• Tidak ada hasil yang ditemukan

50 Tahun Fakultas Kehutanan IPB 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "50 Tahun Fakultas Kehutanan IPB 2013"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KEHUTANAN INDONESIA BARU “Dalam Keterlenaan Masa Lalu, Fakta Masa Kini, dan Harapan Masa Depan”

1

KACAMATA KUDA PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA

BERUJUNG HIPNOTIS ILMU PENGETAHUAN1

Oleh : Mutiono2

Sejak dulu hingga kini, pengelolaan hutan di Indonesia terus mengalami dinamika. Berbagai pemikiran dan pemecahan masalah diberikan untuk mencapai sebuah kata lestari. Bak mencari jarum ditumpukan jerami, pengelolaan hutan di Indonesia selalu menemui ketimpangan dan jalan buntu. Lestari yang sangat mudah ditulis dan diucapkan ternyata sulit untuk terwujud dalam realitas faktanya. Deforestasi, degradasi, kebakaran hutan, illegal loging, konflik, dan berbagai permasalahan lainnya justru kerap kali muncul dibanding success story pengelolaan hutan, padahal berbagai ilmu kehutanan yang ada dan diajarkan kepada calon rimbawan semuanya tentu memberikan arahan-arahan yang seharusnya jika diterapkan akan mencapai hutan yang lestari.

Ketimpangan pengelolaan hutan terus terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Kartodihardjo (2012) menyebutkan bahwa pada periode 1970-1990 terjadi era eksploitasi kayu dari hutan alam produksi, pembukaan wilayah, dan pengembangan transmigrasi sedangkan pada periode 1990-2010 isu kerusakan bertambah dengan mulainya pelaksanaan kebijakan pembangunan hutan tanaman serta peningkatan kebutuhan lahan hutan bagi pembangunan pertanian secara luas, pertambangan serta insfrastruktur ekonomi dan pemukiman. Melalui berbagai pemikiran dan pemecahan masalah dengan ilmu kehutanan yang ada namun tetap terjadi ketimpangan berkepanjangan, sudah lebih dari cukup untuk menimbulkan pertanyaan kritis terkait ilmu pengetahuan kehutanan sebagai salah satu faktor yang menentukan baik-buruknya kinerja pembangunan kehutanan (Kartodihardjo 2012). Jarang orang mau mengkritik dan mempertanyakan kembali ilmu yang sudah dipelajari dan dimiliki sebagai salah satu bagian dari penyebab terjadinya suatu permasalahan. Ketimpangan dan kerusakan hutan di Indonesia, bisa jadi akibat dari penguasaan ilmu pengetahuan kehutanan itu sendiri.

1. Essai disusun untuk mengikuti lomba menulis essai 50 tahun Fakultas Kehutanan IPB, KEHUTANAN INDONESIA BARU “Dalam Keterlenaan Masa Lalu, Fakta Masa Kini dan Harapan Masa Depan”.

(2)

KEHUTANAN INDONESIA BARU “Dalam Keterlenaan Masa Lalu, Fakta Masa Kini, dan Harapan Masa Depan”

2 Ilmu pengetahuan kehutanan yang kemudian terspesialisasikan menjadi scientific forestry3 ternyata memberikan dampak buruk terhadap pola pikir rimbawan jangka panjang. Melalui paradigma scientific forestry yang cenderung menekankan penyelesaian permasalahan kehutanan pada permasalahan teknis ternyata telah menjebak para rimbawan berbondong-bondong mencurahkan pemikirannya untuk terus belajar dan mendalami hal-hal teknis dalam menyelesaikan permasalahan kehutanan serta cenderung melihat hutan sebagai sebuah masyarakat tumbuhan dan terpisah dengan manusia. Lebih parahnya lagi pola pikir yang terbentuk pada para rimbawan adalah penyelesaian permasalahan kehutanan monodisiplin (intradisciplinary4), dengan ilmu pengetahuan kehutanan berparadigma scientific forestry.

Pada umumnya paradigma scientific forestry menjadikan pola pikir rimbawan menjadi kaku (taklid buta) terhadap segala aturan kehutanan dalam menyelesaikan masalah dilapangan serta sering tak dapat berkutik akibat aturan-aturan (policy) kehutanan yang ada. Padahal aturan yang telah dibuat adalah produk dari pola pikir orang-orang kehutanan, sehingga mereka sering terjebak dengan aturan yang dirancang sendiri. Hal seperti ini disebut Kartodihardjo (2006) sebagai kebijakan yang menjerat atau policy trap. Khan (2011) dalam disertasinya juga menyebutkan bahwa perundangan kehutanan Indonesia memperlihatkan ciri-ciri atau karakteristik yang identik dengan aliran pemikiran the forest first yaitu memahami hutan sebatas sifat alami dan biofisiknya saja. Aliran pemikiran seperti ini tentu sangat mendukung paradigma scientific forestry tumbuh subur di Indonesia.

Penyelesaian permasalahan yang dilakukan secara monodisiplin inilah yang kemudian disebut dengan kacamata kuda pengelolaan hutan, hanya melihat dari satu sudut pandang ilmu saja tanpa melihat dari sudut pandang yang lain padahal permasalahan kehutanan di Indonesia merupakan permasalahan kompleks dan

3. Scientific Forestry merupakan paradigma yang memisahkan hutan dari kehidupan masyarakat setempat, dari

ekonomi pedesaan dan menjadikan kekayaan hutan sebagai alat memenuhi kebutuhan industri yang disokong dan digerakkan negara (Lang dan Pye 2001:26 dalam Safitri 2012).

4. Intradisciplinary yaitu upaya memahami persoalan yang diisolasi hanya pada satu disiplin ilmu tertentu (Safitri

(3)

KEHUTANAN INDONESIA BARU “Dalam Keterlenaan Masa Lalu, Fakta Masa Kini, dan Harapan Masa Depan”

3 berhubungan dengan bidang-bidang lain. Hutan sebagai satu kesatuan ekosistem haruslah dipahami secara holistik bahwa pegelolaannya harus dilakukan bersama secara terpadu dengan berbagai bidang keilmuan lain. Keengganan untuk mempelajari pemikiran dan ilmu-ilmu yang dianggap tidak berhubungan dengan kehutanan serta merasa cukup dan benar dengan ilmu yang telah dimiliki ini membawa para rimbawan kedalam keadaan terhipnotis oleh ilmu pengetahuannya. Akan menjadi lebih parah jika ilmu pengetahuan ini digunakan sebagai alat hegemoni5 dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Jika telah demikian, maka ilmu pengetahuan kehutanan tidak lagi berperan dalam memperbaiki keadaan kehutanan dan membawa pada cita-cita lestari untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat namun telah berbelok dan disalahgunakan menjadi alat kekuasaan.

Kehadiran scientific forestry tidak membuat masyarakat lebih makmur tetapi sebaliknya yang terjadi (Soedomo 2012). Kenyataan ini tentu tidak akan diterima oleh pihak yang masih dalam keadaan terhipnotis dan terlena dengan ilmu pengetahuan kehutanan yang telah dimilikinya. Menyadari hal ini mungkin akan terasa semacam pengkhianatan layaknya seperti orang yang terkena candu, sudah tahu daya rusaknya terhadap tubuh namun tidak berdaya untuk meninggalkannya (Kartodihardjo 2012).

Pengelolaan hutan di Indonesia seharusnya dibarengi dengan ilmu pengetahuan yang luas dan mau menerima serta mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap sebagai ilmu-ilmu diluar kehutanan. Ilmu pengetahuan kehutanan harus sudah mulai bangkit dari isolasi scientific forestry menjadi ilmu pengetahuan yang transdisiplinary6. Sekat antar ilmu harus dihilangkan dan kemauan untuk bersama-sama melihat duduk permasalahan dengan berbagai pihak harus mulai dilakukan. Bukan saatnya lagi sekarang masing-masing bidang berdiri sendiri namun harus sudah mulai sadar bahwa satu sama lain saling berhubungan.

5. Teori hegemoni adalah upaya penguasaan untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial-politik-ekonomi dengan cara pikir dan solusi yang sudah ditentukan(Gramsci 1976 dalam Kartodihardjo 2012)

6. Transdisiplinary merupakan pengupayaan pengintegrasian beberapa disiplin ilmu untuk memahami persoalan.

Keasadaran mengintegrasikan itu telah sejak awal dimiliki karena sejak dini telah memahami kompleksita s permasalahan dalam penelitian. (Safitri 2012)

(4)

KEHUTANAN INDONESIA BARU “Dalam Keterlenaan Masa Lalu, Fakta Masa Kini, dan Harapan Masa Depan”

4 Untuk menggambarkan fenomena ini dapat diambil contoh dari permasalahan pengelolaan hutan Perum Perhutani. Perum Perhutani yang memiliki wewenang penuh pengelolaan hutan negara di Pulau Jawa hingga saat ini terus menuai konflik di beberapa daerah bahkan dibeberapa tempat dianggap sebagai musuh masyarakat. Peluso (1992) dalam bukunya Rich Forest Poor People telah mengemukakan situasi pengelolaan hutan di Jawa oleh Perhutani pada pertengahan tahun 80-an yang juga menggambarkan hal demikian. Padahal ilmu manajemen hutan yang dipakai untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di Perum Perhutani tentu sudah diterapkan sesuai standar. Namun lagi-lagi karena masih terjebak pada scientific forestry maka yang sering dilakukan untuk memperbaiki tata kelola hutan di Perum Perhutani adalah hal-hal yang berhubungan dengan teknis seperti perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengaturan hasil, legalitas, dan perizinan. Akhirnya konflik dengan masyarakat terus saja terjadi dan Perum Perhutani sulit berkembang karena penanganan dibidang lain masih sangat minim dan lemah.

Padahal pada pengelolaan hutan, ilmu sosiologi, psikologi, hukum, komunikasi, antropologi, ekonomi, kehutanan bahkan hingga pertanian, peternakan, perikanan, teknologi, dan ilmu-ilmu lain yang dimensinya masuk pada lingkup kelola hutan tersebut perlu untuk diperhatikan. Sebagai contoh, permasalahan tenurial akan membutuhkan ilmu sosiologi, psikologi, dan hukum. Permasalahan pola pembangunan hutan akan membutuhkan ilmu silvikultur, manajemen hutan, ekonomi, teknologi, perikanan, peternakan, dan juga pertanian. Permasalahan konflik dengan masyarakat sekitar membutuhkan ilmu komunikasi, kerjasama, ekonomi afirmatif, sosiologi dan psikologi. Jelas bahwa ilmu kehutanan saja tidak cukup untuk melakukan pengelolaan hutan apalagi hanya terpaku pada scientific forestry. Hal seperti inilah justru yang penting diperhatikan untuk menyelesaikan permasalahan dikehutanan sebagai sebuah keniscayaan transdisciplinary.

Jebakan kacamata kuda juga masih sangat mencolok terlihat pada berbagai kegiatan seminar atau diskusi kehutanan. Sering, narasumber, peserta, dan topik-topik bahasan dalam kegiatan tersebut masih terkotak pada satu sudut pandang kehutanan saja. Jarang sekali penyelenggara dalam melakukan kegiatan seminar

(5)

KEHUTANAN INDONESIA BARU “Dalam Keterlenaan Masa Lalu, Fakta Masa Kini, dan Harapan Masa Depan”

5 atau diskusi kehutanan menghadirkan narasumber dan peserta yang berasal dari luar kehutanan untuk memandang kehutanan dari sudut pandang lain. Dengan pengetahuan kehutanan yang dimiliki kadangkala orang kehutanan memandang orang diluar kehutanan kurang tahu mengenai permasalahan dibidang kehutanan. Terkadang, pihak kehutanan meng-klaim bahwa dirinya berada disektor kehutanan sehingga urusannya hanyalah kehutanan dan pelaksanaan serta penyelesaian permasalahannya dapat dilakukan dengan ilmu kehutanan. Mereka sering merasa tidak berhak dan tidak pantas menggunakan ilmu lain untuk mencampuri urusan kehutanan. Mengisolasi diri dan berlindung dengan mengatasnamakan baju besi kehutanan untuk tidak mempelajari dan menggunakan ilmu-ilmu lain serta terus berpegang teguh pada ilmu kehutanan untuk menyelesaikan permasalahan kehutanan seperti inilah yang kerap kali muncul menjadi ego orang kehutanan. Paradigma dan pola pikir rimbawan yang terbawa arus scientific forestry tentu salah satu faktor utama penyebabnya berasal dari pendidikan yang diterima. Pendidikan kehutanan di Indonesia haruslah dapat membangun jiwa dan pola pikir calon rimbawan agar dapat berfikir secara logis dalam menyelesaikan permasalahan. Calon rimbawan dalam menempuh pendidikan tidaklah tepat jika hanya disuguhi dengan penumpukan ilmu pengetahuan melalui hafalan seperti halnya flashdisk yang tidak bisa berfikir apa-apa ketika di file penyimpanan tidak ada dan tidak bisa berbuat apa-apa selain dari hasil simpanannya. Soedomo (2012) menyebutkan bahwa Pendidikan lebih menggenjot aspek kognitif hingga menghasilkan manusia yang pandai memecahkan masalah tanpa terlebih dahulu mengetahui masalah yang seharusnya dipecahkan.

Melalui kesadaran dari hipnotis ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan banyak membaca dan menggugat serta terus membuka diri belajar berbagai bidang ilmu, kemudian ditingkat pendidikan dengan memperbaiki sistem pendidikan untuk calon rimbawan yang dapat membangun jiwa bukan hanya sekedar “merobotkan” para calon rimbawan serta di tingkat pengelolaan pengelolaan hutan dengan merubah paradigma scientific forestry menjadi paradigma yang transdisiplinary, di masa yang akan datang kehutanan Indonesia masih memiliki harapan untuk kembali jaya dalam mencapai lestari untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(6)

KEHUTANAN INDONESIA BARU “Dalam Keterlenaan Masa Lalu, Fakta Masa Kini, dan Harapan Masa Depan”

6

DAFTAR PUSTAKA

Kartodihardjo, Hariadi. 2012. Hegemoni Ilmu Pengetahuan. Di dalam: Kartodihardjo, Hariadi. Kembali ke Jalan Lurus Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Forci Development dan Tanah Air Beta.

Kartodihardjo, Hariadi. 2012. Masalah Cara Pikir dan Praktik Kehutanan: Refleksi dan Evaluasi II. Di dalam: Kartodihardjo, Hariadi. Kembali ke Jalan Lurus Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Forci Development dan Tanah Air Beta.

Kartodihardjo, Hariadi. 2006. Masalah Kelembagaan dan Arah Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. JAKK. Volume 3, Nomor 1:29-41.

Khan, Aziz. 2011. Kerangka Pikir Dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan Indonesia: Sebuah Analisis Diskursus [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Peluso, Nancy. 1992. Rich Forest Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Los Angles: University of California Press.

Safitri, Myrna A. 2012. Keniscayaan Transdisiplinaritas dalam Sosio-Legal Terhadap Hutan, Hukum dan Masyarakat. Di dalam: Kartodihardjo, Hariadi. Kembali ke Jalan Lurus Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Forci Development dan Tanah Air Beta.

Soedomo, Sudarsono. 2012. Scientific Forestry. Di dalam: Kartodihardjo, Hariadi. Kembali ke Jalan Lurus Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Forci Development dan Tanah Air Beta.

(7)

KEHUTANAN INDONESIA BARU “Dalam Keterlenaan Masa Lalu, Fakta Masa Kini, dan Harapan Masa Depan”

7

BIOGRAFI

Penulis dengan nama lengkap Mutiono lahir pada tanggal 14 April 1992 di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1998 di SD N Tepus Kulon tepat di desa penulis tinggal. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan kembali pendidikannya di SMP N 3 Purworejo hingga tahun 2007 yang kemudian dilanjutkan kembali di SMA N 2 Purworejo hingga tahun 2010. Selesai mengenyam pendidikan menengah, penulis mencoba mendaftarkan diri di Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur USMI yang kemudian menghantarkannya dapat merasakan pendidikan di perguruan tinggi dengan bantuan beasiswa pemerintah Bidik Misi sejak tahun 2010.

Merasa kurang dengan ilmu yang diperoleh dibangku kuliah, penulis dengan prinsip “semua tempat adalah sekolah dan semua yang ditemui adalah guru” mencoba mencari berbagai ilmu dan pengalaman diluar bangku perkuliahan. Pada tahun 2011-2012 penulis belajar melalui Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dan saat ini penulis sedang kembali belajar di Pengurus Pusat Sylva Indonesia hingga tahun 2014. Selain itu penulis juga senang berdiskusi dengan berbagai pihak terkait hal-hal yang ingin penulis ketahui. Membaca buku juga menjadi salah satu kegemaran penulis untuk lebih memperluas pemikiran serta mengembangkan pola pikir agar tersadar dari hipnotis ilmu pengetahuan dan betapa pentingnya belajar.

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok studi ini dimaksudkan sebagai wadah kreativitas mahasiswa dalam pengembangan diri secara akademik diluar kuliah dan praktikum formal. Program Studi Teknik

Rasio energi-protein yang luas nyatanya mampu menaikkan efisiensi penggunaan ransum.Hal ini memberikan pengertian bahwa itik lokal jantan memerlukan rasio yang

Bakteri endofit yang unggul sebagai agens pengendali hayati, selain memiliki daya penghambatan yang kuat terhadap cendawan diharapkan memiliki karakter fisiologi

Dengan demikian, air sungai dapat dimanfaatkan untuk perta- naman secara lebih luas dan leluasa.Dengan dibuatnya anjir, maka daerah yang berada dikiri dan kanan saluran dapat

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Kemudian berbakti, menyambung hubungan dan berbuat baik tidaklah mengharuskan saling cinta dan sayang-menyayangi yang dilarang

Physiochemical properties, TLC, UV, IR and NMR analysis of carisoprodol and newly obtained derivatives of carisoprodol was studied and it showed that there was change in color,

Artikel berjudul “Pepatah Jawa sebagai Prinsip Hidup Masyarakat Modern dalam Novel Impian Amerika Karya Kuntowijoyo” yang ditulis oleh Ivana Septia Rahaya,

Untuk Kabupaten Karimun tenaga kesehatan khusus yang di kontrak dari pusat DTPK yang ada di puskesmas Moro yaitu nakes perawat 1 orang, nakes kesling 1 orang, nakes gizi 1 orang