BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR PERIKANAN DENGAN
METODE MICROBIAL FUEL CELL SATU BEJANA
DWILINA APRIYANI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
RINGKASAN
DWILINA APRIYANI. C34080033. Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan WINI TRILAKSANI.
Semakin menipisnya sumber daya energi mengakibatkan energi menjadi barang langka dan mahal. Hal tersebut menjadikan kegiatan terkait dengan energi baru terbarukan menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Usaha menghasilkan energi listrik dapat dilakukan melalui teknologi microbial fuel cell (MFC). Limbah cair telah direkomendasikan sebagai sumber terbarukan untuk menghasilkan energi listrik, bahan bakar dan kimia. Sampai abad terakhir, proses lumpur aktif merupakan proses pengolahan limbah cair yang banyak digunakan. Namun, proses ini membutuhkan energi intensif dan membutuhkan 2% dari total konsumsi listrik. Limbah cair industri perikanan dapat dijadikan sebagai substrat pada sistem MFC.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari proses pemanfaatan limbah cair perikanan dengan teknologi MFC satu bejana, serta menganalisis karakteristik limbah cair dan listrik yang dihasilkan. Metode yang digunakan adalah MFC satu bejana dengan limbah cair buatan sebagai substrat. Perlakuan yang diberikan adalah limbah cair tanpa lumpur aktif dan limbah cair dengan penambahan lumpur aktif. Pengukuran listrik dilakukan selama 5 hari (120 jam) dan pada hari ke-0, ke-3 dan ke-6 dilakukan analisis parameter beban limbah cair yang terdiri dari kandungan total nitrogen, nitrogen-amonia, Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Mixed Liquor Suspended Solids (MLSS) dan Mixed Liquor Volatile Suspended Solids (MLVSS).
Beban limbah cair selama proses pengolahan dengan sistem MFC satu bejana mengalami penurunan, terutama pada limbah cair dengan penambahan lumpur aktif. Kandungan total nitrogen, BOD, COD dan amonia limbah cair
dengan penambahan lumpur aktif mengalami penurunan masing-masing 33,74 mg/L, 68 mg/L, 120 mg/L dan 3,23 mg/L selama 6 hari pengamatan. Nilai
MLSS dan MLVSS pada limbah cair dengan penambahan lumpur aktif mengalami peningkatan masing-masing 1040 mg/L dan 773 mg/L selama 6 hari pengamatan. Nilai listrik yang dihasilkan cenderung mengalami peningkatan selama 120 jam. Nilai listrik dari limbah cair tanpa lumpur aktif lebih tinggi dibandingkan limbah cair dengan penambahan lumpur aktif. Nilai listrik tertinggi terjadi pada jam ke-119, yaitu 144,9 mV pada limbah cair tanpa lumpur aktif dan 87,6 mV pada limbah cair dengan penambahan lumpur aktif.
BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR PERIKANAN DENGAN METODE MICROBIAL FUEL CELL SATU BEJANA
DWILINA APRIYANI C34080033
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Dwilina Apriyani C34080033
Judul : Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode
Microbial Fuel Cell Satu Bejana
Nama : Dwilina Apriyani
NIM : C34080033
Program Studi : Teknologi Hasil Perikanan
Pembimbing I
Dr.Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. NIP. 19611101 198703 1 002
Pembimbing II
Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. NIP. 19610128 198601 2 001
Mengetahui:
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phill. NIP. 19580511 198503 1 002
vi
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, atas karunia-Nya yang berlimpah, yang membuat penulis sanggup menyelesaikan skripsi yang berjudul “Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:
1 Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc selaku pembimbing II yang telah
memberikan nasihat, arahan dan bimbingan serta kesabaran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
2 Ibu Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS selaku dosen penguji yang telah memberi saran perbaikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
3 Mama, Bapak dan Mba Lia untuk dukungan baik dalam bentuk materi maupun non materi, perhatian, kasih sayang, serta kepercayaan yang telah diberikan pada penulis tanpa batas.
4 Mba Dini, Ibu Ema, Kang Abe, Pak Jajang, Mba Retno, Mas Jack, Mas Mail dan Pak Ahmad selaku laboran dan staf TU yang telah banyak membantu selama penelitian, terimakasih atas kerjasama dan sarannya.
5 THP angkatan 45 atas kebersamaan dan pengalaman berharga yang diberikan selama kurang lebih 4 tahun.
6 Sahabat terbaik khususnya Mufida, Oktarina, Nurrahman, Andi, dan Hilma atas kebersamaan, keceriaan, semangat dan motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi.
7 Rico, Esa, Santos, Aksar, dan Helmy yang telah membantu serta menemani selama penelitian berlangsung.
8 Teman satu bimbingan: Rico, Yunisha, Syukron, Oktarina, Desi, Diah, dan Dita M atas dukungan, semangat, dan tempat untuk berbagi curahan hati. 9 Teman-teman lab Ombeng: Esa, Rico, Hardi, Aksar, Syukron, Edo, Bang
vii
memberi semangat, dan berbagi canda tawa pada saat akhir penyelesaian skripsi.
10 Teman kosan SQ Bawah: Lia, Nia, Dudu, Fitra, Hana M, Ulfa, Kak Dayu, Kak Septi, Mita, Hana dan Nurul, yang telah banyak memberi semangat dan keceriaan setiap hari selama penelitian dan penyusunan skripsi.
11 Teman-teman THP angkatan 44, 46, dan 47 yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
12 Tim asisten Oseanografi Umum periode 2012-2013 atas kekompakan, pengertian dan keceriaan lain yang diberikan selama penyelesaian skripsi. Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Januari 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi, Jawa Barat pada.tanggal 7 April 1990. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan bernama Satino dan Supiyem. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai di SDN Pekayon Jaya 7 Bekasi pada tahun 1996 hingga tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun yang sama di SMPN 12 Bekasi hingga tahun 2005. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di SMAN 3 Bekasi pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2008. Selama perkuliahan, penulis aktif berorganisasi dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (DPM FPIK) sebagai bendahara komisi PSDM tahun 2009-2010 dan Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan (HIMASILKAN) tahun 2010-2011. Selain itu, penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Ikhtiologi tahun 2010, Diversifikasi dan Pengolahan Produk Hasil Perairan tahun 2012, Teknologi Pengolahan Limbah dan Hasil Samping Hasil Perairan tahun 2012, Oseanografi Umum tahun 2011 dan 2012.
Penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana” dibawah bimbingan Bustami Ibrahim dan Wini Trilaksani untuk menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
ix DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Limbah Cair Industri Perikanan ... 4
2.2 Microbial Fuel Cell (MFC) ... 6
2.3 Microbial Fuel Cell Satu Bejana ... 9
3 METODE ... 11
3.1 Waktu dan Tempat ... 11
3.2 Bahan dan Alat ... 11
3.3 Metode Penelitian ... 11
3.3.1 Persiapan alat MFC satu bejana ... 12
3.3.2 Pembuatan limbah cair buatan ... 13
3.3.3 Pengukuran listrik dan beban limbah cair. ... 13
3.4 Prosedur Analisis ... 14
3.4.1 COD (Chemical Oxygen Demand) (APHA 1975) ... 14
3.4.2 BOD (Biological Oxygen Demand) (APHA 1975) ... 14
3.4.3 Total nitrogen (AOAC 2005) ... 15
3.4.4 Kadar N-NH3 (Nitrogen-amonia) (APHA 1975) ... 15
3.4.5 MLSS (Mixed Liquor Suspended Solids) (APHA 1975) ... 16
3.4.6 MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solids) (APHA 1975)... 16
3.5 Rancangan Percobaan (Mattjik dan Jaya 2006) ... 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18
4.1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan ... 18
4.2.1 Total nitrogen ... 20
4.2.2 Biological oxygen demand (BOD) ... 21
4.2.3 Chemical oxygen demand (COD) ... 23
4.2.4 Nitrogen-amonia ... 25
x
4.3 Listrik Limbah Cair Perikanan ... 29
5 SIMPULAN DAN SARAN ... 35
5.1 Simpulan ... 35
5.2 Saran ... 35
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Prinsip kerja MFC (Logan et al. 2006) ... 7
2 Sistem kerja MFC satu bejana (Lovley 2006) ... 9
3 Diagram alir tahapan penelitian ... 12
4 Desain MFC satu bejana ... 13
5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana ... 20
6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana ... 22
7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana... 23
8 Amonia limbah cair selama di dalam MFC satu bejana ... 25
9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana ... 27
10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana ... 27
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Karakteristik limbah cair perikanan ... 5
2 Baku mutu air limbah bagi usaha/kegiatan pengolahan perikanan... 5
3 Mikroorganisme pada sistem MFC ... 8
4 Karakteristik limbah cair perikanan buatan ... 18
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Nilai rata-rata listrik limbah cair perikanan selama 5 hari ... 42 2 Hasil uji statistik limbah cair perikanan ... 44
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketidakseimbangan permintaan dan penawaran energi yang didorong pesatnya laju pertambahan penduduk dan industrialisasi dunia, mengakibatkan tersedotnya cadangan energi, khususnya energi fosil yang merupakan sumber energi utama dunia. Hal tersebut mendorong meningkatnya harga energi dunia. Saat ini sumber daya energi di Indonesia dan dunia semakin menipis. Hal ini mengakibatkan energi menjadi barang langka dan semakin mahal. Kementerian Luar negeri RI (2011) menyebutkan bahwa proporsi minyak bumi sebagai sumber utama energi mencapai 40% dari total permintaan energi dunia, namun cadangannya terus berkurang. Pada tahun 2011 pertumbuhan permintaan minyak bumi dunia mencapai 1,7% sementara peningkatan produksi hanya mencapai 0,9%. Cadangan minyak bumi di Indonesia diperkirakan 9 milyar barel, dengan tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barel per tahun, sehingga diperkirakan cadangan minyak akan habis dalam waktu 18 tahun.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (2010) menambahkan bahwa 50% konsumsi energi nasional Indonesia selama ini berasal dari minyak bumi. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih sangat tergantung pada sumber energi tak terbarukan tersebut. Masalah tersebut harus segera dicari solusinya karena cepat atau lambat sumber energi tersebut akan habis. Keadaan ini menyebabkan negara-negara di dunia termasuk Indonesia rentan terhadap resiko krisis energi dunia.
Ancaman krisis energi dan bahan bakar menjadikan kegiatan terkait dengan energi baru terbarukan menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Saat ini, potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia 311.232 Mega Watt (MW) dan baru 22% yang dimanfaatkan (BPPT 2010). Keunggulan dari energi terbarukan yaitu energi terbarukan lebih sesuai dengan potensi lokal di tanah air, lebih ramah lingkungan, lebih berkelanjutan dalam jangka panjang, dan relatif tidak tergantung dengan fluktuasi saham minyak dunia (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2012).
Berdasarkan sumber energi, bentuk listrik merupakan energi yang paling praktis digunakan (Rittman 2008). Konsumsi energi listrik sendiri pada tahun
2010 mencapai 90,35 juta BOE (Barrel Oil Equivalent) (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2011). Selain itu, statistik perkembangan energi terbarukan dalam bentuk listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2005-2010, yaitu 5.228,69 MW pada tahun 2005 menjadi 8.772,50 MW pada tahun 2010 (Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi 2011).
Faaij (2006) menyampaikan bahwa terdapat berbagai teknologi konversi yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik ini, yaitu pembakaran,
gasification, dan fermentasi (gas metan). Namun teknologi konversi pembakaran
dan gasification berdampak terhadap penipisan cadangan bahan bakar fosil dan peningkatan jumlah CO2 di atmosfer. Oleh karena itu diperlukan teknologi baru yang lebih efisien untuk menghasilkan energi listrik.
Usaha menghasilkan energi listrik dapat dilakukan melalui teknologi
microbial fuel cell (MFC) dengan memanfaatkan senyawa yang mengandung
hidrogen atau senyawa yang menghasilkan elektron sehingga ramah lingkungan (Suyanto et al. 2010). MFCs adalah salah satu tipe sistem bioelectrochemical (BESs) yang mengubah biomassa secara spontan menjadi energi listrik melalui aktivitas metabolisme mikroorganisme (Pant et al. 2010). Limbah cair telah direkomendasikan sebagai sumber terbarukan untuk menghasilkan energi listrik, bahan bakar dan kimia. Saat ini, teknologi yang hanya dapat menghasilkan energi tersebut dari limbah cair untuk skala komersil adalah degradasi anaerobik (Rozendal et al. 2008).
Disisi lain pengolahan limbah cair saat ini masih banyak menggunakan teknologi dengan prinsip degradasi aerobik. Sampai abad terakhir, proses lumpur aktif merupakan proses pengolahan limbah cair yang banyak digunakan. Namun, proses ini membutuhkan energi intensif dan berdasarkan pendugaan, jumlah energi listrik yang dibutuhkan untuk menyediakan oksigen pada proses lumpur aktif hampir mendekati 2% total konsumsi listrik di Amerika (Pant et al. 2010). Sama halnya dengan di Amerika, di Inggris 3-5% konsumsi listrik nasional digunakan untuk pengolahan limbah cair. Pompa dan aerasi merupakan proses yang banyak menggunakan energi (21% dan 30-55%) (Alzate-Gaviria 2011). Sementara itu, manajemen limbah saat ini menekankan pada reuse dan recovery energi.
Permasalahan pengolahan limbah cair tersebut dapat diatasi dengan mengggunakan alternatif teknologi MFC. Konversi energi listrik telah diteliti dengan menggunakan perbedaan tipe limbah cair, termasuk limbah cair domestik, pengolahan pangan dan hewan (Cheng dan Logan 2011). Salah satu limbah cair lain yang dapat dimanfaatkan sebagai substrat pada MFC adalah limbah cair perikanan. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri perikanan berasal dari berbagai proses. Secara umum limbah cair industri hasil perikanan mengandung banyak protein dan lemak.
Beberapa tipe MFC telah dikembangkan antara lain MFC dua bejana oleh Oh dan Logan (2006), MFC satu bejana oleh Liu et al. (2005), disain upflow oleh He et al. (2006), dan desain tubular oleh Zuo et al. (2007). Semua sistem tersebut telah diujikan pada skala lab menggunakan konsentrasi substrat yang tinggi serta larutan penyangga yang baik (Cheng dan Logan 2011). Diantara perbedaan tipe MFC yang telah dikembangkan, MFC dengan katoda udara merupakan tipe yang dapat diaplikasikan untuk pengolahan limbah cair karena hasil kekuatan tinggi, struktur sederhana, dan biayanya relatif murah. Penggunaan MFC satu bejana dapat mengurangi biaya peralatan karena ada pengurangan biaya bejana katoda dan membran, sehingga lebih dapat diaplikasikan pada pengolahan limbah cair dan konversi energi (Das dan Mangwani 2010).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari proses pemanfaatan limbah cair perikanan dengan teknologi MFC, serta menganalisis karakteristik limbah cair dan listrik yang dihasilkan dengan MFC satu bejana.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Cair Industri Perikanan
Limbah industri perikanan dapat didefinisikan sebagai apa saja yang tersisa dan terbuang dari suatu kegiatan penangkapan, penanganan, dan pengolahan hasil perikanan. Tipe limbah utama yang ditemukan dari limbah cair pengolahan ikan adalah darah, kotoran, jeroan, sirip, kepala ikan, cangkang, kulit dan sisa daging. Secara umum, tipe limbah cair industri pengolahan ikan dapat dibagi dalam dua kategori yaitu volum banyak-persentase limbah rendah dan volum sedikit-persentase limbah tinggi. Kategori volum banyak-persentase limbah rendah terdiri dari air yang digunakan untuk pembongkaran, transportasi, penanganan ikan dan air pencucian. Proses pada pembuatan tepung ikan menghasilkan jenis limbah kategori volum sedikit-persentase limbah tinggi (Colic et al. 2007).
Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi. Tingkat pencemaran limbah cair industri pengolahan perikanan sangat tergantung pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah (Ibrahim 2005). Terdapat 3 tipe utama aktivitas pengolahan ikan, yaitu industri pengalengan dan pembekuan ikan, industri minyak dan tepung ikan, dan industri pengasinan ikan (Priambodo 2011). Karakteristik limbah cair perikanan dapat dilihat melalui parameter pH, jumlah padatan terlarut, suhu, bau, BOD, COD, dan konsentrasi nitrogen serta fosfor (FAO 1996).
Limbah cair industri pengolahan ikan memiliki karakteristik jumlah bahan organik terlarut dan tersuspensi yang tinggi jika dilihat dari nilai BOD dan COD. Lemak dan minyak juga ditemukan dalam jumlah yang tinggi. Terkadang padatan tersuspensi dan nutrien seperti nitrogen dan fosfor juga ditemukan dalam jumlah tinggi. Limbah cair industri pengolahan ikan juga mengandung sodium klorida dalam konsentrasi tinggi dari proses pembongkaran kapal, air pengolahan, dan larutan asin (Colic et al. 2007). Secara umum karakteristik limbah cair industri pengolahan ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik limbah cair perikanan Parameter Satuan Industri
pengalengan dan pembekuan ikan Industri minyak ikan dan tepung ikan Industri pengasinan ikan Amonia mg/L 37 1,659 101 BOD mg/L 35 204 127 COD mg/L 34 196 360 Lemak dan minyak mg/L 1,401 12,750 1,305 Sumber: Priambodo (2011)
Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Baku mutu limbah cair industri pengolahan perikanan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Baku mutu air limbah bagi usaha/kegiatan pengolahan perikanan Parameter Satuan Kegiatan
Pembekuan Kegiatan Pengalengan Pembuatan Tepung Ikan pH - 6-9 TSS mg/L 100 100 100 Sulfida mg/L - 1 1 Amonia mg/L 10 5 5 Klor bebas mg/L 1 1 - BOD mg/L 100 75 100 COD mg/L 200 150 300 Minyak-lemak mg/L 15 15 15
Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007)
Pengolahan limbah cair yang pertama dilakukan adalah penyaringan (screening), sedimentasi (sedimentation), pemisahan lemak dan minyak, dan pengapungan (flotation). Pengolahan limbah cair pada tahap pertama ini dilakukan untuk padatan yang mengapung dan mengendap. Penyaringan dapat menghilangkan padatan berukuran besar (lebih besar 0,7 mm). Sedimentasi dilakukan untuk menghilangkan padatan tersuspensi yang ada pada limbah cair. Limbah cair perikanan mengandung jumlah minyak dan lemak yang berbeda.
Gravity separation dapat dilakukan untuk menghilangkan minyak dan lemak yang
limbah cair untuk menghilangkan minyak, lemak dan padatan tersuspensi. Sistem pengapungan merupakan sistem pengolahan limbah yang efektif karena dapat juga menghilangkan minyak dan lemak (FAO 1996).
Tahap kedua pengolahan limbah cair adalah proses biologi dan kimia yang betujuan untuk menghilangkan material organik yang terdapat pada limbah cair. Tujuan pengolahan limbah cair secara biologi adalah untuk menghilangkan padatan yang tidak mengendap dan bahan organik terlarut dengan mikroba. Mikroorganisme bertanggung jawab mendegradasi bahan organik dan menstabilkan limbah organik. Pengolahan limbah cair secara biologi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pengolahan limbah secara aerobik dan anaerobik. Proses pengolahan secara aerobik terdiri dari sistem lumpur aktif,
aerated lagoons, aerasi, trickling filters, rotating biological contractors, dan
pilihan pengolahan aerobik. Proses pengolahan secara anaerobik terdiri dari
digestion system dan imhoff tanks. Pengolahan limbah cair dapat juga dilakukan
secara fisikokimia, antara lain coagulation-floculation dan disinfection yang terdiri dari klorinasi dan ozonasi (FAO 1996).
2.2 Microbial Fuel Cell (MFC)
Microbial fuel cells merupakan salah satu tipe biofuel cells. Beberapa tipe biofuel cells yang ada antara lain microbial fuel cells dan enzymatic fuel cells
(Kim et al. 2002). Microbial fuel cells (MFCs) merupakan sistem atau alat yang menggunakan bakteri sebagai katalis untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik. Elektron diproduksi oleh bakteri dari substrat yang kemudian ditransfer ke anoda (kutub negatif) dan dialirkan ke katoda (kutub positif) yang disambungkan oleh perangkat konduktivitas termasuk resistor, atau dioperasikan dibawah muatan untuk menghasilkan listrik yang dapat menjalankan alat. Aliran positif pengukur arus mengalir dari kutub positif ke negatif, arah yang berlawanan dengan aliran elektron (Logan et al. 2006).
Prinsip kerja sistem MFC adalah bakteri pada bejana anoda mentransfer elektron dari donor elektron ke elektroda anoda (Logan et al. 2006). Bakteri yang hidup pada bejana anoda mengkonversi substrat seperti glukosa, asetat dan juga limbah cair menjadi CO2, proton dan elektron. Bejana anoda berada dalam kondisi
anaerobik dan bakteri harus mengubah penerima elektron alaminya menjadi penerima elektron insoluble seperti anoda (Microbialfuelcell 2008). Penerimaan elektron ke anoda berlangsung melalui kontak langsung, kabel-kabel nano (nanowires) atau pengangkut elektron yang dapat larut. Selama produksi elektron, proton juga diproduksi dalam jumlah banyak. Proton ini bermigrasi melalui cation
exchange membrane (CEM) ke bejana katoda. Elektron mengalir dari anoda
melalui hambatan luar ke katoda tempat bereaksinya penerima elektron (oksigen) dengan proton (Logan et al. 2006). Gambar 1 menunjukan prinsip kerja dari sistem MFC.
Reaksi yang terjadi pada sistem MFC dengan contoh substrat asetat adalah sebagai berikut:
reaksi pada anoda : CH3COO- + 2H2O 2CO2 + 7H+ + 8e -reaksi pada katoda : O2 + 4e- + 4H+ 2H2O
Keseluruhan reaksi yang terjadi merupakan degradasi substrat menjadi karbondioksida, air dan pada saat yang bersamaan dihasilkan listrik sebagai hasil samping. Berdasarkan reaksi pada elektroda, bioreaktor MFC dapat menghasilkan
listrik dari aliran elektron di anoda ke katoda melalui rangkaian eksternal (Du et al. 2007).
Gambar 1 Prinsip kerja MFC (Logan et al. 2006).
Sistem MFC harus mempunyai substrat yang dapat dioksidasi di bagian anoda. Elektron dapat ditransfer ke anoda oleh mediator elektron, membran yang terhubung langsung dengan transfer elektron, atau dengan nanowires yang
dihasilkan oleh bakteri (Logan et al. 2006). Pada sistem MFC, substrat merupakan faktor penting dalam efisiensi produksi listrik. MFC dapat dioperasikan pada suhu ruang dan dapat didesain untuk keperluan pada suhu mikroba dapat hidup. MFC dapat mengekstrak hampir 90% elektron dari komponen organik dan dapat berkelanjutan sendiri serta terbarukan saat terjadi kepadatan mikroorganisme yang menghasilkan energi melalui transfer elektron ke elektroda (Lovley 2006).
Banyak mikroorganisme memiliki kemampuan untuk mentransfer elektron dari hasil metabolisme bahan organik ke anoda. Sedimen laut, tanah, limbah cair, sedimen air tawar, dan lumpur aktif merupakan sumber bahan organik untuk mikroorganisme. Tabel 3 menampilkan jenis mikrooganisme dengan substratnya pada sistem MFC.
Tabel 3 Mikroorganisme pada sistem MFC
Mikroba Substrat
Actinobacillus succinogenes, Alcaligenes faecalis, Enterococcus gallinarum, Pseudomonas aeruginosa, Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum, Erwinia dissolven, Gluconobacter oxydans, Klebsiella pneumoniae, Lactobacillus plantarum, Proteus mirabilis, Pseudomonas aeruginosa, Rhodoferax ferrireducens, Shewanella
putrefaciens, Streptococcus lactis
Glukosa
Aeromonas hydrophila, Geobacter metallireducens, Geobacter sulfurreducens, Shewanella putrefaciens
Asetat
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum Tepung kanji
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum, Shewanella oneidensis, Shewanella putrefaciens
Laktat
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum Molasses
Desulfovibrio desulfuricans Sukrosa
Escherichia coli Glukosa sukrosa
Rhodoferax ferrireducens Silosa
Rhodoferax ferrireducens Maltosa
Shewanella putrefaciens Piruvat Sumber: Du et al. (2007)
Sistem MFC dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan termasuk monitoring aktivitas bakteri, penghasil listrik untuk area lokal, dan proses pengolahan limbah cair (Kim et al. 2002). Jumlah kekuatan listrik dari sistem MFC dalam proses pengolahan limbah cair secara potensial dapat membagi listrik yang dibutuhkan dalam proses pengolahan limbah konvensional yang mengonsumsi banyak tenaga listrik untuk proses aerasi lumpur aktif. Molekul
organik seperti asetat, propionat, butirat dapat didegradasi menjadi CO2 dan H2O. Beberapa sistem MFC menggunakan jenis mikroba yang mempunyai kemampuan khusus untuk mengurangi sulfida yang terdapat pada limbah cair. Pada beberapa kasus, MFC dapat mengurangi COD hingga 80%. Limbah rumah tangga dan limbah cair pengolahan makanan merupakan sumber biomassa yang baik untuk MFC karena memiliki bahan organik yang tinggi (Du et al. 2007).
2.3 Microbial Fuel Cell Satu Bejana
Desain MFC yang sederhana dan efisien adalah MFC tanpa bejana katoda dan menempatkan katoda langsung dengan permukaan proton exchange
membrane (PEM). Desain ini mengurangi penggunaan aerasi air karena oksigen
di udara dapat langsung ditransfer ke katoda. Desain pertama yang dibuat pada skala laboratorium digunakan untuk menghasilkan listrik dari limbah cair, katoda ditempatkan di bagian tengah silinder, sehingga kamar anoda membentuk silinder mengelilingi katoda. Membran nafion direkatkan dengan katoda dan membran
nafion tersebut berkontak langsung dengan larutan di dalam bejana anoda. Tipe
kedua desain MFC satu bejana adalah tabung tunggal dengan dua elektroda berbentuk bulat ditempatkan bersebrangan di ujung tabung. Elektroda anoda ditutup untuk mencegah difusi oksigen ke kamar anoda, sementara itu satu sisi katoda terbuka ke udara dan sisi satunya menempel dengan PEM dan berada pada bagian bejana anoda yang berisi larutan (Logan 2005). Sistem kerja MFC satu bejana ditampilkan pada Gambar 2.
PEM digunakan pada sistem MFC karena PEM sudah digunakan dalam hidrogen fuel cells. Saat air digunakan di dalam bejana anoda, PEM menjadi tidak berguna karena air akan mengahantarkan proton ke katoda. PEM dapat lebih efisien sebagai pembawa proton dibandingkan air, namun daya tahan internal sistem akan dibatasi oleh difusi proton di dalam air, bukan di dalam PEM. Oleh karena itu, pada beberapa studi PEM dihilangkan untuk meningkatkan tenaga yang dihasilkan oleh MFC (Logan 2005). Sistem MFC satu bejana, sistem dengan aliran yang berkelanjutan, dan tanpa membran merupakan sistem yang baik untuk pengolahan limbah cair karena dapat dikembangkan untuk skala besar (Du et al. 2007).
3 METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai Agustus 2012 bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Laboratorium Bagian Industri Hasil Perairan, Laboratorium Preservasi dan Diversifikasi Hasil Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Lingkungan Perairan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain lumpur aktif, limbah ikan berupa kulit dan sisa daging, akuades, K2Cr2O7 0,025 N, H2SO4 pekat, indikator ferroin, ferrous ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N, NaOH pekat, asam borat (H3BO3) 4%, indikator bromcherosol green dan methyl red,
HCl, asam hypochlorous, reagen phenate, dan kertas saring Whatman 42. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, kaca acrylic, elektroda
karbon grafit berbentuk batang, kabel, multimeter digital tipe DT 830B, timbangan digital (Tanita KD 160), Kjeldahl (Labentech), botol Erlenmeyer, buret, pipet, botol DO, DO meter (Lutron DO5510), aerator, spektrofotometer (Optima SP-300), oven (Yamato Drying Oven DV 41), tanur (Yamato Muffle Furnace FM 38), cawan porselen, kompor listrik dan desikator.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap. Tahap pertama yaitu persiapan MFC satu bejana mengacu pada Moqsud dan Omine (2010) dengan memodifikasi letak elektroda, tahap kedua adalah pembuatan limbah cair buatan (Ibrahim 2007) dan tahap terakhir adalah pengukuran listrik dari MFC satu bejana mengacu pada Suyanto et al. (2010) serta analisis kualitas limbah cair yang terdiri dari analisis BOD, COD, total nitrogen, nitrogen-amonia, mixed liquor suspended solids (MLSS), dan mixed liquor volatile suspended solids (MLVSS). Alur tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian.
3.3.1 Persiapan alat MFC satu bejana
Desain sistem MFC yang digunakan adalah MFC satu bejana mengacu pada Moqsud dan Omine (2010) dengan memodifikasi letak elektroda. Bejana yang digunakan terbuat dari bahan acrylic dengan dimensi 10x7x10 cm. Volume limbah cair yang digunakan adalah 600 ml. Elektroda yang digunakan adalah karbon grafit berbentuk batang dengan ukuran 7x1x1 cm. Sistem MFC yang digunakan merupakan sistem MFC satu bejana tanpa membran mengacu pada penelitian Liu dan Logan (2004). Desain MFC satu bejana tanpa membran yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah penambahan lumpur aktif ke dalam bejana yang berisi limbah cair perikanan dengan perbandingan antara lumpur aktif dan limbah cair yaitu 1:10 mengacu pada Patil et al. (2009). Jumlah MFC yang dibuat sebanyak 6 buah untuk 3 kali ulangan.
Persiapan bahan dan alat penelitian
Persiapan alat MFC satu bejana
Pembuatan limbah cair buatan
Penempatan limbah cair buatan ke dalam alat MFC satu bejana
Pengukuran listrik selama 5 hari (120 jam)
Pengukuran beban limbah cair (Total nitrogen, nitrogen-amonia, BOD, COD, MLSS dan MLVSS)
hari ke-0, ke-3 dan ke-6
Karakterisasi limbah cair perikanan buatan (Total nitrogen, nitrogen-amonia,
Gambar 4 Desain MFC satu bejana. 3.3.2 Pembuatan limbah cair buatan
Limbah cair buatan dibuat menggunakan sisa hasil pengolahan ikan (isi perut, kulit, dan daging). Pembuatan limbah cair dilakukan menurut cara Ibrahim (2007) yakni: limbah potongan daging dan kulit ikan yang diperoleh dicincang, selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit dengan rasio berat ikan (kg) dan volume air (liter) adalah 1:5. Air rebusan disaring untuk memisahkannya dari padatan dan ampas ikan. Setelah air rebusan yang disaring menjadi dingin, siap digunakan untuk percobaan. Kemudian dilakukan analisis karakteristik limbah cair buatan meliputi BOD, COD, total nitrogen, dan nitrogen-amonia. 3.3.3 Pengukuran listrik dan beban limbah cair.
Masing-masing elektroda dihubungkan dengan kabel lalu bejana ditutup rapat. Kedua kabel dihubungkan oleh multimeter. Multimeter diatur untuk pengukuran tegangan listrik pada skala terkecil terlebih dahulu kemudian nilai tegangan yang tertera pada layar multimeter diamati setiap jam selama 5 hari (Suyanto et al. 2010). Pada hari ke 0 (awal), 3 (tengah), dan 6 (akhir) dilakukan analisis beban limbah cair yang terdiri dari analisis BOD, COD, total nitrogen, dan nitrogen-amonia. Khusus untuk perlakuan penambahan lumpur aktif dilakukan juga analisis MLSS dan MLVSS. Setiap analisis dilakukan 3 kali ulangan.
3.4 Prosedur Analisis
Analisis beban limbah yang dilakukan pada penelitian yaitu chemical
oxygen demand (COD), biological oxygen demand (BOD), total nitrogen,
nitrogen-amonia, mixed liquor suspended solids (MLSS), dan mixed liquor
volatile suspended solids (MLVSS).
3.4.1 COD (Chemical Oxygen Demand) (American Public Health Association (APHA) 1975)
Prosedur penentuan parameter COD adalah sampel sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 0,025 N. Selanjutnya ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 7,5 mL dan didiamkan selama kurang lebih 15 menit di dalam ruang asam. Setelah itu ditambahkan 3 tetes indikator ferroin dan dititrasi dengan menggunakan larutan ferrous ammonium
sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N. Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari hijau terang menjadi merah terang. Selain itu dilakukan juga titrasi terhadap blanko. Penentuan COD dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan: B= Volume titrasi balnko (mL) S= Volume tittasi sampel (mL) N= Normalitas Fe(NH4)2(SO4)2
V= Volume sampel yang digunakan (mL) 3.4.2 BOD (Biological Oxygen Demand) (APHA 1975)
Sampel diambil sebanyak 10 mL kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diencerkan menggunakan akuades dengan faktor pengenceran 15 dan 20 kali. Setelah itu sampel tersebut diaerasi selama 10 menit. Setelah 10 menit, pisahkan sampel pada dua botol BOD, satu untuk inkubasi dan botol lainnya untuk mengukur DO pada larutan sampel. Sampel yang diinkubasi menggunakan botol BOD tidak boleh terdapat gelembung udara dalam botol BOD tersebut. Sampel kemudian diinkubasi selama lima hari di tempat gelap pada suhu 20 C. Setelah lima hari dilakukan pengukuran DO pada sampel yang telah diinkubasi. Nilai BOD dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: D1= Nilai DO sampel sebelum inkubasi D2= Nilai DO sampel setelah inkubasi P = Volume pengenceran
3.4.3 Total nitrogen (Association of Official Analitycal of Chemist (AOAC) 2005) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis total nitrogen dengan metode Kjeldahl terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel dipipet sebanyak 10 mL kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl, lalu ditambahkan setengah butir kjeltab dan 10 mL H2SO4 pekat secara perlahan ke dalam tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 C selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening, kemudian didinginkan. Selanjutnya sampel dari tabung kjeldahl dipindahkan ke labu takar 100 mL untuk dilakukan pengenceran dengan akuades. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 mL NaOH 40% lalu dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 125 mL yang berisi 10 mL asam borat (H3BO3) 4%. Destilasi dilakukan sampai larutan asam borat yang berwarna merah menjadi warna biru dalam waktu ±15 menit. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Perhitungan total nitrogen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: A = Volume titrasi sampel (mL) B = Volume titrasi blanko (mL) C = mL contoh
Fp = Faktor pengenceran
3.4.4 Kadar N-NH3 (Nitrogen-amonia) (APHA 1975)
Sampel yang telah didestilasi diambil sebanyak 10 mL lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian MnSO4 ditambahkan sebanyak 1 tetes ke dalam
tabung reaksi tersebut. Setelah itu ditambahkan asam hypochlorous sebanyak 0,5 mL dan reagen phenate sebanyak 0,6 mL. Setelah ditambahkan reagen
tersebut dilakukan pengocokkan. Perubahan warna pada larutan sampel akan terjadi karena adanya penambahan reagen tersebut. Perubahan warna ini akan stabil pada larutan sampel setelah 10 menit sejak reagen ditambahkan ke larutan sampel. Larutan blanko dan larutan standar dibuat selama pengukuran ini. Nilai
absorban diukur pada larutan blanko menggunakan spektrofotometer. Atur panjang gelombang spektrofotometer pada 630 nm dan nilai total amonia nitrogen sampel akan keluar pada display alat tersebut.
3.4.5 MLSS (Mixed Liquor Suspended Solids) (APHA 1975)
Mixed Liquor Suspended Solids (MLSS) merupakan jumlah total suspended solid yang berasal dari sistem MFC satu bejana. Total Suspended Solid
(TSS) merupakan jumlah berat kering dalam mg/L lumpur yang ada dalam air limbah setelah mengalami penyaringan (Sugiharto 1987).
Kertas saring Whatman 42 dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 100–105 C dan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kemudian diambil sampel sebanyak 50 mL dengan diaduk terlebih dahulu dan disaring dengan kertas saring Whatman 42 yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah itu kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven pada suhu 100–105 C selama 2 jam. Setelah itu kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Konsentrasi MLSS dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
6
Keterangan: A= Berat akhir kertas saring (gr) B= Berat awal kertas saring (gr) V= Volume sampel (mL)
3.4.6 MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solids) (APHA 1975)
Mixed Liquor Volatile Suspended Solids (MLVSS) merupakan MLSS
yang telah dipanaskan pada suhu 600 C sehingga benda volatilnya menguap (Sugiharto 1987). Prosedur penentuan parameter MLVSS adalah cawan porselin yang akan digunakan dikeringkan dalam tanur selama 10 menit pada suhu 550 C dan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kertas saring dari uji MLSS dimasukkan ke dalam cawan porselin dan diletakkan dalam tanur selama 2 jam pada suhu 550 C. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Bila perlu lakukan pengulangan proses pengeringan untuk mendapatkan berat yang konstan. Konsentrasi MLVSS dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan: C= Berat awal cawan (gr) D= Berat akhir cawan (gr) V= Volume sampel (mL)
3.5 Rancangan Percobaan (Mattjik dan Jaya 2006)
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dalam waktu (RAL
intime) dengan satu faktor, yaitu penambahan sumber mikroorganisme berupa
lumpur aktif. Waktu dianggap sebagai pengamatan berulang sehingga akan terlihat perkembangan respon selama penelitian berjalan. Perlakuan yang dilakukan terdiri dari limbah cair tanpa lumpur aktif dan limbah cair dengan penambahan lumpur aktif. Apabila ada perbedaan nyata antar perlakuan dan waktu pengamatan dilanjutkan dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%. Data diolah dengan software SAS 9.1.3. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah
Yijk = µ + αi + δij + ωk + γjk + αωik + εijk Keterangan:
Yijk = nilai respon faktor A taraf ke-i, ulangan ke-j, waktu pengamatan ke-k µ = rataan umum
αi = pengaruh faktor ke A taraf ke-i δij = komponen acak perlakuan
ωk = pengaruh waktu pengamatan ke-k γjk = komponen acak waktu pengamatan αωik = pengaruh interaksi waktu dengan faktor A
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan
Limbah cair industri pengolahan ikan dapat dikarakterisasi melalui parameter fisikokimia, organik, nitrogen dan kandungan fosfor (Tay et al. 2006). Kontaminan utama yang terdapat pada limbah cair perikanan merupakan campuran berbagai substrat, terutama bahan organik alami. Penelitian ini menggunakan limbah cair perikanan buatan sebagai pengganti limbah cair industri perikanan. Tujuan penggunaan limbah cair buatan adalah agar limbah yang digunakan lebih stabil. Menurut Ibrahim (2007) penggunaan limbah cair buatan bertujuan agar umpan yang akan dimasukkan ke dalam sistem sebagai influen memiliki karakteristik yang lebih stabil dan mudah dikendalikan. Proses pembuatan limbah cair perikanan mengacu pada penelitian Ibrahim (2007), yaitu perbandingan antara daging ikan (kg) dengan air (L) adalah 1:5. Proses perebusan limbah padat dilakukan dalam pembuatan limbah cair buatan yang bertujuan untuk melarutkan kandungan bahan organik yang terdapat pada limbah padat. Tujuan perebusan pada pembuatan limbah cair buatan yaitu mendapatkan kadar nitrogen yang tinggi dalam limbah cair yang dihasilkan (Irma 2008). Karakteristik limbah cair buatan yang dihasilkan ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Karakteristik limbah cair perikanan buatan
Parameter Satuan Limbah cair buatan Limbah cair perikanan*
Total N mg/L 607,32 111
BOD mg/L 537 184
COD mg/L 1062,4 571
Amonia mg/L 3,89 1,7
* Sumber: Ibrahim (2007), limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden
Limbah cair perikanan buatan memiliki jumlah nitrogen yang tinggi. Hal ini dikarenakan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan limbah cair berupa daging ikan yang memiliki kandungan protein tinggi. Tay et al. (2006) meyampaikan bahwa konsentrasi nitrogen dapat tinggi pada limbah cair industri perikanan. Tingkat kandungan nitrogen yang tinggi dikarenakan kandungan protein yang tinggi pada ikan atau invertebrata laut (15-20% berat basah).
Limbah cair perikanan buatan memiliki nilai BOD yang lebih tinggi dibandingkan dengan limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden.
Limbah cair perikanan memiliki nilai BOD yang sangat tinggi disebabkan oleh tingginya komponen organik yang terkandung di dalam limbah cair perikanan. Tay et al. (2006) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen pada limbah cair perikanan dikarenakan dua hal, yaitu komponen karbon yang digunakan sebagai substrat oleh mikroorganisme aerobik dan komponen nitrogen yang secara alami terdapat pada limbah cair perikanan seperti protein, peptida dan amina volatil.
Analisis COD dilakukan dengan metode dikromat. Limbah cair perikanan buatan memiliki nilai COD yang tinggi. Limbah cair dari industri pengolahan ikan memiliki karakteristik nilai COD yang tinggi karena kandungan kompnen organik dan anorganik yang tinggi, sehingga oksigen yang digunakan untuk menguraikan komponen organik tersebut secara kimiawi juga tinggi. Ibrahim et al. (2009) menyatakan bahwa limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi dengan tingkat pencemaran yang berbeda, tergantung pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah. Priambodo (2011) menambahkan bahwa perbedaan proses produksi menghasilkan limbah cair dengan jumlah dan kualitas yang berbeda. Carawan (1991) menyatakan bahwa rata-rata nilai COD dari proses pengalengan ikan tuna antara 1300-3250 mg/L.
Nilai amonia limbah cair perikanan buatan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai amonia limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden. Amonia merupakan hasil penguraian senyawa nitrogen. Nitrogen di dalam limbah cair terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung bahan organik yang didegradasi (Ibrahim 2007). Nilai baku mutu amonia dari limbah cair perikanan antara 5-10 mg/L (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Karakteristik limbah industri pengalengan tuna dan sarden pada Tabel 4 menunjukkan bahwa limbah cair perikanan buatan yang digunakan pada penelitian ini telah memenuhi karakteristik limbah cair industri perikanan, khususnya limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden.
4.2 Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC Satu Bejana
Sistem MFC memiliki kemampuan sebagai bioreaktor untuk mengolah limbah cair. Berbagai macam jenis limbah cair yang mengandung bahan organik dapat dijadikan sebagai substrat pada sistem MFC, salah satunya adalah limbah cair perikanan yang memiliki kandungan bahan organik tinggi. Sistem MFC dapat
607,32ax 607,32ax 573,58ax 607,32ax 607,32ax 573,58ax 150 250 350 450 550 650 0 3 6 R a ta -r a ta To ta l N ( m g /L) Hari
mengolah limbah cair dengan memanfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada susbstrat untuk mendegradasi bahan organik. Sistem MFC juga dapat menghasilkan listrik dengan cara menangkap elektron hasil degradasi bahan organik dengan elektroda. Pengukuran listrik dilakukan selama 5 hari.
Tipe sistem MFC yang digunakan berupa MFC satu bejana dengan perlakuan pemberian lumpur aktif. Penambahan substrat lumpur aktif pada limbah cair perikanan diharapkan mampu meningkatkan degradasi bahan organik dan listrik yang dihasilkan semakin besar. Parameter karakterisitik limbah cair yang dianalisis selama pengolahan di dalam sistem MFC adalah total nitrogen, BOD, COD, nitrogen-amonia, MLSS dan MLVSS. Analisis MLSS dan MLVSS hanya dilakukan pada sistem MFC dengan perlakuan pemberian lumpur aktif. Sebelum dimasukkan ke dalam sistem MFC, lumpur aktif terlebih dahulu diaklimatisasi dengan limbah cair buatan yang akan digunakan.
4.2.1 Total nitrogen
Total nitrogen menunjukkan jumlah total nitrogen organik yang terdapat dalam limbah cair. Nitrogen di dalam air limbah terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang berlangsung. Total nitrogen organik selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif. Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu pengamatan.
Total nitrogen mengalami penurunan yang sama selama di dalam sistem MFC satu bejana, baik limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif dan limbah cair
dengan pemberian lumpur aktif, yaitu 607,32 mg/L pada hari ke-0 kemudian menjadi 573,58 mg/L pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC satu bejana (P>0,05). Penurunan total nitrogen menunjukkan terjadinya reaksi penguraian senyawa nitrogen organik. Penurunan yang sama antara kedua perlakuan tersebut menunjukkan bahwa limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif dapat menguraikan senyawa nitrogen organik melalui mikroorganisme yang terdapat pada limbah cair tersebut.
Bakteri yang terdapat pada lumpur aktif diduga masih beradaptasi dengan substrat yang ada, sehingga proses penguraian senyawa nitrogen masih berjalan sama dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif selama selama 6 hari. Ibrahim et al. (2005) menyatakan bahwa mikroorganisme dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya dan mencapai fase pertumbuhan logaritmik sampai hari ke-8 dengan menggunakan substrat yang tersedia.
Degradasi limbah cair secara biologis merupakan proses yang berlangsung secara alamiah, namun berjalan lambat. Avnimelech et al. (2001) menyatakan bahwa kecepatan penurunan nitrogen organik sangat kompleks karena hanya sebagian dari nitrogen organik yang berubah menjadi nitrogen anorganik, sementara itu sisanya digunakan untuk memproduksi protein bakteri yang selanjutnya akan menjadi biomassa sel. Nitrogen dalam air limbah pada umumnya terdapat dalam bentuk organik dan oleh bakteri berubah menjadi nitrogen amonia. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (Ginting 2007).
4.2.2 Biological oxygen demand (BOD)
Biological oxygen demand atau BOD merupakan jumlah miligram oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik karbon dalam satu liter air selama lima hari pada suhu 20 C±1 C (BSN 2009). Hasil pengukuran BOD limbah cair selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 6.
496ax 450ax 428ax 475ax 436ax 407ax 0 100 200 300 400 500 0 3 6 Ra ta -ra ta B O D (m g /L ) Hari
Gambar 6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh
perbedaan nyata antar waktu pengamatan.
Nilai BOD limbah cair selama 6 hari mengalami penurunan. Perlakuan pemberian lumpur aktif pada limbah cair mengalami penurunan yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif. Perlakuan penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan BOD (P>0,05). Penurunan nilai BOD tersebut menunjukkan terjadinya proses penguraian senyawa organik. Semakin besar jumlah bahan organik yang diuraikan semakin banyak oksigen yang digunakan, karena oksigen tersebut digunakan untuk penguraian senyawa organik.
Penurunan nilai BOD selama 6 hari yang tidak terlalu signifikan dari kedua perlakuan menandakan bahwa mikroorganisme di dalam sistem MFC tidak menguraikan bahan organik dengan maksimal. Hal ini dapat disebabkan kurangnya oksigen di dalam bejana anoda yang tidak diberi aerasi atau dikondisikan untuk kondisi anaerobik. Sulihingtyas et al. (2010) menyatakan bahwa kerja aerasi yang kurang maksimal menyebabkan persediaan oksigen terlarut di dalam sistem tidak mencukupi bagi mikroorganisme untuk mengoksidasi bahan organik. Selain itu, mikroorganisme di dalam sistem MFC dengan penambahan lumpur aktif yang diduga masih beradaptasi menggunakan oksigen tersebut untuk proses adaptasi.
Nilai BOD yang ditampilkan merupakan nilai BOD5. Nilai BOD5 hanya merupakan indeks jumlah bahan organik yang dapat dipecah secara biologik bukan ukuran sebenarnya dari limbah organik (Jenie dan Rahayu 1993). Oksidasi
992ax 848ay 816ay 901bx 805by 781by 0 200 400 600 800 1000 1200 0 3 6 Ra ta -ra ta CO D (m g /L ) Hari
berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu yang tak terbatas. Oksidasi organik karbon akan mencapai 60-70% dalam waktu 5 hari (BOD5) dan dalam waktu 20 hari akan mencapai 95% (Siregar 2005). Oksidasi yang berjalan lambat ini juga mengakibatkan penurunan nilai BOD yang tidak signifikan.
Nilai BOD yang dihasilkan menunjukkan bahan organik atau beban limbah cair selama di dalam sistem MFC masih cukup tinggi. Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2007 menetapkan nilai baku mutu BOD limbah cair industri pengolahan ikan khususnya pengalengan yaitu 75 mg/L. Nilai BOD diduga masih dapat menurun seiring dengan penambahan waktu inkubasi di dalam sistem MFC dan penambahan konsentrasi lumpur aktif untuk mempercepat proses penguraian bahan organik.
4.2.3 Chemical oxygen demand (COD)
Pengukuran COD menekankan kebutuhan oksigen secara kimia dimana senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dapat dipecah secara biokimia (Ginting 2007). Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh
perbedaan nyata antar waktu pengamatan.
Nilai COD limbah cair mengalami penurunan selama di dalam sistem MFC satu bejana. Perlakuan pemberian lumpur aktif ke dalam sistem MFC satu bejana memberikan pengaruh berbeda terhadap penurunan nilai COD (P<0,05) dan terjadi penurunan nilai COD yang nyata antara hari ke-0 dengan hari ke-3 dan ke-6 dari kedua perlakuan. Nilai COD limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif
pada hari ke-0 yaitu 992 mg/L dan pada hari ke-6 menjadi 816 mg/L. Penurunan nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif mengalami penurunan yang lebih besar, yaitu 901 mg/L pada hari ke-0 menjadi 781 mg/L pada hari ke-6. Penurunan nilai COD tersebut menunjukkan adanya degradasi senyawa organik dan anorganik. Penurunan nilai COD limbah cair diikuti dengan penurunan senyawa karbon di dalam air limbah.
Penurunan nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif lebih besar dibandingkan limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif, hal ini diduga penambahan lumpur aktif akan meningkatkan jumlah mikroorganisme yang terdapat di dalam limbah cair, sehingga semakin banyak mikroorganisme maka proses degradasi senyawa organik dan anorganik akan semakin cepat dan oksigen yang dibutuhkan untuk penguraian senyawa semakin banyak. Oksigen memegang peranan penting dalam sistem penanganan biologik karena jika oksigen bertindak sebagai aseptor hidrogen terakhir, mikroorgannisme akan memperoleh energi maksimum (Jenie dan Rahayu 1993), sehingga semakin banyak mikroorganisme dan senyawa organik yang diuraikan maka oksigen yang dibutuhkan juga meningkat. Hal tersebut mengakibatkan nilai COD di dalam limbah cair semakin menurun.
Nilai COD hari pertama yang berbeda nyata dengan hari ke-3 dan ke-6 menandakan mikroorganisme masih aktif mendegradasi senyawa organik dan anorganik karena media kontak antara mikroorganisme dan limbah cair masih besar, kemudian terjadi penurunan pada hari ke-3 dan cenderung stabil sampai hari ke-6. Pohan (2008) menyatakan bahwa reduksi COD setelah 3 hari akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh mikroba yang mulai saling bertumpuk sedemikian rupa sehingga menghambat kontak antar mikroba dengan limbah cair, dengan demikian persentase penurunan COD menjadi relatif konstan karena jumlah bakteri yang mati dan yang tumbuh mulai berimbang dan tercapai kestabilan.
Nilai baku mutu COD limbah cair indusutri pengalengan ikan yaitu 150 mg/L (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan
bahwa nilai COD limbah cair selama di dalam sistem MFC masih tinggi. Nilai COD yang tinggi menunjukkan bahwa masih tingginya bahan organik dan
4,18ax 1,55ay 0,40az 3,37ax 1,10ay 0,14az 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 0 3 6 Ra ta -ra ta a m o nia ( m g /L ) Hari
anorganik yang terdapat di dalam limbah cair. Nilai COD lebih tinggi dibandingkan dengan nilai BOD. Perbedaan nilai ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap kimia, sepertli lignin, bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD5 seperti selulosa, lemak berantai panjang dan sel-sel mikroba, dan adanya bahan toksik dalam
limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak mengganggu uji COD (Jenie dan Rahayu 1993).
4.2.4 Nitrogen-amonia
Amonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4 pada pH rendah. Amonia dalam air sering terbentuk karena adanya proses kimia secara alami. Hasil pengukuran amonia limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Nitrogen-amonia limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif. Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu pengamatan.
Amonia limbah cair perikanan mengalami penurunan selama 6 hari di dalam sistem MFC satu bejana. Kandungan amonia limbah cair dengan penambahan lumpur aktif mengalami penurunan dari 3,37 mg/L pada hari ke-0 menjadi 0,14 mg/L pada hari ke-6. Kandungan amonia limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif mengalami penurunan dari 4,18 mg/L pada hari ke-0 menjadi 0,40 mg/L pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai nitrogen-amonia
(P>0,05). Amonia merupakan hasil degradasi senyawa nitrogen organik seperti protein. Amonia akan mengalami proses oksidasi menjadi nitrit dan nitrat.
Penurunan kandungan amonia menunjukkan terjadinya degradasi senyawa nitrogen organik dan anorganik limbah cair selama di dalam sistem MFC satu bejana. Degradasi senyawa tersebut menghasilkan energi, bahan seluler baru, karbondioksida dan air. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (Ginting 2007), sehingga kandungan amonia di dalam limbah cair akan menurun. Proses perubahan amonia menjadi nitrit disebut proses nitirifikasi dan melibatkan bakteri yang disebut nitrifier. Penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair diduga meningkatkan jumlah mikroorganisme termasuk bakteri nitrifier tersebut, sehingga terjadi penurunan nilai kandungan amonia, sehingga terjadi penurunan amonia yang lebih besar pada perlakuan penambahan lumpur aktif. Herlambang (2010) menyatakan bahwa flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia menjadi nitrat.
Nilai baku mutu amonia limbah cair indsutri pengalengan ikan yaitu 5 mg/L (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa
nilai amonia limbah cair selama di dalam sistem MFC satu bejana telah sesuai dengan nilai baku mutu yang ditetapkan. Nilai amonia tersebut masih dapat meningkat dikarenakan masih banyak senyawa organik yang belum terurai. Kandungan amonia yang terukur diduga merupakan hasil dari penguraian senyawa nitrogen yang sudah terurai. Poppo et al. (2009) menyatakan bahwa tingginya kandungan amonia pada air limbah disebabkan karena senyawa amonia merupakan produk utama dari penguraian (pembusukan) limbah nitrogen organik. 4.2.5 MLSS dan MLVSS
Mixed Liquor Suspended Solids atau MLSS adalah jumlah total dari
padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di dalamnya mikroorganisme. Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel (Herlambang 2010). Hasil nilai MLSS dan MLVSS pada sistem MFC yang diberi perlakuan pemberian lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.
1827 2600 2867 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 0 3 6 Ra ta -ra ta M L SS ( m g /L ) Hari 1360 2000 2133 0 500 1000 1500 2000 2500 0 3 6 Ra ta -ra ta M L VSS ( m g /L ) Hari
Gambar 9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana.
Gambar 10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana.
Nilai MLSS dan MLVSS limbah cair dengan penambahan lumpur aktif
mengalami peningkatan selama 6 hari. Nilai MLSS pada hari ke-0 yaitu 1827 mg/L kemudian meningkat menjadi 2867 pada hari ke-6. Nilai MLVSS pada
hari ke-0 1360 mg/L kemudian meningkat menjadi 2133 mg/L pada hari ke-6. Hal ini disebabkan terjadi pertumbuhan mikroorganisme atau biomassa di dalam sistem MFC satu bejana.
Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS disebabkan oleh peningkatan biomassa atau mikroorganisme yang terjadi karena proses degradasi senyawa organik. Mikrooragnisme akan memanfaatkan limbah cair sebagai nutrisi sehingga bahan organik tersebut terurai menjadi CO2, air dan sel baru. Ibrahim et
al. (2005) menyatakan bahwa lumpur aktif dapat merubah limbah cair organik
mengakibatkan dalam proses pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif akan terjadi penurunan senyawa organik dan peningkatan biomassa.
Proses sintesis atau peningkatan biomassa berlangsung dengan reaksi sebagai berikut:
COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2
COHNS adalah bahan-bahan organik di dalam limbah cair, sedangkan C5H7NO2 adalah jaringan baru yang diperoleh (Ginting 2007).
Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS selama 6 hari masing-masing hanya 1040 mg/L dan 773 mg/L. Peningkatan yang lambat selama 6 hari ini diduga disebabkan mikroorganisme dari lumpur aktif yang beradaptasi sangat lambat, sehingga proses degradasi juga berjalan lambat. Perbedaan substrat diduga mempengaruhi proses adaptasi tersebut. Lumpur aktif yang digunakan pada penelitian ini berasal dari pengolahan limbah tekstil. Nilai BOD dan COD limbah tekstil masing-masing yaitu 97,50 mg/L dan 428,50 mg/L (Herlambang 2010), lebih rendah dibandingkan nilai BOD dan COD limbah cair yang digunakan pada penelitian ini. Syamsudin et al. (2008) menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme di dalam proses pengolahan dengan lumpur aktif sangat dipengaruhi oleh tersedianya nutrien dan kondisi lingkungan. Proses biodegradasi oleh mikroorganisme aerobik akan berlangsung optimal jika oksigen terlarut dan nutrisi tersedia pada konsentrasi yang sesuai.
Keaktifan lumpur ditentukan oleh konsentrasi MLSS. Nilai MLSS yang baik untuk pengolahan limbah cair yang terdiri dari larutan organik dan endapannya adalah 1000-3000 mg/L dalam berat kering (Ginting 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan lumpur aktif dengan rasio limbah cair dan lumpur aktif 10:1 memiliki nilai MLSS antara 1000-3000 mg/L, sehingga sudah sesuai dengan keaktifan MLSS untuk pengolahan limbah cair. Syamsudin
et al. (2008) menambahkan bahwa pada konsentrasi MLSS 2000 mg/L senyawa
sederhana yang menjadi substrat bagi mikroorganisme dapat terdegradasi secara optimal. Penelitian Sudaryati et al. (2007) menunjukkan bahwa nilai MLVSS antara 1740-2265 mg/L mengandung mikroorganisme serta jumlah mikroorganisme yang cukup baik untuk dijadikan bibit mikroorganisme atau agen oksidator dalam pengolahan limbah secara biologis.
0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 L istr ik li m b ah c air p er ik an an (m V)
Limbah limbah dan lumpur 4.3 Listrik Limbah Cair Perikanan
Listrik yang dihasilkan oleh sistem MFC satu bejana diukur setiap jam selama 5 hari dalam satuan mV. Limbah cair perikanan diinkubasi selama 25 jam sebelum dilakukan pengukuran listrik sesuai penelitian Kubota et al. (2010) untuk mengadaptasikan mikroorganisme yang ada di dalam limbah cair dan lumpur aktif dengan sistem MFC, sehingga proses degradasi bahan organik berjalan dengan
baik. Hasil pengukuran listrik limbah cair perikanan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Nilai listrik limbah cair perikanan.
Pada jam ke-0 rata-rata nilai listrik dari sistem MFC satu bejana tanpa lumpur aktif 3,8 mV, sedangkan nilai listrik dari sistem MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif 16,8 mV. Perbedaan nilai listrik pada awal pengukuran diduga disebabkan oleh jumlah elektron bebas yang ditangkap oleh anoda lebih banyak pada MFC dengan penambahan lumpur aktif. Inkubasi selama 25 jam dapat meningkatkan jumlah elektron karena terjadi proses degradasi senyawa organik. Hal ini terlihat dari penurunan nilai COD dan BOD dari limbah cair sebelum diinkubasi dan setelah diinkubasi. Penambahan lumpur aktif mempercepat proses tersebut, sehingga akan meningkatkan jumlah elektron yang dihasilkan dari proses degradasi senyawa organik. Riyanto et al. (2011) menyatakan bahwa tingginya arus listrik yang dihasilkan pada hari pertama disebabkan adanya akumulasi elektron yang telah ada pada substrat.
Sistem MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif memiliki nilai listrik yang lebih tinggi dibandingkan nilai listrik MFC tanpa lumpur dari awal
pengamatan hingga jam ke-40. Nilai listrik dari MFC dengan penambahan lumpur aktif yang lebih tinggi pada beberapa jam awal pengamatan diduga disebabkan jumlah mikroorganisme yang melekat pada anoda MFC dengan penambahan lumpur aktif lebih banyak dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Kim et al. (2002) menyatakan bahwa listrik yang dihasilkan dari sistem MFC dipengaruhi oleh konsentrasi sel bakteri pada area permukaan elektroda. Patil et al. (2009) menambahkan bahwa pembentukkan biofilm membutuhkan waktu yang lebih sedikit dibandingkan untuk meningkatkan voltase.
Nilai listrik dari kedua perlakuan mengalami fluktuasi namun cenderung meningkat sejak jam ke-40. Fluktuasi nilai listrik ini dipengaruhi oleh metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bejana anoda. Metabolisme mikroorganisme dengan memanfaatkan senyawa organik dari limbah cair akan menghasilkan elektron. Peningkatan atau penurunan nilai listrik diduga sesuai dengan jumlah elektron bebas yang dihasilkan oleh bakteri. Suyanto et al. (2010) menyatakan bahwa produk biodegradasi senyawa organik oleh bakteri tertentu dapat menjadi substrat bagi jenis bakteri lain. Hal ini menyebabkan produk tidak dapat dioksidasi untuk menghasilkan elektron bebas dan ion H+ dengan optimum sehingga elektron yang mengalir dari anoda ke katoda berkurang dan mengakibatkan fluktuasi listrik.
Peningkatan nilai listrik terjadi setelah jam ke-40 sampai jam ke-120, namun nilai listrik MFC dengan panambahan lumpur aktif lebih rendah dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Hal ini diduga disebabkan karena mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif belum mendegradasi senyawa organik secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai MLSS dan MLVSS yang tidak terlalu signifikan sampai hari terakhir pengamatan. Nilai total nitrogen, BOD dan COD yang tinggi juga menunjukkan bahwa kandungan senyawa organik di dalam limbah cair masih tinggi. Penurunan nilai total nitrogen, BOD dan COD yang tidak signifikan dengan penambahan lumpur aktif juga menunjukkan bahwa proses degradasi senyawa organik belum optimal. Hal ini mengakibatkan jumlah proton dan elektron bebas tidak banyak ditangkap oleh elektroda. Sitorus (2010) juga