalam karangan itu bertalian.

Dalam konteks wacana, kohesi merupakan salah satu aspek terpenting dalam analisis wacana. Kohesi diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk suatu ikatan sintaksis. Alwi,dkk(2003:428) menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh mensyaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Hanya melalui hubungan yang kohesif, suatu unsur dalam wacana dapat diinterpretasikan sesuai dengan ketergantungannya pada unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesi dalam wacana sering ditandai oleh kehadiran pemarkah (penanda) khusus yang bersifat lingual-formal.

Konsep kohesi mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan

(8)

wacana. Tarigan (1987:96) menambahkan bahwa penelitian terhadap unsur kohesi adalah bagian dari kajian tentang aspek formal bahasa, dengan organisasi dan struktur kewacanaan yang berkonsentrasi pada sintaktik-gramatikal.

b. Macam-Macam Kohesi

Kohesi wacana dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.

1) Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal ialah keterkaitan antara bagian-bagian wacana secara gramatikal; yang berarti bentuk-bentuk kohesi tersebut dinyatakan melalui tata bahasa. Kohesi gramatikal terdiri atasreferensi (penunjuk/pengacuan), substitusi (penyulihan), elipsis (pelesapan), dan konjungsi(Tugiati, 2004:43).

a) Referensi (Penunjukan)

Secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata dengan benda. Kata buku merupakan referensi (tunjukan) kepada sekumpulan kertas yang terjilid untuk ditulis dan dibaca.

Referensi (penunjukan) merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata/kelompok kata/satuan gramatikal lainnya (Ramlandalam Mulyana, 2005: 27). Dalam konteks wacana, penunjukan terbagi atas dua jenis, yaitu penunjukan eksoforik (di luar teks) dan penunjukan endoforik (di dalam teks). Referensi endoforik terbagi dalam dua pola, yaitu anafora dan katafora. Baik referensi yang bersifat anafora maupun katafora menggunakan pronomina persona, pronomina demonstratif atau

(9)

penunjuk, dan pronomina komparatif (Rani dkk, 2006:99-100). Berikut adalah penjelasan dan contoh referensi.

(1) Referensi Persona(Kata Ganti)

Referensi personaatau kata ganti meliputi kata ganti diri I tunggal (saya, aku), kata ganti diri I jamak (kami, kita), kata ganti diri II tunggal (kamu, engkau, anda), kata ganti diri II jamak (kamu semua, kalian), kata ganti diri III tunggal (ia, dia, beliau), dan kata ganti diri III jamak (mereka). Demikian juga persona bentuk enklitik (terkait dengan unsur yang mendahuluinya). Bentuk-bentuk enklitik dalam bahasa Indonesia, antara lain -ku, -mu, dan -nya (Rani dkk, 2006:100). Pemakaian referensi persona, dapat dilihat pada data berikut ini.

Contoh:

(1). Ani, Berta, dan Clara sedang duduk-duduk di beranda rumah Pak Dadi. Mereka asyik berbincang-bincang. Sebenarnya mereka sedang menanti saya dan Gondo (Tarigan,1987:98).

Kata mereka pada kalimat kedua mengacu pada Ani, Berta, dan Clara yang merupakan bentuk kata ganti III jamak.

(2) Referensi Demonstratif

Referensidemonstratifdibedakan menjadi dua, yaitu pengacuan demonstratiftempat dan pengacuan demonstratif waktu. Referensidemontratif tempat, yakni ini, itu, sini, situ, sana, disini, di sana, dan kesana. Demonstratifwaktu, yaitu setiap, dan saat. Penggunaandemontratiftertera pada contoh berikut ini.

(10)

(2). Di sebelah sana ada pasar. Di sana dijual segala kebutuhan sehari-hari. Kami selalu berbelanja kesana. Di sana harga barang-barang agak murah (Tarigan,1987:99).

Kata ganti sana, disana, dan kesana pada contoh (4) tersebut merujuk pada kata pasar.

Contoh :

(3). Setiap pulang sekolah, setelah makan siang ibu selalu menyuruh saya mengantar makanan dan minuman ke sawah. Karena saya sangat suka pekerjaan ini, saya memintanya sebelum ibu menyuruh (Tugiati, 2004:45).

(3) Referensi Komparatif (perbandingan)

Referensi komparatif adalah salah satu jenis kohesi garamatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, watak, perilaku, dan sebagainya.

Contoh:

(4). Ibu bangun pagi-pagi sekali. Setelah melakukan shalat shubuh, ibu segera memasukan tempe yang telah jadi ke dalam karung plastik untuk dibawa ke pasar. Tidak berbeda dengan ibu yang bekerja sangat keras, saya menyiapkan makan pagi setelah sembayang. Aku telah terbiasa melakukannya sejak aku kelas lima (Tugiati, 2004:46).

Kata tidak berbeda dengan pada paragraf tersebut adalah pengacuan komparatif yang berfungsi membandingkan antara aktivitas Sang Ibu dengan Puji Priatin yang harus bekerja keras.

b) Substitusi

Substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Penggantian dilakukan untuk

(11)

memperoleh unsur-unsur pembeda, atau untuk menjelaskan struktur tertentu (Kridalaksanadalam Tarigan, 1987:100). Proses subsitusi merupakan hubungan gramatikal, dan lebih bersifat hubungan kata dan makna.

Contoh :

(5). Sarmin sangat suka mencari ikan. Hampir setiap hari Minggu dia dan teman-temannya menjala di sungai Serayu yang tidak jauh dari rumahku.

Klausa mencari ikan pada kalimat pertama paragraf tersebut digantikan dengan kata menjala pada kalimat kedua yang disebut kemudian. Substitusidemikian disebut subtitusi verbal karena satuan lingual mencari ikan dan menjala adalah satuan lingual yang berkategori verba.

c) Elipsis (Penghilangan/Pelesapan)

Elipsis (penghilangan/pelepasan) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan itu dapat diperkirakan wujudnya dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana dalam Mulyana, 2005:28). Elipsis juga merupakan penggantian unsur kosong (zero) yaitu suatu unsur yang sebenarnya ada tetapi sengaja dihilangkan atau disembunyikan. Tujuan pemakaian elipsis ini salah satunya yang terpenting ialah untuk mendapatkan kepraktisan bahasa, yaitu agar efektivitas dan efisiensi berbahasa. Gaya penulisan wacana yang menggunakan elipsis biasanya mengandaikan bahwa pembaca atau pendengar sudah mengetahui sesuatu, meskipun sesuatu itu tidak disebutkan secara eksplisit.

(12)

(6). Hari ini aku akan ikut wisata ke Yogyakarta dan sekitarnya. Kami harus berkumpul pukul 04.00 dan kalau terlambat akan ditinggal ø. Karenaaku takut ditinggal, malam sebelumnya ø sudah mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa (27 Maret 2011).

Klausa keterangan tempat” wisata ke Yogyakarta” dilesapkan pada kalimat kedua. Dengan demikian kalimat kedua seharusnya berbunyi kami harus berkumpul pukul 04.00 dan kalau terlambat akan ditinggal wisata ke Yogyakarta. Sedangkan pada kalimat kedua kata aku dilesapkan pada induk kalimat.

d) Konjungsi

Konjungsi (kata sambung) adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat dan seterusnya (Kridalaksana dalam Tarigan, 1987:101). Konjungsi mudah dikenali karena keberadaannya terlihat sebagai pemarkah formal. Sedangkan menurut Suwandi (2008:136), konjungsi adalah kata tugas yang menghubungkan dua klausa atau lebih. Beberapa jenis konjungsi antara lain: (1) konjungsi koordinatif, (2) konjungsi subordinatif, dan (3) konjungsi antarkalimat. Berikut adalah penjelasan dan contoh-contoh dari jenis konjungsi.

(1) Konjungsi Koordinatif

Konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua unsur atau lebih dan kedua unsur itu memiliki status yang sama. Konjungsi koordinatif menggunakan kata penghubung dan, serta atau.

(13)

(7). Anjingku selalu menyalak bila ada orang asing datang kerumah atau ada sesuatu yang mencurigakan (10 Mei 2011).

Konjungsi atau pada kalimat tersebut, merupakan konjungsi koordinatif yang berfungsi sebagai penggabungan satuan gramatikal yang sederajat.

(2) Konjungsi Subordinatif

Konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih dan kedua klausa itu tidak memiliki status sintaksis yang sama. Salah satu dari klausa itu merupakan anak kalimat (klausa subordinatif).

(a) Konjungsi Subordinatif Waktu

Proposisi-proposisi yang menunjukan tahap-tahap seperti awal, pelaksanaan, dan penyelesaian dapat disusun menggunakan Konjungsi subordinatif waktu (Rani dkk, 2006:110). Konjungsi subordinatif waktu menggunakan kata penghubung ketika, sebelum, setelah, sejak, dan sementara. Contoh :

(8). Sebelum pulang, Kikin mengajak mereka ke pancuran dulu untuk membersihkan kaki dan lumpur (Suwandi, 2008:137).

(b) Konjungsi Subordinatif Syarat

Konjungsi subordinatif waktu menggunakan kata penghubung jika dan bila. Contoh:

(9). Jika persoalan ini tidak segera dicari pemecahannya mau tidak mau masyarakat kita akan tumbuh dalam nuansa ketidakadilan yang semakin parah (Suwandi, 2008:137).

(c) Konjungsi Subordinatif Penyebaban

(14)

(10). Bob mengajukan PK karenaada novum (bukti baru) sesuai pasal 263 kuhap (Suwandi, 2008:138).

(d) Konjungsi Subordinatif Pengakibatan

Konjungsi subordinatif pengakibatan menggunakan kata penghubung sehingga, hingga dan maka.

Contoh:

(11). Sepanjang kita tidak melakukan perbaikan itu, maka ancaman kecelakaan akan terus terjadi (Suwandi, 2008:138).

(e) Konjungsi Subordinatif Tujuan

Konjungsi subordinatif tujuan menggunakan kata penghubung agar. Contoh:

(12). Kebersamaan seperti itu perlu digalang di Indonesiaagar kualitas dan martabat pendidikan dapat terus ditingkatkan secara berkesinambungan(Suwandi, 2008:138).

(f) Konjungsi Subordinatif Cara

Konjungsi subordinatif cara menggunakan kata penghubung dengan. Contoh:

(13). Presiden megawati pun diyakini akan menunjukkan ke arah perbaikan pendidikan dengan memberi alokasi pendidikan tahun 2002 lebih proposional dari keadaan sekarang (Suwandi, 2008:138).

(g) Konjungsi Subordinatif Konsesif

Konjungsi subordinatif konsesif adalah klausa yang menyatakan keadaan atau kondisi yang berlawanan dengan apa yang dinyatakan di dalam klausa utama. Konjungsi subordinatif konsesif menggunakan kata penghubung meskipun dan meski.

(15)

(14). Meski badannya lemah dia berusaha duduk dan meminta Tampi menyerahkan bayinya. Dengan demikian setiap hari Tampi menjenguk Srintil di rumah Sakarya (Suwandi, 2008:139).

(h) Konjungsi Subordinatif Penjelas

Hubungan penjelas terdapat dalam kalimat majemuk yang klausa subordinatifnya mengandung penjelasan yang dinyatakan dalam klausa utama. Konjungsi subordinatif penjelas menggunakan kata penghubung bahwa.

Contoh:

(15). Tidak bisa lagi kita mengatakan bahwa ini kesalahan manusia, jalurnya terbatas hanya satu lintasan, sementara jumlah frekuensi perjalanan meningkat (Suwandi, 2008:139).

(i) Konjungsi Subordinatif Pengandaian

Konjungsi subordinatif pengandaian menggunakan kata penghubung kalaupun. Contoh:

(16). Kalaupun ada tokoh-tokoh NU yang “dipakai” Soeharto, kebanyakan adalah bukan tokoh utama NU atau tak dekat dengan kubu Abdurrahman Wahid di NU (Suwandi, 2008:139).

(3) Konjungsi Antarkalimat

Konjungsi antarkalimat adalah konjungsi yang menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam sebuah wacana. Oleh sebab itu, konjungsi ini selalu memulai suatu kalimat baru.

Contoh:

(17). Ketika George Bush (Bush senior) berkuasa, menurut ukuran kita, pendidikan di Amerika dalam keadaan prima. Tetapi, Bush senior tetap memiliki program reformasi pendidikan... (Suwandi, 2008:139).

(16)

2) Kohesi leksikal

Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Unsur kohesif leksikal terdiri atas sinonim (persamaan), antonim (lawan kata), hiponim (hubungan bagian atau isi), repetisi (pengulangan), kolokasi (sanding kata), dan ekuivalensi. Tujuan digunakanya aspek-aspek leksikal itu diantaranya ialah untuk mendapatkan efek intensititas makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya.

Menurut James (dalam Tarigan,1987:97), suatu bentuk teks/wacana dikatakan bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian antara bentuk bahasa (language form) dengan konteksnya (situasi internal bahasa). Untuk dapat memahami kohesivitas itu, diperlukan pengetahuan dan penguasaan kaidah-kaidah kebahasaan, wawasan realitas, dan proses penalaran.

Pada kondisi tertentu,unsur-unsur kohesi dianggap sebagai kontributor penting bagi terbentuknya wacana yang koheren. Namun demikian, perlu disadari bahwa unsur-unsur kohesi tersebut tidak selalu menjamin terbentuknya wacana yang utuh dan koheren. Alasannya, pemakaian alat-alat kohesif dalam suatu teks tidak langsung menghasilkan wacana yang koheren dan umum. Dengan kata lain, struktur wacana dapat dibangun tanpa menggunakan alat-alat kohesi. Namun idealnya, wacana yang baik itu harus memiliki syarat-syarat kohesi sekaligus koherensi (Mulyana, 2005: 30). Ada enam jenis kohesi leksikal yang akan dipaparkan berikut ini:

(17)

a) Sinonim

Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kono, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik Verhaar (dalam Chaer, 1990:85) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua kata yang bersinonim.

Contoh:

(18). Lastri tidak disukai oleh teman-temannya karena dia mempunyai sifat yang buruk. Dia suka merampas benda milik temannya dan berlaku curang. Selain mempunyai sikap yang buruk, wajah lastri jugajelek seperti sifatnya.

b) Antonim

Antonim, menurut Verhaar(dalam Chaer, 1990:91) ialah ungkapan (biasanya berupa kata-kata, tetapi dapat pula berbentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.

Contoh:

(19). Dalam permainan kelereng, pemain harus adil. Kalau tidak adil pasti akan dimarahi lawan mainnya. Tapi dalam permainan keleteng dengan Mita, saya sering curang. Sehingga biasanya saya yang menang.

Pada paragraf tersebut yang termasuk antonim adalah kata adil dan curang.

c) Hiponim

(18)

umum dan kata khusus. Dalam relasi makna, kata umum mengacu ke hipernim; sedangkan kata khusus mengacu ke hiponim (Suwandi, 2008: 142).

Contoh:

(20). kata lele berhipomin dengan kata ikan, kata mawarberhipomin dengan kata bunga, dan lain-lain.

d) Repetisi

Repetisi, menurut Sumarlan (dalam Tugiati, 2004:48) ialah pengulangan satuan lingual yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual dalam baris, klausa, atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yakni repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, episfora, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Berikut adalah penjelasan dan contoh-contoh kedelapan jenis repetisi tersebut.

(1) Repetisi Epizeuksis

Repetisi epizeuksis adalah pengulangan kata/frasa yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.

Contoh:

(21). Nenek sangat memanjakan adikku. Apapun diperbolehkan bila yang meminta adikku. Adikku boleh banyak memakan gula kelapa, boleh bermain di parit, boleh meminta jajan, boleh tidak mandi, boleh tidak sembayang(Tugiati, 2004:48)

Pada contoh (23) paragraftersebut, kata boleh diulang secara berturut-turut untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan itu dalam paragraf tersebut.

(19)

(2) Repetisi Tautotes

Repetisi tautotes adalah pengulangan kata/frasa beberapa kali dalam sebuah konstruksi.

Contoh:

(22). Pak martaji seorang pengrajin bambu. Membuat besek adalah pekerjaannya setiap hari, dia juga mahir membuat kepang dan membuat tampah. Besek-beseknya dijual di Sokaraja untuk bungkus gethuk goreng (Tugiati, 2004:48).

Kata membuat pada contoh paragraf (24) diulang beberapa kali dalam kontruksi.

(3) Repetisi Anafora

Repetisi anafora adalah pengulangan kata atau frasa pertama pada kalimat berikutnya.

Contoh :

(23). Berkali-kali jala dilemparkan ke air sungai. Berkali-kali pula jala hanya menangkap ranting dan daun bambu. Rupanya tadi siang ada orang menebang bambu, kemudian ranting dan daunnya dibuang di sungai (Tugiati, 2004:49)

Pada contoh paragraf (25) tersebut, kata berkali-kali pada kalimat pertama diulang pada kalimat yang kedua dalam paragraf.

(4) Repetisi Episfora

Repetisi episfora adalah pengulangan kata atau frasa pada akhir kalimat secara berturut-turut.

(20)

(24). Musim panen sekarang sangat menyenangkan. Bapakku di sawah. Ibuku di sawah. Kakaku di sawah. Semuanya bekerja memanen dan mengusung padi ke rumah (Tugiati, 2004:49)

Pada contoh paragraf (26) tersebut, katadi sawah diulang secara berurutan pada kalimat ketiga dan keempat.

(5) Repetisi Simploke

Repetisi simploke adalah pengulangan kata/frase pada awal dan akhir beberapa kalimat secara berturut-turut.

Contoh:

(25). Di sungai keluarga kami mandi. Di sungai keluarga Jasman, tetanggaku mandi. Di sungai orang-orang di desaku mandi (Tugiati, 2004:49)

Pada paragraf tersebut yang termasuk repetisi adalah kata di sungai dan mandi.

(6) Repetisi Mesodiplosis

Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan kata atau frasa di tengah-tengah kalimat secara berturut-turut.

Contoh:

(26). Bibi Sarti berjualan makanan kecil di pasar. Dia membuat makanan itu sendiri. Dia bisa membuat meniran. Dia bisa membuat kue kukus. Dia juga bisa membuat serabi (Tugiati, 2004:50).

Tiga kalimat dalam contoh paragraf (28) tersebut menggunakan frasa yang sama, yakni bisa membuat.

(7) Repetisi Epanalepsis

Repetisi epanalepsis adalah pengulangan kata atau frasa pada awal kalimat yang diulang pada akhir kalimat yang bersangkutan.

(21)

Contoh:

(27). Ibuku sangat terampil membuat tempe, kalau salah membuat tempe tentu bukan ibuku(Tugiati, 2004:50).

Kalimat pertama pada contoh paragraf (29)tersebut, kataibuku di awal dan di akhir kalimat tersebut.

(8) Repetisi Anadiplosis

Repetisi anadiplosis adalah pengulangan kata atau frasa terakhir dari kalimat menjadi kata/frasa pertama pada kalimat berikutnya.

Contoh:

(28). Pak Martaji sekeluarga membuat besek. Membuat besek itulah yang menjadi sumber penghasilan mereka (Tugiati, 2004:50)

Dua kalimat pada contoh paragraf (30) tersebut menggunakan klausamembuat besek. Pada kalimat pertama membuat besek berada di akhir kalimat dan diulang di awal kalimat kedua.

e) Kolokasi

Kolokasi ialah kata atau frase tertentu yang berkaitan dengan kata atau frase lain yang berada dalam satu lingkungan atau tempat. Menurut Kridalaksana (2008:127), kolokasi adalah asosiasi hubungan yang tetap antara kata dengan kata yang lain yang berdampingan.

Contoh :

(29). Misalnya pada kalimat “...aku tersingkir dari duniaku, aku teraniaya oleh lingkunganku, aku terinjak dan tersepak dari alamku, tetapi mengapa belum kujumpa engkau di luar semua itu? “(Suwandi,

(22)

Kita mendapati kata-kata tersingkir, teraniaya, terinjak, dan tersepak yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu lingkungan atau tempat (Chaer, 1990:116).

f) Ekuivalensi

Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual (kata, frasa, kalimat) tertentu dengan satuan lingual lain dalam sebuah wacana/karangan (Tugiati, 2004:53). Ekuivalensi adalah kata yang mempunyai kata asal yang sama. Contoh :

(30). Belajar, mengajar, pelajar, pengajar, dan pengajaranberasal dari satu asal kata yang sama, yaitu kataajar( Tarigan, 1987:102).

c. Pengertian Koherensi

Kohesi selalu berhubungan dengan koherensi. Sering juga tidak terlihat perbedaan nyata antara kohesi dan koherensi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila dalam sejumlah pustaka mengenai pengertian keduanya istilah ini sering disamakan, dipertukarkan pemakaiannya. Meskipun demikian, kedua istilah tersebut harus dibedakan karena pada hakikatnya kedua istilah tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar.

Kohesi lebih menunjuk kepada tanda-tanda yang dipergunakan untuk membentuk hasil yang padu atau koheren; sedangkan penggunaan kohesi yang tidak semestinya akan membuat salah satu kalimat tidak padu dengan kalimat lain yang terdapat pada satu paragraf. Paragraf yang mempunyai koherensi menunjukan kalimat-kalimat pembentuknya berkaitan secara logis dan padu.

(23)

Kepaduan ini dapat memudahkan pembaca mengikuti dan memahami jalan pikiran penulisnya.

Istilah ‘koherensi’ mengandung makna ‘pertalian’. Dalam konsep kewacanaan, berarti pertalian makna atau isi kalimat (Tarigan, 1987:32). Koherensi juga berarti hubungan timbal balik yang serasi antar unsur dalam kalimat. Sejalan dengan pendapat itu, Wahjudi(dalam Mulyana, 2005: 30) berpendapat bahwa hubungan koherensi ialah keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian lainya sehingga suatu kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh.Wacana yang koheren memiliki ciri-ciri: susunannya teratur dan amanatnya terjalin rapi sehingga mudah diinterpretasikan.

Ada pakar yang mengatakan bahwa koherensi adalah salah satu pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dikandungnya(Tarigan, 1987: 104).

Lebih lanjut Halliday dan Hassan (dalam Mulyana, 2005: 31) menegaskan bahwa pada dasarnya struktur wacana bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantik kalimat yang di dalamnya terkandung proposisi. Beberapa kalimat akan menjadi wacana karena adanya hubungan makna (arti) antar kalimat atau sendiri. Jadi karena adanya hubungan koherensi tersebut, seperangkat kalimat kemudian dapat diterima sebagai suatu keseluruhan yang relatif lengkap. Uraian itu mengisyaratkan bahwa koherensi adalah salah satu aspek wacana paling penting,mendasar dan sangat menentukan.

(24)

Keberadaan unsur koherensi sebenarnya tidak pada satuan teks saja (secara formal), melainkan juga pada kemampuan pembaca/pendengar dalam menghubung-hubungkan makna dan menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang diterimanya. Jadi kebermaknaan unsur koherensi terletak pada kelengkapannya yang serasi antara teks (wacana) dengan pemahaman penutur/pembaca.

Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Hubungan koherensi dapat dipahami dengan menyimpulkan hubungan antarproposisi dalam tubuh wacana itu.

d. Macam-Macam Koherensi

Macam-macam koherensi yang akan dibahas dalam penelitian ini mengacu pada hubungan koherensi menurut Kridalaksana, yakni hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah ‘hubungan semantis’. Artinya hubungan itu terjadi antarproposisi. Hubungan itu antara lain: 1) hubungan sebab- akibat, 2) hubungan sarana-hasil, 3) hubungan alasan-sebab, 4) hubungan sarana-tujuan, 5) hubungan latar-kesimpulan, 6) hubungan kelonggaran-hasil, 7) hubungan syarat-hasil, 8) hubungan perbandingan, 9) hubungan parafrastis, 10) hubungan amplifikatif/penjelas, 11) hubungan aditif waktu (berurutan), 12) hubungan non waktu, 13) hubungan identifikasi, 14) hubungan generik-spesifik, 15) hubungan

(25)

ibarat (Kridalaksana dalam Tarigan, 1987:111-114). Beberapa pola pembentuk koherensi dalam wacana dapat diuraikan berikut ini.

1) Hubungan Makna Sebab-Akibat/ Kausalitas

Hubungan makna kausalitas adalah hubungan sebab-akibat yang terjadi antarkalimat atau paragraf. Bagian yang satu bermakna sebab dan bagian yang lainnya bermakna akibat. Kedua makna itu kemudian saling membutuhkan secara semantis untuk membentuk kepaduan makna secara utuh dan lengkap. Berikut contoh dari hubungan kausalitas.

Contoh :

(31). Pada waktu mengungsi dulu sukar sekali mendapatkan beras di daerah kami. masyarakat hanya memakan singkong sehari-hari. Banyak anak yang kekurangan vitamin dan gizi. Tidak sedikit yang lemah dan terkena busung lapar (Tarigan, 1987:111).

Kalimat pertama bermakna ‘sebab’, yaitu sukar sekali mendapatkan beras. Kalimat ini secara semantis membutuhkan makna lain sebagai pasangannya, yaitu yang kekurangan vitamin dan gizi ‘akibat’. Makna itu terdapat dalam kalimat berikutnya Keterkaitan kedua kalimat secara semantis itu menyebabkan kedua bagian (proposisi) tersebut saling membutuhkan agar terbentuk keutuhan makna.

2) Hubungan Sarana-Hasil

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan : “ Mengapa hal ini dapat terjadi?”, dan hasil itu sampai sudah tercapai.

Contoh :

(26)

penyewa. Jelas banyak sekali para mahasiswa tertolong, lebih-lebih yang berasal dari luar Bandung dan luar Jawa. Apalagi sewanya memang agak murah dan dekat pula tempat kuliah. Sangat efesien (Tarigan, 1987:111).

Kalimat pertama pada paragraf tersebut merupakan sarana, sedangkan kalimat berikutnya menujukan hasil yang sudah dicapai dari sarana tersebut.

3) Hubungan Alasan-Sebab

Salah satu bagian kalimat yang menjawab pertanyaan : “ apa alasannya?” Contoh:

(33). Tahun ini mereka membangun rumah sendiri. Sudah lama sekali mereka numpang di rumah saudara. (Mulyana, 2005:33).

Kalimat pertama merupakan alasan, sedangkan kalimat kedua merupakan sebab dari alasan pada kalimat pertama.

4) Hubungan Sarana-Tujuan

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “ apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu?” berbeda dengan hubungan sarana-hasil, dalam hubungan sarana-tujuan, belum tentu tujuan tersebut tercapai.

Contoh:

(34). Dia belajar dengan tekun. Tiada kenal letih siang malam. Cita-citanya untuk menggondol gelar sarjana tentu tercapai paling lama dua tahun lagi. Disamping itu, istrinya pun tabah sekali berjualan. Untungnya banyak juga setipa bulan. Keinginannya untuk membeli gubuk kecil agar mereka tidak menyewa rumah lagi akan tercapai juga nanti (Tarigan, 1987: 112).

Kalimat pertama pada paragraf tersebut merupakan sarana, sedangkan kalimat selanjutnya merupakan tujuan yang ingin dicapai.

(27)

5) Hubungan Latar-Kesimpulan

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan “ bukti apa yang menjadi dasar kesimpulan?”

Contoh :

(35). Mobil itu sudah tua, tetapi sehat. Rupanya pemiliknya pandai merawatnya (Mulyana, 2005: 33).

Kalimat pertama diatas merupakan latar, sedangkan kalimat kedua merupakan kesimpulan.

6) Hubungan Kelonggaran-Hasil

Salah satu bagian kalimat menyatakan kegagalan suatu usaha. Contoh :

(36). Sudah lama aku di kota ini mencarinya. Alamat itu tak juga ku temukan (Mulyana, 2005: 33).

Kalimat pertama tersebut merupakan kelonggaran, sedangkan kalimat kedua merupakan kalimat yang menyatakan kegagalan suatu usaha.

7) Hubungan Syarat-Hasil

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “ apa yang harus dilakukan?”, atau “ keadaan apa yang yang harus ditimbulkan untuk memperoleh hasil?”

(28)

(37). Beri bumbu dan penyedap rasa yang tepat. Masakanmu pasti enak(Mulyana, 2005: 33).

Kalimat pertama tersebutmerupakan syarat agar dapat mencapai hasil yang diinginkan, sedangkan kalimat kedua merupakan hasil.

8) Hubungan Perbandingan

Salah satu bagian kalimat menyatakan perbandingan dengan bagian kalimat yang lain.

Contoh :

(38). Pengantin itu sangat anggun. Seperti dewa-dewi dari khayangan (Mulyana, 2005: 33).

Kalimat pertama tersebut merupakan suatu pernyataan, sedangkan kalimat kedua merupakan pembanding kalimat pertama.

9) Hubungan Makna parafrastis

Hubungan makna parafrastis, yaitu salah satu bagian kalimat mengungkapkan isi dari bagian kalimat yang lain dengan cara yang lain.

Contoh :

(39). Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk proyek ini, karena tahun lalu dana juga sudah habis. Sudah saatnya kita menghemat uang rakyat (Mulyana, 2005: 34).

10) Hubungan Makna Amplifikatif

Amplifikatif berarti hubungan penjelas. Hubungan seperti ini terjadi bila satu bagian tertentu diperjelas oleh bagian-bagian yang lain yang berfungsi

(29)

sebagai penjelas akan bersama-sama terjalin menuju pada bagian utama yang dijelaskan. Berikut adalah contoh dari hubungan amplifikatif.

Contoh :

(40). Perang itu sungguh kejam. Militer, sipil, pria, wanita.tua, dan muda menjadi korban peluru. Peluru tidak membedakan kawan dan lawan. Sama dengan pembunuh. Biadab, kejam, dan tidak mengenal perikemanusiaan. Sungguh ngeri (Tarigan,1987: 113).

Dalam struktur wacana, adanya bagian yang dijelaskan dan bagian lainnya sebagai penjelas, akan menyebabkan terjadinya hubungan maknawi yang utuh dan saling membutuhkan.

11) Hubungan Aditif Waktu (simultan dan berurutan)

Adiktif waktu yaitu sarana pengutuh makna wacana yang berhubungan dengan waktu baik simultan (waktu yang bersamaan) maupun berurutan (Djajasudarma, 2010:77).

Contoh :

(41). Paman menunggu di ruang depan. Sementara itu saya menyelesaikan pekerjaan saya. Kini pekerjaan saya telah selesai. Saya sudah merasa lapar. Segera saya mengajak paman makan di kantin. Sekarang saya dan paman dapat berbicara santai sambil makan (Tarigan,1987: 113).

12) Hubungan Aditif Nonwaktu

Adiktif nonwaktu yaitu sarana pengutuh makna wacana yang tidak berhubungan dengan waktu melainkan dengan kondisi Djajasudarma (2010:77) . Contoh :

(30)

13) Hubungan Identifikasi

Salah satu bagian kalimat menjadi penjelas identifikasi dari suatu istilah atau benda yang ada dibagian kalimat lainnya.

Contoh :

(43). Tidak bisa masuk ke universitas itu tidak berarti bodoh. Kamu tahu

nggak? Einstein? Fisikawan genius itu juga pernah gagal masuk universitas (Mulyana, 2005: 34).

Pada paragraf tersebut, dijelaskan bahwa Einstein merupakan salah seorang fisikawan genius. Hal itu merupakan hubungan identifikasi.

14) Hubungan Generik-Spesifik

Hubungan generik–spesifik dapat menjadi pengutuh wacana, seperti contoh berikut ini.

Contoh :

(44). Gadis model itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah, bibirnya sangat menawan. Apalagi jalannya, luar biasa (Mulyana, 2005: 34).

Kalimat pertama pada paragraf tersebut merupakan kalimat generik, sedangkan spesifiknya dijelaskan pada kalimat selanjutnya.

15) Hubungan Ibarat

Salah satu bagian kalimat memberikan gambaran perumpamaan (ibarat). Contoh :

(45). Kelihaiannya mengola bisnis sungguh piawai. Memang dia seperti belut di lumpur basah (Mulyana, 2005: 35).

(31)

Kalimat kedua merupakan ibarat pada kalimat pertama dengan penghubung kata “seperti ”.

3. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk bagan berikut ini.

(32)

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir

WACANA 

Unsur Keutuhan Wacana

Unsur Kohesi

Unsur Koherensi

1. Hubungan Sebab

Akibat/Kausalitas,

2. Hubungan Sarana-Hasil,

3. Hubungan Alasan-Sebab,

4. Hubungan Sarana-Tujuan,

5. Hubungan Latar-Kesimpulan,

6. Hubungan Kelonggaran-Hasil,

7. Hubungan Syarat-Hasil,

8. Hubungan Perbandingan,

9. Hubungan Parafrastis,

10. Hubungan Amplikatif/Penjelas,

11. Hubungan Aditif

Waktu(Berurutan),

12. Hubungan NonWaktu,

13. Hubungan Identifikasi,

14. Hubungan Generik-Spesifik,

15. Hubungan Ibarat

Kohesi Gramatikal

1. Referensi

2. Substitusi

3. Elepsis

4. Konjungsi

  KohesiLeksikal 1. Sinonim 2. Antonim 3. Repetisi 4. Hiponim 5. Kolokasi 6. Ekuivalensi

(33)

Referensi

Dokumen terkait

PLN (Persero) Unit Induk Wilayah S2JB-UP3 Palembang dapat dilihat melalui unsur-unsur pengendalian piutang meliputi: struktur organisasi, sistem otorisasi dan prosedur

Melalui pendekatan struktural, Irwan B menganalisis tokoh utama dengan menghubungkan unsur-unsur intrinsik yang membangun dalam sebuah novel, yaitu hubungan tokoh utama dengan

Fikri dalam jurnal penelitiannya (2007) mengungkap perwatakan tokoh utama melalui struktur naratif (plot) dengan menggunakan skema naratif, Fikri mendapatkan suatu struktur

Adapun keunggulan media yang memiliki unsur gambar bergerak dikemukakan oleh Anderson (1987, hlm. 100) yang menyatakan “Kegunaan lain dari media gambar bergerak adalah

Sastrawan (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Tutur Panugrahan Dalem Analisis Struktur dan Fungsi”, menguraikan tentang struktur yang membangun Tutur Panugrahan

Teori struktural digunakan untuk membedah unsur-unsur yang berkaitan dalam karya sastra, dan teori fungsi guna melihat fungsi yang terdapat dalam karya sastra yang telah

Menurut Susilastuti (dalam Suharto, 2016) teori struktural didasarkan pada asumsi bahwa status subordinat perempuan bersifat kultural dan universal. Sebuah kelompok

Makna idiomatikal, yaitu makna sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang menyimpang dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya, yang