• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN MAKROFUNGI DI CAGAR ALAM GUNUNG AMBANG SULAWESI UTARA DAN PELUANG POTENSINYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEANEKARAGAMAN MAKROFUNGI DI CAGAR ALAM GUNUNG AMBANG SULAWESI UTARA DAN PELUANG POTENSINYA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

49

KEANEKARAGAMAN MAKROFUNGI DI CAGAR ALAM GUNUNG AMBANG

SULAWESI UTARA DAN PELUANG POTENSINYA

Diah Irawati Dwi Arini1*, Margareta Christita1,

1Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado

Jalan Tugu Adipura Raya, Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado – Sulawesi Utara

*Corresponding author : No. tilp: +62 81228958880, Email: irawati.diah@gmail.com ______________________________________________________________________________________

ABSTRACT

Gunung Ambang Nature reserve is a conservation area located in North Sulawesi that hold the biodiversity typical of Wallacea bioregion. In addition to the higher vegetation, this region also has the potential diversities of macroscopic fungi. The purpose of this study is to identify the fungal species diversity found in the Gunung Ambang Nature reserve as well as it‘s potential utilizing opportunities, considering that the information on species diversity of fungi in the Wallacea region is very limited. This research was conduct using the Cruise Method by identifying macroscopic fungi along the hiking trail of Gunung Ambang Nature Reserve. The macroscopic fungi were observed based on the characteristics includes the color, diameter, surface of the veil, the shape of the stem, the length and diameter of the stem, the presence or absence of lamella or porous and ring, type of lamella and the type volva. The research also identifies grow medium and the location where the fungus was found. Data were analyzed descriptively qualitative. The results of the research identified 29 species of macroscopic fungi that included to the division Ascomycota and Basidiomycota. It belongs to 16 families and 10 orders are Xylariales, Pezizales, Cantharellales, Agaricales, Auriculariales, Gloeophyllales, Hymenochaetales, Phallales, Polyporales and Russulales. Based on the potential of use, it has identified 10 types of mushrooms potentially as edible mushroom are Sarcoscypha maximus, Craterellus strugosus, Craterellus sp., Lyophyllum loricatum, Lyophyllum sp., Marasmius maximus, Plerotus sp., Auricularia sp., Microporus affinis, and Lactarius piperatus. Five types were identified as medicinal fungi are Xylaria sp.1, Xylaria sp.2, Xylaria sp.3, Gleophyllum sepiarrum, and Phallus tenuis. Based place to grow as much as 62% were found growing on decaying wood and 38% found growing in the soil / litter.

Keywords: Macrofungi, Gunung Ambang Nature Reserve, potential, food, medicine

PENDAHULUAN

Dalam ekosistem hutan, jamur berperan sebagai dekomposer bersama dengan bakteri dan protozoa yang memiliki peran dalam mendekomposisi bahan organik untuk mempercepat siklus materi. Jamur membantu dalam menyuburkan tanah melalui penyediaan nutrisi bagi tumbuhan sehingga hutan tumbuh dengan subur (Suharna, 1993). Jamur atau fungi merupakan organisme terbesar kedua setelah serangga di dunia ini. Saat ini diperkirakan 150 juta atau tujuh jenis didalamnya termasuk satu juta jenis makrofungi telah teridentifikasi (Li et al., 2012). Makrofungi merupakan bagian dari kelompok fungi atau jamur yang memiliki tubuh buah dan dapat diamati dengan mata langsung, lebih lanjut dijelaskan oleh Munir (2006) jamur makroskopis atau makrofungi merupakan kelompok utama organisme pendegradasi lignoselulosa karena mampu

(2)

50

menghasilkan enzim-enzim pendegradasi lignoselulosa seperti selulase, ligninase, dan hemiselulase, sehingga siklus materi dapat terus berlangsung.

Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman spesies jamur makroskopis yang tinggi, hal ini didukung oleh kondisi lingkungan Indonesia yang mempunyai iklim tropis basah. Beberapa jenis jamur telah dimanfaatkan bahkan dibudidayakan sebagai bahan pangan maupun obat-obatan seperti Pleurotus ostreatus dan Auricularia spp. Menurut Permana et al. (2016) keanekaragaman makrofungi di alam sebagai jamur pangan telah dikonsumsi manusia sejak beratus-ratus tahun yang lalu sebagai pangan spesial yang memberikan kenikmaatan citarasa karena nilai gizinya yang tinggi. Namun demikian, sampai saat ini data maupun literatur mengenai keanekaragaman jamur makroskopis dan manfaatnya di Indonesia pada umumnya masih sangat terbatas termasuk spesies jamur yang berasal dari kawasan Wallacea yang dikenal dengan endemisitas spesies yang tinggi.

Cagar Alam Gunung Ambang merupakan satu dari kawasan konservasi yang berada Sulawesi bagian Utara dan menyimpan keanekaragaman hayati khas bioregion Wallacea. Memiliki empat tipe ekosistem yaitu hutan dataran rendah, hutan pegunungan, gunung api serta ekosistem danau. Secara administratif CA. Gunung Ambang berada di dua kabupaten yaitu Bolaang Mongondow dan Minahasa Selatan. Kawasan ini ditetapkan menjadi cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.359/Kpts/Um/6/1978 dengan luas kawasan seluas 8.638 ha. Namun, setelah dilakukan rekonstruksi dan pemancangan, tata batas mengalami perubahan menjadi ± 22.132 ha. Awal mula penetapan kawasan ini bertujuan untuk melindungi satwa khas Sulawesi yaitu anoa atau Bubalus depresicornis. Jenis vegetasi yang ditemukan di kawasan ini diantaranya Calamus spp. dan Bambusa spp. yang merupakan vegetasi penyusun hutan. Pada daerah hutan primer didominasi oleh Ficus, dari Suku Arecaceae serta dari Marga Adinandra dan Palaquium (Embo et al., 2015). Selain vegetasi tingkat tinggi, kawasan ini juga memiliki berbagai keanekaragaman jenis jamur karena didukung oleh kondisi iklimnya. Namun informasi mengenai keanekaragaman jenis jamur makrofungi khususnya di kawasan ini belum pernah ada. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi keanekaragaman jenis jamur yang terdapat di CA. Gunung Ambang serta peluang potensi pemanfaatannya.

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di CA. Gunung Ambang yang merupakan rangkaian dari kegiatan eksplorasi flora dan fauna Balai Penelitian Kehutanan Manado yang dilaksanakan pada tahun 2008-2009. Peta lokasi penelitian dijelaskan pada Gambar 1.

(3)

51

Gambar 1. Lokasi Penelitian CA. Gunung Ambang Bahan dan Alat

Peralatan yang digunakan terdiri atas alkohol 70%, amplop spesimen, kotak spesimen, kertas koran, plastik spesimen, kamera digital, GPS, parang, pisau, peta kawasan, kaliper, lembar isian data, dan alat tulis menulis.

Prosedur Penelitian

Pengumpulan data jenis jamur dilakukan dengan metode jelajah (Cruise method) (Rugayah dan Pratiwi, 2004) di sepanjang jalur tracking wisata di CA. Gunung Ambang. Jamur yang ditemukan diambil gambar sebagai dokumentasi dan diamati warna tubuh jamur. Pengamatan makroskopis isolat makrofungi meliputi bentuk dan warna tudung, permukaan tudung, tipe tudung, diameter tudung, bentuk tangkai, panjang dan diameter tangkai, ada atau tidaknya lamella atau porus dan cincin, tipe lamella, tipe volva. Selain jenis dicatat pula tempat tumbunya.

Analisa Data

Analisa data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan indetifikasi jenis dan potensi menggunakan beberapa literatur diantaranya Carlile et al. (Boa (2004), First nature (2014), Anonymous (2016a) dan Anonymous (2016b).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Jenis Makrofungi

Kehidupan makrofungi umumnya bersifat spesifik, masing-masing makrofungi membutuhkan karakteristik faktor lingkungan yang berbeda. Tipe vegetasi menjadi faktor determinan bagi keberadaan dan pertumbuhan makrofungi. Vegetasi secara langsung berkontribusi sebagai substrat dan sumber materi organik bagi pertumbuhan makrofungi. Iklim mikro yang diciptakan akan menentukan kelembaban udara yang sangat berperan penting bagi pertumbuhan makrofungi (Prasetyaningsih & Rahardjo, 2015).

(4)

52

Hasil penelitian di sepanjang jalur pengamatan mengidentifikasi sebanyak 29 spesies jamur makroskopis yang termasuk ke dalam dua divisi yaitu Ascomycota dan Basidiomycota. Ascomycota terdiri dari dua kelas yaitu Sordariomycetes dan Pezizomycotina, dua ordo yaitu Xylariales dan Pezizales, terdiri dari dua famili yaitu Xylariaceae yang memiliki tiga spesies dan Sarcoscyphaceae yang terdiri dari satu spesies. Sedangkan Basidiomycota terdiri dari satu kelas yaitu Agaricomycetes dan delapan ordo yakni Cantharellales, Agaricales, Auriculariales, Gloeophyllales, Hymenochaetales, Phallales, Polyporales dan Russulales. Terdiri dari 14 famili dan 25 spesies. Jika dilihat dari jumlah spesies berdasarkan divisi menunjukkan Basidiomycota memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dibandingkan divisi Ascomycota, hal ini dijelaskan oleh Santoso (2004) bahwa spesies jamur makroskopis yang paling sering ditemukan adalah dari divisi Basidiomycota. Hal ini disebabkan, sebagian besar anggota dari divisi Ascomycota umumnya bersifat mikroskopis dan hanya sebagian kecil bersifat makroskopis atau memiliki tubuh buah (Dwidjoseputro, 1978). Keanekaragaman jenis jamur makrofungi yang ditemukan di CA. Gunung Ambang selelngkapnya disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Keanekaragaman jenis jamur makrofungi yang ditemukan di CA. Gunung Ambang Divisi Kelas Ordo Famili Spesies

Ascomycota Sordariomycetes Xylariales Xylariaceae

Xylaria sp.1 Xylaria sp.2 Xylaria sp. 3

Pezizomycotina Pezizales Sarcoscyphaceae Sarcoscypha maximus

Basidiomycota Agaricomycetes

Cantharellales Cantharellaceae Craterellus sp. Craterellus strugosus

Agaricales

Cortinariaceae Dermocybe sp. Lyophyllaceae Lyophyllum loricatum

Lyophyllum sp. Marasmiaceae Marasmiellus candidus

Marasmius maximus Psathyrellaceae Corprinus lagopus

Strophariaceae Pholiota squarossa Kuehneromyces sp. Hypholoma sp. Tricholomataceae Plerotus sp. Mycenaceae Mycena sp. Auriculariales Auriculariaceae Auricularia sp.1

Auricularia sp.2 Gloeophyllales Gloeophyllaceae Gleophyllum sepiarrum Hymenochaetales Hymenochaetaceae Hymenochaete rubiginosa Phallales Phallaceae Phallus tenuis

(5)

53 Polyporales Polyporaceae Microporus affinis Microporus sp.1 Microporus sp.2 Oligoporus sp. Trametes sp. Russulales Russulaceae Lactarius sp.

Lactarius piperatus

Divsi Ascomycota yang dijumpai terdiri empat spesies yaitu Xylaria sp. 1, Xylaria sp. 2. dan Xylaria sp. 3 yang termasuk dalam ordo Xylariales dan Sarcoscypha maximus yang masuk ke dalam ordo Pezizales. Menurut Hansen & Pfister (2006) ordo Pezizales banyak ditemukan tumbuh di tanah maupun di batang kayu, namun kebanyakan tumbuh pada tanah dengan pH yang tinggi.

Basidiomycota tersebar secara luas di seluruh dunia, berdasarkan morfologinya Basidiomycota memiliki anggota mikrofungi dan makrofungi. Basidiomycota mikro adalah kelompok Basidiomycota yang karpnya halus, berukuran mikroskopis, dan sebagian besar merupakan patogen pada tanaman yang bersifat saprobik (Roossheroe et al.,2014). Pada penelitian ini, divisi Basidiomycota yang ditemukan terdiri dari delapan ordo. Ordo Cantharellales hanya terdiri dari satu famili yaitu Cantharellaceae, terdiri dari dua spesies yaitu Craterellus sp. dan Craterellus strugosus. Ordo Russulales terdiri dari satu famili yaitu Russulaceae dan dua spesies Lactaris sp. dan Lactarius piperatus. Ordo Auriculariales terdiri satu famili dua spesies yaitu famili Auriculariaceae, spesies Auricularia sp1. Dan Auricularia sp2. Umumnya Famili Auriculariaceae memiliki tubuh buah berbentuk seperti telinga, transparan dan permukaannya licin seperti gelatin, berwarna cokelat. Jamur ini tidak memiliki tangkai dan hidupnya berkoloni dan menempel pada kayu mati.

Ordo Gloeophyllales, Hymenochaetales dan Phallales hanya terdiri satu famili dan satu spesies yaitu Gleophyllum sepiarrum, Hymenochaete rubiginosa dan Phallus tenuis. Ordo Polyporales hanya dijumpai satu famili yaitu Polyporaceae yang terdiri dari lima spesies yaitu Microporus affinis, Microporus sp1., Microporus sp2., Oligoporus sp. dan Trametes sp. Famili Polyporaceae banyak ditemukan di tempat-tempat lembab dan sebagian besar anggota keluarga ini memiliki hymenium (lapisan subur) dalam pori-pori vertikal dibawah payung, tetapi beberapa dari mereka memiliki insang seperti struktur pori-pori yang memanjang membentuk labirin. Sebagian besar anggota famili ini memiliki bubuk spora putih yang menyukai tempat-tempat yang lembab dengan naungan kanopi yang lebat dan sering ditemukan pada substrat serasah maupun kayu hutan serta memiliki kemampuan beradaptasi pada kondisi yang kurang untuk mendukung pertumbuhannya (Suhardiman 1995; Muhlisin, 2008). Menurut Hawksworth (2001) Polyporales mempunyai sifat mendominasi suatu ekosistem dan disebut sebagai spesies kosmopolitan dan dependent genera.

(6)

54

Spesies dari ordo Agricales memiliki jumlah famili terbanyak yaitu tujuh famili yaitu Cortinariaceae, Lyophyllaceae, Marasmiaceae, Psathyrellaceae, Strophariaceae, Tricholomataceae dan Mycenaceae dan 11 spesies yaitu Dermocybe sp., Lyophyllum loricatum, Lyophyllum sp., Marasmiellus candidus, Marasmius maximus, Corprinus lagopus, Pholiota squarossa, Kuehneromyces sp., Hypholoma sp., Plerotus sp. dan Mycena sp. Hawksworth (2001) menjelaskan bahwa spesies dari ordo Agaricales merupakan spesies makrofungi yang mempunyai lamela/gill.

Penelitian yang terkait dengan keanekaragaman jenis jamur makrofungi di bioregion Wallacea juga pernah dilakukan di Cagar Alam Tangale Gorontalo, hasil penelitian berhasil mengindentifikasi sebanyak 17 spesies jamur mikroskopis yang masuk ke dalam delapan famili dimana famili Polyporaceae memiliki jumlah spesies terbanyak yaitu sembilan spesies terdiri dari genus Fomes, Micropurus, Polyporus, dan Lentinus (Santoso et al., 2013).

Gambar 2.

(A). Xylaria sp.1; (B). Xylaria sp.2; (C). Sarcoscypha maximus ; (D). Microporus affinis; (E). Hypholoma sp.; (F). Phallus tenuis; (G). Marasmiellus candidus ; (H). Dermocybe sp.; (I). Auricularia sp.; (J). Corprinus lagopus; (K). Trametes sp.; (L). Lactarius piperatus; (M). Plerotus sp.; (N). Xylaria sp.3; (O). Hymenochaete rubiginosa; (P). Marasmius maximus.

G H I J K L M N O C D E F A B P

(7)

55 Berdasarkan tempat tumbuhnya ditemukan dua kelompok yaitu makrofungi yang tumbuh di tanah atau serasah di lantai hutan sebesar 38% dan makrofungi yang tumbuh pada batang kayu lapuk sebesar 62%. Pada umumnya jamur yang tumbuh di kayu lapuk terutama yang divisi Basidiomycota merupakan pendegradasi utama lignin dan lignoselulosa pada kayu, dan juga merupakan penyebab terjadinya kerusakan atau kebusukan akar (Jensen et al., 2001). Jenis jamur yang tumbuh di kayu dan telah terbukti menyebabkan busuk coklat seperti jenis Gleophyllum spp.

Peluang Potensi dan Pemanfaatan

Pemanfaatan jamur baik sebagai bahan pangan, obat-obatan dan bahan kosmetik telah berlangsung sejak lama. Menurut sejarah Romawi atau Raja Pharoahs pada masa kerajaan Mesir, jamur menjadi makanan raja, para bangsawan serta pasukan kerajaan yang dipercayai memperpanjang umur, meningkatkan imunitas (Jahan et al., 2010). Berabad-abad bangsa China dan dimasa kedinastian Jepang mempercayai jamur sebagai bahan pangan menyehatkan dengan nilai gizi tinggi serta properti medisinal (Rukmi & Sulchan, 1999). Keberadaan makrofungi liar sebagai bahan pangan telah dimanfaatakan secara luas di seluruh dunia. Tercatat bangsa Cina memanfaatkan jamur liar sebagai bahan pangan sejak ratusan tahun sebelum masehi (Aaronson, 2000). Potensi dan lokasi tempat tumbuh makrofungi yang dijumpai di CA. Gunung Ambang disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Potensi dan lokasi tempat tumbuh makrofungi yang ditemukan di CA. Gunung Ambang

No. Spesies Tempat tumbuh Potensi

1. Xylaria sp.1 Kayu lapuk Obat

2. Xylaria sp.2 Kayu lapuk Obat

3. Xylaria sp. 3 Kayu lapuk Obat

4. Sarcoscypha maximus Tanah/serasah Pangan

5. Craterellus sp. Kayu lapuk Pangan

6. Craterellus strugosus Kayu lapuk Pangan

7. Dermocybe sp. Kayu lapuk Non Pangan

8. Lyophyllum loricatum Tanah/serasah Pangan 9. Lyophyllum sp. Tanah/serasah Pangan 10. Marasmiellus candidus Tanah/serasah Non Pangan 11. Marasmius maximus Tanah/serasah Pangan 12. Corprinus lagopus Kayu lapuk Non Pangan 13. Pholiota squarossa Tanah/serasah Non Pangan 14. Kuehneromyces sp. Kayu lapuk Non Pangan 15. Hypholoma sp. Tanah/serasah Tidak teridentifikasi

16. Plerotus sp. Kayu lapuk Pangan

17. Mycena sp. Kayu lapuk Non Pangan

(8)

56

19. Auricularia sp.2 Kayu lapuk Pangan 20. Gleophyllum sepiarrum Kayu lapuk Obat

21. Hymenochaete rubiginosa Kayu lapuk Non Pangan 22. Phallus tenuis Tanah/serasah Obat

23. Microporus affinis Kayu lapuk Pangan

24. Microporus sp.1 Kayu lapuk Tidak teridentifikasi 25. Microporus sp.2 Tanah/serasah Tidak teridentifikasi 26. Oligoporus sp. Kayu lapuk Tidak Teridentfikasi 27. Trametes sp. Kayu lapuk Tidak Teridentfikasi 28. Lactarius sp. Tanah/serasah Non Pangan 29. Lactarius piperatus Tanah/serasah Pangan

Berdasarkan potensi yang tersimpan dalam keragaman jenis makrofungi di hutan tropis dapat dibagi menjadi dua yaitu edible fungi (jamur pangan) dan medicinal fungi (Jamur berpotensi obat). Pada penelitian ini ditemukan 11 jenis atau setara dengan 38% makrofungi di CA. Gunung Ambang yang berpotensi sebagai merupakan jamur pangan. Pada penelitian di CA. Gunung Ambang ini juga ditemukan Pleurotus sp. yang merupakan jenis jamur tiram yang sudah sangat populer dibudidayakan oleh masyarakat sebagai jamur pangan. Makrofungi berpotensi sebagai jamur pangan umumnya memiliki tubuh buah dan batang yang cukup besar, berdaging serta memiliki rasa yang enak. Anonymous (2013) menjelaskan bahwa spesies Pleurotus dapat dijumpai hampir sepanjang tahun di dalam hutan pegunungan serta daerah dengan iklim yang sejuk. Tubuh buah tumbuh pada pertengahan antara musim hujan dan kemarau. Setiap tubuh buah memiliki performa yang sama satu sama lain dengan sebaran di berbagai sudut dan saling bertumpukan (Permana et al., 2016). Persentase potensi pemanfaatan makrofungi yang dijumpai di CA. Gunung Ambang disajikan dalam Gambar 3.

(9)

57 Jamur potensi obat ditemukan sebanyak lima jenis atau setara dengan 17%. Makrofungi dengan potensi obat telah lama dimanfaatakan penduduk dunia sebagai alternatif penyembuhan. Makrofungi yang berpotensi obat mengandung senyawa-senya yang terbukti sebagai anti tumor, immunimoduating, anti oksidan, antiviral, anti kolesterol, anti bakteri, anti parasit, sebagai bahan detoksifikasi tubuh, dan anti diabetik (Waser, 2010). Beberapa makrofungi dari famili xilariacea telah diteliti berpotensi tahan terhadap bakteri patogen dan sel kanker yang menyerang manusia (Ramesh et al., 2015). Pada penelitian ini makrofungi yang termasuk dalam kategori inedible atau tidak dapat konsumsi sebanyak 28%. Makrofungi yang dikategorikan sebagi bukan jamur pangan adalah makrofungi yang rasanya yang tidak enak dan sebagian lain merupakan makrofungi yang beracun. Sebanyak 17% makrofungi pada penelitian ini belum teridentifikasi pada potensi makrofungi seperti tersebut sebelumnya, hal ini disebabkan beberpa jenis makrofungi yang ditemukan belum dapat teridentifikasi hingga tingkat species. Pada penelitian ini tidak dilakukan identifikasi secara mikroskopis dengan menumbuhkan isolat jamur secara in-vitro sehingga tidak dapat dilakukan pengamatan bentuk dan ukuran spora serta penampakan hifa pada fase filamen.

KESIMPULAN

Teridentifikasi sebanyak 29 jenis makrofungi yang ditemukan di Kawasan CA. Gunung Ambang yang terbagi ke dalam dua divisi yaitu Ascomycota dan Basidiomycota. Ascomycota terdiri dari dua kelas yaitu Sordariomycetes dan Pezizomycotina, dua ordo dan famili yaitu Xylariaceae dan Sarcoscyphaceae dan empat species. Basidomycota terdiri satu kelas yaitu Agaricomycetes, delapan ordo dan 14 famili yang terdiri dari 25 species. Berdasarkan ordo, Agaricales memiliki jumlah spesies terbanyak, berdasarkan famili, Polyporaceae memiliki spesies terbanyak yaitu lima spesies. Berdasarkan tempat tumbuhnya terbagi menjadi 38% tumbuh pada tanah/serasah dan 62% ditemukan pada kayu lapuk. Identfikasi terhadap potensi pemanfaatan makrofungi menunjukkan sebanyak 11 jenis atau 38% makrofungi berpotensi sebagai jamur pangan diantaranya spesies Lyophyllum loricatum, Marasmius maximus, Lactarius piperatus. Sebanyak lima jenis atau 17% berpotensi sebagai obat yaitu jenis Xylaria sp., Gleophyllum sepiarrum dan Phallus tenuis.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya disampaikan kepada Prof. Ohtani dari Kochi University yang telah bersedia membantu dalam mengindentifikasi spesies makrofungi. Kepada teman-teman peneliti dan teknisi Balai Penelitian Kehutanan Manado yang telah membantu proses pengambilan data serta Bapak Julius Runtunuwu selaku Kepala Resort Cagar Alam Gunung Ambang yang bersedia menjadi pemandu selama penelitian.

(10)

58

DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, S. 2000. Fungi. In K. F. Kiple, & K. C. Ornelas, The Cambridge History of Food (pp. 313-336). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Anonymous. 2013. Diakses 20 Juli 2016 dari http://www.fao.org/ess/top/community.html

Anonymous. 2016a. The Mushrooms. Retrived 25 Juli 2016 from http://www.rogersmushrooms.com/gallery/DisplayBlock~bid~5817~source~gallerychoos erresult.asp

Anonymous. 2016b.The Journal of Wild Mushrooming. Retrived 25 Juli 2016 from http://www.mushroomthejournal.com/.

Boa, E. (2004). Wild Edible Fungi : A Global Overview of Their Use and Importance for People. Rome: FAO.

Carlile, M. J., S.C. Watkinson,. & G.W. Gooday. (2004). The Fungi. London: Academic Press. Dwidjoseputro, D. 1978. Pengantar Mikologi, Edisi Kedua. Bandung: Penerbit Alumni.

Embo, A.A., R. Koneri, Saroyo, dan A. Papu. 2015. Inventarisasi Jenis Pohon pada Cagar Alam Gunung Ambang, Sulawesi Utara. Diakses 20 Juli 2016 dari http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo.

First Nature. 2014. Retrieved 20 July 2916 from www.first-nature.com/fungi/id-guide.php.

Hansen, K. and D. Pfister. 2006. Systematics of the Pezizomycetes--the operculate discomycetes. Mycologia, 98(6), 1029–1040.

Hawksworth, D. 1990. The fungal dimension of biodiversity: Magnitude, significance and conservation. Mycological Research , 95: 641-655.

Jahan, N., M. Moonmoon and MMI Shah. 2010. Grower‘s respons to Mushrooms Cultivation Technologies Disseminated by Mushroom Development Project. Agri.Soc.Sci J. 6: 96-100.

Jensen, K. A., K.J. Houtnam, Z.C. Ryan, and K.J. Hemmel. 2001. Pathways for Extracellular Fenton Chemistry in the Brown Rot Basidiomycete Gloeophyllum trabeum. Applied and Environemtal Microbiology, 67(6): 2705–2711.

Li, S., T. Zhu, G. Li dan H. Zhu. 2012. Diversity of Macro-Fungal Community in Bfeng Gorge Core Giant Panda Habitat in Cina. African Journal Biotechnology, 11(8) : 1970-1976.

Muhlisin. 2008. Identifikasi Jamur Makroskopis Di Hutan Sekitar Kampus Universitas Jambi. Skripsi Sarjana Strata Satu Fakultas Biologi Universitas Jambi.

Munir, E. 2006. Pemanfaatan Mikroba dalam Bioremediasi: Suatu Teknologi Alternatif untuk Pelestarian Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Mikrobiologi FMIPA USU. USU Repository. Medan.

Permana, D.R., N. Rahman, dan M. Kurniadi. 2016. Keanekaragaman Makrofungi sebagai Jamur Pangan dan Perbedaan Karakteristik Habitat Media Alami. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas 7 November 2015. Solo : Kelompok Studi Biodiversitas Program Studi Biologi FMIPA UNS.

Prasetyaningsih, A dan D. Rahardjo. 2015. Keanekaragaman dan Potensi Makrofungi Taman

Nasional Gunung Merapi. Diakses 20 Juli 2016 dari

http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/1626

Ramesh, V., K. Santosh., T.D. Anand., V. Shanmugaiah., S. Kotamraju., C. Karunakaran., and A. Rajendran. 2015. Novel Bioactive Wild Medicinal Mushroom--Xylaria sp. R006 (Ascomycetes) against Multidrug Resistant Human Bacterial Pathogens and Human Cancer Cell Lines. Int J. Med Mushrooms, 17(10):1005-17

Roosheroe, I. G., W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari. 2014. Mikologi Dasar dan Terapan . Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Rugayah, W dan Pratiwi. 2004. Pedoman Data Keanekaragaman Flora. Bogor : Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Rukmi, I dan M. Sulchan. 1999. Aspek Gizi dan Biomedik Jamur Cendawan. Dalam Media Medika Indonesiana Vol 34, Nomor I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Santosa, A. A., W.D. Uno, dan S.R. Rahman. 2013. Identifikasi Jamur Makroskopis di Cagar Alam Tangale Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo. Retrieved April 21, 2016, from

(11)

59

KIM Fakultas Matematika dan IPA: hhtp://

kim.ung.ac.id/index.php/KIMFMIPA/article/download/3712/3688. Santoso. 2004. Biologi dan Kecakapan Hidup. Bandung: Ganeca Exact.

Suharna, N. 1993. Keberadaan Basidiomycetes di Cagar Alam Bantimurung, Karaenta dan Sekitarnya, Maros, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Hasil Litbang SDH 1993. Bogor: Puslibang Biologi LIPI.

Waser, S. P. 2010. Medicinal Mushroom Science : History, Current Status, Future Trends, Unsolved Problem. International Journal of Medicinal Mushroom, 12 (1) :1-16.

Gambar

Tabel 1. Keanekaragaman jenis jamur makrofungi yang ditemukan di CA. Gunung Ambang

Referensi

Dokumen terkait

Apabila karakteristik tersebut yang digunakan, maka ketiga varietas nilam Aceh yang diuji termasuk dalam kategori peka, karena tidak ada jaringan nekrosa yang

Pada perencanaan bendung tetap Gunung Nago tersebut dilakukan perhitungan seperti analisa hidrologi menggunakan metode aritmatik, perhitungan debit banjir rencana

Sesuai data hasil penelitian pada Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa jawaban responden tentang bahan pustaka yang relevan dengan kebutuhan mereka adalah sebagai berikut

Warna yang digunakan dalam iklan Lapierre terdiri atas warna putih yaitu pada latar belakang iklan pertama, kedua, dan sedikit pada rangka sepeda, warna biru

Dalam gambar diberikan pula gaya horisontal yang berasal dari tekanan tanah aktif yang ditimbulkan oleh tanah timbunan di atas dermaga dan gaya reaksi Ra yang telah

Jika dilihat dari kualitas pelayanan berdasarkan dimensi reliability pasien di rumah sakit negeri X dalam hal perawat dengan akurat memeriksa atau mencatat

nutrien (nutrient balance) di waduk, sehingga dapat diketahui dari mana asal nutrien, apakah berasal dari eksternal atau internal dan berapa besarnya nutrien yang

Pada bahasan ini, mendefinisikan dan membandingkan berbagai jarak dari produk hitungan dengan sistem koordinat yang dijelaskan diatas, adalah untuk dapat membedakan