PERAN KONFORMITAS DALAM HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI
DAN IMPULSIVE BUYING PADA REMAJA PUTRI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Bernadeta Feni Marettha
099114008
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
Setiap pilihan yang ada dalam hidup selalu ada tantangannya,
tinggal kita yang memilih siap menerima tantangan itu atau
tidak.
Buatlah yang terbaik dari dirimu, berserah kepada Bapamu,
dan percayakan semua dalam kemuliaan Tuhan karena dalam
nama-Nya kamu yang akan memenangkan pertarungan hebat
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan bagi,
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria
yang menjadi sahabat terbaikku disetiap situasi senang maupun
sulit sekalipun.
Orang-orang terkasihku yang sudah berkorban banyak untukku
dan memberikan dukungan serta cintanya yang tulus
Bapak, Ibu, Mas Leo, Sinta dan Christian Ajie.
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.
Yogyakarta, 15 Juli 2013
Penulis
vii
PERAN KONFORMITAS DALAM HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI
DAN IMPULSIVE BUYING PADA REMAJA PUTRI
Bernadeta Feni Marettha
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperjelas struktur hubungan antara harga diri, konformitas dan impulsive buying pada remaja putri, dengan cara mencari tahu peran konformitas dalam struktur hubungan tersebut apakah sebagai mediator atau sebagai moderator. Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah apa peran konformitas dalam struktur hubungan antara harga diri dan impulsive buying pada remaja putri? Pengambilan sampel dilakukan di pusat perbelanjaan di Yogyakarta. Subjek penelitian ini adalah remaja putri yang berusia 12 – 21 tahun, berjumlah 160 orang. Jenis penelitian ini adalah korelasional dengan teknik pengambilan sampel menggunakan incidental sampling sehingga subjek yang menjadi sampel penelitian adalah remaja putri yang sedang berada pada situasi dan waktu yang sama dengan pelaksanaan penelitian berlangsung. Teknik analisis data adalah analisis regresi dengan bantuan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil analisis penelitian ini ditemukan bahwa peran konformitas dalam hubungan antara harga diri dan impulsive buying pada remaja putri adalah sebagai moderator (B = 0,047, p = 0,003). Ini menunjukkan bahwa tinggi atau rendahnya tingkat harga diri remaja putri tidak mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat konformitas mereka terhadap tingkat pembelian impulsif.
viii
THE ROLE OF CONFORMITY IN RELATION BETWEEN
SELF-ESTEEM AND IMPULSIVE BUYING ON FEMALE ADOLESCENT
Bernadeta Feni Marettha ABSTRACT
The research is aimed to clarify the related structure between self-esteem, conformity, and impulsive buying on female adolescent, by finding out the role of conformity in the structure relationships whether as mediator or moderator. The question of research was what is the role of conformity in the structure relationship between self-esteem and impulsive buying on female
adolescent? Research sampling was conducted on a shopping center in Yogyakarta.The subject of
this research were female adolescent who aged 12 – 21 years old. The amount of subject were 160 people. The research used a correlation design. Techniques used to collect the population sample was incidental sampling, so that the subject in the research were female adolescent who are occurred at the same time and situation when the research was conducted. The data was analyzed using regression analysis by SPSS 16.0 for Windows. The result shown that the role of conformity in a structure relationship between self-esteem and impulsive buying was as moderator (B = 0,047, p = 0,003). It means that high or low level of self-esteem on female adolescent do not affect the level of conformity to impulsive buying.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Bernadeta Feni Marettha
Nomor Mahasiswa : 099114008
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Peran Konformitas dalam Hubungan Antara Harga Diri dan
Impulsive Buying pada Remaja Putri
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 15 Juli 2013
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
penyertaan dan berkat yang melimpah sehingga Skripsi dengan judul “Peran
Konformitas dalam Hubungan Antara Harga Diri dan Impulsive Buying pada
Remaja Putri” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Selama menulis Skripsi ini, penulis menyadari bahwa ada begitu banyak
pihak yang telah berkontribusi besar dalam proses pengerjaan Skripsi ini. Oleh
karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi., M.Psi sebagai dekan Fakultas
Psikologi.
2. Bapak Agung Santoso, S.Psi., M.A selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
Terima kasih atas bimbingan, kerjasama, ilmu, perhatian, dan support
yang telah diberikan hingga Skripsi ini selesai pada waktu yang telah
ditentukan-Nya.
3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi dan Bapak Dr. T. Priyo W, M.Si
selaku dosen penguji yang telah membagikan ilmunya.
4. Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Doni, dan Mas Muji, Pak Gie, terima kasih
atas keramahan dan pelayanan yang begitu hangat selama empat tahun
menimba ilmu di Fakultas Psikologi
5. Pimpinan Pusat Perbelanjaan Galeria Yogyakarta yang sudah memberikan
ijin untuk melakukan penelitian selama tiga hari, terima kasih banyak atas
xi
6. Bapak dan Ibu yang tidak pernah hentinya mendoakan dan mengupayakan
seluruh tenaga dan jiwanya untuk mendukung penulis sampai masa studi
ini selesai, terima kasih. Semua pengorbanan jarak dan waktu yang kita
hadapi dapat kupertanggung jawabkan hanya untukmu, Bapak dan Ibu. I
proud of you, you are my everything, and I love you so much.
7. Kakak dan adikku yang paling hebat, Mas Leo dan Sinta yang selalu
menghiburku dalam keadaan yang menjenuhkan sekalipun. Terima kasih
atas kegokilan kalian yang selalu membuatku rindu.
8. Sahabat seperjuanganku, Vivin. Terima kasih untuk dinamika pertemanan
kita dari awal sampai sekarang ini yang luar biasa. Mulai dari senang,
sedih, kesel, jauh, dekat, cinta, kasih, sayang, sampai perjuangan satu
bimbingan dengan Pak Agung, semua kita lalui bersama and we are great,
I love you.
9. Seseorang yang selalu mendampingiku, yang menjadi sumber semangatku,
yang selalu menghiburku, sabar dan mengerti aku, selalu memberikan
cinta, dan perhatian yang tulus dalam setiap hariku, Yohanes Christian Aji.
Thanks so much for all, dear.
10.Teman-teman centilku, Manik, Brigit, Vivin, Okvi, dan Jeanet. Terima
kasih girls atas pertemanan kita selama ini. Kalian super duper heboh
dalam hidupku dan aku sangat bersyukur berteman dengan kalian. I will
miss you, guys.
11.Teman-teman Psikologi, Gusbay, Angel, Awie, Xyannie, Yustia, Riris,
xii
Nina, Kak Krinyol, dan teman-teman angkatan 2009 khususnya kelas A,
terima kasih buat sharing dan dukungannya selama ini.
12.Keluarga besar P2TKP, Pak Adi, Pak Toni, Anju, Efrem, Lito, Tuti, Dara,
Marlina, Novi, Pingkan, Sherlot, Riri, Rinta, Mbak Vista, Bella, Marta,
Raisa, Alvia, Jeje dan Vivin. Terima kasih atas dukungan dan
perhatiannya.
13.Teman-teman kos, Mbak Sum, Kak Bohen, Mbak Ndit, Kak Liza, Ori,
Maria, Cilla, Angel, Helen, Indah, Epong, Agnes, Devina, Rosa, Mbak
Aik, Cilla Bongsor, Novia, Kak Icha, terima kasih dukungannya.
14.Teman-teman yang jauh atau pun dekat tetap istimewa, Kak Under, Kak
Aya, Osi, Kak Dion, Kak Koco, Kak Fika, Kak Adit, Alfons. Thank you
for this friendship.
15.Semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan skripsi ini,
terima kasih.
Saya menyadari dalam pembuatan skripsi ini ada kesalahan yang saya
perbuat. Oleh karena itu saya mengucapkan maaf kepada semua pihak yang telah
dirugikan. Penelitian ini juga masih jauh dari kata sempurna sehingga besar
harapan saya untuk mendapatkan kritik dan saran yang membangun demi
perkembangan penelitian selanjutnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 15 Juli 2013
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
ABSTRAK... vii
ABSTRACT... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix
KATA PENGANTAR... x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL... xvii
DAFTAR GAMBAR... xviii
DAFTAR LAMPIRAN... xx
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. LATAR BELAKANG... 1
B. RUMUSAN MASALAH... 6
C. TUJUAN PENELITIAN... 6
D. MANFAAT PENELITIAN... 6
1. Teoretis... 6
xiv
BAB II LANDASAN TEORI... 8
A. REMAJA PUTRI... 8
1. Definisi Remaja Putri... 8
2. Tahap Perkembangan Remaja Putri... 10
3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja Putri... 13
B. IMPULSIVE BUYING (PEMBELIAN IMPULSIF)... 16
1. Definisi Pembelian Impulsif... 16
2. Aspek-aspek dalam Pembelian Impulsif... 17
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif... 20
4. Pembelian Impulsif pada Remaja Putri... 24
C. KONFORMITAS... 25
1. Definisi Konformitas... 25
2. Aspek – aspek Konformitas... 26
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas... 27
4. Konformitas pada Remaja Putri... 33
D. HARGA DIRI... 36
1. Definisi Harga Diri... 36
2. Aspek-aspek yang Ada dalam Harga Diri... 37
3. Harga Diri pada Remaja Putri... 39
E. HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI, KONFORMITAS, DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF... 41
1. Konformitas sebagai Mediator... 41
xv
F. PERTANYAAN PENELITIAN... 48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 51
A. JENIS PENELITIAN... 51
B. IDENTIFIKASI VARIABEL... 51
C. DEFINISI OPERASIONAL... 51
1. Impulsive Buying (Pembelian Impulsif)... 51
2. Konformitas... 52
3. Harga Diri... 53
D. SUBJEK PENELITIAN... 53
E. METODE PENGAMBILAN DATA... 54
1. Skala Pembelian Impulsif... 55
2. Skala Konformitas... 56
3. Skala Harga Diri... 57
F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR... 58
1. Validitas Skala... 58
2. Seleksi Item... 58
3. Reliabilitas... 61
G. METODE ANALISIS DATA... 62
1. Model Konformitas sebagai Mediator... 62
2. Model Konformitas sebagai Moderator... 63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 65
A. PERSIAPAN PENELITIAN... 65
xvi
2. Perizinan... 66
B. PELAKSANAAN PENELITIAN... 66
C. HASIL PENELITIAN... 68
1. Model Konformitas sebagai Mediator 69 2. Model Konformitas sebagai Moderator... 78
D. PEMBAHASAN... 81
E. KETERBATASAN PENELITIAN... 85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 87
A. KESIMPULAN... 87
B. SARAN... 88
1. Bagi Remaja Putri... 88
2. Bagi Institusi Pendidikan... 88
3. Bagi Orangtua... 88
4. Bagi Peneliti Berikutnya... 89
DAFTAR PUSTAKA... 90
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1Tabel Spesifikasi Skala Harga Diri... 39
Tabel 2 Blue Print Skala Pembelian Impulsif... 55
Tabel 3 Blue Print Skala Konformitas... 56
Tabel 4 Blue Print Skala Harga Diri... 57
Tabel 5Distribusi Item Skala Pembelian Impulsif... 59
Tabel 6Distribusi Item Skala Konformitas... 60
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Model Konformitas sebagai Mediator... 43
Gambar 2 Model Konformitas sebagai Moderator... 48
Gambar 3 Framework Penelitian Konformitas sebagai Mediator... 49
Gambar 4 Framework Penelitian Konformitas sebagai Moderator... 50
Gambar 5. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Harga Diri dan Konformitas... 69
Gambar 6. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Konformitas dan Pembelian Impulsif... 70
Gambar 7. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Harga Diri dan Pembelian Impulsif... 70
Gambar 8. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Harga Diri dan Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 71
Gambar 9. Scatterplot Harga Diri dan Konformitas... 72
Gambar 10. Scatterplot Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 72
Gambar 11. Scatterplot Harga Diri dan Pembelian Impulsif...73
Gambar 12. Scatterplot Harga Diri dan Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 73
Gambar 13. Scatterplot Harga Diri dengan Konformitas... 74
Gambar 14. Scatterplot Konformitas dengan Pembelian Impulsif... 75
xix
Gambar 16. Scatterplot Harga Diri dan Konformitas dengan Pembelian
Impulsif…... 76 Gambar 17. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Model
Moderator... 78
Gambar 18. Scatterplot Model Moderator... 79
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Skala Pengukuran... 99
Lampiran B. Skala Harga Diri... 101
Lampiran C. Skala Konformitas... 104
Lampiran D. Skala Pembelian Impulsif... 107
Lampiran E. Reliabilitas... 110
Lampiran F. Hasil Regresi Model Mediator... 121
Lampiran G. Hasil Regresi Model Moderator... 126
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Studi yang dilakukan oleh Nielsen di Jakarta, Bandung, Surabaya,
Makasar, dan Medan, menunjukkan bahwa jumlah pembelanja di Indonesia
semakin meningkat. Kondisi tersebut terbukti dari orang-orang yang tidak
membuat rencana sebelum belanja semakin banyak. Peningkatan ini terjadi
hampir dua kali lipat dari kondisi tahun 2003 (Industrial Post, 2011).
Konsumen Indonesia cenderung lebih tertarik dengan promosi yang dapat
memberikan keuntungan, salah satunya adalah diskon atau potongan harga
(Intisari, 2009).
Penelitian lain di Indonesia menunjukkan bahwa pembelian impulsif
banyak terjadi pada remaja putri dibandingkan remaja putra (Utami &
Sumaryono, 2008; Mulyono, 2012). Ditemukan bahwa, 20,9 % dari 1.074
responden yang berstatus sebagai pelajar yang berdomisili di Jakarta dan
Surabaya mengaku pernah menggunakan uang spp-nya untuk membeli barang
incarannya ataupun hanya sekedar untuk bersenang-senang (Jawa Pos dalam
Sihotang, 2009).
Tingkat konsumsi remaja untuk kebutuhan yang sifatnya kesenangan
lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan pengeluaran siswa untuk kebutuhan
belajar yang merupakan investasi bagi masa depan. Hal ini menyebabkan
menabung (Nurasyiah & Budiwati dalam Setyawati, 2010). Beberapa
fenomena ini sangat jelas menyatakan bahwa pembelian impulsif tidak hanya
terjadi pada orang-orang yang berpenghasilan saja, melainkan sudah
memasuki kehidupan remaja saat ini dan berdampak negatif pada remaja.
Pembelian impulsif pada remaja sering kali menjadi bagian terpenting
dalam marketing karena remaja adalah target mereka dalam pemasaran (Lin &
Chuang, 2005; Lin and Chen, 2012). Sasaran yang dijadikan target utama
adalah remaja putri karena remaja putri lebih sering melakukan pembelian
impulsif dibandingkan remaja putra (Dittmar & Wood dalam Verplanken &
Herabadi, 2001; Utami & Sumaryono, 2008; Lin & Lin, 2005).
Pembelian impulsif memiliki konsekuensi negatif terhadap pelaku.
Konsekuensi yang harus diterima oleh pembeli yang melakukan pembelian
secara impulsif antara lain mendapatkan kesulitan keuangan setelah
melakukan pembelian impulsif, mengalami kekecewaan terhadap barang yang
sudah dibeli, dan mendapat ketidaksetujuan mengenai barang yang dibeli dari
orang-orang di lingkungan sekitar seperti teman ataupun orang tua (Rook,
1987).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif. Faktor – faktor tersebut terbagi menjadi faktor personal dan faktor lingkungan. Faktor
personal terdiri dari harga diri (Hadjali, Salimi, & Ardestani, 2012 Djudiyah,
2002), mood (Verplanken & Herabadi, 2001), kontrol diri (Baumeister, 2002).
2001; Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009), penilaian negatif dari orang
lain (Lin & Chen, 2012), harga yang rendah (Stern,1962), store display
(Hadjali, Salimi & Ardestani, 2012)
Remaja yang berbelanja bersama teman-temannya cenderung akan
mengunjungi banyak toko dan melakukan pembelian impulsif (Mowen &
Minor, 2002). Remaja percaya bahwa pembelian impulsif yang mereka
lakukan dapat diterima secara sosial sehingga mereka akan bertindak atas
kecenderungan impulsif yang dimiliki (Rook & Fisher dalam Kacen & Lee,
2002). Kecenderungan remaja putri melakukan pembelian secara impulsif
dipengaruhi oleh konformitas (Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009) dan
ketergantungan yang kuat pada kelompok teman sebaya (Affif, 1993).
Biasanya tekanan yang dihasilkan oleh pihak mayoritas akan menimbulkan
konformitas sehingga pendapat yang sudah disetujui oleh sebagian besar dari
anggota kelompok akan diikuti oleh semua anggota kelompok lainnya (Sears,
Freedman & Peplau, 1985).
Konformitas lebih mudah terjadi pada remaja putri karena remaja putri
pada umumnya memiliki sifat yang penurut, pasif, tunduk pada otoritas,
mengalah, dan enggan memunculkan konflik (Tapiheru dalam Astasari &
Sahrah, 2009; Utami & Sumaryono, 2008). Dapat dikatakan dampak negatif
yang diperoleh dari konformitas adalah dapat menghambat kreativitas dan
berpikir kritis. Ketika bersama kelompok, orang akan cenderung menyangkal
kepercayaan pribadi dan sepakat akan pemahaman yang bertentangan dengan
Penelitian terdahulu menyatakan konformitas berhubungan positif
dengan pembelian impulsif. Semakin tinggi konformitas terhadap kelompok
teman sebaya maka semakin tinggi pembelian impulsif pada remaja.
Sebaliknya semakin rendah konformitas terhadap kelompok teman sebaya
maka semakin rendah pembelian impulsif pada remaja (Sihotang, 2009;
Astasari & Sahrah, 2009). Demi suatu pengakuan, remaja seringkali bersedia
melakukan berbagai upaya meskipun bukan sesuatu yang dibutuhkan atau
berguna jika dilihat dari kacamata orangtua atau orang dewasa lainnya (Zebua
& Nurdjayadi, 2001).
Konformitas adalah hasil interaksi antara faktor-faktor situasional dan
faktor personal. Faktor situasional adalah faktor yang mempengaruhi
konformitas dari luar seperti ukuran kelompok (Baron & Byrne, 2005) dan
tekanan kelompok (Sears, Freedmen, Peplau, 1985). Sedangkan salah satu
faktor personal yang erat kaitannya dengan konformitas adalah harga diri
(Cipto & Kuncoro, 2010; Sulistyowati, 2009; Nashihin, 2012). Remaja yang
memiliki harga diri yang rendah, biasanya akan cenderung mengikatkan
dirinya pada kelompok sebayanya dengan tujuan agar dapat dianggap dan
diakui oleh lingkungan (Cipto & Kuncoro, 2010). Sedangkan remaja yang
memiliki harga diri yang tinggi, cenderung tidak melakukan konformitas
karena memiliki keinginan untuk menunjukkan keberhasilan sebagai kualitas
dan usaha pribadi (Marsh, 1990 ; Sulistyowati, 2009). Dalam hal ini dapat
dikatakan remaja yang melakukan konformitas adalah mereka yang memiliki
Selain karena harga diri memiliki korelasi dengan konformitas, harga
diri juga memiliki korelasi dengan pembelian impulsif. Ditemukan beberapa
penelitian yang mengkorelasikan antara harga diri dan pembelian impulsif.
Penelitian tersebut menunjukkan adanya korelasi negatif mengenai harga diri
dengan pembelian impulsif, bahwa semakin tinggi harga diri yang dimiliki
seseorang, maka semakin rendah pembelian impulsif yang dilakukan.
Sebaliknya, semakin rendah harga diri seseorang, maka semakin tinggi tingkat
pembelian impulsif yang dilakukan (Hadjali, Salimi, & Ardestani, 2012;
Djudiyah, 2002).
Rendahnya harga diri remaja, banyak ditemui pada remaja putri
dibandingkan remaja putra (Coopersmith, 2007; Baron, Byrne & Branscombe,
2006; Santrock, 2012). Remaja putri dikatakan akan lebih cenderung
melakukan pembelian impulsif dibandingkan remaja putra (Dittmar & Wood
dalam Verplanken & Herabadi, 2001; Lin & Lin, 2005).
Harga diri dijadikan variabel independen dalam penelitian ini
dikarenakan syarat untuk mengetahui peran dari konformitas adalah variabel
X (harga diri) harus signifikan dengan variabel Y (pembelian impulsif).
Berdasarkan penelitian yang sudah dijelaskan, ketiga variabel selalu
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara harga diri dengan
konformitas, konformitas dengan pembelian impulsif, serta harga diri dengan
pembelian impulsif. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa harga
diri menjadi variabel independen dari konformitas dan pembelian impulsif.
impulsif. Namun demikian, belum ditemukan penelitian yang menjelaskan
peran dari konformitas dalam struktur hubungan ketiga variabel tersebut.
Penelitian ini dirasa penting karena melalui penelitian ini dapat diketahui
secara jelas apakah konformitas berperan sebagai mediator atau moderator
dalam hubungan antara harga diri dengan pembelian impulsif ?
B. RUMUSAN MASALAH
Apa peran konformitas dalam struktur hubungan antara harga diri
dengan pembelian impulsif pada remaja putri ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mencari tahu lebih jelas
mengenai struktur hubungan antara harga diri, konformitas, dan pembelian
impulsif. Selain itu, menegaskan peran dari konformitas dalam struktur
hubungan antara harga diri dan pembelian impulsif pada remaja putri.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Teoretis
Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah hasil dari penelitian
dapat menyumbangkan dan menegaskan peran dari konformitas dalam
struktur hubungan antara harga diri dengan pembelian impulsif, apakah
konformitas berperan sebagai mediator atau moderator ?
2. Praktis
Informasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengurangi
pembelian impulsif pada remaja putri dengan memperhatikan tingkat
antara harga diri, konformitas, dan pembelian impulsif dapat dijadikan
dasar untuk melakukan tritmen/pelatihan secara tepat khususnya pelatihan
peningkatan harga diri.
Pelatihan kepribadian remaja putri dapat dilakukan oleh institusi
pendidikan dengan meningkatkan harga diri remaja agar dapat
menyesuaikan diri dengan baik secara sosial. Ketika remaja putri memiliki
harga diri yang tinggi mereka dapat memilih konformitas yang positif
sehingga dapat menekan pembelian impulsifnya.
Berdasarkan penelitian ini, remaja putri dapat menilai tingkat
pembelian impulsif dan tingkat konformitas mereka. Penilaian diri tersebut
sebagai dasar pengetahuan mengenai diri mereka sendiri sehingga mereka
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. REMAJA PUTRI
1. Definisi Remaja Putri
Masa remaja merupakan bagian dari perkembangan yang dilihat
dari aspek genetik, biologis, lingkungan dan pengalaman berinteraksi,
baik dengan orang tua, teman sebaya, dan guru. Beberapa peneliti lain juga
menambahkan bahwa perkembangan masa remaja melibatkan perubahan
besar pada aspek biologis atau fisik, kognitif, dan sosial emosi yang
berlangsung sejak awal remaja hingga masa remaja berakhir (Santrock,
2002, 2003, 2007; Papalia, Old, & Feldmen, 2009). Peralihan dari masa
kanak-kanak menuju kedewasaan ini, dilalui oleh peristiwa panjang yang
disebut dengan masa remaja (adolescene).
Pengertian lain menjelaskan bahwa remaja merupakan suatu
periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, ketika
remaja harus dapat berdiri sendiri secara mandiri (DeBrun dalam Jahja,
2011; Neidhart dalam Gunarsa & Gunarsa, 1981; WHO dalam Sarwono,
2007). Masa remaja bukan lagi masuk dalam golongan anak-anak, tetapi
juga belum pantas dikatakan dewasa.
Salah satu organisasi seperti WHO (World Health Organization)
menjelaskan bahwa remaja mengalami perkembangan psikologis dan
2007). Fenomena ini yang membuat remaja merasa bingung untuk
menentukan identitasnya sehingga remaja cenderung menunjukkan suatu
kepekaan dan labilitas yang meningkat pada tindakannya (Remplein dalam
Monks & Knoer, 2002).
WHO mengkategorikan usia remaja berkisar 11 tahun sampai 20
tahun (Sarwono, 2009). Tidak jauh berbeda dengan WHO, Paplia dan
Olds menambahkan bahwa masa remaja adalah masa transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang dimulai pada
usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia belasan atau awal dua
puluhan tahun (Monks & Knoers, 2002). Erickson (dalam Santrock, 2007)
menambahkan batasan usia pada masa remaja mulai dari usia 10 tahun
hingga 20 tahun. Sedangkan, Santrock berpendapat bahwa rentang usia
remaja bervariasi sesuai dengan budaya dan sejarah sehingga Santrock
mengkategorikan usia remaja mulai dari usia 10 tahun sampai 21 tahun
dan membagi masa tersebut menjadi dua yaitu, masa remaja awal (early
adolescene) dan masa remaja akhir (late adolescene). Masa remaja awal
berlangsung antara usia 10 tahun sampai 13 tahun, sedangkan masa remaja
akhir berkisar antara 18 tahun sampai 21 tahun (Santrock, 2007; 2008).
Tidak jauh berbeda dengan Santrock, Sullivan juga membagi remaja
menjadi dua, yaitu masa remaja awal yang diawali pada usia 12 tahun – 16 tahun dan masa remaja akhir dari 16 tahun – 20 tahunan (Alwisol, 2004). Beberapa ahli di Indonesia juga membagi masa remaja menjadi dua masa
tahun dan masa remaja akhir dengan rentang usia 17 sampai 21 tahun
(Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja
adalah suatu masa peralihan individu dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa yang mencakup perubahan perkembangan biologis atau fisik,
kognitif, dan sosial-emosi. Masa remaja diawali dari usia 12 tahun sampai
21 tahun yang dibagi menjadi dua masa yaitu masa remaja awal dan
remaja akhir.
2. Tahap Perkembangan Remaja Putri
Tahap perkembangan remaja putri sama seperti tahap
perkembangan remaja pada umumnya. Remaja putri yang memasuki usia
remaja akan mengalami perubahan pada perkembangan fisik, kognisi, dan
sosial-emosinya (Santrock, 2002, 2003, 2007; Papalia, Old, & Feldmen,
2009)
Ada beberapa pembagian tahap perkembangan remaja. Beberapa
ahli membagi masa remaja berdasarkan usia. Berdasarkan usia, masa
remaja dibagi menjadi masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja tengah 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 (Monks & Knoers, 2002; Sarwono, 2007).
Beberapa ahli lain seperti Santrock (2003; 2007) dan Sullivan
(dalam Alwisol, 2004) membagi remaja dengan dua masa yaitu masa
remaja awal dan masa remaja akhir. Mereka tidak menjelaskan kategori
yang dimiliki oleh remaja tengah dapat digolongkan pada masa remaja
awal dan masa remaja akhir (Santrock, 2003, 2007; Papalia dkk, 2008;
Alwisol, 2004; Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996) sehingga
penelitian ini mengacu pada dua pembagian masa tersebut.
a. Masa Remaja Awal
Masa remaja awal sama dengan masa sekolah menengah
pertama dan mencakup perubahan pubertas (Santrock, 2003). Masa
remaja awal diawali dari usia 12 tahun sampai 16 atau 17 tahun
Alwisol, 2004; Rochmah, 2005; Soesilowindradini, 1996; Sarwono,
2009).
Remaja pada masa ini merupakan masa awal untuk bertumbuh
tidak hanya secara fisik, melainkan juga dalam kompetensi kognitif
dan sosial, otonomi, harga diri, dan keintiman (Papalia dkk, 2009).
Pada masa ini remaja perlu mendapatkan perhatian secara
khusus terlebih ketika mereka menghadapi perubahan secara
bersamaan dan membutuhkan bantuan orang lain dalam mengatasi
masalah. Perhatian secara khusus akan memberikan bantuan pada
remaja sehingga membuat remaja merasa lebih aman (Papalia dkk,
2009).
Sullivan (dalam Feist & Feist, 2009; Alwisol, 2004) percaya
bahwa masa remaja awal merupakan masa perkembangan kepribadian.
Remaja mulai menunjukkan pribadinya ketika menghadapi suatu
Sullivan juga menambahkan bahwa keintiman merupakan proses antar
pribadi pada remaja awal untuk mendapatkan kebutuhan afeksi dan
penghargaan dari teman-teman sebaya meskipun dengan pergaulan
dapat memunculkan masalah.
b. Masa Remaja Akhir
Remaja yang dikategorikan sebagai remaja akhir adalah remaja
yang berusia 17 atau 18 sampai 21 tahun (Santrock, 2007; 2008;
Monks & Knoers, 2002; Sarwono, 2007; Rochmah, 2005;
Soesilowindradini, 1996). Pada masa ini, remaja cenderung meniru
perilaku orang dewasa karena remaja ingin menunjukkan bahwa
mereka telah memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). Kriteria
khusus yang dimiliki oleh remaja akhir adalah sudah memiliki
kestabilan dalam menentukan apa yang baik untuk dirinya, lebih
matang dalam menghadapi suatu permasalahan, memiliki ketenangan
emosi, dan lebih realistis. Karakteristik pada masa remaja akhir
terbentuk demikian berdasarkan tempat lingkungannya (Rochmah,
2005; Soesilowindradini, 1996). Di samping itu, remaja akhir memiliki
karakteristik cemas karena remaja merasa tidak memiliki kemampuan
pada dirinya. Ketika remaja mengalami kecemasan, mereka berusaha
menghindar dari sumber kecemasan karena mereka tidak ingin
menunjukkan ketidakmampuannya (Soesilowindradini, 1996).
Minat remaja akhir cenderung mengarah pada masa depan,
menunjukkan siapa dirinya (Santrock, 2003). Remaja akhir memiliki
tugas perkembangan untuk belajar menjalankan kewajiban, menerima
hak, dan bertanggung jawab atas setiap tindakannya di lingkungannya
(Sunaryo, 2004)
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa remaja putri memiliki tahap perkembangan
yang sama dengan remaja pada umumnya. Tahapan tersebut terbagi
menjadi dua masa yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir.
3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja Putri
a. Perkembangan Fisik
Pada umumnya, permulaan masa remaja ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik yang disebut pubertas. Bagi remaja putri,
perubahan fisik yang dialami seperti, penambahan berat badan, tinggi
badan, tumbuh payudara, tumbuh rambut halus pada bagian tubuh,
pertumbuhan tubuh, menstruasi, peningkatan mintak atau keringat
kelenjar produksi yang dapat menyebabkan jerawat (Gunarsa, 1981;
Papalia, Old & Feldmen, 2008). Perkembangan fisik tersebut
menyebabkan remaja putri lebih memperhatikan penampilan fisik
dibanding aspek lain dalam dirinya sehingga mereka merasa tidak
yakin pada dirinya ketika mengalami perubahan yang cepat
(Rosenblim & Lewis dalam Papalia, dkk, 2009; Jahja, 2011).
Perkembangan fisik pada remaja putri terjadi lebih awal dari pada
yang bermasalah dan tidak mudah menyadari dampak jangka panjang
dari tindakannya (Santrock, 2002).
b. Perkembangan Kognitif
Remaja memiliki proses berpikir yang menyatakan bahwa
dirinya unik dan tidak terkalahkan sehingga remaja meyakini dirinya
menarik bagi orang lain. Ketika remaja mulai berpikir demikian,
remaja mencoba untuk memproses informasi yang diterimanya agar
memperoleh pengetahuan yang lebih kompleks. Setelah memproses
informasi, remaja mencoba mengartikan informasi itu berdasarkan
perspektif yang dimilikinya sehingga remaja dapat mengambil
keputusan yang sesuai dengan pilihannya (Santrock, 2011; 2007).
Akan tetapi, pada masa ini, remaja cenderung belum memiliki
pemikiran yang matang ketika mendapatkan suatu informasi atau
stimulus. Oleh karena itu, ketika remaja memiliki permasalahan yang
harus dipecahkan, mereka cenderung gegabah dalam penyelesaiannya
(Santrock, 2002). Masa remaja juga menunjukkan peningkatan
kemampuan berpikir kritis, misalnya adanya peningkatan menangkap
informasi dan memprosesnya untuk dijadikan pengetahuan yang lebih
luas. Ada pula peningkatan pada kemampuan remaja dalam
mengkombinasikan berbagai pengetahuan dan memiliki strategi serta
spontan mempertimbangkan berbagai alternatif dan perencanaan
c. Perkembangan Sosial dan Emosi
Perkembangan berelasi sosial pada remaja berbeda dari masa
perkembangan sebelumnya. Remaja memiliki hubungan dengan teman
sebaya yang lebih intim dibandingkan hubungannya dengan orang tua
(Santrock, 2002). Keintiman remaja dengan teman sebaya diperkuat
ketika remaja memasuki usia remaja awal, misalnya dengan
berkumpul di mal bersama teman-temannya seperti orang dewasa
muda pada umumnya (Sarwono, 2009). Pada masa ini, remaja tidak
lagi hanya berhubungan dengan individu yang sama jenis saja,
melainkan juga dengan lawan jenis (Jahja, 2011; Rochmah, 2005).
Perkembangan aspek emosional pada remaja terjadi ketika
mereka dihadapkan pada situasi yang menuntutnya untuk lebih mandiri
dan bertanggung jawab pada situasi yang berbeda dengan masa
perkembangan sebelumnya (Jahja, 2011). Remaja memiliki
pengalaman emosional pada dirinya yang mengandung perasaan
senang, sedih, khawatir, adanya dorongan atau keinginan untuk
melakukan sesuatu, dan memliki pengamatan tertentu. Remaja
dikatakan kurang stabil dalam mengolah emosinya. Ketika sedang
gembira tiba-tiba bisa menjadi sedih, ketika memiliki rasa percaya diri
dapat berubah menjadi meragukan diri sendiri (Rochmah, 2005).
Selain itu, remaja cenderung mengambil keputusan berdasarkan situasi
emosinya. Remaja mampu membuat keputusan secara bijaksana ketika
membuat keputusan tidak bijaksana dikarenakan situasi emosinya
tidak tenang (Paus, Steinberg dalam Santrock, 2011).
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa aspek fisik, aspek
kognitif, dan aspek sosial – emosi merupakan aspek yang melekat pada masa perkembangan remaja putri. Setiap aspek memiliki hubungan dengan
perilaku remaja putrid di masa perkembangannya baik secara intrapersonal
maupun secara interpersonal.
B. IMPULSIVE BUYING (PEMBELIAN IMPULSIF)
1. Definisi Pembelian Impulsif
Beberapa ahli mengartikan pembelian impulsif (impulsive buying)
sama dengan pembelian tidak terencana (unplanned purchase) (Rook,
1987; Stern, 1962). Pembelian impulsif adalah pembelian yang dilakukan
secara spontan atau tiba-tiba karena adanya daya tarik terhadap stimulus
sehingga pembeli melakukan keputusan untuk membeli secara cepat.
Selain itu, pembelian impulsif terjadi tanpa melakukan pertimbangan dan
tidak berdasarkan pada penilaian atau evaluasi tertentu terhadap produk
atau manfaat dari produk yang dibeli (Davis & Sajtos, 2009; Rook &
Fisher, 1995). Pembelian impulsif bersifat kuat atau powerful karena
membuat pembeli bersemangat ketika dihadapkan pada stimulus dan
langsung membuat keputusan untuk membeli (Rook, 1987; Kacen & Lee,
2002; Verplanken & Herabadi, 2001).
Biasanya, pembeli yang melakukan pembelian impulsif mengalami
merasa kecewa atau menyesal dengan produk yang dibeli, merasa
bersalah, dan tidak mendapatkan persetujuan mengenai produk yang sudah
dibeli oleh orang di sekitarnya (Rook, 1987).
Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan, maka pembelian
impulsif dapat disimpulkan sebagai suatu pembelian yang dilakukan
secara spontan atau tiba-tiba tanpa adanya perencanaan atau pertimbangan
sebelumnya. Biasanya pembelian impulsif terjadi karena adanya stimulus
tertentu sehingga pembeli dapat melakukan pembelian secara cepat dan
biasanya berujung pada penyesalan.
2. Aspek-aspek dalam Pembelian Impulsif
Pembelian impulsif memiliki dua aspek, yaitu aspek kognitif dan
aspek afektif. Kedua aspek ini merupakan komponen yang dialami oleh
pembeli sehingga menciptakan suatu perilaku pembelian impulsif.
Pembelian impulsif dapat terjadi berdasarkan dua aspek secara bersamaan,
tetapi dalam dinamikanya, terdapat salah satu aspek yang lebih dominan
(Herabadi, Verplanken, van Knippenberg, 2009; Verplanken, Herabadi,
Perry & Silvera, 2004).
a. Aspek Kognitif
Pada aspek ini, individu yang melakukan pembelian impulsif,
kurang mampu mempertimbangkan dan merencanakan sesuatu ketika
melakukan pembelian (Verplanken & Herabadi, 2001). Pembeli
terfokus pada harga dari suatu produk dan keuntungan yang diperoleh
Knippenberg, 2009). Contohnya, ada suatu produk branded yang
memiliki harga yang tinggi tetapi mendapatkan diskon sebesar 70%.
Proses kognitif pada individu yang impulsif akan bekerja ketika
pembeli melihat produk tersebut, ada keinginan secara tiba-tiba untuk
memiliki produk tersebut tanpa adanya pemikiran yang matang
sehingga secara cepat pembeli memutuskan untuk memilikinya (Coley
& Burgess, 2003) maka terjadilah pembelian. Pembelian terjadi tidak
berdasarkan kebutuhan atau perencanaan sebelumnya sehingga dapat
dikatakan pembelian impulsif. Sedangkan pembeli yang tidak impulsif
cenderung tidak mudah terpengaruh akan diskon atau harga yang
miring pada produk branded tersebut karena pembeli merasa tidak
berencana dan tidak memiliki kebutuhan untuk membelinya.
b. Aspek Afektif
Mayoritas pembeli melakukan pembelian secara impulsif
didominasi oleh aspek afektif. Aspek ini menjelaskan bahwa pembeli
melakukan pembelian impulsif karena memiliki perasaan senang dan
gembira ketika menginginkan suatu barang untuk dibeli serta memiliki
kesulitan untuk meninggalkan keinginannya itu (Coley & Burgess,
2003). Tetapi, setelah melakukan pembelian, biasanya muncul rasa
penyesalan (Rook, 1987; Verplanken & Herabadi, 2001). Pada aspek
ini, pembeli akan melakukan pembelian ketika pembeli melihat
untuk memilikinya, serta merasa harus membeli produk itu untuk
memuaskan diri (Coley & Burgess, 2003).
Hirschman & Holbrook dan Lai (dalam Herabadi, dkk, 2009;
Lai, 2010) menjelaskan bahwa aspek afektif merupakan aspek paling
kuat yang melekat pada diri pembeli ketika melakukan pembelian
impulsif. Beberapa peneliti juga menjelaskan bahwa kekuatan aspek
afektif ini dikarenakan pembeli memiliki mood yang positif. Mood
positif dapat mendorong seseorang untuk melakukan pembelian
impulsif. Mood positif meliputi perasaan suka atau tertarik, senang,
loyal, bersemangat dan merasa berharga ketika melakukan pembelian
impulsif (Rook, 1987; Rook & Gardner dalam Herabadi dkk, 2009;
Coley & Burgess, 2003). Selain itu, pembeli dapat memanjakan diri
dan seperti mendapatkan hadiah ketika melakukan pembelian impulsif
(Rook, 1987).
Berdasarkan aspek-aspek yang telah disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa pada aspek kognitif, individu melakukan pembelian
impulsif berdasarkan kurangnya perencanaan sebelumnya dan hanya
menekankan pada harga dan keuntungan yang diperoleh. Sedangkan aspek
afektif adalah aspek paling kuat pada individu dalam melakukan
pembelian impulsif. Individu melakukan pembelian impulsif berdasarkan
emosi, perasaan tertarik, bersemangat dan memiliki hasrat harus memiliki
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif
Secara umum, pembelian impulsif dipengaruhi oleh dua faktor,
yakni faktor lingkungan dan personal.
a. Faktor Lingkungan
Sebuah penelitian menyatakan bahwa penilaian negatif pada
remaja dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Remaja memiliki
ketakutan tersendiri ketika mendapatkan penilaian negatif dari teman
sebayanya. Kecemasan secara sosial ini, dapat mempengaruhi remaja
untuk melakukan pembelian impulsif (Lin & Chen, 2012).
Penelitian lain menyebutkan bahwa konformitas adalah
prediktor atau variabel independen dari variabel pembelian impulsif
(Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009). Penelitian ini menjelaskan
bahwa semakin tinggi tingkat konformitas seseorang, maka semakin
tinggi pula pembelian impulsif yang dilakukan. Sebaliknya, semakin
rendah tingkat konformitas seseorang, maka semakin rendah tingkat
pembelian impulsif seseorang Pengaruh kelompok tergolong besar
dalam pemberian norma tingkah laku sehingga apabila kelompok
dalam situasi membeli impulsif, maka anggotanya akan cenderung
berperilaku sama (Ewert dalam Monks 2002).
Harga merupakan bentuk nyata yang sering kali dijadikan
patokan individu melakukan pembelian. Harga juga dapat
menimbulkan pembelian yang tidak diharapkan karena harga
impulsif. Individu yang impulsif cenderung menyukai harga yang
rendah dan mendapatkan keuntungan dari hasil pembeliannya (Stern,
1962). Misalnya, awalnya pembeli hanya ingin membeli 2 buah baju.
Harga dua buah baju Rp 200.000,-.Akan tetapi individu menemukan
harga spesial di toko baju tersebut yang menuliskan “buy 3 get 1 free”.
Individu akan mendapatkan baju sebanyak empat buah dengan
menambahkan uang Rp 50.000,- saja. Contoh tersebut merupakan
contoh pembelian impulsif berdasarkan harga. Pembelian dua baju
yang tidak direncanakan semua adalah hasil dari pembelian impulsif.
Pelayanan yang dilakukan sendiri oleh pembeli seperti
swalayan dapat meningkatkan kesempatan pembelian impulsif
daripada pelayanan yang dilakukan oleh petugas. Pembelian impulsif
terjadi karena pembeli dapat mengambil produk secara bebas dan cepat
sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan jika dilayani oleh petugas,
pembeli tidak leluasa memilih produk yang akan dibeli (Stern, 1962).
Lingkungan toko dapat mempengaruhi pembelian impulsif
karena stimulus yang diberikan oleh toko beraneka ragam, seperti
penampilan produk, aroma, suara music, dan warna yang menarik
(Verplanken & Herabadi, 2001; Virvilaite, Saladiene & Zvinklyte,
2011). Store Display yang menarik dapat meningkatkan daya tarik
pembeli dan berpeluang untuk melakukan pembelian impulsif. Posisi
rak, mempromosikan produk spesial atau new arrival (Hadjali, Salimi,
lainnya merupakan hal-hal yang dapat membuat store display menarik
(Stern, 1962; Hoyer & MacInnis dalam Lin & Lin 2005).
b. Faktor Personal
Faktor personal berasal dari dalam diri individu yang dapat
mempengaruhi pembelian impulsif. Berdasarkan gendernya,
perempuan cenderung memiliki tingkat pembelian impulsif yang lebih
tinggi dibandingkan pria (Wu & Huan, 2010; Gasiorowska, 2011; Lin
& Lin, 2005; Pantecost & Andrews, 2010) dan melihat-lihat produk
lain selama berbelanja (Gasiorowska, 2011). Hal tersebut dikarenakan
kesenangan berbelanja dianggap perilaku yang wajar secara sosial
dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki (Gasiorowska,
2011).
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa mood pembeli dapat
mempengaruhi pembelian impulsif. Seseorang yang memiliki mood
positif biasanya lebih mudah tertarik, senang, loyal, bersemangat, dan
merasa berharga ketika melakukan pembelian secara impulsif
(Verplanken & Herabadi, 2001) daripada seeorang yang memiliki
mood negatif (Rook, 1987; Rook & Gardner dalam Herabadi dkk,
2009). Selain itu, motivasi untuk mendapatkan kesenangan dengan
memiliki emosi yang positif pada individu dapat mempengaruhi
pembelian impulsif (Virvilaite, Saladiene & Zvinklyte, 2011).
Kontrol diri juga dapat mempengaruhi pembelian impulsif.
menahan setiap stimulus yang mendukung pembelian impulsif, mudah
dipengaruhi dan tidak dapat mengelola dirinya, maka pembelian
impulsif dapat terjadi. Sedangkan orang yang memiliki kontrol diri
yang baik akan membeli produk sesuai kebutuhan jangka panjang
(Baumeister, 2002)
Sebuah penelitian menghubungkan kecerdasan emosi dengan
pembelian impulsif. Penelitian tersebut menyatakan bahwa orang yang
memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, pembelian impulsifnya lebih
rendah dibandingkan orang yang memiliki kecerdasan emosi yang
rendah (Lin & Chuang, 2005).
Harga diri juga menjadi salah satu faktor yang dapat
menciptakan pembelian impulsif pada individu. Penelitian (Hadjali,
Salimi, & Ardestani, 2012; Djudiyah, 2002) menunjukkan bahwa
semakin rendah tingkat harga diri seseorang maka semakin tinggi
pembelian impulsif dilakukan. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat
harga diri seseorang, maka semakin rendah tingkat pembelian impulsif.
Jadi dapat disimpulkan, faktor yang dapat mempengaruhi
pembelian impulsif yaitu faktor situasional yang terdiri dari penilaian
negatif, konformitas, harga, pelayanan, dan lingkungan toko. Sedangkan
faktor personalnya adalah gender, mood, kontrol diri, dan kecerdasan
4. Pembelian Impulsif pada Remaja Putri
Remaja merupakan bagian yang penting bagi marketing karena
remaja sering menghabiskan waktunya untuk berbelanja (Lin & Chang,
2005; Lin & Chen, 2012). Biasanya remaja berbelanja dengan
teman-teman sebayanya. Interaksi sosial dengan teman-teman-teman-teman sebaya dapat
meningkatkan pembelian impulsif karena remaja memiliki ketakutan
untuk dinilai negatif oleh teman sebayanya (Lin & Chen, 2012).
Remaja putri cenderung lebih impulsif daripada remaja pria (Lin &
Lin, 2005; Pantecost & Andrews, 2010) karena remaja putri memiliki
intensitas kegiatan yang dekat dengan pembelian lebih tinggi. Misalnya,
remaja putri lebih sering menemani ibunya berbelanja mulai dari
kebutuhan makanan sampai asesoris kecantikan (Loudon & Bitta dalam
Utami & Sumaryono, 2008). Remaja putri lebih signifikan melakukan
pembelian impulsif dan melihat-lihat produk lain selama berbelanja
daripada remaja putra. Tindakan tersebut dikarenakan remaja putri
cenderung menganggap wajar bahwa kesenangan dalam berbelanja wajar
dialami oleh perempuan dibandingkan laki-laki (Gasiorowska, 2010).
Biasanya remaja putri melakukan pembelanjaan bersifat impulsif hanya
karena ingin mencari sensasi dibandingkan dengan remaja pria
(Gasiorowska, 2011).
Dapat disimpulkan bahwa remaja putri melakukan pembelian
cenderung bersama teman-temannya. Kebersamaan inilah yang
taman-teman sebayanya dan hanya mencari sensasi semata. Remaja putri
memiliki aktivitas membeli lebih dekat daripada remaja putra karena
mereka lebih sering menemani ibunya berbelanja
C. KONFORMITAS
1. Definisi Konformitas
Sebagai makhluk sosial, manusia mencoba menyesuaikan diri
dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup. Keadaan ini dapat
dilakukan dengan cara melakukan segala sesuatu sesuai dengan norma
sosial serta dapat diterima secara sosial atau dapat disebut juga dengan
konformitas (Hafiyah, 2009). Konformitas menampilkan suatu perilaku
tertentu berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh orang lain dan juga
adanya tekanan dari kelompok acuan. Tindakan menjadi selaras dengan
kelompok akan dilakukan individu yang konform meskipun bertentangan
dengan prinsip yang dimiliki individu tersebut (Sears, Freedman, &
Peplau, 1985). Terkadang, konformitas juga terjadi pada individu yang
ingin berperilaku sama dengan kelompok meskipun sebelumnya belum
pernah melakukan tindakan tersebut (King, 2010). Pernyataan tersebut
diperkuat dengan adanya pernyataan lain bahwa individu yang melakukan
konformitas cenderung berperilaku berbeda dari biasanya ketika individu
tersebut berada dalam keadaan sendiri (Asch dalam Gerungan, 2009;
Myers, 2012).
Berdasarkan definisi yang telah disampaikan, maka dapat
diyakini seseorang berdasarkan norma sosial agar dapat diterima secara
sosial. Konformitas tetap dilakukan meskipun bertentangan dengan
keyakinan yang dimilikinya. Konformitas biasa terjadi dikarenakan adanya
tekanan dari kelompok acuan.
2. Aspek – aspek Konformitas
Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan di atas, terdapat poin
penting bahwa konformitas merupakan suatu keyakinan individu terhadap
perilaku atau aturan dari kelompok dan tindakan mengikutinya agar
menjadi sama dengan kelompok. Ini bertujuan agar individu tersebut dapat
diterima oleh kelompok acuan meskipun tindakannya bertentangan dengan
keyakinannya sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, konformitas yang berdasarkan
keyakinan terhadap orang lain seperti memilih ide atau gagasan
berdasarkan banyaknya suara mayoritas (Wade & Tavris, 2008).
Sedangkan contoh konformitas yang berupa tindakan meliputi
mengolok-olok orang lain (Levianti, 2008), mengikuti gaya berpakaian
yang sama dengan kelompok acuan, belajar bersama dan berorganisasi,
(Santrock, 2002), pembelian aksesoris (Natalia, 2009), dan melakukan
pembelian impulsif bersama teman-teman (Lin & Chen, 2012).
Berdasarkan paparan yang sudah dijelaskan, dapat disimpulkan
bahwa aspek-aspek konformitas dalam penelitian ini adalah keyakinan
seseorang pada orang lain dan menunjukkan perilaku yang sama dengan
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konformitas yaitu faktor
personal dan faktor situasional. Faktor situasional terdiri dari :
a. Kejelasan Situasi
Penelitian Sherif menunjukkan bahwa, semakin tidak
terstruktur dan tidak jelas situasi yang dihadapi, maka semakin besar
kecenderungan orang untuk mengikuti kelompoknya (Rakhmat, 2008).
Biasanya seseorang akan ikut serta untuk konform ketika kebanyakan
orang melakukan sesuatu pada situasi tertentu (Baron & Byrne, 2005)
b. Kesepakatan
Pendapat atau keputusan yang sudah dibuat dan ditetapkan oleh
kelompok memiliki tekanan yang kuat sehingga konformitas dapat
meningkat. Remaja harus dapat menyesuaikan pendapatnya dengan
kelompok jika ingin meningkatkan konformitas. Nilai-nilai yang ada
pada kesepakatan yaitu:
1) Kepercayaan sangat penting untuk membentuk suatu
kesepakatan dalam kelompok. Tingkat kepercayaan akan
menurun ketika di dalam kelompok terjadi perbedaan pendapat
sehingga berdampak pada menurunnya tingkat konformitas
dalam kelompok tersebut.
2) Persamaan pendapat akan meningkatkan konformitas yang ada
di dalam kelompok. Sebaliknya, apabila di dalam suatu
akan menurun. Pendapat satu individu yang tidak sama dengan
pendapat kelompok akan menunjukkan perbedaan yang berakibat
pada berkurangnya kesepakatan kelompok.
3) Penyimpangan terhadap pendapat kelompok. Remaja yang
menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan dan
akan berdampak pada berkurangnya tingkat konformitas pada
suatu kelompok. Remaja dikatakan menyimpang ketika orang
tersebut memiliki pendapat atau pandangan yang tidak sesuai
atau berbeda dengan kelompok. Dampak dari penyimpangan
tersebut adalah dikucilkan dan ditolak dari kelompok.
c. Ukuran Kelompok
Aturan atau norma kelompok terbentuk berdasarkan atas
penilaian dari ukuran mayoritas kelompok. Semakin besar ukuran
kelompoknya, maka semakin tinggi tingkat konformitasnya (Rakhmat,
2008; Taylor, Peplau & Sears, 2009). Pernyataan ini diperkuat oleh
Asch, Gerrard, Wilhelmy & Conolley yang menyatakan bahwa
konformitas meningkat karena adanya peningkatan jumlah anggota
kelompoknya (Baron & Byrne, 2005).
d. Norma Deskriptif dan Norma Injungtif / Perintah
Norma deskriptif dapat mempengaruhi tingkah laku individu
dengan cara memberikan informasi mengenai apa yang sebagian orang
lakukan pada situasi tertentu. Norma deskriptif juga menginformasikan
itu. Sedangkan norma injungtif dapat mempengaruhi individu dengan
cara sudah menetapkan perilaku yang diterima atau tidak diterima
kelompok pada situasi tertentu (Baron & Byrne, 2005).
e. Tekanan Kelompok
Tekanan dalam kelompok dapat berupa pemberian ganjaran,
ancaman atau hukuman pada anggota kelompok akan meningkatkan
ketaatan remaja. Semakin besar tekanan dalam kelompok maka
semakin besar ketaatan remaja untuk konform dengan kelompok
(Sears, Freedmen, & Paplau, 1985).
f. Informational influence (pengaruh informasi)
Informasi yang diberikan orang lain akan bermanfaat bagi
individu yang belum mengetahui informasi. Informasi yang diterima
berguna untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Kesesuaian tersebut bergantung pada dua aspek situasi, yaitu
seberapa besar keyakinan kepada kelompok dan seberapa besar
keyakinan pada diri sendiri. Keyakinan individu pada informasi yang
disampaikan kelompok memungkinan untuk menyesuaikan diri dengan
kelompok tersebut, terutama pada situasi penilaian yang ambigu atau
tidak jelas. Oleh karena itu, meningkatnya konformitas seseorang
dikarenakan adanya peningkatan kepercayaan pada informasi yang
diberikan oleh kelompok yang bersangkutan.
Beberapa hal yang membuat seseorang cenderung
kurangnya keyakinan terhadap penilaiannya sendiri. Hal lain yang
ditemukan bisa dikarenakan kurangnya kompetensi diri atau terlalu
minimnya informasi yang diketahui mengenai suatu topik (Baron &
Byrne, 2005; Taylor, Peplau, & Sears, 2009; King, 2010).
g. Normative influence (pengaruh normatif)
Pengaruh normatif adalah pengaruh yang berasal dari orang
lain agar individu dapat disukai dan diterima secara sosial. Pengaruh
normatif dapat menjadikan individu rela mengubah perilakunya untuk
menyesuaikan diri dengan standar kelompok seperti menggunakan
pakaian yang menjadi cirri khas dari kelompok, menggunakan
kata-kata gaul yang sama, dan perilaku lain yang sama dengan kelompok
(King, 2010). Biasanya, pasca konformitas, terjadi perubahan pada
keyakinan orang tersebut karena ada proses ketika pelaku melakukan
pemahaman terhadap perspektif kelompok dan melakukan interpretasi
baru sehingga memunculkan penyesuaian diri di kelompoknya
(Buehler & Griffin, 1994 dalam Taylor et al, 2009).
Sedangkan faktor personal terdiri dari :
a. Usia dan jenis kelamin
Usia remaja sangat rentan terjadinya konformitas terutama
pada remaja awal karena pada tahap perkembangannya remaja
memiliki keintiman dengan teman-teman sebayanya. Remaja putri
secara khusus memiliki ketakutan dinilai negatif oleh teman-temannya
yang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi (Santrock,
2012; Alwisol, 2004; Sarwono, 2009). Selain itu, remaja putri pada
umumnya memiliki sifat yang penurut, pasif, tunduk pada otoritas,
mengalah, dan enggan memunculkan konflik (Tapiheru dalam Astasari
& Sahrah, 2009).
b. Ketaatan
Ketaatan merupakan perilaku patuh pada aturan yang berkuasa
(King, 2010). Ketaatan remaja pada suatu kelompok akan
meningkatkan konformitas pada kelompok. Remaja rela melakukan
tindakan sesuai dengan kesepakatan kelompok meskipun tidak sesuai
dengan keinginannya. Kerelaan tersebut dikarenakan adanya tekanan
atau tuntutan dari kelompok sehingga remaja memiliki ketaatan pada
kelompok itu. Remaja yang melakukan penyimpangan akan ditolak
dan diasingkan dalam kelompok. Anggota kelompok yang konform
akan memperhatikan setiap tindakan kelompoknya (Sears, Freedmen,
& Paplau, 1985).
c. Kohesivitas
Kohesivitas adalah intensitas ketertarikan individu terhadap
suatu kelompok. Individu yang mengagumi atau menyukai suatu
kelompok dan bersedia melakukan apa saja untuk menjadi sama
dengan kelompok yang disukai, maka dapat dikatakan individu
tersebut memiliki kohesivitas yang tinggi (Baron & Byrne, 2005).
yang mempengaruhi konformitas. Jika karakter sumber pengaruh
memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk terjadinya konformitas,
maka konformitas akan terbentuk. Akan tetapi, jika pengaruhnya tidak
cukup kuat, maka konformitas tidak akan terbentuk (Rakhmat, 2008).
d. Kekompakan
Remaja menyukai suatu kelompok yang memiliki kekuatan di
dalamnya sehingga mereka tertarik untuk menjadi bagian dari
kelompok tersebut. Ketertarikan remaja dengan kelompok yang
diinginkan membuat remaja berharap untuk memperoleh manfaat dari
keanggotaannya. Semakin besar ketertarikan dan harapan
mendapatkan manfaat pada suatu kelompok, maka semakin besar pula
kekompakan kelompok dan konformitasnya. Kekompakan yang
terbentuk pada suatu kelompok mempengaruhi anggota kelompok
tersebut untuk semakin konform satu sama lain. Remaja cenderung
menyesuaikan diri dengan keadaan kelompok apabila ingin menjadi
bagian dari kelompok tersebut. Remaja yang ingin diterima dalam
kelompok akan mengikuti tindakan kelompok ketika kelompok
melakukan sesuatu (Sears, Freedmen, & Paplau, 1985).
e. Harga diri
Berdasarkan hasil penelitian, harga diri merupakan salah satu
faktor personal yang mempengaruhi terjadinya konformitas. Semakin
tinggi harga diri yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin rendah
diri yang dilakukan, maka semakin tinggi tingkat konformitasnya
(Cipto & Kuncoro, 2010; Sulistyowati, 2009; Nashihin, 2012).
Seseorang yang memiliki harga diri yang rendah akan merasa takut
untuk ditolak sehingga mereka memilih untuk konform (Asch dalam
Aronson, Wilson, & Akert, 2005)
Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi konformitas yaitu faktor situasional dan faktor personal.
Faktor situasional terdiri dari kejelasan situasi, ukuran kelompok, norma
deskriptif dan norma injungtif, pengaruh informasi, dan pengaruh
normatif. Sedangkan faktor personalnya meliputi usia dan jenis kelamin,
kohesivitas, harga diri.
4. Konformitas pada Remaja Putri
Pengaruh lingkungan cukup kuat dalam menentukan perilaku pada
diri remaja, terutama tekanan dari kelompok. Remaja menganggap bahwa
kelompok teman sebaya merupakan pedoman hidup yang berkaitan
dengan gaya (Conger dalam Jahja, 2011). Konformitas biasa terjadi pada
remaja berkaitan dengan cara berpakaian, pilihan hidup, dan ide-ide yang
muncul untuk menunjukkan kesamaan (Wade & Tavris, 2008). Remaja
juga ingin sekali menjadi populer dan disenangi oleh teman-teman
sebayanya sehingga remaja berusaha mengikuti norma-norma yang
dibentuk oleh kelompoknya (Rochmah, 2005). Remaja lebih sering
menghabiskan waktu bersama teman-temannya dibandingkan bersama
tersendiri bersama teman sebayanya. Rasa aman yang dimiliki bersama
kelompok menimbulkan keberanian melakukan sesuatu secara bersamaan
dibandingkan sendiri (Gunarsa & Gunarsa, 2009). Selain itu, pada usia
remaja, remaja masih dalam masa perkembangan mencari identitas
sehingga banyak hal yang dilakukan remaja untuk membentuk
pengetahuan dalam dirinya (Santrock, 2002).
Proses perkembangan mencari identitas dan menciptakan situasi
aman pada remaja, membuat remaja melakukan konformitas (Santrock,
2002; Hafiyah, 2009; Taylor dkk, 2009). Beberapa ahli meyakini bahwa
remaja yang sering melakukan konformitas adalah remaja putri daripada
remaja putra karena remaja putra cenderung memiliki pemikiran yang
mandiri daripada remaja putri. Sedangkan remaja putri cenderung lebih
ingin mempertahankan hubungan daripada mengendalikan relasi dengan
orang lain (Timmers, Fischer & Manstead dalam Baron & Byrne, 2004).
Pada umumnya, remaja mengikuti perilaku konformitas yang
bersifat negatif, akan tetapi ada pula remaja yang melakukan konformitas
secara positif (Santrock, 2002; King, 2010). Konformitas yang negatif
biasanya meliputi, menggunakan kata-kata yang kasar, mencuri, merusak,
mengolok-olok orang lain (Santrock, 2002), pembelian impulsif (Lin &
Chen, 2012), berkelahi (Rambe dalam Hafiyah, 2009), minum minuman
beralkohol, geng motor (King, 2010). Sedangkan konformitas yang
bersifat positif meliputi meluangkan waktu berkumpul bersama anggota
serupa dengan kelompok (Santrock, 2002), berhenti saat lampu lalu lintas
berwarna merah, mengemudi pada jalur yang tepat (King, 2010),
mengantri saat membeli tiket (Baron & Byrne, 2005).
Remaja melakukan konformitas agar dapat diterima secara sosial
dan terhindar dari ejekan atau penolakan dari teman-temannya dan
memuncaknya konformitas remaja terjadi pada kelas delapan dan sembilan
(Berndt, 1979; Berndt & Perry, 1990; Leventhal, 1994 dalam Santrock,
2002; 2012). Tekanan sosial biasa terjadi pada remaja putri dibandingkan
remaja putra karena remaja putri lebih terampil dalam bersosial (Margalit
& Eysenck dalam Baron & Byrne, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh
Prinstein (dalam Santrock, 2012) menambahkan bahwa remaja yang tidak
yakin akan identitas diri di lingkungan sosialnya, memiliki kecenderungan
untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya yang dianggap memiliki
status lebih tinggi. Di samping itu, remaja yang melakukan konformitas
biasanya berdampak negatif pada dirinya (Constanzo dalam Worchel &
Cooper, 1979) dan memiliki harga diri yang rendah (Stang dalam Worchel
& Cooper, 1979).
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, maka dapat
disimpulkan bahwa konformitas memiliki dua sifat yaitu positif dan
negatif. Konformitas positif merupakan perilaku sama dengan kelompok
yang bertujuan baik, sedangkan konformitas negatif adalah perilaku yang
sama dengan kelompok dengan tujuan yang tidak baik. Sebagian remaja