• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis tingkat keterbacaan buku teks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis tingkat keterbacaan buku teks"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

72 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis tingkat keterbacaan buku teks Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang berjudul Kewarganegaraan untuk SMP kelas VIII. Penulis buku teks ini yaitu Hadi Wiyono dan Isworo dengan penerbit Ganeca Exact dan diterbitkan pada tahun 2007. Isi dari buku teks ini berdasarkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Adapun sistematika materi dalam buku teks ini yaitu: BAB 1 : Perilaku Berpancasila

BAB 2 : Konstitusi-konstitusi di Negara Republik Indonesia BAB 3 : Peraturan perundang-undangan

BAB 4 : Pelaksanaan Kehidupan demokrasi

BAB 5 : Kedaulatan Rakyat dalam Sistem Pemerintahan Negara Indonesia

Materi yang digunakan untuk uji keterbacaan buku teks ini yaitu materi dari bagian awal, tengah dan akhir buku teks hal ini berdasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Harjasujana dan Yeti Mulyati (1999:171) yang menyatakan:

Untuk menentukan keterbacaan suatu buku teks yang cukup tebal, maka disarankan untuk mengambil tiga pilihan yaitu pilihan pertama diambil dari bagian awal buku teks, pilihan kedua dari bagian tengah, dan pilihan ketiga dari bagian akhir buku teks.

Berdasarkan pendapat tersebut maka peneliti mengambil wacana untuk dijadikan sampel penelitian buku teks yaitu bab 1, bab 3, dan bab 4. Pemilihan bagian tersebut didasarkan pada perhitungan jumlah kata perseratus perkataan

(2)

untuk digunakan pada uji keterbacaan dengan menggunakan formula grafik fry dan selain itu didasarkan pada perhitungan jumlah kata sebanyak 250 kata untuk perhitungan keterbacaan dengan menggunakan teknik uji rumpang.

Ketiga wacana tersebut yaitu sebagai berikut: 1. Wacana Bagian Pertama

ISTILAH PANCASILA

Istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansakerta. Panca yang berarti lima dan Syila yang brarti alas atau dasar. Pancasila artinya lima asas yang menjadi dasar. Istilah Pancasila dicetuskan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada sidang BPUPKI I, tanggal 1 Juni 1945. Sumber inspirasi penamaan dasar Negara yang akan dibentuk, diberi nama Pancasila antara lain mengakomodasi usulan dari beberapa tokoh pengusul rancangan dasar Negara yang masing-masing terdiri dari lima sila. Sila-sila dari Pancasila berasal dan berakar dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang dianggap baik dan benar serta bernilai luhur karena di dalamnya terdapat nilai yang bersifat umum dan universal. Keluhuran nilai-nilai tersebut diyakini dapat menciptakan keharmonisan serta kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang beranekaragam tanpa memandang dan membedakan kasta atau kelas sosial dalam masyarakat.

Kebenaran dan kebaikan Pancasila bagi bangsa Indonesia dijadikan ideologi yang diyakini dapat digunakan sebagai sumber dan pedoman serta dapat menjadi kenyataan yang disenangi dan diidolakan oleh segala lapisan

(3)

masyarakat yang beraneka ragam ini karena perwujudan dan pengamalan Pancasila tidak sulit dan tidak memerlukan ilmu tertentu untuk mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari dan pada dasarnya semenjak manusia lahir dan mengenal lingkungan alam dan sosial telah mengamalkan nilai-nilai Pancasila tersebut. Oleh karena itu, marilah kita semakin mengakrabkan diri kita dengan nilai-nilai Pancasila karena semakin merasa memiliki Pancasila kita akan semakin peka terhadap perbuatan atau sikap yang tidak mencerminkan nilai Pancasila serta semakin kuat untuk menghindarinya.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Pancasila memiliki pengertian sebagai berikut:

1)Pengertian secara historis

Pancasila adalah nama calon dasar Negara yang diusulkan oleh Soekarno pada pidatonya di hadapan sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.

2)Pengertian secara etimologis

Pancasila berasal dari bahasa Sansakerta “Panca” berarti lima dan “Syila” berarti alas, dasar, atau syiila berarti peraturan tentang tingkah laku yang baik. Panca Syila artinya dasar yang memiliki lima unsur. Panca Syila artinya lima peraturan tingkah laku yang penting. Kata Pancasila berasal dari kepustakaan Buddha di India. Dalam agama Buddha terdapat ajaran moral: Sada Syiila, Sapta Syiila, dan Panca Syiila

3)Pengertian secara terminologis

Pancasila adalah dasar negara dari negara Republik Indonesia yang tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.

(4)

2. Wacana Bagian Tengah

KASUS KORUPSI DI INDONESIA

Perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan perilaku yang merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan keberadaan Negara. Hal ini terjadi karena perilaku KKN merusak berbagai macam tatanan, seperti tatanan hukum, tatanan politik, dan tatanan sosial budaya dari Negara yang bersangkutan. Dalam ber-KKN ada prinsip-prinsip keadilan dan etika kemasyarakatan yang diabaikan, adanya pembodohan terhadap masyarakat, dan juga ekonomi biaya tinggi.

Apa yang dimaksud dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme? Menurut UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang dimaksud dengan korupsi

adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kolusi adalah pemufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara. Sementara nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara. Perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme mempunyai kaitan yang sangat erat.

(5)

Dalam UU No. 28 tahun 1999 dinyatakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi. Peraturan perundang-perundang-undangan yang dimaksud ialah yang terdapat dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001, korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Selain itu, korupsi pun dapat berarti setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Pengertian lain korupsi adalah setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

Adanya berbagai macam pengertian tersebut tidak dianggap bahwa tindak pidana korupsi menjadi tidak jelas pengertiannya. Dengan adanya pengertian tersebut, segala perbuatan yang mengandung unsur-unsur dari pengertian korupsi tersebut akan diduga sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Misalnya apabila

(6)

seorang pegawai negeri atau pejabat Negara atau hakim enggan menerima seseorang yang ingin membicarakan kepentingannya yang merupakan tugas kewenangan pejabat Negara, ia pun sudah melakukan praktik koruptif. Contoh lain, menunda-nunda pemberian pelayanan publik yang menjadi kewajiban pegawai negeri/pejabat Negara termasuk praktik koruptif.

Klasifikasi perbuatan yang tidak sesuai dengan asas umum penyelenggaraan dan perbuatan KKN lainnya, menurut laporan yang diterima Komisi Ombudsman Nasional Tahun 2000-2005, yaitu penyimpangan prosedur, imbalan/praktik KKN, nyata-nyata berpihak, penyalahgunaan wewenang, inkompetensi, penanganan berlarut, intervensi, pemalsuan, melalaikan kewajiban, bertindak tidak layak, dan penggelapan barang bukti.

Kita tidak dapat menyangkal bahwa korupsi di Indonesia bukan hanya disebabkan oleh lemahnya upaya penegakkan hukum, tetapi juga adanya aparat-aparat penegak hukum itu sendiri yang merupakan bagian dari kerawanan korupsi, termasuk di pengadilan. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan selama ini menurun.

Fakta lain dapat dilihat dari sekitar 4600 laporan yang diterima Komisi Ombudsman Nasional periode Maret 2000 s.d Maret 2005, diklasifikasi terlapor bahwa sekitar 35% merupakan Badan Peradilan, sekitar 13 % Kepolisian dan sekitar 9% Pemerintah Daerah dan Instansi Pemerintah. Dari tiga besar klasifikasi tersebut, terlihat sekitar 16% merupakan penundaan berlarut, sekitar 15% penyimpangan prosedur, dan sekitar 15 % penyalahgunaan wewenang, sedangkan

(7)

lainnya yang tidak kalah menarik sekitar 12% imbalan/praktik KKN yang juga tidak sedikit dilakukan oknum pejabat publik.

3. Wacana Bagian Akhir

PENGERTIAN DEMOKRASI

Istilah “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata demos dan kratos. Demos berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan. Demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat. Dengan demikian, yang dimaksud demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat dan mengikutsertakan rakyat dalam pemerintahan Negara.

Konsep tersebut tentunya telah menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang paling ideal dibandingkan dengan sistem pemerintahan lainnya. Namun demikian, penerapan sistem demokrasi saat ini berbeda dengan penerapannya pada jaman Yunani kuno.

Pada jaman Yunani kuno rakyat yang menjadi warga Negara terlibat secara langsung dalam pemikiran, pembahasan, dan pengambilan keputusan mengenai berbagai hal yang menyangkut kehidupan Negara. Demokrasi semacam ini disebut sebagai demokrasi langsung atau demokrasi murni. Demokrasi semacam ini tidak mungkin lagi dilaksanakan pada jaman modern karena pada saat ini hampir setiap Negara memiliki wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang sangat besar. Setiap perkara kenegaraan tidak mungkin dibicarakan secara langsung oleh seluruh rakyat dan karenanya rakyat harus memilih wakil-wakilnya.

(8)

Demokrasi semacam ini dikenal dengan demokrasi tidak langsung (demokrasi perwakilan).

Demokrasi pada dasarnya menyangkut masalah distribusi kekuasaan mengingat rakyat merupakan sumber kekuasaan dan memiliki kekuasaan yang sangat besar. Akan tetapi, karena rakyat tidak dapat secara langsung menyelenggarakan kekuasaannya, kemudian rakyat memberikan wewenang kepada seseorang atau sejumlah orang untuk menyelenggarakan kekuasaan yang dimiliki rakyat tersebut dan mempertanggungjawabkannya kepada pemberi kekuasaan itu. Oleh karena itu, titik sentral dari demokrasi adalah rakyat.

Perwujudan demokrasi langsung di Indonesia dapat dilihat pada saat pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2004. Hal ini merupakan pelaksanaan dari amanat pasal 6A ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Hal ini merupakan pemilihan presiden dan wakil presiden yang pertama di Indonesia dilaksanakan secara langsung, sedangkan sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat.

Perwujudan demokrasi tidak langsung dapat dilihat pada pemilihan umum. Pemilihan anggota legislatif (DPR dan DPRD) melalui pemilihan umum. Pemilihan anggota DPD pada pemilihan umum tahun 2004 dilaksanakan secara

(9)

mempunyai kekuasaan membuat Undang-undang dan mengawasi jalannya pemerintahan. Lembaga ini merupakan wakil rakyat yang berfungsi menyalurkan aspirasi rakyat dalam pemerintahan.

B. Deskripsi Hasil Penelitian dan Analisis Wacana dalam Buku Teks Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) berdasarkan Perkembangan Psikologi Siswa

Buku teks yang berkualitas baik salah satunya adalah materi atau bahan yang tersaji dalam buku teks tersebut sesuai dengan kemampuan berpikir siswa karena hal ini berhubungan dengan pemahaman siswa tehadap pesan atau isi buku teks tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Harjasujana (1999 : 118)bahwa “keterbacaan (readibility) merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu”.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai keterbacaan buku teks Kewargaegaraan (PKn) kelas VIII yang didasarkan pada perkembangan psikologi siswa dalam memahami suatu wacana dalam buku teks, maka peneliti menggunakan formula grafik fry untuk mengetahui kesesuaian antara buku teks dengan kemampuan yang dimiliki siswa pada jenjang tertentu.

1. Deskripsi Hasil Penelitian Keterbacaan Wacana Istilah Pancasila

Pada wacana pertama yang berjudul Istilah Ideologi, berdasarkan perhitungan keterbacaan grafik fry, menunjukkan bahwa wacana ini tidak cocok untuk digunakan dikelas 8 melainkan di kelas 9. Hasil data tesebut berdasarkan pada perhitungan wacana sebagai berikut:

(10)

 Jumlah Kata Perseratus Perkataan

ISTILAH PANCASILA

Istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansakerta. Panca yang berarti lima 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

dan Syila yang berarti alas atau dasar. Pancasila artinya lima asas yang menjadi 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 dasar. Istilah Pancasila dicetuskan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada sidang

24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 BPUPKI I, tanggal 1 Juni 1945. Sumber inspirasi penamaan dasar Negara yang

35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 akan dibentuk, diberi nama Pancasila antara lain mengakomodasi usulan dari

47 48 49 50 51 52 53 54 55 56

beberapa tokoh pengusul rancangan dasar Negara yang masing-masing terdiri dari 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66

lima sila. Sila-sila dari Pancasila berasal dan berakar dari pandangan hidup bangsa 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78

Indonesia yang dianggap baik dan benar serta bernilai luhur karena di 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 dalamnya terdapat nilai yang bersifat umum dan universal. Keluhuran nilai-nilai

89 90 91 92 93 94 95 96 97 98

tersebut diyakini dapat menciptakan keharmonisan serta kelangsungan hidup 99 100

(11)

bangsa Indonesia yang beranekaragam tanpa memandang dan membedakan kasta atau kelas sosial dalam masyarakat.

 Jumlah Suku Kata Perseratus Perkataan ISTILAH PANCASILA 1

Istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansakerta. 2Panca yang berarti lima 3 4 3 2 3 4 2 1 3 2

dan Syila yang berarti alas atau dasar. 3Pancasila artinya lima asas yang menjadi 1 2 1 3 2 2 2 4 3 2 3 1 3 dasar. 4Istilah Pancasila dicetuskan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada sidang

2 3 4 4 2 2 3 2 4 2 2 BPUPKI I, tanggal 1 Juni 1945. 5Sumber inspirasi penamaan dasar Negara yang

6 1 2 1 2 4 2 4 4 2 3 1 akan dibentuk, diberi nama Pancasila antara lain mengakomodasi usulan dari

2 3 3 2 4 3 2 6 3 2 beberapa tokoh pengusul rancangan dasar Negara yang masing-masing terdiri dari

4 2 3 3 2 3 1 4 3 2

lima sila. 6Sila-sila dari Pancasila berasal dan berakar dari pandangan hidup 2 2 4 2 4 3 1 3 2 3 2 bangsa Indonesia yang dianggap baik dan benar serta bernilai luhur karena di

2 5 1 3 2 1 2 2 3 2 3 1 dalamnya terdapat nilai yang bersifat umum dan universal. 6Keluhuran nilai-nilai 3 3 2 1 3 2 1 4 4 4

(12)

tersebut diyakini dapat menciptakan keharmonisan serta kelangsungan hidup 3 4

bangsa Indonesia yang beranekaragam tanpa memandang dan membedakan kasta atau kelas sosial dalam masyarakat.

Maka hasil pengukuran berdasarkan grafik fry adalah sebagai berikut: a) Kata keseratus dalam wacana ini jatuh pada kata ke 4 pada kalimat ke 6. Pada

kalimat ke enam berisi 24 kata. Ini berarti 4/24 (0,16) dibulatkan menjadi 0,2. Jadi rata-rata jumlah kalimat perseratus perkataan wacana tersebut adalah 6 + 0, 2 maka hasilnya 6,2.

b) Sedangkan jumlah suku kata dari kalimat pertama sampai kalimat ke enam yaitu secara berturut-turut 19, 21, 18, 44, 77, 70, 15. Jadi jumlah suku kata wacana ini yaitu 264.

c) Karena wacana ini merupakan wacana bahasa Indonesia maka jumlah suku kata harus dilakukan konversi yaitu jumlah suku kata dikalikan dengan 0,6. Jadi jumlah suku kata wacana ini yaitu 264 x 0,6 hasilnya 158,4.

d) Angka 6,2 yang menunjukkan jumlah dan 158, 4 menunjukkan jumlah suku kata, maka apabila kedua titik tersebut maka kedua angka tersebut akan bertemu pada garis angka 9. Angka 9 menunjukkan tingkatan kelas pembaca yang mampu memahami wacana tanpa frustasi.

(13)

2. Deskripsi Hasil Penelitian Keterbacaan Wacana Kasus Korupsi di Indonesia

Pada wacana kedua yang berjudul Kasus Korupsi Di Indonesia, menunjukkan hasil perhitungan grafik fry yang menyakan bahwa wacana kedua ini tidak cocok untuk digunakan di kelas 8 melainkan di kelas 12. Data tersebut bedasarkan perhitungan terhdap wacana dibawah ini.

 Jumlah Kata Perseratus Perkataan

KASUS KORUPSI DI INDONESIA

Perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan perilaku yang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,

10 11 12 13 14 15 16 serta membahayakan keberadaan Negara. Hal ini terjadi karena perilaku KKN

17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 merusak berbagai macam tatanan, seperti tatanan hukum, tatanan politik, dan

27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 tatanan sosial budaya dari Negara yang bersangkutan. Dalam ber-KKN ada

37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 prinsip-prinsip keadilan dan etika kemasyarakatan yang diabaikan, adanya

47 48 49 50 51 52 53 54 pembodohan terhadap masyarakat, dan juga ekonomi biaya tinggi.

(14)

Apa yang dimaksud dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme? Menurut UU 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang dimaksud dengan korupsi adalah tindak

85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

95 96 97 98 99 100 yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

 Jumlah Suku Kata Perseratus

KASUS KORUPSI DI INDONESIA 1

Perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan perilaku yang 4 3 3 1 4 3 4 4 1 merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,

3 4 4 5 3 1 4 serta membahayakan keberadaan Negara. 2Hal ini terjadi karena perilaku KKN

2 5 5 3 1 2 3 3 4 3 merusak berbagai macam tatanan, seperti tatanan hukum, tatanan politik, dan

3 3 2 3 3 3 2 3 3 1 tatanan sosial budaya dari Negara yang bersangkutan. 3Dalam ber-KKN ada

(15)

prinsip-prinsip keadilan dan etika kemasyarakatan yang diabaikan, adanya 4 4 1 3 6 1 4 3

pembodohan terhadap masyarakat, dan juga ekonomi biaya tinggi. 4 3 4 1 2 4 3 2

4

Apa yang dimaksud dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme? 5Menurut 2 1 3 2 3 3 1 4 3 UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

2 1 2 2 4 2 6 3 1 2 1 2

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang dimaksud dengan korupsi adalah 2 3 3 1 4 1 3 2 3 3

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- 2 3 5 3 2 4 4

undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Maka berdasarkan data wacana tersebut perhitungan keterbacaan grafik fry adalah sebagai berikut:

a) Kata keseratus dalam wacana ini jatuh pada kata ke 30 pada kalimat ke 5. Jumlah kata pada kalimat ke 5 yaitu 37 buah kata. Ini berarti 30/37 (0,81) dibulatkan menjadi 0,8. Jadi rata-rata jumlah kalimat perseratus perkataan yaitu 4,8.

b) Jumlah suku kata dari kalimat pertama sampai kalimat ke 5 yaitu secara berturut-turut adalah 66, 60, 57, 19, 79. Jadi jumlah suku kata wacana ini yaitu 281. Maka jumlah suku kata setelah dilakukan konversi yaitu 281 x 0,6 yaitu 168, 6.

(16)

c) Apabila diplotkan jumlah kalimat (4,8) dengan jumlah suku kata (168,6) maka akan bertemu pada angka 12 yaitu cocok untuk kelas 12.

3. Deskripsi Hasil Penelitian Keterbacaan Wacana Pengertian Demokrasi Wacana ketiga yaitu wacana yang berjudul Pengertian Pancasila. Hasil perhitungan wacana dengan menggunakan grafik fry wacana tidak cocok digunakan untuk kelas 8 melainkan kelas 10. Hal ini bedasarkan pada pertemuan antara jumlah suku kata dengan jumlah kalimat pada wacana ini yaitu titik pertemuan angka 7 dengan angka 163,8. Berikut wacana yang diukur dengan grafik fry.

 Jumlah kata perseratus perkataan

PENGERTIAN DEMOKRASI

Istilah “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

demos dan kratos. Demos berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan. 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat. Dengan demikian, yang dimaksud

21 22 23 24 25 26 27 28 29 demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat dan

30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 mengikutsertakan rakyat dalam pemerintahan Negara.

(17)

Konsep tersebut tentunya telah menjadikan demokrasi sebagai sistem 45 46 47 48 49 50 51 52 pemerintahan yang paling ideal dibandingkan dengan sistem pemerintahan

53 54 55 56 57 58 59 60 lainnya. Namun demikian, penerapan sistem demokrasi saat ini berbeda dengan

61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 penerapannya pada jaman Yunani kuno.

71 72 73 74 75

Pada jaman Yunani kuno rakyat yang menjadi warga Negara terlibat 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 secara langsung dalam pemikiran, pembahasan, dan pengambilan keputusan

86 87 88 89 90 91 92 93 mengenai berbagai hal yang menyangkut kehidupan Negara.

94 95 96 97 98 99 100

 Jumlah suku kata perseratus perkataan

PENGERTIAN DEMOKRASI 1

Istilah “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata 3 4 3 2 3 3 1 3 2 2

demos dan kratos. 2Demos berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan. 2 1 2 2 3 2 1 2 3 5 3

Demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat. 4Dengan demikian, yang dimaksud 4 3 5 2 2 2 4 1 3

(18)

demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat dan 4 3 3 2 5 1 3 2 2 1 mengikutsertakan rakyat dalam pemerintahan Negara

6 2 2 5 3 5

Konsep tersebut tentunya telah menjadikan demokrasi sebagai sistem 2 3 3 2 4 4 3 2 pemerintahan yang paling ideal dibandingkan dengan sistem pemerintahan

5 1 2 3 4 2 2 5 lainnya. 6Namun demikian, penerapan sistem demokrasi saat ini berbeda dengan

3 2 4 4 2 4 2 2 3 2 penerapannya pada jaman Yunani kuno.

5 2 2 3 2 7

Pada jaman Yunani kuno rakyat yang menjadi warga Negara terlibat 2 2 3 2 2 1 2 2 3 3 secara langsung dalam pemikiran, pembahasan, dan pengambilan keputusan

3 2 2 4 4 1 4 4 mengenai berbagai hal yang menyangkut kehidupan Negara.

4 3 1 1 3 4 3

Berdasarkan data wacana diatas maka perhitungan keterbacaan wacana grafik fry adalah sebagai berikut:

a) Kata keseratus dari wacana ini jatuh pada kata ke 25 kalimat ke-8. Jumlah kata pada kalimat ini yaitu 25 kata. Ini berarti kata keseratus jatuh tepat pada kata

(19)

terakhir dari kalimat ini. Maka rata-rata jumlah kalimat perseratus perkataan adalah 7.

b) Jumlah suku kata dari kalimat pertama sampai kalimat ke tujuh yaitu secara berturut-turut yaitu 31, 18, 16, 54, 50, 39, 65. Jadi jumlah suku kata perseratus perkataan yaitu 273. Maka rata-rata jumlah suku kata pada wacana ini yaitu 273 x 0,6 adalah 163,8.

c) Apabila jumlah suku kata (7) dipertemukan dengan jumlah kalimat (163,8) pada grafik fry maka titik pertemuannya yaitu pada daerah angka 10, yang menunjukkan bahwa wacana tersebut cocok untuk kelas 10.

4. Analisis Keterbacaan Wacana Buku Teks PKn berdasarkan Perkembangan Psikologi Siswa

Berdasarkan perhitungan keterbacaan wacana buku teks dengan menggunakan grafik fry maka dapat disimpulkan perhitungan jumlah suku kata dan jumlah kalimat setiap wacana sebagai berikut:

Tabel 4.1

Hasil Perhitungan Grafik Fry Wacana Perseratus Perkataan Jumlah Kalimat Jumlah Suku Kata Angka/ Kelas Istilah Pancasila 6,2 158,4 9 Kasus Korupsi di Indonesia 4,8 168,6 12 Pengertian Demokrasi 7 163,8 10 Rata-rata 6 163,6 10

Berdasarkan data diatas jumlah kalimat yaitu 6 dan jumlah suku kata yaitu 163,6 dibulatkan 164, maka apabila diplotkan pada grafik fry maka kedua angka

(20)

tersebut akan bertemu pada angka 10 dalam arti sesuai untuk kelas 10 atau kelas 1 SMA. Penyimpangan mungkin terjadi, maka buku teks ini cocok untuk kelas IX (10-1), X, XI (10+1).

Maka hal ini menunjukkan bahwa buku teks PKn untuk kelas VIII penerbit Ganeca tidak sesuai dengan kemampuan siswa kelas VIII SMPN 1 Lembang. Apabila buku teks yang digunakan dalam proses pembelajaran keterbacaannya tidak sesuai dengan kemampuan siswa maka akan menyulitkan siswa dalam memahamai materi yang disampaikan.

Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kokom Komalasari dalam Civicus (2005:349) bahwa dalam penyusunan buku teks PKn harus memperhatikan kaidah bahasa dan keterbacaan dimana Kalimat yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, susunan kalimat hendaknya menunjukkan pola berfikir logis dan sistematis, sturkur kalimat sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswa, kalimat yang digunakan komunikatif sehingga siswa tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami pesan yang disampaikan dalam setiap pokok bahasan dalam buku teks tersebut.

Berdasarkan aspek psikologi perkembangan siswa, buku teks yang tidak sesuai dengan tingkat pemahaman siswa dalam menerima informasi baru akan menghambat pemahaman siswa terhadap pesan yang hendak disampaikan dalam buku teks.

Dilihat dari segi bahasa yang digunakan dalam buku teks ini, terdapat beberapa kata yang kurang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa seperti kata tindak pidana, korporasi, intervensi, inkompetensi, Komisi

(21)

Ombudsmn Nasional. Maka hal ini akan menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami pesan yang dimaksud dalam wacana tersebut.

Dalam buku teks ini terdapat kata-kata dan peristilahan asing yang sulit untuk dipahami oleh siswa sehingga tidak akan menimbulkan rasa senang untuk membacanya dan terdorong untuk mempelajari buku tersebut secara tuntas.

Berdasarkan perkembangan psikologi yang dinyatakan oleh Abin Syamsudin (2003: 132) bahwa perkembangan bahasa dan kognitif antara usia 13-15 tahun, terutama siswa kelas VIII walaupun proses berfikirnya sudah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang bersifat abstrak namun masih relatif terbatas. Tidak seperti halnya anak antara usia 16-18 tahun atau antara siswa yang berada kelas X, XI, dan XII dimana proses berfikirnya sudah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal disertai kemampuannya membuat generalisasi yang lebih bersifat konklusif dan komprehensif

Selain itu, uraian dan contoh yang disajikan dalam pokok bahasan tertentu kurang menarik sehingga kurang membantu siswa dalam memahami wacana dalam buku teks PKn ini.

Bahan bacaan yang tidak sesuai dengan peringkat pembacanya dianggap mempunyai tingkat keterbacaan yang rendah. Bahan bacaan yang demikian tidak dapat dicerna dengan mudah dalam waktu yang relatf cepat. Pembaca akan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memahami bahan bacaan tersebut.

Hasil interpretasi keterbacaan buku teks PKn dengan menggunakan formula grafik fry yang menyatakan bahwa buku teks PKn yang digunakan oleh siswa kelas VIII SMPN 1 Lembang tidak sesuai untuk peringkat kelas VIII

(22)

melainkan sesuai untuk kelas IX, X, dan XI, hal ini berkaitan dengan hipotesis pertama yang menyatakan bahwa “Jika isi buku teks PKn sulit dipahami maka tidak sesuai dengan psikologi perkembangan siswa” terbukti.

C. Deskripsi Hasil Penelitian dan Analisis Buku Teks Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) berdasarkan Tingkat Keterbacaan

Keterbacaan suatu buku teks akan mempengaruhi pemahaman siswa terhadap buku teks yang dibacanya. Sebagaimana diungkapkan oleh Dale and Chall dalam Gilliland, bahwa “Keterbacaan adalah seluruh unsur yang ada dalam teks yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal”.

Maka dalam penelitian ini untuk mengukur keterbacaan buku teks PKn digunakan teknik uji rumpang dan diperoleh data sebagai berikut:

1. Deskripsi Hasil Penelitian Keterbacaan dengan Teknik Uji Rumpang Berdasarkan hasil penelitian tingkat keterbacaan buku teks PKN penerbit Ganeca yang dilakukan pada siswa SMPN 1 Lembang kelas VIII E dan VIII H dengan menggunakan teknik uji rumpang maka diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4.2

Hasil Tes Keterbacaan Uji Rumpang NO Responden

Jumlah Jawaban Benar

Penguasaan % A % B % C % 1 A 20 40 24 48 20 40 36 2 B 23 46 32 64 37 74 61,3 3 C 30 60 25 50 35 70 60 4 D 23 46 25 50 30 60 52 5 E 27 54 25 50 38 76 60 6 F 30 60 26 52 30 60 57,3 7 G 30 60 25 50 30 60 56,7

(23)

8 H 25 50 20 40 35 70 53,3 9 I 19 38 20 40 29 58 45,3 10 J 30 60 30 60 30 60 60 11 K 30 60 25 50 31 62 57,3 12 L 31 62 15 30 26 52 48 13 M 30 60 20 40 22 44 48 14 N 30 60 27 54 30 60 58 15 O 29 58 19 38 31 62 52,7 16 P 30 60 23 46 20 40 48,7 17 Q 25 50 20 50 30 60 53,3 18 R 24 48 28 56 30 60 54,7 19 S 22 44 15 30 23 46 40 20 T 31 62 30 60 20 40 54 21 U 31 62 16 32 30 60 51,3 22 V 25 50 25 50 35 70 56,7 23 W 20 40 20 40 28 56 45,3 24 X 30 60 26 48 30 60 56 25 Y 30 60 25 50 31 62 57,3 26 Z 29 58 20 40 37 74 57,3 27 A1 31 62 19 38 35 70 56,7 28 B1 30 60 26 42 30 60 47,3 29 C1 27 54 30 60 20 40 51,3 30 D1 31 62 24 58 35 70 63,3 31 E1 23 46 22 44 35 70 53,3 32 F1 25 50 15 30 29 58 46 33 G1 21 42 17 57 25 50 49,6 34 H1 32 68 25 50 20 40 52,7 35 I1 35 70 22 44 30 60 58 36 J1 26 52 16 32 21 42 42 37 K1 20 40 25 50 29 58 49,3 38 L1 35 70 19 38 20 40 49,3 39 M1 30 60 30 60 40 80 66,7 40 N1 35 70 25 50 22 44 54,7 41 O1 28 56 25 50 30 60 55,3 42 P1 20 40 16 32 22 44 38,6 43 Q1 32 64 25 50 30 60 58 44 R1 40 80 30 60 36 72 70,7 45 S1 22 44 24 48 25 50 47,3 46 T1 34 68 16 32 25 50 50 47 U1 17 34 17 34 30 60 42,7 48 V1 30 60 30 60 28 56 58,7 49 W1 27 56 15 30 29 58 48 50 X1 20 40 20 40 30 60 46,7 51 Y1 40 80 25 50 38 76 68,7

(24)

52 Z1 25 50 14 28 30 60 41,3 53 A2 35 70 30 60 20 40 56,7 54 B2 30 60 25 50 40 80 63,3 55 C2 30 60 30 60 35 70 63,3 56 D2 37 74 20 40 30 60 58 57 E2 30 60 20 50 30 60 56,7 58 F2 40 80 20 40 35 70 63,3 59 G2 25 50 18 36 20 40 42 60 H2 30 60 20 40 40 80 60 61 I2 38 76 30 60 30 60 65,3 62 J2 42 54 20 40 35 70 54,7 63 K2 35 70 19 38 30 60 56 64 L2 35 70 20 40 30 60 50 65 M2 29 58 29 58 38 76 64 66 N2 30 60 23 46 30 70 58,7 67 O2 32 64 22 44 30 60 56 68 P2 45 90 30 60 30 60 70 69 Q2 25 50 18 36 20 40 42 70 R2 20 40 30 60 25 50 50 71 S2 30 60 25 50 35 70 60 72 T2 25 50 26 52 29 58 53,3 73 U2 39 78 25 50 30 60 62,7 74 V2 25 50 20 40 30 60 50 75 W2 30 60 30 60 30 60 60 76 X2 20 40 17 32 22 44 38,7 77 Y2 26 52 20 40 20 40 44 78 Z2 20 40 22 44 30 60 48 79 A3 40 80 20 40 29 58 59,3 80 B3 15 30 30 60 30 60 50 81 C3 35 70 28 56 30 60 62 82 D3 30 60 20 40 30 60 53,3 83 E3 30 60 19 38 20 4O 46 84 F3 33 66 25 50 30 60 58,7 85 G3 32 64 17 34 30 60 52,7 86 H3 30 60 20 40 29 58 52,7 87 I3 40 80 24 48 25 50 59,3 88 J3 30 60 25 50 30 60 53,3 89 K3 24 48 20 40 15 30 39,3 90 L3 35 70 24 48 33 66 58,7 91 M3 21 42 20 40 30 60 47,3 92 N3 25 50 14 28 20 40 36 93 O3 32 64 20 40 30 60 54,7 94 P3 20 40 15 30 25 50 40

(25)

Keterangan:

A : Wacana Istilah Pancasila

B : Wacana Kasus Korupsi di Indonesia C : Wacana Pengertian Demokrasi

2. Deskripsi Hasil Penelitian Uji Rumpang Wacana Istilah Pancasila Table 4.3

Tabulasi Hasil Penelitian Uji Rumpang Wacana Istilah Pancasila

Penggolongan Pembaca Frekuensi Persentase

Independen 30 32%

Instruksional 53 56%

Frustasi 11 12%

Berdasarkan tabel diatas sebanyak 30 orang siswa atau sebesar 32% dari siswa termasuk pembaca independen, maka bagi siswa yang termasuk pembaca ini wacana Istilah Pancasila merupakan wacana yang sangat mudah untuk dipahami.

Sebanyak 53 siswa atau sebesar 56% termasuk pembaca instruksional atau bagi siswa yang termasuk pada pembaca ini wacana Istilah Pancasila merupakan wacana yang sedang untuk dipahami.

Sedangkan siswa yang termasuk pembaca frustasi hanya sebanyak 14 orang siswa atau sebesar 12% hal ini menunjukkan bahwa bagi siswa tersebut wacana Istilah Pancasila merupakan wacana yang sukar untuk dipahami.

Dilihat dari segi ruang lingkup materi (content) wacana ini cukup memuat aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan. Untuk keluasan materi, wacana ini sudah mencerminkan jabaran substansi yang termuat dalam

(26)

Standar Kompetensi (SK) yaitu menampilkan perilaku yang sesuai dengan Pancasila dan Kompetensi Dasar (KD) yaitu menjelaskan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi Negara.

Sedangkan kedalaman materi wacana ini dimulai dari pengenalan fakta, konsep, teori dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Namun, wacana ini kurang memberikan contoh yang konkret mengenai pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat terutama mengenai sikap yang mencerminkan nilai Pancasila sehingga siswa akan sulit memahami maksud dari pernyataan tersebut.

Dari segi keterbacaan, bahasa yang digunakan dalam wacana ini sedikit berbelit-belit sehingga menyulitkan siswa dalam memahami wacana ini dan terdapat beberapa istilah yang asing bagi siswa, namun dengan adanya kesimpulan diakhir wacana mengenai istilah Pancasila cukup memudahkan siswa dalam memahami pengertian dari Pancasila. Hal ini terlihat dalam wacana ini terdapat 56% siswa yang sedang memahami wacana ini.

Sedangkan dari segi penyajian materi, wacana ini sudah cukup sistematis dimulai dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang khusus. Gambar yang disajikan dalam wacana ini sudah sesuai yaitu Presiden Soekarno sebagai pencetus istilah Pancasila.

Materi yang disajikan cukup komunikatif yaitu terlihat dari ajakan penulis buku untuk semakin mengakrabkan diri dengan nilai-nilai Pancasila. Dan cukup merangsang keterlibatan dan partisipasi siswa.

(27)

3. Deskripsi Hasil Penelitian Uji Rumpang Wacana Kasus Korupsi di Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian keterbacaan dengan menggunakan formula uji rumpang terhadap wacana Kasus Korupsi di Indonesia, diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4.4

Tabulasi Hasil Penelitian Uji Rumpang Wacana Kasus Korupsi di Indonesia

Penggolongan Pembaca Frekuensi Persentase

Independen - -

Istruksional 50 53%

Frustasi 44 47%

Berdasarkan tabel diatas tidak terdapat siswa yang termasuk pada pembaca independen yaitu siswa yang menganggap wacana Kasus Korupsi di Indonesia merupakan wacana sangat mudah untuk dipahami.

Namun sebanyak 50 siswa atau sebesar 53% siswa termasuk pembaca instruksional hal ini menunjukkan wacana Kasus Korupsi di Indonesia merupakan wacana yang sedang untuk dipahami.

Dan sebanyak 44 siswa atau 47% siswa termasuk pembaca frustasi yang menganggap wacana Kasus Korupsi di Indonesia merupakan wacana yang sukar untuk dipahami.

Dilihat dari segi cakupan materi, wacana Kasus Korupsi di Indonesia kurang memberikan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan. Hal ini terlihat pada uraian atau teori tentang korupsi dan tidak dijelaskan latarbelakang seseorang melakukan korupsi. Sehingga kurang memberikan

(28)

pengetahuan kepada siswa bagaimana seseorang sampai melakukan tindak korupsi.

Untuk keluasan materi wacana ini sudah cukup menjabarkan substansi materi yang terdapat dalam Standar Kompetensi (SK) yaitu menampilkan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan nasional dan Kompetensi Dasar (KD) yaitu

mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasan korupsi. Namun pada pokok bahasan yang terdapat dalam wacana ini kurang menjelaskan perbedaan antara Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sehingga akan menyulitkan siswa dalam memahami wacana ini. Uraian yang terdapat dalam wacana ini cukup banyak dalam setiap paragrafnya sehingga membuat jenuh siswa yang membacanya.

Sedangkan untuk kedalaman materi wacana ini, fakta, konsep/teori, prinsip/hukum sudah sesuai dengan SK dan KD. Namun sedikit kurang menunjukkan nilai-nilai yang sesuai dengan materi pokok.

Dari segi kebahasaan, bahasa yang digunakan dalam wacana ini berbelit-belit sehingga pesan yang disampaikan dari wacana ini kurang dipahami siswa dan tidak menimbulkan rasa senang untuk membaca. Terdapat istilah yang kurang dipahami oleh siswa dan kurang tepat digunakan bagi siswa kelas VIII. Selain itu, struktur kalimat pada salah satu paragraph wacana ini kurang sistematis.

Sedangkan dari segi penyajian materi, wacana ini kurang sistematis, hal ini terlihat dari pengertian Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tidak dijelaskan terlebih dahulu penyebab timbulnya KKN. Gambar yang terdapat dalam wacana ini sudah mencantumkan nomor, nama dan judul gambar namun gambar tersebut tidak sesuai dengan judul Kasus Korupsi di Indonesia melainkan pada judul

(29)

Upaya Pemberantasan Korupsi. Penyajian materinya mengikuti alur berfikir dari umum ke khusus.

Materi yang disajikan kurang komunikatif dan interaktif dan kurang merangsang keterlibatan dan partisipasi siswa untuk belajar mandiri dan kelompok karena bahasa kalimat yang terdapat dalam wacana ini sulit dipahami dan penggunaan istilah yang kurang tepat bagi siswa tingkat Sekolah Pertama Kelas VIII.

4. Tabulasi Hasil Penelitian Uji Rumpang Wacana Pengertian Demokrasi Berdasarkan hasil penelitian keterbacaan buku teks PKn penerbit Ganeca pada wacana Pengertian Demokrasi diperoleh data kesimpulan sebagai berikut:

Tabel 4.5

Tabulasi Hasil Penelitian Uji Rumpang Wacana Pengertian Demokrasi

Penggolongan Pembaca Frekuensi Persentase

Independen 25 26%

Istruksional 56 60%

Frustasi 13 14%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui sebanyak 25 siswa atau 26% siswa termasuk pembaca independen maksudnya yaitu bagi pembaca ini wacana Pengertian Demokrasi merupakan wacana yang sangat mudah untuk dipahami.

Sebanyak 56 orang siswa atau sebesar 60% siswa termasuk pembaca instruksional yaitu wacana Pengertian Demokrasi merupakan wacana yang sedang untuk dipahami.

(30)

Sedangkan sebanyak 13 orang siswa atau sebesar 14% siswa termasuk siswa yang mengalami kesukaran dalam memahami wacana Pengertian Demokrasi ini atau digolongkan kedalam pembaca frustasi.

Maka dari data diatas wacana ini sedang untuk dipahami hal ini dapat terlihat dari persentase jumlah siswa yang termasuk pembaca instruksional yang menganggap wacana ini sedang untuk dipahami yaitu sebesar 60%, namun pembaca independen lebih besar 26% dibandingkan dengan tingkat frustasi yang lebih rendah yaitu 14%.

Dari data diatas dapat diketahui bahwa dari segi ruang lingkup materi, wacana ini cukup memuat aspek pengetahuan mengenai makna demokrasi, namun sedikit kurang dari pencerminan aspek sikap, dan keterampilan kewarganegaraan. Untuk keluasan materi, wacana Pengertian Demokrasi sudah mencerminkan penjabaran pada Standar Kompetensi (SK) yaitu memahami pelaksanaan demokrasi

dalam berbagai aspek kehidupan dan Kompetensi Dasar (KD) yaitu menjelaskan hakikat demokrasi. Sedangkan untuk kedalam materi, pengenalan fakta dan contoh yang disajikan sudah cukup sesuai dengan materi yang disajikan merupakan contoh-contoh yang konkret dari lingkungan lokal dan nasional tentang pelaksanaan demokrasi langsung di Indonesia yang ditunjukkan pada pemilihan umum tahun 2004. Namun contoh yang sajikan masih kurang merangsang keingitahuan siswa.

Dari segi kebahasaan dan keterbacaan, bahasa yang digunakan dalam wacana ini menggunakan bahasa yang sedang dipahami oleh siswa. Namun

(31)

terdapat penggunaan satu istilah dalam kalimat yang kurang sesuai digunakan pada materi ini yaitu kata distribusi.

Sedangkan dari segi penyajian materi, wacana yang disajikan cukup sistematik dimulai dari hal-hal yang bersifat konkret kepada hal-hal yang abstrak. Uraian substansi dalam wacana ini kurang porposional, uraian mengenai pengertian dari demokrasi kurang dijelaskan secara mendalam.

Penyajian gambar dalam wacana ini cukup sesuai dengan materi pokok yang disampaikan dari wacana ini sehingga dapat memperjelas hakikat dari demokrasi.

Penyajian materi dari wacana ini cukup komunikatif seolah-oleh siswa berkomunikasi dengan penulis buku, dan cukup dapat merangsang keterlibatan siswa untuk belajar mandiri dan kelompok.

5. Analisis Hasil Penelitian Keterbacaan Buku Teks PKn

Berdasarkan hasil penelitian keterbacaan buku teks PKn penerbit Ganeca dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Tabel 4.6

Persentase Tingkat Keterbacaan Buku Teks PKn

Wacana Independen Instruksional Frustasi Keterangan

Istilah Pancasila 32% 56% 12% Sedang

Kasus Korupsi

di Indonesia - 53% 47% Sedang

Pengertian

Demokrasi 26% 60% 14% Sedang

(32)

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa sebesar 20% siswa termasuk pada pembaca independen yaitu siswa yang dapat mudah memahami buku teks PKn secara mandiri. Sedangkan sebesar 56% siswa termasuk pembaca instruksional yaitu siswa sedang untuk memahami wacana yang terdapat dalam buku teks PKn ini. Dan sebesar 24% siswa termasuk pembaca frustasi maka bagi pembaca ini wacana dalam buku teks PKn ini sukar untuk dipahami.

Jadi, berdasarkan data diatas tingkat keterbacaan buku teks PKn penerbit Ganeca termasuk tingkat keterbacaan sedang maka sebagian siswa cukup dapat memahami buku teks dan siswa SMPN 1 Lembang termasuk pembaca instruksional hal ini ditunjukkan dengan jumlah persentase pada peringkat pembaca ini yaitu sebesar 56%.

Dilihat dari ruang lingkup materi, materi dalam buku teks ini sudah mencerminkan materi yang terkandung dalam Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Fakta, konsep, dan teori yang disajikan cukup relevan, namun kurang memberikan aspek pengetahuan kewarganegaraan.

Uraian dan contoh yang disajikan kurang menarik, karena uraian dalam buku teks PKn ini sedikit banyak, sehingga tidak akan merangsang siswa untuk lebih mempelajari buku teks PKn ini.. Dan contoh yang disajikan dalam setiap wacana sudah memiliki keterkaitan dengan materi sajian namun contoh tersebut sedikit kurang dapat membantu pemahaman siswa karena dilihat persentase jumlahnya sedikit.

Dari segi keterbacaan, pada wacana tertentu, bahasa yang digunakan kurang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa, terdapat beberapa istilah

(33)

asing yang kurang cocok untuk digunakan pada tingkat siswa kelas VIII. Sedangkan sistematika bahasa yang digunakan sedikit berbeli-belit.

Hal ini berdasarkan pada pendapat J.S Badudu (1989) bahwa:

“Keterbacaan sebuah teks itu tinggi apabila pembacanya dapat dengan mudah memahami isi teks itu atau pembaca tidak menemui kesukaran untuk memahaminya. Keterbacaan sebuah teks tergantung kepada bahasa yang digunakan untuk mengungkap (hal yang diuraikan itu), gaya penyajian (apa yang diungkap itu), bacaan itu sendiri”.

Apabila buku teks PKn memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi maka siswa dapat mudah memahami isi dari buku teks tersebut tanpa mengalami kesukaran dalam memahami isi buku teks.

Hasil data yang menunjukkan bahwa pembaca buku teks PKn penerbit Ganeca yaitu siswa/siswi SMPN 1 Lembang termasuk pada pembaca instruksional artinya siswa yang sedang dalam memahami isi buku teks, interpretasi hasil analisis tersebut berkaitan dengan hipotesis kedua yaitu “Jika tingkat keterbacaan buku teks PKn mudah dipahami maka pemahaman siswa baik” tidak terbukti.

D. Deskripsi Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Belajar Siswa berdasarkan Buku Teks Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Salah satu hal yang menentukan pemahaman siswa terhdap buku teks yaitu tingkat keterbacaan yang dimiliki oleh buku teks tersebut. Dalam hal ini yaitu tingkat keterbacaan yang dimiliki oleh buku teks tersebut. Keterbacaan ini berhubungan erat dengan taraf kesulitan bacaan. Sebagaimana yang dungkapkan oleh Tarigan (1986: 22-23) bahwa “salah satu penilaian buku teks yaitu dapat

(34)

dimengerti oleh siswa sebagai pembacanya. Dalam hal ini faktor kebahasaan dalam buku teks sangat berpengaruh”.

1. Deskripsi Hasil Penelitian Hasil Belajar Siswa Berdasarkan Buku Teks PKn

Pemahaman siswa terhadap buku teks tentunya berbeda-beda tingkatannya. Berdasarkan hasil penelitian berdasarkan hasil belajar siswa terhadap buku teks PKN penerbit Ganeca dengan menggunakan tes pemahaman bacaan yang berisi 42 butir soal Pilihan Ganda (PG) mencakup jenjang-jenjang pada ranah kognitif, maka diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4.7

Hasil Belajar Siswa terhadap Buku Teks PKn NO Responden Nilai Penguasaan

1 A 29 69 2 B 34 81 3 C 28 67 4 D 27 64 5 E 30 71 6 F 30 71 7 G 29 69 8 H 27 64 9 I 28 67 10 J 30 71 11 K 32 76 12 L 32 76 13 M 31 74 14 N 32 76 15 O 29 69 16 P 31 74 17 Q 34 81 18 R 32 76 19 S 30 71 20 T 25 60 21 U 34 81 22 V 28 67 23 W 29 69 24 X 26 62

(35)

25 Y 26 62 26 Z 32 76 27 A1 31 74 28 B1 34 81 29 C1 28 67 30 D1 27 64 31 E1 29 69 32 F1 28 67 33 G1 27 64 34 H1 30 71 35 I1 29 69 36 J1 29 69 37 K1 26 62 38 L1 28 67 39 M1 27 64 40 N1 33 79 41 O1 24 57 42 P1 26 62 43 Q1 31 74 44 R1 30 71 45 S1 28 67 46 T1 23 55 47 U1 25 60 48 V1 22 52 49 W1 23 55 50 X1 28 67 51 Y1 29 69 52 Z1 32 76 53 A2 29 69 54 B2 30 71 55 C2 32 76 56 D2 26 62 57 E2 27 64 58 F2 27 64 59 G2 33 79 60 H2 29 69 61 I2 33 79 62 J2 26 62 63 K2 28 67 64 L2 32 76 65 M2 25 60 66 N2 32 76 67 O2 26 62 68 P2 30 71

(36)

69 Q2 25 60 70 R2 28 67 71 S2 29 69 72 T2 27 64 73 U2 30 71 74 V2 22 52 75 W2 34 81 76 X2 31 74 77 Y2 28 67 78 Z2 28 67 79 A3 28 67 80 B3 27 64 81 C3 24 57 82 D3 24 57 83 E3 35 83 84 F3 28 67 85 G3 33 79 86 H3 29 69 87 I3 29 69 88 J3 23 55 89 K3 28 67 90 L3 27 64 91 M3 26 62 92 N3 23 55 93 O3 27 64 94 P3 22 52 Tabel 4.8

Persentase Hasil Belajar Siswa

Skor Frekuensi Persentase Keterangan

90% - 100% - - Baik sekali

80% - 89% 6 6,4% Baik

70% - 79% 25 26,6% Cukup

0% - 69% 63 67% Kurang

Jumlah 94 100% -

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan hanya 6 orang siswa atau 6,4% mendapatkan hasil belajar yang baik. Sedangkan sebanyak 24 siswa atau sebesar 26,6% siswa memperoleh hasil cukup baik atau sedang, dan sebanyak 64 siswa

(37)

atau sebesar 67% siswa mempeoleh hasil belajar yang kurang baik dalam memahami isi buku teks PKN.

2. Analisis Hasil Belajar Siswa Berdasarkan Buku Teks Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Banyaknya siswa yang mendapatkan hasil belajar yang kurang baik menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam memahami isi buku teks PKn tersebut.

Apabila dilihat dari segi materi, materi yang disajikan sudah mecerminkan jabaran substansi yang terkandung dalam Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Dan materi yang terdapat dalam setiap pokok bahasan sudah mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

Namun, uraian yang terdapat dalam wacana ini cukup banyak sehingga akan membuat siswa jenuh dan kurang merangsang siswa untuk terdorong mempelajari buku teks PKn ini.

Walaupun penyajian fakta, teori dan contoh sudah cukup relevan dengan materi yang dibahas namun masih sedikit kurang dapat membantu memperjelas materi yang disampaikan dan jumlahnya kurang banyak.

Penggunaan bahasa yang digunakan dalam buku teks ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan siswa kurang dapat memahami secara cepat isi pokok bahasan tersebut, diantaranya yaitu pada wacana Kasus Korupsi di Indonesia. Terdapat beberapa struktur kalimat dalam wacana tersebut kurang sistematis dan

(38)

kurang jelas sehingga siswa kurang dapat memahaminya, salah satunya siswa kurang dapat membedakan perbedaan antara Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Selain itu, dalam wacana Istilah Demkrasi terdapat penggunaan istilah yang kurang sesuai untuk digunakan dalam pokok bahasan tersebut, yaitu istilah distribusi kekeuasaan.

Dari segi penyajian materi, gambar yang disajikan pada beberapa wacana kurang dapat memperjelas materi pokok yang disajikan dan walaupun terdapat gambar yang terdapat dalam setiap wacana namun pada beberapa wacana kurang sesuai dengan materi yang dibahas.

Penyajian pembelajaran yang terdapat dalam buku teks ini sedikit kurang komunikatif sehingga kurang dapat memotivasi siswa untuk terlibat secara mental dan emosional untuk belajar secara mandiri dan kelompok dalam pencapaian SK dan KD.

Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa peneliti yang mengkaji tentang keterbacaan suatu buku teks (Gilliland, 1972; Klare, 1984) bahwa “keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman”. Keterbacaan yang memiliki kualitas yang baik akan mempengaruhi pembacanya dalam peningkatkan minat membaca dan daya ingat terhadap wacana yang terdapat dalam buku teks tersebut.

Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli (Widdowson, 1983; Nuttal, 5; Gilliland, 1976) yang menyatakan bahwa suatu kegiatan dapat disebut membaca jika seseorang dapat memahami isi sebuah teks, disamping mengerti kata, istilah, dan kalimat yang dibacanya. Kekompleksan ide dan bahasa yang

(39)

terdapat dalam suatu buku teks juga menyebabkan buku tersebut sulit dipahami. Interaksi antara istilah dan kosakata mempengaruhi keterpahaman itu. Jika wacana itu sendiri sukar yang disebabkan oleh cara pengungkapan idenya, maka interaksi antara kosakata dan pengetahuan pembaca akan mempengaruhi keterpahamannya. Jadi keterbacaan buku teks akan menentukan pemahaman dan keberhasilan belajar siswa.

Selain dari keterbacaan wacana dalam buku teks yang cukup sulit dipahami oleh siswa, kurangnya hasilnya belajar siswa dapat juga dikarenakan siswa kurang membaca dan mempelajari buku teks PKn dengan baik dan intens.

Sebagaimana diungkapkan oleh Williams (1984) yang menyatakan bahwa: Antara minat baca dan keterbacaan wacana terdapat hubungan timbal balik. Ketiadaan minat baca menyebabkan keengganan membaca pada pembacanya. Salah satu faktor yang menyebabkan keengganan membaca adalah factor keterbacaan wacana. Teks yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi relatif lebih mudah dibaca. Sebaliknya, teks yang memiliki tingkat keterbacaan yang rendah relatif lebih sulit dibaca.

(http://www.geocities.com)

Faktor bahan bacaan akan mempengaruhi seseorang dalam minat maupun kemampuan memahaminya. Bahan bacaan yang terlalu sulit untuk seseorang akhirnya akan mematahkan selera siswa untuk membaca buku teks PKn.

Berdasarkan hasil belajar siswa SMPN 1 Lembang terhadap buku teks PKn yang menunjukkan hasilnya yang kurang baik, hal ini berkaitan dengan hipotesis kedua yaitu “Jika tingkat keterbacaan buku teks PKn mudah dipahami maka pemahaman siswa baik” tidak terbukti.

Berikut ini merupakan hasil penelitian analisis keterbacaan buku teks PKn untuk kelas VIII yang digunakan oleh siswa SMP Negeri 1 Lembang:

(40)

72 KETERBACAAN BUKU TEKS PKN KELAS VIII UJI RUMPANG TES PEMAHAMAN HASIL BELAJAR SISWA GRAFIK FRY Sebesar 6,4 % Siswa SMPN 1 Lembang menunjukkan hasil belajar yang baik dalam memahami isi buku teks PKn, 26,6% pada peringkat sedang, dan 67% pada peringkat kurang baik.

Buku teks PKn penerbit Ganeca tidak sesuai untuk dipergunakan bagi siswa di kelas VIII

dipahami.

- Dalam buku teks ini terdapat iatilah yang kurang dapat dipahami oleh siswa dan struktur kalimatnya sedikit kurang sistematis.

- Buku teks PKn penerbit Ganeca untuk kelas VIII yang dipergunakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas kurang sesuai untuk kelas VIII melainkan untuk kelas IX, X, dan XI. Maka siswa akan mengalami kesulitan dalam memahami isi buku teks tersebut.

- Berdasarkan perkembangan psikologi pada usia 13-15 tahun walaupun proses berfikirnya sudah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang bersifat abstrak namun masih relatif terbatas.

-Sebagian besar siswa SMPN 1 Lembang menunjukkan hasil belajar yang kurang baik terhadap buku teks PKn. Siswa mengalami kesulitan dalam memahami pesan dan isi dalam buku teks PKn sehingga siswa kurang mempelajari buku teks secara intens.

-Contoh yang disajikan dalam buku teks PKn kurang dapat membantu pengetahuan dan pemahaman siswa. Serta penggunaan bahasa yang sedikit berbeli-belit.

Sebesar 20% buku teks PKn memiliki tingkat keterbacaan yang mudah, 56% tingkat tingkat keterbacaannya sedang, dan 24 % tingkat keterbacaannya sukar dipahami

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis data, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Pelatihan Terhadap Kinerja Pegawai Di

Campuran gas yang keluar dari reaktor diturunkan tekanannya menjadi 1,1 atm dengan expander, kemudian didinginkan dengan cooler (Co-01) untuk dialirkan ke absorber

Pentingnya pengelolaan prasarana dan sarana air limbah yang ada di Bandara Adisutjipto Yogyakarta dilakukan sebagai salah satu pendukung dalam mewujudkan Eco-Airport di

Jenis penelitian yang digunakan yaitu PTK atau penelitian tindakan kelas. PTK ini biasanya dilakukan oleh guru untuk mengetahui tingkat keberhasilan peserta didik selama

Suawardi Endraswara (2005:5) membuat definisi bahwa, “penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan tidak menyertakan angka-angka, tetapi mengutarakan kedalaman

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui nilai Indeks Kepuasan Masyarakat terhadap keberadaan Pasar Tradisional di Kabupaten

mengakses sumber-sumber dan bahan-bahan pembelajaran tersebut. Kondisi seperti ini diharapkan dapat menjamin pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Portal

Salah satu tujuan Pengembangan Ekowisata di wilayah Kecamatan adalah untuk memberi kesempatan kepada masyarakat desa yang bermukim di sekitar