• Tidak ada hasil yang ditemukan

Idiom: Fenomena Pengaruh Budaya dalam Bahasa (Kajian Tentang Idiom Bahasa Inggris dan Penerjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Idiom: Fenomena Pengaruh Budaya dalam Bahasa (Kajian Tentang Idiom Bahasa Inggris dan Penerjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Fuad Arif Fudiyartanto*

Abstrak

Pendapat yang mengatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat dapat dibuktikan kebenarannya dengan mencermati fenomena bahasa yang disebut ‘idiom’ (idiomatic expression). Idiom sendiri adalah bagian dari vocabulary system dalam suatu bahasa. Berawal dari proses pembentukannya (yang bermula dari orang awam dan dalam kehidupan keseharian) yang kontekstual-situasional, tentunya idiom memiliki kekhasan dan keunikan sendiri yang tidak sama dengan unsur kosakata lainnya.

Artinya, perlakuan terhadap suatu idiom seyogyanya juga sama dengan unsur budaya yang lain, seperti adat, tradisi, seni, keyakinan/agama, pola pikir, dan lain-lain. Dalam konteks penerjemahan, kepekaan mengenali idiom (kesadaran bahwa penerjemah sedang menghadapi sebuah idiom), ketepatan memaknainya, serta upaya mencari padanan yang tepat dalam bahasa sasaran agar tidak kehilangan ‘sentuhan’ gaya bahasa teks asli, merupakan hal-hal yang perlu mendapat perhatian yang seksama oleh penerjemah. Tulisan singkat ini akan mencoba mencermati permasalahan idiom ini, khususnya idiom bahasa Inggris, demi mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentangnya.

Keywords: idiom, budaya, penerjemahan A. Pendahuluan

Penerjemahan menurut banyak ahli terdiri dari tiga tahap utama: analisis, transfer, dan restrukturisasi. Pada tahap analisis, penerjemah dituntut menguasai seluruh sistem bahasa sumber untuk dapat menangkap pesan dari teks bahasa sumber. Idiom, sebagai bagian dari vocabulary system suatu bahasa, selayaknya menjadi perhatian penerjemah dalam upaya memahami pesan teks asli untuk

(2)

dapat menyampaikannya kembali dalam bahasa sasaran dengan baik dan tetap setia makna.

Untuk dapat memahami suatu idiom, mula-mula penerjemah harus mengenali dan menyadari terlebih dahulu bahwa yang sedang ia hadapi adalah idiom. Ini tidak mudah karena penerjemah dituntut memiliki native-like competence. Setelah itu idiom tersebut harus dipahami maknanya secara tepat. Memahami idiom tidak dapat diperoleh dari makna setiap kata penyusunnya, karena idiom merupakan kumpulan kata yang memiliki struktur semantik yang unik yang tidak dapat ditangkap hanya dengan menggabungkan

makna unsur-unsur pembentuknya.1 Sulitnya memahami makna

idiom ini masih ditambah dengan sulitnya penerjemah mencari padanan yang sesuai untuk idiom tersebut dengan semaksimal mungkin tidak meninggalkan makna dan style aslinya di dalam bahasa sasaran.

B. Idiom dan Sisi Alamiahnya 1. Idiom: Sebuah Keunikan Bahasa

Idiom pada awalnya terbentuk dari percakapan dan pergaulan tidak resmi diantara orang-orang awam di lingkungan kerja mereka, seperti pembicaraan di kalangan pelaut, pemburu, para buruh di lapangan, juru masak di dapur, dan lain-lain. Ungkapan-ungkapan khusus yang mereka gunakan tersebut, karena terasa nyaman, kemudian digunakan berulang-ulang dalam kesempatan lain dengan rekan sejawat mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, ungkapan khusus tersebut lama kelamaan diterima dan dipakai oleh banyak orang untuk situasi yang sejenis, bahkan di luar lingkungan dimana ungkapan itu diciptakan. Dengan semakin banyaknya orang yang menerima dan menggunakan ungkapan itu, maka ungkapan tersebut kemudian diterima menjadi kosa kata bahasa resmi standar

dan dipahami secara universal.2

1 Sri Samiati Tarjana, “English Idiomatic Expression and Some

Problems of Translating Them into Indonesian” dalam Jurnal Bahasa, Sastra dan Studi Amerika, (Volume 4 No. 5., 2000), p. 15.

(3)

Berangkat dari proses pembentukannya (bermula dari orang awam) yang kontekstual-situasional, maka niscaya idiom sangat dipengaruhi oleh budaya yang melingkupi bahasa tersebut (bahkan culture-based). Dengan kata lain, perlakuan terhadap suatu idiom, baik dalam hal penerjemahan ataupun yang lain, seyogyanya sama dengan unsur budaya yang lain, seperti adat, tradisi, seni, keyakinan/agama, pola pikir, dan lain-lain.

Sekali lagi, idiom terikat oleh budaya masyarakat pemilik

bahasa tersebut.3 Ini berarti bahwa makna sebuah idiom dalam

bahasa Inggris, misalnya, acapkali sulit atau bahkan tidak dapat diterjemahkan ke bahasa Indonesia secara tepat karena perbedaan budaya yang membungkus kedua bahasa tersebut. Karena perbedaan budaya inilah, terkadang seorang penerjemah Indonesia mungkin salah menangkap makna idiom black sheep (yang berarti: orang yang dianggap tidak berharga sehingga dikucilkan dalam keluarga/ kelompoknya) dan menerjemahkannya menjadi idiom kambing hitam (yang bermakna: orang yang dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya) yang jelas-jelas kurang tepat. Perbedaan budaya bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ini pula yang menyebabkan idiom “killing two birds with one stone” seharusnya diterjemahkan menjadi “sekali merengkuh dayung, dua tiga pula terlampaui”. Di budaya Barat kebiasaan berburu (burung dan hewan lain) lebih populer, sedang di Indonesia yang banyak laut, berperahu barangkali lebih lazim dan banyak dilakukan oleh masyarakat.

Banyak ahli telah memberikan definisi yang tegas tentang idiom. Logan P. Smith menyatakan bahwa idiom berasal dari “idiotisme” dalam bahasa Perancis yang berarti:

those forms of expression, of grammatical construction, or of phrasing, which are peculiar to a language, and approved by its usage, although the meanings they convey are often different from their grammatical or logical signification.4

3 Susan Bassnett-McGuire, Translation Studies – New Accents, (London &

New York: Routledge, 1991), p. 23.

(4)

Dalam pengertian yang lain, idiom kemudian juga digambarkan sebagai bentuk ujaran (atau ekspresi tulis) yang khusus (peculiar) bagi sekelompok orang atau suatu negara (dan bahasanya). Dalam The Concise Oxford Dictionary juga disebutkan bahwa idiom adalah:

form of expression peculiar to a language or person; peculiarity of phraseology approved by usage though having meaning not deducible from those of the separate words.5

Misalnya frasa idiomatik by heart (yang bermakna: hafal diluar kepala, berkait dengan ingatan/memori) akan tidak tepat bila dimaknai: dengan hati (organ untuk memompa darah).

Kedua pengertian di atas menekankan pada aspek kekhususan (peculiarity) idiom yang mensyaratkan seorang penerjemah mampu menguasai apa yang oleh Baker sebut sebagai ‘kepekaan mendekati penutur asli’ (the same sensitivity that native

speakers seem to have).6 Kepekaan ini sangat diperlukan terutama untuk

dapat mengenali dan menginterpretasikan makna idiom dengan tepat. Karena idiom adalah sesuatu yang khusus dalam suatu bahasa, maka hanya ada dua pilihan bagi penerjemah: ‘tahu’ atau ‘tidak’.

Keunikan yang dimiliki idiom ini tidak menyimpang dengan

apa yang telah disebutkan oleh seorang linguis Perancis.7 Dia

mengatakan bahwa language is conventional, bahwa bahasa adalah hasil kesepakatan para pemakainya. Kesepakatan orang-orang dalam suatu bahasa (Inggris, misalnya) menggabungkan suatu kata dengan kata tertentu lainnya menjadi idiom mengikat pengguna bahasa tersebut untuk mengikuti kesepakatan mereka itu tanpa kecuali, suka atau tidak. Apabila dikaitkan dengan penerjemahan, hasil kesepakatan para pemakai bahasa (Inggris) ini juga harus diketahui

5 Allan Duff, Translation, (Oxford: Oxford University Press, 1989), p

123.

6 Mona Baker, In Other Words: a Coursebook on Translation, (London &

New York: Routledge, 1994), p. 64.

7 Francis P. Dinneen, An Introduction to General Linguistics, (New York:

(5)

oleh penerjemah untuk dapat menerjemahkan idiom bahasa sumber (katakanlah, bahasa Inggris) ke bahasa sasaran dengan tepat.

Pernyataan Dinneen yang lain juga mendukung kesimpulan bahwa idiom adalah bagian dari suatu keunikan bahasa, yaitu bahwa bahasa bersifat arbitrer (language is arbitrary).8 Artinya, suatu bahasa (pada tataran tertentu) memang terisolir, memiliki dunianya sendiri dan tidak terpengaruh oleh bahasa lain. Setiap bahasa memiliki aturan, sistem sendiri yang tidak sama dengan bahasa lain. Dari sini

kemudian Dinneen menyebutkan lagi bahwa languages are unique.9

Idiom dalam bahasa Inggris oleh karenanya memiliki kaidah khusus sendiri yang tidak sama dengan idiom bahasa Indonesia. Penerjemah dalam menjalankan tugasnya harus menyadari dan memahami betul hal ini. Dengan begitu penerjemah diharapkan mampu memperlakukan idiom bahasa sumber (Inggris, misalnya) sesuai kaidah bahasa itu untuk kemudian mengalihkan isi pesannya kedalam bahasa sasaran (Indonesia) sesuai kaidahnya sendiri yang niscaya tidak sama dengan bahasa sumber.

Mengenai bentuk formal idiom, Smith menyatakan bahwa idioms are the idiosyncracies of language: those phrases which are verbal anomalies, which transgress … either the laws of grammar or the laws of logic.10 Apabila dicermati dengan lebih seksama, akan terlihat bahwa bentuk formal sebagian idiom memang tidak sesuai dengan kaidah gramatikal. Senada dengan pendapat Smith, Baker mengistilahkan idiom sebagai ‘ekspresi yang sudah pasti dan beku yang tidak memiliki variasi bentuk yang lain’ (fixed expressions and have frozen patterns, allowing little or no variation in form) karena sifatnya yang idiosinkratik.11 Misalnya, idiom

 for good (yang bermakna forever, selamanya);

apabila dilihat menurut kaidah grammar, ia tidak memenuhi kaidah tata bahasa. Preposisi for tidak dapat diikuti dengan kata sifat good

8 Ibid.

9 Ibid.

10 Sri Samiati Tarjana, “English Idiomatic Expression …, p. 16-17. 11 Mona Baker, In Other Words …, p. 63-64.

(6)

karena setiap preposisi dalam bahasa Inggris selalu harus diikuti oleh kata benda [noun] atau kata ganti [pronoun].

Contoh lainnya adalah idiom

 time and again (bermakna repeatedly, berkali-kali, berulang

kali, lagi-lagi).

Jika dilihat dari aspek struktur gramatikalnya, time [noun] tidak paralel dengan again [adverb] padahal dihubungkan dengan and yang menuntut kesetaraan antar unsur-unsurnya.

Selain itu ada juga idiom yang bila dicermati makna unsur-unsur penyusunnya (secara terpisah) akan terasa violating truth conditions atau tidak masuk akal.12

Misalnya idiom

 to give (lend) an ear to (= listen to, mendengarkan).

Jika dimaknai dari unsur-unsurnya secara sepotong, maka sungguh tidak masuk akal ada orang yang akan memberikan atau meminjamkan (to give/lend) telinganya kepada (an ear to) orang lain. Contoh lain adalah

 to come out of one’s shell (= not embarassed anymore, tidak malu

lagi).

Tidak ada manusia yang diselubungi oleh kulit (shell) seperti kerang atau telur, sehingga tidak mungkin orang menetas seperti anak ayam.

Sesungguhnya karena sifat anomalinya (melanggar kaidah gramatikal atau logika) tersebut, maka sebagian idiom menjadi mudah dikenali. Namun kadangkala (karena konteksnya tidak lengkap, atau karena faktor kekurang-pekaan memahami dan memaknainya) ada juga idiom yang barangkali dimaknai literal (biasa) seperti dalam kasus kalimat berikut:

1. He missed the boat due to the traffic jam.

2. He certainly missed the boat by not investing money in the company.

Ungkapan missed the boat (yang bentuk formalnya sama persis) bisa bermakna literal-denotatif “ketinggalan kapal” seperti dalam kalimat 1 atau bermakna idiomatik “kehilangan kesempatan memperoleh sesuatu” dalam kalimat 2.

12 Ibid., p. 65.

(7)

Masih banyak ahli lain yang mendukung pernyataan bahwa idiom adalah idiosinkratik. Diantara mereka, sebagaimana disebut oleh Fernando (1996), adalah: M.H. Roberts (1944) dalam artikelnya berjudul “The Science of Idiom: A Method of Inquiry into the Cognitive Design of Language” , O. Jesperson (1975) dalam bukunya The Philosophy of Grammar, C.J. Fillmore dkk (1988) dalam artikel mereka berjudul “Regularity and idiomaticity in grammatical construction: the case of let alone”.13

2. Idiom dan Strukturnya

Dewasa ini orang mulai beranggapan bahwa idiom sesungguhnya memiliki keteraturan dan kaidah yang dapat dipelajari sehingga dapat digunakan untuk memprediksi idiom dan maknanya dalam sebuah teks atau wacana. Feare menegaskan bahwa dengan mempelajari struktur idiom, maka orang akan dapat lebih memahami makna idiom tersebut dengan bantuan pertimbangan logika akal sehat yang dimilikinya, dan bukan hanya mengandalkan hafalan (memorization) semata.14

Dari buku Feare berjudul Practice with Idioms dan tulisan Tarjana dapat disimpulkan bahwa bentuk formal idiom bahasa

Inggris adalah sebagai berikut:15

1). menggunakan komposisi kata depan (preposition) secara manasuka (arbitrary use of prepositions),

contoh: up to time, in time, on time, dll.

2). berbentuk phrasal verbs, dengan variasi bentuk: a. Intransitive verb + Particle,

misalnya: come about, fall through, grow up, dll. b. Intransitive verb + Preposition,

misalnya: believe in, turn into, run over, dll.

13 Chitra Fernando, Idioms and Idiomaticity, (Oxford: Oxford University

Press, 1996), p. 17.

14 Feare, Ronald E., Practice with Idioms, (New York: Oxford University

Press), 1980, p. ix.

15 Ronald E. Feare, Practice with Idioms, (Oxford & New York: Oxford

University Press, 1980) dan Sri Samiati Tarjana, “English Idiomatic Expression…, p. 14-25.

(8)

c. Intransitive verb + Particle + Preposition,

misalnya: look out for, live up to, go in for, keep up with, dll. d. Transitive verb + Movable Particle,

misalnya: think over, carry out, bring about, dll. e. Transitive verb + Immovable Particle f. Transitive verb + Object + Particle,

contoh: kick around, tell apart, do over, lead on, dll. g. Transitive verb + Particle + Object,

misalnya: make up, carry on, take up, dll. h. Transitive verb + Preposition,

misalnya: hold against, take advantage of, take into account, make sense of, dll.

i. Transitive verb + Particle + Preposition,

contoh: get out of, take up with, leave up to, bring around to, dll. 3). komposisi dua noun atau lebih, dengan variasi bentuk:

a. Pairs of nouns,

misalnya: heart and soul, ups and downs, give and take, dll. b. Adjective + noun (combination),

contoh: hot air, big shot, good Friday, dll. 4). komposisi adjective, dengan variasi bentuk:

a. Pairs of adjectives,

misalnya: fair and square, free and easy, short and sweet, dll. b. Various compound of adjectives,

misalnya: easy-going, half-hearted, narrow-minded, dll. 5). komposisi adverb,

contoh: now and again, sooner or later, by and large, dll.

Cowie dan Mackin (1975) lebih tegas lagi menyatakan bahwa an idiom is a combination of two or more words which function as a unit of meaning.16 Dengan kata lain, idiom minimal terdiri dari dua kata (dengan pengertian, idiom juga bisa terdiri atas tiga kata atau lebih) yang memiliki makna satu dan tidak sama dengan makna gabungan unsur-unsurnya. Sebuah idiom oleh karenanya dapat memiliki sinonim satu kata, meskipun tidak semua idiom seperti ini. Yang terpenting adalah bahwa gabungan kata berupa idiom tersebut hanya

(9)

memiliki satu makna leksikal dan pasti memiliki sinonim atau penjelasan semantik. Bahkan menurut Cowie makna idiom mungkin terkait dengan makna unsur-unsur penyusunnya in variety of ways, sehingga perlu dipertimbangkan adanya internal variation atau substitution of part for part. Misalnya: fill/empty/drain the sink atau fill the sink/basin/bucket.17

Pendapat senada juga disampaikan oleh J. Strassler yang menyatakan bahwa every idiom has a non-idiomatic synonym on the semantic level. Mengapa harus ada idiom bila ada kata lain yang makna semantiknya sama? Menurut Strassler,

when using an idiom the speaker conveys more information than its semantic content. He either establishes a social hierarchy or he tests the hearer’s opinion in this matter.18

Dari sini dapat disimpulkan bahwa idiom digunakan untuk menyampaikan informasi yang tidak terdapat dalam komponen semantik (makna denotatif) dari unsur non-idiomatic synonym-nya. Pilihan menggunakan idiom dipengaruhi oleh ukuran-ukuran yang ada di masyarakat seperti status sosial, usia, latar belakang

pendidikan, profesi dan sejenisnya.19

C. Penerjemahan Idiom

Ada dua permasalahan utama yang dihadapi penerjemah bila ia akan menerjemahkan idiom dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, karena kedua bahasa ini sangat berbeda baik tipologi

maupun sejarahnya.20 Pertama, penerjemah dituntut harus mampu

mengenali idiom dalam bahasa Inggris dan memahami maknanya. Kedua, penerjemah juga dituntut harus mampu mencari padanan yang paling tepat dalam bahasa Indonesia (baik dalam bentuk idiom lagi atau bukan idiom). Kedua hal ini tentunya bukan hal yang mudah, terutama bagi penerjemah pemula.

17 Tanda [/] berarti pilihan. 18 Ibid., p. 13.

19 Ibid., p. 14.

20 Sri Samiati Tarjana, “English Idiomatic Expression…, p. 15 dan http://accurapid.com/journal/18.theory.htm

(10)

Di awal telah disebutkan bahwa untuk dapat menerjemahkan suatu idiom dengan benar, mula-mula penerjemah harus mengenali dan menyadari terlebih dahulu bahwa yang sedang ia hadapi adalah idiom. Ini tidak mudah karena penerjemah dituntut memiliki native-like competence. Baru kemudian penerjemah mencoba memahami makna idiom tersebut. Memahami idiom tidak dapat diperoleh dari makna setiap kata penyusunnya. Menurut Jack Richards maupun E.A. Nida, idiom adalah kumpulan kata yang memiliki struktur semantik yang unik yang tidak dapat ditangkap

hanya dengan menggabungkan makna unsur-unsur pembentuknya.21

Misalnya idiom look after (= take care of, menjaga, memelihara) tidak bisa dimaknai dari unsur look (melihat, memandang) dan after (sesudah, setelah) secara terpisah. Sulitnya memahami makna idiom ini masih ditambah dengan sulitnya mencari padanan yang sesuai untuknya dengan semaksimal mungkin tidak meninggalkan makna dan style aslinya dalam bahasa sasaran.

Salah satu permasalahan krusial dalam mengenali idiom adalah karena sulitnya membedakan apakah frasa tersebut digunakan

secara idiomatik atau literal.22 Kunci utama mengenalinya adalah

dengan analisis konteksnya (kalimat, paragraf, teks, atau wacana). Beberapa contoh kalimat di bawah ini kiranya dapat dijadikan

ilustrasi cara mengenali idiom dari konteksnya.23

1. Be careful, don’t hurt yourself when you hit the nail on the head. 2. His solution to the problem we faced hit the nail right on the head.

Berdasarkan analisis konteksnya masing-masing, dapat disimpulkan bahwa hit the nail on the head pada kalimat 1 digunakan secara literal-denotatif (kata-kata hit yang berarti memukul atau nail yang berarti paku memang berkaitan langsung dengan hurt yang berarti sakit, jika tidak berhati-hati), sedangkan pada kalimat 2 frasa tersebut digunakan secara idiomatik (karena kata hit dan nail tersebut tidak berkaitan langsung dengan solution to the problem yang berarti pemecahan masalah).

21 Sri Samiati Tarjana, “English Idiomatic Expression…, p. 15. 22www.uta.fi/FAST/US1/P1/idioms.html

(11)

Permasalahan lain berkait dengan penerjemahan idiom adalah karena terkadang idiom bahasa sumber (Inggris) memiliki struktur yang paralel dengan yang ada di bahasa sasaran (Indonesia) tetapi sesungguhnya memiliki makna yang berbeda. Penerjemah sering salah menangkap makna idiom seperti black sheep (yang bermakna orang yang dianggap tidak berharga sehingga dikucilkan dalam keluarga/kelompoknya) dan menerjemahkannya menjadi idiom kambing hitam (orang yang dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya) yang tentunya kurang tepat.

Setelah penerjemah dapat menginterpretasikan makna idiom dengan tepat, maka tugas berikutnya yang harus ia laksanakan adalah menentukan bagaimana menerjemahkannya, bagaimana memilih padanan yang paling sesuai. Tugas ini sangat berat karena meskipun ada idiom yang memiliki padanan idiom pula dalam bahasa lain, tetapi umumnya tidak ada korelasi satu-satu (one-to-one relation) antara idiom dalam suatu bahasa dengan idiom bahasa lain. Idiom bahasa Inggris green light (tanda dimulainya/diperbolehkannya sesuatu dilaksanakan) kebetulan sama dengan idiom lampu hijau dalam bahasa Indonesia. Tetapi hal ini tidak dapat diterapkan untuk idiom green thumb yang bermakna bakat untuk berkebun, kecakapan dalam bercocok tanam.

Beberapa alternatif cara menerjemahkan idiom dapat dipilih, tetapi dengan tambahan pertimbangan apakah idiom searti tersedia di bahasa sasaran, atau cocok tidaknya menggunakan ungkapan

idiomatik untuk konteks yang sama di lingkungan bahasa sasaran.24

Cara-cara yang Baker tawarkan itu terangkum sebagai berikut:

1. mencari padanan idiom dengan makna dan bentuk yang sama dengan bahasa sumber, misalnya:

Bsu: led by the nose (as asses are) Bsa: seperti kerbau dicocok hidung

Kedua idiom ini bermakna sama yaitu “selalu menurut saja (karena kebodohannya)”.

2. mencari padanan idiom dengan makna yang sama tetapi bentuk formal berbeda, misalnya:

(12)

Bsu: killing two birds with one stone

Bsa: sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui 3. penerjemahan dengan parafrase, misalnya:

Bsu: eager beaver

Bsa: orang yang rajin bekerja (kadang-kadang tujuannya untuk mengambil hati)

4. idiom tidak diterjemahkan atau dihilangkan

5. penerjemahan dengan kompensasi, entah dalam bentuk penghilangan atau pengurangan derajat keidiomatikannya untuk kemudian disebutkan lagi di tempat lain, atau bahkan ditulis apa adanya (semacam adopsi kosa kata), misalnya:

Bsu: built-in

Bsa: built-in (dibuat sebagai bagian dari struktur suatu benda dan tidak dapat dilepaskan atau dipindahkan)

D. Penutup

Hampir setiap teks bahasa Inggris (jika tidak bisa dikatakan semuanya) mengandung idiom. Secara moral dan profesional penerjemah dituntut setia makna (dan gaya). Kompleksitas permasalahan berkait dengan penerjemahan idiom, mulai dari mengenali idiom, menangkap makna, dan mencari padanan yang paling sesuai dalam bahasa sasaran bukan tidak bisa diatasi. Meskipun near-native speaker sensitivity yang menjadi syarat ideal penerjemah ketika berurusan dengan idiom sangat sulit dicapai (atau bahkan tidak mungkin), tetapi tidak menutup kemungkinan ia dapat menerjemahkan idiom dengan benar dan berterima. Hal-hal yang dapat mengembangkan kepekaan penerjemah yang coba penulis tawarkan di antaranya adalah:

1. sering berlatih melakukan kegiatan penerjemahan 2. sering membuka kamus dwibahasa dan monobahasa

3. berkonsultasi dan mengecek kebenaran terjemahannya dengan penutur asli

Lebih dari itu, pilihan langkah terbaik yang harus ditempuh guna memperoleh hasil yang lebih baik dalam penerjemahan idiom (terutama idiom bahasa Inggris) tentu saja sepenuhnya berada di tangan kita masing-masing. Wallahu a’lam.

(13)

Daftar Pustaka

Baker, Mona, In Other Words: a Coursebook on Translation, London & New York: Routledge, 1994.

Bassnett-McGuire, Susan, Translation Studies – (New Accents), London & New York: Routledge, 1991.

Curry, Dean, Practical American English Series: Idioms 2 with Illustrations, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Dinneen, Francis P., An Introduction to General Linguistics, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1967.

Duff, Allan, Translation, Oxford: Oxford University Press, 1989. Feare, Ronald E., Practice with Idioms, New York: Oxford University

Press, 1980.

Fernando, Chitra, Idioms and Idiomaticity, Oxford: Oxford University Press, 1996.

Hatim, Basil dan Mason, Ian, Discourse and The Translator, New York: Longman, 1990.

http://accurapid.com/journal/18.theory.htm

Larson, Mildred L., Meaning-Based Translation: Guide to Cross-Language Equivalence, Lanham: University Press of America, 1984. Tarjana, Sri Samiati, “English Idiomatic Expression and Some

Problems of Translating Them into Indonesian” dalam Jurnal Bahasa, Sastra dan Studi Amerika, Volume 4 No. 5. Tahun 2000.

Referensi

Dokumen terkait