Bab IV
Analisa Prarancangan
IV.1 Analisa Pasar
Banyak di antara kasus-kasus praktik TOD dalam merespon anemo pasar. Contoh dari kasus ini adalahBlock 17 Chicago. Oleh karena itu analisa pasar dalam perancangan dan perencanaan TOD merupakan langkah yang sangat penting. Analisa ini dilakukan terhadap kondisi sosio ekonomi, tren perkantoran, tren apartemen, hotel dan retail.
IV.1.1 Tinjauan Sosio Ekonomi
Berdasarkan survey persepsi pasar oleh Tim Statistik sektor riil Bank Indonesia diperoleh data sebagai berikut (lihat Tabel IV.1 dan IV. 2):
(1) Suku bunga bank 9.25%, Nilai IRR > 9.25% (suku bunga bank), NPV > 0,
Payback period < 7 tahun
(2) Perkiraan inflasi yang lebih rendah, surplus transaksi berjalan yang meningkat, dan pertumbuhan impor yang melambat mendorong ekspektasi membaiknya kondisi ekonomi makro Indonesia pada triwulan I -2007 dan 2007 secara keseluruhan
(3) 2007 diperkirakan merupakan saat yang tepat untuk melakukan investasi di Indonesia
Tabel IV.1. Perkembangan Perkiraan Beberapa Indikator Ekonomi Triwulanan
Tabel IV.2 Perkembangan Indikator Ekonomi 2004-2006 & Perkiraan 2007
sumber: website Bank Indonesia
IV.1.2 Tren Properti
Pada analisa ini digunakan asumsi bahwa pembangunan kawasan akan selesai sebelum tahun 2010 dengan tren properti sesuai quartal ke tiga tahun 2006. Pemilihan jenis fungsi didasarkan pada analisa trend properti sebagai berikut:
(1) Perkantoran
Tingkat sewa bruto terus mengalami kenaikan dari 5 % menjadi 8%. Begitu juga tingkat penyewaan dasar (base rents) hingga kebutuhan terpenuhi setelah proyek-proyek dirampungkan. (lihat Gambar IV.1 dan IV.2)
Gambar IV.1 Tingkat Hunian, dan Ketersediaan Perkantoran. Sumber: Jakarta Property Trends 3rd Q, PWC
Gambar IV.2 Titik Sebaran Perkantoran.Sumber: hasil analisa pribadi
(2) Apartemen
Jumlah suplai baru unit strata title akan menguji investasi bagi unit jual. Tingkat hunian strata title secara keseluruhan tetap berada pada tingkat relatif rendah dibandingkan dengan unit-unit yang dijual (lihat Gambar IV.3 dan IV.4).
Gambar IV. 3 Tingkat Hunian & Ketersediaan Apartemen. Sumber: Jakarta Property Trends 3rd Q, PWC
Gambar IV.4 Sebaran Apartemen. Sumber: hasil analisa pribadi
(3) Hotel
Tren hotel tetap bervariasi, namun kesemuanya tetap berada pada level di bawah pra krisis 1997. performa hotel akan membaik hingga tingkat dimana sektor bisnis membaik, sebagaimana sektor perhotelan bergantung tinggi pada perjalanan bisnis (lihat Gambar IV.5 dan IV.6).
Gambar IV.5 Tingkat Hunian, dan Ketersediaan Hotel. Sumber: Jakarta Property Trends 3rd Q, PWC
Gambar IV. 6 Tingkat Sebaran Hotel. Sumber: hasil analisa pribadi
(4) Retail
terdapat peningkatan jumlah pembangunan pusat perdagangan yang siap dijual ke pasar dibandingkan dominansi unit retail strata title belakangan ini. Jenis kiosk sewa akan berada di bawah tekanan seiring suplai baru memasuki pasar (lihat Gambar IV.7 dan IV.8).
Gambar IV.7 Tingkat Hunian, dan Ketersediaan Retail. Sumber: Jakarta Property Trends 3rd Q, PWC
Gambar IV.8 Sebaran Apartemen. Sumber: analisa pribadi
Dengan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa fungsi yang memiliki prospek yang baik adalah (lihat tabel IV.3):
(1) Ritel Jual, dengan tingkat penjualan dan suplai tetap dan harga jual naik (2) Perkantoran jual, dengan tingkat hunian meningkat dan tariff sewa serta suplai
tetap
(3) Apartemen jual, dengan tinkat hunian meningkat dan harga jual serta suplai tetap
Tabel IV.3 Kesimpulan Tren Properti
Trends (m-t-m)
Ritel Sewa Tingkat hunian menurun sementara tarif sewa
dan stok stabil 0.01%
96.86% - 304,847
Ritel Jual (Strata-title)
Tingkat penjualan dan stok tetap, harga jual naik
95.32% 1.716
ribu m2 0.19% 48,032,496
Sewa Tingkat hunian meningkat, tarif sewa
dan stok stabil 1.05%
91.17% 3.946 ribu m2 123.535 /bulan Jual (Strata-titled) Tingkat penjualan menurun, harga jual dan
stok tetap 0.61%
90.57% - 11.285 ribu
Sewa Tingkat hunian menurun sementara tarif sewa
dan stok stabil 1.60%
84.62% 5.375 unit 129.788 /bulan Jual (Kondominium) Tingkat penjualan meningkat sementara harga jual dan stok stabil
0.62%
97.34% 36.201
unit 7.039 ribu
Tingkat hunian dan tarif sewa mengalami peningkatan sementara stok stabil 62.28% 74.28% 21.599 kamar 0.90% 497.713 /malam
Sumber : Survei Properti Kom ersial, Tim Statistik Sektor Riil BI, 2006
Apartemen
Hotel
Tipologi Tingkat Hunian/Jual Stok/Penyediaan Tarif/Harga (Rp/m2)
Pusat Perbelanjaan
Perkantoran
Sumber: olahan data oleh pasca sarjana Rancang Kota ITB 2006, dari hasil survey properti komersial, Tim Statistik Sektor Riil BI, 2006, di dalam Green Sudhirman
Interchange, RK 2006
IV.1.3 Posisi Kawasan Terhadap Distrik Kompetitor.
Berdasarkan lokasinya, kawasan Dukuh Atas memiliki potensi dan keunggulan yakni sebagai:
(1) Salah satu pemberhentian (titik transit) Jalur Kereta Api Menuju Bandara. Sehingga berada pada jalur dengan fungsi ganda yakni sebagai:
a. jalur komuter
b. jalur antar kota dan internasional
Transit Intermoda bagi 3 sistem moda transportasi dalam pola transportasi Makro, Jalan (Busway), Rel (KRL, MRT, Monorail), dan Air (Waterway) (2) Salah satu kawasan dengan potensi CBD di dalam Kawasan Strategis Segitiga
Emas DKI Jakarta. (Pusat Pertumbuhan Ekonomi Prospektif)
(3) Salah Satu Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru, sebagaimana yang menjadi arahan penataan kawasan Dukuh Atas oleh Bapeko Kotamadya Jakarta Pusat)
Maka, dilakukan analisa penentuan posisi dan kompetensi kawasan terhadap distrik kompetitor sebagai berikut:
Berdasarkan potensi kawasan pada titik pemberhentian jalur kereta Bandar Udara Soekarno-Hatta – Manggarai maka kawasan dukuh atas, maka diprediksikan bahwa kawasan akan menjadi salah satu alternatif destinasi bagi motif perjalanan. ataupun menjadi hub dengan fungsi optimal. Dengan demikian kawasan dapat diperbandingkan kompetensinya terhadap titik-titik transit yang sama dan terhadap pusat-pusat kegiatan di Jakarta. Dibandingkan titik titik transit lain pada jalur KA menuju bandara, titik transit Dukuh Atas memiliki keunggulan dengan dekatnya lokasi dukuh atas dengan kawan pusat pertumbuhan ekonomi prospektif (segitiga emas Jakarta) (lihat Gambar IV.9).
Gambar IV.9 Posisi Titik Transit Dukuh Atas Terhadap Pusat Kegiatan. Sumber: analisa pribadi
(2) Sebagai Salah Satu Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru
Setelah diketahui fungsi utama (kompetensi) kawasan jalur pemberhentian, diperbandingkan fungsi utama 13 kawasan pusat kegiatan untuk menentukan potensi utama dan tingkat pelayanan kawasan. Dengan membandingkan Dukuh Atas dengan pusat-pusat kegiatan baik yang telah beroperasi maupun yang masih dalam proses pembangunan di jakarta yakni Jakarta Kota, Mangga
Dua, Glodok, Tanah Abang, Monas (Gambir), Blok M, Sudhirman CBD, Mega Kuningan, Pondok Indah, Kemang, Senayan, Kuningan Epicentrum, Kelapa Gading, Sentul, JHCC, dan Manggarai, dapat diketahui bahwa Dukuh Atas memiliki keunggulan sebagai titik transit bagi moda transportasi yang lebih banyak dan berpotensi memiliki tingkat pelayanan kawasan berskala internasional (lihat tabel IV.4)
Tabel IV.4 Kesimpulan Posisi Kawasan Terhadap Distrik Kompetitor
Skala Cakupan Pasar Variabel
Kawasan Core Business
International National Kota Segitiga
Emas
Transit Intermoda (jumlah moda)
Jakarta Kota Entertainment (4)
Mangga Dua Trade Center
Glodok Electronic
Tanah Abang Textile (3)
Monas, Gambir Civic & Recreation (3)-bandara
Blok M Shopping Hub
Sudirman CDB Finance & Business
Mg.Kuningan International affair (3)
Pondok Indah High & Residential Kemang High & Lifestyle
Senayan High & Sport (4)
Epicentrum Culture
Kelapa Gading Food Baverage
Sentul Automotive
JHCC Convention
Manggarai Retail dan Hotel (5)-bandara
Dukuh Atas Jakarta’s Culture &
International Affair (9)-bandara
Sumber: hasil analisa
IV.1.4 Kesimpulan analisa pasar
Dengan adanya analisa pasar, diketahui kecenderungan pasar dan kompetensi kawasan Dukuh Atas bersaing dengan kawasan Mega Kuningan dalam skala cakupan pasar dan variabel segitiga emas dan kawasan transit intermoda. Namun kawasan Dukuh Atas memiliki keunggulan dengan dilewati lebih banyak jalur
moda transportasi yang saling bersilangan (9 moda transportasi) maka ditetapkan Dukuh Atas berpotensi untuk dikembangkan menjadi:
(1) Kawasan berskala internasional
(2) Kompetensi pada pusat budaya khas Jakarta berskala internasional
Dengan demikian fungsi-fungsi yang akan dikembangkan berdasarkan prioritas: (1) Pusat Konvensi dan Ekshibisi Budaya
(2) Hotel, berupa hotel transit dengan kelas hotel bintang 4 dan 5 (3) Apartemen berupa apartemen jual atau kondominium
(4) Area komersial berupa retail jual (5) Perkantoran berupa perkantoran sewa
Sehingga, berdasarkan kajian fungsi TOD dan potensi kawasan progam ruang yang akan dikembangkan adalah:
(1) Transit Mall (2) Hotel Transit (3) Pusat konvensi (4) Perkantoran (5) Apartemen jual (6) Soho jual (7) Townhouse jual
(8) Pusat Kebudayaan Jakarta (Jakarta Cultural Center) (9) Retail (Mall)
(10) Minimarket (Convinience retail)
(11) ‘Pak Kumis’ Food and Baverage Street Mall (12) Pasar Ikan Hias Street Mall
(13) Pusat Kecantikan (Health, Spa and Daycare Facilities) (14) Pusat Kebugaran (Fitness Center)
(15) Jalur bisnis kreatif (Creative Strip) (16) Pasar Tradisional Dukuh Atas (17) Penitipan anak (Child care facilities)
(18) Taman Kota (Urban Park) dan Panggung tepi air (Riverfront Stage) (19) Kantor polisi
IV.2 Analisa Tapak
Analisa tapak dilakukan untuk menentukan potensi-potensi pengembangan kawasan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (tabel II.8). Analisa tapak akan dilakukan terhadap empat aspek. Keempat akpek tersebut adalah land use kawasan, perletakan magnet aktifitas, akses visual, dan sirkulasi.
IV.2.1 Land Use Kawasan
Land use eksisting sebagaimana telah di jelaskan dalam bab sebelumnya
didominasi oleh peruntuk perumahan dengan peruntukan Wisma Karya Campuran (WKC) (lihat Gambar IV.10). Sedangkan area komersial didominasi oleh peruntukan Karya Kantor Tunggal, dan Karya Pemerintahan. Maka pada pengembangan selanjutnya arahan pembangunan perumahan adalah perumahan campuran yang dapat berfungsi pula sebagai industri dan komersial.
Gambar IV.10 Land Use Eksisting. Sumber: reproduksi RRTRW Menteng, 2005.
Berdasarkam kriteria TOD berdasarkan optimalisasi sirkulasi (lihat tabel II.8), maka terdapat persyaratan ang dapat dipertemukan dengan permasalahan dan potensi kawasan sebagai berikut:
(1) Densitas
Dalam hal densitas terdapat beberapa prinsip dalam TOD yang dapat dipertemukan dengan permasalahan dan potensi kawasan (lihat tabel IV.5).
Tabel IV.5. Indikator Perancangan pada Densitas TOD
Prinsip
Rancangan Indikator Permasalahan dan potensi Kawasan
Densitas urban TOD antara land use komersial: hunian: publik maksimal = 70:20:10 Kepadatan hunian pada Urban TOD sebaiknya minimal 12 unit/acre (30 unit/ha) dan rata-rata 15 unit/acre (37,5 unit/ha) yang harus dihubungkan dengan peraturan setempat
− Dengan luas kawasan pengembangan sebesar 8,7 hektar, maka potensi kepadatan hunian di kawasan ini rata-rata 326,25 unit. Dengan syarat tidak melewati batas KLB kawasan
− Dengan pengembangan superblok maka pengalihan KLB dan intervensi land use diperbolehkan. KDB dan KLB yang digunakan dapat dirata-ratakan.
− Disesuaikan KDB rata-rata 62. KLB rata-rata kawasan (1,5) dapat meningkat berdasarkan peralihan penggunaan moda transportasi dari privat ke publik. Dengan peralihan penggunaan moda maka volume pergerakan lalu lintas yang dibangkitkan pada jalan dapat bertambah menjadi 9412 smp. Dengan mengambil ambang bangkitan 4676 smp, dan menetapkan land use kawasan adalah mixed use dengan dominasi komersial, maka besar KLB yang baru adalah 4.80
Sumber: hasil analisa
(2) Jenis Land Use
Dalam hal jenis land use terdapat beberapa prinsip dalam TOD yang dapat dipertemukan dengan permasalahan dan potensi kawasan (lihat tabel IV.6)
Tabel IV.6. Indikator Perancangan pada Jenis Land use TOD
Prinsip
Perancangan Indikator Permasalahan dan potensi Kawasan
Mempromosikan aktivitas pagi hingga malam hari dan meningkatkan keamanan
mixed use pada setiap area pembangunan dengan jenis fungsi berdasarkan analisa pasar
analisa pasar menyimpulkan adanya mixed use antara
wisma karya campuran, kantor tunggal, & karya pemerintahan berupa mixed use antara fungsi Hotel Transit, Apartemen jual Soho jual Townhouse jual Health, Spa and Daycare Facilities, Retail Jual, Transit Mall, Pusat konvensi, Perkantoran, Jakarta Cultural Center, Convinience retail, ‘Pak Kumis’ Food & Baverage Street Mall, Pasar Ikan Hias Street Mall, Firness Center, Creative Strip, Tradisional Market Dukuh Atas, Child care facilities, Urban Park, Riverfront Stage, &Kantor polisi.
Sumber: hasil analisa
(3) letak dan konfigurasi Land Use
Dalam perletakan dan konfigurasi land use terdapat beberapa prinsip dalam TOD yang dapat dipertemukan dengan permasalahan dan potensi kawasan
(lihat tabel IV.7). Dengan mengacu pada indikator-indikator tersebut dapat ditetapkan letak dan konfigurasi TOD (lihat Gambar IV.2).
Tabel IV.7 Indikator Perancangan pada Letak dan Konfigurasi Land use TOD
Prinsip Perancangan Indikator Permasalahan dan potensi Kawasan
menempatkan fungsi komersial, permukiman, pekerjaan, dan fungsi umum dalam jangkauan berjalan kaki dari fungsi transit Melibatkan orientasi kegiatan berjalan kaki pada daerah komersial, area sekunder, dan area publik lainnya pada jarak10 menit berjalan kaki
− Area komersial pusat berada pada Jangkauan 5 menit berjalan kaki ( 380 m)
− Fungsi publik berada pada jangkauan 5 menit berjalan kaki (380 m)
− Area perumahan berada pada jangkauan 10 menit berjalan kaki. (760 m)
− Area sekunder berada pada jangkauan Jangkauan lebih dari 10 menit berjalan kaki
− Bangunan institusional dan bangunan komunitas lingkungan harus diletakkan di tempat yang mudah dilihat berdekatan dengan perhentian transit.
− Jika ditetapkan standar kecepatan pejalan kaki 76 m/menit (Fruin, 1971), maka jangkauan area komersial pusat dan fungsi publik adalah 380 m. Dari titik-titik transit pada kawasan ditarik radius-radius perjalanan 5 menit (380 m), sehingga diperoleh area konsentrasi dari radius titik transit yang menyebar (Gambar IV.2)
− Jika ditetapkan standar kecepatan pejalan kaki 76 m/menit (Fruin, 1971), maka jangkauan area perumahan adalah 760 m. Dari titik-titik transit pada kawasan ditarik radius-radius perjalanan 10-15 menit (760 m), sehingga diperoleh area konsentrasi dari radius titik transit yang menyebar (Gambar IV.3)
− Area sekunder pada area diluar 760 m atau di seberang jalan arteri.
− Dengan demikian diperoleh area-area konsentrasi dan dapat diketahui potensi pembagian area berdasarkan TOD (Gambar IV.4)
Mengintegrasikan peruntukan secara mutual dan mendukung satu sama lain
konfigurasi landuse sesuai dengan kompetensi kawasan yang ditentukan & potensi yang telah ada berdasarkan analisa pasar & taksonomi intermoda
Dengan demikian diperoleh area-area konsentrasi dan dapat diketahui potensi pembagian area berdasarkan TOD (Gambar IV.4)
Berikut ini adalah diagram yang menunjukkan potensi pembagian area komersial pusat, fungsi publik, dan area perumahan,
Gambar IV.11. Radius Area Komersial Pusat Dan Fungsi Publik Dari Titik
Transit
Gambar IV.12. Radius Area Perumahan Dari Titik Transit. Sumber: analisa pribadi
Gambar IV.13 Potensi Pembagian Area Berdasarkan TOD. Sumber: analisa pribadi
Kesimpulan yang dapat diambil dari analisa tapak pada poin land use adalah sebagai berikut:
(1) konfigurasi pengembangan adaah sebagaimana ditunjukkan pada Gambar IV.4
(2) Pengembangan dilakukan dengan patokan bahwa KDB rata-rata 62, dan KLB rata-rata dengan adanya pengembangan multimoda sebesar 4,8.
(3) Adanya intervensi area fungsi publik untuk fungsi transit melewati hambatan yang menciptakan fragmentasi pada kawasan dengan penggunaan skybridge dan skyplaza pada area berwarna merah dan ungu pada Gambar IV.4
IV.2.2 Perletakan Magnet Aktifitas
Berdasarkan kriteria, prinsip dan indikator pada aktifitas yang telah ditetapkan sebelumnya (tabel II.8), maka akan diketahui permasalahan dan potensi pembentukan magnet aktifitas kawasan seperti yang terdapat pada tabel IV.8 berikut:
Tabel IV.8. Indikator Perancangan Perletakan Pusat Aktifitas TOD
Prinsip Perancangan Indikator Permasalahan dan potensi Kawasan
memberi orientasi yang jelas pada area transit
Magnet aktifitas pada titik terdekat dari titik transit dan titik-titik terjauh pada jalur sirkulasi dan area komersial pusat, sementara toko-toko yang lebih kecil akan berorientasi pada jalur pejalan kaki utama atau plaza
− Kawasan memiliki titik transit yang menyebar yang masing masing mendukung terciptanya pembentukan pusat kegiatan
− Area sebelah timur laut merupakan area konservasi kelas B, sehingga volume dan jenis pengembangan menjadi terbatas
Sumber: hasil analisa
Dengan demikian, diperlukan adanya magnet kegiatan (anchor point) misalnya
anchor store. Untuk memperoleh pusat-pusat kegiatan dan fungsi sebagai elemen
penarik pergerakan area transit dan komersial sebagaimana kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Tabel II.8), dilakukan analisa pada tapak yang berpotensi sebagai core/anchor (lihat Gambar IV.5)
Gambar IV.14 Potensi Magnet Aktifitas pada Kawasan. Sumber: analisa pribadi
Dengan demikian diperlukan 4 magnet aktifitas pada daerah perancangan dan 1 magnet aktifitas pada daerah pengaruh (lihat Gambar IV.2.5). Kelimanya dapat
membangkitkan pergerakan yang aktif di seluruh bagian kawasan. Magnet aktifitas ini dapat pula berperan sebagai tengaran (landmark) melalui intensitas lebih tinggi ataupun atraksi visual alami.
IV.2.3 Akses Visual dalam Kawasan
Berdasarkan kriteria, prinsip dan indikator pada akses visual yang telah ditetapkan sebelumnya (tabel II.8), maka akan diketahui permasalahan dan potensi akses visual (lihat tabel IV.9)
Tabel IV.9. Indikator Perancangan Akses Visual dalam Kawasan
Prinsip Perancangan Indikator Permasalahan dan potensi Kawasan
Adanya kualitas visual yang baik
Arah jalan terhadap alam & bangunan membentuk vista yang baik, khususnya pada area stasiun.
Terdapat potensi visual yang baik pada kali Malang, Kali Krukut, dan bangunan-bangunan tinggi seperi menara BNI dan Land Mark.
Sumber: hasil analisa
Gambar IV.15 Akses Visual dari Stasiun. Sumber: analisa pribadi
dengan analisa tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:
(1) daerah terbuka yang memberi ruang pandang bagi kelompok fungsi terkonsentrasi pada area Stasiun Sudirman, dan aliran air.
(2) Dibutuhkan adanya perencanaan vista, tengaran dan sistem wayfinding
IV.2.4 Sirkulasi
Berdasarkan kriteria, prinsip dan indikator pada komponen sirkulasi yang telah ditetapkan sebelumnya (tabel II.8), maka akan diketahui permasalahan dan potensi kawasan (lihat tabel IV.10):
Tabel IV.10. Indikator Perencanaan Sirkulasi pada TOD
Prinsip Perancangan Indikator Permasalahan dan potensi
Kawasan Lokasi jalur transit harus
ditentukan secara terintegrasi dengan kepadatan lokasi dan kualitas pengembangan suatu kawasan
Lokasi titik transit menjadi pusat dari area komersial dekat dengan ruang terbuka publik
− Lokasi titik transit menyebar
− Peruntukan lahan pada daerah di sekitar titik-titik transit tidak berkesesuaian
pengintegrasian moda dalam jarak tercepat dan termudah untuk transit
dibutuhkan akses langsung yang menghubungkan komunitas setempat dan kawasan sekitarnya Konfigurasi jalur kendaraan, sepeda dan pejalan kaki pada area komersial pusat harus
seimbang
− Adanya pemisahan jalur tiap moda transportasi dengan elemen penghubung antar titik transit dan pusat kegiatan yang tercepat dan termudah
− Trotoar bersisian dengan jalur kendaraan.
− Gang kecil sebagai alternatif penghubung permukiman dengan fungsi komersial atau antar permukiman
− Penggabungan titik transitnya dengan bangunan atau jalur pejalan kaki
− Ada jalur sepeda
Jarak terjauh antar titik transit lebih dari 400 m diantaranya:
− Latuharhary-Sudhirman: 489 m
− Tosari-Latuharhary: 656 m
− Dukuh Atas-Tosari: 589 m
Adanya distribusi pergerakan yang baik tidak menimbulkan kemacetan
Los jalan dan jalur pejalan kaki maksimal C sesuai dengan hirarki jalan dan bangkitan fungsi.
Level of service eksisting hanya bisa mendukung intensitas pengembangan dengan KLB 4.8
Sumber: hasil analisa
Dalam analisa tapak yang berkaitan dengan sirkulasi, dilakukan analisa terhadap beberapa komponen pembahasan sirkulasi yakni terhadap jenis elemen penghubung (linkage), pola sirkulasi dan pergerakan dan taksonomi jalur penghubung moda-moda transportasi. Untuk memperoleh sirkulasi yang berorientasi jelas dan berhirakri (Tabel II.8), dilakukan analisa tapak untuk sistem sirkulasi jalur utama, sekunder dan tersier yang menghubungkan orientasi pergerakan (lihat Gambar IV.7)
Gambar IV.16. Potensi Sistem Sirkulasi Kawasan. Sumber: analisa pribadi
IV.3 Pola Bangkitan Pergerakan
Pada analisa terhadap pola sirkulasi dan pergerakan dilakukan analisa terhadap 2 jenis pergerakan yakni pergerakan kendaraan bermotor & pergerakan pejalan kaki. (1) Pola Sirkulasi dan Pergerakan Kendaraan Bermotor
Dengan mengetahui kecenderungan perpindahan pengendara kendaraan pribadi ke angkutan umum dapat diprediksi besar volume pergerakan lalu lintas jalan raya. Jika perpindahan ini signifikan, tingkat pelayanan jalan akan bertambah dan dapat menambah besar KLB kawasan perancangan. Jika menggunakan hasil analisa Pamintori Cipta Consultans dan analisa departemen perhubungan, maka besar perpindahan pengguna mobil ke bus adalah 19,60 %, ke jaringan kereta 20,15%, bus ke jaringan kereta 12,74% maka didapatkan tingkat pelayanan jalan seperti pada tabel IV.11, dan IV.12.
Tabel IV.11. Tingkat Pelayanan Sebelum Pola Transportasi Makro (BRT)
Tabel IV.12 Tingkat Pelayanan Sesudah Pola Transportasi Makro (BRT)
Sumber: analisa pribadi
Melalui perhitungan di atas, disimpulkan bahwa peralihan pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum dapat miningkatkan tingkat pelayanan jalan. Melalui peningkatannya pengembangan dapat membangkitkan volume pergerakan yang lebih besar yang diijinkan. Besar penambahan volume pergerakan yang dijinkan sesuai tingkat pelayanan ideal untuk jalan perkotaan (LOS C) adalah sebesar 9412 smp (lihat tabel IV.15). Namun jika jumlah ini digunakan secara keseluruhan, pergerakan di jalan akan didominasi perjalanan dengan destinasi kawasan Dukuh Atas saja, dan tidak ada keadilan bagi kawasan-kawasan lain disekitarnya. Oleh karena itu, digunakan pembatasan pengambilan jatah bangkitan tambahan ini sesuai dengan keterhubungan jalan dengan jarring sirkulasi lain. Dengan demikian besar bangkitan yang dialokasikan bagi pengembangan kawasan adalah sebesar 4676 smp sebagaimana dijelaskan dalam tabel IV.13.
Tabel IV.13 Besar Penambahan Volume Pergerakan yang diijinkan
Sumber: analisa pribadi
Jika digunakan asumsi bahwa keseluruhan land use kawasan adalah komersial retail, dan luasnya persil pengembangan dalam kawasan adalah 8,87 hektar, maka besarnya KLB perkiraan bagi kawasan dapat dihitung. Nilai tersebut didapat dengan membagi nilai bangkitan tambahan dengan rasio bangkitan
fungsi komersial sebesar 0,0145, dan membaginya kembali dengan luas persil. Sehingga diperoleh KLB perkiraan adalah sebesar 3,6. Nilai ini akan dihitung kembali setelah persentase pengembangan bagi masing-masing land use telah jelas pada Bab V Konsep Perancangan
(2) Pola Sirkulasi dan Pergerakan Pejalan kaki
Pada analisis ini akan dipelajari salah satu dua tipe pergerakan pejalan kaki dalam TOD yakni prediksi pergerakan yang dibangkitkan oleh fasilitas transit secara mandiri terlepas dari land use kawasan TOD. Atau dengan kata lain pergerakan dengan asal pergerakan titik transit, dan tujuan titik transit lainnya. Sedangkan pergerakan kedua dalam TOD yakni pergerakan yang dibangkitkan oleh land use kawasan TOD akan dilakukan pada Bab V Konsep Perancangan dimana jenis land use yang diusulkan telah jelas.
Untuk menghitung besar pergerakan pejalan kaki, perlu diketahui terlebih dahulu dua hal yakni volume pergerakan pejalan kaki eksisting dan volume pergerakan pejalan kaki yang diprediksikan akan terjadi dapa kondisi transit intermoda telah berjalan. Telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa prediksi pergerakan pada pola transportasi makro yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan mennyebutkan adanya jumlah demand pergerakan transit kendaraan umum sebesar 20.000 pergerakan/jam (Gambar IV.12), atau 333 pergerakan permenit. Dengan demikian volume pergerakan 333 pergerakan permenit tersebut akan terbagi dalam jalur-jalur sirkulasi yang menghubungkan titik-titik transit. Sebaran pergerakan tersebut dapat diprediksikan dengan asumsi bahwa:
a. penumpang setiap moda trasportasi memiliki kecendurungan untuk beralih ke berbagai moda transportasi yang lain berdasarkan perbandingan kapasitas angkut dan headway moda transportasi yang dituju tersebut (lihat tabel IV.14)
b. Penumpang sebuah moda transportasi pada suatu rute tidak akan mungkin berpindah ke titik transit moda transportasi dengan rute yang sama (misalnya: penumpang busway blok m-kota yang turun di halte tosari
berpindah ke halte dukuh atas untuk jurusan yang sama). Sebaran pergerakan tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.8)
Tabel IV.14 Besar Kecenderungan Perpindahan Moda Transportasi
Sumber: hasil analisa pribadi
Gambar IV.17 Sebaran Pergerakan Pejalan Kaki. Sumber: analisa pribadi
Jika ditetapkan tingkat pelayanan (LOS) jalur pejalan kaki adalah C dengan
Pedestrian Flow Volume (P) maksimal 15 Pedestrian Foot per Minute (PFM),
dengan modul pejalan kaki 25 sq.ft dan kecepatan rata-rata pejalan kaki 76 meter permenit / 250 kaki permenit maka secara kasar volume pergerakan pejalan kaki yang harus diakomodasi jalur pejalan kaki dapat diprediksikan (Gambar IV.9). Penetuan lebar jalur pejalan kaki dengan lebih rinci ditentukan bersamaan dengan
perancangan jalur-jalur sirkulasi pada kawasan pada pembahasan bab selanjutnya dimana konfigurasi persil dan jalur sirkulasi telah jelas.
Gambar IV.18. Sebaran Pergerakan Pejalan Kaki. Sumber: analisa pribadi
IV.4 Analisa Taksonomi Area Transit Intermoda
Untuk mengetahui jenis taksonomi yang memudahkan pencapaian, nyaman, dan tercepat perlu sesuai dengan prinsip dan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya (Tabel IV.16). Untuk melakukan analisis taksonomi intermoda ini dibuat potongan pada kawasan untuk menunjukkan masing-masing level dari titik-titik transit (lihat Gambar IV.10). Setelah itu dapat dipetakan jarak-jarak terdekat antar titik-titik transit tersebut yang melibatkan level-level dari bangunan (lihat Gambar IV.11). Level bangunan ini akan berpotensi untuk diperuntukkan bagi kegiatan komersial.
Tabel IV.15 Indikator Analisa Taksonomi Intermoda
Prinsip Perancangan Indikator Permasalahan dan potensi Kawasan
Jalur-jalur pejalan kaki menerus dan saling berhubungan dengan jarak tercepat dan
− Penggunaan zebracross, jenis perkerasan yang berbeda, jembatan, skybridge/skywalk untuk
menandakan jalur pejalan kaki yang
− Belum ada peyeberangan
− Kawasan terpecah-pecah dengan rel kereta, sungai dan jalan arteri
termudah. Ada akses penghubung antar bangunan atau jalan setapak / gang. ini dibutuhkan terutama antar bangunan hunian dan area komersial.
menghubungkan titik transit
− Desain persimpangan harus mengakomodasi integrasi antara jalur pejalan kaki dengan jalur kendaraan
− Daerah drop off dari moda transportasi tidak mengganggu pejalan kaki
memudahkan aksesibilitas fungsi dan transit-transit dalam jarak ternyaman, termudah & tercepat
Jalur pejalan kaki penghubung titik transit dalam jangkauan 5 menit menggunakan kombinasi taksonomi vertikal dan horizontal. Penggunaan escalator, ramp, skywalk/pedestrian bridge, dan underground tunnel secara proporsional
Jarak terjauh antar titik transit lebih dari 400 m diantaranya:
− Latuharhary-Sudhirman: 489 m / 6,5 menit
− Tosari-Latuharhary: 656 m / 8,6 menit
− Dukuh Atas-Tosari: 589 m / 7,75 menit Dan ttitik-titik transit berbeda levelnya.
Menyediakan dan memisahkan jalur bagi moda-moda transportasi yang berbeda. Meminimalkan adanya konflik pada area crossing
− Pemisahan jalur moda yang berbeda dengan memanfaatkan level ground underground dan upperground
− Jalur kendaraan berupa drop off. bangunan parkir dan basement
− Adanya jalur sepeda yang terpadu dengan keseluruhan desain TOD.
Lingkungan eksisting belum menyediakan jalur-jalur penghubung ke lingkungan sekitarnya
Sumber: hasil analisa
Gambar IV.20 Potongan Taksonomi . Sumber: Analisa pribadi
Dapat disimpulkan bahwa diperlukan kombinasi antara taksonomi vertical
separation, contigous, dan linked adjacent dalam perencanaan kawasan transit. Vertical separation dibutuhkan untuk memisahkan jalur-jalur moda transportasi
(terminal monoraíl, waterway, MRT, kereta api, dan x-trans) mulai dari level underground 2 hingga level lantai 3 pada area fungsi publik dan sebagian area komersial. Dengan demikian 5 level ini memiliki potensi menjadi penghubung berupa jalur sirkulasi yang aktif dan fungsi komersial. Taksonomi contigous dibutuhkan untuk menghubungkan kelima level tersebut. Selain itu taksonomi
linked adjacent pada area perifer yang menghubungkan area tersebut dengan halte
tosari, halte sudiman, dan halte latuharhari pun memunculkan potensi yang sama pada 3 level bangunan, yaitu underground, ground, dan lantai 1.
Dapat disimpulkan bahwa diperlukan kombinasi antara taksonomi vertical
separation, contigous, dan linked adjacent dalam perencanaan kawasan transit. Vertical separation dibutuhkan untuk memisahkan jalur-jalur moda transportasi
(terminal monoraíl, waterway, MRT, kereta api, dan x-trans) mulai dari level underground 2 hingga level lantai 3 pada area fungsi publik dan sebagian area komersial. Dengan demikian 5 level ini memiliki potensi menjadi penghubung berupa jalur sirkulasi yang aktif dan fungsi komersial. Taksonomi contigous dibutuhkan untuk menghubungkan kelima level tersebut. Selain itu taksonomi
linked adjacent pada area perifer yang menghubungkan area tersebut dengan halte
tosari, halte sudiman, dan halte latuharhari pun memunculkan potensi yang sama pada 3 level bangunan, yaitu underground, ground, dan lantai 1.