• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Pembangunan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi Pembangunan

Dalam konteks komunikasi pembangunan, Melkote (2002) mengkategorikan pendekatan komunikasi pembangunan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok paradigma dominan (modernisasi) dan kelompok paradigma alternatif (pemberdayaan). Teori-teori dan Intervensi dalam paradigma dominan dari modernisasi dikembangkan oleh Schramm (1977) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Daniel Lerner dalam bukunya The Passing of Traditional Society menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasi dan pengaruhnya kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Orang-orang yang terdedah oleh pesan-pesan media massa akan memiliki kemampuan berempati dengan kehidupan masyarakat yang dibaca atau ditontonnya. Kemampuan berempati ini penting agar orang bisa bersikap fleksibel dan efisien dalam menghadapi kehidupan yang berubah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan berempati ini akan aktif sebagai warga negara yang menyalurkan aspirasinya melalui partisipasi politik. Oleh karena itu, kemampuan ini perlu dimiliki oleh orang yang ingin keluar dari situasi tradisional (Sarwititi, 2005).

Dalam karyanya, Schramm (1977) merumuskan tugas pokok komunikasi dalam suatu perubahan sosial dalam rangka pembangunan nasional, yaitu:

1. Menyampaikan kepada masyarakat, informasi tentang pembangunan nasional, agar mereka memusatkan perhatian pada kebutuhan akan perubahan, kesempatan dan cara mengadakan perubahan, sarana-sarana perubahan dan membangkitkan aspirasi nasional.

2. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog agar melibatkan semua pihak yang membuat keputusan mengenai perubahan, memberi kesempatan kepada para pemimpin masyarakat untuk memimpin dan mendengarkan pendapat rakyat kecil, dan menciptakan arus informasi yang berjalan lancar dari bawah ke atas.

(2)

3. Mendidik tenaga kerja yang diperlukan pembangunan, sejak orang dewasa hingga anak-anak, sejak pelajaran baca tulis, hingga keterampilan teknis yang mengubah hidup masyarakat.

Manusia pada hakekatnya selalu mencari interaksi atau hubungan-hubungan yang merupakan penjelasan yang memuaskan dari apa yang dilihat, dengan atau imajinasi. Pola pikir ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya adalah visi kesisteman dalam arti luas (Eriyanto, 1996; Brocklesby dan Cummings, 1995 dalam Sumardjo, 1999). Dalam merumuskan visi perlu mempertimbangkan berbagai hal yang dapat menjadi arah bagi tercapainya optimalisasi proses dalam dinamika sistem, mengingat sistem penyuluhan pertanian itu bersifat dinamis (komponennya dapat berubah sejalan dengan waktu), maka diperlukan kejelasan batas masa (milestone) visi itu perlu pertahankan, ditinjau kembali untuk direvisi.

Menurut Miles (1984), mengemukakan adanya empat peranan komunikasi di dalam proses pembangunan, yaitu:

1. Menerangkan atau menunjukkan kepada masyarakat tentang identitas dirinya sendiri.

2. Memberikan aspirasi terhadap anggota masyarakat

3. Menunjukkan teknik-teknik atau alternatif yang dapat dilakukan

4. Menerangkan tentang alternatif yang dirasakan paling tepat oleh masyarakatnya untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang dihadapi.

Menurut Effendy (1993), komunikasi pembangunan merupakan proses penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khalayak guna mengubah sikap, pendapat dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, yang dalam keselarasannya dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat. Komunikasi pembangunan ini merupakan suatu strategi yang menekankan pada perlunya sosialisasi pembangunan kepada seluruh para pelaku pembangunan daerah dan masyarakat secara umum melalui berbagai media strategis.

Servaes (2005) mengungkapkan Development communication is the sharing of knowledge aimed at reaching a consensus for action that takes into account the interest, needs and capacities of all concerne . Dimana komunikasi

(3)

pembangunan berarti pembagian pengetahuan yang mengarah pada pencapaian suatu konsensus untuk tindakan yang mempertimbangkan minat, kebutuhan-kebutuhan dan kapasitas dari semua yang terkait.

Komunikasi telah menjadi bagian strategis yang perlu dicantumkan dalam setiap perencanaan pembangunan yang bersifat partisipatif. Ketidakpercayaan, penolakan, dan kebuntuan relasi antara pemerintah dengan masyarakat dalam memperbincangkan program pembangunan dapat difasilitasi keberadaan komunikasi sebagai aktivitas yang menjembatani interaksi di antara keduanya.

Aktivitas komunikasi selalu menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia, karena komunikasi adalah suatu pernyataan manusia, baik secara peroranganmauoun secara kelompok, yang bersifat umum(tidak bersifat rahasia) dengan menggunakan tanda-tanda, kode-kode atau lambang-lambang tertentu (Soekartawi, 2005). Tujuan dasar dalam komunikasi antar manusia adalah mencapai pengertian bersama yang lebih luas dan mendalam. Bila masing-masing telah memahami makna yang disampaikan maka para peserta saling percaya mempercayai atau menyetujui penafsiran masing-masing. Mempercayai adalah tindakan menerima informasi yang digunakan bersama sebagai hal yang sah dan benar. Dengan mempercayai berartimenerima ketulusan orang yang menggunakan informasi bersama-sama (Schramm, 1977).

Untuk lebih memahami komunikasi, menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.

Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai proses satu arah disebutkan oleh Michael Burgoon, sebagai definisi berorientasi sumber (source oriented definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rancangan guna membangkitkan respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif. Model komunikasi linier merupakan konsep komunikasi yang paling sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada model ini komunikasi terjadi karena ada

(4)

seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain. Pengirim pesan menstimulasi sehingga penerima pesan merespon sesuai yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan interpretasi lebih lanjut.

Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanisme dan statis.

Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga bentuk yaitu (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) ziczac. Menurut Schramm (1973) dalam Jahi (1988) lingkaran tumpang tindih mengindikasikan bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan lebih dari dua komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan ada pada suatu saat sejumlah lingkaran komunikan atau ruang kehidupan yang tumpang tindih.

Model heliks menurut Dance (1967) dalam Jahi (1988) menunjukkan kegiatan komunikasi di kalangan komunikan yang menimbulkan situasi konvergen. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu (1) komunikan bergerak menuju ke sutu arah dalam arti saling memahami pesan yang disampaikan, (2) seorang partisipan mungkin bergerak menuju arah berbeda. Proses konvergen tidak selalu berarti harus ada komitmen terhadap persoalan atau permasalahan yang dikomunikasikan, karena lebih merupakan suatu proses saling memahami dengan lebih baik, tentang segala sesuatu yang dikomunikasikan.

Model ziczac menurut Schramm (1973) dalam Jahi (1988) menunjukan situasi kegiatan komunikasi sebagai proses interaktif melalui pertukaran tanda-tanda informasi baik verbal, nonverbal, atau paralinguistik. Model ini diperlukan adanya waktu untuk meyakinkan diri bahwa komunikan sedikit banyak telah

(5)

memahami apa yang dimaksud yang dimungkinkan oleh persoalan pemakaian iterasi. Peristiwa komunikasi dalam model ziczac lebih mendekati dengan proses negosiasi.

Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan simultan di antara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal. Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut tidak membatasi komunikan pada komunikasi yang disengaja atau respons yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan para pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.

Ketiga konsep pemahaman komunikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh ketepatan komunikasi (fidelity of communication). Dengan ketepatan komunikasi yang tinggi, para komunikate akan memperoleh apa yang mereka kehendaki dari tujuan berkomunikasinya. Komunikator akan puas karena pesan yang disampaikan dapat diterima dan dilaksanakan komunikan seperti yang dikehendaki, dan komunikanpun akan puas karena pesan yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan. Ketepatan komunikasi tersebut merupakan indikator dari efektivitas komunikasi.

Paradigma alternatif dalam komunikasi pembangunan melihat perlunya memasukkan masalah kesamaan, pemeliharaan lingkungan dan perlindungan budaya asli dalam konsep pembangunan. Terdapat dua jalur dalam pendekatan alternatif-komunikasi partisipatori, yakni PAR (Participatory Action Research) dan pemberdayaan.

(6)

Komunikasi Partisipatif

Untuk mengatasi masalah pembangunan masyarakat yang semakin kompleks, maka diperlukan suatu pendekatan yang memungkinkan masyarakat memiliki kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri, untuk itu diperlukan suatu bentuk komunikasi yang mengkondisikan masyarakat bebas berpendapat, berekspresi dan mengungkapkan diri secara terbuka satu sama lainnya (Sulistyowati dkk. 2005).

Model komunikasi yang dibutuhkan adalah model yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antar komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi (participatory model) atau model interaktif (interaktif model). Menurut Sulistyowati dkk. (2005), model participatory ini memiliki pertanyaan utama who is talking back to the who talked to them?, artinya semakin banyak dimensi yang diperhatikan. Model komunikasi ini memiliki anggapan bahwa manusia bukanlah komunikan yang pasif, tetapi merupakan hasil dari lingkungan sosialnya. Artinya reaksi terhadap setiap pesan yang masuk akan ditentukan oleh lingkungan tersebut. Dengan demikian di dalam model ini tidak hanya mencakup komunikasi dua tahap dan bahkan banyak tahap, tetapi juga banyak dimensi. Selain komunikasi dengan lingkungan komunikan masih ada juga unsur seberapa jauh lingkungan komunikator cocok dengan lingkungan komunikan.

Menurut Hamijoyo (2005), komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespons setiap stimulus yang muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakkan. Individu adalah wujud dinamis yang menjadi subyek dalam setiap perilaku yang diperankan termasuk perilaku komunikasi.

Proses komunikasi pada dasarnya merupakan salah satu ekspresi dinamis individu dalam merepons setiap simbol yang diterimanya melalui mekanisme psikologis untuk memberikan makna sesuai dengan referensi yang dimilikinya. Melalui proses komunikasi, simbol-simbol itu kemudian diberi makna. Maka jadilah pesan yang bisa diterima dan digunakan untuk merumuskan pesan baru sehingga melahirkan situasi komunikasi dua arah (two ways communication).

(7)

Dalam situasi interaktif inilah kemudian terbentuk norma sosial yang disepakati, sehingga semakin lama komunikasi itu berlangsung, maka semakin besar pula kesamaan-kesamaan yang terbangun dalam diri seseorang yang akan menjadi mediator penting aktivitas komunikasi.

Dalam komunikasi dua arah bukan hanya pesan yang diperhatikan tetapi juga arusnya yang dua arah. Kalau pesan yang dipentingkan, maka yang keluar hanya perintah, pengarahan atau petunjuk yang tanpa diskusi atau komunikasi sekalipun. Tetapi arusnya yang diutamakan dalam komunikasi dua arah, maka yang terjadi adalah altenatif pendapat, saran dan cara pemecahan yang timbul dari keinginan bersama. Menurut Hamijoyo (2005), model ini disebut model konvergensi komunikasi, model ini berlandaskan konsepsi komunikasi social sebagai suatu proses dialog dua arah dalam upaya mencapai saling pengertian dan kesepakatan antara dua individu atau dua kelompok atau lebih, dan bukan satu orang atau satu kelompok yang berkuasa atau berwibawa memaksakan kekuasaan atau kewibawaannya kepada yang lain. Proses dialog dua arah menurut Effendy (2000), selalu lebih baik daripada monologis. Proses komunikasi dialogis menunjukkan terjadinya interaksi dimana mereka yang terlibat dalam komunikasi berupaya untuk terjadinya pengertian bersama (mutual understanding) dan empati. Mengacu pada konsep pengembangan wilayah serta pola pendekatan komunikasi top-down dan bottom-up, Sumardjo (1999) juga mengemukakan bahwa model komunikasi pembangunan yang dinilai layak untuk dikembangkan adalah model komunikasi interaktif yang menghasilkan keseimbangan dalam perspektif teori pertukaran (exchange theory), melalui jalur kelembagaan yang telah mapan, didukung oleh bentuk-bentuk komunikasi yang efektif baik vertikal maupun horizontal dalam sistem sosial pertanian.

Model komunikasi konvergen atau interaktif menurut Sumardjo (1999), bersifat dua arah, yakni partisipatif baik vertikal mapun horizontal. Artinya, keputusan di tingkat perencanaan program pembangunan sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan di tingkat bawah (yang biasa disebut sasaran pembangunan), tanpa harus mengabaikan arah dan percepatan pembangunan, dengan titik berat pembangunan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan memperhatikan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara.

(8)

Pengalaman pembangunan yang telah dilaksanakan, memang terbukti bahwa kesadaran masyarakat yang tinggi akan tumbuh dan berkembang apabila kebutuhan dan kepentingan mereka mendapat tempat yang layak dalam proses pembangunan yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun pemanfaatan hasilnya. Perencanaan bukan hanya menjadi tugas Pemerintah, bahkan masyarakat lokalpun dapat membuat suatu perencanaan pembangunan untuk dilaksanakan di desa atau wilayah mereka. Pemerintah dan masyarakat juga dapat membuat suatu perencanaan pelaksanaan suatu program agar sesuai dengan keinginan masyarakat, yang sesuai pula dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat sebagai sasaran program pembangunan. Model perencanaan seperti ini, dikenal dengan perencanaan partisipatif. Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan perencanaan partisipatif diartikan sebagai perencanaan yang dilakukan masyarakat lokal (dengan pendampingan dari penyuluh spesialis) bagi program-program yang memenuhi kebutuhan lokal. Program tidak direncanakan secara top-down oleh lembaga Pemerintah, tetapi hasilnya benar-benar diminati oleh masyarakat lokal menjadi kebutuhan mereka.

Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi pihak atas (Pemerintah) dan pihak bawah (masyarakat) dalam program pembangunan wilayah setempat. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999), pendekatan tersebut lebih memungkinkan terjalin integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan masyarakat dan potensi (dan permasalahan) lingkungan setempat. Pendekatan tersebut lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih luas.

Berdasarkan penelitian, Ponti Gesang (2007) menguraikan bahwa komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap model usahatani terpadu yang dikembangkan dalam pelaksanaan Prima Tani di Desa Sungai Itik Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak. Ponti Gesang (2007), juga menyatakan bahwa komunikasi partisipatif dalam tahap penumbuhan ide memiliki

(9)

skor tertinggi yaitu sebesar 4,03 dan skor terendah dalam tahap pelaksanaan yaitu sebesar 3,84. Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki waktu yang terbatas karena harus mencurahkan waktunya untuk pekerjaan dan kegiatan lainnya.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa inti dari komunikasi partisipatif adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Dalam penelitian ini indikator dari participatory communication adalah dilihat sebagai (1) perencanaan program, (2) pelaksanaan program dan (3) penilaian program.

Partisipasi

Pembangunan masyarakat yang komprehensif pada hakekatnya membutuhkan suatu perencanaan dan pemahaman mendalam mengenai situasi dan kondisi masyarakat yang akan dibangun. Pemahaman ini menjadi pijakan awal di dalam upaya menuju keberhasilan sebuah proses pembangunan. Berangkat dari pemahaman ini, menunjukkan bahwa partisipasi dari masyarakat dalam pelaksanaan sebuah program pembangunan mutlak diperlukan, karena masyarakatlah yang pada akhirnya akan melaksanakan program tersebut. Adanya pelibatan masyarakat memungkinkan mereka memiliki rasa tanggung jawab terhadap keberlanjutan program pembangunan di daerahnya.

Partisipasi merupakan komponen penting dalam membangkitkan kemandirian. Partisipasi dan komunikasi merupakan dua komponen yang menjadi pusat perhatian dalam proses komunikasi pembangunan akhir-akhir ini.

Pengertian partisipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1986) adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi dapat pula diartikan keikutsertaan seseorang secara sukarela tanpa dipaksa.

Menurut Mubyarto (1985), partisipasi sebagai kesadaran untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Partisipasi sangat penting dalam pembangunan, karena pembangunan merupakan kegiatan yang berkesinambungan. Dalam pembangunan seperti itu sangat dibutuhkan pelibatan

(10)

orang sebanyak mungkin. Sehingga tanpa partisipasi dari seluruh masyarakat, pembangunan sukar dapat berjalan dengan baik.

Partisipasi merupakan masukan dalam proses pembangunan dan sekaligus menjadi keluaran atau sasaran dari pelaksanaan pembangunan. Apabila dikaitkan dengan pembangunan, menurut Slamet (1992) dalam Sumardjo dan Saharudin (2003), untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga syarat utama, yaitu:

1) Kemauan Partisipasi

Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut emosi dan perasaan yang melekat pada diri manusia. Faktor-faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti, dan tidak mudah dikomunikasikan, akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Dalam proses pembangunan, faktor-faktor yang akan mempengaruhi segi emosi dan perasaan itu adalah obyek pembangunan, pemrakarsa pembangunan, penggerak pembangunan, serta kondisi-kondisi lingkungan tempat proses pembangunan itu berlangsung.

Objek pembangunan yang berkaitan langsung dengan kebutuhan atau yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat merupakan faktor yang akan menarik minat masyarakat untuk berpartisipai. Jahi (1988) dalam Sahidu (1998), apabila dengan berpartisipasi itu akan memberikan manfaat dan dengan kemanfaatan itu dapat memenuhi keperluan-keperluan masyarakat setempat, maka hal ini akan menjadi faktor pendorong (sumber motivasi) timbulnya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi. Motivasi merupakan motor penggerak perilaku manusia. Oleh karenanya peningkatan motivasi akan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.

2) Kemampuan Partisipasi

Tingkat kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan tergantung pada banyak faktor yang saling berinteraksi, utamanya faktor pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal, keterampilan, pengalaman dan ketersediaan permodalan. Tingkat pendidikan akan tercermin pada tingkat pengetahuan, sikap mental dan keterampilan. Kemampuan

(11)

permodalan akan tercermin pada tingkat pendapatan rumahtangga dan bantuan dana yang bisa diperoleh, sedangkan pengalaman akan tercermin pada lamanya seseorang berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan yang telah berlangsung.

3) Kesempatan Partisipasi

Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi, terutama: faktor ketersediaan sarana dan prasarana fisik yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pembangunan, kelembagaan yang mengatur interaksi antar warga masyarakat dalam proses pembangunan. Birokrasi yang mengatur rambu-rambu serta menyediakan kemudahan-kemudahan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, serta faktor sosial budaya masyarakat akan sangat menentukan corak perilaku masyarakat dalam proses pembangunan. Selanjutnya banyak faktor yang akan menentukan masyarakat mau atau dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan untuk berpartisipasi, terutama kesesuaiannya dengan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat, ketersediaannya pada saat dibutuhkan masyarakat dan keterjangkauannya oleh masyarakat.

Tiga prinsip dasar dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat desa agar ikut serta dalam pembangunan dapat dilakukan dengan cara:

1. Learning process (learning by doing). Proses kegiatan dengan melakukan aktivitas proyek dan sekaligus mengamati, menganalisa kebutuhan dan keinginan masyarakat.

2. Institusional development. Melakukan kegiatan melalui pengembangan pranata sosial yang sudah ada dalam masyarakat. Karena institusi atau pranata sosial masyarakat merupakan daya tampung dan daya dukung sosial.

3. Participatory. Cara ini merupakan suatu pendekatan yang umum dilakukan untuk dapat menggali need yang ada dalam masyarakat.

Analisis proses partisipasi atau peran serta masyarakat sangat penting untuk dilakukan karena dengan demikian usaha komunikasi program pembangunan dalam masyarakat akan memperoleh suatu hasil yang maksimal.

(12)

Analisis proses partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah dilakukan oleh Levis (1996), yaitu meliputi 4 tahap yang antara lain:

1. Tahap penumbuhan ide untuk membangun dan perencanaan

Dalam pelaksanaan program tersebut dapat dilihat apakah pelaksanaan program tersebut didasarkan atas gagasan atau ide yang tumbuh dari kesadaran masyarakat sendiri atau diturunkan dari atas. Jika ide dan prakarsa untuk membangun datangnya dari masyarakat itu sendiri karena didorong oleh tuntutan situasi dan kondisi yang menghimpitnya pada saat itu, maka peran serta aktif masyarakat akan lebih baik. Jika masyarakat ikut dilibatkan di dalam proses perencanaan untuk membangun daerahnya, maka dapat dipastikan bahwa seluruh anggota masyarakat merasa dihargai sebagai manusia yang memiliki potensi atau kemampuan sehingga mereka lebih mudah berperan serta aktif atau berpartisipasi dalam melaksanakan, melestarikan program pembangunan itu sendiri.

2. Tahap pengambilan keputusan

Landasan filosofis dalam tahap ini adalah bahwa setiap orang akan merasa dihargai jika mereka diajak untuk berkompromi, memberikan pemikiran dalam membuat suatu keputusan untuk membangun diri, keluarga, bangsa dan daerah dan ngaranya. Keikutsertaan anggota atau seseorang di dalam pengambilan suatu keputusan secara psikososial telah memaksa anggota masyarakat yang bersangkutan untuk turut bertanggungjawab dalam melaksanakan, mengamankan setiap paket program yang dikomunikasikan. Mereka merasa ikut memiliki serta bertanggungjawab secara penuh atas keberhasilan program yang akan dilaksanakan. Dengan demikian dalam diri masyarakat akan tumbuh rasa tanggung jawab secara sadar kemudian berprakarsa untuk berpartisipasi secara positif dalam pembangunan.

3. Tahap pelaksanaan dan evaluasi

Untuk mewujudkan kondisi masyarakat agar berpartisipasi di dalam melaksanakan program pembangunan yang telah dikomunikasikan, mereka harus dilibatkan dalam melaksanakan setiap pelaksanaan program pembangunan. Tujuan melibatkan masyarakat dalam tahap pelaksanaan adalah agar masyarakat dapat mengetahui secara baik tentang cara

(13)

melaksanakan suatu program akan dilaksanakan sehingga nantinya mereka dapat secara mandiri dan mampu melanjutkan, meningkatkan serta melestarikan program pembangunan yang dilaksanakan. Sedangkan dalam evaluasi masyarakat diharapkan mampu menilai diri sendiri, dengan mengungkapkan apa yang mereka tahu dan diperlukan. Mereka diberi kebebasan untuk menilai sesuai dengan apa yang ada dalam benaknya, pengalaman, kelebihan atau keuntungan dari program, kelemahannya, manfaat, hambatan, faktor pelancar yang mereka hadapi dalam operasionalisasi program secara bersama-sama mencarikan alternatif terbaik sebagai bahan pertimbangan bagi pelaksanaan program.

4. Tahap pembagian keuntungan ekonomis

Tahap ini ditekankan pada pemanfaatan program pembangunan yang telah diberikan secara merata kepada seluruh anggota masyarakat dalam desa atau wilayah bersangkutan. Pertimbangan pokok dalam penerapan suatu program jika dilihat aspek keuntungan ekonomis adalah program tersebut akan mampu memberikan kesuksesan secara ekonomis kepada seluruh atau sebagian besar masyarakat disekitarnya

Harus diakui bahwa selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat terbatas pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil pihak luar . Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki kesadaran kritis . (Nasdian, 2003). Terhadap pengertian partisipasi di atas, terjadi tindakan korektif yang disejajarkan dengan upaya mencari definisi masyarakat yang lebih genuine, aktif dan kritis. Konsep yang baru tersebut menumbuhkan daya kreatif dalam dirinya sendiri sehingga menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif atau seperti yang dikemukakan oleh Paul (1987) dalam Nasdian (2003) sebagai berikut:

(14)

participation refers to an active process whereby beneficaries influence the direction and excution of development projects rather tan merely receive a share of project benefits.

Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka (memiliki kesadaran kritis).

Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif.

..participation is concerned with the distribution of power in society, for it is power which enables groups to determine which needs, and whose needs will be met through the distribution of resources (Curtis, et.al, 1978 dalam Nasdian 2003)

Menurut Nasdian (2003), terdapat dua pendekatan mengenai partisipasi masyarakat. Pertama, partisipasi merupakan proses sadar tentang pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan dari masyarakat yang kurang beruntung berdasarkan sumber daya dan kapasitas yang dimilikinya. Dalam proses ini tidak ada campur tangan dan prakarsa pemerintah. Kedua, partisipasi harus mempertimbangkan adanya intervensi dari pemerintah dan LSM, di samping peran serta masyarakat. Hal ini sangat penting untuk implementasi proyek yang lebih efisien, mengingat kualitas sumber daya dan kapasitas masyarakat tidak memadai. Jadi, masyarakat miskin tidak leluasa sebebas-bebasnya bergerak sendiri berpartisipasi dalam pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan.

Partisipasi merupakan masukan dalam proses pembangunan dan sekaligus menjadi keluaran atau sasaran dari pelaksanaan pembangunan. Dalam kenyataannya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula bersifat horizontal. Partisipasi vertikal berlangsung bilamana masyarakat berperan serta dalam suatu program yang dari atas, yakni masyarakat pada posisi sebagai bawahan atau pengikut, sedangkan partisipasi horizontal

(15)

bilaman masyarakat secara horizontal satu dengan yang lain berperan serta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan.

Penelitian Wahyuni (2006), menemukan bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dengan cara mengimplementasikan program melalui proses komunikasi yang cenderung top-down dan searah serta kurang terjadinya komunikasi yang bottom-up dan interaktif cenderung kurang dapat menggali aspirasi masyarakat. Akibatnya peningkatan partisipasi masyarakat menjadi kurang efektif.

Hasil penelitian Dewi (1997) mengenai partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan perkampungan kota menunjukkan bahwa partisipasi mereka tidak terjadi pada tahap kegiatan. Sebagian masyarakat (60%) ternyata hanya berpartisipasi pada semua tahap pelaksanaan. Keadaan semacam ini umum terjadi di indonesia. Partisipasi masyarakat pada tahap pengawasan dan penilaian rendah, karena kegiatan tahap ini biasanya dilakukan langsung oleh pemerintah.

Dewi (1997) menemukan bahwa masyarakat disamping berpartisipasi pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan hasil juga bersedia berpartisipasi pada tahap pengawasan dan evaluasi jika mereka merasa ikut memiliki hasil kegiatan dan banyak tokoh informal terlibat. Dewi juga menemukan bahwa masyarakat dengan ciri kehidupan kota dan jenis pekerjaan tertentu memiliki sedikit waktu luang untuk cenderung hanya berpartisipasi pada tahap pemanfaatan hasil dan berpartispasi dalam bentuk dana, disamping itu, motivasi untuk berpartisipasi lebih didasarkan pada perhitungan untung rugi atau ada tidaknya manfaat (ekonomi) dari tindak partisipasi itu. Pada masyarakat dengan ciri kehidupan desa, Dewi menemukan bahwa mereka cenderung berpartisipasi dalam bentuk tenaga.

Dewi (1997) juga menemukan bahwa tipe partisipasi masyarakat secara nyata dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka. Tipe partisipasi murni lebih banyak diberikan oleh jenis pekerjaan, tingkat pendidikan yang berpendidikan tinggi. Sedangkan jenis pekerjaan yang menyebabkan seseorang lebih banyak waktu luang menyebabkan lebih banyak pula bentuk partisipasi yang dapat diberikan baik tenaga maupun pikiran. Demikian pula dengan yang

(16)

berpenghasilan tinggi, karena mereka dapat partisipasi dalam berbagai bentuk baik tenaga, uang dan barang.

Hasil penelitian Yanuara (1999) menunjukkan bahwa skor tingkat partisipasi masyarakat yang dihasilkan menunjukkan: pada tahap persiapan adalah rendah (31,46%), tahap pelaksanaan (38,02%) dan pengawasan (48,17%). Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi dan partisipasi masyarakat diantaranya adalah karakteristik individu, umur, tingkat pendidikan, pendapatan (kondisi sosial ekonomi), dan pengalaman bertani.

Konsep Kepuasan

Dalam Komunikasi Partsispatif

Sumarwan (2003) dan Tjiptono (2002) mengutip beberapa arti kepuasan yang disampaikan oleh para pakar manajemen pemasaran. Antara lain Engel, Blackwell dan Miniard. Mereka (dalam Sumarwan, 2003) menyatakan, Satisfication is defined here as post-consumption evaluation that a chosen alternative at least meets or exceeds expectation (kepuasan didefinisikan sebagai evaluasi pasca konsumsi, itu adalah suatu alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya pada saat diperkenalkan memenuhi atau melebihi harapan).

Mowen dan Minor (dalam Tjiptono, 2002) mengartikan kepuasan sebagai Consumer satisfication is defined as the overall attitude consumers have toward a good or service after they have acquired and used it. It is a postchoice evaluative judgement resulting from a spesific purchase selection and the experience of using/consuming it (kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai sikap keseluruhan pelanggan terhadap suatu barang atau jasa sesudah mereka mendapatkan atau menggunakannya. Itu adalah suatu hasil evaluasi dari pembelian dan pengalaman menggunakan saat mnengkonsumsi barang atau jasa tersebut.

Kotler dan Susanto (1999) mendefinisikan kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang dirasakannya dengan harapannya. Kepuasan konsumen akan terpenuhi apabila proses penyampaian pesan dari si pemberi pesan kepada konsumen sesuai dengan apa yang dipersepsikan konsumen.

(17)

Salah satu dimensi kepuasan adalah persepsi. Menurut Berlo (1960), persepsi mempengaruhi efek komunikasi. Gonzales (dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa perilaku merupakan satu dari tiga jenis efek komunikasi. Menurut Rogers dan Shoemaker (dalam Hanafi, 1986) antara persepsi dengan perilaku yang nampak seringkali berbeda, tergantung situasi dirinya dan manfaat yang akan ia terima. Tahapan persepsi seseorang dinilai mereka sebagai tahapan penting yang menjembatani jalan ke arah tahapan keputusan mengadopsi atau menolak inovasi.

Kepuasan masyarakat sangat bergantung pada harapan yang ada dalam masyarakat. Mengacu pada pendapat Tjiptono (2002), harapan merupakan perkiraan atau keyakinan seseorang tentang apa yang akan diterimanya. Salah satu faktor yang menentukan harapan seseorang antara lain adalah kebutuhan. Kebutuhan yang dirasakan mendasar oleh seseorang bagi kesejahteraannya sangatlah menentukan harapannya. Harapan seseorang dari waktu ke waktu semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya informasi yang diterima serta semakin bertambahnya pengalaman (Tjiptono, 2002).

Sedangkan Kotler (1999) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan puas atau tidak puas seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapannya. Dalam definisi ini terlihat riil manfaat yang diterima oleh konsumen dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. Dalam hal ini, tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan.

Kredibilitas Agen Pendamping Dalam Komunikasi Partisipatif

Kredibilitas adalah suatu tingkatan di mana penerima pesan melihat si sumber sebagai orang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan dapat dipercaya; sehingga si sumber dapat memberikan informasi yang tidak bias dan objektif. Ada dua dimensi kredibilitas yaitu keahlian (expertise) dan kejujuran (trustworthiness). (Kasali, 2001).

Kredibilitas juga dapat diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauhmana sumber pesan dapat dipercaya oleh penerima (Kasali, 2001). Tingkat kepercayaan ini penting karena pada kenyataannya orang terlebih dahulu akan memperhatikan

(18)

siapa yang membawa pesan, sebelum ia mau menerima pesan yang dibawanya. Apabila kredibilitas sumber rendah, maka bagaimanapun baiknya pesan yang disampaikan, penerima tidak akan menerimanya. Devito (1997) memahami kredibilitas komunikator sebagai hal penting untuk menjadikan orang lain (komunikan) percaya atau tidak percaya terhadap apa yang disampaikan komunikator.

Belch dan Belch (2001) mengatakan bahwa seorang komunikator/sumber yang kredibel sangat penting bila audiens memiliki sikap yang negatif terhadap produk, jasa, perusahaan, atau isu yang tengah diangkat. Hal ini dikarenakan komunikator/sumber yang kredibel dapat menghambat konter-argumen dari audiens.

Keahlian

Seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman disebut sebagai orang yang memiliki keahlian. Menurut Belch dan Belch (2001), keahlian adalah tingkatan di mana seorang komunikator dipersepsikan sebagai orang yang dapat memberikan penilaian yang benar dan tegas.

Pentingnya menggunakan endorser yang memiliki keahlian terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan Roobina Ohanian, yang menemukan bahwa persepsi terhadap keahlian endorser lebih penting dalam menjelaskan minat dibanding daya tarik atau kejujuran yang dimilikinya.

Kejujuran

Kejujuran adalah tingkat kepercayaan terhadap niat si komunikator dalam mengkomunikasikan penilaian yang dianggapnya paling benar. Jujur atau tidaknya si sumber bergantung pada persepsi audiens tentang motivasinya dalam meng-endorse suatu produk/lembaga. Menurut Belch dan Belch (2001) jika audiens merasa si sumber bias atau memiliki kepentngan pribadi (uang) ketika meng-endorse suatu produk/institusi, maka ia menjadi kurang persuasif dibanding orang yang dianggap tidak memiliki motif pribadi apapun.

Daya tarik

Daya tarik ini bukan dilihat dari kecantikan fisik saja, melainkan juga berbagai sifat dan karakter yang dimiliki oleh endorser, misalnya kemampuan

(19)

intelektual, kepribadian, gaya hidup, dan sebagainya. Seorang endorser memiliki nilai tambah berupa kekaguman dari banyak orang.

Penampilan seseorang dalam berkomunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Dalam kaitannya dengan kredibilitas sebagai sumber pesan, pengaruh penampilan ini terutama terjadi pada kontak pertama antara sumber dan penerima pesan. Pada saat itu, penerima pesan akan menilai sumber pesan itu. Penilaiannya tersebut tidak hanya menyangkut karakter, tetapi penerima juga akan mengaitkannya dengan dugaannya tentang kemampuan sumber dalam menyampaikan pesan.

Keakraban

Aspek ini merujuk pada pengetahuan tentang sumber yang dimiliki audiens melalui terpaan media massa. Keakraban sering diabaikan oleh institusi karena mereka lebih memperhatikan aspek kesamaan dan daya tarik dari sumber (Belch dan Belch, 2001).

Belch dan Belch (2001), mengungkapkan bahwa kredibilitas dan kepemimpinan merupakan proses yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Proses tersebut sebagai usaha mempengaruhi perasaan, pikiran dan tingkah laku orang lain ke arah pencapaian suatu tujuan. Oleh karena itu kepemimpinan juga merupakan proses interaksi antar seseorang (pemimpin) dengan sekelompok orang lain. Kepemimpinan berarti juga proses pemberian motivasi, agar orang lain secara ikhlas dan sungguh-sungguh mengerjakan sesuatu. Kepemimpinan yang efektif hanya akan terwujud apabila dijabarkan sesuai dengan fungsinya. Secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu: a. Fungsi instruktif

Fungsi ini berlangsung dan bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai pengambil keputusan berfungsi memerintahkan pelaksanaannya pada orang-orang yang dipimpin. Pemimpin sebagai komunikator dan inisiatif tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan perintah itu, sepenuhnya merupakan fungsi pemimpin. Fungsi ini berarti juga keputusan yang ditetapkan pimpinan tidak akan ada artinya tanpa kemampuan mewujudkan atau menterjemahkannya menjadi instruksi/perintah. Selanjutnya perintah tidak akan ada artinya,jika tidak dilaksanakan. Oleh karena itu sejalan dengan pengertian kepemimpinan, intinya

(20)

adalah kemampuan pimpinan menggerakkan orang lain agar melaksanakan perintah, yang bersumber dari keputusan yang telah ditetapkannya.

b. Fungsi konsultatif

Fungsi ini berlangsung dan bersifat komunikasi dua arah, meskipun pelaksanaannya sangat tergantung pada pihak pemimpin. Pada tahap pertama dalam usaha menetapkan keputusan, pemimpin kerap kali memerlukan bahan pertimbangan, yang mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. Konsultasi itu dapat dilakukan secara terbatas hanya dengan orang-orang tertentu saja, yang dinilainya mempunyai berbagai bahan informasi yang diperlukannya dalam menetapkan keputusan. Di samping itu mungkin pula konsultasi itu dilakukannya untuk mendengarkan pendapat dan saran, apabila suatu keputusan yang direncanakannya ditetapkan.

c. Fungsi partisipasi

Fungsi ini tidak sekedar berlangsung dan bersifat dua arah, tetapi juga berwujud pelaksanaan hubungan manusia yang efektif, antara pemimpin dengan dan sesama orang yang dipimpin. Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap anggota kelompoknya memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok, sesuai dengan posisi/jabatan masing-masing. Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerjasama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain. Fungsi partisipasi hanya mungkin terwujud jika pemimpin mengembangkan komunikasi yang memungkinkan terjadinya pertukaran pendapat, gagasan dan pandangan dalam memecahkan masalah-masalah, yang bagi pimpinan akan dapat dimanfaatkan untuk mengambil keputusan-keputusan.

d. Fungsi delegasi

Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat/menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pimpinan. Fungsi ini mengharuskan pemimpin memilah-milah tugas pokok organisasinya dan mengevaluasi yang dapat dan tidak dapat

(21)

dilimpahkan pada orang-orang yang dipercayainya. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Pemimpin harus bersedia dan dapat mempercayai orang-orang lain, sesuai dengan posisi/jabatannya, apabila diberi/mendapat pelimpahan wewenang. Sedang penerima delegasi harus mampu memelihara kepercayaan itu, dengan melaksanakannya secara bertanggung jawab.

e. Fungsi pengendalian

Fungsi ini cenderung bersifat komunikasi satu arah, meskipun tidak mustahil untuk dilakukan dengan cara komunikasi dua arah. Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Sehubungan dengan itu berarti fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.

Penelitian Rahmani (2005), membuktikan bahwa peran fasilitator atau pendamping berhubungan nyata dengan efektivitas komunikasi terutama pada aspek konatif. Hal ini menunjukkan bahwa fasilitator atau pendamping berperan sebagai agen perubahan. Wahyuni (2006) dalam penelitiannya, juga telah membuktikan bahwa intensitas komunikasi yang rendah antara anggota dengan satuan pelaksana dan sarjana pendamping cenderung menghasilkan lemahnya pemahaman anggota dan pengurus tentang pelaksanaan program raksa desa. Konvergensi komunikasi yang rendah cenderung tidak/kurang berhasil meningkatkan motivasi anggota dalam program Raksa Desa.

Bengkulu Regional Development Project (BRDP)

Upaya pengentasan kemiskinan sejak lama telah dilaksanakan melalui berbagai program pembangunan. Upaya ini tidak lain adalah salah satu hakekat dari pembangunan itu sendiri. Salah satu wujud kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan itu adalah Program Bengkulu Regional Development Project (BRDP), program BRDP merupakan salah satu program Pemerintah yang bekerja sama dengan Bank Dunia dalam mengentaskan kemiskinan untuk menunjang pembangunan ekonomi pada masyarakat di daerah pedesaan yang difokuskan pada sektor pertanian.

(22)

Program BRDP telah berlangsung sejak tahun 1998, wilayah kerja yang telah disetujui oleh Bank Dunia sebanyak 370 desa, tersebar di delapan Kabupaten di Propinsi Bengkulu; Kabupaten Bengkulu Utara 108 Desa, Kabupaten Muko-muko 25 Desa, Kabupaten Bengkulu Selatan 38 Desa, Kabupaten Seluma 43 Desa, Kabupaten Kaur 42 Desa, Kabupaten Rejang Lebong 52 Desa, Kabupaten Kepahiang 32 Desa, dan Kabupaten Lebong 30 Desa. Kegiatan program BRDP dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, yaitu tahap I, II dan III berjumlah 220 Desa (40 Desa tahap I, 74 Desa tahap II dan tahap III 105 Desa), sedangkan tahap IV 115 Desa dan tahap V 36 Desa (BRDP, 2006).

Tujuan dari proyek BRDP adalah:

1. Mengentaskan kemiskinan di wilayah propinsi Bengkulu melalui pembangunan pedesaan guna meningkatkan penerimaan petani dengan usaha-usaha perbaikan dan pengembangan usaha-usahatani.

2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah pedesaan di Propinsi Bengkulu yang memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

3. Menunjang program Taman Nasional Kerinci Seblat (Integrated Conservation Development Project/ICDP)) melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi di desa-desa sekitar taman Nasional.

Sedangkan sasaran proyek BRDP adalah:

1. Terciptanya sumber pendapatan bagi penduduk miskin di desa, melalui usaha-usaha penciptaan lapangan kerja produktif.

2. Berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat pedesaan.

3. Meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan melalui kegiatan peningkatan pendapatan ( Bina Swadaya, 2005).

Komponen utama BRDP adalah kegiatan desa yang dilaksanakan melalui partisipasi masyarakat langsung. Adapun kegiatan yang dilaksanakan antara lain: 1. Pembangunan sarana/prasarana desa (village infrastructure component/VIC) 2. Adopsi Pertanian Desa(Village Based Technology Adoption/VBTA).

3. Usaha ekonomi produktif (Income Generating Activy) dalam bentuk dana bergulir (RF).

Di tingkat masyarakat desa dibentuk UPKD (Unit Pengelola Keuangan Desa) yang berfungsi sebagai wadah pemberdayaan yang menempatkan kreatifitas

(23)

dan tanggung jawab anggotanya untuk peningkatan kesejahteraan hidup. Proyek menempatkan pendamping yang memberikan bantuan teknis kepada masyarakat baik pada aspek manajemen maupun teknis usaha.

Sumber dana PKD 100 persen berasal dari pinjaman Bank Dunia melalui Naskah Pinjaman Luar Negeri IBRD Loan No. 4290-IND. Dana PKD disalurkan langsung ke desa peserta proyek melalui transfer ke rekening UPKD. UPKD akan menyalurkan dana tersebut ke kelompok masyarakat/individu sesuai dengan kegiatan dan dana yang disetujui. Dana pinjaman dari UPKD di bawah pengawasan BRDP bersifat dana bergulir dengan tingkat bunga sebesar 18 persen per tahun atau 1,5 persen per bulan, dengan ketentuan pengembalian pokok pinjaman dan bunga harus dibayar setiap bulan tanpa grace periode maksimum selama 12 bulan.

Bengkulu Regional Development Project (BRDP), menganut prinsip-prinsip:

1. Desentralisasi. Masyarakat diberi wewenang penuh untuk mengelola dana PKD melalui wadah UPKD yang dibentuk berdasarkan musyawarah desa. 2. Transparansi. Seluruh program dan pengelolaan UPKD harus diketahui oleh

masyarakat.

3. Partisipasi. Masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan dilibatkan secara aktif pada setiap tahap kegiatan dari perencanaan, pengendalian, pelestarian dan akhir kegiatan.

4. Swadaya. Proses pelibatan masyarakat di dalam memberikan kontribusi secara nyata dalam bentuk gagasan, waktu, lahan, tenaga dan bahkan untuk menjamin keberlanjutan serta berkembangnya investasi.

Mekanisme pelaksanaan kegiatan BRDP adalah sebagai berikut:

a) Membentuk UPKD atas dasar inisiatif dan keinginan masyarakat setempat. b) Membuka rekening di bank terdekat, misalnya BRI unit atau Bank Pos. c) Setiap individu yang ingin mendapatkan pinjaman harus membuat

proposal (formatnya sudah tersedia), yang isinya mengenai jenis usaha apa yang dilakukan, rencana penggunaan uang pinjaman, dan kemampuan membayar pinjaman, yang ditunjukkan oleh ketersediaan sumber pendapatan sampingan.

(24)

d) Proposal yang masuk akan diseleksi dan diverifikasi oleh UPKD.

e) UPKD menggulirkan dana kepada individu melalui mekanisme kelompok. f) Tingkat suku bunga mengikuti ketentuan pasar. Bunga pinjaman nantinya

digunakan sebagai dana sosial dan menjadi modal desa.

g) Bappeda memberikan tugas tanggung jawab kepada NGO lokal untuk bertindak sebagai fasilitator dan pendamping UPKD pada saat pelaksanaan di lapangan.

Kegiatan BRDP yang telah berjalan selama lima tahun tentunya telah mendatangkan berbagai dampak positif dan negatif. Dampak ini dapat dilihat dari adanya perubahan dalam pengetahuan kewirausahaan, perubahan dalam nilai masyarakat, perubahan dalam pengambilan keputusan, perubahan dalam teknologi berproduksi, perubahan terhadap kualitas lingkungan hidup, dan perubahan partisipasi masyarakat.

Yayasan Duta Awam dan NGO Mitra Lokal bersama masyarakat setempat, pada tahun 2005 melakukan monitoring dari Bengkulu Regional Development Project (BRDP), dimana setelah dilakukan desain ulang ternyata BRDP memiliki masalah-masalah sebagai berikut:

1. Ketidakjelasan status peserta lama dan peserta baru, karena ketiadaan informasi tentang desain ulang.

2. Masyarakat menganggap pihak pelaksana tidak konsisten dalam menerapkan proyek, karena aturan yang berubah.

3. Terlambatnya implementasi proyek karena persyaratan pencairan dana World Bank serta perumusan desain ulang yang memakan waktu lama. Hal ini mengakibatkan rantai masalah. Misal, menyebabkan usaha-usaha penyerapan dana di masyarakat ditingkatkan. Namun karena parameter tingkat keberhasilan proyek adalah tingkat pengembalian pinjaman maka dipilihlah peserta atau jenis usaha yang dianggap dapat cepat melunasi pinjaman.

4. Rekomendasi aspek teknologi pertanian tidak optimal, karena dilaksanakan atau tidak sangat tergantung instansi pelaksana yang berwenang.

(25)

5. Penerapan demand driven yang tidak dibangun melalui pemilahan antara needs dan wants berdampak negatif pada:

a. Tidak tepatnya sasaran yang ingin dicapai. Contoh, lokasi yang idealnya sesuai rekomendasi peneliti terhadap potensi tanah, karena permintaan masyarakat berubah menjadi tanaman lain. b. Ketidaktepatan peserta atau kepesertaan ganda.

c. Perbedaan aturan antara lokasi yang satu dengan yang lain, terkait kerancuan pemahaman otonomi daerah.

6. Sosialisasi proyek di tahap awal oleh pemerintah kepada masyarakat diterjemahkan sebagai pengumuman kepada masyarakat.

7. Dukungan pelaksana di lapangan tidak memuaskan masyarakat.

Dampak proyek terhadap peningkatan pendapatan masyarakat terlihat dengan adanya peningkatan konsumsi dan kepemilikan masyarakat. Disamping itu rata-rata kwantitas usaha yang dimiliki semakin bertambah. Secara sosial pertemuan untuk melakukan diskusi secara teratur di tingkat kelompok merupakan sarana saling belajar dan bertukar pengalaman terutama yang berkaitan dengan pengembangan usaha mereka (Bina Swadaya, 2005).

Referensi

Dokumen terkait

Richard Peet (2003) mengatakan jika ada lima poin model ekonomi politik internasional yang digunakan dalam Sistem Bretton Woods antara lain 1) negara- negara

Dengan demikian, karakter kandungan pati yang dicari menggunakan metode pendugaan pati gravimetri, tidak dapat digunakan untuk kriteria seleksi pada genotipe dengan potensi

Hal ini sesuai dengan pernyataan Iwan (2012) bahwa kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi

Tidak hanya dalam penampilan fisik wayang gemblung saja yang mengandung makna dari setiap bentuknya, namun makna yang terkandung dalam wayang gemblung semakin terasa fungsinya,

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk melihat pengaruh kenaikan pH cairan developer dengan penambahan antara NaOH dan Na2CO3 terhadap densitas citra

Nilai Gap 5 dimensi servqual adalah nilai kesenjangan yang terjadi antara harapan dan kenyataan pengguna jasa yang diperoleh dari pernyataan kualitas pelayanan

Taman Krida Budaya Malang merupakan satu- satunya obyek sebagai bentuk apresiasi kegiatan seni budaya bagi kota kota Malang yang juga digunakan oleh kota-kota

Pelaksanaan proses pembelajaran pada penelitian ini menggunakan dua siklus yang terdiri dari 6 kali dengan 4 kali pelaksaan tindakan dan 2 kali ulangan harian pada akhir