• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN BIORETENSI SEBAGAI SALAH SATU ECO-DRAINASE JALAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN BIORETENSI SEBAGAI SALAH SATU ECO-DRAINASE JALAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Ilmiah KORPRI Kopertis Wilayah IV

KAJIAN BIORETENSI SEBAGAI SALAH SATU ECO-DRAINASE

JALAN

Dini Handayani

Puslitbang Jalan dan Jembatan

ABSTRAK - Perkerasan jalan dan permukaan kedap air lain yang terkait dengan gerakan

kendaraan termasuk jalan masuk dan tempat parkir berkontribusi sebanyak 70% dari total permukaan kedap air di wilayah perkotaan (Wong, et al, 2000), dan kesemuanya diakui sebagai sumber berbagai polutan yang masuk lingkungan air. Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan (SDKB) dipandang sebagai sarana untuk memperbaiki keseimbangan dan mengelola air hujan dalam lingkungan perkotaan dengan tujuan meminimalkan dampak pembangunan terhadap kualitas dan kuantitas limpasan, sementara memaksimalkan kenyamanan dan keanekaragaman hayati. Selanjutnya untuk mendapatkan kajian drainase jalan yang berwawasan lingkungan tersebut dilaksanakan FGD yang akhirnya mendapatkan kesimpulan bahwa bioretensi merupakan salah satu bentuk SDKB yang dapat diterapkan mendampingi drainase jalan yang ada, atau dibuatkan di pulau-pulau jalan dan median jalan. Kata Kunci : Bioretensi, SDKB, Eko-drainase jalan

ABSTRACT - Road of pavement and impermeable surface related to the movement of vehicles,

including driveways and parking lots contribute as much as 70% of the total impermeable surface in urban areas (Wong, et al, 2000), all of which are recognized as the source of various pollutants that enter the aquatic environment. Sustainable Urban Drainage Systems (SDKB) is seen as a means to improve the balance and to manage rainwater in urban environments with the goal of minimizing the impact of development on the quality and quantity of the runoff, while maximizing comfort and biodiversity. Furthermore, focus group discussion was carried out in order to get a review of environmentally sound road drainage by which it eventually came to the conclusion that bioretention is one form of SDKB that can be applied accompanying the existing road drainage, or made on the islands roads and road median.

Keywords: Bioretention, SDKB, eco-road drainage

PENDAHULUAN

Drainase jalan konvensional bertujuan untuk mengalirkan air secepat mungkin dari permukaan jalan, sehingga jalan aman untuk lalu lintas, dan untuk mencegah air masuk ke struktur perkerasan jalan yang berpotensi menimbulkan kerusakan struktur jalan. Sistem drainase jalan konvensional meliputi pengumpulan limpasan hujan di selokan pinggir jalan, melalui inlet dan/atau langsung, atau melalui perangkat pengumpul lain, dan mengalirkannya ke sistem sungai atau badan penerima air lainnya.

Sampai saat ini, banyak sistem drainase jalan dan permukaan lainnya di daerah perkotaan di samping menerima air hujan juga menerima air buangan atau air limbah. Air limbah yang masuk ke sistem drainase tanpa terlebih dahulu melalui instalasi pengolah air limbah (IPAL) sehingga kualitas air drainase kombinasi ini menurun.

250 Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016

(2)

Perkerasan jalan dan permukaan kedap air lain yang terkait dengan gerakan kendaraan termasuk jalan masuk dan tempat parkir berkontribusi sebanyak 70% dari total permukaan kedap air di wilayah perkotaan (Wong, et al, 2000), dan kesemuanya diakui sebagai sumber berbagai polutan yang masuk lingkungan air.

Polutan yang terjadi pada limpasan jalan berasal dari berbagai sumber. Konsentrasi polutan dalam limpasan jalan sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor termasuk lokasi, volume lalu lintas, tingkat periode kering sebelum hujan datang, frekuensi pembersihan jalan dan sifat permukaan jalan.

Peningkatan urbanisasi diakui telah menyebabkan modifikasi dan/atau kerusakan alur sungai alami, badan air dan air tanah akibat polutan dalam air limbah yang dialirkan ke sistem drainase tanpa melalui IPAL, penurunan sumber daya dan hilangnya dataran banjir alami untuk pembangunan.

Akhir-akhir ini mulai didorong untuk mengembangkan drainase terpisah, sistem air limbah dipisahkan dari sistem drainase. Namun, sistem drainase tetap menggunakan pendekatan konvensional, yaitu membuang air secepat mungkin ke luar dari daerah milik jalan yang pada gilirannya mengubah pola aliran alami, dan berpotensi menimbulkan masalah di tempat lain. Pendekatan ini dalam pembangunan perkotaan dapat menyebabkan banjir dan terganggunya siklus hidrologi yang dapat merugikan sumber daya air dan lingkungan alami.

Dengan kata lain, sistem drainase konvensional belum dirancang dengan konsep keberlanjutan, dengan tanpa memperhatikan kualitas air, resapan banjir, sumber daya air, kenyamanan dan potensi peningkatan habitat.

Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan (SDKB) dipandang sebagai sarana untuk memperbaiki keseimbangan dan mengelola air hujan dalam lingkungan perkotaan dengan cara meminimalkan dampak pembangunan terhadap kualitas dan kuantitas limpasan, sementara memaksimalkan kenyamanan dan keanekaragaman hayati.

KAJIAN PUSTAKA

SEKILTAS TENTANG SISTEM DRAINASE PERKOTAAN BERKELANJUTAN (SDKB)

Ada kesenjangan yang cukup besar dalam mendesain sistem drainase, antara sistem drainase konvensional dan Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan. Paradigma sistem drainase konvensional adalah membuang air secepat-cepatnya dari lokasi yang menjadi target drainase, sementara paradigma Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan adalah mengelola air hujan. Air hujan yang jatuh di lokasi target dikelola dengan mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air baku dan kehidupan aquatik dengan meresapkan air permukaan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah yang dilengkapi dengan penyaringan polutan (mempertimbangkan konservasi air).

Secara ringkas perubahan dan/atau perubahan paradigma pengembangan sistem drainase konvensional dan Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan seperti ditampilkan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Pergeseran Paradigma Pengelolaan Sistem Drainase

Sistem Drainase Konvensional

(Drainase Pematusan)

Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan (Pengelolaan Air Hujan)

membuang air hujan secepat-cepatnya mengelola air hujan dan meniru proses alam sistem pengelolaan genangan sistem pengelolaan ekosistem

hanya memperhatikan puncak banjir air hujan terpadu dengan tata guna lahan

(3)

fokus pada hujan ekstrim mempertimbangkan volume limpasan bersifat reaktif (pemecahan masalah) bersifat proaktif (memecahkan masalah) berbasis teknologi berbasis tim multidisiplin

pengambilan keputusan sepihak keputusan berdasar konsensus kepemilikan pada pemerintah kemitraan dengan semua pihak

Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan (SDKB) adalah konsep yang mempertimbangkan faktor lingkungan dan sosial dalam membuat keputusan tentang drainase. SDKB memperhitungkan kuantitas dan kualitas limpasan, dan nilai layanan dari air permukaan dalam ekosistem perkotaan. Berbeda dengan drainase perkotaan konvensional, yang justru menjadi penyebab banjir, polusi dan kerusakan lingkungan, dan terbukti tidak berkelanjutan. SDKB diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dibandingkan sistem drainase konvensonal, karena:

(1) mengendalikan laju limpasan, mengurangi dampak urbanisasi terhadap debit banjir;

(2) melindungi atau memperbaiki kualitas air;

(3) lebih memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat setempat;

(4) menyediakan habitat bagi hewan dan tumbuhan liar bagi badan air di perkotaan; dan

(5) mendorong berlangsungnya imbuhan air tanah. melalui cara-cara:

(1) mengelola limpasan sedekat mungkin dengan tempat di mana hujan jatuh;

(2) mengelola potensi pencemaran pada sumbernya saat ini dan di masa yang akan datang; dan

(3) melindungi sumber daya air dari sumber pencemar.

METODOLOGI

Melalui pelaksanaan FGD di Pusat penelitian dan Pengembangan Jalan dengan berbagai narasumber, baik itu dari ITB , Undip, Puslitbang Jalan dan Jembatan pembahasan Drainase Jalan Berwawasan Lingkungan dilaksanakan pada bulan September 2015, tulisan ini dapat disarikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep SDKB memungkinkan suatu kawasan perkotaan (daerah tangkapan air = DTA) dibagi menjadi banyak bagian (sub-DTA) yang masing-masing mempunyai karakteristik dan pemanfaatan lahan yang berbeda-beda, masing-masing dengan strategi pengelolaan hujan dan limpasan yang berbeda pula. Mengelola hujan di tempatnya tidak hanya mengurangi kuantitas limpasan yang harus dikelola di suatu tempat, tetapi juga mengurangi kebutuhan sistem pembawa (saluran) untuk mengalirkan air keluar dari kawasan.

Ada berbagai macam teknologi SDKB yang sering dimnafaatkan untuk mengelola air hujan wilayah, yang dikembangkan untuk mempertahankan daya dukung, daya tampung lingkungan hidup dan usaha mempertahankan ruang terbuka. Beberapa jenis teknologi SDKB yang mulai banyak diimplementasikan diberbagai negara sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Komponen Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan (SDKB) Tipe Peruntukan

Lahan Komponen SDKB Tipikal lokasi

SDKB untuk lahan terbuka umum

• Kolam dan lahan basah

• Kolam infiltrasi dan retensi

Lahan terbuka umum, taman kota (public open

252 Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016

(4)

Tipe Peruntukan

Lahan Komponen SDKB Tipikal lokasi

Jalur penyaring (filter strips)

Sengkedan (swales)

• Bioretensi

Drainase penyaring (filter drain)

• Saluran dan kanal

space)

SDKB untuk jalan • Jalur penyaring (filter strips)

Sengkedan (swales)

• Bioretensi

Saluran penyaring (filter drain)

• Saluran dan kanal

Jalan

SDKB untuk lahan milik pribadi

• Taman atap

• Perkerasan permeabel

• Pemanenan air hujan

Lahan milik pribadi

Kolam dan lahan basah: Kolam dan lahan basah adalah area terbuka yang dirancang untuk

menyimpan sementara kelebihan air selama terjadi hujan, dengan kedalaman terbatas (Gambar 1). Tinggi air naik pada saat hujan. Kolam dan lahan basah juga berfungsi untuk menangkap polutan yang terbawa limpasan air permukaan. Keduanya mempunyai fungsi yang hampir sama, bedanga kolam lebih fokus pada penyimpanan kelebihan air sedangkan lahan basah lebih fokus pada penyaringan polusi.

Fitur kolam dan lahan basah yang terletak di area ruang terbuka publik harus dirancang yang menarik secara visual menarik, sekaligus untuk menyediakan habitat satwa liar dan aman. Kolam dan lahan basah harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan lahan/ruang yang berlebihan namun dapat memberikan keanekaragaman hayati yang lebih baik dan pemeliharaan lebih mudah.

Gambar 1. Kolam dan lahan basah yang mudah diakses (Wilson, 2009)

Kolam retensi dan infiltrasi: Fitur jenis ini biasanya dikembangkan di daerah datar,

daerah berumput yang biasanya kering. Pada daerah dengan hujan tinggi kolam ini digunakan untuk menyimpan air dalam waktu yang pendek. Kolam ini sering multiguna, misalnya bisa berfungsi ganda sebagai area bermain.

Kolam retensi menyediakan tempat penyimpanan kelebihan air hujan dalam jangka pendek. Pada saat terjadi hujan sangat tinggi, muka air perlahan-lahan akan meningkat, setelah itu permukaan air turun kembali secara perlahan-lahan begitu air dialirkan keluar dari kolam ke badan air atau selokan terdekat.

(5)

Kolam infiltrasi mirip dengan waduk kecuali bahwa air yang disimpan meresap ketanah di bawah kolam (Gambar 2). Tanah di bawah kolam harus cukup permeabel untuk memungkinkan air meresap cukup cepat. Jika tanah yang marginal untuk infiltrasi maka perlu dibuat parit infiltasi di bawah kolam supaya kinerjanya lebih efektif. Kolam infiltrasi dapat menangkap beberapa polutan yang terbawa limpasan air hujan, namun untuk lebih efektif masih memerlukan kontrol sumber di bagian hulu.

Gambar 2. Kolam infiltrasi setelah terjadi hujan (kiri), kolam pada umunya kering (kanan)

Sengketan (swale): Sengkedan adalah saluran yang sangat dangkal yang digunakan untuk

mengumpulkan dan / atau mengalirkan air dan juga menangkap polutan yang terlarut dalam limpasan air hujan (Gambar 3). Sengkedan dapat ditanami rumput atau vegetasi lain dan memiliki lereng sisi landai dengan dasar datar, sebagian besar waktu air mengalir dalam lapisan tipis melalui rumput atau vegetasi lainnya.

Filter strip landai daerah rumput yang mengalir air ke dan di seluruh, biasanya menuju sengkedan atau filter saluran. Tujuan utama dari strip filter untuk menghilangkan lumpur dalam air sehingga tidak menyumbat sengkedan atau filter menguras.

Gambar 3. Sengkedan dangkal (shallow swale) dan filter strip (strip infiltration) Bioretensi: Bioretensi adalah daerah cekungan (depresi) di mana limpasan air mengalir dan

mengumpul, serta meresap ke dalam tanah di bawah area tersebut, sehingga meningkatkan penangkapan polutan. Fitur ini juga dikenal sebagai taman hujan (rain garden) (Gambar 4). Berdasarkan konstruksinya, biotretensi dibedakan menjadi bioretensi biasa dan bioretensi

254 Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016

(6)

perkotaan. Bioretensi biasa dikembangkan dengan lereng dari tanah tanpa konstruksi penguat. Kemiringan lereng berkisar antara 1:3 s/d 1:4 tergantung jenis tanah.

Gambar 4. Bioretensi atau rain garden

Secara umum struktur bioretensi terdiri dari (Gambar 5): 1) lapisan atas berupa tanah sebagai media tanam; 2) lapisan pasir sebagai filter polutan padatan;

3) geotekstil yang memisahkan antara lapisan pasir dan lapisan kerikil, untuk mencegah supaya pasir tidak masukm ke lapisan kerikil;

4) lapisan kerikil di bagian paling bawah, yang menapung air sebelum meresap ke dalam tanah.

Gambar 5. Tipikal Struktur Bioretention biasa (Strauch, K., 2014)

Fungsi penyaringan polutan pada bioretensi terdiri dari 2 komponen, yaitu penyaringan polutan dari bahan kimia oleh tumbuhan (secara vegetatif), dan penyaringan polutan padatan oleh pasir dan kerikil.

ADOPSI SDKB UNTUK JALAN

Drainase jalan diharapkan mampu menjamin kinerja perkerasan jalan secara memuaskan. Fungsi utama sistem drainase jalan adalah (Finn, et al, 2004 ):

• Mencegah terjadinya banjir pada badan jalan dan genangan di permukaan jalan; • Melindungi daya dukung perkerasan dan material dasar (sub grade);

Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016 255 1. Lapisan tanah untuk tanaman

(humus) 2. Lapisan pasir 3. Geotektstil 4. Lapisan kerikil

(7)

• Menghidari erosi bahu jalan.

Tantangan yang dihadapi saat ini adalah untuk menemukan dan mengembangkan sistem drainase jalan yang selaras dengan konsep Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan dan efisien secara ekonomi.

Filosofi desain dalam mengadopsi SDKB pada drainase jalan harus mampu mewujudkan empat prinsip kunci seperti

Gambar 6. Empat Prinsip Kunci Adopsi SDKB pada Drainase Jalan

Komponen SDKB yang dapat diadopsi pada drainase jalan dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu pengendalian di sumber (source control), dan pengendalian di lokasi (site

control).

Pengendalian pada sumber: pengendalian pada sumber atau dapat dikatakan sebagai

pengelolaan tahap pertama harus menjadi pilihan utama dalam merencanakan sistem drainase, karena pengendalian limpasan dekat dengan lokasi hujan menghasilkan daerah tangkapan yang relatif kecil sehingga volume limpasan dan polutan tidak terkonsentrasi ke dalam aliran air yang masuk ke badan air penerima, dan sebagai hasilnya konsekuensi kegagalan lebih rendah. Limpasan air permukaan oertama, yang mengandung kontaminan luar biasa tinggi yang merupakan akumulasi selama periode kering, disebut pencucian pertama (first flush).

Komponen SDP yang dapat secara efektif mengelola limpasan permukaan pencucian pertama meliputi: lajur penyaring (filter strips), perkerasan tembus air (pervious pavements), sengkedan (swales), saluran penyaring (filter drains) atau parit resapan (infiltration trenches), bioretensi (bioretention).

Diskripsi singkat komponen SDKB yang berbasis pengelolaan pada sumber ditampilkan pada Tabel 3 berikut.

256 Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016 Disain Berkualitas Tinggi Design Mudah Pemeliharaan Kinerja Pendekatan Terintegrasi dengan Kesehatan & Keamanan

Mengurangi risiko banjir; Meningkatkan kualitas air; Memberikan manfaat

keanekaragaman hayati; Meningkatkan pengisian air

tanah; Memberikan kemudahan bagi

warga.

Disain yang rinci dan terkendali;

Integrasi dengan pengaturan lanskap yang lebih luas;

Penggunaan bahan berdampak rendah;

Dirancang dengan lanskap yang menarik.;

Fitur dan risiko mudah diidentifikasi;

Kemiringan kecil; Jika diperlukan pagar dapat di buat dari tanaman atau desain yang sehat dan aman.

Sederhana, fitur di permukaan;

Meminimalkan penggunaan grills dan fitur rekayasa lainnya;

Pemilihan tanaman yang tepat untuk kemudahan pemeliharaan dengan tidak mengorbankan keanekaragaman hayati (kecuali pencegahan erosi menjadi prioritas)

(8)

Tabel 3 Komponen LID untuk pengendalian pada sumber

Komponen Deskripsi Contoh

Bioretensi Lahan cekungan atau dibuat lebih rendah dari lahan atau jalan yang dilayani drainasenya yang dilengkapi dengan tanaman dan filter untuk menurunkan volume limpasan air dan menghilangkan polutan. Tingkat penyerapan polutan tinggi.

Sumber: Suripin 2015

Pengendalian pada lokasi untuk jalan: perlakuan tahap kedua dalam rangkaian pengelolaan

limpasan permukaan, setelah pengelolaan pada sumber adalah pengelolaan di lokasi. Volume limpasan permukaan dan konsentrasi polutan harus diambil lebih tinggi dalam perencanaan drainase yang tidak menerapakan pengendalian di sumber, terutama jika limpasan permukaan dikumpulkan dari sejumlah sub-DTA. Komponen pengendalian di lokasi meliputi: kolam (ponds), kolam detensi (detention basins), kolam infiltrasi (infiltration basins), lahan basah (wetlands), pasir penyaring (sand filters). Secara detail komponen=komponen pengendalian ini telah masuk ke dalam Lampiran IV Peraturan Menteri PU No.12 tahun2014 Tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan

Syarat minimum yang harus dipenuhi dalam mengadopsi SDKB pada drainase jalan adalah sebagai berikut:

1. Meniru sistem drainase alami dan berada sedekat mungkin dengan lokasi pengembangan/kegiatan.

2. Mencegah limpasan permukaan dari lokasi hujan untuk curah hujan kecil dengan fasilitas yang memungkinkan air meresap ke dalam tanah atau menguap kembali ke udara.

3. Membatasi frekuensi volume limpasan curah hujan ekstrim dengan menerapkan hujan rencana dengan periode ulang yang lebih panjang, misalnya 50-tahuan atau 100-tahunan. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan berbagai fitur termasuk kolam, kolam infiltrasi, perkerasan permeabel dan lahan basah.

4. Menjaga agar limpasan air hujan tidak mengalami peningkatan antara pra-pembangunan dan pasca-pembangunan jalan (zero delta q policy). Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan berbagai fitur termasuk kolam, kolam infiltrasi, perkerasan permeabel dan lahan basah.

Pemilihan Fitur SDKB

Fitur SDKB harus dipilih dengan menggunakan kriteria seleksi yang tepat yang berfungsi untuk mengidentifikasi kemampuan dan keterbatasan masing-masing fitur SDKB untuk implementasikan di jalan. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan untuk setiap lokasi tertentu dievaluasi menggunakan alat seleksi. Seleksi diklasifikasikan menjadi tiga proses utama scoping, evaluasi dan seleksi akhir dan proses ini dibagi lagi menjadi enam tahap utama, sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 7 berikut.

(9)

Gambar 7. Bagan Alir Pemilihan Fitur SDKB

258 Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016

Deskripsi Pekerjaan

• Type Jalan

• Stakeholder Kunci

Karakteristik Lainnya

• Data-data spesifik lainnya

Kendali Fisik:

• Kemungkinan Lahan

• Tingkat Pelayanan yg dibutuhkan

Integrasi antara infrastuktur pada jalan eksisting

INTEGRASI antara UTILITAS dan INFRASTRUKTUR lainnya

Topografi:

• Kontribusi area Drainase

• Tingkat kemiringan

• Tingkat Muka air tanah

Ketepatan tanah

• Tipe tanah

• Geologi yang mendasar

• Rata-rata infiltrasi

Lain-lain:

Seperti : Tanah eksisting yg terkontaminasi

Angka Faktor lainnya:

Analisa data lainnya: kesempatan dan kendala

Pilihan SDKB yg Memungkinkan:

Daftar rangking yg potensial untuk SDKB

Pengendali Sosial dan Politik:

• Terusat Kesehatan masyarakat dan Keselamatan

• Kenyamanan dan Keindahan

Pengendali Teknik:

• Konstruksi yang mudah

• Selamat

• Sistem yg handal

Pengendali OPERASI dan PEMELIHARAAN:

• Pemeliharaan yang mudah

• Kebutuhan Pelayanan, dll.

OUTLINE DESAIN PENDAHULUAN

PEMBIAYAAN:

• Faktor harga afektif

• Harga keseluruhan

• Whole-life-maintenance-cost

SELEKSI dari SDKB yang TEPAT

D A B C E F S E LE K S I A K H IR E V A LU A S I P E N JA JA K A N

(10)

PENGUATAN SDKB UNTUK JALAN EKSISTING

Sejarah perkembangan jaringan drainase konvensional untuk jalan mengikuti paradigma membuang air secepat mungkin jauh dari jalan untuk mengurangi risiko yang dapat menurunkan kekuatan tanah dasar dan merusak jalan. Meskipun pelaksanaan SDKB sebagai bagian dari perkembangan baru dapat membantu mengurangi risiko banjir dan meningkatkan kualitas air di sungai dan saluran, sistem drainase jalan yang ada juga perlu dipertimbangkan dalam konteks ini. Ini adalah tujuan prinsip perkuatan SDKB pada jalan yang ada (eksisting).

Peluang untuk penguatan SDKB pada jalan eksisting di daerah perkotaan yang paling mungkin dan bisa dianggap praktis adalah: Pada saat rekonstruksi jalan/ skema resurfacing, pada saat perbaikan drainase skala besar, serta pada saat dilakukan peningkatan ekspansi perumahan di skema perkotaan dan pedesaan.

KESIMPULAN

1. Peluang untuk memaksimalkan pengelolaan air limpasan hujan di jalan adalah dengan penguatan SDKB, dengan mengembangkan sistem bioretensi

2. Untuk implikasi jangka panjang, sistem ini cukup komprehensif mendampingi saluran drainase yang ada.

SARAN

Perlu adanya prototipe/ model fisik bioretensi sebagai salah satu eco-drainase jalan.

REKOMENDASI

Sebaiknya dilakukan kajian berikutnya secara komprehansif agar menambah dan melengkapi kurangnya informasi teknis dengan membuat pedoman teknis. Dapat juga dilakukan adopsi dari beberapa kajian dari negara lain, dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dan menjawab ketidakpastian pengelolaan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Diucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan

Dengan terlaksananya Forum Grup Discussion mengenai Drainase Berwawasan Lingkungan pada bulan September 2015

DAFTAR PUSTAKA

British Columbia Ministry of Water, Land and Air Protection (2005). Water Balance Model

for British Columbia: Well, What is Rainwater Management, Really?

Bioremediation Cells and Low-Impact Development (LID). The Nebraska Environmental Trust.

http://ne.water.usgs.gov/projects/bioremediation/omaha.html diakses tanggal 21 September 2016

Finn, G., D. Buckley, K. Kelly, J. McDaid, D. Mullaney, and J. Power. (2004). Guidelines

for Road Drainage. The Department of the Environment, Heritage and Local Government, Ireland.

Wong, T., Breen, P., and Llloyd, S. (2000). Water Sensitive Road Design-Design Options for

Improving Stormwater Quality of Road Runoff, Cooperative Research Centr for Catchment Hydrology (CRCCFH) Technical Report 00/01.r

(11)

Wilson, S., Bray, R., Neesam, S., Bunn, S., and Flanagan, E. (2009). Sustainable Drainage:

Cambridge Design and Adoption Guide. Cambridge City Council

Riwayat Penulis

Rr. Dini Handayani, ST., MT adalah Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan

Pengembangan Jalan dan Jembatan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. email : dini.handayani41@gmail.com

260 Tekno Efisiensi Vol.1 No. 3 Desember 2016

Gambar

Tabel 2. Komponen Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan (SDKB)  Tipe  Peruntukan
Gambar 1. Kolam dan lahan basah yang mudah diakses  (Wilson, 2009)
Gambar 2. Kolam infiltrasi setelah terjadi hujan (kiri), kolam pada umunya kering  (kanan)
Gambar 4. Bioretensi atau rain garden Secara umum struktur bioretensi terdiri dari (Gambar 5):
+4

Referensi

Dokumen terkait

Limpasan yang terjadi karena terjadi intensitas hujan yang tinggi dalam durasi yang pendek sehingga saluran tidak mampu untuk menampung debit yang terjadi sehingga

Tesis ini merupakan kajian penelitian yang diberi judul KAJIAN SISTEM DRAINASE TERHADAP BANJIR AKIBAT CURAH HUJAN (Studi Kasus Daerah Sekitar Jalan Sudirman Ujung Kota

Berat badan dijadikan pilihan utama karena berbagai pertimbangan, antara lain: pengukuran atau standar yang paling baik, kemudahan dalam melihat perubahan dan

dari 3 tahap: scanning yaitu dokumen tercetak (buku, jurnal, karya deposit, dan sebagainya) diproses dengan sebuah alat ( scanner ) untuk menghasilkan dokumen elektronik , editing

“ KAJIAN KAPASITAS SALURAN DRAINASE PERKOTAAN TERHADAP CURAH HUJAN RANCANGAN DENGAN BEBERAPA PERIODE ULANG (Studi Kasus Drainase Jalan Sriwijaya Bagian Selatan Kota

Perencanaan sistem drainase sebagai pengendalian banjir kota Medan bertitik fokus pada pengelolaan sungai Deli karena sungai Deli yang merupakan sungai utama yang

Dengan adanya Pembangunan Sistem Drainase Perumahan Mentari Village Balikpapan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan besarnya debit limpasan yang akan membebani saluran primer perumahan

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,