• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAFSIRAN MICHELLE LEE-BARNEWALL TERHADAP KEJADIAN 1-3 TERKAIT ISU KESETARAAN GENDER DAN IMPLIKASINYA BAGI PERNIKAHAN KRISTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAFSIRAN MICHELLE LEE-BARNEWALL TERHADAP KEJADIAN 1-3 TERKAIT ISU KESETARAAN GENDER DAN IMPLIKASINYA BAGI PERNIKAHAN KRISTEN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENAFSIRAN MICHELLE LEE-BARNEWALL TERHADAP KEJADIAN

1-3 TERKAIT ISU KESETARAAN GENDER DAN IMPLIKASINYA

BAGI PERNIKAHAN KRISTEN

1)

Margaretha P. Rissing,

2)

Claudia Angelina

Sekolah Tinggi Teologi Soteria Purwokerto

Dusun I Karang Dule Ketenger Baturraden, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah Email:1)Margaretrising1@gmail.com,2)claudia.angelina12@gmail.com

ABSTRAK: Bahasan mengenai kesetaraan gender ini menjadi hal yang perlu dibahas

karena dalam budaya patriarki wanita diperlakukan secara berbeda, baik dalam lingkungan kerja, kepemimpinan gerejawi, maupun kehidupan sehari-hari. Ada dua kerangka perspektif yaitu perspektif kelompok komplementarian dan perspektif kelompok egaliatarian. Kelompok komplementarian berpendapat bahwa pria dan wanita berbeda secara biologis tetapi setara secara spiritual, dan Adam adalah kepala (pemimpin). Sedangkan bagi kelompok egalitarian pria tidak lebih berkuasa daripada wanita—mereka setara. Untuk memperoleh penjelasan yang lebih koheren, studi ini mempelajari perspektif Michelle Lee-Barnewall atas isu gender. Untuk mencapai tujuannya, studi ini melakukan upaya ‘menjelajahi’ dan ‘memperluas’ melampaui penekanan kepemimpinan dan kesetaraan dari kelompok komplementarian dan egalitarian. Penelitian dilakukan secara deskriptif dan evaluatif sehingga ditemukan konsep yang dapat dipahami secara utuh. Lee-Barnewall memberikan jalan keluar dari pandangan-pandangan yang saling bertentangan dan mengajak untuk memaknai relasi antar gender dalam teks Alkitab dengan lebih luas dan bertanggung jawab. Perspektif Lee-Barnewall tidak berfokus pada perbedaan antar gender, siapa yang lebih tinggi harkatnya, dan lebih berkuasa, namun lebih kepada kesatuan, kekudusan, serta ketaatan terkait relasi antar gender demi menyatakan Kerajaan Allah.

Kata kunci: michelle lee-barnewall, kesetaraan gender, penciptaan, kejadian, pernikahan, kerajaan allah.

MICHELLE LEE-BARNEWALL INTERPRETATION ON GENESIS 1-3

RELATED TO THE ISSUE OF GENDER EQUALITY AND ITS

IMPLICATION FOR CHRISTIAN MARRIAGE

ABSTRACT: Discussion on gender equality becomes an issue that needs to be

reviewed because, in a patriarchal culture, women treated differently in the work environment, ecclesiastical leadership, also in daily life. There are two perspectives in the debate: complementarian and egalitarian. For complementarians, men and women are equal spiritually, but the position of leadership is exclusively for men. While for egalitarian men are not more powerful than women—they are equal and eligible to lead. To obtain a more coherent explanation, this study discusses Michelle Lee-Barnewall’s perspective on gender issues. To achieve its objectives, this study takes a path to 'explore' and 'expand' beyond the emphasis of leadership and equality of complementary and egalitarian debate. The research is conducted with a descriptive and evaluative method so that a concept can be found and understood coherently. Lee-Barnewall provides a way out from conflicting views and calls for a wider and responsible interpretation of gender relations in the biblical text. Lee-Barnewall does not focus on differences between genders, who has higher dignity, and who is more powerful, rather on unity, holiness, and obedience related to gender relations to proclaim the Kingdom of God.

Keywords: michelle lee-barnewall, gender equality, creation, genesis, marriage, kingdom of god.

(2)

PENDAHULUAN

Permasalahan perbedaan gender

yang berpengaruh pada peranan sosial, relasi dan tugas antara laki-laki dan pe-rempuan merupakan topik yang masih terus diperdebatkan hingga saat ini. Kesalahan paradigma dapat membenarkan sikap yang salah dalam relasi, seperti kekerasan dalam rumah tangga. Perdebatan ini dapat dibing-kai dalam dua kerangka posisi yaitu kom-plementarian dan egalitarian. Kedua posisi memperdebatkan tafsiran dari teks-teks yang menunjukkan relasi pria dan wanita seperti Kejadian 2-3; 1 Korintus 11:3-16; Efesus 5:21-33; 1 Timotius 2:11-14. Secara umum keduanya memiliki perbedaan pe-nafsiran dan masing-masing kelompok me-ngalami kesulitan penafsiran ketika sampai pada data tertentu dalam Alkitab, sehingga belum bisa mengukuhkan pandangannya.

Bagi kelompok komplementarian, per-bedaan karakteristik dan peran perempuan dan keistimewaan kepemimpinan lelaki adalah kehendak Tuhan dalam penciptaan (Ortlund, 1991; Grudem, 2012) Bagi kelom-pok egalitarian (Bilezikian, 2006; Belleville, 2009), dalam Kejadian 1-2 tidak ada perintah ilahi bahwa pria perlu menjalankan kuasa atas wanita. Hal tersebut bagi ke-lompok egalitarian, menandai bahwa itu bukanlah bagian dari maksud Allah.

Di samping penafsiran kedua kelom-pok tersebut, ada beberapa upaya yang dilakukan beberapa kelompok untuk mem-berikan jalan keluar atas perdebatan ini. Salah satunya adalah tidak menjadikan posisi komplementarian atau pun egalitarian sebagai dasar, tetapi berupaya ‘menjelajahi’ dan ‘memperluas’ melampaui penekanan kepemimpinan dan kesetaraan dari posisi komplementarian dan egalitarian.

Penulis menemukan pendekatan men-jelajahi atau memperluas dapat lebih meno-long memahami konsep teologis yang lebih koheren dan mendalam oleh karena pan-dangan ini melihat tema tekstual yang lebih besar melampaui aspek perbedaan dan hierarki dalam teks Kejadian yaitu tema

kesatuan.

METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam pene-litian ini adalah metode penepene-litian literatur, di mana menurut Sugiyono literatur merupakan catatan peristiwa berbentuk tulisan, gambar atau karya monumental (Sugiyono, 2005, p.329). Kemudian, Burhan Bungin pun me-nuliskan bahwa literatur merupakan salah satu cara mengumpulkan data untuk me-nelusuri data sejarah (Bungin, 2008, p.121)

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, penulis juga menggunakan studi teks Alkitab dari Perjanjian Baru dan melakukan studi hermeneutika, untuk menggali relasi suami istri dalam beberapa teks. Penulis akan menjajaki sumber utama dan menjabarkan pandangan Michelle Lee-Barnewall, yang lebih melihat kesatuan disertai kebersamaan daripada perbedaan hak pria dan wanita. Lalu penulis akan mengelaborasikan pan-dangan Lee-Barnewall dengan beberapa teks Alkitab yang berkaitan dengan relasi suami-istri seperti Efesus 5:21-33; 1 Petrus 3:1-6; 1 Korintus 11, untuk menarik temuan teologis dan implikasinya bagi relasi suami-istri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penafsiran Michelle Lee-Barnewall

Perdebatan atas Kejadian 1-3 mem-pertanyakan apakah adanya kemungkinan kepemimpinan pria dan kesetaraan antara pria dan wanita. Lee-Barnewall berupaya melihat tema yang lebih utama daripada isu kepemimpinan dan kesetaraan guna melihat kekayaan teks secara lebih utuh dan kon-tribusinya dalam memahami isu gender. Menurutnya, mencari kebenaran hanya pada salah satu posisi memiliki banyak keterbatasan atau hambatan maka “in searching for the most accurate way to understand the biblical text, we must be open to exploring another way of viewing the issue itself” (Lee-Barnewall, 2016, p. 18). Hal itu dapat dilakukan dengan pendekatan

(3)

literal dan melihat penekanan teks atas relasi antara Adam dan Hawa, sebagaimana ia menjelaskan:

We may gain more from not merely asking what rights a person has or who has power but by seeing why unity matters and how it is accomplished by power mani-fested through weakness (2 Corinthians 12:9), such as was exhibited through the cross. This does not mean the questions of rights and authority do not matter. Instead it implies that our perspective on them may shift when we see them within a larger context (2016, p. 18).

Lee-Barnewall mencoba melihat signi-fikansi perbedaan antara Adam dan Hawa di dalam tujuannya untuk bersatu membe-ritakan Kerajaan Allah (2016, p. 134).

Lee-Barnewall melihat bahwa isu hierarki dalam gender memang ada dalam dimensi keluarga, bahkan dalam lingkup keluarga Allah. Akan tetapi hierarki ada bukan demi hierarki itu sendiri, melainkan melaluinya kehadiran Kerajaan Allah ter-cermin jelas dengan pembalikan nilai hierarkis menjadi nilai baru dalam Kerajaan Allah sebagaimana tercermin di dalam Kristus sendiri (2016, p. 76). Ia memberi contoh, salah satu pembalikan nilai hierarkis ini tercermin dari catatan Alkitab bagaimana Yesus menginklusikan wanita dalam lingkup yang penting. Misalnya, sebagian besar pengikut Yesus adalah wanita, yang

me-nyaksikan kebangkitan Yesus pertama

adalah wanita, secara tersirat wanita digam-barkan lebih beriman daripada para pria. Apa yang dilakukan Yesus berlawanan de-ngan status sosial wanita dalam konteks budaya waktu itu. Lee-Barnewall merang-kumkan pendapatnya:

If neither authority (complementarianism) nor equality (egalitarianism) is sufficient for explaining gender in the Bible, a paradoxical “reversal” applied to both concepts can help point us to critical kingdom goals. What “authority,”

“leadership,” “equality,” and “rights” have in common is that they often highlight the individual over the community and God himself. What their reversals share is the potential to guide us to a greater acknowledgment of God’s sovereignty and a recognition of God’s ways in which the willing sacrifice for the other through the denial of self-interest results in unity and love (Lee-Barnewall, 2016, p. 134).

Bagi Lee-Barnewall Kejadian 2-3 ber-fokus pada kisah penciptaan dan kejatuhan Adam dan Hawa, yaitu mengisahkan bagai-mana Allah menciptakan mereka, memberi tugas atau tujuan, dan konfliknya bertumpu pada pertanyaan apakah Adam dan Hawa akan menaati Allah. Dapat dilihat bahwa hanya pada pasal 2:16 terdapat formula "Tuhan Allah memberi perintah" dan jika melanggar ada konsekuensinya pada ayat 17 yakni kematian" (2016, p. 101). Struktur narasi menarik perhatian khusus kepada penerimaan dan pelanggaran Adam serta penghakiman Allah atas Adam dan Hawa. Sementara Hawa juga bertanggung jawab memegang perintah Allah tetapi perannya tidak identik. Narasi menunjukkan perannya sebagai penolong Adam yakni apakah Hawa akan membantu atau menghambat Adam untuk memenuhi tugasnya (2016, p. 101).

Letak perintah Allah menjadi kunci untuk memahami teks ini. Dalam Kejadian 2-3 Tuhan memerintahkan untuk tidak me-makan buah pengetahuan yang baik dan jahat sebanyak lima kali. Tiga kali kepada Adam yaitu waktu perintah diberikan, dan waktu Tuhan mengonfrontasi Adam dan memberikan penghakiman. Dua kali waktu Hawa dan Ular bercakap-cakap. Terlebih, larangan untuk memakan buah penge-tahuan adalah satu-satunya perintah yang diucapkan secara langsung. Sentralitas perintah ini juga dikisahkan terus dalam narasi baik melalui perkataan Allah atau pengulangannya oleh tokoh yang lain (2016, pp. 101-102).

Komplementarian, berpendapat bahwa larangan memakan buah hanya diberikan

(4)

kepada Adam menunjukkan intensi Allah atas kepemimpinan pria. Sedangkan Ega-litarian melihat bahwa perintah diberikan kepada Adam dahulu karena Hawa belum diciptakan. Jika fokus konfrontasi Allah adalah pelanggaran, maka seharusnya Allah menegur Adam dan Hawa bukan hanya Adam (Kej. 3:11b). Peristiwa ini menun-jukkan acuan khusus kepada perintah Allah, sebagaimana hanya kepada Adam diberikan secara eksplisit. Konfrontasi Allah terkait perintah-Nya tidak terjadi dengan Hawa (Kej. 3:17) melainkan berupa pertanyaan yang tidak spesifik (3:13). Maka dapat dilihat narasi ditulis untuk menarik perhatian ke-pada relasi spesial dan tanggung jawab Adam untuk memegang perintah Allah (2016, p. 102).

Perhatian khusus dalam narasi

kepada Adam menyoroti ketidaktaatan

Adam. Meski dalam kejatuhan, narasi tidak menceritakan motivasi Adam memakan buah, namun yang ditunjukkan adalah Hawa tertipu dan memakan buah kemudian memberikannya kepada Adam yang juga memakan buah. Akan tetapi penghakiman Tuhan menunjukkan akibat pelanggaran yang adalah maut terjalin erat dengan pelanggaran Adam, bukan pelanggaran Hawa (2016, p. 103). Ketika Allah

me-ngonfrontasi Hawa atas dosanya, ia

menjawab bahwa ular menipu dia (3:13).

Sedangkan Adam menjawab bahwa

perempuan yang Allah berikanlah yang membuatnya memakan buah itu (3:11-12). Di sini kita tidak dapat menemukan motif Adam. Kita dapat mengenali karakternya yang menimpakan kesalahan kepada Hawa tetapi kita tidak menemukan mengapa ia tidak taat (Lee-Barnewall, 2016, p. 104).

Meski ada yang melihat bahwa kegagalan Adam adalah tidak memimpin dan melindungi Hawa dari godaan ular, teks narasi menunjuk kepada aspek utama ke-gagalannya sebagai ketidaktaatannya. De-mikian Paulus juga tidak melihat Adam sebagai pribadi yang mengabaikan kepe-mimpinannya tetapi sebagai pribadi yang

ketidaktaatannya membawanya kepada ke-matian (Rm. 5:12). Paulus juga menem-patkan tanggung jawab atas dosa dan kematian terjadi kepada Adam, bukan Hawa meski Hawa lebih dulu memakan buah. Kita dapat melihat bagaimana ketidaktaatan satu manusia mendatangkan kematian seluruh manusia dan melalui ketaatan satu manusia, Yesus Kristus, kehidupan datang. Di sini

dapat ditemukan bagaimana ketaatan

manusia memegang perintah Allah adalah tema sentral dan dominan dalam Alkitab (2016, p. 104).

Perkataan Adam pada 2:23 mene-kankan keserupaan Hawa dengan Adam, bukan keunikan Hawa. Persatuan keintiman keduanya ditunjukkan bahwa dia akan menjadi istrinya dan menjadi satu daging 2:24. Hawa diambil dari daging Adam dan kembali dipersatukan. Pernikahan beroleh persatuan dari apa yang Tuhan pisahkan dalam penciptaan wanita. Akan tetapi kese-rupaan tidak berarti setara. Sebagaimana Adam memiliki fungsi yang representatif, urutan penciptaan perlu dipertimbangkan lebih lanjut (2016, p. 105).

Dalam kisah Atrahasis (Babilonia), pria dan wanita diciptakan bersama-sama de-ngan tujuan untuk melayani/bekerja demi dewa. Baik pria maupun wanita, keduanya melayani/bekerja demi dewa. Wiracarita Atrahasis yang terawetkan dari zaman Babel ini jika dibandingkan dengan kisah penciptaan dalam Alkitab, maka timbul pertanyaan jika sederajat, mengapa narasi dalam Kejadian menceritakan ada proses dan waktu penciptaan yang berbeda. Penciptaan dengan dua tahap justru tidak menunjukkan adanya kesederajatan. Di sisi yang lain, hal itu mendukung otoritas dan kepemimpinan pria atas wanita. Akan tetapi, Adam diciptakan pertama, lalu Hawa diciptakan dari Adam. Hal tersebut menim-bulkan pertanyaan, apakah teks Kejadian bermaksud untuk menunjukkan kesetaraan mereka.

Kelompok komplementarian berpan-dangan bahwa hak istimewa kesulungan

(5)

menunjukkan kepemimpinan Adam. Egali-tarian membantah bahwa tidak ada hubu-ngan logis antara hak kesuluhubu-ngan dan kepemimpinan yang bahkan terjadi dalam Alkitab. Konsekuensi dari Adam diciptakan dahulu adalah Hawa diciptakan untuk Adam, bukan sebaliknya. Sebagaimana Adamlah yang diberikan perintah, sebuah peristiwa sebelum Hawa ada. Dari telaah literer, di-ciptakan pertama memiliki signifikansi yang penting, baik ada hukum primogenetur atau tidak. Ini adalah bagian integral dalam narasi, sebagaimana Adam yang diminta pertanggungjawabannya atas ketidaktaatan-nya yang berbeda dengan Hawa. Adam dan Hawa punya pertanggungjawaban yang berbeda (2016, p. 106).

Egalitarian melihat peran Hawa seba-gai penolong Adam menjadi masalah serius. Egalitarian melihat bagaimana Allah adalah penolong Israel maka istilah “penolong” tidak dapat diartikan sebagai bawahan atau subordinasi. Namun dalam struktur narasi, konteks langsung atas terjadinya deskripsi sebagai penolong Adam terjadi setelah Allah

menginstruksikan Adam (Kej. 2:16-18)

(2016, p. 107). Maka dapat dikatakan bahwa

makna “penolong” termasuk menolong

Adam untuk melaksanakan perintah Allah dan mengelola bumi.

Sementara Hawa juga tidak taat ke-pada Allah, teks menunjukkan bentuk relasi yang berbeda dengan perintah Allah. Bagian penting terdapat pada godaan ular yang bukan hanya menuntun Hawa kepada dosa tetapi juga mendorong Adam jatuh juga. Hawa bukan hanya gagal menolong Adam

memegang perintah Allah tetapi juga

bersumbangsih besar dalam ketidaktaatan-nya. Fokus kegagalan Hawa ada pada tipuan ular, sehingga ia melihat buah itu dengan hasrat dan mengabaikan perintah Allah (Lee-Barnewall, 2016, p.107). Komple-mentarian melihat bahwa ini adalah pem-balikan aturan Tuhan sebagaimana Hawa diserang ular bukan Adam yang adalah pemimpin atau Hawa merebut kepemim-pinan Adam. Akan tetapi Allah tidak

me-ngonfrontasi Adam, Hawa, maupun Iblis tentang kepemimpinan. Fokus narasi ini menekankan peran penting Hawa dalam terjadinya rangkaian peristiwa kejatuhan. Jika Kejadian 2-3 berpusat pada kemam-puan Adam memegang perintah Allah, peran Hawa dapat dimengerti terkait dengan pelaksanaan tugas Adam.

Kisah Adam dan Hawa menggam-barkan pentingnya ketaatan yang kemudian terus dikisahkan sebagai tema penting da-lam Alkitab, meda-lampaui fokus kepemimpinan dan kesetaraan. Memang Alkitab menun-jukkan ada kesamaan mandat yang diterima Adam dan Hawa yakni mengelola dan menguasai bumi. Akan tetapi dalam kesa-maan itu, juga ada penggambaran yang berbeda antara keduanya. Keduanya tidak dapat dilihat setara, sebagaimana Adam memiliki fungsi representatif atas manusia (Rm. 5:12-21) (2016, p. 110).

Kejadian 2-3 memperlihatkan Adam dan Hawa pada posisi yang tidak simetris. Adam yang menjadi sumber penciptaan Hawa dan ia yang membutuhkan Hawa, bukan sebaliknya. Adam memang memberi nama kepada Hawa, konsisten dalam narasi menunjukkan bagaimana Adam adalah pihak representatif dari relasi mereka. Hawa tidak memberi nama kepada Adam, dan mereka tidak saling memberi nama, tetapi Adam memberi nama kepada Hawa. Hawa adalah penolong Adam, bukan sebaliknya, selaras dengan pandangan Paulus bagai-mana Hawa diciptakan memang untuk Adam (1Kor. 11:8-9).

Oleh karena ketidaktaatan, persatuan mereka rusak. Satu daging, tetapi Adam menyalahkan Hawa dan menjauh darinya. Hal ini penting karena hanya Adam yang

menerima instruksi tentang kesatuan

mereka. Adam seharusnya berusaha men-capai persatuan kembali antara keduanya, tetapi ia gagal. Berbeda dengan Adam, Hawa tidak pernah beroleh instruksi atas relasi itu. Hanya Adam yang diperintahkan untuk mencapai (cleave: memegang erat, berpaut, mengikatkan, melekatkan,

(6)

meng-gabungkan bahkan menyatukan diri) persatuan pernikahan tetapi ia melakukan sebaliknya. Jika Allah menugaskan Adam untuk mengupayakan persatuan pernikahan, maka sulit dibayangkan bahwa otoritas adalah karakteristik dari tanggung jawabnya oleh karena kuasa dalam relasi cenderung memisahkan daripada membangun keintim-an. Sebagaimana Paulus juga menguta-rakan persatuan sebagai tanggung jawab yang harus dipenuhi suami (Ef. 5:21-33). Oleh karena Adam dan Hawa melanggar perintah Allah dan gagal memelihara keku-dusan dan mewujudkan persatuan mereka, sekarang tanggung jawab pria adalah memberikan dirinya bagi istrinya daripada meninggalkan dan menyalahkan istrinya, meniru Adam yang terakhir dan sejati (2016, p. 110).

Relasi Adam dan Hawa berputar pada kesatuan dan kasih, lebih daripada kese-taraan, dan juga kurang ada penekanan bahwa Adam harus berkuasa atas Hawa, melainkan menekankan ketaatan Adam dan Hawa kepada Allah. Jadi jika kesetaraan atau kekuasaan yang ada pada beberapa ayat perlu dimengerti dalam konteks yang lebih luas dan dominan terkait kesatuan, kekudusan dan ketaatan. Maka dapat dilihat bahwa penjelasan Lee-Barnewall dapat

menghindari kesulitan penafsiran yang

dialami oleh kelompok komplementarian dan egalitarian dan memperoleh makna tekstual yang lebih dalam melampaui tema kepe-mimpinan dan kesetaraan dalam memaknai relasi antar gender.

Dari pernyataan dan penjelasan Barnewall di atas ditemukan bahwa Lee-Barnewall menarik fokus kembali dari perdebatan hak dan kuasa dalam isu gender kepada pergumulan untuk menyatakan Ke-rajaan Allah dengan lebih baik. Dengan melakukan itu, kita dapat melihat isu yang lebih utama dalam perdebatan gender yaitu kebersamaan dan persatuan antara pria dan wanita. Perspektif Lee-Barnewall memper-lihatkan pentingnya konteks dalam isu gender perlu penelaahan atas apa yang

penting bagi jemaat mula-mula dan penulis Alkitab.

Pandangan Lee-Barnewall lebih dapat bertanggung jawab secara hermeneutis dibanding 2 pandangan lain. Sebagai contoh, pada kenyataannya tidak dapat dihindari bahwa setelah Kejadian 1, Adam dan Hawa tidak digambarkan dengan sama. Namun pada saat yang sama mereka diciptakan untuk relasi yang dicitrakan dengan kesatuan (Lee-Barnewall, 2016, p. 97). Juga bahwa narasi tidak menekankan kegagalan kepemimpinan Adam melainkan ketidaktaatannya pada perintah Allah. Dan Hawa, digambarkan narasi tidak berada dalam konteks otoritas atau kesetaraan melainkan kesatuan. Dia diciptakan sebagai penolong karena dia paling serupa Adam dan dia didesain untuk menjadi satu daging dengan Adam yang merefleksikan keseru-paannya dengan Adam. Tidak dapat di-pungkiri bahwa penulis teks Kejadian de-ngan sengaja memperlihatkan Adam ber-beda dengan Hawa secara tanggung jawab.

Pembedaan tersebut dinyatakan untuk

mengangkat tujuan adanya pembedaan itu, yakni kesatuan dalam ketaatan mewujudkan kehendak Allah. Pernyataan kehendak dan Kerajaan Allah adalah fokus utama yang lebih penting daripada penekanan hak wanita atau siapa yang berhak memimpin atau siapa yang benar dan salah dalam perdebatan gender.

Teks Kejadian 1-3 menunjukkan

Tuhan menciptakan keluarga secara khu-sus. Oleh karena itu, dengan melihat teks Kejadian 1-3, kita dapat menemukan desain dan tujuan atas diciptakannya keluarga dan menjadikannya acuan dalam hidup berke-luarga yang dikehendaki Allah. Di sisi yang lain, keluarga adalah lingkup sosial pertama yang dimiliki seorang individu. Kondisi dan relasi sebuah keluarga berperan besar dalam pertumbuhan jasmani, psikis dan kerohanian individu di dalamnya. Penafsiran model kesatuan Lee-Barnewall atas teks Kejadian 1-3 dapat menjadi paradigma dalam bersikap antar-gender secara khusus

(7)

dalam hidup berkeluarga. Dengan meng-elaborasikan penafsiran Lee-Barnewall de-ngan beberapa teks Alkitab yang lain, penulis menemukan tiga implikasi bagi hidup keluarga Kristen masa kini, yaitu: suami mengasihi seperti Kristus; istri peno-long suami; melayani dan memuliakan Allah melalui pernikahan.

Suami Mengasihi Istri seperti Kristus

Berdasarkan telaah di atas, pria memiliki tanggung jawab dalam mengu-sahakan persatuan dengan istrinya agar bisa bersama-sama melayani dan memu-liakan Allah. Hal ini dapat dilihat dari teks Kejadian 2-3 bahwa Allah hanya memberi perintah kepada Adam, Adamlah yang harus bersatu (cleave) kepada Hawa dan Allah

lebih dahulu meminta

pertanggungja-wabannya saat kejatuhan ke dalam dosa. Sorotan utama yang diberikan kepada Adam

dalam narasi menunjukkan keutamaan

Adam sebagai wakil atau imam atas istrinya dalam ketaatan kepada Allah (Hensley, 2019, p. 8). Untuk memperoleh penjelasan yang lebih komprehensif bagaimana pria harus memimpin istrinya, penulis juga akan melihat tanggung jawab Adam berdasarkan teks Efesus 5:21-33.

Teks Efesus 5:22-33 merupakan salah satu teks yang memuat aturan-aturan rumah tangga (Talbert, 2007, p. 136). Dalam konteks Perjanjian Baru, ada aturan rumah tangga yang berlaku secara umum. Aturan tersebut menjadi penuntun dalam relasi suami-istri, orang tua-anak, dan budak-tuan. Relasi tersebut diatur secara hierarkis dengan pola ketaatan seperti dalam Kolose 3:18-4:1. Secara konteks historis, nilai tersebut dijunjung karena keprihatinan atas harmoni sosial dan kemakmuran ekonomi bahwa rumah (oikos) yang teratur adalah faktor penting kota yang tertata stabil dan semesta yang tertata (Barton, 2018 p. 4-5). Nilai historis tersebut diadaptasi dalam kehidupan Kristen tetapi direorientasikan secara kristologis dan gerejawi.

Dalam konteks historis, wanita

me-miliki sedikit hak hukum dan diperlakukan dengan buruk, baik dalam aspek politik, sosial maupun pribadi. Dalam konteks nilai budaya dan sosial saat itu mereka tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan dan acara publik. Mereka dituntut untuk tinggal di rumah dan hanya peduli tentang apa yang ada di hadapan mereka, antara lain, seperti: anak-anak dan pekerjaan rumah tangga. Terdapat pengecualian untuk aturan ini, tetapi tidak banyak.

Suami menerima instruksi “kasihilah istrimu,” (Ef. 5:25) dan instruksi kepada istri adalah satu-satunya yang memiliki kata

kerja “ ” yang sama dengan

landasan utama aturan rumah tangga yakni di ayat 21 “rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” Ketidaksimetrisan instruksi ini dan elaborasi relasi suami-istri, menunjukkan bahwa Efesus 5:22-33 bukan hanya men-jelaskan aturan rumah tangga, tetapi ada makna yang melampaui itu.

Jika dilihat kaitannya dengan ayat 18 “dipenuhi oleh roh” maka ayat 21 memanggil orang percaya yang dipenuhi Roh Kudus

untuk saling merendahkan diri yang

diwujudkan melalui pemenuhan aturan-aturan rumah tangga (O’Brien, 1999, p. 401). Paulus menempatkan relasi suami-istri dan sesama di bawah teladan Kristus de-ngan jemaat. Relasi yang berakar dalam kepemimpinan Kristus yang penuh kasih atas Nya dan kebersediaan jemaat-Nya untuk menundukkan diri sebagai tubuh Kristus. Maka dapat dikatakan bahwa relasi persatuan satu daging dipertalikan dengan kasih yang berkorban, kepemimpinan se-perti itulah yang dimaksud rasul Paulus.

Ketika Paulus meminta para suami untuk mengasihi istri, ini merupakan ajakan yang berlawanan dengan nilai sosial budaya saat itu. Berlawanan dengan nilai yang umum dipegang bahwa istri lebih rendah dan properti milik suami, justru sekarang para suami harus memperlakukan istri dengan hormat dan kasih yang berkorban. Suami diminta meneladani Kristus yang

(8)

mengasihi dengan berkorban demi tubuh-Nya daripada menyelamatkan diri-tubuh-Nya dan menerima kasih (Lee-Barnewall, 2016, p. 120). Maka para suami diminta untuk me-ngasihi istrinya dengan berkorban bukan dengan dominasi. Suami mengangkat har-kat istrinya dengan kasihnya.

Perintah bagi istri untuk tunduk ke-pada suami dan suami mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaat atau gereja-Nya merupakan modifikasi aturan

rumah tangga saat itu. Instruksi ini

mempromosikan nilai yang berbeda dengan aturan rumah tangga pada umumnya yaitu kasih Kristus (Ef. 5:2, 25, 28, 33) yang disimbolkan dengan persatuan satu daging antara suami dan istri mencerminkan kesatuan antara Kristus dengan Gereja-Nya (Barton, 2018, p. 5). Maka dapat dikatakan bahwa relasi suami dan istri dipolakan berdasarkan relasi antara Kristus dengan Gereja-Nya.

Relasi pria dan wanita dalam janji pernikahan mencerminkan misteri relasi Allah dengan manusia (Burns, 2016, p. 273-296). Dalam Efesus 5:31, Paulus mengacu kepada “bersatu” (cleaving) dalam Kejadian 2:24 sebagai “rahasia yang besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” Relasi suami dan istri dalam pernikahan mencerminkan relasi Kristus dan jemaat, maka dapat dikatakan bahwa relasi suami dan istri meneladani bagaimana relasi Kristus dengan jemaat-Nya.

Paulus menghimbau para suami untuk mengasihi seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya. Kasih yang dimaksud adalah kasih yang mengorbankan diri, yang mengu-duskan, dan menyucikannya dengan air dan Firman. Maka suami perlu mengasihi dengan kasih yang berkorban menurut kasih-Nya Kristus bagi jemaat. Kasih yang mengangkat dan menempatkan istri di atas kepentingan dirinya sebagai suami. Terlebih Paulus memberikan gambaran kepala dan tubuh (Ef. 5:28-30) menekankan bagaimana suami harus merawat dan mengasihi istrinya

seperti tubuhnya sendiri. Perintah untuk mengasihi seperti tubuh sendiri, mengacu kembali kepada Kejadian 2:24, meng-afirmasi bahwa suami telah menjadi satu daging dengan istrinya. Maka sesung-guhnya kasih yang diberikan suami haruslah sama dengan kasih menurut kasih Kristus atas tubuh-Nya yakni gereja yang adalah satu daging dengan diri-Nya (Hensley, 2019, p. 7).

Adam gagal dalam menjalankan tu-gasnya untuk mengusahakan dan meme-lihara taman Eden karena pelanggarannya atas perintah Allah. Adam tidak bertanggung jawab dan menyalahkan istrinya atas ke-gagalan dirinya sendiri. Akan tetapi Kristus mengambil tanggung jawab itu dan berhasil menguduskan dan menyucikan istri-Nya, yakni Gereja, melalui pengorbanan diri-Nya (Ef. 5:26-27).

St. John Chrysostom mengingatkan para suami bahwa kepala juga bagian dari tubuh, maka tubuh harus diperhatikan dan dikasihi atau akan mati seluruhnya. Dengan kata lain, para suami harus mengasihi istrinya dengan kerelaan untuk mengor-bankan seluruh dirinya bahkan hayatnya bagi istrinya. Ia juga harus berbelas kasih dan lembut kepada istrinya oleh karena “if you reproach her, you are not condemning her but Him who made her” (Chrysostom, 1986, pp. 45-54). Dan kasih seorang suami menunjukkan kesempurnaan kasih Kristus bahwa seorang suami mengasihi istri yang sudah menjadi satu dengan dirinya, tetapi Kristus mengasihi istri yang berbalik dan membenci Dia.

Dalam lingkup suami-istri, penundukan diri tidak berlaku timbal balik. Hanya istri yang diperintahkan untuk tunduk kepada suami (O’Brien, 1999, p. 404). Jika Paulus ingin suami-istri saling tunduk dengan cara yang sama, maka tidak diperlukan instruksi yang spesifik (Lee-Barnewall, 2016, p. 122). Tetapi bukan berarti istri tidak perlu me-ngasihi suami oleh karena jemaat juga diminta untuk saling mengasihi. Dengan kata lain, mengasihi untuk menciptakan

(9)

relasi persatuan yang lebih dalam lagi. Maka bisa dimengerti bahwa yang memiliki tang-gung jawab sebagai kepala yang pertama diminta pertanggungan jawab dalam me-ngusahakan kesatuan dalam pernikahan adalah suami. Suamilah yang harus memu-lai mengusahakan persatuan dengan istri-nya, sebagaimana kepala harus bergerak

lebih dahulu agar tubuhnya bergerak

dengan efektif. Lantas istri mengasihi suami dengan mempercayakan dirinya kepada suami yang mengasihinya sebagai tubuhnya sendiri.

Paulus menggunakan kata “ektrephei” dan “thalpei” yang umum merujuk pada pemenuhan kebutuhan secara fisik dan ke-hangatan emosional yang diberikan kepada sesama, maka Paulus mengajak para suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya secara jasmani dan emosi (Thielman, 2010, p. 388). Menunjukkan bagaimana suami harus men-jalankan kepemimpinannya bukan dengan otoriter tetapi relasional. Menekankan upaya menciptakan kesatuan yang lebih dalam melalui hubungan relasional.

Pengajaran Paulus tentang relasi pernikahan dalam Efesus 5 memanggil para suami yang adalah kepala untuk berkorban mengasihi istrinya yang adalah tubuhnya. Pengajaran ini meniadakan pembenaran atas kekerasan baik fisik maupun verbal kepada para istri (Hensley, 2019, p. 7). Sebab mengasihi tubuh berarti tidak me-nyakiti tubuh. Ketika suami bertindak kasar atau menyakiti istri secara fisik, berarti ia tidak bersikap sebagaimana seharusnya. Bahkan sekadar mengucapkan kata-kata kasar pada istri, suami telah menyatakan diri sebagai seorang yang tidak mengasihi istri, yang adalah tubuhnya. Kepala, dalam hal ini suami, sudah sepatutnya mengasihi – mera-wat dan memperlakukan tubuhnya dengan baik. Oleh karena itu istri, yang adalah tubuh, dapat berfungsi dengan baik dan kepala sebagai bagian dari tubuh pun dapat beroperasi secara maksimal didukung oleh tubuh yang sehat.

Suami sebagai kepala, juga dapat

mempercayai istrinya yang tunduk dan menolongnya dalam tuntunan Roh Kudus. Berarti suami perlu melihat kemampuan dari istrinya dan memberikan kepercayaan dan ruang untuk turut mengelola keluarganya. Sebagaimana Poythress menjelaskan:

Ephesians 5:22–6:4 other passages about the family clearly leave open a great many possibilities for the exact form of ma-nagerial arrangements. In these matters, a wise leader attempts to work out arrange-ments that best use and enhance the guests of each family member (Poythress, 2006, p. 244).

Misalnya, istri yang diberi kepercayaan memegang urusan finansial keluarga, meski pada umumnya yang mengelola uang adalah yang lebih memiliki otoritas. Suami juga dapat mengkomunikasikan keputusan-keputusan yang akan ia ambil. Hal ini diperlukan agar suami memperoleh

duku-ngan lewat pertimbangan-pertimbangan

atau ide dari istri, sehingga kemungkinan adanya permasalahan atau konflik akibat pengambilan keputusan oleh suami dapat diantisipasi.

Dengan adanya pembagian tugas dalam urusan rumah tangga, suami telah melaksanakan yang seharusnya sebagai kepala, yaitu keharusan untuk mengasihi dan memimpin secara relasional bukan otoriter. Secara relasional berarti terjadi adanya “saling” dalam rumah tangga, bukan keharusan yang ditentukan hanya oleh suami dan ketundukan fanatik oleh istri. Suami perlu mengusahakan adanya hubu-ngan yang hangat dalam rumah tangga, daripada hanya memberikan aturan yang harus ditaati oleh istri dan hukuman yang akan diberikan jika tidak taat, layaknya pemimpin otoriter. Jadi, bentuk praktis dari tugas suami dalam kepemimpinan relasional yang didasarkan pada kasih Kristus antara lain, membangun keintiman, tidak melaku-kan kekerasan, dan ‘mengangkat’ istri de-ngan cara mengembangkan kemampuan-nya dengan membagi tanggung jawab

(10)

keluarga sesuai kapasitasnya.

Istri Penolong Suami

Wanita dimengerti sebagai penolong dalam kaitannya dengan tanggung jawab atau panggilan suami untuk mengusahakan kesatuan dalam pernikahan untuk melayani Tuhan. Suami mengasihi seperti Kristus mengasihi jemaat, maka istri tunduk kepada suami sebagaimana jemaat tunduk kepada gereja dan Kristus tunduk kepada Bapa. Sebagaimana penjelasan berdasarkan Efe-sus 5 tentang panggilan suami, Istri tidak dipanggil untuk tunduk kepada otoritas patriarkat tetapi kepada kepemimpinan suaminya yang menciptakan kesatuan men-dalam melalui kasih yang berkorban.

Dalam 1 Petrus 3:1-6, dijelaskan bahwa tunduknya istri tidak sama dengan tunduknya seorang budak kepada tuannya, maka penundukan ini tidak menunjukkan status atau kapasitas yang lebih rendah tetapi kerekanan dalam subordinasi peran dalam pernikahan (Cook, 2012, pp. 14-20). Istri tunduk kepada suami bukan demi kepentingan suami, tetapi istri tunduk kepada suami untuk Allah (1 Pet. 2:13). Penundukan istri dilakukan oleh karena ada kesalehan dan dimotivasi oleh iman, kasih dan pengharapan di dalam Allah. Jadi penundukan ini dilakukan dengan kerelaan bukan karena rasa takut atau intimidasi. Dan melalui kesalehan istri dalam ketundu-kannya kepada suami, ia dapat menolong suaminya untuk mendekat dan percaya kepada Allah (1 Pet. 3:2, 4a.). Ketundukan istri kepada suami adalah bentuk perto-longan, bahkan penginjilan, bagi suaminya untuk menjadi lebih serupa Kristus yang mana akan memimpin keluarganya dengan kepemimpinan Kristus.

Terlebih dalam 1 Petrus 3:6a,

mengacu kepada Kejadian 18:2, menun-jukkan Sarah yang sudah tua namun masih tunduk dan hormat kepada Abraham de-ngan memanggilnya “tuan”. Istri yang tunduk kepada suaminya adalah sama dengan Sarah karena mereka melakukan apa yang

benar di mata Tuhan dalam relasinya dengan suami dan mereka tidak perlu merasakan takut. Para istri tidak perlu takut untuk melakukan perintah Tuhan dalam relasi dengan suami. Bahkan dijelaskan di 1 Petrus 3:7 ada hukuman bagi suami yang tidak memperhatikan istrinya yaitu doanya tidak akan didengar Allah.

Dalam teks yang lain, yaitu 1 Korintus 11 kita dapat melihat ketundukan istri atas suami adalah penghormatan kepada suami dan kesetaraan di hadapan Allah. Dalam 1 Korintus 11:3, dikatakan “kepala dari pria ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah.”

Kata “kepala” (kephale) diperdebatkan

apakah berarti otoritas atau sumber (Martin, 2012, pp. 69-80). Jika dimengerti sebagai otoritas maka ada hierarki bahwa yang berotoritas atas pria adalah Kristus; yang berkuasa atas wanita adalah pria; yang berkuasa atas Kristus adalah Allah. Jika dimengerti sebagai sumber maka yang mengepalai adalah sumber penyedia hidup dan pertumbuhan sebagaimana Kristus yang membuat pria ada, dan dari pria Allah menciptakan wanita (Kej. 1-2), dan Kristus berinkarnasi karena Allah (Yoh. 1:14). Jika kepala dimengerti sebagai otoritas maka ada masalah yaitu relasi subordinasi Kristus dengan Allah Bapa dalam pribadi Allah Tritunggal (Matthews, 2017, p. 107). Secara lebih luas namun fokus, untuk memahami ini kemudian mengambil kesimpulan, konteks situasi pada saat itu perlu diketahui dan dimengerti.

Konteks spesifik permasalahan yang diangkat Paulus dalam teks adalah pada saat itu ada wanita yang berdoa dan ber-nubuat dalam ibadah gereja Korintus (1 Kor. 14:34-35). Ada sekelompok wanita anggota gereja yang bersikap tidak sopan dalam ibadah (Keener, 2004, p. 161). Maka kita perlu mengerti fokus utama dalam teks ini terkait erat dengan sikap ibadah yang memuliakan Allah. Fokus utama tersebut di-buktikan lebih jelas dalam kaitannya dengan rambut dan penutup kepala. Menurut Phillip

(11)

Payne,

First Corinthians 11:7–10 recapitulates 11:4–6, adding theological justification for why men (vv. 7–9) and women (v. 10) ought not to wear hairstyles that repudiate marriage . . . Paul is referring to men who wear effeminate hairstyles and women who let their hair down to symbolize rejection of Christian marital and sexual morality (Payne, 2009, p. 175).

Pria yang berambut panjang dan be-rantakan menandakan bahwa pria tersebut homoseksual dan wanita yang tidak me-ngenakan penutup kepala menandakan bahwa wanita tersebut menawarkan diri untuk hubungan seks di luar pernikahan (Payne, 2009, p. 169). Pada saat itu, Korintus adalah kota yang dipenuhi kuil berhala yang menyertakan aktivitas seksual dalam ibadahnya. Misalnya dalam penyem-bah Dionysius, para wanita harus memiliki rambut panjang terurai dalam ibadah. Rambut panjang yang terurai berlawanan dengan norma sosial di waktu itu.

Rambut yang pendek menyimbolkan pengurangan cerminan kemuliaan Allah di hadirat-Nya (1 Kor. 11:7). Ketika pria mengurangi cerminan kemuliaan Allah, maka sekarang wanita bisa mencerminkan kemuliaan Allah juga. Penutupan kepala dan rambut yang panjang bagi wanita adalah tanda kuasa yang diberikan Allah (1 Kor. 11:15) bahwa wanita bisa mencerminkan kemuliaan Allah dalam ibadah. Pria dan wanita setara untuk berdoa dan bernubuat dalam ibadah di hadapan Allah. Seba-gaimana Westfall (2016, p. 100) menjelas-kan:

Therefore, the fact that man is head of woman is not used here to argue for the subordination of women or the priority of men. Rather, Paul argues that the glory of man should be diminished in worship and the glory of God should be magnified, and this is done, at least in part, by gender-specific apparel.

Clement of Rome, dalam penje-lasannya kepada jemaat Korintus, memuji para pria di Korintus yang menginstruksikan ketundukan istri kepada suami dan ma-najemen rumah tangga yang baik adalah bagian penting atas harmoni yang bajik sebagai anggota Kerajaan Allah (Balch & Osiek, 1997, p. 146).

Paulus mengajar tentang sikap yang bisa membawa malu dan kehormatan bagi yang lain. Istri adalah kehormatan suaminya sebagaimana suami tidaklah lengkap tanpa istrinya (Kej. 2:23). Sebagaimana dituliskan juga bahwa, “… dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan, dan segala sesuatu berasal dari Allah” (1 Kor. 11:11-12). Maka dapat dimengerti bahwa pria dan wanita saling bergantung untuk dapat memuliakan Allah. Pria perlu menjaga rambutnya agar wanita bisa memancarkan kemuliaan Allah, dan wanita perlu menjaga rambutnya untuk menghormati suaminya yang menolong ia memancarkan kemuliaan Allah. Keduanya mencerminkan hubungan timbal-balik dan saling bergantung, sesuai dengan natur kesatuannya dalam penciptaan. Keduanya harus bekerja sama dengan saling menjaga dirinya dalam bersikap dan saling meng-hormati dalam hidup beribadah kepada Allah.

Di zaman modern ini, Allah berkenan memakai para wanita agar dapat bertindak

demi keselamatan dan kesejahteraan

banyak orang melalui banyak peran, seba-gai istri sekaligus ibu yang tidak hanya mendampingi suami, namun juga diharap-kan dapat berperan penuh dalam pem-bangunan keluarga, gereja bahkan masya-rakat. Alkitab memberikan pedoman bagi para wanita di zaman modern yang ber-peran sebagai istri dan ibu, bahwa wanita

harus menyadari peran kepemimpinan

wanita dalam keluarga, yang harus

(12)

di dalam dunia.  Wanita adalah pelengkap bagi pria, di mana para wanita memiliki karunia-karunia khusus yang tidak dimiliki oleh pria. Wanita berperan sebagai peno-long dan pelengkap yang sepadan dukung dan membimbing suaminya, men-jadi seorang kekasih dan sahabat sekaligus penghibur, penguat, penerima, pendamping dan pencinta, menjadi seorang ibu yang juga pembimbing rohani bagi keluarga.

Istri sebagai wanita, tunduk dengan

percaya kepada kasih suaminya dan

membuka diri terhadap suaminya. Membuka diri terhadap suami berarti bahwa istri mempercayakan isi hati, pikiran, kisah dan aspek hidupnya. Istri dapat dengan leluasa mengutarakan apa yang ia pikirkan dan rasakan kepada suaminya, sehingga ter-wujud relasi interpersonal yang dibangun dengan rasa percaya. Dengan kepemim-pinan suaminya yang menciptakan kesatuan mendalam melalui kasih yang berkorban,

istri harus tunduk sebagai seorang

penolong. Sebagai penolong, istri harus menolong suaminya untuk melaksanakan tanggung jawab atau panggilannya, yaitu mengusahakan kesatuan dalam pernikahan,

sebagai pertanggungjawaban kepada

Tuhan. Hal ini dapat istri lakukan dengan cara mendukung keputusan yang sudah dibicarakan atau diambil terkait rumah tangga dan dengan cara menunjukkan bahwa suaminya sebagai figur ayah, patut dihormati oleh anak-anaknya.

Selain itu, istri juga perlu mengem-bangkan diri terutama dalam hal kesalehan. Istri perlu memahami bahwa penundukan dirinya kepada suami ia lakukan untuk Allah. Ketika istri tunduk, ia tidak tunduk secara terpaksa namun dengan kerelaan yang didasari pula oleh kasih terhadap suaminya dan pengharapan di dalam Allah. Bagian

istri adalah menghormati suami dan

kepemimpinannya, bersikap baik dan saleh, serta menjadi kehormatan suami dengan cara melengkapi kekurangan suaminya. Istri juga tidak perlu merasa rendah diri dan jangan merasa layak untuk ditindas karena

sesungguhnya istri setara dengan suaminya di hadapan dan di dalam Kristus.

Melayani dan Memuliakan Allah Melalui Pernikahan

St. Gregory of Nyssa melihat bahwa perbedaan gender bukanlah penghukuman melainkan harus digunakan secara kudus. Menurutnya, salah satu tujuan perbedaan gender adalah untuk prokreasi mencapai jumlah (pleroma) yang dikehendaki Tuhan (Bouteneff, 2008, p. 159-160). Dalam Kejadian 2 dijelaskan bahwa tidak baik kalau Adam seorang diri saja dan Allah menciptakan penolong baginya. Penolong itu sama tetapi berbeda dengan Adam, ia melengkapinya. Kemudian, keduanya men-jadi satu daging di dalam pernikahan.

Dalam Kejadian 2-3, perbedaan

gender menuntun kepada persatuan bukan perpisahan (Tsekrekos, 2014, p. 309). Persatuan tersebut diwujudkan oleh karena kasih Kristus yang diresponi dalam ke-luarga. Diresponi dengan suami yang me-ngusahakan persatuan dengan istrinya dan mengepalai setiap anggota keluarganya dengan kasih yang berkorban, dan istri tunduk mempercayakan dirinya dalam

me-nolong suaminya memenuhi tanggung

jawabnya dan tujuan keluarganya. Kasih Kristus adalah pusat dalam hubungan suami-istri di dalam keluarga dan yang memampukan keluarga menyatakan kera-jaan Allah. Sebagaimana John Calvin juga mengatakan, “While it is a beautiful act to abandon one’s possessions for the sake of Christ, it is an even more beautiful act to rule one’s household in the love and fear of God” (Steinmetz, 1995, p. 194).

Jelas bahwa manusia diciptakan untuk ada di dalam relasi (Hollinger, 2009, p. 74). Dan dalam hal ini relasi yang dimaksud adalah relasi pernikahan. Relasi pernikahan tidak mengutamakan kepentingan satu pribadi atau hak, tetapi kesatuan dua pribadi dalam menyatakan Kerajaan Allah. Relasi itu harus dibangun dengan kasih Kristus yang memperhatikan, berkorban, dan taat

(13)

kepada kehendak Allah. Maka relasi pernikahan perlu dihidupi dengan fokus utama yaitu melayani dan memuliakan Allah

atau dengan kata lain, menyatakan

Kerajaan Allah di tengah dunia. Jadi suami-istri yang dipersatukan dalam pernikahan oleh Allah perlu mencari kehendak Allah secara aktif, melalui ibadah bersama, doa dan tuntunan Roh Kudus dalam berelasi dengan sesamanya dan anggota keluarga-nya. Oleh karena suami-istri ada dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah.

Dalam Gaudium es Spes, relasi pernikahan ini dijelaskan sebagai perjanjian, tertulis:

The intimate partnership of married life and love has been established by the Creator and qualified by His laws. It is rooted in the conjugal covenant of irrevocable personal consent. Hence, by that human act whereby spouses mutually bestow and accept each other, a relationship arises which by divine will and in the eyes of society too is a lasting one ... For God Himself is the author of matrimony, endowed as it is with various benefits and purposes ... Christ the Lord abundantly blessed this many-faceted love, welling up as it does from the fountain of divine love and structured as it is on the model of His union with the Church ... (Gaudium et Spes, n.d.)

Menurut Dennis P. Hollinger, ada tiga elemen dalam pernikahan yakni: perubahan status, komitmen yang khusus dan per-satuan seksual antara suami dan istri (Hollinger, 2009, p. 96). Perubahan status ditandai dengan perginya pria dari orang tuanya untuk bersatu dengan istrinya. Hal tersebut menunjukkan sekarang relasi yang sebelumnya dengan keluarga orang tuanya akan berubah. Sekarang pria itu memiliki prioritas yang berbeda dalam keluarga bahwa sekarang ia mengutamakan keluarga yang dipimpinnya daripada keluarga orang tuanya yang dipimpin ayahnya (Holliner, 2009, p. 96). Menandakan ada suatu relasi

dan prioritas yang baru ketika pria dan wanita menikah.

Elemen yang kedua, komitmen, ditan-dai dengan “untuk bersatu dengan istrinya” (cleave) yang dapat diartikan melekat dengan istrinya. Seperti Allah yang melekat dengan umat-Nya di dalam perjanjian-Nya dengan mereka, maka suami-istri harus berkomitmen satu sama lain demi per-nikahan mereka. Komitmen dalam perni-kahan sama dengan komitmen Allah dalam perjanjian-Nya (Kel. 6:6-7; Mal. 2:10, 14) (Hollinger, 2009, p. 97). Perjanjian (cove-nant) merupakan bentuk komitmen di dalam

Alkitab yang dapat diartikan sebagai

komitmen yang didasari dan dibuat di hadapan Allah (Buck, 2016, p. 15). Maka suami-istri berkomitmen dalam janji per-nikahannya di hadapan Allah untuk mengu-sahakan pernikahannya dengan kebersa-maan dan kasih. Sebagaimana Calvin juga berpendapat,

Just as God draws the elect believer into a covenant relationship with him, Calvin argued, so God draws husband and wife into a covenant relationship with each other. Just as God expects constant faith and good works in our relationship with Him, so God expects connubial faith-fulness and sacrificial works in our relationship with our spouses (Witte, 1997, p. 95)

Ketiga, persatuan dalam satu daging (Kej. 2:24-25, 1 Kor 6:16, Mal. 2:14-15, Mat. 19:4-6, Ef. 5:31) secara fisik di mana keintiman suami-istri dikonsumasikan. Mela-luinya ada kesatuan fisik, emosi, dan spiritual dua pribadi, bukan hanya tubuh tetapi segenap roh dan keberadaan mereka. Sama seperti Allah adalah satu, suami-istri kini adalah satu (Hollinger, 2009, p. 98). Persatuan ini juga menjadi tanda eksternal

atas adanya komitmen yang disertai

tanggung jawab dan penghargaan dalam harmoni dan kesatuan antara keduanya dalam segala hal. Sebagaimana Adam mengatakan “inilah dia, tulang dari tulangku

(14)

dan daging dari dagingku” (Kej. 2:23).

Dalam Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, persatuan satu daging disebut seperti “mengenal” (knowing) pribadi lain (Kej. 4:1). Hal ini menunjukkan ada pengenalan yang mendalam dan personal atas orang lain secara utuh. Dalam pernikahan, dua insan dengan keunikan pribadinya bersatu demi sebuah tujuan yakni bersatu dan memu-liakan Allah. Clement dari Alexandria me-ngatakan bahwa pernikahan adalah kera-jaan kecil yang kekudusannya adalah gam-baran dari bait Allah (Paraskeve, 2015, p. 110).

Salah satu wujud dari pelayanan suami-istri dalam keluarga kepada Allah adalah dengan mendidik anak mereka. Anak adalah tanda pengharapan bahwa Allah akan terus merawat dan mengasihi dunia di mana Ia membangun gereja-Nya dan suami-istri merespons pengharapan itu dengan mewariskan hal yang berharga yaitu anak-anak mereka (Hauerwas, 1981, p. 65). Di sisi yang lain, prokreasi sebagai salah satu tujuan pernikahan merupakan sebuah tindakan yang mengimitasi Allah oleh karena partisipasi menciptakan manusia (Balch & Osiek, 1997, p. 150).

Keluarga Kristen, menurut St. John Chrysostom, sejatinya bersifat ecclesial di mana setiap anggota di dalam keluarga hidup mencerminkan keanggotaannya atas Kerajaan Allah (Paraskeve, 2015, p. 110). Keluarga Kristen berarti bukan hanya se-buah tempat, rumah atau relasi, melainkan sesuatu yang ada karena kuasa Allah dan iman kepada-Nya. Maka para anggota

keluarga harus berpartisipasi bersama

dalam komuni untuk mengizinkan Roh Kudus membuat mereka menjadi fondasi atas hadirnya Kerajaan Allah. Dalam komuni itu, setiap anggota keluarga saling berbagi sukacita, kesedihan, pengajaran, dukungan, dalam kasih Kristus yang sama (Waters, 2007, p. 199) dan menjadi wadah per-tumbuhan spiritual. Maka ketika keluarga dihidupi dengan sepatutnya, keluarga bukan

hanya secara komunal mencerminkan

Kerajaan Allah, tetapi menjadikan setiap pribadi anggotanya semakin mencerminkan Kristus.

Dalam gereja dan komunitas, wanita memegang peranan yang juga tidak kalah penting. Wanita harus menyadari bahwa kekudusan harus menjadi  gaya hidup para wanita Allah  sehingga kehidupan Yesus bersinar melalui kehidupannya,  kekudusan tidak pernah menunjukkan kepuasan diri terhadap dosa, melainkan menunjukkan kehidupan pribadi dan gereja di mana Yesus adalah pusat dari seluruh kegiatan hidup-nya. Wanita memiliki hak dan kesempatan yang sama, ketika wanita menyia-nyiakan hak dan kesempatan pemberian Allah sama dengan menyia-nyiakan berkat-Nya. Oleh

karena itu, gereja dipanggil untuk

memberdayakan kemampuan dan keahlian wanita agar semakin berkualitas. Di sisi lain, wanita sendiri diingatkan bahwa  panggilan iman kristiani menantang dirinya untuk berkarya dan menyumbangkan kemam-puannya secara penuh. Keunggulan wanita dalam segi kuantitas akan menjadi kekuatan dan kekayaan yang sangat besar nilainya jika bisa menjadi keunggulan kualitas. Maka gereja memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kaum wanita yang masih belum terlihat potensi, talenta dan kemampuannya secara optimal saat ini. Itu artinya, apabila ada perempuan yang mulai ingin maju dan berperan di gereja, semua pihak perlu mendukungnya, dan mulai bekerja sama dan terlibat secara aktif dalam segala bidang pelayanan dan turut menumbuhkan kekuatan mental, kepercayaan diri dan kemampuan wanita.

KESIMPULAN

Lee-Barnewall mengajukan upaya lain untuk memperoleh perspektif yang lebih koheren atas isu gender. Lee-Barnewell menemukan jalan keluar dengan cara melihat tema yang lebih luas dan dalam daripada isu kepemimpinan dan kesetaraan untuk melihat kekayaan teks secara lebih utuh dan kontribusinya dalam memahami

(15)

isu gender. Menurut perspektif Lee-Barnewell, relasi Adam dan Hawa berputar pada kesatuan dan kasih, lebih daripada kesetaraan dan lebih menekankan ketaatan Adam dan Hawa kepada Allah. Oleh karena itu dalam memaknai relasi antar gender tiga hal yang perlu dimengerti adalah terkait

kesatuan, kekudusan, serta ketaatan.

Dengan ini dapat dipahami pula bahwa isu yang lebih utama dalam perbedaan gender ialah kebersamaan dan persatuan antara pria dan wanita, dengan tujuan menyatakan Kerajaan Allah dengan lebih baik.

Terhadap kepemimpinan pria, Lee-Barnewell menemukan bahwa narasi Keja-dian tidak menggambarkan Adam dan Hawa dalam konteks otoritas atau kesetaraan melainkan kesatuan. Narasi tersebut tidak

menekankan kegagalan kepemimpinan

Adam melainkan ketidaktaatannya pada perintah Allah. Sedangkan, Hawa diciptakan sebagai penolong karena dia paling serupa Adam dan didesain untuk menjadi satu daging dengan Adam yang merefleksikan keserupaannya dengan Adam. Adanya pembedaan tanggung jawab Adam dan Hawa dinyatakan untuk mengangkat tujuan perbedaan itu, yakni kesatuan dalam ke-taatan mewujudkan kehendak Allah. Menya-takan kehendak dan kerajaan Allah adalah fokus utama yang lebih penting daripada penekanan hak wanita atau siapa yang berhak memimpin.

Allah membebaskan Adam dari

kesendirian dengan menciptakan Hawa, yaitu wanita sebagai penolong bagi Adam.

Allah menciptakan keduanya untuk saling melengkapi. Adam yang diciptakan dan langsung diberi tanggung jawab berupa pekerjaan memerintah dan menguasai bumi memberikan pengertian bagi kita bahwa Adam memang diciptakan untuk melayani dan memuliakan Allah. Pria bertanggung jawab mengusahakan persatuan dengan istrinya agar bisa bersama-sama melayani dan memuliakan Allah. Dalam Kolose 3:18-4:1 dan Efesus 5:22-33 Rasul Paulus menempatkan relasi suami-istri dan sesama di bawah teladan Kristus dengan jemaat-Nya. Dan kepemimpinan yang dimaksud Rasul Paulus adalah relasi persatuan satu daging yang dipertalikan dengan kasih yang berkorban. Suami dihimbau untuk mene-ladani Kristus berarti suami harus mengasihi istrinya dengan berkorban bukan dengan dominasi. Jika suami mengasihi seperti Kristus mengasihi jemaat, maka istri tunduk kepada suami sebagaimana jemaat tunduk kepada gereja dan Kristus tunduk kepada Bapa. Istri tunduk kepada suami bukan demi kepentingan suami, tetapi istri tunduk kepada suami untuk Allah. Dan penundukan ini dilakukan dengan kerelaan bukan karena rasa takut atau intimidasi, sebab ketundukan ini adalah bentuk pertolongan, bahkan penginjilan bagi suaminya untuk menjadi lebih serupa Kristus. Lebih lagi, keduanya harus bekerja sama dengan saling menjaga dirinya dalam bersikap dan saling meng-hormati dalam hidup beribadah kepada Allah.

DAFTAR RUJUKAN

Balch, D. & Osiek, C. (1997), Families in the New Testament World. Louisville: Westminster John Knox Press.

Barton, S. C. (2018) Kinship, Marriage and

Family Learning from Tradition.

Colloquium, 50 (2), 3-24.

Belleville, L. L. (2009) A Response to Thomas Schreiner. In S. N. Gundry & J. R. Beck (Eds.), Two Views on Women in Ministry (pp. 330-337).

Grand Rapids: Zondervan.

Bilezikian, G. (2006). Beyond Sex Roles: What the Bible Says about a Woman’s Place in Church and Family. Grand Rapids: Baker Academic.

Bouteneff, P. (2008). Beginnings. Ancient

Christian Readings ofthe Biblical

Creation Narratives. Grand Rapids: Baker Academic.

Buck, N. (2016). On the Nature and Purpose of Marriage. Encounter, 76(2), 9-32.

(16)

Bungin, B. (2008). Penelitian Kualitatif,

Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan

Publik dan Ilmu Sosial lainnya.

Jakarta: Kencana.

Burns, J. L. (2016). The Biblical Use of

Marriage to Illustrate Covenantal

Realtionships. Bibliotheca Sacra,

173(691), 273–96.

Chrysostom, J. (1986). On Marriage and Family Life (C. P. Roth & D. Anderson, Trans.). Crestwood: St. Vladimir’s Seminaty Press.

Cook, W. F. (2012). When Only One Spouse Believes Hope for Christian Women in Mixed Marriages. The Journal of Discipleship & Family Ministry, 2(2), 14-20.

Gaudium et Spes (n.d.). Retrieved from http://www.vatican.va/archive/hist_cou ncils/ii_vatican_council/documents/vat- ii_const_19651207_gaudium-et-spes_en.html

Grudem, W. (2012) Evangelical Feminism & Biblical Truth: An Analysis of More

Than One Hundred Disputed

Question. Wheaton: Crossway.

Hauerwas, S. (1981). A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethic. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Hensley, A. D. (2019). The ‘Metaphor’ of Marriage in the Bible. Logia, 28(2), 7-14.

Hollinger, D. P. (2009). Meaning of Sex: Christian Ethics and the Moral Life. Grand Rapids: Baker Academic.

Keener, C. S. (2004). Learning in the Assemblies: 1 Corinthians 14:34-35. In R. W. Pierce & R. M. Groothius (Eds.), Discovering Biblical Equality, (161-171). Downers Grove, IL: InterVarsity Press.

Lee-Barnewall, M. (2016). Neither

Complementarian nor Egalitarian: A Kingdom Corrective to the Evangelical

Gender Debate. Michigan: Baker

Academic.

Martin, Troy W (2012). Performing the Head

Role: Man Is the Head of Woman (1 Cor 11:3 and Eph 5:23). Biblical Research 57, 69–80.

Matthews, A. (2017). Gender Roles and the People of God: Rethinking What We Were Taught About Men and Women

in the Church. Grand Rapids:

Zondervan.

O’Brien, P. T. (1999). The Letter to the Ephesians. The Pillar New Testament

Commentary. Grand Rapids:

Eerdmans.

Paraskeve, T. (2015). Perspectives on Marriage and Family in the Orthodox

Church. The Greek Orthodox

Theological Review, 60(1–2), 105-127. Payne, P. B. (2009). Man and Woman, One

in Christ: An Exegetical and

Theological Study of Paul’s Letters. Grand Rapids: Zondervan.

Poythress, V. S. (2006). The Church as Family: Why male leadership in the family requires male leadership in the church. In J. Piper & W. Grudem (Eds.), Recovering Biblical Manhood

and Womanhood (pp. 237-250).

Wheaton: Crossway Books.

Sugiyono (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Steinmetz, D. C. (1995). Calvin in Context. New York: OUP.

Talbert, C. H. (2007). Ephesians and Colossians, Commentaries on The New Testament. Grand Rapids: Baker Academic.

Thielman, F. (2010). Ephesians, Baker

Exegetical Commentary on the New Testament. Grand Rapids: Baker Academic.

Tsekrekos, C. P. (2014). The Eschatological Character of Christian Marriage. St

Vladimir’s Theological Quarterly,

58(3), 307-326.

Waters, B. (2007). The Family in Christian Social and Political Thought. USA: Oxford University Press.

Westfall, C. (2016). Paul and Gender: Reclaiming the Apostle’s vision for

(17)

Men and Women in Christ. Grand Rapids: Baker Academic.

Witte, J. (1997). From Sacrament to

Contract: Marriage, Religion, and Law in the Western Tradition. Louisville: John Knox.

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Bupati Bangka Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Struktur Organisasi Dinas Daerah dan Unit Pelaksana Teknis (UPT)

dibahagikan kepada beberapa modul. Modul - modul ini akan dibangunkan secara berasingan dan ia tidak terfalu bergantung antara satu sama lain. M ela lu i kaedah ini ,

Asutusalueen tuntumassa sijaitsevien kohteiden määrät määrät toimialoittain (MATTI 12.2.2013). romuttamot) Metalliteollisuus Taimi- ja kauppapuutarhat Muu teollisuus Muu

Efek deterministik awal dapat terjadi akibat (1) deposisi radionuklida yang relatif homogen atau pada banyak organ dalam tubuh (tritium, polonium dan cesium), (2) akumulasi dosis

Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian

Tidak pernah memperhatikan apa yang telah dilakukan oleh unit / karyawan dibawahnya dalam melaksanakan tugas yang ada.. Acuh tak acuh terhadap keberhasilan atau masalah

Secara keseluruhan nilai penyimpangan antara 2,26 – 36,85 %, berarti perbedaan antara pengukuran dan model cukup kecil (Tabel 1). Perbandingan antara hasil sedimen pengukuran

Penggunaan model pembelajaran ini peneliti mengharapkan dapat meningkatan hasil belajar yang baik dan maksimal, dengan melihat kondisi siswa yang sedikit memudahkan