1
ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI SEMARANG DAN KONDISI
LINGKUNGAN DI SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN
EMPIRICAL ORTHOGONAL FUNCTION (EOF)
Kharisma Pramudha Wardhana1, Suntoyo2, Kriyo Sambodho3 1
Mahasiswa Teknik Kelautan, 2,3Staf Pengajar Teknik Kelautan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola dominan perubahan garis pantai secara temporal dan spasial dengan menggunakan analisa EOF yang dinyatakan dengan persamaan eigenfunction. Penelitian diawali dengan studi literatur, pengumpulan data yang meliputi data gelombang, angin, pasang surut, peta batimetri, dan data sedimen. Semua data digunakan untuk peramalan garis pantai dua bulanan. Koordinat garis pantai dua bulanan digunakan sebagai input model EOF. Berdasarkan data perubahan garis pantai yang ada dan hasil model EOF, kemudian dilakukan analisa perubahan garis pantai. Eigen mode pertama adalah profil kesetimbangan garis pantai. Eigen mode kedua menunjukkan titik poros (pivot point) yang memisahkan perilaku yang berbeda, yang menunjukkan keseimbangan positif dalam garis pantai dari arah gelombang dominan. Selanjutnya, akan dibuat hubungan dari tiap-tiap mode variabilitas garis pantai hasil analisa EOF untuk dihubungkan dengan parameter-parameter lingkungan dekat pantai.
Hasil eksekusi model dengan data awal tahun 1998 menunjukkan terjadinya perubahan garis pantai dimana pada beberapa sel terjadi perubahan yang cukup signifikan tepatnya pada sel 21-27, 47-48, 136-137, 139-140, 143, 169-170, serta sel 195-196 yang semuanya terdapat di daerah Tugu. Hasil validasi model EOF menunjukkan kesesuaian hasil yang mendekati dengan data peta tahun 2003.
Hubungan antara parameter di dekat pantai dengan nilai temporal eigenfunction menunjukkan bahwa semakin besar sudut datang gelombang memberikan hasil wave steepness (Ho/Lo), energi gelombang (E), dan fluks energi gelombang cross shore (Fx) semakin kecil sehingga terjadi perbandingan yang berbanding terbalik. Sedangkan pada eigenvalue menunjukkan bahwa semakin besar nilai eigenvalue yang dihasilkan maka semakin besar pula nilai dari wave steepness (Ho/Lo), energi gelombang (E), dan fluks energi gelombang cross shore (Fx) sehingga terjadi perbandingan yang berbanding lurus. Namun dari temporal eigenfunction dan eigenvalue tak diperoleh perbandingan nilai fluks energi gelombang longshore (Fy) yang tepat dengan parameter di dekat pantai.
Kata kunci : Analisa EOF, eigenfunction, perubahan garis pantai
1. PENDAHULUAN
Analisa imbangan sedimen pantai dapat digunakan untuk mengevaluasi terjadinya erosi pada
pantai. Erosi yang terjadi disertai dengan maju mundurnya garis pantai. Perubahan garis pantai dapat diprediksi dengan membuat model matematika yang didasarkan pada imbangan sedimen pantai pada
Jurnal Tugas Akhir
2
daerah yang ditinjau. Analisa data morfologi pantai merupakan pemahaman proses pembentukan pantai. Dan tujuan dari analisa data morfologi adalah untuk menetapkan properti dasar dari data set dan derajat keterkaitan antara properti tersebut. Analisa
Empirical orthogonal function (EOF) merupakan
metode untuk menentukan pola-pola dominan pada data dan berevolusi dalam ruang dan waktu. Tujuan dari penggunaan teknik analisa EOF untuk mengurangi data asli yang terlalu luas/banyak untuk dikelola.
Salah satu metode yang berkembang dan digunakan untuk analisa perubahan garis pantai adalah dengan analisa spasial dan temporal menggunakan metode Empirical Orthogonal
Function (EOF). Tujuan analisis EOF ini adalah
untuk memisahkan keterkaitan data temporal dan spasial sehingga dapat dihasilkan sebagai kombinasi linier fungsi yang sesuai dari ruang dan waktu. Fungsi tersebut secara objektif mewakili variasi konfigurasi pantai terkait perubahan terhadap jarak dan waktu pada garis pantai selama waktu studi (Ritphring dan Tanaka, 2007). Analisa EOF mulai dikembangkan pada awal 1900-an oleh Pearson (1901) dan Hotteling (1933), sebagai sarana untuk ekstraksi pola dominan dari suatu set data yang random (Miller dan Dean, 2007). Dalam bidang proses pantai, metode EOF telah diaplikasikan untuk menganalisa perubahan profil melintang pantai (Winant et al., 1975; Hsu et al., 1994), maupun beberapa penelitian lainnya untuk menganalisa perubahan garis pantai menyusur pantai
(long-shore). Analisa EOF untuk mengukur variabilitas
garis pantai sepanjang pantai pernah dilakukan sebelumnya oleh Munoz-Perez et al., (2001). Miller dan Dean (2007) juga menganalisa variabilitas garis pantai sepanjang pantai pada beberapa lokasi di Amerika dan Australia.
Dalam penelitian ini Empirical Orthogonal
Function (EOF) digunakan untuk menguraikan
mode signifikan variabilitas garis pantai secara temporal dan spasial dari data set dua bulanan perubahan garis pantai yang diperoleh dari hasil pemodelan perubahan garis pantai dengan one line
model yang divalidasi dengan data batimetri tahun
1998 dan tahun 2003 untuk daerah Semarang.
2. DASAR TEORI
2.2.1. Transformasi Gelombang
Gelombang juga akan mengalami perubahan arah akibat variasi kedalaman dasar laut karena kecepatan rambat gelombang tergantung kepada kedalaman dasar laut. Peristiwa berubahnya arah perambatan dan tinggi gelombang disebut juga dengan refraksi.
Sedangkan jika gelombang yang merambat tersebut terhalangi oleh suatu bangunan laut (mis: Breakwater) maka akan terjadi penyebaran energi gelombang ke arah samping dari arah perambatan gelombang dan peristiwa semacam ini yang disebut dengan difraksi.
Efek Pendangkalan (Shoaling Effect)
Apabila sebuah gelombang bergerak dari laut dalam (deep water) ke laut dangkal (shallow water), maka gelombang tersebut akan mulai mendapat gesekan dari tanah dasar laut (Cerc. SPM, (1984). Dengan demikian gelombang tersebut akan mengalami perubahan tinggi gelombang maupun panjang gelombangnya. Pada kondisi tertentu dimana garis kontur kedalaman dasar laut sejajar dengan garis pantai, maka akan terjadi efek pendangkalan murni. Sedangkan apabila garis kontur berbelok-belok selain bekerja efek pendangkalan juga bekerja refraksi.
3
Adanya pendangkalan akan mengakibatkan perubahan tinggi gelombang dan panjang gelombang. Perubahan tersebut dapat dianalisa dengan menganggap energi gelombang konstan, kehilangan energi dapat diabaikan. Untuk kondisi laut dalam, energi fluk per unit lebar crest dapat dinyatakan dengan pers. 2.1. berikut :
Po = 1/2EoCo…... [2.1]
Sedangkan pada laut dangkal energi fluknya dapat dinyatakan seperti pada pers. 2.2.
P = Ecg = nEC...[2.2]
Jika energi konstan maka Po = P sehingga ,
1/2EoCo = nEC... [2.3] Dimana, Eo = gH 2 0/8 E = gH 2 /8 Maka, (H/H0) 2 = (1/2) (1/n) (C0/C) Sehingga (H/H0) = (C0/2nC) 1/2 ...[2.4]
Maka koefisien Shoaling dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :
Ksh = [1/tanh (2πd/L)(1+ (4 πd/L)/sinh 4 πd/L)...[2.5]
Refraksi Gelombang
Kecepatan rambat gelombang bergantung pada kedalaman air dimana gelombang menjalar. Bila cepat rambat gelombang berkurang dengan
kedalaman, panjang gelombang juga berkurang secara linier. Variasi cepat rambat gelombang terjadi sepanjang garis puncak gelombang yang bergerak dengan membentuk sudut terhadap garis kedalaman laut karena bagian dari gelombang di laut dalam bergerak lebih cepat daripada bagian di laut yang lebih dangkal. Variasi tersebut menyebabkan puncak gelombang membelok dan sejajar dengan garis kontur dasar laut. Selama perambatan gelombang dari laut dalam menuju pantai, gelombang akan mengalami refraksi yaitu perubahan karakteristik gelombang yang disebabkan oleh perubahan kedalaman air (Sorensen, 1978). Studi refraksi berdasarkan pada persamaan 2.6 berikut ini :
Sin φ1 = C1/C0 Sin φ0 ... [2.6]
Dimana, φ1 = Sudut datang gelombang di perairan
pantai, φ0 = Sudut datang gelombang di laut dalam,
C1 = Cepat rambat gelombang di daerah pantai dan
Co = Cepat rambat gelombang di laut dalam.
Koefisien refraksi (Kr) dapat dihitung dengan
perumusan pada persamaan 2.7. berikut ini :
Kr = (cos α0/ cos α1)...[2.7]
Selanjutnya tinggi gelombang pada kedalaman tertentu dapat dihitung dengan menggunakan formulasi pada persamaan 2.8. berikut ini :
H = Ksh.Kr.H0 ...[2.8]
Di mana , H = Tinggi gelombang dititik yang ditinjau, Ho = Tinggi gelombang di laut dalam, Ksh = Koefisien Shoaling, Kr = Koefisien Refraksi. Untuk lebih jelasnya proses refraksi pada kontur dasar laut dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini :
Jurnal Tugas Akhir
4
Gambar. 2.1. Proses Refraksi Gelombang (Sorensen, 2006)
Difraksi Gelombang
Bila gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan seperti bangunan pelindung pantai atau pulau maka gelombang tersebut akan membelok di sekitar ujung rintangan dan masuk di daerah terlindung di belakangnya seperti ditunjukkan pada gambar 2.2. Fenomena ini dikenal dengan difraksi gelombang. Perbandingan antara tinggi gelombang di suatu titik di daerah tersebut dan tinggi gelombang datang disebut dengan Koeffisien
Difraksi (Kd). Dengan KD = f (θ, β, r/L) dimana θ, β
dan r seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.2, sedangkan L adalah panjang gelombang. Pola garis puncak gelombang dibalik bangunan dapat didekati dengan busur lingkaran.
Gambar 2.2. Difraksi Gelombang (Sorensen, 2006)
Gelombang Pecah
Gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringannya, yaitu perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang. Di laut dalam kemiringan gelombang maksimum dimana gelombang mulai tak stabil diberikan suatu formula sebagai berikut :
H0/L0 = 1/7 = 0.142………[2.9]
Pada kemiringan tersebut kecepatan partikel puncak gelombang sama dengan kecepatan rambat gelombang. Kemiringan yang lebih tajam dari batas maksimum tersebut menyebabkan kecepatan partikel di puncak gelombang lebih besar daripada kecepatan rambat gelombang sehingga terjadi ketidakstabilan dan gelombang pecah.Tinggi gelombang pecah dapat dihitung dengan rumus hasil percobaan Munk (Cerc, USACE, 1984) berikut ini :
/ ′=1/(13.3 ′/ )1/3 ... [2.10]
Kedalaman gelombang pecah dihitung dengan rumus :
Db = Hb/b-(a.Hb/gT2)………..[2.11]
Dimana,
a = 43.75 (1-e-19m) b = 1.56/(1+e-19.5m)
di mana, Hb = tinggi gelombang pecah (m), Ho' = tinggi gelombang di laut dalam (m), Lo= panjang gelombang di laut dalam, db = kedalaman air pada saat gelombang pecah (m), m = kemiringan dasar laut, g = percepatan gravitasi (9.8 m/dt2), T = periode gelombang (dt). Sudut gelombang pecah dapat dihitung berdasarkan hasil hitungan refraksi pada kedalaman di mana terjadi gelombang pecah.
2.2.2 One Line Model Untuk Perubahan Garis Pantai
5
Model numerik untuk perubahan garis pantai sangat bermanfaat dalam memprediksi bentuk pantai berpasir. Pada kasus tertentu, model numerik digunakan untuk menghitung perubahan garis pantai akibat groin, jetty, breakwater, revetment, seawall dan rekayasa pantai seperti reklamasi dan penambangan pasir. Proses pantai yang sangat kompleks dapat diselesaikan dengan menggunakan model analitis maupun numerik. Model ini merupakan bagian dari model matematika. Persamaan proses pantai meliputi gelombang dekat pantai, sirkulasi gelombang dan perubahan garis pantai. Model matematik yang digunakan harus memperhatikan persamaan kedalaman gelombang dan periode gelombang. Model matematik yang telah dibuat diharapkan dapat mewakili keadaan yang sebenarnya. Model ini memperlihatkan transformasi gelombang di sekitar pantai.
Gelombang badai yang terjadi dalam waktu singkat dapat menyebabkan terjadinya erosi pantai. Selanjutnya gelombang biasa yang terjadi sehari-hari akan membentuk kembali pantai yang tererosi. Dengan demikian dalam satu siklus yang tidak terlalu lama profil pantai kembali pada bentuk semula. Dalam penelitian ini model numerik perubahan garis pantai, profil pantai diasumsikan menjadi sejumlah sel (ruas) (Gambar 2.3). Asumsi ini digunakan apabila profil pantainya seimbang. Formula model one-line berdasarkan persamaan konservasi sedimen pada volume sedimen atau garis pantai yang dijangkau. Formula ini diasumsikan bahwa pada offshore clossure depth (DC) tidak terdapat perubahan profil pantai, dan pada bagian atas profil pada berm crest elevation (DB) terjadi perubahan profil pantai. One line model yang digunakan disini adalah model perubahan garis pantai metode Komar (1984) yang dikembangkan oleh Suntoyo (1995) yang kemudian diaplikasikan
dalam Suntoyo (1998) dan kemudian dimodifikasi oleh Arif (2010) untuk memasukkan formula longshore sediment transport. Sedangkan untuk memasukkan Inman dan Bagnold (1963), CERC (USACE, 1984), dan Kamphuis (2002).
Adapun model ini didasarkan pada persamaan [2.12] berikut ini :
δy/δt = 1/db . δQlst/δx ………..….[2.12]
Dimana :
Y = jarak antara garis pantai dan garis referensi, db = kedalaman air saat gelombang pecah, Qlst =
transportasi sedimen sepanjang pantai, t = waktu, x = absis searah panjang pantai.
Sampai sekarang telah banyak rumus empiris atau formula transportasi sedimen sepanjang pantai yang diajukan. Formula laju transportasi sedimen sepanjang pantai (LST) itu antara lain, formula yang diajukan oleh Inman dan Bagnold (1963), persamaan CERC (USACE, 1984), dan formula dari Kamphuis (2002). Dalam praktek teknik pantai, persamaan laju total LST yang paling banyak digunakan adalah persamaan CERC (USACE, 1984). Formula ini didasarkan pada prinsip bahwa volume pasir dalam transportasi, Qlst sebanding dengan gaya gelombang sejajar pantai per satuan panjang pantai dan diberikan oleh persamaan berikut :
Qlst = [(ρk√g/γb)/16(ρs –ρ)g(1 – a)] Hs,b^2.5 . sin
(2φb ) ……….[2.13]
Dimana :
Qlst = laju LST dalam volume per satuan waktu, K = koefisien empiris (K= 0.39 atau K=0.2), ρ = densitas air laut, ρs= densitas pasir, g = percepatan gravitasi, a= porositas index ( 0,4), Hs,b = tinggi gelombang
Jurnal Tugas Akhir
6
pecah ketika pecah, γb = breaker indeks ( Hb / hb), θb= sudut datang gelombang pecah.
Gambar 2.3. Pembagian Garis Pantai Dalam Beberapa Pias/Sel
Inman dan Bagnold (1963) mengajukan sebuah teori di mana energi gelombang yang keluar dapat menahan dan mendorong pasir di atas dasar pantai, dan semua arus yang searah pada lapisan atas gerakan orbital gelombang dapat mengangkut pasir dan menghasilkan net drift searah dengan arus. Rumus transport pada teori mereka dapat dinyatakan sebagai berikut :
Qlst = [Kb/(ρs – ρ)g(1 – a)]Cgb Eb cosφb (V1/u0)
………[2.14]
Dimana :
Eb = energi gelombang pecah, Cgb = kecepatan gelombang pecah, V1 = kecepatan arus sejajar pantai (dalam praktek diukur pada pertengahan-surf zone), u0= kecepatan dasar horisontal maksimum dari
orbital gelombang di breaker zone.
Koefisien Kb merupakan parameter non dimensional yang nilainya konstan, berdasarkan data lapangan yang dikumpulkan dari lokasi pantai yang berbeda di Amerika Serikat dan Jepang (Komar, 1998) nilai yang diberikan yaitu sebesar 0,25.
Kamphuis (2002) mengembangkan suatu hubungan untuk memperkirakan laju LST terutama didasarkan pada percobaan model fisik. Formula yang ditemukan Kamphuis (2002) dapat diterapkan untuk data lapangan maupun data di laboratorium, formula tersebut yaitu sebagai berikut :
, = 2.27 ,^2 ^1.5 ^0.75 50^ −0.25
^0.6 (2 ) ……….…[2.15]
Dimana :
Qlst,m = laju transportasi immersed mass per satuan waktu, Tp= puncak periode gelombang, mb= kemiringan pantai dekat gelombang pecah, dan D50 = median grain size.
Sedangkan hubungan antara Qlst,m dan Qlst dapat dinyatakan sebagai berikut :
, = ( − ) (1− ) ………...[2.16]
Formula Kamphuis ini menarik karena mencakup periode gelombang dan kemiringan pantai, yang kedua hal tersebut berpengaruh signifikan terhadap gelombang pecah, serta ukuran butir, yang juga menjadi faktor penting dalam mobilisasi dan transportasi sedimen.
2.2.3 Metode Empirical Orthogonal Function (EOF)
Empirical Orthogonal Function (EOF)
adalah salah satu teknik dalam statistika untuk memetakan data observasi menjadi suatu bentuk fungsi yang diekstraksi dari data itu sendiri. Metode EOF dapat mencari sejumlah kecil 6ariable independen yang dapat memberikan sebanyak mungkin informasi tetapi tidak berlebihan. Analisis EOF dapat digunakan untuk eksplorasi variabilitas data secara objektif dan untuk menganalisa
7
hubungan antara variable (Ritphring dan Tanaka, 2007).
Konsep Dasar EOF
Tujuan aplikasi metode EOF untuk analisa perubahan morfologi pantai pada dasarnya adalah untuk mendeskripsikan perubahan yang terjadi antara beberapa profil atau garis pantai yang berbeda melalui suatu fungsi terkecil, yang biasa disebut dengan eigenfunction. Keuntungan utama dari penggunaan metode EOF adalah eigenfunction pertama terpilih sebagai kemungkinan terbesar varians data. Urutan eigenfunction berikutnya dipilih dari salah satunya, yang mereprentasikan kemungkinan jumlah terbesar dari perbedaan tersebut (Dean dan Dalrymple, 2002).
Selanjutnya Dean dan Dalrymple (2002) juga menyatakan bahwa untuk kondisi suatu profil yang stabil, dimana profil dimulai dari suatu ketinggian di pantai melintas batas air laut, kemudian menuju suatu kedalaman tertentu di dasar laut, merupakan hasil suatu survey k, dimana pada pada setiap survey, pengukuran dilakukan pada lokasi i yang sama sepanjang profil tersebut. Elevasi yang terjadi pada pengukuran tersebut dilambangkan dengan hik.
Dengan mengaplikasikan metode pemisahan variabel, Shu et al. (1994) menyatakan elevasi dasar dapat ditulis sebagai :
H (x, y, t) = ∑k ek (x) ek (y) ck*(t) ………….[2.17]
Dimana k( ) adalah eigenfunction arah
tegak lurus pantai (cross-shore), ( ) eigenfunction arah sepanjang pantai (longshore), dan ( ) adalah
temporal eigenfunction. Persamaan tersebut
mewakili variasi perubahan pantai pada arah tegak lurus pantai dan arah sepanjang pantai pada suatu waktu tertentu.
Eigenfunction arah tegak lurus pantai (cross-shore)
pada persamaan di atas merupakan suatu set orthonormal :
∑x em (x) en (x) = δmn ………..…[2.18]
Dimana adalah delta Kronecker. Untuk menghasilkan eigenfunction arah tegak lurus pantai dari data profil pantai, dibentuk matriks A dengan elemen aij didefenisikan sebagai :
aij = (1/Nx Ny Nt) ∑Ntt=1 ∑Nyy=1 h(i,y,t) h(j,y,t)
………[2.19]
Dimana adalah jumlah titik data per profil, adalah jumlah profil yang diukur sepanjang pantai, dan adalah jumlah waktu pengukuran. Persamaan di atas diintrepretasikan sebagai korelasi silang (cross-correlation) antara titik i dan j pada arah tegak lurus pantai. Matriks A yang memiliki suatu eigenvalue dan
eigenfunction ( ) didefinisikan oleh persamaan
matriks sebagai :
Aek (x) = λkx ek (x) ………….…………..[2.20]
Sesuai dengan langkah-langkah tersebut di atas, maka dapat diperoleh matriks B sebagai berikut: bij = (1/NxNyNt) ∑ Nt t=1 ∑ Nx x=1 h(i,x,t) h(j,x,t) ………..[2.21]
eigenvalue dan eigenfunction arah longshore ( ) dievaluasi dengan
8
Perkalian ∑x∑y( ( ( , , ) dan
penggunaan orthonormality dari ( dan ( , masing-masing, menghasilkan eigenfunction temporal yang diberikan oleh
Ck*(t) = ∑y∑x ek (x) ek (y) h(x,y,t)
……….[2.23] Ck*( dibiarkan tetap menjadi eigenfunction
orthonormal dengan
Ck (t) = Ck*( )/√∑k Ck*( )2 = Ck*( )/ak
……….[2.24] Dengan substitusi, maka diperoleh
h(x,y,t) = ∑k ak ek (x) ek (y) Ck (t)
……….……….[2.325] Dalam rangka menggambarkan variasi temporal untuk kedua komponen angkutan sedimen, maka perlu menyertakan en (y) dan ek (y) untuk
memanfaatkan orthonormality dari kedua variable tersebut agar diperoleh
ek (x,t) = h(x,y,t)ek (y) = ∑k ak ek(x)ck(t)
………[2.26]
Dengan cara sama, dengan mengalikan em(x) sehingga diperoleh
ek (y,t) = h(x,y,t)ek (x) = ∑k ak ek(y)ck(t)
………[2.27]
Persamaan 2.26 dan 2.27 tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi perubahan garis pantai arah tegak lurus pantai (cross-shore) dan arah sepanjang pantai (longshore).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Lokasi Penelitian
Pada lokasi penelitian, masih banyak permasalahan yang belum dapat diatasi seperti terjadinya masalah banjir, adanya kecenderungan abrasi sebagian besar daerah pantai, penurunan tanah (land subsidence), hingga meluasnya areal kawasan yang dilanda banjir pasang (rob). Kondisi ini relatif mengkhawatirkan mengingat berdasarkan penelitian dari BAPPEDA kota Semarang terjadi perubahan garis pantai yang signifikan. Mulai pada abad ke-17 hingga tahun 1990 terjadi perubahan garis pantai sepanjang kira-kira 2303 meter. Pada tahun 2003 terjadi kecenderungan abrasi menurut penelitian dari LPPSP dan BALITBANG Jateng. Dinamika perubahan garis pantai tersebut dipengaruhi oleh pola arus dan pergerakan sedimen kawasan pantai. Berdasarkan pola arus dan pergerakan sedimen sejajar pantai ini, maka kecenderungan kerusakan pantai (abrasi) akan dialami oleh kawasan yang berada di sisi sebelah timur pada kawasan pantai Semarang yang menjorok ke laut. Sebaliknya, kawasan pantai Semarang di sebelah barat cenderung terjadi akresi (pengendapan). Lokasi penelitian memiliki kontur yang relatif landai, dengan kemiringan rata-rata 0.020, dengan substrat sedimen hampir sebagian besar berupa lumpur (clay), beberapa diantaranya pasir sangat halus (sand
clay) (Dephut Jateng, 2006).
3.2. Analisa Data 3.2.1. Pasang Surut
Metode yang digunakan untuk analisa pasang surut adalah Least Square Method. Analisa ini dengan mengolah data pasang surut menggunakan bahasa pemrograman Fortran. Hasil
9
campuran condong ke harian ganda (Mixed,
semidiurnal tide) dengan nilai bilangan Formhzal
1.377, berada pada kisaran 1.00 < F ≤ 1.51,
Mean Sea Level (MSL) 60 cm dari muka surut
terendah. Grafik pasang surut di lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.1. Elevasi penting sebagai koreksi terhadap kedalaman perairan ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Gambar 3.1. Grafik pasang surut periode september 1998
Tabel 3.1. Elevasi pasang surut Elevasi Penting Nilai (cm) Elevasi
HHWL 115 55 MHWS 99 39 MHWL 76 16 MSL 60 0 MLWL 48 -12 MLWS 32 -28 LLWL 23 -37 3.2.2. Gelombang
Analisa parameter gelombang menggunakan data gelombang yang diperoleh dari stasiun BMKG Tanjung Emas Semarang. Hasil analisa statistik (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa 29.38 % gelombang datang
dari arah utara.
Tabel 3.2. Statistik presentase tinggi gelombang
3.2.3. Analisa Refraksi
Perhitungan dan analisa refraksi gelombang berdasarkan analisa refraksi pada SPM (1984), dengan menggunakan asumsi bahwa kontur kedalaman laut dianggap lurus dan parallel, data gelombang yang digunakan adalah dari gelombang dominan arah utara yang membentuk sudut 220
terhadap garis pantai, dan kemiringan pantai rata-rata sebesar 0.020. Dengan mengetahui beberapa parameter gelombang seperti tinggi gelombang, periode, dan sudut datang gelombang terhadap garis pantai, maka dapat ditentukan parameter gelombang pecah yang sangat berpengaruh terhadap transport sedimen pantai. Data gelombang yang digunakan diukur pada kedalaman (L0) 10 meter. Dalam
perhitungan ini, dengan mengasumsikan kontur kedalaman adalah lurus dan sejajar dengan garis pantai, maka parameter gelombang pecah dihitung untuk setiap kontur kedalaman. Hasil perhitungan tinggi gelombang pecah untuk setiap kedalaman kontur tersebut selanjutnya dibandingkan dengan hasil perhitungan tinggi gelombang yang 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1 57 113 169 225 281 337 393 449 505 561 617 673 Tinggi Gelombang (m) (%) AR AH 0 - 0.05 0.06 - 0.1 0.11-0.15 0.16 – 0.20 >0.20 Jumlah Utara 2.41 20.99 4.38 1.60 0.00 29.38 Timur Laut 0.00 1.88 1.09 0.00 0.00 2.97 Timur 0.00 19.12 5.37 0.00 0.00 24.49 Tenggara 0.00 10.63 4.12 0.00 0.00 14.75 Selatan 0.00 0.93 0.00 0.00 0.00 0.93 Barat Daya 0.00 0.86 0.00 0.00 0.00 0.86 Barat 0.00 3.20 2.12 0.56 0.20 6.08 Barat Laut 0.23 10.43 7.29 2.54 0.05 20.54 Jumlah 2.64 68.04 24.37 4.70 0.25 100.00
10
dipengaruhi oleh refraksi dan shoaling (H=Ho x Kr x Ks).
Tabel 3.3. Hasil Perhitungan Refraksi Gelombang
Arah Gelombang Dominan α0 H (m) Hb (m) db (m) Cb (m/s) Lb (m) Utara 22 0 0.36882 0.3565 0.46 2.116 21.17
3.5. Analisa Empirical Orthogonal Function (EOF)
Variasi perubahan garis pantai hasil analisa EOF dalam Tabel 3.6. menunjukkan lima
eigenfunction pertama yang mendominasi perubahan
garis pantai di lokasi penelitian. Kelima
eigenfunction tersebut mencapai 99.86% dari total
variabilitas. Mode pertama dari eigenfunction e1(x) mendominasi variabilitas garis pantai. Prosentase setiap eigenvalue pada tabel tersebut menunjukkan besarnya dominasi perubahan yang terjadi pada setiap mode terhadap perubahan garis pantai secara keseluruhan secara spasial maupun temporal.
Tabel 3.4. Eigenvalue yang menyatakan prosentase variabilitas garis pantai
e1(x) e2(x) e3(x) e4(x) e5(x) Lainya
30.50% 24.34% 18.49% 15.09% 11.44% 0.14
3.5.1 Variabilitas mode pertama
Eigenfunction spasial, e1(x), menunjukkan bahwa
secara spasial pada arah sejajar pantai (long shore) terjadi perubahan yang sangat fluktuatif pada sebagian besar sel. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh meningkatnya aktifitas pembangunan di kawasan tersebut. Gabungan c1(t)
dan e1(x) mencerminkan maju mundurnya garis
pantai tergantung pada tanda c1(t). Oleh karena itu,
e1(x) menggambarkan proses tegak lurus pantai
(cross-shore) yang mendominasi variabilitas di daerah ini berdasarkan nilai kontribusi pada Tabel 3.4.
3.5.2. Variabilitas mode kedua
Variabilitas spasial yang diwakili oleh e2(x)
menunjukkan fluktuasi perubahan pada sebagian besar sel dan sebagian sel cenderung stabil. Nilai-nilai c2(t) menunjukkan perubahan yang cukup
fluktuatif sebagaimana dengan mode pertama. Perubahan yang cukup signifikan terjadi pada periode 1998–2000 Kombinasi e2(x) dan c2(t)
mencerminkan perilaku yang hampir sama dengan mode pertama. Dimana e2(x) menunjukkan variasi
perubahan tegak lurus pantai secara keseluruhan, sementara secara temporal, c2(t) menunjukkan
dominasi perubahan yang terjadi.
3.5.3. Variabilitas mode ketiga
Variabilitas pada mode ketiga memberikan kontribusi perubahan yang hampir sama seperti pada mode pertama dan kedua, perubahan terjadi pada beberapa sel. Secara temporal, perubahan garis pantai diidentifikasi cenderung akresi pada tahun 1998 - 2000, sedangkan pada periode 2001 - 2003 cenderung terjadi abrasi. Kombinasi perubahan secara spasial dan temporal, e(x).c(t), mencerminkan besarnya perubahan yang terjadi secara tegak lurus pantai, sesuai tanda dari c(t).
3.5.4. Variabilitas mode keempat
Variabilitas mode keempat menunjukkan perubahan yang cukup konstan namun terdapat satu titik dimana terjadi perubahan yang cukup fluktuatif pada periode tahun 2001. Secara temporal mode ini menunjukkan variasi perubahan yang cukup fluktuatif.
3.5.5. Variabilitas mode kelima
Variabilitas mode kelima menunjukkan perubahan secara spasial yang hampir sama dengan mode keempat. Namun terjadi perbedaan yang cukup signifikan pada perubahan secara temporal terutama pada periode 1998 – 2000 yang cenderung terjadi abrasi.
11
batimetri tahun 2003 dan hasil oneline model tahun 2003 (Gambar 4.10) menunjukkan bahwa hasil analisa EOF tahun 2003 mendekati nilai ordinat peta tahun 2003 maupun hasil Oneline Model 2003. Perbandingan antara hasil analisa EOF, Oneline
Model dan peta tahun 2003 menunjukkan kemiripan
pola. Berikut ini perbandingan garis pantai pada peta 1998 dan 2003, Oneline model 2003, dan hasil analisa EOF 2003.
Gambar 3.2. Perbandingan peta 1998 dan 2003, hasil oneline model, dan hasil analisa EOF
Perbandingan antara hasil analisa EOF dan peta tahun 2003 (Gambar 4.11) dengan hasil analisa EOF dan hasil Oneline Model untuk tahun 2003 (Gambar 3.2) menunjukkan kemiripan pola. Perbandingan dengan Oneline Model menghasilkan nilai error yang lebih kecil dibanding dengan peta 2003. Hal ini dikarenakan data awal dari analisa EOF merupakan hasil peramalan garis pantai dari
Oneline Model.
Dengan menggunakan persamaan RMSE, diperoleh nilai RMSE untuk oneline model sebesar 0.04242641, lebih besar dari nilai RMSE untuk EOF model sebesar 0.0212132. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa EOF model memberikan kinerja yang lebih baik dari oneline model dalam analisa perubahan garis pantai di pantai Semarang. Selain itu, juga dilakukan perhitungan prosentase
3.8. Menghubungkan Hasil Analisa EOF Dengan Kondisi Lingkungan
Lokasi penelitian yang ditinjau sepanjang 6000 m dengan dibagi menjadi 200 pias/sel. Dimana dalam tiap-tiap pias tersebut terdapat nilai-nilai dari parameter yang dihubungkan dengan temporal
eigenfunction dari 5 mode yang dominan. Untuk
memudahkan dalam proses pengerjaan maka beberapa pias di asumsikan memiliki nilai yang sama. Dalam penelitian tugas akhir ini dibagi menjadi 4 daerah yang berbeda yaitu pias 1-108, 109-168,169-195, dan 196-200. Dari keempat daerah tersebut memiliki perbedaan dalam arah dan besarnya sudut datang gelombang di sepanjang pantai. Pada pias 1-108 sudut datang gelombang sebesar 220, pias 109-168 sebesar 300, pias 169-195
sebesar 180, serta pias 196-200 sebesar 360.
Tabel 3.5. Hubungan antara temporal eiegnfunction, c (t) dan parameter lingkungan di sekitar pantai
Pias θ c (t) Ho/Lo E Fx Fy 1-108 220 c1 (t) 0.1586 0.801 1.4 0.561 c2 (t) 0.137 0.69 1.2 0.483 c3 (t) 0.0625 0.316 0.547 0.221 c4 (t) 0.013 0.066 0.115 0.0463 c5 (t) -0.07 -0.3532 -0.612 -0.247 109-168 30 0 c1 (t) 0.1091 0.64 1.04 0.6 c2 (t) 0.094 0.551 0.892 0.515 c3 (t) 0.043 0.252 0.408 0.2354 c4 (t) 0.009 0.053 0.086 0.05 c5 (t) -0.048 -0.282 -0.457 -0.264 169-195 18 0 c1 (t) 0.2125 1.5 2.6 0.843 c2 (t) 0.183 1.26 2.233 0.726 c3 (t) 0.0837 0.5744 1.02 0.332 c4 (t) 0.0175 0.121 0.214 0.07 c5 (t) -0.094 -0.6434 -1.144 -0.3716 196-200 36 0 c1 (t) 0.1125 0.993 1.5 1.1 c2 (t) 0.097 0.855 1.293 0.939 c3 (t) 0.0443 0.391 0.591 0.43 c4 (t) 0.0093 0.082 0.124 0.09 c5 (t) -0.05 -0.438 -0.662 -0.481 922.9 923 923.1 923.2 923.3 923.4 1 35 69 103 137 171 Oneline Model 2003 Peta 1998 EOF Model 2003
12
Tabel 3.6. Hubungan antara eigenvalue dan parameter lingkungan di sekitar pantai
Pias Mode Nilai Eigenval ue Ho/Lo E Fx Fy 1-108 1 1.845 0.0609 0.3078 0.5334 0.2155 2 1.472 0.0486 0.2455 0.4256 0.1719 3 1.1184 0.037 0.1866 0.3233 0.131 4 0.913 0.0302 0.1523 0.264 0.107 5 0.692 0.023 0.1154 0.2 0.081 109-168 1 1.845 0.0419 0.2458 0.398 0.2297 2 1.472 0.0324 0.1961 0.3175 0.1833 3 1.1184 0.0254 0.15 0.2412 0.1392 4 0.913 0.021 0.1216 0.197 0.114 5 0.692 0.016 0.0922 0.15 0.0862 169-195 1 1.845 0.0816 0.5606 0.9963 0.324 2 1.472 0.0651 0.4472 0.795 0.2583 3 1.1184 0.0495 0.34 0.604 0.1963 4 0.913 0.0404 0.2774 0.493 0.1602 5 0.692 0.031 0.2103 0.374 0.1215 196-200 1 1.845 0.0432 0.3814 0.577 0.419 2 1.472 0.0345 0.3043 0.46 0.3343 3 1.1184 0.0262 0.2312 0.35 0.254 4 0.913 0.0214 0.189 0.2854 0.2073 5 0.692 0.0162 0.1431 0.2163 0.1572 4. KESIMPULAN 4.1. Kesimpulan
Dari Tugas Akhir yang telah dilakukan selama ini, kesimpulan yang diperoleh dari analisa hasil dan pembahasan adalah sebagai berikut :
1. Dari analisa EOF diperoleh lima mode
eigenvalue dengan variabilitas mencapai
99.86% dari total variabilitas. Presentase perubahan garis pantai di lokasi penelitian antara 0,032% sampai 0,37%. Pada beberapa sel di lokasi penelitian terdapat perubahan yang cukup signifikan antara lain pada sel 21-27, 47-48, 136-137, 139-140, 143, 169-170, serta sel 195-196. Perubahan terbesar pada sel 195 dan 196 dengan perubahan mencapai 0.324% dan 0.37% dari garis pantai awal (tahun 1998). 2. Dalam kaitannya dengan hubungan antara
parameter di dekat pantai dengan nilai
temporal eigenfunction diperoleh hasil
bahwa dimana semakin besar sudut datang maka akan diperoleh nilai dari wave steepness (Ho/Lo), energi gelombang (E),
dan energi gelombang secara cross shore (Fx) yang semakin kecil sehingga terjadi suatu perbandingan yang berbanding terbalik.
3. Pada eigenvalue diperoleh hasil makin besar nilai eigenvalue yang dihasilkan maka makin besar pula nilai dari wave steepness (Ho/Lo), energi gelombang (E), dan energi gelombang cross shore (Fx) sehingga terjadi suatu perbandingan yang berbanding lurus. Namun dari temporal eigenfunction dan eigenvalue tak diperoleh perbandingan nilai Fy yang tepat.
4.2. Saran
Untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih sempurna, perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan sumber data real hasil pengamatan di lapangan, baik melalui pengukuran posisi garis pantai yang diambil pada interval waktu tertentu secara konstan ataupun melalui foto udara dengan menggunakan satelit sehingga hasil analisa EOF benar-benar menggambarkan variasi perubahan yang nyata secara spasial dan temporal. Selain itu pada penelitian selanjutnya parameter-parameter lingkungan di sekitar pantai perlu ditambah supaya menjadi lebih bervariasi dan memperoleh karakteristik yang lebih mendetail pada lokasi penelitian yang ditinjau seperti menambahkan parameter profil, surf similarity, surfzone Froude
number, ataupun non-dimensional fall velocity.
DAFTAR PUSTAKA
Arkwright, D., 2010. Analisa Perubahan Garis
Pantai Bangkalan Madura Menggunakan Metode Empirical Orthogonal Function
13
[CERC] Coastal Enginering Research Center 1984.
Shore Protection Manual Volume I, Fourth
Edition. Washington: U.S. Army Coastal Engineering Research Center.
Dean, R. G. dan Dalrymple, R. A., 2002. Coastal
Processes with Engineering
Applications. Cambridge: Cambridge
University Press.
Departemen Kehutanan., Direkorat Jenderal Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali-Jratun Provinsi Jawa Tengah., 2006.
Laporan Akhir Inventarisasi Dan Identifikasi Mangrove Wilayah Balai Pengelolaan DAS Pemali Jratun Provinsi Jawa Tengah.
Fairley, I., Davidson, M., Kingston, K., Dolphin, T., dan Phillips, R., 2009. Empirical
orthogonal function analysis of shoreline changes behind two different design of detached breakwaters. Journal Coastal
Engineering. Vol 56. Elsivier (Sciencedirect). 1097-1108p
Herrington, T. O., Miller, J. K., dan Dean, R. G. 2006. Characteristic Shoreline Change
Patterns Identified Using EOF Analysis,
Journal Coastal Engineering. 3516-3528p.
Hsu, T. W., Ou, S. H, dan Wang, S. K. 1994. On the
prediction of beach changes by a new 2-D empirical eigenfunction model, Journal
Inman, D.L., Bagnold, R.A., 1963. Littoral
Processes, in the Sea, vol. 3. Interscience,
In: Hill, M.N. (Ed.), New York, pp. 529– 533.
Kamphuis, J.W., 2002. Alongshore transport of
sand. Proceedings of the 28th International
Conference on Coastal Engineering. ASCE, pp. 2330–2345.
Komar, P. D. 1984. CRC Handbook of coastal processes and erosion. CRC Press,
inc. Florida.
Komar, P. D. 1998. Beach Processes and
Sedimentation, New Jersey: Prentice-
Hall Inc, Englewood Cliffs.
Miller, J. K. dan Dean, R. G., 2007. Shoreline
variability via empirical orthogonal function analysis: Part I temporal and spatial characteristics. Jurnal Coastal
Engineering. Vol. 54. 111-131p
Miller, J. K. dan Dean, R. G., 2007. Shoreline
variability via empirical orthogonal function analysis: Part II relationship to nearshore conditions. Jurnal Coastal
Engineering. Vol. 54. 133-150p
Munoz-Perez, J. J., Medina, R., dan Tejedor, B., 2001. Evolution of longshore beach contour
lines determined by the E.O.F. method.
14
Munoz-Perez, J. J., dan Medina, R., 2010.
Comparison of long-, medium- and short-term variation of beach profiles with and without submerged geological control.
Jurnal Coastal Engineering. Vol. 57. 241-251p.
Ritphring, S. dan Tanaka, H., 2007. Topographic
Variability via Empirical Orthogonal Function Analysis in The Vicinity of Coastal Structure. Prosiding International
Conference of Violent Flow, Kyushu University, Fukuoka.
Sorensen, R. M., 2006. Basic Coastal Enginering, John Wiley & Son, Inc., New York, 226 hal.
Suntoyo, 1995. Kajian Pengamanan dan
Perlindungan Pantai Candidasa Bali,
Skripsi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Triatmodjo, B., (1999). Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta.
Winant, C. D., Inman, D. L., Nordstrom, C. E., 1975. Description of seasonal beach
change using empirical eigenfunction.
Jurnal Geophysical Research. Vol. 80 (15). 1979-1986p
www.suaramerdeka.com .,20/6 dan 23/6/07 tulisan
oleh Prof. Sudharto P Hadi, MES, PhD, Pakar Lingkungan UNDIP). (Diakses pada 24/3/2011).