• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meta Analisis Effect Size

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Meta Analisis Effect Size"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Meta-Analisis Meta-Analisis Februari 15, 2010 Februari 15, 2010

Meta-analisis adalah tehnik yang digunakan untuk merangkum berbagai hasil penelitian secara Meta-analisis adalah tehnik yang digunakan untuk merangkum berbagai hasil penelitian secara kuantitatif dengan cara mencari nilai efek size ( Barbora 2009; Sutrisno, Hery, Kartono 2007 ). kuantitatif dengan cara mencari nilai efek size ( Barbora 2009; Sutrisno, Hery, Kartono 2007 ). Efek size dicari dengan cara mencari selisih rata-rata kelas eksperimen dengan rata-rata kelas Efek size dicari dengan cara mencari selisih rata-rata kelas eksperimen dengan rata-rata kelas control, kemudian dibagi dengan standar deviasi kelas control.

control, kemudian dibagi dengan standar deviasi kelas control.

Tahapan dalam mengerjakan meta-analisis (Jammie 2004; Sutrisno, Hery, Kartono 2007) Tahapan dalam mengerjakan meta-analisis (Jammie 2004; Sutrisno, Hery, Kartono 2007)

1. menetapkan domain penelitian yang akan dirangkum

1. menetapkan domain penelitian yang akan dirangkum

2. memilih jenis publikasi yang akan dikumpulkan

2. memilih jenis publikasi yang akan dikumpulkan

3. mengumpulkan hasil penelitian atau literatur 

3. mengumpulkan hasil penelitian atau literatur 

4. mencatat data-data (variabel-variabel) penelitian

4. mencatat data-data (variabel-variabel) penelitian

5. menghiting efek size per sumber atau penelitian

5. menghiting efek size per sumber atau penelitian

6. menginterpretasi rangkuman dan membuat laporan 6. menginterpretasi rangkuman dan membuat laporan

Data-data penting yang dicatat dari hasil peneltian yang dirangkum antara lain: Data-data penting yang dicatat dari hasil peneltian yang dirangkum antara lain: 1. variable bebas dan variable terikat beserta definisi konseptual dan definisi operasionalnya, 1. variable bebas dan variable terikat beserta definisi konseptual dan definisi operasionalnya, 2. variable metodolgi, missal: jenis penelitian, cara pengambilan sample, statistic yang 2. variable metodolgi, missal: jenis penelitian, cara pengambilan sample, statistic yang digunakan dalam analisis, jenis instrumen dan karaktristiknya digunakan dalam analisis, jenis instrumen dan karaktristiknya

(Sutrisno, Hery, Kartono 2007)

(Sutrisno, Hery, Kartono 2007)

40 Komentar 

40 Komentar  || ArtikelArtikel,,Menyusuri Menyusuri pembelajaran pembelajaran sainssains || Ditandai

Ditandai::analisisanalisis,, fisikafisika,,leoleo,, metameta,,sutrisnosutrisno || Permalink Permalink  Ditulis oleh cobaberbagi

Ditulis oleh cobaberbagi

Pembelajaran Sains Di Sekolah Pembelajaran Sains Di Sekolah Januari 11, 2010

(2)

MENYOAL PEMBELAJARAN SAINS DI SEKOLAH: BAGAIMANA SEHARUSNYA?

(Oleh : Tomo Djudin)

Abstrak 

Teachers‘ understanding on the nature of science will determine types of students learning activities in the class. In designing a science teaching-learning process meaningfully, a teacher  should consider and pay attention to the learning activities. They are (1) logical plane activities; (2) evidental or experiental plane activities; (3) psychological plane activities. A science text-books centered teaching should be modified because, the students comprehension about science products (concept and principles) could not be developed meaningfully by using text-books only. This culture is also contrary with the nature of science and is not able to build a science and technology literate people.

Key words: Teacher‘s understanding; learning activities PENDAHULUAN

Mengajar sains kah saya? Jika ya atau tidak, darimana saya tahu? Pertimbangan apa yang akan meyakinkan jawaban saya itu? Inilah dua pertanyaan yang mungkin muncul dalam pikiran guru sebelum, ketika atau sesudah mengajar sains. Pertanyaan ini, sesungguhnya juga terkait pada  pertanyaan ― apakah sebenarnya sains dan pendidikan sains itu?‖. Sebab, pengetahuan seorang

guru tentang apa yang sesungguhnya yang akan atau sedang diajarkan akan mempengaruhi  proses pembelajaran yang terjadi (Harlen, 1992:3). Di Amerika, pertanyaan ―apakah sains itu‖

ditanggapai beragam oleh guru. Pertanyaan ini dianggap tak penting untuk dijawab karena tak  diajarkan secara langgsung di sekolah dan dianggap hanya akan menghabiskan waktu. Ziman (1968:35) menyatakan bahwa ada guru yang menganggap pertanyaan ini misterius dan teka-teki. Mereka merasa tak perlu dilibatkan berfilsafat semacam itu. Tetapi sebagian lagi, justru menganggap pertanyaan ini merupakan hal yang penting. Menurut mereka, mempertanyakan dan  pemahaman tentang ‖apakah sains itu‖ akan ‖mewarnai‖ proses pembelajaran di kelas. Abruscato (1982:7) mengingatkan bahwa pemahaman yang berbeda tentang hakikat sains dapat menyebabkan penekanan aspek-aspek pembelajaran sains di sekolah, apakah produk atau proses dan pemilihan aktivitas pembelajaran. Apabila guru memahami sains sebagai produk saja, misalnya, maka pembelajaran akan cenderung sebagai proses akumulasi pengetahuan (produk) faktual. Penulis sependapat dengan Abruscato. Pentingnya guru memahami hakikat sains terindikasi secara eksplisit dengan adanya kenyataan bahwa beberapa buku pembelajaran sains (Harlen, 1985; Abruscato, 1982; Rutherford dan Ahlgren, 1990; Carin, 1997) meletakan  pertanyaan ‖apakah sains itu sebenarnya‖ pada bab pertama. Penekenan pembelajaran sains seharusnya terletak pada ‖how children learn and not just what the students learn  –  Bagaimana siswa belajar, bukan hanya pada apa yang dipelajari siswa‖ (Harlen, 1985). Karena itu, peranan guru sebelum, pada saat, dan sesudah pembelajaran sains

(3)

menjadi hal yang sangat penting. Salah satunya adalah dalam memilih model pembelajaran sains yang sesuai dengan hakikat sains, materi ajar (konten), konteks atau lingkungan belajar, serta tingkat perkembangan intelektual siswa. Inilah salah satu kompetensi guru sains yang perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Apakah sains itu, bagaimanakah pandangan konstruktivisme tentang pembentukan pengetahuan dan pemebelajaran sains dan model yang konsisten dengan hakikat sains — LEP model — akan dibahas secara singkat dalam tulisan ini.

HAKIKAT DAN PEMBELAJARAN SAINS

Agaknya sulit memilih satu definisi yang paling lengkap (komprehensif) diantara beberapa definisi tentang hakikat sains. Perbedaan definisi ini menjadi wajar karena adanya perbedaan latar belakang keahlian pendefinisiannya (sebagai seoarang pakar pendidikan sains, filsof atau saintis). Namun, dari beberapa pengertian hakikat sains dapat disarikan suatu definsi yang lebih komprehensif yang paling mengaitkan dimensi sains sebagai pengetahuan, proses dan produk,  penerapan dan sarana pengembangan nilai dan sikap tertentu seperti berikut ini: 1. Sains adalah pengetahuan yang mempelajari, menjelaskan, dan menginvestigasi fenomena

alam dengan segala aspeknya yang bersifat empiris.

2. Sains sebagai proses atau metode dan produk. Dengan menggunakan metode ilmiah yang sarat keterampilan proses, mengamati, mengajukan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis serta mengevaluassi data, dan menarik kesimpulan terhadap fenomena alam akan diperoleh produk sains, misalnya: fakta, konsep, prinsip dan generalisasi yang

kebenarannya bersifat tentatif.

3. Sains dapat dianggap sebagai aplikasi. Dengan penguasaan pengetahuan dan produk sains dapat dipergunakan untuk menjelaskan, mengolah dan memanfaatkan, memprediksi fenomena alam serta mengembangkan disiplin ilmu lainnya dan teknologi. 4. Sains dapat dianggap sebagai sarana untuk mengembangkan sikap dan nilai-nilai tertentu, misalnya: nilai, religius, skeptisme, objektivitas, keteraturan, sikap keterbukaan, nilai praktis dan

ekonomis dan nilai etika atau estetika.

Implikasi dari pemahaman hakikat sains dalam proses pembelajaran dijelaskan Carin & Sund

(1989:16) dengan memberikan petunjuk sebagai berikut:

1. Para siswa/mahasiswa perlu dilibatkan secara aktif dalam aktivitas yang didasari sains yang merefleksikan metode ilmiah dan keterampilan proses yang mengarah pada diskoveri atau inkuiri terbimbing.

2. Para siswa/mahasiswa perlu didorong melakukan aktivitas yang melibatkan pencarian jawaban

 bagi masalah dalam masyarakat ilmiah dan teknologi.

3. Para siswa/mahasiswa perlu dilatih ‖learning by doing = belajar dengan berbuat sesuatu‖ dan kemudian merefleksikannya. Mereka harus secara aktif mengkonstruksi konsep, prinsip, dan

generalisasi melalui proses ilmiah.

(4)

dalam pembelajaran sains. Siswa/mahasiswa perlu diarahkan juga pada pemahaman produk dan konten materi ajar melalui aktivitas membaca, menulis dan mengunjungi tempat tertentu. 5. Para siswa perlu dibantu untuk memahami keterbatasan/ketentatifan sains, nilai-nilai, sikap yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran sains di masyarakat sehingga mereka dapat membuat keputusan.

BAGAIMANA SISWA BELAJAR SAINS: DASAR TEORITIS

Teori belajar konstruktivisme mempunyai pengaruh besar terhadap upaya pengembangan model-model pembelajaran yang bertujuan membantu siswa memahami konsep-konsep secara benar. Para guru umumnya telah menyadari bahwa sebenarnya mengubah kesalahan konsep siswa tidaklah mudah. Siswa dalam membangun pemahamannya tentang konsep sains membentuk  suatu kerangka berpikir yang kompleks. Pembentukan kerangka berpikir tersebut merupakan hasil interaksi siswa dengan pengalaman-pengalaman konkritnya atau dari hasil belajarnya. Kerangka yang mengambarkan hubungan antar konsep ini oleh Piaget disebu schema (Katu, 1992).

Dalam membantu siswa membangun pemahaman yang sesuai dengan konsep ilmiah, para guru memberi dorongan supaya ada usaha dari siswa sendiri untuk merombak kerangka pemikiran yang dimilikinya. Informasi atau pengetahuan baru yang dapat diterima ke dalam struktur  kognitif siswa, menurut Piaget (Travers, 1982) melalui dua mekanisme yaitu: asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi, siswa menggunakan konsep yang telah dimiliki sebelumnya untuk beradaptasi dengan informasi baru yang dihadapinya. Jika informasi baru itu berbeda dengan konsep yang ada pada struktur kognitifnya, maka terjadi ketakseimbangan (disequilibrium) sehingga diperlukan perubahan atau modifikasi schema untuk mencapai keseimbanagn struktur kognitif. Proses akomodasi merupakan dasar bagi perubahan konseptual, konstruksi pengetahuan dan proses belajar. Perubahan konseptual merupakan proses mengubah konsepsi awal dengan konsepsi baru yang lebih sesuai atau konsisten dengan konsep fisikawan (Fishler, 1993). Ketiga proses (asimilasi, disequilibrium dan akomodasi) ini bersifat adaptif dan  berlanggsung kelanjutan dalam pembentukan pengetahuan. Terciptanya keadaan keseimbangan

schema merupakan proses konstruktif perolehan pengetahuan dan perubahan konseptual. Melalui  proses perubahan konseptual, kegiatan belajar akan menjadi bermakna (Smith, et al. 1993);

karena siswa terlibat dalam kegiatan belajar yang dapat membantunya mengkonstruksi sendiri

 pengetahuan (Dykstra, 1992).

Driver & Bell (1986) menyebutkan beberapa pandangan kelompok konstruktivisme terhadap  proses belajar sains sebagai berikut (1) hasil belajar tergantung pada lingkungan belajar dan konsepsi awal siswa; (2) belajar melibatkan pembentukan makna dengan menghubungkan konsepsi awal dengan konsep yang sedang dipelajari; (3) proses pembetukan ini aktif dan  berkelanjutan; (4) belajar melibatkan penerimaan konsep-konsep yang sedang dipelajari; (6)

(5)

 pengalaman bahasa mempengaruhi pola-pola pemaknaan. Glasson & Lalik (1993:188) menyatakan bahwa belajar sains sebagai proses konstruktif dan konstruksi pengetahuan itu memerlukan partisipasi aktif antara guru dan siswa. Dinyatakan pula  bahwa untuk membangun pengetahuan siswa harus mengidentifikasi, menguji dan menafsirkan

makna dari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki (yang sudah ada) dan kemudian menyesuaikan dengan masalah atau situasi yang dihadapinya. Guru harus menemukan cara-cara memahami pandangan (gagasan) siswa/mahasiswa, merencanakan kerangka alternatif, meranggsang konflik kognitif dan mengembangkan tugas-tugas yang memajukan konstruksi  pengetahuan.

Konstruktivisme memandang penting peranan konsepsi awal dalam proses belajar sains. Dijelaskan bahwa jika guru tidak mempertimbangkan (mengabaikan) pengetahuan awal dapat memunculkan atau menjadi sumber kesulitan, baik pada guru, siswa atau keduanya (Bendall & Galili, 1993:1169). Walaupun konsepsi awal kadang-kadang tidak jelas dan berbeda dengan  pengetahuan ilmiah, namun konsepsi awal ini perlu diidentifikasi sebagai titik awal dalam  perubahan konseptual. Melalui perubahan konseptual dalam belajar sains, siswa dapat terlibat aktif dalam membentuk pengetahuan sendiri dengan cara memodifikasi konsepsi awal mereka. Konsepsi awal yang termodifikasi melalui proses akomodasi dapat membantu siswa menetralisir  kegelisahan atau konflik yang timbul ketika berintegrasi dengan lingkungan dan mengembangkan kerangka konseptual yang dapat mengurangi kegiatan yang hanya menekankan

menghafal ( rote memorization).

Dengan demikian, proses perubahan konseptual dalam belajar sains dapat menunjang belajar   bermakna, karena konsep tersebut diawali dengan mengidentifikasi konsepsi awal siswa. Guru  perlu menerapkan strategi-strategi mengajar yang cocok agar perubahan konseptual siswa dapat terjadi, misalnya strategi mengajar perubahan konseptual yang didasari konstruktivisme (Tomo, 1995).

LEP MODEL DALAM PEMBELAJARAN IPA

Menurut Stinner (Glynn & Duit, 1995:282) dalam merencanakan pemebelajaran sains yang  berhasil, guru perlu memberikan perhatian pada tiga bidang aktivitas yang saling terkait yait: (1)  bidang logis; (2) bidang bukti atau pengalaman dan (3) bidang psikologis. Ketiga bidang tersebut mendukung terciptanya pembelajaran yang berhasil. Uraian tentang ketiga bidang tersebut

disajikan berikut ini.

Pertama, bidang logis mengandung pengertian bahwa pengajaran harus memuat produk-produk  ilmiah sains (misalnya fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, model) yang disepakati oleh ilmuwan. Dalam konteks ini, buku teks memegang peranan sebagai kendaraan pedagogis bagi  penghargaan terhadap normal sains-sains yang selama ini dipakai oleh sebagian besar ilmuwan (Kuhn, 1962:44). Pengajaran sains yang berpusat pada buku teks akan menekankan penguasaan  produk ilmiah sains. Siswa akan terperangkap dalam aktivitas belajar ‖menghafal‖ produk sains

(6)

tersebut. Para siswa sedikit sekali dapat melihat hubungan antara pengalaman-pengalaman dan konsep-konsep ilmiah yang mereka pelajari dari buku teks. Akibatnya, efektivitas pembelajaran dilihat dari sejauh mana siswa/mahasiswa dapat menghafal produk-produk sains dan menyelesaikan masalah latihan dengan menggunakan berbagai formula matematis. Untuk menghubungkan ‖Bidang Logis‖ dengan ‖Bidang Pengalaman‖, seorang guru perlu memunculkan pertanyaan ‖operasi-operasi apa yang menghubungkan konsep-konsep yang dipelajari siswa dengan pengalaman siswa atau peristiwa sehari-hari‖. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan belajar sains yang dilakukan untuk membantu siswa menguasai konsep dan

menghubungkannya dengan pengalaman mereka.

Kedua, ‖Bidang Bukti‖ mengandung pengertian bahwa pembelajaran sains seharusnya memuat  juga aktivitas belajar yang menghubungkan dan mendukung produk-produk sains dalam dunia  pengalaman siswa. Aktivitas belajar itu meliputi pelaksanaan percobaan ( diskoveri inkuiri) atau demonstrasi sederhana yang dapat diawali guru. Dengan melakukan aktivitas eksperimen ini diharapkan siswa dapat memberikan makna berbagai generalisasi simbolik ( formula ) dalam  berbagai konteks. Pertanyaan yang perlu dijawab pada Bidang Bukti/Pengalaman adalah

‖Alasan-alasan apa untuk mempercayai bahwa…..‖. Dengan pertanyaan ini, guru seharusnya mencari bukti- bukti yang ‖masuk akal‖ bagi siswa. Pertanyaan kedua adalah ‖ Apa hubungan-hubungan yang bermacam-macam dari konsep itu?‖. Pada bidang ini, ketetapan perlu dibuat untuk menunjukan bahwa suatu konsep adalah sah (valid) ketika digunakan dalam area yang kelihatan berbeda dengan cara inkuiri ilmiah. Lebih jauh, semakin banyak hubungan berbeda dapat diciptakan guru, makin kuat konsep itu dalam ingatan (memori) siswa. Ketiga ‖Bidang Psikologis‖ mengandung pengertian bahwa guru perlu mempertimbangkan  berbagai konsep awal siswa dan penguasaan konsep sains dari jenjang sekolah sebelumnya.

Aktivitas mengidentifikasi konsepsi awal perlu dilakukan guru/dosen. Buku teks pada umumnya  jarang memperhatikan konsepsi awal siswa/mahasiswa. Akibatnya, guru yang berorientasi pada  buku teks cenderung tidak memiliki perhatian tentang bagaimana konsepsi awal siswa ini  berinteraksi dengan konsep yang diajarkannya. Tiga pertanyaan yang perlu dijawab pada bidang ini adalah: (1) apakah konsep yang diajarkan mudah dipahami; (2) apakah konsep yang diajarkan masuk akal dan (3) apakah konsep yang dipelajari dirasakan siswa berguna atau bermanfaat dalam berbagai situasi.

Hubungan antara ketiga bidang itu disajikan dalam bagan berikut.

Konsisten dengan model konseptual LEP di atas disimpulkan bahwa pembelajaran sains dapat ditingkatkan efektifitasnya dan akan lebih bermakna bila melibatkan aktivitas-aktivitas belajar 

sebagai berikut:

1. Mengidentifikasikan dan menguji konsepsi awal siswa sebagai langkah awal guru untuk  mengupayakan perubahan konseptual dengan mempertimbangkan apakah konsep yang diajarkan

(7)

itu mudah dipahami, masuk akal dan berguna bagi siswa/mahasiswa. 2. Menguji pernyataan, konsep dan prinsip yang termuat dalam buku teks dan menyediakan  bukti/pengalaman untuk pernyataan, konsep dan prinsip tersebut.

3. Menemukan hubungan yang bermacam-macam dalam sains, masyrakat dan teknologi.

Buku teks sains saat ini kurang memuat atau mengabaikan dua aspek penting dalam belajar  sains, yaitu bidang psikologis dan penerapan konsep dalam kehidupan dan pengalaman siswa sehari-hari. Buku teks pada umumnya tidak membahas tentang bagaimana belajar sains yang  bermakna. Banyak buku teks sains saaat ini yang memberikan penekanan berlebihan pada  produk fakta ilmiah dan formula matematis. Hubungan konsep-konsep sains dengan pengalaman atau fenomena alam sehari-hari, banyak mereka tidak dapat menjelaskan atau menyelesaikan sesuai dengan konsep ilmiah.

PENUTUP

Hingga saat ini, pembelajaran sains yang berpusat pada buku teks masih banyak dijumpai di sekolah dan perguruan tinggi. Bahkan, telah menjadi budaya bagi sebagian guru. Mereka  berorientasi dan memperoleh pengalaman praktik pembelajaran sains dari buku teks. Budaya  pengajaran sains berpusat pada buku teks ini harus diubah, karena pemahaman produk sains tidak dapat dikembangkan hanya dari buku teks. Budaya ini juga bertentangan dengan hakikat sains dan diyakini sulit untuk ‖melahirkan‖ siswa/mahsasiswa yang melek sains dan teknologi. Konsisten dengan model konseptual LEP, guru perlu mempertimbangkan aspek-aspek bidang logis, bidang pengalaman dan bidang psikologis dalam pembelajaran sains agar lebih bermakna. Diharapkan dengan bekal pemahaman dan kesadaran ketiga bidang ini dapat diciptakan proses  pembelajaran yang mudah dipahami, masuk akal dan dirasa bermanfaat oleh siswa sehingga

mampu membangkitkan perubahan konseptual. DAFTAR PUSTAKA

Abruscato.J (1982). Teaching Children Science. New Jersey, USA. Printice-Hall, Inc. Bendall, S. & Galili, I. (1993). Prospective Elementary Teacher‘s Prior Knowledge about Light. Journal of Research in Science Teaching, 30(9), 1169-1187. Bell, B.F. (1995). Children‘s Science, Constructivism and Learning in Science. Deakin

University: Australia.

Bell, M.E. (1993). Learning And Instruction Theory into Practice. New York: Macmillan

Publishing Company.

Carin, A.A. (1997). Teaching Modern Science (7 th edition). New Jersey: Merril Printice Hall. Carin, A.A & Sund, R.B. (1989). Teaching Science Through Discovery (6 th edition). Columbus,

Ohio: Merril Publishing Company.

(8)

Dreyfus, et al. (1990). Applying the Cognitive Conflict Strategy for Conceptual Change – Some Implications Difficulties and Problem. Journal of Research In Science Teaching, 74(5), 555-569. Driver,et al. (1985). Childrens‘ Ideas In Science Teaching. Philadelpia : Open University Press. Dykstra, et al. (1992). Studying Conceptual Change in Learning Physics. Journal of Research In

Science Teaching, 76(6), 615-652.

Fethertonhaugh, T. & Treagust, D.F. (1992). Students‘ Understanding of Light and Its Properties: Teaching to Engender Conceptual Change. Journal of Research in Science Teaching,

76(6), 653-672.

Fischer, H.E. (1993). Framework for Conducting Empirical Observations of Learning Processes.

Journal of Research in Science Teaching, 77(2), 153-168

Glynn, S.M. & Duit, R. (editors).(1995). Learning Sains in The Schools: Research Reforming Practice. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Harlen, W.(1985). The Teaching of Science. Studies in Primary Education. London: David

Fulton Publishers.

Harlen, W.(1992). Primary Science. Taking the Plunge. Boston, USA: Heinemann Educational Books.

Katu, N. (1992). Development of Conception in Basic Electricity : An Exploratory Study Using Teaching Experiment Methodology. Doktoral Disertation. Unpublished. University Park, PA :

The Pennsylvania State University.

Katu, N. (1994). Miskonsepsi Dalam Fisika : Workshop on Misconception on Basic Phisics

Teaching. LIDA USU-Medan

Kuhn, T.(1962). The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University Press. Lonning, R.A. (1993). Effect of Cooperative Learning Strategies On Student Verbal Instruction and Achievement during Conceptual Change Instruction in 10th Grade General Science. Journal

of Research In Science Teaching, 30(9), 1087-1101

Moore, D.W.(1980). Teaching Science in the Primary Schools. Columbus, Ohio: Merril

Publishing Company.

Posner, G.J.et al. (1982). Accomodation of a scientific Conception, Toward a Theory of 

Conceptual Change. Science Education. 66(2). 211-227.

Smith, et al. (1993). Teaching Strategies Associated With Conceptual Change Learning In Science. Journal of Research In Science Teaching. 30(2), 111-126 Tomo. (1995) Model Konstruktivis Untuk Membangkitkan Perubahan Konseptual Siswa dalam Pembelajaran IPA. Tesis Magister PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan. Van den Berg, E. (1990). Salah Konsep dan Pengelolaan Data dalam Otak Manusia. Yogyakarta

: UKSW-FPMIPA

Van den Berg, E. (1991). Miskonsepsi Fisika dan Remediasinya. Yogyakarta : UKSW-FPMIPA. Watt, M. & Gilbert, J.K.(1983). Concept, Misconception and Alternative Conception Changing Perspectives in Science Education. Studies in Science Education, 5(10), 61-98.

(9)

Effect Size’

Leo SutrisnoAda beberapa pembaca yang meminta agar menurunkan tulisan tentang ‗Effect Size‘(ES) dalam seri tulisan ―Educasi‖. ES pertama kali diungkapkan di forum internasional pada tahun 1976 oleh Gene Glass dalam Seminar Tahunan Asosiasi Psikolog Amerika(Serikat). ES dipakai untuk mengukur berapa besar pengaruh suatu variable terhadapvariable lain.Gene Glass mengenalkan rumus yang pada tahun 1957 telah dikenalkan oleh seorang peneliti lain. Rumus itu berbentuk:

C C E  S Y Y  )( −=∆  Ef  f  z ect Sie : ∆ ; er  co b a a n a k  el  o mpok   pnil air er at Y   E 

: ; emband in  g  pk el omapok nil air er at Y 

C  : ;  g k  pem simpanganbS and inabuk el omk po C  :

Menggunakan rumus ini mensyaratkan kita memiliki dua kelompok data. Kelompok pertama adalah kelompok yang sedang dipakai percobaan (E: Experiment). Kelompok kedua adalah kelompok yang dipakai sebagai pembanding (C: Controll). Kelompok kedua ini tidak  dikondisikan sama dengan yang dilakukan pada kelompok percobaan.Sebagai ilustrasi, seorang

(10)

 peneliti ingin mengetahui pengaruh ‘sapaan damai‘ pada ‘hasil belajar para siswa‘. Dibuatlah dua kelompok, kelompok E dan kelompok C. Padakelompok E dilaksanakan suatu interaksi antar  siswa dan antara guru dan siswa yangselalu menggunakan ‘sapaan-sapaan damai‘ dalam kurun waktu satu semester misalnya.Pada kelompok C, sebaliknya selama satu semester yang sama tidak diusahakan interaksiseperti itu. Semua interaksi dibiarkan berlangsung seperti waktu-waktu sebelumnya.Pada akhir semester di kedua kelompok ini dilakukan evaulasi hasil belajar  denganmenggunakan soal-soal yang sama. Nilai hasil evaluasi baik kelompok E dan kelompok C dihitung nilai reratanya. Diperolehlah harga

 E  Y  dan C  Y 

. Pada kelompok C jugadhitung nilai simpangan bakunya ( C 

). Sebagai catatan, sering juga digunakan istilah‘mean‘ dari pada ‘nilai rerata‘ serta ‘standar  deviasi‘ daripada ‘simpangan baku‘.Dengan ketiga nilai

 E  Y  , C  Y  dan C  S  maka harga ∆

dapat dihitung.Karena rumus ini identik dengan rumus yang digunakan untuk mengubah suatu nilaimenjadi nilai-z maka harga-harga

ini dapat diperbandingkan satu dengan yang lain.Karena dapat diperbandingkan itulah, oleh Gene Glass diusulkan agar ES digunakanuntuk memperbadingkan besar pengaruh suatu variabel  pada variabel yang lain. Semakin besar harga

 berarti semakin besar pengaruhnya.

Perkembangan selanjutnya, rumus ES ini dipergunakan dalam kegiatan merangkumkualitatif  hasil-hasil  penelitian kuantitatif, yang dikenal dengan istilah ‘meta analisis‘.Selama tiga dasa warsa terakhir ini penggunaan meta analisis sungguh mengagumkan.Bahkan banyak disertasi uang menggunakan meta analisis sebagai alat utama. Akibatnya,rumus untuk menghitung ES  juga berkembang sangat pesat. Hingga kini paling tidak adaempat kelompok meta analis

(11)

yang masing-masing mengembangkan rumus-rumus ESsesuia dengan paradigma yang digunakan.Pertanyaan yang sering muncul sejak tahun 1990-an adalah apakah rumus ES ini dapat juga digunakan untuk menetapkan efektivitas satu (1) penelitian percobaan. Padahakekatnya, ES adalah menunjukkan selisih antara

 E  Y  dan C  Y 

yang dinyatakan dengan besar simpangan baku sehingga harga ES itu sama dengan nilai-z. Karena itu, ES jugadapat dipakai untuk menetapkan efektivitas satu penelitian percobaan.Agar  dapat digunakan sesuai dengan kepentingan penelitiannya maka arti masing-masinglambang dari rumus itu di-‘modifikasi‘.

 E  Y 

: nilai rerata suatu variabel yang diamati diakhir percobaan; C 

: nilai suatu variabel yang diamati di awal percobaan dan C 

:simpangan baku dari nilai-nilai variabel tersebut di awal percobaan. Besar pengaruhditetapkan dengan membandingkan keadaan setelah percobaan terhadap keadaan sebelum percobaan.Dengan aturan ‘ruas jari‘ pada umumnya, besar ES dapat ditetapkan secara kualitatif. Jikaharga ES kurang dari 0,3 dianggap rendah, jika di antara 0,3 dan 0,7 dianggap sedang dan jika di atas 0,7 dianggap tinggi. Bagi mereka yang ingin menetapkan  persentase perubahannya dalam kuva normal dapat menggunakan Tabel-z yang dengan mudah

dapatditemukan di bagian lampiran setiap buku statistik.Inilah gambaran sederhana tentang ‘Effect Size‘. Bagi yang ingin mempelajri lebihmendalam bisa berselancar di internet dengan topik yang sama. Semoga!

(12)

http://www.scribd.com/doc/48219493/Makin-Profesional-Lewat-Penelitian-9-Pengambilan-Sampel

Pengambilan sampel

Leo SutrisnoPada tulisan Nomor 8 disajikan ukuran sampel yang diperlukan dalam suatupenelitian. Besar ukuran sampel dipengaruhi oleh ¶margin error¶ (keakuratandata), µconfidence interval¶ (ketelitian penelitian), dan ukuran populasi. Semakinakurat, semakin teliti dan semakin besar populasinya, pada umumnya semakinbesar pula ukuran sampelnya.Tulisan berikut disajikan cara ¶mengambil¶ sampel sesuai dengan besarsampel yang diperlukan. Hingga kini ada tiga cara yang sering dipakai dalampenelitian, yaitu: acak, ¶intact gorup¶, dan sukarela.Misalnya, populasi penelitian kita adalah 1000 orang siswa. Dengan kesalahansebesar 3% yang masih diterima, maka dalam tingkat ketelitian 95% memerlukansampel sebanyak 519 siswa. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kitamemperoleh 519 siswa ini.

Random

Yang paling sering dilakukan adalah secara random (acak ± cabut undi)¶memaksa¶ 516 siswa dari 1000 orang itu bersedia berpartisipasi. Cara randomyang paling sederhana adalah cabut undi antara yang ¶diminta¶ menjadi sampeldan yang ¶tidak diminta¶ menjadi sampel.Cara lain dengan menetapkan kuota. Nama semua siswa dimasukkan kedalam sebuah daftar. Tidak ada satu pun yang tidak tercatat dan juga tidak adasatu orang yang tercatat lebih dari satu kali. Kemudian ditetapkan sepertiga dari519 orang itu diambil dari masing-masing urutan awal, tengah, dan akhir.Pemilihan sampel dengan cara random mengasumsikan bahwa semuanya(1000 orang siswa) itu mempunyai peluang yang sama untuk  berpartisipasi dalampenelitian. Namun, karena dibatasi waktu, tenaga dan biaya tidak semua

anggotapopulasi dijadikan sampel.Pemilihan sampel secara random juga bertujuan untuk 

memperkecilpengaruh dari (bias) kecenderungan tertentu. Selanjutnya, semua anggota darisampel ¶dianggap¶ mempunyai karakteristik yang sama. Kalau ditemukan yangtidak sama itu karena sifat-sifat alamiah suatu populasi (baca bukan disengaja olehpeneliti).

Intact group

Dalam situasi tertentu tidak cocok dengan menggunakan cara acak ini.Misalnya, hanya memilih beberapa siswa disuatu kelas untuk dilibatkan dalamsuatu model pembelajaran yang sedang diteliti. Sebagian siswa yang lain di kelasyang sama tidak tidibatkan. Cara ini tentu tidak ¶baik¶ dilakukan.

Maka, penelitimenetapkan bahwa semua siswa dari kelas itu dilibatkan. Cara seperti ini disebutpemilihan sampel dengan cara

intact group

.Pemilihan sampel dengan intact group berarti memilih sampel berdasarkankelompok. Semua anggota kelompok dilibatkan sebagai sampel. Misalnya, siswadalam satu kelas.

Sering peneliti membuat kombinasi dengan me-random kelompoknya lebihdahulu kemudian memasukkan seluruh anggota kelompok yang terpilih secararandom itu untuk dilibatkan dalam penelitiannya. Misalnya, kelas dipilih secararandom. Kemudian semua siswa yang kelasnya terpilih itu dilibatkan dalampenelitian (Intact proup).

S

ukarela

Cara ketiga, untuk mendapatkan 519 siswa sebagai sampel, penelitimenawarkan kepada semua anggota populasi. Mereka yang bersedia yang ¶dipilih¶sebagai sampel.Cara ini ada kelemahannya, yaitu ukuran sampel yang ditetapkan seringtidak terpenuhi. Mengapa?! Karena, hanya menggantungkan pada kerelaan orang.Jika nasib mujur ada di fihak kita akan banyak yang bersedia berpartisipasi. Jikatidak  mujur apa boleh buat.Pemilihan sampel dengan sukarela juga sering meperlemah hasil. Merekayang

(13)

sukarela sering dilandasi oleh dorongan positif yng lain. Akibatnya, hasilpenelitian itu juga dipengaruhi oleh sikap positif tersebut.

Mengapa perlu banyak sampel

. Sebelum ditutup, ada pertanyaan dari pembaca yang lain yang dapatdigabungkan ke dalam tulisan ini. Pertanyaan itu menyangkut alasan mengapasampel dibuat banyak. Sebenarnya bukan sampel yang banyak, sampelnya satutetapi anggota sampel yang banyak Pembaca tentu maklum bahwa kegiatan penelitian itu diarahkan untuk mencari ¶kebenaran¶ (kebenaran dalam tanda kutip akan dibicarakan dalamkesempatan yang lain). Agar diperoleh kebenaran yang ¶sungguh-sungguh¶ makasetiap langkah dari kegiatan penelitian juga diusahakan ¶benar¶.Mengukur dan mengamati sampel merupakan salah satu langkah penelitian.Karena itu, kegiatan ini juga harus dilakukan dengan benar sehingga

dihasilkandata dan informasi yang benar.Peneliti dengan kerendahan hatinya mengakui bahwa

pengukuran yangdilakukan beberapa kali itu akan menghasilkan data yang lebih ¶benar¶ daripadayang dilakukan hanya satu kali. Mestinya, jika sampelnya itu benda mati, cukupsatu saja kemudian diukur dan diamati berkali-kali. Tetapi, jika sampelnya itumanusia (benda hidup) tentu akan lain. Diukur dua atau tiga kali mungkin masihsama. Selebihnya akan tergantung dengan emosi dan suasana hati.

Untuk menghindari penggukuran berkali-kali pada satu orang itulah dibuat sampel yangterdiri atas banyak orang. Satu orang satu kali pengukuran. Seratus orang berartiseratus kali pengukuran. Besar sampel menunjukkan banyaknya pengukuran danpengamatan ulang.Cara mengambila sampel telah disajikan, yaitu acak, intact prup dansukarela. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Aplikasinyatergantung keadaan lapangan. Tidak ada satu untuk semua. Sampai jumpa.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan dukungan keluarga dengan fungsi kognitif pada lansia diabetes mellitus wilayah kerja puskesmas Purwosari dapat disimpulkan

Menciptakan karya ini dengan tujuan agar masyarakat dapat memahami karya yang berangkat dari tradisi ke modern baik secara konsep, bentuk, teknik maupun

Berdasarkan pengujian black box hasil dari Sistem Pendukung Keputusan (SPK) Seleksi Calon Guru menggunakan metode Dempster Shafer/Analytic Hierarchy Process (DS/AHP) ini sesuai

yang disusun, penilaian, interaksi dengan tutor, teman, dan ahli lain. Peningkatan pertanyaan pengetahuan metakognisi yang tidak signifikan disebabkan karena: 1) guru tidak

Beliau selalu menyeru untuk menghitung shodaqoh atau hadiah yang diberikan kepada Allah, Beliau berkata : Wahai anakku, janganlah salah seorang diantara kalian menghadiahkan

Dengan kata lain akhlak merupakan sifat-sifat bawaan manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya Al-Qur'an selalu menandaskan, bahwa