• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran konformitas dalam hubungan antara harga diri dan impulsive buying pada remaja putri.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran konformitas dalam hubungan antara harga diri dan impulsive buying pada remaja putri."

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KONFORMITAS DALAM HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI

DAN IMPULSIVE BUYING PADA REMAJA PUTRI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Bernadeta Feni Marettha

099114008

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Setiap pilihan yang ada dalam hidup selalu ada tantangannya,

tinggal kita yang memilih siap menerima tantangan itu atau

tidak.

Buatlah yang terbaik dari dirimu, berserah kepada Bapamu,

dan percayakan semua dalam kemuliaan Tuhan karena dalam

nama-Nya kamu yang akan memenangkan pertarungan hebat

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan bagi,

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria

yang menjadi sahabat terbaikku disetiap situasi senang maupun

sulit sekalipun.

Orang-orang terkasihku yang sudah berkorban banyak untukku

dan memberikan dukungan serta cintanya yang tulus

Bapak, Ibu, Mas Leo, Sinta dan Christian Ajie.

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 Juli 2013

Penulis

(7)

vii

PERAN KONFORMITAS DALAM HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI

DAN IMPULSIVE BUYING PADA REMAJA PUTRI

Bernadeta Feni Marettha

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperjelas struktur hubungan antara harga diri, konformitas dan impulsive buying pada remaja putri, dengan cara mencari tahu peran konformitas dalam struktur hubungan tersebut apakah sebagai mediator atau sebagai moderator. Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah apa peran konformitas dalam struktur hubungan antara harga diri dan impulsive buying pada remaja putri? Pengambilan sampel dilakukan di pusat perbelanjaan di Yogyakarta. Subjek penelitian ini adalah remaja putri yang berusia 12 – 21 tahun, berjumlah 160 orang. Jenis penelitian ini adalah korelasional dengan teknik pengambilan sampel menggunakan incidental sampling sehingga subjek yang menjadi sampel penelitian adalah remaja putri yang sedang berada pada situasi dan waktu yang sama dengan pelaksanaan penelitian berlangsung. Teknik analisis data adalah analisis regresi dengan bantuan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil analisis penelitian ini ditemukan bahwa peran konformitas dalam hubungan antara harga diri dan impulsive buying pada remaja putri adalah sebagai moderator (B = 0,047, p = 0,003). Ini menunjukkan bahwa tinggi atau rendahnya tingkat harga diri remaja putri tidak mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat konformitas mereka terhadap tingkat pembelian impulsif.

(8)

viii

THE ROLE OF CONFORMITY IN RELATION BETWEEN

SELF-ESTEEM AND IMPULSIVE BUYING ON FEMALE ADOLESCENT

Bernadeta Feni Marettha ABSTRACT

The research is aimed to clarify the related structure between self-esteem, conformity, and impulsive buying on female adolescent, by finding out the role of conformity in the structure relationships whether as mediator or moderator. The question of research was what is the role of conformity in the structure relationship between self-esteem and impulsive buying on female

adolescent? Research sampling was conducted on a shopping center in Yogyakarta.The subject of

this research were female adolescent who aged 12 – 21 years old. The amount of subject were 160 people. The research used a correlation design. Techniques used to collect the population sample was incidental sampling, so that the subject in the research were female adolescent who are occurred at the same time and situation when the research was conducted. The data was analyzed using regression analysis by SPSS 16.0 for Windows. The result shown that the role of conformity in a structure relationship between self-esteem and impulsive buying was as moderator (B = 0,047, p = 0,003). It means that high or low level of self-esteem on female adolescent do not affect the level of conformity to impulsive buying.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Bernadeta Feni Marettha

Nomor Mahasiswa : 099114008

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Peran Konformitas dalam Hubungan Antara Harga Diri dan

Impulsive Buying pada Remaja Putri

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain

untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun

memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 15 Juli 2013

Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala

penyertaan dan berkat yang melimpah sehingga Skripsi dengan judul “Peran

Konformitas dalam Hubungan Antara Harga Diri dan Impulsive Buying pada

Remaja Putri” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Selama menulis Skripsi ini, penulis menyadari bahwa ada begitu banyak

pihak yang telah berkontribusi besar dalam proses pengerjaan Skripsi ini. Oleh

karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi., M.Psi sebagai dekan Fakultas

Psikologi.

2. Bapak Agung Santoso, S.Psi., M.A selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

Terima kasih atas bimbingan, kerjasama, ilmu, perhatian, dan support

yang telah diberikan hingga Skripsi ini selesai pada waktu yang telah

ditentukan-Nya.

3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi dan Bapak Dr. T. Priyo W, M.Si

selaku dosen penguji yang telah membagikan ilmunya.

4. Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Doni, dan Mas Muji, Pak Gie, terima kasih

atas keramahan dan pelayanan yang begitu hangat selama empat tahun

menimba ilmu di Fakultas Psikologi

5. Pimpinan Pusat Perbelanjaan Galeria Yogyakarta yang sudah memberikan

ijin untuk melakukan penelitian selama tiga hari, terima kasih banyak atas

(11)

xi

6. Bapak dan Ibu yang tidak pernah hentinya mendoakan dan mengupayakan

seluruh tenaga dan jiwanya untuk mendukung penulis sampai masa studi

ini selesai, terima kasih. Semua pengorbanan jarak dan waktu yang kita

hadapi dapat kupertanggung jawabkan hanya untukmu, Bapak dan Ibu. I

proud of you, you are my everything, and I love you so much.

7. Kakak dan adikku yang paling hebat, Mas Leo dan Sinta yang selalu

menghiburku dalam keadaan yang menjenuhkan sekalipun. Terima kasih

atas kegokilan kalian yang selalu membuatku rindu.

8. Sahabat seperjuanganku, Vivin. Terima kasih untuk dinamika pertemanan

kita dari awal sampai sekarang ini yang luar biasa. Mulai dari senang,

sedih, kesel, jauh, dekat, cinta, kasih, sayang, sampai perjuangan satu

bimbingan dengan Pak Agung, semua kita lalui bersama and we are great,

I love you.

9. Seseorang yang selalu mendampingiku, yang menjadi sumber semangatku,

yang selalu menghiburku, sabar dan mengerti aku, selalu memberikan

cinta, dan perhatian yang tulus dalam setiap hariku, Yohanes Christian Aji.

Thanks so much for all, dear.

10.Teman-teman centilku, Manik, Brigit, Vivin, Okvi, dan Jeanet. Terima

kasih girls atas pertemanan kita selama ini. Kalian super duper heboh

dalam hidupku dan aku sangat bersyukur berteman dengan kalian. I will

miss you, guys.

11.Teman-teman Psikologi, Gusbay, Angel, Awie, Xyannie, Yustia, Riris,

(12)

xii

Nina, Kak Krinyol, dan teman-teman angkatan 2009 khususnya kelas A,

terima kasih buat sharing dan dukungannya selama ini.

12.Keluarga besar P2TKP, Pak Adi, Pak Toni, Anju, Efrem, Lito, Tuti, Dara,

Marlina, Novi, Pingkan, Sherlot, Riri, Rinta, Mbak Vista, Bella, Marta,

Raisa, Alvia, Jeje dan Vivin. Terima kasih atas dukungan dan

perhatiannya.

13.Teman-teman kos, Mbak Sum, Kak Bohen, Mbak Ndit, Kak Liza, Ori,

Maria, Cilla, Angel, Helen, Indah, Epong, Agnes, Devina, Rosa, Mbak

Aik, Cilla Bongsor, Novia, Kak Icha, terima kasih dukungannya.

14.Teman-teman yang jauh atau pun dekat tetap istimewa, Kak Under, Kak

Aya, Osi, Kak Dion, Kak Koco, Kak Fika, Kak Adit, Alfons. Thank you

for this friendship.

15.Semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan skripsi ini,

terima kasih.

Saya menyadari dalam pembuatan skripsi ini ada kesalahan yang saya

perbuat. Oleh karena itu saya mengucapkan maaf kepada semua pihak yang telah

dirugikan. Penelitian ini juga masih jauh dari kata sempurna sehingga besar

harapan saya untuk mendapatkan kritik dan saran yang membangun demi

perkembangan penelitian selanjutnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 15 Juli 2013

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xx

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. RUMUSAN MASALAH... 6

C. TUJUAN PENELITIAN... 6

D. MANFAAT PENELITIAN... 6

1. Teoretis... 6

(14)

xiv

BAB II LANDASAN TEORI... 8

A. REMAJA PUTRI... 8

1. Definisi Remaja Putri... 8

2. Tahap Perkembangan Remaja Putri... 10

3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja Putri... 13

B. IMPULSIVE BUYING (PEMBELIAN IMPULSIF)... 16

1. Definisi Pembelian Impulsif... 16

2. Aspek-aspek dalam Pembelian Impulsif... 17

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif... 20

4. Pembelian Impulsif pada Remaja Putri... 24

C. KONFORMITAS... 25

1. Definisi Konformitas... 25

2. Aspek – aspek Konformitas... 26

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas... 27

4. Konformitas pada Remaja Putri... 33

D. HARGA DIRI... 36

1. Definisi Harga Diri... 36

2. Aspek-aspek yang Ada dalam Harga Diri... 37

3. Harga Diri pada Remaja Putri... 39

E. HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI, KONFORMITAS, DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF... 41

1. Konformitas sebagai Mediator... 41

(15)

xv

F. PERTANYAAN PENELITIAN... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 51

A. JENIS PENELITIAN... 51

B. IDENTIFIKASI VARIABEL... 51

C. DEFINISI OPERASIONAL... 51

1. Impulsive Buying (Pembelian Impulsif)... 51

2. Konformitas... 52

3. Harga Diri... 53

D. SUBJEK PENELITIAN... 53

E. METODE PENGAMBILAN DATA... 54

1. Skala Pembelian Impulsif... 55

2. Skala Konformitas... 56

3. Skala Harga Diri... 57

F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR... 58

1. Validitas Skala... 58

2. Seleksi Item... 58

3. Reliabilitas... 61

G. METODE ANALISIS DATA... 62

1. Model Konformitas sebagai Mediator... 62

2. Model Konformitas sebagai Moderator... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 65

A. PERSIAPAN PENELITIAN... 65

(16)

xvi

2. Perizinan... 66

B. PELAKSANAAN PENELITIAN... 66

C. HASIL PENELITIAN... 68

1. Model Konformitas sebagai Mediator 69 2. Model Konformitas sebagai Moderator... 78

D. PEMBAHASAN... 81

E. KETERBATASAN PENELITIAN... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 87

A. KESIMPULAN... 87

B. SARAN... 88

1. Bagi Remaja Putri... 88

2. Bagi Institusi Pendidikan... 88

3. Bagi Orangtua... 88

4. Bagi Peneliti Berikutnya... 89

DAFTAR PUSTAKA... 90

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1Tabel Spesifikasi Skala Harga Diri... 39

Tabel 2 Blue Print Skala Pembelian Impulsif... 55

Tabel 3 Blue Print Skala Konformitas... 56

Tabel 4 Blue Print Skala Harga Diri... 57

Tabel 5Distribusi Item Skala Pembelian Impulsif... 59

Tabel 6Distribusi Item Skala Konformitas... 60

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Model Konformitas sebagai Mediator... 43

Gambar 2 Model Konformitas sebagai Moderator... 48

Gambar 3 Framework Penelitian Konformitas sebagai Mediator... 49

Gambar 4 Framework Penelitian Konformitas sebagai Moderator... 50

Gambar 5. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Harga Diri dan Konformitas... 69

Gambar 6. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Konformitas dan Pembelian Impulsif... 70

Gambar 7. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Harga Diri dan Pembelian Impulsif... 70

Gambar 8. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Harga Diri dan Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 71

Gambar 9. Scatterplot Harga Diri dan Konformitas... 72

Gambar 10. Scatterplot Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 72

Gambar 11. Scatterplot Harga Diri dan Pembelian Impulsif...73

Gambar 12. Scatterplot Harga Diri dan Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 73

Gambar 13. Scatterplot Harga Diri dengan Konformitas... 74

Gambar 14. Scatterplot Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 75

(19)

xix

Gambar 16. Scatterplot Harga Diri dan Konformitas dengan Pembelian

Impulsif…... 76 Gambar 17. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Model

Moderator... 78

Gambar 18. Scatterplot Model Moderator... 79

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Pengukuran... 99

Lampiran B. Skala Harga Diri... 101

Lampiran C. Skala Konformitas... 104

Lampiran D. Skala Pembelian Impulsif... 107

Lampiran E. Reliabilitas... 110

Lampiran F. Hasil Regresi Model Mediator... 121

Lampiran G. Hasil Regresi Model Moderator... 126

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Studi yang dilakukan oleh Nielsen di Jakarta, Bandung, Surabaya,

Makasar, dan Medan, menunjukkan bahwa jumlah pembelanja di Indonesia

semakin meningkat. Kondisi tersebut terbukti dari orang-orang yang tidak

membuat rencana sebelum belanja semakin banyak. Peningkatan ini terjadi

hampir dua kali lipat dari kondisi tahun 2003 (Industrial Post, 2011).

Konsumen Indonesia cenderung lebih tertarik dengan promosi yang dapat

memberikan keuntungan, salah satunya adalah diskon atau potongan harga

(Intisari, 2009).

Penelitian lain di Indonesia menunjukkan bahwa pembelian impulsif

banyak terjadi pada remaja putri dibandingkan remaja putra (Utami &

Sumaryono, 2008; Mulyono, 2012). Ditemukan bahwa, 20,9 % dari 1.074

responden yang berstatus sebagai pelajar yang berdomisili di Jakarta dan

Surabaya mengaku pernah menggunakan uang spp-nya untuk membeli barang

incarannya ataupun hanya sekedar untuk bersenang-senang (Jawa Pos dalam

Sihotang, 2009).

Tingkat konsumsi remaja untuk kebutuhan yang sifatnya kesenangan

lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan pengeluaran siswa untuk kebutuhan

belajar yang merupakan investasi bagi masa depan. Hal ini menyebabkan

(22)

menabung (Nurasyiah & Budiwati dalam Setyawati, 2010). Beberapa

fenomena ini sangat jelas menyatakan bahwa pembelian impulsif tidak hanya

terjadi pada orang-orang yang berpenghasilan saja, melainkan sudah

memasuki kehidupan remaja saat ini dan berdampak negatif pada remaja.

Pembelian impulsif pada remaja sering kali menjadi bagian terpenting

dalam marketing karena remaja adalah target mereka dalam pemasaran (Lin &

Chuang, 2005; Lin and Chen, 2012). Sasaran yang dijadikan target utama

adalah remaja putri karena remaja putri lebih sering melakukan pembelian

impulsif dibandingkan remaja putra (Dittmar & Wood dalam Verplanken &

Herabadi, 2001; Utami & Sumaryono, 2008; Lin & Lin, 2005).

Pembelian impulsif memiliki konsekuensi negatif terhadap pelaku.

Konsekuensi yang harus diterima oleh pembeli yang melakukan pembelian

secara impulsif antara lain mendapatkan kesulitan keuangan setelah

melakukan pembelian impulsif, mengalami kekecewaan terhadap barang yang

sudah dibeli, dan mendapat ketidaksetujuan mengenai barang yang dibeli dari

orang-orang di lingkungan sekitar seperti teman ataupun orang tua (Rook,

1987).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif. Faktor – faktor tersebut terbagi menjadi faktor personal dan faktor lingkungan. Faktor

personal terdiri dari harga diri (Hadjali, Salimi, & Ardestani, 2012 Djudiyah,

2002), mood (Verplanken & Herabadi, 2001), kontrol diri (Baumeister, 2002).

(23)

2001; Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009), penilaian negatif dari orang

lain (Lin & Chen, 2012), harga yang rendah (Stern,1962), store display

(Hadjali, Salimi & Ardestani, 2012)

Remaja yang berbelanja bersama teman-temannya cenderung akan

mengunjungi banyak toko dan melakukan pembelian impulsif (Mowen &

Minor, 2002). Remaja percaya bahwa pembelian impulsif yang mereka

lakukan dapat diterima secara sosial sehingga mereka akan bertindak atas

kecenderungan impulsif yang dimiliki (Rook & Fisher dalam Kacen & Lee,

2002). Kecenderungan remaja putri melakukan pembelian secara impulsif

dipengaruhi oleh konformitas (Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009) dan

ketergantungan yang kuat pada kelompok teman sebaya (Affif, 1993).

Biasanya tekanan yang dihasilkan oleh pihak mayoritas akan menimbulkan

konformitas sehingga pendapat yang sudah disetujui oleh sebagian besar dari

anggota kelompok akan diikuti oleh semua anggota kelompok lainnya (Sears,

Freedman & Peplau, 1985).

Konformitas lebih mudah terjadi pada remaja putri karena remaja putri

pada umumnya memiliki sifat yang penurut, pasif, tunduk pada otoritas,

mengalah, dan enggan memunculkan konflik (Tapiheru dalam Astasari &

Sahrah, 2009; Utami & Sumaryono, 2008). Dapat dikatakan dampak negatif

yang diperoleh dari konformitas adalah dapat menghambat kreativitas dan

berpikir kritis. Ketika bersama kelompok, orang akan cenderung menyangkal

kepercayaan pribadi dan sepakat akan pemahaman yang bertentangan dengan

(24)

Penelitian terdahulu menyatakan konformitas berhubungan positif

dengan pembelian impulsif. Semakin tinggi konformitas terhadap kelompok

teman sebaya maka semakin tinggi pembelian impulsif pada remaja.

Sebaliknya semakin rendah konformitas terhadap kelompok teman sebaya

maka semakin rendah pembelian impulsif pada remaja (Sihotang, 2009;

Astasari & Sahrah, 2009). Demi suatu pengakuan, remaja seringkali bersedia

melakukan berbagai upaya meskipun bukan sesuatu yang dibutuhkan atau

berguna jika dilihat dari kacamata orangtua atau orang dewasa lainnya (Zebua

& Nurdjayadi, 2001).

Konformitas adalah hasil interaksi antara faktor-faktor situasional dan

faktor personal. Faktor situasional adalah faktor yang mempengaruhi

konformitas dari luar seperti ukuran kelompok (Baron & Byrne, 2005) dan

tekanan kelompok (Sears, Freedmen, Peplau, 1985). Sedangkan salah satu

faktor personal yang erat kaitannya dengan konformitas adalah harga diri

(Cipto & Kuncoro, 2010; Sulistyowati, 2009; Nashihin, 2012). Remaja yang

memiliki harga diri yang rendah, biasanya akan cenderung mengikatkan

dirinya pada kelompok sebayanya dengan tujuan agar dapat dianggap dan

diakui oleh lingkungan (Cipto & Kuncoro, 2010). Sedangkan remaja yang

memiliki harga diri yang tinggi, cenderung tidak melakukan konformitas

karena memiliki keinginan untuk menunjukkan keberhasilan sebagai kualitas

dan usaha pribadi (Marsh, 1990 ; Sulistyowati, 2009). Dalam hal ini dapat

dikatakan remaja yang melakukan konformitas adalah mereka yang memiliki

(25)

Selain karena harga diri memiliki korelasi dengan konformitas, harga

diri juga memiliki korelasi dengan pembelian impulsif. Ditemukan beberapa

penelitian yang mengkorelasikan antara harga diri dan pembelian impulsif.

Penelitian tersebut menunjukkan adanya korelasi negatif mengenai harga diri

dengan pembelian impulsif, bahwa semakin tinggi harga diri yang dimiliki

seseorang, maka semakin rendah pembelian impulsif yang dilakukan.

Sebaliknya, semakin rendah harga diri seseorang, maka semakin tinggi tingkat

pembelian impulsif yang dilakukan (Hadjali, Salimi, & Ardestani, 2012;

Djudiyah, 2002).

Rendahnya harga diri remaja, banyak ditemui pada remaja putri

dibandingkan remaja putra (Coopersmith, 2007; Baron, Byrne & Branscombe,

2006; Santrock, 2012). Remaja putri dikatakan akan lebih cenderung

melakukan pembelian impulsif dibandingkan remaja putra (Dittmar & Wood

dalam Verplanken & Herabadi, 2001; Lin & Lin, 2005).

Harga diri dijadikan variabel independen dalam penelitian ini

dikarenakan syarat untuk mengetahui peran dari konformitas adalah variabel

X (harga diri) harus signifikan dengan variabel Y (pembelian impulsif).

Berdasarkan penelitian yang sudah dijelaskan, ketiga variabel selalu

menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara harga diri dengan

konformitas, konformitas dengan pembelian impulsif, serta harga diri dengan

pembelian impulsif. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa harga

diri menjadi variabel independen dari konformitas dan pembelian impulsif.

(26)

impulsif. Namun demikian, belum ditemukan penelitian yang menjelaskan

peran dari konformitas dalam struktur hubungan ketiga variabel tersebut.

Penelitian ini dirasa penting karena melalui penelitian ini dapat diketahui

secara jelas apakah konformitas berperan sebagai mediator atau moderator

dalam hubungan antara harga diri dengan pembelian impulsif ?

B. RUMUSAN MASALAH

Apa peran konformitas dalam struktur hubungan antara harga diri

dengan pembelian impulsif pada remaja putri ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mencari tahu lebih jelas

mengenai struktur hubungan antara harga diri, konformitas, dan pembelian

impulsif. Selain itu, menegaskan peran dari konformitas dalam struktur

hubungan antara harga diri dan pembelian impulsif pada remaja putri.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah hasil dari penelitian

dapat menyumbangkan dan menegaskan peran dari konformitas dalam

struktur hubungan antara harga diri dengan pembelian impulsif, apakah

konformitas berperan sebagai mediator atau moderator ?

2. Praktis

Informasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengurangi

pembelian impulsif pada remaja putri dengan memperhatikan tingkat

(27)

antara harga diri, konformitas, dan pembelian impulsif dapat dijadikan

dasar untuk melakukan tritmen/pelatihan secara tepat khususnya pelatihan

peningkatan harga diri.

Pelatihan kepribadian remaja putri dapat dilakukan oleh institusi

pendidikan dengan meningkatkan harga diri remaja agar dapat

menyesuaikan diri dengan baik secara sosial. Ketika remaja putri memiliki

harga diri yang tinggi mereka dapat memilih konformitas yang positif

sehingga dapat menekan pembelian impulsifnya.

Berdasarkan penelitian ini, remaja putri dapat menilai tingkat

pembelian impulsif dan tingkat konformitas mereka. Penilaian diri tersebut

sebagai dasar pengetahuan mengenai diri mereka sendiri sehingga mereka

(28)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. REMAJA PUTRI

1. Definisi Remaja Putri

Masa remaja merupakan bagian dari perkembangan yang dilihat

dari aspek genetik, biologis, lingkungan dan pengalaman berinteraksi,

baik dengan orang tua, teman sebaya, dan guru. Beberapa peneliti lain juga

menambahkan bahwa perkembangan masa remaja melibatkan perubahan

besar pada aspek biologis atau fisik, kognitif, dan sosial emosi yang

berlangsung sejak awal remaja hingga masa remaja berakhir (Santrock,

2002, 2003, 2007; Papalia, Old, & Feldmen, 2009). Peralihan dari masa

kanak-kanak menuju kedewasaan ini, dilalui oleh peristiwa panjang yang

disebut dengan masa remaja (adolescene).

Pengertian lain menjelaskan bahwa remaja merupakan suatu

periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, ketika

remaja harus dapat berdiri sendiri secara mandiri (DeBrun dalam Jahja,

2011; Neidhart dalam Gunarsa & Gunarsa, 1981; WHO dalam Sarwono,

2007). Masa remaja bukan lagi masuk dalam golongan anak-anak, tetapi

juga belum pantas dikatakan dewasa.

Salah satu organisasi seperti WHO (World Health Organization)

menjelaskan bahwa remaja mengalami perkembangan psikologis dan

(29)

2007). Fenomena ini yang membuat remaja merasa bingung untuk

menentukan identitasnya sehingga remaja cenderung menunjukkan suatu

kepekaan dan labilitas yang meningkat pada tindakannya (Remplein dalam

Monks & Knoer, 2002).

WHO mengkategorikan usia remaja berkisar 11 tahun sampai 20

tahun (Sarwono, 2009). Tidak jauh berbeda dengan WHO, Paplia dan

Olds menambahkan bahwa masa remaja adalah masa transisi

perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang dimulai pada

usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia belasan atau awal dua

puluhan tahun (Monks & Knoers, 2002). Erickson (dalam Santrock, 2007)

menambahkan batasan usia pada masa remaja mulai dari usia 10 tahun

hingga 20 tahun. Sedangkan, Santrock berpendapat bahwa rentang usia

remaja bervariasi sesuai dengan budaya dan sejarah sehingga Santrock

mengkategorikan usia remaja mulai dari usia 10 tahun sampai 21 tahun

dan membagi masa tersebut menjadi dua yaitu, masa remaja awal (early

adolescene) dan masa remaja akhir (late adolescene). Masa remaja awal

berlangsung antara usia 10 tahun sampai 13 tahun, sedangkan masa remaja

akhir berkisar antara 18 tahun sampai 21 tahun (Santrock, 2007; 2008).

Tidak jauh berbeda dengan Santrock, Sullivan juga membagi remaja

menjadi dua, yaitu masa remaja awal yang diawali pada usia 12 tahun – 16 tahun dan masa remaja akhir dari 16 tahun – 20 tahunan (Alwisol, 2004). Beberapa ahli di Indonesia juga membagi masa remaja menjadi dua masa

(30)

tahun dan masa remaja akhir dengan rentang usia 17 sampai 21 tahun

(Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja

adalah suatu masa peralihan individu dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa yang mencakup perubahan perkembangan biologis atau fisik,

kognitif, dan sosial-emosi. Masa remaja diawali dari usia 12 tahun sampai

21 tahun yang dibagi menjadi dua masa yaitu masa remaja awal dan

remaja akhir.

2. Tahap Perkembangan Remaja Putri

Tahap perkembangan remaja putri sama seperti tahap

perkembangan remaja pada umumnya. Remaja putri yang memasuki usia

remaja akan mengalami perubahan pada perkembangan fisik, kognisi, dan

sosial-emosinya (Santrock, 2002, 2003, 2007; Papalia, Old, & Feldmen,

2009)

Ada beberapa pembagian tahap perkembangan remaja. Beberapa

ahli membagi masa remaja berdasarkan usia. Berdasarkan usia, masa

remaja dibagi menjadi masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja tengah 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 (Monks & Knoers, 2002; Sarwono, 2007).

Beberapa ahli lain seperti Santrock (2003; 2007) dan Sullivan

(dalam Alwisol, 2004) membagi remaja dengan dua masa yaitu masa

remaja awal dan masa remaja akhir. Mereka tidak menjelaskan kategori

(31)

yang dimiliki oleh remaja tengah dapat digolongkan pada masa remaja

awal dan masa remaja akhir (Santrock, 2003, 2007; Papalia dkk, 2008;

Alwisol, 2004; Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996) sehingga

penelitian ini mengacu pada dua pembagian masa tersebut.

a. Masa Remaja Awal

Masa remaja awal sama dengan masa sekolah menengah

pertama dan mencakup perubahan pubertas (Santrock, 2003). Masa

remaja awal diawali dari usia 12 tahun sampai 16 atau 17 tahun

Alwisol, 2004; Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996; Sarwono,

2009).

Remaja pada masa ini merupakan masa awal untuk bertumbuh

tidak hanya secara fisik, melainkan juga dalam kompetensi kognitif

dan sosial, otonomi, harga diri, dan keintiman (Papalia dkk, 2009).

Pada masa ini remaja perlu mendapatkan perhatian secara

khusus terlebih ketika mereka menghadapi perubahan secara

bersamaan dan membutuhkan bantuan orang lain dalam mengatasi

masalah. Perhatian secara khusus akan memberikan bantuan pada

remaja sehingga membuat remaja merasa lebih aman (Papalia dkk,

2009).

Sullivan (dalam Feist & Feist, 2009; Alwisol, 2004) percaya

bahwa masa remaja awal merupakan masa perkembangan kepribadian.

Remaja mulai menunjukkan pribadinya ketika menghadapi suatu

(32)

Sullivan juga menambahkan bahwa keintiman merupakan proses antar

pribadi pada remaja awal untuk mendapatkan kebutuhan afeksi dan

penghargaan dari teman-teman sebaya meskipun dengan pergaulan

dapat memunculkan masalah.

b. Masa Remaja Akhir

Remaja yang dikategorikan sebagai remaja akhir adalah remaja

yang berusia 17 atau 18 sampai 21 tahun (Santrock, 2007; 2008;

Monks & Knoers, 2002; Sarwono, 2007; Rochmah, 2005;

Soesilowindradini, 1996). Pada masa ini, remaja cenderung meniru

perilaku orang dewasa karena remaja ingin menunjukkan bahwa

mereka telah memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). Kriteria

khusus yang dimiliki oleh remaja akhir adalah sudah memiliki

kestabilan dalam menentukan apa yang baik untuk dirinya, lebih

matang dalam menghadapi suatu permasalahan, memiliki ketenangan

emosi, dan lebih realistis. Karakteristik pada masa remaja akhir

terbentuk demikian berdasarkan tempat lingkungannya (Rochmah,

2005; Soesilowindradini, 1996). Di samping itu, remaja akhir memiliki

karakteristik cemas karena remaja merasa tidak memiliki kemampuan

pada dirinya. Ketika remaja mengalami kecemasan, mereka berusaha

menghindar dari sumber kecemasan karena mereka tidak ingin

menunjukkan ketidakmampuannya (Soesilowindradini, 1996).

Minat remaja akhir cenderung mengarah pada masa depan,

(33)

menunjukkan siapa dirinya (Santrock, 2003). Remaja akhir memiliki

tugas perkembangan untuk belajar menjalankan kewajiban, menerima

hak, dan bertanggung jawab atas setiap tindakannya di lingkungannya

(Sunaryo, 2004)

Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa remaja putri memiliki tahap perkembangan

yang sama dengan remaja pada umumnya. Tahapan tersebut terbagi

menjadi dua masa yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir.

3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja Putri

a. Perkembangan Fisik

Pada umumnya, permulaan masa remaja ditandai oleh

perubahan-perubahan fisik yang disebut pubertas. Bagi remaja putri,

perubahan fisik yang dialami seperti, penambahan berat badan, tinggi

badan, tumbuh payudara, tumbuh rambut halus pada bagian tubuh,

pertumbuhan tubuh, menstruasi, peningkatan mintak atau keringat

kelenjar produksi yang dapat menyebabkan jerawat (Gunarsa, 1981;

Papalia, Old & Feldmen, 2008). Perkembangan fisik tersebut

menyebabkan remaja putri lebih memperhatikan penampilan fisik

dibanding aspek lain dalam dirinya sehingga mereka merasa tidak

yakin pada dirinya ketika mengalami perubahan yang cepat

(Rosenblim & Lewis dalam Papalia, dkk, 2009; Jahja, 2011).

Perkembangan fisik pada remaja putri terjadi lebih awal dari pada

(34)

yang bermasalah dan tidak mudah menyadari dampak jangka panjang

dari tindakannya (Santrock, 2002).

b. Perkembangan Kognitif

Remaja memiliki proses berpikir yang menyatakan bahwa

dirinya unik dan tidak terkalahkan sehingga remaja meyakini dirinya

menarik bagi orang lain. Ketika remaja mulai berpikir demikian,

remaja mencoba untuk memproses informasi yang diterimanya agar

memperoleh pengetahuan yang lebih kompleks. Setelah memproses

informasi, remaja mencoba mengartikan informasi itu berdasarkan

perspektif yang dimilikinya sehingga remaja dapat mengambil

keputusan yang sesuai dengan pilihannya (Santrock, 2011; 2007).

Akan tetapi, pada masa ini, remaja cenderung belum memiliki

pemikiran yang matang ketika mendapatkan suatu informasi atau

stimulus. Oleh karena itu, ketika remaja memiliki permasalahan yang

harus dipecahkan, mereka cenderung gegabah dalam penyelesaiannya

(Santrock, 2002). Masa remaja juga menunjukkan peningkatan

kemampuan berpikir kritis, misalnya adanya peningkatan menangkap

informasi dan memprosesnya untuk dijadikan pengetahuan yang lebih

luas. Ada pula peningkatan pada kemampuan remaja dalam

mengkombinasikan berbagai pengetahuan dan memiliki strategi serta

spontan mempertimbangkan berbagai alternatif dan perencanaan

(35)

c. Perkembangan Sosial dan Emosi

Perkembangan berelasi sosial pada remaja berbeda dari masa

perkembangan sebelumnya. Remaja memiliki hubungan dengan teman

sebaya yang lebih intim dibandingkan hubungannya dengan orang tua

(Santrock, 2002). Keintiman remaja dengan teman sebaya diperkuat

ketika remaja memasuki usia remaja awal, misalnya dengan

berkumpul di mal bersama teman-temannya seperti orang dewasa

muda pada umumnya (Sarwono, 2009). Pada masa ini, remaja tidak

lagi hanya berhubungan dengan individu yang sama jenis saja,

melainkan juga dengan lawan jenis (Jahja, 2011; Rochmah, 2005).

Perkembangan aspek emosional pada remaja terjadi ketika

mereka dihadapkan pada situasi yang menuntutnya untuk lebih mandiri

dan bertanggung jawab pada situasi yang berbeda dengan masa

perkembangan sebelumnya (Jahja, 2011). Remaja memiliki

pengalaman emosional pada dirinya yang mengandung perasaan

senang, sedih, khawatir, adanya dorongan atau keinginan untuk

melakukan sesuatu, dan memliki pengamatan tertentu. Remaja

dikatakan kurang stabil dalam mengolah emosinya. Ketika sedang

gembira tiba-tiba bisa menjadi sedih, ketika memiliki rasa percaya diri

dapat berubah menjadi meragukan diri sendiri (Rochmah, 2005).

Selain itu, remaja cenderung mengambil keputusan berdasarkan situasi

emosinya. Remaja mampu membuat keputusan secara bijaksana ketika

(36)

membuat keputusan tidak bijaksana dikarenakan situasi emosinya

tidak tenang (Paus, Steinberg dalam Santrock, 2011).

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa aspek fisik, aspek

kognitif, dan aspek sosial – emosi merupakan aspek yang melekat pada masa perkembangan remaja putri. Setiap aspek memiliki hubungan dengan

perilaku remaja putrid di masa perkembangannya baik secara intrapersonal

maupun secara interpersonal.

B. IMPULSIVE BUYING (PEMBELIAN IMPULSIF)

1. Definisi Pembelian Impulsif

Beberapa ahli mengartikan pembelian impulsif (impulsive buying)

sama dengan pembelian tidak terencana (unplanned purchase) (Rook,

1987; Stern, 1962). Pembelian impulsif adalah pembelian yang dilakukan

secara spontan atau tiba-tiba karena adanya daya tarik terhadap stimulus

sehingga pembeli melakukan keputusan untuk membeli secara cepat.

Selain itu, pembelian impulsif terjadi tanpa melakukan pertimbangan dan

tidak berdasarkan pada penilaian atau evaluasi tertentu terhadap produk

atau manfaat dari produk yang dibeli (Davis & Sajtos, 2009; Rook &

Fisher, 1995). Pembelian impulsif bersifat kuat atau powerful karena

membuat pembeli bersemangat ketika dihadapkan pada stimulus dan

langsung membuat keputusan untuk membeli (Rook, 1987; Kacen & Lee,

2002; Verplanken & Herabadi, 2001).

Biasanya, pembeli yang melakukan pembelian impulsif mengalami

(37)

merasa kecewa atau menyesal dengan produk yang dibeli, merasa

bersalah, dan tidak mendapatkan persetujuan mengenai produk yang sudah

dibeli oleh orang di sekitarnya (Rook, 1987).

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan, maka pembelian

impulsif dapat disimpulkan sebagai suatu pembelian yang dilakukan

secara spontan atau tiba-tiba tanpa adanya perencanaan atau pertimbangan

sebelumnya. Biasanya pembelian impulsif terjadi karena adanya stimulus

tertentu sehingga pembeli dapat melakukan pembelian secara cepat dan

biasanya berujung pada penyesalan.

2. Aspek-aspek dalam Pembelian Impulsif

Pembelian impulsif memiliki dua aspek, yaitu aspek kognitif dan

aspek afektif. Kedua aspek ini merupakan komponen yang dialami oleh

pembeli sehingga menciptakan suatu perilaku pembelian impulsif.

Pembelian impulsif dapat terjadi berdasarkan dua aspek secara bersamaan,

tetapi dalam dinamikanya, terdapat salah satu aspek yang lebih dominan

(Herabadi, Verplanken, van Knippenberg, 2009; Verplanken, Herabadi,

Perry & Silvera, 2004).

a. Aspek Kognitif

Pada aspek ini, individu yang melakukan pembelian impulsif,

kurang mampu mempertimbangkan dan merencanakan sesuatu ketika

melakukan pembelian (Verplanken & Herabadi, 2001). Pembeli

terfokus pada harga dari suatu produk dan keuntungan yang diperoleh

(38)

Knippenberg, 2009). Contohnya, ada suatu produk branded yang

memiliki harga yang tinggi tetapi mendapatkan diskon sebesar 70%.

Proses kognitif pada individu yang impulsif akan bekerja ketika

pembeli melihat produk tersebut, ada keinginan secara tiba-tiba untuk

memiliki produk tersebut tanpa adanya pemikiran yang matang

sehingga secara cepat pembeli memutuskan untuk memilikinya (Coley

& Burgess, 2003) maka terjadilah pembelian. Pembelian terjadi tidak

berdasarkan kebutuhan atau perencanaan sebelumnya sehingga dapat

dikatakan pembelian impulsif. Sedangkan pembeli yang tidak impulsif

cenderung tidak mudah terpengaruh akan diskon atau harga yang

miring pada produk branded tersebut karena pembeli merasa tidak

berencana dan tidak memiliki kebutuhan untuk membelinya.

b. Aspek Afektif

Mayoritas pembeli melakukan pembelian secara impulsif

didominasi oleh aspek afektif. Aspek ini menjelaskan bahwa pembeli

melakukan pembelian impulsif karena memiliki perasaan senang dan

gembira ketika menginginkan suatu barang untuk dibeli serta memiliki

kesulitan untuk meninggalkan keinginannya itu (Coley & Burgess,

2003). Tetapi, setelah melakukan pembelian, biasanya muncul rasa

penyesalan (Rook, 1987; Verplanken & Herabadi, 2001). Pada aspek

ini, pembeli akan melakukan pembelian ketika pembeli melihat

(39)

untuk memilikinya, serta merasa harus membeli produk itu untuk

memuaskan diri (Coley & Burgess, 2003).

Hirschman & Holbrook dan Lai (dalam Herabadi, dkk, 2009;

Lai, 2010) menjelaskan bahwa aspek afektif merupakan aspek paling

kuat yang melekat pada diri pembeli ketika melakukan pembelian

impulsif. Beberapa peneliti juga menjelaskan bahwa kekuatan aspek

afektif ini dikarenakan pembeli memiliki mood yang positif. Mood

positif dapat mendorong seseorang untuk melakukan pembelian

impulsif. Mood positif meliputi perasaan suka atau tertarik, senang,

loyal, bersemangat dan merasa berharga ketika melakukan pembelian

impulsif (Rook, 1987; Rook & Gardner dalam Herabadi dkk, 2009;

Coley & Burgess, 2003). Selain itu, pembeli dapat memanjakan diri

dan seperti mendapatkan hadiah ketika melakukan pembelian impulsif

(Rook, 1987).

Berdasarkan aspek-aspek yang telah disampaikan, dapat

disimpulkan bahwa pada aspek kognitif, individu melakukan pembelian

impulsif berdasarkan kurangnya perencanaan sebelumnya dan hanya

menekankan pada harga dan keuntungan yang diperoleh. Sedangkan aspek

afektif adalah aspek paling kuat pada individu dalam melakukan

pembelian impulsif. Individu melakukan pembelian impulsif berdasarkan

emosi, perasaan tertarik, bersemangat dan memiliki hasrat harus memiliki

(40)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif

Secara umum, pembelian impulsif dipengaruhi oleh dua faktor,

yakni faktor lingkungan dan personal.

a. Faktor Lingkungan

Sebuah penelitian menyatakan bahwa penilaian negatif pada

remaja dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Remaja memiliki

ketakutan tersendiri ketika mendapatkan penilaian negatif dari teman

sebayanya. Kecemasan secara sosial ini, dapat mempengaruhi remaja

untuk melakukan pembelian impulsif (Lin & Chen, 2012).

Penelitian lain menyebutkan bahwa konformitas adalah

prediktor atau variabel independen dari variabel pembelian impulsif

(Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009). Penelitian ini menjelaskan

bahwa semakin tinggi tingkat konformitas seseorang, maka semakin

tinggi pula pembelian impulsif yang dilakukan. Sebaliknya, semakin

rendah tingkat konformitas seseorang, maka semakin rendah tingkat

pembelian impulsif seseorang Pengaruh kelompok tergolong besar

dalam pemberian norma tingkah laku sehingga apabila kelompok

dalam situasi membeli impulsif, maka anggotanya akan cenderung

berperilaku sama (Ewert dalam Monks 2002).

Harga merupakan bentuk nyata yang sering kali dijadikan

patokan individu melakukan pembelian. Harga juga dapat

menimbulkan pembelian yang tidak diharapkan karena harga

(41)

impulsif. Individu yang impulsif cenderung menyukai harga yang

rendah dan mendapatkan keuntungan dari hasil pembeliannya (Stern,

1962). Misalnya, awalnya pembeli hanya ingin membeli 2 buah baju.

Harga dua buah baju Rp 200.000,-.Akan tetapi individu menemukan

harga spesial di toko baju tersebut yang menuliskan “buy 3 get 1 free”.

Individu akan mendapatkan baju sebanyak empat buah dengan

menambahkan uang Rp 50.000,- saja. Contoh tersebut merupakan

contoh pembelian impulsif berdasarkan harga. Pembelian dua baju

yang tidak direncanakan semua adalah hasil dari pembelian impulsif.

Pelayanan yang dilakukan sendiri oleh pembeli seperti

swalayan dapat meningkatkan kesempatan pembelian impulsif

daripada pelayanan yang dilakukan oleh petugas. Pembelian impulsif

terjadi karena pembeli dapat mengambil produk secara bebas dan cepat

sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan jika dilayani oleh petugas,

pembeli tidak leluasa memilih produk yang akan dibeli (Stern, 1962).

Lingkungan toko dapat mempengaruhi pembelian impulsif

karena stimulus yang diberikan oleh toko beraneka ragam, seperti

penampilan produk, aroma, suara music, dan warna yang menarik

(Verplanken & Herabadi, 2001; Virvilaite, Saladiene & Zvinklyte,

2011). Store Display yang menarik dapat meningkatkan daya tarik

pembeli dan berpeluang untuk melakukan pembelian impulsif. Posisi

rak, mempromosikan produk spesial atau new arrival (Hadjali, Salimi,

(42)

lainnya merupakan hal-hal yang dapat membuat store display menarik

(Stern, 1962; Hoyer & MacInnis dalam Lin & Lin 2005).

b. Faktor Personal

Faktor personal berasal dari dalam diri individu yang dapat

mempengaruhi pembelian impulsif. Berdasarkan gendernya,

perempuan cenderung memiliki tingkat pembelian impulsif yang lebih

tinggi dibandingkan pria (Wu & Huan, 2010; Gasiorowska, 2011; Lin

& Lin, 2005; Pantecost & Andrews, 2010) dan melihat-lihat produk

lain selama berbelanja (Gasiorowska, 2011). Hal tersebut dikarenakan

kesenangan berbelanja dianggap perilaku yang wajar secara sosial

dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki (Gasiorowska,

2011).

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa mood pembeli dapat

mempengaruhi pembelian impulsif. Seseorang yang memiliki mood

positif biasanya lebih mudah tertarik, senang, loyal, bersemangat, dan

merasa berharga ketika melakukan pembelian secara impulsif

(Verplanken & Herabadi, 2001) daripada seeorang yang memiliki

mood negatif (Rook, 1987; Rook & Gardner dalam Herabadi dkk,

2009). Selain itu, motivasi untuk mendapatkan kesenangan dengan

memiliki emosi yang positif pada individu dapat mempengaruhi

pembelian impulsif (Virvilaite, Saladiene & Zvinklyte, 2011).

Kontrol diri juga dapat mempengaruhi pembelian impulsif.

(43)

menahan setiap stimulus yang mendukung pembelian impulsif, mudah

dipengaruhi dan tidak dapat mengelola dirinya, maka pembelian

impulsif dapat terjadi. Sedangkan orang yang memiliki kontrol diri

yang baik akan membeli produk sesuai kebutuhan jangka panjang

(Baumeister, 2002)

Sebuah penelitian menghubungkan kecerdasan emosi dengan

pembelian impulsif. Penelitian tersebut menyatakan bahwa orang yang

memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, pembelian impulsifnya lebih

rendah dibandingkan orang yang memiliki kecerdasan emosi yang

rendah (Lin & Chuang, 2005).

Harga diri juga menjadi salah satu faktor yang dapat

menciptakan pembelian impulsif pada individu. Penelitian (Hadjali,

Salimi, & Ardestani, 2012; Djudiyah, 2002) menunjukkan bahwa

semakin rendah tingkat harga diri seseorang maka semakin tinggi

pembelian impulsif dilakukan. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat

harga diri seseorang, maka semakin rendah tingkat pembelian impulsif.

Jadi dapat disimpulkan, faktor yang dapat mempengaruhi

pembelian impulsif yaitu faktor situasional yang terdiri dari penilaian

negatif, konformitas, harga, pelayanan, dan lingkungan toko. Sedangkan

faktor personalnya adalah gender, mood, kontrol diri, dan kecerdasan

(44)

4. Pembelian Impulsif pada Remaja Putri

Remaja merupakan bagian yang penting bagi marketing karena

remaja sering menghabiskan waktunya untuk berbelanja (Lin & Chang,

2005; Lin & Chen, 2012). Biasanya remaja berbelanja dengan

teman-teman sebayanya. Interaksi sosial dengan teman-teman-teman-teman sebaya dapat

meningkatkan pembelian impulsif karena remaja memiliki ketakutan

untuk dinilai negatif oleh teman sebayanya (Lin & Chen, 2012).

Remaja putri cenderung lebih impulsif daripada remaja pria (Lin &

Lin, 2005; Pantecost & Andrews, 2010) karena remaja putri memiliki

intensitas kegiatan yang dekat dengan pembelian lebih tinggi. Misalnya,

remaja putri lebih sering menemani ibunya berbelanja mulai dari

kebutuhan makanan sampai asesoris kecantikan (Loudon & Bitta dalam

Utami & Sumaryono, 2008). Remaja putri lebih signifikan melakukan

pembelian impulsif dan melihat-lihat produk lain selama berbelanja

daripada remaja putra. Tindakan tersebut dikarenakan remaja putri

cenderung menganggap wajar bahwa kesenangan dalam berbelanja wajar

dialami oleh perempuan dibandingkan laki-laki (Gasiorowska, 2010).

Biasanya remaja putri melakukan pembelanjaan bersifat impulsif hanya

karena ingin mencari sensasi dibandingkan dengan remaja pria

(Gasiorowska, 2011).

Dapat disimpulkan bahwa remaja putri melakukan pembelian

cenderung bersama teman-temannya. Kebersamaan inilah yang

(45)

taman-teman sebayanya dan hanya mencari sensasi semata. Remaja putri

memiliki aktivitas membeli lebih dekat daripada remaja putra karena

mereka lebih sering menemani ibunya berbelanja

C. KONFORMITAS

1. Definisi Konformitas

Sebagai makhluk sosial, manusia mencoba menyesuaikan diri

dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup. Keadaan ini dapat

dilakukan dengan cara melakukan segala sesuatu sesuai dengan norma

sosial serta dapat diterima secara sosial atau dapat disebut juga dengan

konformitas (Hafiyah, 2009). Konformitas menampilkan suatu perilaku

tertentu berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh orang lain dan juga

adanya tekanan dari kelompok acuan. Tindakan menjadi selaras dengan

kelompok akan dilakukan individu yang konform meskipun bertentangan

dengan prinsip yang dimiliki individu tersebut (Sears, Freedman, &

Peplau, 1985). Terkadang, konformitas juga terjadi pada individu yang

ingin berperilaku sama dengan kelompok meskipun sebelumnya belum

pernah melakukan tindakan tersebut (King, 2010). Pernyataan tersebut

diperkuat dengan adanya pernyataan lain bahwa individu yang melakukan

konformitas cenderung berperilaku berbeda dari biasanya ketika individu

tersebut berada dalam keadaan sendiri (Asch dalam Gerungan, 2009;

Myers, 2012).

Berdasarkan definisi yang telah disampaikan, maka dapat

(46)

diyakini seseorang berdasarkan norma sosial agar dapat diterima secara

sosial. Konformitas tetap dilakukan meskipun bertentangan dengan

keyakinan yang dimilikinya. Konformitas biasa terjadi dikarenakan adanya

tekanan dari kelompok acuan.

2. Aspek – aspek Konformitas

Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan di atas, terdapat poin

penting bahwa konformitas merupakan suatu keyakinan individu terhadap

perilaku atau aturan dari kelompok dan tindakan mengikutinya agar

menjadi sama dengan kelompok. Ini bertujuan agar individu tersebut dapat

diterima oleh kelompok acuan meskipun tindakannya bertentangan dengan

keyakinannya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, konformitas yang berdasarkan

keyakinan terhadap orang lain seperti memilih ide atau gagasan

berdasarkan banyaknya suara mayoritas (Wade & Tavris, 2008).

Sedangkan contoh konformitas yang berupa tindakan meliputi

mengolok-olok orang lain (Levianti, 2008), mengikuti gaya berpakaian

yang sama dengan kelompok acuan, belajar bersama dan berorganisasi,

(Santrock, 2002), pembelian aksesoris (Natalia, 2009), dan melakukan

pembelian impulsif bersama teman-teman (Lin & Chen, 2012).

Berdasarkan paparan yang sudah dijelaskan, dapat disimpulkan

bahwa aspek-aspek konformitas dalam penelitian ini adalah keyakinan

seseorang pada orang lain dan menunjukkan perilaku yang sama dengan

(47)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konformitas yaitu faktor

personal dan faktor situasional. Faktor situasional terdiri dari :

a. Kejelasan Situasi

Penelitian Sherif menunjukkan bahwa, semakin tidak

terstruktur dan tidak jelas situasi yang dihadapi, maka semakin besar

kecenderungan orang untuk mengikuti kelompoknya (Rakhmat, 2008).

Biasanya seseorang akan ikut serta untuk konform ketika kebanyakan

orang melakukan sesuatu pada situasi tertentu (Baron & Byrne, 2005)

b. Kesepakatan

Pendapat atau keputusan yang sudah dibuat dan ditetapkan oleh

kelompok memiliki tekanan yang kuat sehingga konformitas dapat

meningkat. Remaja harus dapat menyesuaikan pendapatnya dengan

kelompok jika ingin meningkatkan konformitas. Nilai-nilai yang ada

pada kesepakatan yaitu:

1) Kepercayaan sangat penting untuk membentuk suatu

kesepakatan dalam kelompok. Tingkat kepercayaan akan

menurun ketika di dalam kelompok terjadi perbedaan pendapat

sehingga berdampak pada menurunnya tingkat konformitas

dalam kelompok tersebut.

2) Persamaan pendapat akan meningkatkan konformitas yang ada

di dalam kelompok. Sebaliknya, apabila di dalam suatu

(48)

akan menurun. Pendapat satu individu yang tidak sama dengan

pendapat kelompok akan menunjukkan perbedaan yang berakibat

pada berkurangnya kesepakatan kelompok.

3) Penyimpangan terhadap pendapat kelompok. Remaja yang

menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan dan

akan berdampak pada berkurangnya tingkat konformitas pada

suatu kelompok. Remaja dikatakan menyimpang ketika orang

tersebut memiliki pendapat atau pandangan yang tidak sesuai

atau berbeda dengan kelompok. Dampak dari penyimpangan

tersebut adalah dikucilkan dan ditolak dari kelompok.

c. Ukuran Kelompok

Aturan atau norma kelompok terbentuk berdasarkan atas

penilaian dari ukuran mayoritas kelompok. Semakin besar ukuran

kelompoknya, maka semakin tinggi tingkat konformitasnya (Rakhmat,

2008; Taylor, Peplau & Sears, 2009). Pernyataan ini diperkuat oleh

Asch, Gerrard, Wilhelmy & Conolley yang menyatakan bahwa

konformitas meningkat karena adanya peningkatan jumlah anggota

kelompoknya (Baron & Byrne, 2005).

d. Norma Deskriptif dan Norma Injungtif / Perintah

Norma deskriptif dapat mempengaruhi tingkah laku individu

dengan cara memberikan informasi mengenai apa yang sebagian orang

lakukan pada situasi tertentu. Norma deskriptif juga menginformasikan

(49)

itu. Sedangkan norma injungtif dapat mempengaruhi individu dengan

cara sudah menetapkan perilaku yang diterima atau tidak diterima

kelompok pada situasi tertentu (Baron & Byrne, 2005).

e. Tekanan Kelompok

Tekanan dalam kelompok dapat berupa pemberian ganjaran,

ancaman atau hukuman pada anggota kelompok akan meningkatkan

ketaatan remaja. Semakin besar tekanan dalam kelompok maka

semakin besar ketaatan remaja untuk konform dengan kelompok

(Sears, Freedmen, & Paplau, 1985).

f. Informational influence (pengaruh informasi)

Informasi yang diberikan orang lain akan bermanfaat bagi

individu yang belum mengetahui informasi. Informasi yang diterima

berguna untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Kesesuaian tersebut bergantung pada dua aspek situasi, yaitu

seberapa besar keyakinan kepada kelompok dan seberapa besar

keyakinan pada diri sendiri. Keyakinan individu pada informasi yang

disampaikan kelompok memungkinan untuk menyesuaikan diri dengan

kelompok tersebut, terutama pada situasi penilaian yang ambigu atau

tidak jelas. Oleh karena itu, meningkatnya konformitas seseorang

dikarenakan adanya peningkatan kepercayaan pada informasi yang

diberikan oleh kelompok yang bersangkutan.

Beberapa hal yang membuat seseorang cenderung

(50)

kurangnya keyakinan terhadap penilaiannya sendiri. Hal lain yang

ditemukan bisa dikarenakan kurangnya kompetensi diri atau terlalu

minimnya informasi yang diketahui mengenai suatu topik (Baron &

Byrne, 2005; Taylor, Peplau, & Sears, 2009; King, 2010).

g. Normative influence (pengaruh normatif)

Pengaruh normatif adalah pengaruh yang berasal dari orang

lain agar individu dapat disukai dan diterima secara sosial. Pengaruh

normatif dapat menjadikan individu rela mengubah perilakunya untuk

menyesuaikan diri dengan standar kelompok seperti menggunakan

pakaian yang menjadi cirri khas dari kelompok, menggunakan

kata-kata gaul yang sama, dan perilaku lain yang sama dengan kelompok

(King, 2010). Biasanya, pasca konformitas, terjadi perubahan pada

keyakinan orang tersebut karena ada proses ketika pelaku melakukan

pemahaman terhadap perspektif kelompok dan melakukan interpretasi

baru sehingga memunculkan penyesuaian diri di kelompoknya

(Buehler & Griffin, 1994 dalam Taylor et al, 2009).

Sedangkan faktor personal terdiri dari :

a. Usia dan jenis kelamin

Usia remaja sangat rentan terjadinya konformitas terutama

pada remaja awal karena pada tahap perkembangannya remaja

memiliki keintiman dengan teman-teman sebayanya. Remaja putri

secara khusus memiliki ketakutan dinilai negatif oleh teman-temannya

(51)

yang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi (Santrock,

2012; Alwisol, 2004; Sarwono, 2009). Selain itu, remaja putri pada

umumnya memiliki sifat yang penurut, pasif, tunduk pada otoritas,

mengalah, dan enggan memunculkan konflik (Tapiheru dalam Astasari

& Sahrah, 2009).

b. Ketaatan

Ketaatan merupakan perilaku patuh pada aturan yang berkuasa

(King, 2010). Ketaatan remaja pada suatu kelompok akan

meningkatkan konformitas pada kelompok. Remaja rela melakukan

tindakan sesuai dengan kesepakatan kelompok meskipun tidak sesuai

dengan keinginannya. Kerelaan tersebut dikarenakan adanya tekanan

atau tuntutan dari kelompok sehingga remaja memiliki ketaatan pada

kelompok itu. Remaja yang melakukan penyimpangan akan ditolak

dan diasingkan dalam kelompok. Anggota kelompok yang konform

akan memperhatikan setiap tindakan kelompoknya (Sears, Freedmen,

& Paplau, 1985).

c. Kohesivitas

Kohesivitas adalah intensitas ketertarikan individu terhadap

suatu kelompok. Individu yang mengagumi atau menyukai suatu

kelompok dan bersedia melakukan apa saja untuk menjadi sama

dengan kelompok yang disukai, maka dapat dikatakan individu

tersebut memiliki kohesivitas yang tinggi (Baron & Byrne, 2005).

(52)

yang mempengaruhi konformitas. Jika karakter sumber pengaruh

memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk terjadinya konformitas,

maka konformitas akan terbentuk. Akan tetapi, jika pengaruhnya tidak

cukup kuat, maka konformitas tidak akan terbentuk (Rakhmat, 2008).

d. Kekompakan

Remaja menyukai suatu kelompok yang memiliki kekuatan di

dalamnya sehingga mereka tertarik untuk menjadi bagian dari

kelompok tersebut. Ketertarikan remaja dengan kelompok yang

diinginkan membuat remaja berharap untuk memperoleh manfaat dari

keanggotaannya. Semakin besar ketertarikan dan harapan

mendapatkan manfaat pada suatu kelompok, maka semakin besar pula

kekompakan kelompok dan konformitasnya. Kekompakan yang

terbentuk pada suatu kelompok mempengaruhi anggota kelompok

tersebut untuk semakin konform satu sama lain. Remaja cenderung

menyesuaikan diri dengan keadaan kelompok apabila ingin menjadi

bagian dari kelompok tersebut. Remaja yang ingin diterima dalam

kelompok akan mengikuti tindakan kelompok ketika kelompok

melakukan sesuatu (Sears, Freedmen, & Paplau, 1985).

e. Harga diri

Berdasarkan hasil penelitian, harga diri merupakan salah satu

faktor personal yang mempengaruhi terjadinya konformitas. Semakin

tinggi harga diri yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin rendah

(53)

diri yang dilakukan, maka semakin tinggi tingkat konformitasnya

(Cipto & Kuncoro, 2010; Sulistyowati, 2009; Nashihin, 2012).

Seseorang yang memiliki harga diri yang rendah akan merasa takut

untuk ditolak sehingga mereka memilih untuk konform (Asch dalam

Aronson, Wilson, & Akert, 2005)

Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi konformitas yaitu faktor situasional dan faktor personal.

Faktor situasional terdiri dari kejelasan situasi, ukuran kelompok, norma

deskriptif dan norma injungtif, pengaruh informasi, dan pengaruh

normatif. Sedangkan faktor personalnya meliputi usia dan jenis kelamin,

kohesivitas, harga diri.

4. Konformitas pada Remaja Putri

Pengaruh lingkungan cukup kuat dalam menentukan perilaku pada

diri remaja, terutama tekanan dari kelompok. Remaja menganggap bahwa

kelompok teman sebaya merupakan pedoman hidup yang berkaitan

dengan gaya (Conger dalam Jahja, 2011). Konformitas biasa terjadi pada

remaja berkaitan dengan cara berpakaian, pilihan hidup, dan ide-ide yang

muncul untuk menunjukkan kesamaan (Wade & Tavris, 2008). Remaja

juga ingin sekali menjadi populer dan disenangi oleh teman-teman

sebayanya sehingga remaja berusaha mengikuti norma-norma yang

dibentuk oleh kelompoknya (Rochmah, 2005). Remaja lebih sering

menghabiskan waktu bersama teman-temannya dibandingkan bersama

(54)

tersendiri bersama teman sebayanya. Rasa aman yang dimiliki bersama

kelompok menimbulkan keberanian melakukan sesuatu secara bersamaan

dibandingkan sendiri (Gunarsa & Gunarsa, 2009). Selain itu, pada usia

remaja, remaja masih dalam masa perkembangan mencari identitas

sehingga banyak hal yang dilakukan remaja untuk membentuk

pengetahuan dalam dirinya (Santrock, 2002).

Proses perkembangan mencari identitas dan menciptakan situasi

aman pada remaja, membuat remaja melakukan konformitas (Santrock,

2002; Hafiyah, 2009; Taylor dkk, 2009). Beberapa ahli meyakini bahwa

remaja yang sering melakukan konformitas adalah remaja putri daripada

remaja putra karena remaja putra cenderung memiliki pemikiran yang

mandiri daripada remaja putri. Sedangkan remaja putri cenderung lebih

ingin mempertahankan hubungan daripada mengendalikan relasi dengan

orang lain (Timmers, Fischer & Manstead dalam Baron & Byrne, 2004).

Pada umumnya, remaja mengikuti perilaku konformitas yang

bersifat negatif, akan tetapi ada pula remaja yang melakukan konformitas

secara positif (Santrock, 2002; King, 2010). Konformitas yang negatif

biasanya meliputi, menggunakan kata-kata yang kasar, mencuri, merusak,

mengolok-olok orang lain (Santrock, 2002), pembelian impulsif (Lin &

Chen, 2012), berkelahi (Rambe dalam Hafiyah, 2009), minum minuman

beralkohol, geng motor (King, 2010). Sedangkan konformitas yang

bersifat positif meliputi meluangkan waktu berkumpul bersama anggota

(55)

serupa dengan kelompok (Santrock, 2002), berhenti saat lampu lalu lintas

berwarna merah, mengemudi pada jalur yang tepat (King, 2010),

mengantri saat membeli tiket (Baron & Byrne, 2005).

Remaja melakukan konformitas agar dapat diterima secara sosial

dan terhindar dari ejekan atau penolakan dari teman-temannya dan

memuncaknya konformitas remaja terjadi pada kelas delapan dan sembilan

(Berndt, 1979; Berndt & Perry, 1990; Leventhal, 1994 dalam Santrock,

2002; 2012). Tekanan sosial biasa terjadi pada remaja putri dibandingkan

remaja putra karena remaja putri lebih terampil dalam bersosial (Margalit

& Eysenck dalam Baron & Byrne, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh

Prinstein (dalam Santrock, 2012) menambahkan bahwa remaja yang tidak

yakin akan identitas diri di lingkungan sosialnya, memiliki kecenderungan

untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya yang dianggap memiliki

status lebih tinggi. Di samping itu, remaja yang melakukan konformitas

biasanya berdampak negatif pada dirinya (Constanzo dalam Worchel &

Cooper, 1979) dan memiliki harga diri yang rendah (Stang dalam Worchel

& Cooper, 1979).

Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, maka dapat

disimpulkan bahwa konformitas memiliki dua sifat yaitu positif dan

negatif. Konformitas positif merupakan perilaku sama dengan kelompok

yang bertujuan baik, sedangkan konformitas negatif adalah perilaku yang

sama dengan kelompok dengan tujuan yang tidak baik. Sebagian remaja

Gambar

Tabel 2 Blue Print Skala Pembelian Impulsif......................................................
Gambar 18.  Scatterplot Model Moderator...........................................................
Tabel 1  Tabel Spesifikasi Skala Harga Diri
Gambar 1 Model Konformitas sebagai Mediator
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillah, puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi

[r]

Kepemimpinan dalam lembaga pendidikan islam mencakup kepala madrasah dan guru yang mempunyai peran yang sangat urgen dalam memberdayakan ummat. Tujuannya adalah untuk

Setiap entitas pelaporan mengungkapkan setiap pos aset dan kewajiban yang mencakup jumlah-jumlah yang diharapkan akan diterima atau dibayar dalam waktu 12 (dua belas)

Ekstrak etanol kangkung (Ipomoea aquatica FORSK.) memiliki efek hipnotik dengan mempercepat mula tidur pada mencit Swiss Webster jantan yang diinduksi fenobarbital. Ekstrak

Teachers need to chase their students with questions, in order to set them to be critical thinker, because they know that students might have their own ideas in their mind about

Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih. sebelum masa

telah Allah ajarakan kepada Nabi Adam pada saat di surge yang nantinya menjadi. pengetahuan bagi Adam ketika dia hidup di