• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problem Filsafat Jilid I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Problem Filsafat Jilid I"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Problem Filsafat



PROBLEM

FILSAFAT

Bulletin Komunitas Marx

STF Driyarkara No. 1 / 2009

Apa Perlunya

(2)

Problem Filsafat



No. 1 / Tahun I / November 2009

No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

Orasi Pembukaan Serial Diskusi Membaca Kapital

berderapnya anak zaman

menyongsong rebahnya kesadaran

inlander

oleh: I Gusti Anom Astika

Yang Terhormat, para calon peserta serial diskusi Membaca Das Kapital, kawan kawan Komunitas Marx, Komunitas Hegel, dan Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,

Yang Terhormat, para Pengajar dan Civitas Akademik Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,

Yang Terhormat, para pelajar filsafat di seluruh Indonesia,

Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung segala persiapan penyelenggaraan serial diskusi ini. Baik kepada Pembantu Ketua III STF Driyarkara, Romo Setyo Wibowo yang telah berperan banyak membimbing persiapan penyelenggaran acara ini, maupun kepada kawan-kawan pengurus Senat Mahasiswa STF Driyarkara yang tak henti-hentinya memberikan saran perihal bagaimana seharusnya sebuah komunitas diskusi berperan di dalam kehidupan mahasiswa STF Driyarkara. Eksklusivitas di dalam hal ini merupakan isu penting sehubungan dengan komposisi mahasiswa STF yang beragam asal usul dan latar belakang. Karenanya terdapat banyak upaya untuk melumerkan batas batas eksklusivitas

di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat akademik, dan salah satunya adalah melalui penyelenggaraan/ pembentukan komunitas studi ilmiah. Sebagai bagian dari program Senat Mahasiswa, seharusnya komunitas memiliki kemampuan untuk menjaring partisipasi baik dari berbagai komunitas

kerohaniawanan, maupun dari

kalangan awam. Pada titik ini problem eksklusivitas dari sebuah komunitas diskusi perlu dilihat secara kritis sebagai cara untuk mempererat persaudaraan maupun sebagai cara untuk memperluas pengetahuan filsafat. Mungkin karakter eksklusif ini tampil mengedepan pada komunitas komunitas diskusi yang terdahulu. Kendati demikian, belum selalu eksklusivitas dapat dianggap sebagai problem dasar dari keberadaan sebuah komunitas studi filsafat di tengah ruang belajar yang dihuni oleh banyak orang dengan berbagai macam latar belakang. Bagi kami, eksklusivitas di sini lebih serupa bahasa lain dari problem pergaulan di antara mereka yang berada di dalam komunitas dan yang di luar komunitas, walaupun problem pergaulan itu sendiri juga tak selalu dapat dianggap sebagai sebuah problem, dan lebih serupa fenomena sosial. Apa yang perlu dipikirkan lebih jauh adalah pada

bagaimana membentuk sebuah komunitas studi filsafat yang berkemampuan mendorong para peserta komunitas untuk menghasilkan gagasan gagasan yang kreatif sebagai konsekuensi logis dari diskusi diskusi yang berlangsung di dalam komunitas. Artinya kemudian, yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan sebuah ruang bagi berlibatnya berbagai individu di dalam komunitas studi filsafat, dan bagaimana ruang itu dapat melahirkan kerja sama kerja sama ilmiah di antara para mahasiswa STF Driyarkara. Boleh-bolehlah sekali waktu diskusi

Komunitas Marx berlanjut di Lapo Ni

Tondongta demi segelas bir dan dua porsi babi panggang agar lahir sebuah karya ilmiah tentang pemikiran Karl Marx. Anggaplah itu seperti ujaran puitik Saut Sitompul, “Ada daun jatuh, Tulis. Ada bau babi panggang, Tulis. Tulis, tulis dan Tulis!”.

Banyak juga yang beranggapan bahwa persoalan eksklusivitas ini berkait dengan cara berbahasa dari mereka yang berada di dalam komunitas terhadap mereka yang baru mencoba berpartisipasi di dalam komunitas. Peristilahan yang tidak lazim, perbincangan yang berlarut-larut untuk topik yang tidak renyah dicerna oleh rata-rata mahasiswa STF boleh jadi berperan di dalam membentuk eksklusifitas itu. Lebih-lebih apabila wajah-wajah dari mereka yang berbicara aktif di dalam komunitas itu lebih memancarkan kesuraman ketimbang pengharapan. “Pantaslah, sudah bahasanya aneh, yang diomongin aneh, apalagi orang-orangnya: Autis!”, demikian kata seorang mahasiswi UI yang sekali waktu dua-tiga tahun lalu hadir dalam sebuah diskusi komunitas. Anggapan itu belum selalu benar, lantaran kami beranggapan bahwa “aneh” adalah sesuatu yang memang dan harus lekat pada setiap insan pelajar filsafat, sebagaimana manusia pada umumnya. Bukan dari “sana” nya aneh, tapi memutuskan untuk

belajar filsafat di alam yang serba instan dan serba butuh modal seperti sekarang ini, sesungguhnya adalah ide yang ‘aneh’. “Buat apa belajar filsafat? Gak ada untungnya!”, demikian kata ayah seorang mahasiswa STF. Adanya keanehan tidak selalu bermakna negatif, tetapi sungguh positif ketika itu dilihat sebagai sikap kritis terhadap segala sesuatu yang penuh dengan tipuan optik, segala sesuatu yang tidak membebaskan manusia, dan sebagainya. Toh keanehan-keanehan yang berlangsung di STF Driyarkara baru sebatas gesture, diksi, dan bentuk bentuk kebahasaan lainnya, dan belum serupa anak buah Noordin M Top yang harus memasuki rumah lewat jendela lantaran memasang bom pertahanan diri di pintu masuk rumahnya. Problemnya justru pada apa yang dapat dihasilkan dari segala keanehan itu sendiri. Apabila segala bentuk keanehan dari sebuah komunitas itu hanya menghasilkan orang orang yang banyak membaca buku, dan pandai bicara filsafat tapi begitu sulit melahirkan karya karya filsafat berdasarkan riset boleh jadi ada tendensi anti sosial dalam komunitas itu. Boleh jadi juga komunitas itu, seperti kata Mbah Surip, sedang begitu sibuk menggendong dirinya sendiri, kemana-mana mendapatkan jalan buntu kreativitas. Entahlah, masih banyak kemungkinan yang lain. Yang jelas persoalannya bukan pada keanehan itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana keanehan itu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Jangan berharap lebih jauh akan keberadaan sebuah komunitas, apabila publik STF sendiri lalu berpendapat seumpama dua bait terakhir sajak Sia-Sia Chairil Anwar di tahun 1943: “Ah ternyata hatimu yang tak memberi. Mampus kau dimakan sepi”.

Eksklusivitas menjadi per-masalahan ketika eksklusivitas itu justru melahirkan erotisme perdebatan intelektual. Artinya bahwa problem-problem yang dibicarakan di dalam

(3)

Problem Filsafat



No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

sebuah perdebatan dapat dan hanya

dapat diperbincangkan oleh mereka yang berlibat di dalam komunitas dan belum selalu dipikirkan perihal keterlibatan orang di luar komunitas sebagai bagian dari perdebatan. Oleh sebab perbincangan yang berlangsung di dalam komunitas sudah sedemikian canggihnya, sehingga orang di luar komunitas perlu berpikir dua kali dua puluh empat jam tanpa harus lapor RT untuk berlibat di dalam komunitas. Oleh sebab, perdebatan yang berlangsung sudah demikian luas cakup pemahamannya; oleh sebab problem-problem di dalam perdebatan itu dibicarakan dengan diksi filosofis yang tak terurai segera penjelasan ataupun terjemahannya; langsung dalam waktu sekejap keengganan menyapu semangat untuk berlibat. Apa sebenarnya yang diperdebatkan dan apa-apa saja yang dibahasakan secara filosofis? Pembentukan sebuah komunitas pada dasarnya tidaklah sama dengan pembentukan perkumpulan suporter sepakbola dan atau perkumpulan pemuja arwah gentayangan. Adanya sebuah komunitas di dalam lingkup masyarakat akademik pun sudah pasti bukan perkumpulan pesta pora dan

orgy. Melainkan berdasarkan kebutuhan

mempelajari kekhususan pemikiran seorang filsuf misalnya, dan boleh jadi juga sebuah ekskursus (studi banding) ke berbagai pemikiran tentang modernisme, misalnya. Pendek kata, di dalam proses pembentukan sebuah komunitas problem pertama yang harus dijawab adalah “persoalan apa di dalam filsafat yang perlu dipelajari secara serius”. Apakah itu serupa pemikiran-pemikiran dari seorang tokoh filsafat, ataukah itu isu-isu penting di dalam filsafat, seluruhnya dapat dianggap sebagai awal dari pembentukan sebuah komunitas. Problem kedua yang perlu dijawab adalah pada bagaimana

mempersiapkan proses belajar di dalam komunitas. Bagi kami dari Komunitas Marx dasar dari problem kedua ini lebih merujuk pada pemikiran Marx tentang komunitas sebagaimana yang dituangkannya dalam

Economic and Philosophical Manuscript,

bahwa:

“Dengan hakekat kemanusiaan yang menciptakan komunitas sejati manusia, di sana manusia menciptakan komunitas kemanusiaan melalui aktivasi dari hakekatnya. Hakekat manusia adalah hakekat sosial yang bukan merupakan kekuasaan abstrak umum terhadap individu, tetapi hakekat dari setiap individu, yang berkait dengan aktivitas, kehidupan, pikiran dan kesejahteraan dari individu itu sendiri... Manusia bukanlah abstraksi, tetapi sungguh individu-individu yang nyata, hidup dan unik dari hakekat (komunal) ini”.1

Artinya, proses belajar ini perlu mempertimbangkan kepentingan dari setiap individu untuk dapat berlibat di dalam komunitas. Bukan sekedar mobilisasi rasa ingin tahu yang dapat dijadikan dasar untuk mempersiapkan proses belajar, tetapi justru pemahaman terhadap problem-problem filsafat dan problem-problem realitas sosial yang dapat direfleksikan secara filosofis. Penting karenanya memperhatikan bagaimana Antonio Gramsci mendefinisikan filsafat sebagai sebuah materi pendidikan:

“Konsepsi seseorang tentang dunia adalah tanggapan atas sejumlah problem spesifik tertentu yang diletakkan oleh realitas, yang cukup spesifik dan ‘orisinal’ oleh karena kemendesakan dari relevansinya”.2 Beberapa alinea sebelumnya Antonio Gramsci menulis dengan begitu lugas:

“Adalah penting untuk

menghancurkan prasangka meluas

bahwa filsafat adalah sesuatu yang aneh dan sulit hanya karena filsafat merupakan aktivitas intelektual yang spesifik yang secara sosial menjadi kategori khusus kaum spesialis atau para filsuf sistematik dan profesional. Sudah saatnya ditunjukkan bahwa semua orang adalah “filsuf” dengan membuat batasan-batasan maupun karakteristik ‘filsafat spontan’ yang sesuai bagi semua orang”.3

Arti pentingnya bukan pada bagaimana Gramsci mendefinisikan filsafat sebagai sebuah konseptualisasi dunia, tetapi justru pada bagaimana melihat filsafat sebagai sebuah upaya untuk memperluas pemahaman tentang dunia dengan melihat bahasa, kemasukakalan dan kebijakan, serta folklor sebagai bagian-bagiannya. Akan tetapi apa yang dikemukakan oleh Gramsci di muka agak bermasalah lantaran terjadi pemisahan antara filsafat profesional dan filsafat spontan, antara realitas yang dipahami oleh para filsuf dengan realitas yang dipahami oleh orang biasa. Ketika dua pemahaman terhadap realitas itu dipertemukan di ranah praktis menjadi sulit untuk mencari rumusan rumusan filosofisnya. Dalam artian apabila pendidikan dibayangkan sebagai sebuah proses pembentukan pemikiran filsafat, dan oleh karenanya perlu memperhitungkan keterkaitan antara teori dan praktek; pencerapan pengetahuan dan ketrampilan menulis lalu bagaimana meletakkan filsafat dalam dimensi praksis? Lefebvre kemudian menjawabnya sebagai berikut:

“Praksis bagaimana pun dibentuknya tetap merupakan sesuatu yang terbuka: praksis selalu menunjuk pada ranah kemungkinan. Secara dialektis, inilah tepatnya makna dari determinasi: yang negatif mengandung yang positif, menegasi masa lalu dalam makna yang

mungkin, dan memanifestasikannya sebagai totalitas. Setiap praksis memiliki dua koordinat historis: yang pertama menujuk masa lalu, yang sudah dan sedang diselesaikan, sedang yang lain pada masa depan pada hal mana praksis menjadi terbuka dan memungkinkan untuk diciptakan.”4

Pemaknaannya di sini lebih berkait dengan filsafat sebagai sebuah media pendidikan, sebagai sarana yang terus mendorong lahirnya pemaknaan pemaknaan baru terhadap pengalaman-pengalaman hidup manusia. Bahasa memang selalu mengandung nilai filosofis, tetapi baru memiliki penjelasan filosofis ketika dihubungkan dengan aktivitas manusia yang lain. Adanya filsafat bukan oleh karena kebiasaan membaca buku, dan berdiskusi sepanjang hari demi lahirnya gagasan-gagasan filosofis. Melainkan ia lahir melalui riset, melalui penyelidikan terhadap berbagai macam problem filsafat, baik yang sudah ditulis oleh para filsuf maupun terhadap problem-problem kongkret. Artinya kebutuhan untuk mempelajari filsafat di sini tidak hanya didasarkan pada ketertarikan terhadap problem problem filsafat, tetapi juga tujuan maupun kepentingan individu di dalam mempelajari filsafat. Apakah itu untuk menempa kemahirannya di dalam menelisik gagasan filosofis di balik fenomena realitas sosial, ataukah itu untuk merancang sebuah direktori pemikiran dari perspektif Marxis, seluruhnya coba diwadahi dalam proses diskusi dalam rangka praksis ini. Menarik jika kemudian kita memperhatikan perkembangan yang paling belakangan dalam studi studi filsafat dari garis Marxian, yang kini sudah mencakup bidang bidang kehidupan yang spesifik seperti problem emansipasi kaum peranakan sebagaimana yang diadvokasi oleh Cornel West, problem

(4)

Problem Filsafat



No. 1 / Tahun I / November 2009

No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

estetika counterpoint dalam bidang

musik sebagaimana yang sudah diinisiasi oleh Theodor Adorno, maupun problem feminisme dalam filsafat seiring dengan munculnya sejumlah filsuf perempuan di akhir abad ke 20 seperti Judith Butler, dan Toril Moi. Secara praktis-filosofis gagasan Marxisme juga berpengaruh dalam pemikiran di bidang kesenian dan kesusasteraan. Mungkin yang diketahui oleh mahasiswa STF baru sebatas debat antara Lukacs, Brecht, dan Bloch tentang estetika marxis. Tetapi di belahan Amerika Latin tercatat nama Augusto Boal yang bereksperimen teater pembebasan, sebagaimana juga Tadeusz Kantor di pinggiran desa desa di Polandia. Sudah tidak jamannya lagi kita masih berpikir dalam perspektif ortodoksi marxisme dan lingkar marxisme Barat. Sebab itulah pembagian yang kerap bernuansa Perang Dingin, dan tidak dapat melihat secara komparatif bagaimana studi filsafat di Yugoslavia bisa menghasilkan filsuf semacam Slavoj Zizek sebelum melihat secara historis bagaimana relasi diantara intelektual Eropa di masa Perang Dingin. Dengan demikian, problem pendidikan filsafat di sini belum selalu bermakna pembacaan sebuah teks seorang filsuf, lalu diselidiki paragraf demi paragraf untuk kemudian dicari logika sang filsuf di dalam mempersepsikan sesuatu dan atau mendefinisikan sesuatu. Tetapi juga melihat konsekuensi logis dari pemikiran tersebut baik dalam pengembangan studi studi filsafat maupun dalam realitas sosial. Oleh karenanya, dalam konteks pembacaan terhadap Das Kapital yang menjadi titik tekan adalah pada bagaimana mempelajari pemikiran Marx secara filosofis, dan bagaimana realitas sosial dipersepsi oleh Marx sebagai cara untuk melihat relasi di antara teori dan realitas dalam kerangka praksis.

Sudah pasti sulit mempersiapkan

proses belajar yang demikian, oleh karena persoalan-persoalan yang dibahas tidak sekedar mencari makna di balik sebuah istilah, dan juga bukan sekedar membuat artikulasi logis dari kalimat-kalimat yang tertuang di dalam teks Das Kapital. Apa yang lebih penting adalah membuat pembacaan itu dapat dipersepsikan sebagai sebuah studi ilmiah. Oleh sebab, pembacaan secara harafiah, dan bahkan reduksionis, sudah bermula sejak Friedrich Engels membuat karya Sinopsis terhadap

Kapital, dan seterusnya ketika Engels

melanjutkan Jilid II dan III Das Kapital dengan berdasar fragmen-fragmen catatan Marx.5 Berdasarkan pembacaan terhadap Kapital jilid II dan III yang cenderung lebih

praktis dan tidak mengandung perdebatan filosofis seperti dalam Kapital jilid I, segala pemikiran Marx di dalam proyek

Das Kapital disederhanakan oleh banyak

intelektual Kiri, termasuk Lenin, sebagai Ekonomi Politik. Gunanya sebatas bahan agitasi propaganda kepada kelas proletar untuk mulai melancarkan pemogokan-pemogokan demi pengambilalihan alat-alat produksi. Sementara Harry Cleaver mencatat munculnya berbagai macam tradisi membaca Das Kapital dan kemudian membaginya ke dalam dua aras besar yang saling bersilangan: Pembacaan berdasarkan bidang kajian dan pembacaan berdasarkan tujuan politik.6 Dari sana Cleaver, menjabarkan pembacaan berdasarkan perspektif Ekonomi Politik

Internasional Kedua, dengan

tokoh-tokohnya Eduard Bernstein, Karl Kautsky, dan Rosa Luxemburg; pembacaan Komunis Marxis, dengan tokoh-tokohnya Lenin, Stalin, Mao Tse Tung; pembacaan Neo Marxis Keynesianisme dan Kiri Baru dengan tokoh-tokohnya Paul Sweezy, Joan Robinson, dan Paul Baran; pembacaan Ortodoksi Baru dengan tokoh-tokohnya Ernest Mandel dan Paul Mattick. Pembacaan secara Filosofis memiliki ragam

tendensi yang begitu luas, mulai dari lingkar Marxisme Barat (Western Marxism), dengan tokoh tokohnya seperti Lukacs, Gramsci dan Karl Korsch yang semuanya menekankan pengaruh Hegel atas Marx; Neo Kantianisme Galvano Delavolpe dan Lucio Colleti; Marxis Hegelianisme Jean Hyppolite dan Alexandre Kojeve; Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Maurice Merleau Ponty; Marxisme fenomenologis Tran Duc Thao dan Karel Kosik; teori Kritis mazhab Frankfurt dengan tokoh tokohnya Marcuse, Horkheimer, Adorno dan Habermas; mazhab ortodoksi baru Louis Althusser; tendensi Johnson Forrest dengan tokoh tokohnya C.L.R. James dan Raya Dunayevskaya; mazhab Socialism

ou Barbarie dengan tokoh tokohnya

Cornelius Castoriadis dan Claude Lefort, serta mazhab Kiri Baru Italia dengan tokoh tokohnya, Raniero Panzieri, Tronti dan Antonio Negri.7 Pembagian ini belum sepenuhnya benar dan lengkap karena belum memasukkan tendensi dari pemikiran Zizek dan Badiou misalnya, dan belum juga memasukkan unsur tendensi feminis Marxis, ataupun Geografi Marxisme David Harvey yang dipengaruhi oleh mazhab anales (spasial) Fernand Braudel. Lebih lebih ketika Cleaver secara sembrono memasukkan Althusser sebagai pemikir ortodoksi Marxisme dalam bentuk yang baru, dan tendensi Birmingham

Cultural Studies dengan tokoh tokohnya,

Raymond Williams, dan EP Thompson sekedar sebagai bagian dari Western

Marxism. Tetapi sebagai sebuah peta

sederhana tentang pembacaan terhadap

Das Kapital, Cleaver menyediakan basis

bibliografik untuk pembacaan Das Kapital di STF Driyarkara. Oleh karenanya di dalam proses belajar nantinya diupayakan beberapa macam pembahasan. Pertama pembahasan secara literer tekstual yang berdasarkan atas pemaknaan terhadap teks

Das Kapital, dan yang kedua pembahasan

secara interpretatif dan elaboratif yang merujuk pada silang referensi antara karya karya Marx sebelum Das Kapital dan

Das Kapital, maupun Das Kapital dengan

karya karya para penafsirnya. Barangkali hanya mereka yang kurang kerjaan mau berpikir tentang Das Kapital dalam cara yang begitu rumit ini.

Pembahasan yang elaboratif dan interpretatif sebenarnya juga bukan sesuatu yang baru, karena sudah banyak tersedia karya karya tulis ilmiah yang mempelajari satu atau beberapa gagasan dalam Das Kapital. Ambil contoh studi studi yang dilakukan oleh Walter Benjamin mengenai fetisisme komoditi, reproduksi modal dan reproduksi budaya sebagai yang tertuang dalam karyanya The Work

of Art in the Age of Mechanical Reproduction.

Kemudian studi Georg Simmel tentang kehidupan kota besar yang meletakkan unsur ekonomi uang sebagai relasi sosial yang membentuk sosio-psikologi masyarakat kota, tertuang dalam tulisannya, Metropolis. Dalam bidang sejarah, pemaknaan atas ruang studi sejarah yang tidak hanya berbatas pada urut urutan waktu tetapi sebagai rangkaian peristiwa yang berserakan tanpa narasi tunggal telah melahirkan pemahaman tentang demokratisasi sejarah yang berangkat dari pengalaman hidup mereka yang dipinggirkan. Sejarawan Inggris EP Thompson sudah memulainya, dan kemudian diformulasikan secara filosofis oleh Alain Badiou, menginterpretasikan kembali sejarah yang dipikirkan oleh Karl Marx sebagai sejarah aktivitas manusia. Semuanya ini menunjukkan bahwa yang ditulis oleh Marx dalam Das Kapital telah menjadi sumber yang inspiratif bagi proyek proyek pembebasan manusia maupun bagi pengembangan studi filsafat.

(5)

Problem Filsafat



No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

Das Kapital, kami mempersiapkan sejumlah

teks pendukung yang memungkinkan para peserta diskusi membaca dalam makna yang interpretatif. Pertama kami mengupayakan agar setiap peserta bisa mendapatkan buku Das Kapital yang diterbitkan oleh Penguin Publisher. Kedua kami juga mengupayakan adanya pendataan atas buku buku studi Das Kapital baik yang tersedia di perpustakaan STF Driyarkara maupun di perpustakaan lain. Sebagai contoh, buku Dictionary of Marxist

Thought yang ditulis oleh Tom Bottomore

sejauh yang kami ketahui tersedia di perpustakaan Freedom Institute. Kemudian kami juga mengupayakan adanya sebuah perpustakaan file digital dalam bentuk CD/DVD yang berisi karya karya lengkap Karl Marx beserta para penafsirnya. CD/DVD ini sebenarnya dapat dipesan secara gratis ataupun diunduh secara gratis pula via internet. Perpustakaan ini juga menyediakan adanya buku buku pendukung studi Das Kapital ataupun artikel-artikel jurnal internasional dalam bentuk file digital, dan kuliah 12 kali pertemuan membaca Das Kapital yang diampu oleh David Harvey dalam format

file Audio dan Video. Pendeknya, kami

berusaha mempersiapkan proses belajar ini dari segi ketersediaan materi, yang mana akan dapat dipenuhi selambat-lambatnya pada diskusi pertama buku

Das Kapital. Karenanya kami berharap

nantinya agar peserta diskusi dapat berpartisipasi aktif di dalam proses belajar, tidak sekedar melewatkan waktu demi membuang ludah-ludah keresahan tetapi juga mempersiapkan gagasan gagasan yang dapat diartikulasikan secara ilmiah ke hadapan publik; merencanakan sesuatu untuk ditulis tepatnya.

Problem proses belajar, sekali lagi bukan sesuatu yang mudah. Bagi kami yang belum selesai menuntaskan

kuliah problem waktu dan tenaga, serta latar belakang pendidikan yang beragam di antara kami kerap membuat kami kurang begitu yakin apakah kami cukup memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan serial diskusi ini. Lebih-lebih kekurangyakinan ini diwarnai juga oleh sejumlah pertanyaan yang penuh prasangka dari kalangan mahasiswa STF Driyarkara, yang membuat kami penat berpikir perihal relasi sosial di dalam lingkup masyarakat akademik. “Apakah acara ini bermuatan politis?”, “Apakah acara ini didanai oleh organisasi di luar STF Driyarkara?”, “Apakah acara ini bertujuan memperburuk citra STF Driyarkara di hadapan publik?”, “Apakah acara ini bertujuan membentuk embrio Partai Komunis yang baru?”, dan sebagainya, ini semua yang kami tangkap sebagai sesuatu yang penuh kewajaran. Bahkan sehari sebelum acara ini dimulai masih ada yang berpesan agar acara ini sebaiknya dilangsungkan di Gedung Juang ‘45 dan bukan di STF Driyarkara. Sesungguhnya kami di sini perlu meminta maaf kepada berbagai pihak apabila keberadaan kami yang ingin mempelajari buku Das Kapital di STF Driyarkara sebagai sesuatu yang salah dan tidak dapat dibenarkan sama sekali. Sungguh, kami pun bersedia mengundurkan diri sebagai mahasiswa STF Driyarkara apabila di dalam proses belajar nantinya terjadi usaha-usaha pembentukan embrio partai Komunis. Bahkan di dalam pikiran pun kami mencoba memperhitungkan agar segala sesuatu yang berbau ‘politis’ dalam arti agitasi dan propaganda dapat diminimalisasi selama proses belajar. Selebihnya kami hanya dapat bersyukur kepada Allah Yang Maha Kuasa karena ternyata hegemoni Orde Baru jauh lebih berpengaruh dibanding segala macam pengajaran maupun fasilitas perpustakaan

filsafat di STF Driyarkara. Oleh karena ternyata filsafat jauh lebih tidak berharga ketimbang doktrin Rejim Orde Baru: bahwa belajar Marxisme sama dengan menyebarluaskan ideologi Marxisme Leninisme. Seperti sebuah pemenjaraan intelektual yang dikemukakan oleh mereka yang berpikir seperti Rejim Orde Baru tetapi sesungguhnya tidak memiliki kepribadian. Seperti inlander di masa kolonial Hindia Belanda yang begitu rupa memuja muja stabilitas, tetapi sesungguhnya itulah kedok dari sikap suka menjilat ke atas dan nginjek ke bawah! Akhirnya mungkin akan semakin benar yang dikemukakan oleh Karl Marx dalam Theses on Feuerbach, bahwa filsafat hanya mampu menggambarkan dunia, yang kemudian kami baca sebagai filsafat hanya mampu menjadi pembenar dari ideologi kelas berkuasa. “Padahal yang lebih penting adalah bagaimana mengubahnya”, demikian lanjut Marx, yang lalu kami baca sebagai kritik terhadap ideologi kelas berkuasa.

Problematik proses pendidikan lebih berkenaan dengan problem penciptaan sebuah proses belajar bersama yang tidak mendefinisikan kemampuan seseorang sebagai yang paling menguasai dibanding yang lain. Kebetulan saja beberapa di antara kami pernah membaca beberapa karya Karl Marx, tetapi itu tidak mengandaikan bahwa kami lah yang paling menguasai pemikiran Karl Marx. Banyak hal yang belum kami pahami dari pemikiran Karl Marx dan oleh karenanya kami mengundang teman teman sekalian untuk dapat berpartisipasi di dalam serial diskusi ini. Oleh karenanya juga kami berharap di dalam proses diskusi nantinya dapat dibentangkan sebuah panorama kegembiraan intelektual yang tiada habis-habisnya seperti yang digambarkan oleh Buyung Saleh Puradisastra dalam puisinya

di tahun 1945:

SEKEDAR PERMINTAAN8

Tidak terlampau aku meminta dari hidupku kini di sini dan tak kutolak beban derita

yang merusakkan ruh dan jasmani Aku sekadar meminta Cinta

penuh dan padu, mutlak dan murni mengisi hati semua kita

keturunan Adam di bumi ini. Aku ingin yang segala mahluk penuh kasih antara sesama bagia hidup setimbang tenang. Aku yakin segala yang buruk bukannya sifat untuk selama: pasti nanti Kebajikan kembang Demikian orasi ini kami sampaikan, dan semoga segala yang hadir di sini dapat tetap menatap awan di dalam gelap

Catatan Akhir

1. Karl Marx, Economic and Philosphical

Manuscript 1844, diambil dari Kenneth A.

Megill, The Community in Marx’s Philosophy, dalam Philosophy and Phenomenological Research, Vol. 30, No. 3. (Mar., 1970), pp. 382-393. h. 388, melalui situs web http:// links.jstor.org/sici?sici=0031-8205%281970 03%2930%3A3%3C382%3ATCIMP%3E2.0 .CO%3B2-Z.

2. Antonio Gramsci, The Study of Philosophy, diambil dari situs web www.marxists.org 3. Ibid.

4. Henri Lefebvre, Sociology of Marx, diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh Norbert Gutterman, Columbia University Press, 1968, hlm. 55.

5. Bdk. Harry Cleaver, Reading Capital

Politically, Texas University Press, h. 31

6. Ibid. Figure 1. 7. Ibid. hlm. 46.

8. H.B. Jassin (ed.), Gema Tanah Air, Prosa

dan Puisi 1942-1948, Dinas Penerbitan Balai

(6)

Problem Filsafat

0

No. 1 / Tahun I / November 2009

No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

Sebenarnya bukanlah

sesuatu yang cukup sederhana untuk membeberkan lahir dari mana gagasan Karl Marx di dalam membuat buku

Das Kapital. Ada banyak perkembangan

situasi yang begitu berpengaruh terhadap pemikiran Marx, dan begitu banyak juga pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Marx baik sebagai jurnalis, intelektual, maupun sebagai aktivis politik. Oleh sebab itu di dalam hal ini kami coba mendekati asal-usul pemikirannya lewat sebuah rekonstruksi rasional dari keberadaan buku Das Kapital.

Pemikiran Marx tentang ekonomi, sebenarnya perlu dicermati sebagai kepedulian terhadap perkembangan kesadaran politik, dan bukan sekedar kepedulian terhadap perkembangan

Editorial

:

Pada orasi yang kami sampaikan sepekan yang lalu telah kami

paparkan dengan ringkas perihal berbagai macam persiapan di

dalam penyelenggaraan serial diskusi Membaca Kapital. Baru pada

kesempatan ini kami sampaikan dengan lebih lapang perihal

keberadaan buku Kapital, beserta metodologi pembacaan buku

Kapital secara lebih programatik dan terinci. Dua artikel pertama

berkait dengan keberadaan buku Kapital, sedangkan selebihnya

adalah yang berkait dengan metodologi pembacaan Kapital. Oleh

karenanya, lebih kurangnya kami berharap banyak masukan

bergulir seiring dengan perkembangan penyelenggaraan serial

diskusi ini.

Adanya Buku Das Kapital

oleh: I Gusti Anom Astika

ekonomi kapitalis. Walaupun dirinya sendiri mengatakan bahwa buku Das Kapital adalah penggambaran tentang proses produksi kapitalisme, dalam arti hukum-hukum yang mengatur gerak ekonomi kapitalis1, tetapi perlu diperhatikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Marx selalu berada dalam pemikiran tentang dua aras perkembangan kesadaran manusia yang bergerak dan berubah-ubahnya selalu dipengaruhi oleh relasi-relasi sosial dan bangunan ekonomi politik. Apa yang tampak dalam keseharian sebagai fenomena kesadaran dan tindakan sosial merupakan aras yang pertama, sementara pemikiran yang sistematis dan praktek yang terencana lebih serupa fenomena untuk aras yang kedua. Dasar dari pemikiran tentang dua aras ini dikemukakan oleh

Marx dalam Kemiskinan Filsafat (The

Poverty of Philosophy):

“Jadi, apakah metode mutlak ini? Yalah abstraksinya gerak. Apakah abstaksinya gerak itu? Yalah gerak dalam kondisi abstrak. Apakah gerak

dalam kondisi abstrak itu? Yalah perumusan logis semurninya dari gerak

atau gerak nalar semurninya. Terdiri atas apakah gerak nalar

semurninya itu? Dalam memajukan diri sendiri, dalam melawan diri sendiri, dalam menggubah diri sendiri; dalam merumuskan dirinya sendiri sebagai tesis, antitesis, sintesis; atau lagi-lagi, dalam

mengafirmasi/menegaskan diri sendiri, menegasi diri sendiri dan menegasi negasinya.”2

Beberapa tahun sebelumnya di dalam The

German Ideology, Marx menegaskan:

“Berangkat dari pembagian kerja, di dalam mana semua kontradiksi ini menjadi implisit, dan yang sebaliknya berdasar pada pembagian kerja alami di dalam keluarga dan pemisahan masyarakat ke dalam keluarga keluarga individual yang saling bertentangan satu dengan yang lain, secara simultan diberikan distribusi dan sesungguhnya distribusi yang tidak adil baik secara kuantitatif maupun kualitatif atas kerja dan produk-produknya, sehingga kepemilikan adalah keluarga inti, bentuk pertama yang berada di dalam keluarga, di mana anak-anak dan istri adalah budak budak dari sang suami.”

(With the division of labour, in which

all these contradictions are implicit, and which in its turn is based on the natural division of labour in the family and the separation of society into individual

families opposed to one another, is given simultaneously the distribution, and indeed the unequal distribution, both quantitative and qualitative, of labour and its products, hence property: the nucleus, the first form, of which lies in the family, where wife and children are the slaves of the husband.)3

Kedua kutipan di muka sebenarnya merefleksikan dialektika di dalam kedua aras di muka. Apa yang tampak dalam kutipan pertama lebih serupa pemikiran tentang nalar. Tetapi jika nalar itu diletakkan dalam relasi sosial maka makna dari nalar tersebut serupa dengan pembagian kerja di dalam masyarakat. Artinya di sini Marx mencoba menyusun sebuah kerangka berpikir bahwa di dalam berbagai bidang kehidupan, di dalam mana individu-individu manusia berkembang satu dengan yang lain, problem keberadaan diri manusia dibangun melalui dialektika diantara ‘pikiran’ dan ‘menjadi’ serta di antara ‘kesadaran’ dan ‘tindakan’ di dalam bentuk kerja, yang juga berdialektika dengan relasi-relasi sosial di dalam masyarakat. Sehingga bukan sesuatu yang biasa-biasa saja ketika Marx berpendapat bahwa :

“Di atas segalanya penting untuk menghindari mempostulasikan ‘masyarakat’ sekali lagi sebagai abstraksi yang berlawanan dengan individu. Sebab individu adalah ada sosial. Manifestasi dari kehidupannya, --bahkan jika manifestasi itu tidak muncul langsung dalam bentuk manifestasi komunal, yang diselesaikan melalui kerjasama dengan manusia-manusia yang lain-- oleh karenanya adalah sebuah manifestasi dan penegasan akan kehidupan sosial.

Dalam kesadaran spesiesnya, manusia menegaskan kehidupan

(7)

Problem Filsafat



No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

sosial sejatinya, dan mereproduksi

eksistensi sejatinya di dalam pemikiran.... Manusia mengada (exists) dalam realitas sebagai representasi dan pemikiran sejati tentang eksistensi sosial dan sebagai kesatuan manifestasi manusia akan kehidupan.“4

Oleh sebab itu di dalam pembahasan terhadap buku Das Kapital, perspektif Kerja sebagai bagian dari perkembangan kesadaran manusia dan Kerja itu sendiri sebagai manifestasi dari kehidupan manusia yang selalu lekat di dalam lingkup relasi sosial, pembagian kerja dan pertukaran sosial berperan penting di dalamnya.

Keberadaan manusia di dalam lingkup relasi sosial boleh dianggap sebagai sesuatu yang perlu dipersoalkan selalu. Apa sebabnya? Karena keberadaan manusia di sini bukan sebagai sesuatu yang otonom dan begitu saja berperan di dalam kehidupan sosial lepas dari pengaruh kehidupan sosial itu sendiri. Sementara relasi sosial adalah sesuatu yang bergerak di luar kemampuan pemikiran maupun kesadaran manusia, di mana di dalamnya terdapat pertarungan kepentingan di antara kelompok-kelompok sosial, pertarungan kepemilikan di antara kelompok-kelompok sosial, dan berbagai pertarungan lain yang semuanya menyediakan ruang bagi beradanya manusia dengan aras-aras yang sudah disebutkan di muka.

Problem kedua di dalam pembahasan terhadap buku Das Kapital adalah pada keberadaan dari kelas-kelas sosial yang berlaku di masyarakat. Dalam banyak tulisannya, terutama dalam Perang

Sipil di Prancis, Marx secara lugas dengan

berdasar pada narasi sejarah menyatakan: “Dan (Rakyat) Paris sekarang perlu memutuskan apakah harus meletakkan senjatanya pada instruksi

yang menghina yang diajukan oleh para pemilik budak dari Bordeaux, dan mengakui bahwa Revolusi rakyat Paris di tanggal 4 September tidak bermakna apapun kecuali sekedar alih kekuasaan dari Louis Bonaparte kepada para pesaing kerajaannya; atau rakyat Paris harus berdiri di depan mengorbankan diri sebagai pejuang Prancis, yang bisa diselamatkan dari kehancuran dan regenerasinya dimungkinkan hanya dengan penggulingan revolusioner terhadap kondisi sosial dan politik yang mendukung Kekaisaran Kedua, ...Rakyat Paris yang sudah dikuruskan oleh kelaparan selama lima bulan, tidak ragu ragu untuk memilih satu kalipun. Rakyat Paris secara heroik memutuskan untuk melancarkan semua serangan perlawanan terhadap para konspirator Perancis, dan bahkan terhadap meriam meriam Prussia ...”

(And Paris was now either to lay down

her arms at the insulting behest of the rebellious slaveholders of Bordeaux, and acknowledge that her Revolution of September 4 meant nothing but a simple transfer of power from Louis Bonaparte to his royal rivals; or she had to stand forward as the self-sacrificing champion of France, whose salvation from ruin and who regeneration were impossible without the revolutionary overthrow of the political and social conditions that had engendered the Second Empire, ... Paris, emaciated by a five-months’ famine, did not hesitate one moment. She heroically resolved to run all the hazards of a resistance against French conspirators, even with Prussian cannon...)5

Apa yang dikemukakan oleh Marx melalui kutipan di muka sebenarnya adalah gambaran tentang realitas relasi antar kelas-kelas sosial. Ada kelas sosial yang

tetap memperjuangkan kepentingannya sebagai penguasa negeri, sebagai yang tetap berkehendak memiliki budak-budak, dan ada kelas sosial yang berupaya mengubah sistem politik yang menindas mereka, kelas rakyat jelata. Apakah sebenarnya yang ingin dikemukakan oleh Marx melalui penggal paragraf 5 itu?

Praktis di dalam berbagai tulisannya Marx tidak pernah membuat definisi yang baku tentang apa itu kelas. Sekalipun banyak dari para pendukung maupun penafsirnya berusaha membuat definisi yang baku tentang kelas, namun upaya pendefinisian tersebut justru akan memiliki kemungkinan banyak kerumitan di dalam relasi sosial yang berkembang dan berubah-ubah menurut ruang dan waktu. Apa yang mungkin dijawab oleh Marx atas pertanyaan di muka adalah seperti yang terdapat dalam tulisannya

The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.6 Diceritakan oleh Marx bahwa ada satu masa di dalam pemerintahan Louis Bonaparte, di mana berbagai faksi kelas borjuasi Prancis berperang politik di dalam memperjuangkan gagasan gagasan mereka tentang kebebasan hingga mewujud dalam bentuk Undang-Undang Dasar yang baru. Seperti misalnya gagasan bahwa warga negara memiliki hak untuk berkumpul secara damai dan tidak bersenjata, untuk mengeluarkan petisi dan mengungkapkan pendapat, baik melalui pers atau melalui cara lain, yang pelaksanaannya secara tanpa batas akan mengamankan hak hak yang setara dari yang lain dan keamanan publik; Kebebasan pendidikan harus dilaksanakan di bawah syarat syarat yang ditetapkan oleh hukum dan dibawa kontrol tertinggi negara.

Education is free. Freedom of education shall be enjoyed under the conditions fixed by law and under the supreme control of the state.

Akan tetapi Marx lalu mengajukan kritik bahwa segala hal yang disebutkan sebagai

kebebasan di dalam konstitusi tersebut pada dasarnya justru mengkhianati kebebasan itu sendiri oleh sebab penambahan ide ‘yang lain’, ‘keamanan publik’ dan ‘ditetapkan oleh hukum’ sebagai sesuatu yang “mengamankan” kebebasan.7 Artinya kemudian, kelas-kelas yang memperjuangkan kebebasan tidak paham dengan hakekat kebebasan itu sendiri, dan lebih jauh lagi tidak paham dengan keberadaannya sebagai kelas yang mampu mewujudkan kebebasan. Sehingga menjadi begitu sulit untuk mendefinisikan keberadaan kelas dalam relasi relasi sosial. Andaikata ditarik lebih rampat dan longgar lagi pendefinisiannya maka kelas adalah sebatas entitas sosial yang keberadaannya ditentukan oleh relasi relasinya pada proses produksi, seperti yang pernah dikemukakan oleh Lenin. Tetapi pendefinisian yang longgar ini pun cenderung mereduksi keberadaan kelas sebagai sesuatu yang hanya bermakna politik praktis, dan tidak melihat kelas sebagai bagian dari produksi sosial masyarakat. Pendek kata definisi Lenin tersebut mengenyahkan karakter kultural dari sebuah kelas sosial sebagai bagian dari produksi sosial.

Hal ketiga berkait dengan problem problem ekonomi politik. Sebagaimana yang tampak dalam tulisan tulisan awal Marx, ekonomi-politik sebagai realitas yang melingkupi relasi-relasi sosial dapat dilihat dalam diksi pemikiran sebagai berikut:

“Pekerja tidak selalu mendapatkan apa yang dihasilkan oleh kapitalis, tetapi sudah pasti akan turut jatuh ketika kapitalis mengalami kerugian. Sehingga pekerja tidak mendapatkan apapun ketika kapitalis menjaga harga barang di atas harga alaminya baik itu melalui jasa perdagangan atau produksi rahasia, ataupun melalui monopoli....

(8)

Problem Filsafat



No. 1 / Tahun I / November 2009

No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

Harga kerja dari berbagai macam

pekerja menunjukkan adanya berbagai perbedaan yang begitu lebar dibanding keuntungan yang dicapai oleh berbagai macam usaha di mana kapital berjalan. Dalam kerja semua keragaman alami, spiritual, dan sosial dari aktivitas individual dimanifestasikan dan diberikan penghargaan secara berbeda beda, sementara kapital justru memperlakukan sama dan mengabaikan kesejatian dari aktivitas individual”.8

Apa yang dikemukakan oleh Marx dalam dua alinea dari Manuskrip Ekonomi

dan Politik 1844 di muka sebenarnya

merepresentasikan bagaimana pekerjaan yang sesungguhnya merupakan hakekat dari aktivitas individual di dalam realitas sosial adalah sesuatu yang mampu dipertukarkan, dalam arti diperjualbelikan. Apabila dikembalikan pada konteks relasi relasi sosial sebagaimana yang sudah disampaikan di muka maka relasi pekerja dengan obyek kerjanya, hubungan antara pengrajin sepatu dengan sepatu yang dikerjakan olehnya, dalam hal ini tidak bermakna apa-apa ketika keberadaan dari si pengrajin itu tak lebih dari pekerja dari industri sepatu. Pola hubungan di antara pekerja pabrik sepatu dan pemilik pabrik sepatu diperantarai oleh sesuatu yang belum dapat dimaknakan apapun kecuali alat pertukaran, yaitu uang. Di dalam penjelasannya tentang uang, Marx berpendapat bahwa uang merupakan alat tukar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; pengabstraksian kerja dalam bentuk uang mengandaikan dialektika di antara pekerjaan/kerja yang secara sosial dibutuhkan untuk membuat barang dagangan/komoditi, dengan proses produksi kapitalisme yang justru meniadakan kerja manusia itu sendiri. Sehingga proses produksi kapitalisme

dalam kelanjutannya hanya menempatkan manusia sebagai bagian dari proses akumulasi modal. Walaupun begitu, Marx melihat bahwa proses produksi kapitalisme bukan lah sesuatu yang kekal dan tetap, melainkan sesuatu yang sangat mungkin berubah dan bahkan mengalami kehancuran oleh karena kontradiksi kontradiksi yang terjadi di dalam proses produksi tersebut. Mirip dengan contoh alinea yang diberikan di muka, maka sudah seperti kewajaran bahwa proses produksi kapitalisme tidak akan pernah menurunkan harga barang dagangan/ komoditi, sementara penghargaan terhadap kerja manusia akan selalu direndahkan, demi mencapai keuntungan yang sebesar besarnya. Sebagai akibatnya daya beli masyarakat menjadi melemah, dan inflasi merajalela seperti yang kerap terjadi di Indonesia belakangan ini.

Dari tiga hal yang sudah di sampaikan di muka setidaknya di dalam pembahasan terhadap buku Das

Kapital dapat bergerak melalui sisi sisi

ekonomi, politik, dan filsafat, oleh karena dari sanalah Marx lalu secara serius melakukan riset di British Museum untuk menghasilkan Das Kapital.

Catatan Akhir

1. Preface to Capital.

2. Karl Marx, Kemiskinan Filsafat, diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen, Penerbit Hasta Mitra, hlm. 78.

3. Karl Marx, The German Ideology, Chapter II, Private Property and Communism, diambil dari situs web www.marxists.org

4. Karl Marx, Economic and Political

Manuscript, di dalam Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx,

Cambridge University Press, 1968, hlm. 87.

5. Karl Marx, The Civil War in France, bab Paris Workers’ Revolution and Thiers’

Reactionary Massacres, diambil dari situs

web www.marxists.org

6. Bdk. Karl Marx, Eighteenth Brumaire of

Louis Bonaparte, Bab II, diambil dari situs

web www.marxists.org 7. Ibid.

8. Karl Marx, Economic and Political

(9)

Problem Filsafat



No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

Di dalam berbagai perbincangan

tentang perkembangan ekonomi politik sebagaimana yang berlangsung selama satu hingga dua dekade terakhir di Indonesia, problematik kelaparan, dan kesengsaraan akibat kemiskinan seperti sesuatu yang berada di luar perkembangan itu. Ia serupa perbincangan tentang kepedulian sosial, dan bukan bagian dari ekonomi politik. Apakah kemiskinan atau kelaparan itu merupakan hasil dari penerapan kebijakan ekonomi tertentu, ataukah itu merupakan problem yang berlangsung bersama dengan penerapan kebijakan tersebut, semuanya seperti tidak ingin dihubungkan. Seperti yang tampak dalam perbincangan seputar korupsi yang marak belakangan ini, hampir tidak ada satu pun gagasan tentang “kepedulian sosial” tercakup di dalamnya. Seluruhnya berkutat pada proses hukum, dan tentang si A bicara apa dan kemudian dibantah oleh si B yang menganggap perbincangan si B tidak benar. Lebih-lebih ketika semua dimensi dalam perbincangan tersebut seperti disekap di dalam ruang isi penyadapan telepon yang dilakukan oleh sejumlah orang yang diduga terlibat dalam satu kasus korupsi tertentu. Tak satu pun gagasan tentang kaitan antara korupsi dan kemiskinan/pemiskinan masyarakat dapat berkembang di dalam perbincangan tersebut. Seolah-olah antara tindak korupsi dan fenomena kemiskinan adalah sesuatu yang tak mungkin dihubungkan oleh karena pemahaman terhadap fenomena korupsi dan fenomena kemiskinan/

Apa Perlunya Membaca Das

Kapital?

oleh: I Gusti Anom Astika

Artikel 2

pemiskinan masyarakat kerap terjebak dalam partikularitas salah kaprah, yang tidak menghubungkan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain. Demikian juga dengan filsafat yang pada awalnya berusaha menjawab problem-problem irasionalitas dalam kehidupan manusia, baik itu dalam kerangka mempertanyakan berbagai fenomena alam maupun fenomena kehidupan sosial, pada perkembangannya kemudian menjadi semacam lembaga pembenar perilaku ataupun lembaga etik sebagaimana yang diinginkan oleh para pemilik modal. “Berusahalah sepenuh hidupmu, maka di sana kan tampak dunia bahagia mendapatkanmu”, demikian kata seorang motivator di sebuah acara stasiun televisi. Sementara bagaimana sebuah pemikiran berkemampuan menggelontorkan segala macam bentuk kritisisme di dalam masyarakat, seperti tidak pernah dipelajari dan seperti tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang filosofis. Pada titik ini pemikiran Marx tentang ekonomi, politik dan filsafat justru memberikan banyak pertanyaan terhadap filsafat. Salah satu contohnya adalah ketika Marx mempersoalkan pembreidelan pers yang dilakukan oleh pemerintah Prusia, dengan menyatakan bahwa

“Kebebasan adalah bagian esensial dari hakekat manusia sekalipun musuh musuh kebebasan berusaha merealisasikan kebebasan dengan melawan realitas kebebasan; musuh musuh kebebasan ini ingin merampas

bagi dirinya sendiri permata agung kemanusian ini yang mereka tolak sebagai permata hakekat manusia... karenanya bahaya yang paling mematikan bagi setiap manusia adalah kehilangan kebebasannya...

“Dalam rangka melawan

kebebasan pers, seseorang harus mempertahankan titik pijak bahwa ras manusia tidak memiliki

kemampuan untuk mencapai

kedewasaan... Jika ketidakdewasaan manusia merupakan alasan mistik yang dipergunakan sebagai ungkapan untuk melawan kebebasan pers, maka tindak pembredelan pers sebenarnya di dalam banyak hal adalah sarana yang paling rasional untuk meyakini bahwa manusia tidak pernah dewasa.”1

Gagasan Marx yang tertuang pada dua alinea di muka setidaknya menggambarkan bagaimana peran filsafat seharusnya di dalam menjawab persoalan persoalan sosial. Bukan dalam arti filsafat harus terjun ke dalam politik praktis tetapi filsafat sebagai cara untuk membangun kritik terhadap keberadaan manusia yang filosofis, seperti yang tampak dalam gagasan tentang kebebasan. Bagaimana jika kemudian filsafat justru menjadi pembenar bagi gagasan kebebasan yang diajukan oleh kelas yang berkuasa?

Dalam hal ini Marx menjawab pertanyaan di muka secara eksplisit dalam tulisan The Poverty of Philosophy bahwa:

“Di Inggris, pemogokan-pemogokan telah secara teratur telah melahirkan penemuan baru dan penerapan mesin mesin baru. Mesin-mesin adalah, boleh dikatakan, senjata yang dipakai oleh kaum kapitalis untuk menindas pemberontakan kerja yang dispesialisasikan. Keledai yang berswa-laku, penemuan terbesar dari industri modern, telah

melumpuhkan kaum pemintal yang sedang memberontak. Jika kombinasi-kombinasi (tindakan) dan pemogokan-pemogokan tidak berakibat lain daripada membuat usaha usaha sang jenius mekanikal bertindak terhadap mereka, maka mereka akan tetap mempengaruhi pengaruh luar biasa terhadap industri.”2

Memang, Marx memang menunjukkan tentang perlunya perlawanan terhadap pemikiran yang justru membelenggu kebebasan manusia walaupun sepertinya membebaskan manusia. Tetapi yang lebih penting di sini adalah pemahaman terhadap logika filosofis yang membenarkan pembelengguan atas kebebasan manusia. Seperti itulah bentuk perlawanan yang perlu dilakukan, mengambil posisi kritis terhadap segala hal yang membelenggu kebebasan manusia. Henri Lefebvre kemudian memperjelas pemikiran Marx dengan menyatakan bahwa:

“...Setiap kemungkinan yang menghadirkan manusia selalu berhadapan dengan dua alternatif –yaitu alienasi yang lebih besar, dan akan disalienasi. Alienasi, seperti proses lainnya, akan cenderung menjadi nyata. Disalienasi dihasilkan melalui perjuangan yang sadar yang bergerak maju lebih sadar ketika kelas pekerja muncul di dalam tahapan sejarah-- melawan alienasi. Di manapun dan selalu manusia yang sosial, adalah yang memperbaharui, yang kreatif, sebagaimana juga dimanapun dan selalu manusia terbelenggu oleh pencapaiannya sendiri.”3

Penjelasan yang diberikan oleh Lefebvre mungkin bisa menjadi satu daya bagi kita para pelajar filsafat, yang kerap bertanya tanya tentang bagaimana masa depan lulusan filsafat. Pun realitas menunjukkan

(10)

Problem Filsafat



No. 1 / Tahun I / November 2009

No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

bahwa di berbagai perguruan tinggi di

Indonesia, jurusan filsafat adalah jurusan yang tidak menjanjikan masa depan. Bagi kami dari komunitas Marx, mempelajari filsafat adalah cara untuk mempertanyakan semua yang tampaknya tersedia tapi nyatanya irasional, cara untuk bersikap kritis terhadap segala sesuatu yang tampak indah tapi justru membelenggu kehidupan manusia. Demikian juga dengan buku Das

Kapital yang menunjukkan dengan jelas

bagaimana segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia seperti tidak memiliki nilai apapun ketika masuk di dalam relasi relasi sosial yang bersifat ekonomis, dan bagaimana relasi relasi sosial yang bersifat ekonomis itu dibentuk oleh kapitalisme.

Catatan Akhir

1. Karl Marx dalam Marx-Engels Werke jilid 1 hlm. 48-49, 51, 60 sebagaimana yang dikutip oleh Maximillien Rubel dalam

Marx Without Myth, Basil Blackwell, 1975,

hlm. 24-25.

2. Karl Marx, Kemiskinan Filsafat, diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen, Penerbit Hasta Mitra, 2004, hlm. 175. 3. Henry Lefebvre, Sociology of Marx, diterjemahkan oleh Norbert Gutterman, Random House 1968, hlm. 54.

Artikel 3

Berpikir dengan Pendekatan Materialisme

Dialektis dan Historis

oleh: Martin Suryajaya

“Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah metode-nya” sedangkan “materialisme historis adalah penerapan atau pengenaan mate-rialisme dialektik ke alam sejarah manu-sia”—demikian tutur Njoto dalam kuli-ahnya di tahun 1961.1 Kedua pernyataan tersebut dapat kita uraikan dalam tiga pokok pengertian: materialisme, dialek-tika dan historisitas. Melalui uraian atas pokok-pokok ini kita akan mengerti apa yang dimaksud sebagai “berpikir dengan pendekatan materialisme dialektis dan historis”.

1. Materialisme

Seperti kita ketahui secara umum, materialisme pada mulanya meru-pakan gugus pengertian bahwa materi (ikhwal indrawi) adalah hakikat dari reali-tas. Marx merubah pandangan umum ini. Baginya, materialisme macam itu hanya benar untuk materialisme klasik hingga abad ke-18. Dalam Tesis pertamanya tentang Feuerbach, Marx menunjukkan pengertian baru dari materialisme:

“Kekeliruan mendasar dari materi-alisme yang ada sampai saat ini— termasuk juga Feuerbach—adalah bahwa benda [Gegenstand], realitas, keindrawian, dimengerti hanya dalam bentuk obyek [Objekt] atau kontemplasi [Anschauung], tetapi

ti-dak sebagai aktivitas indrawi manu-sia, praktik, [atau dengan kata lain] tidak secara subyektif.”2

Materialisme sebelum Marx hanya mema-hami materi sebagai obyek indrawi bela-ka. Pengertian ini tak mampu menyadari bahwa obyek-obyek material itu adalah juga hasil dari aktivitas subyektif manu-sia. Sentralitas pada obyek ini dibalikkan oleh Marx dengan menunjukkan peran sentral subyek, manusia, dalam konstitusi materialitas hal-ikhwal. Dengan pendeka-tan yang dapat disebut sebagai “material-isme subyektif” inilah Marx lantas dapat menunjukkan sesuatu, selain obyek ma-terial, yang konstitutif terhadap realitas. Sesuatu itu tak lain adalah kerja.

Pengertian Marx tentang materi-alisme ini merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah pemikiran. Pengertian ini pulalah yang, dalam tafsir Etienne Balibar, untuk pertama kalinya mampu melepas-kan materialisme dari idealisme.3 Selama materialisme hanya berhenti pada primasi pada materi sebagai esensi realitas, maka materialisme itu tak akan lebih dari “ide-alisme terselubung” (disguised idealism). Berdasarkan konseptualisasi Marx yang baru, kini materialisme menjadi subyektif dan terekspresikan dalam praktik konkret. Pembaharuan ini juga, bagi Balibar, meng-hasilkan konsepsi baru tentang subyek, yakni persamaan “subyek = praktik”.4

(11)

Ma-Problem Filsafat

0

No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

terialisme Marx adalah pengertian bahwa

keseluruhan obyek yang menyusun reali-tas ini tak lain adalah efek dari aktivireali-tas subyek. Dipahami dalam kerangka ini, tak ada yang sepenuhnya natural dalam reali-tas keseharian, tak ada nostalgia akan ke-murnian azali. Kenaikan harga sembako tidaklah alami, begitu juga hutan-hutan yang jadi gundul di Kalimantan, pema-nasan global dan matinya seorang buruh pabrik. Semuanya adalah efek dari kon-figurasi aktivitas manusia yang tertentu. Sikap kritis yang menolak untuk meman-dang realitas secara natural dan mengakui adanya intervensi subyektif yang justru mengkonstitusi kenyataan sehari-hari ini-lah yang disebut Njoto sebagai konsepsi materialis.

2. Dialektika

Kita juga tahu bukan Marx yang pertama kali berbicara mengenai dialek-tika. Sejak Platon, pemikiran filosofis senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis. Sokrates, junjungan Platon, sendiri ber-filsafat dengan dialektika, dengan dialog (ingat: asal kata Yunani dari dialektika adalah dialegesthai yang artinya “dialog”). Namun dari Hegel lah Marx menimba pelajaran mengenai dialektika. Pengan-daian dasar dialektika Hegel adalah

relas-ionalisme internal, yakni pengertian bahwa

keseluruhan kenyataan, dipahami seb-agai manifestasi-diri Roh, senantiasi ter-hubung satu sama lain dalam jejalin yang tak putus. Secara logis, term A hanya bisa dimengerti sejauh ada juga term non-A yang darinya A ditentukan sifatnya. Se-cara ontologis, Ada dapat dimengerti sejauh ia koeksis dengan Ketiadaan: Ke-tiadaan internal dalam definisi Ada dan Ada internal dalam definisi Ketiadaan. Relasionalisme internal segala hal-ikhwal inilah yang memungkinkan terwujudnya determinasi resiprokal antar elemen dari realitas. Dengan berlandaskan pengertian Spinoza bahwa “omnis determinatio est

ne-gatio” (semua determinasi adalah negasi),

bagi Hegel, relasi determinasi resiprokal ini adalah pula relasi negasi resiprokal: afirmasi (A), negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau “nega-si atas nega“nega-si” (non-non-A yang mencak-up intisari A dan non-A). Inilah yang bi-asanya kita kenal sebagai dialektika antara tesis-antitesis-sintesis. Dialektika inilah yang dimengerti Hegel sebagai dinamika internal dari realitas dan pikiran.

Lantas bagaimana posisi Marx

pada fase penggarapan Kapital terhadap

di-alektika Hegel itu? Pertanyaan ini sulit dijawab. Marx sendiri hanya mengomen-tari hal ini secara eksplisit satu kali, yakni dalam Kata Pengantar untuk Edisi Kedua dari Das Kapital jilid satu. Konteksnya adalah tuduhan yang dilayangkan pere-sensi Jerman dan Russia atas buku Kapital. Dalam resensinya mereka menyebut bah-wa traktat tersebut dipenuhi oleh “sofisme Hegelian”.5 Terhadap tuduhan ini, Marx menjawab:

“Metode dialektis saya, pada fon-dasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang ia transfor-masikan menjadi subyek independen di bawah nama ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil, dan dunia riil hanyalah penampakan eksternal dari idea. Dengan saya, kebalikan-nya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang dire-fleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pe-mikiran.”6

Dari pernyataan ini, seolah Marx sepenuh-nya memisahkan pengertian dialektikasepenuh-nya dari pengertian Hegel atasnya. Namun ini tidak sejelas yang kita kira. Dalam para-graf selanjutnya, Marx mendeklarasikan bahwa—berhadapan dengan fakta bahwa banyak intelektual Jerman pada masanya yang memperlakukan Hegel ibarat Moses

Mendelssohn memperlakukan Spinoza sebagai “anjing mati”—ia sendiri meru-pakan murid dari “pemikir besar itu”. Na-mun deklarasi kesetiaan ini kembali dilan-jutkan dengan distansiasi kritis.

“Mistifikasi yang diderita dialektika di tangan Hegel tidak membatalkan Hegel sebagai yang pertama yang mempresentasikan bentuk gerakan umumnya dalam cara yang kom-prehensif dan sadar. Dengannya di-alektika berjalan pada kepalanya. Ia mesti dibalik, untuk menyingkapkan inti rasional dalam cangkang mistis.

Dalam bentuk mistisnya, di-alektika digemari di Jerman sebab ia seolah mentransfigurasi dan men-gagung-agungkan apa yang eksis. Dalam bentuknya yang rasional, ia merupakan skandal dan ancaman bagi borjuasi dan para jurubicaranya sebab ia mengikutsertakan dalam pemahaman positifnya tentang apa yang eksis sebuah pengakuan secara bersamaan akan negasinya, akan ke-hancurannya yang tak terelakkan, sebab ia memandang segala bentuk perkembangan historis sebagai apa yang ada dalam kondisi cair, dalam gerakan, dan karenanya memandang aspek kesementaraannya pula, dan sebab ia tak membiarkan dirinya dikesankan oleh apapun, [sehingga] pada esensinya bersifat kritis dan revolusioner.”7

Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa dialektika Marx adalah saripati rasional dari cangkang mistis dialektika Hegel. Bagaimana deskripsi metaforis ini diterangkan? Dari pernyataan itu pula dijelaskan bahwa ia menolak dialektika Hegel sejauh itu dipahami sebagai glori-fikasi atas apa yang eksis, alias suatu jus-tifikasi atas status quo. Dengan demikian, selama dialektika Hegel masih dipahami dalam pengertian bahwa segala yang riil (situasi penghisapan, sistem yang

merep-resentasi rakyat dalam parlemen borjuis) niscaya rasional dan dengannya menjadi sah untuk eksis dan terus eksis, maka di-alektika Marx bukanlah didi-alektika Hegel. Namun, dari penjelasan Marx ini saja, tidak ada pengertian yang lengkap ten-tang relasi dialektika Marx dan Hegel. Para komentator Marx sendiri tak pernah memberikan jawaban yang seragam atas problem ini. Komentator seperti Mag-nis-Suseno, mengikuti tafsiran Jean-Yves Calvez SJ., cenderung menekankan kon-tinyuitas pemikiran Marx.8 Implikasinya, tak ada distingsi yang ketat atau patahan dalam pemikiran Marx “muda” yang masih Hegelian dan Marx pada fase lan-jut (termasuk fase penggarapan Kapital). Sebaliknya, komentator seperti Louis Al-thusser justru menekankan adanya pa-tahan (coupure) radikal yang mengantarai pemikiran Marx muda yang masih Hege-lian dan pemikiran Marx lanjut yang sa-masekali non-Hegelian.9

Oleh karena kerumitan ini, maka dalam kurikulum ini kita tidak akan me-mastikan makna yang tepat dari relasi Marx-Hegel. Biarlah problematika ini kita kupas bersama lewat diskusi-diskusi yang intens. Di sini cukup dimengerti bahwa Marx berhutang budi pada pemikiran Hegel tentang dialektika sebab dengannya realitas dapat dilihat sebagai sesuatu yang senantiasa berubah, cair dan bergerak ter-us menerter-us. Realitas, dengan demikian, adalah efek dari aktivitas subyektif yang, pada gilirannya, mendeterminasi aktivitas subyektif itu sendiri. Gerak determinasi resiprokal atau gerak dialektis inilah yang juga ditekankan oleh Marx. Dialektika, sesuai dengan pendapat Njoto, merupak-an metode dari materialisme Marxis. Arti-nya, filsafat Marx yang bertumpu pada konsepsi materialis—bahwa yang terse-lubung pada jantung realitas sesungguh-nya tak lain adalah praxis subyektif yang jadi material—hanya dapat diekspresikan oleh satu-satunya metode yang cocok

(12)

den-Problem Filsafat



No. 1 / Tahun I / November 2009

No. 1 / Tahun I / November 2009



Problem Filsafat

gan karakter materialis ini, yakni metode

dialektika—sebuah modus di mana ben-danya itu sendiri tidak hadir dalam sta-bilitas yang diam, melainkan telah selalu dalam gerak determinasi bolak-balik yang tak berkesudahan.

3. Historisitas

Kesejarahan merupakan tema sentral dalam diskursus Marx. Kita sering mendengar tentang ramalan Marx menge-nai tatanan komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika sejarah. Seolah-olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar realitas tengah merancang suatu Pe-nyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar sedunia. Seolah-oleh sejarah akan berpun-cak pada suatu konflagrasi final antara yang-Baik dan yang-Jahat, antara proletar dan borjuasi, dan akan berakhir dalam suatu surga dunia komunis. Pandangan inilah yang dikenal sebagai historisisme, atau pengertian bahwa sejarah dipimpin oleh suatu teleologi internal. Ada ko-mentator yang menyatakan bahwa his-torisisme Marx ini merupakan ekses dari ketergantungannya pada filsafat Hegel.10 Memang kita dapat menafsirkan filsafat sejarah Hegel sebagai konsepsi sejarah yang dipimpin oleh suatu teleologi internal sebab sejarah, bagi Hegel, pada dasarnya merupakan evolusi-diri Roh menuju pada kesadarannya yang paripurna. Ini-lah saIni-lah satu alasan mengapa Althusser bersusah payah membersihkan pemikiran Marx lanjut dari pengaruh Hegel. Althuss-er adalah alah seorang dari komentator kontemporer yang menekankan segi anti-historisis dari pemikiran Marx. Baginya tafsiran historisis atas Marx merupakan pembacaan yang bersifat voluntaristik, yakni pemahaman humanis tentang pro-letar sebagai “misionaris esensi manusia” (missionary of the human essence).11 Padahal, bagi Althusser, jika kita baca sungguh-sungguh Kapital dan bahkan karya-karya awal Marx, kita akan mengerti bahwa his-torisisme adalah problem yang asing

ter-hadap filsafat Marx.12

Memang benar bahwa konsepsi materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan pada praxis, dapat men-garah pada pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil bentukan manusia dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam his-torisisme. Apalagi skema Marx yang ter-kenal tentang infrastruktur (Unterbau) dan suprastruktur (Überbau) dapat menjurus pada historisisme: karena infrastruktur ekonomis mendeterminasi suprastruktur ideologis, maka perkembangan realitas ekonomi lah yang menentukan pembe-basan politik dari kelas proletar yang ter-hisap. Pada akhirnya, tafsiran semacam ini akan berujung pada suatu iman pada “keniscayaan historis” bahwa kapitalisme akan tumbang dengan sendirinya karena kontradiksi internalnya seperti dianali-sis Marx dan kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas sosial dunia. Namun pembacaan seperti ini abai terhadap relasi determinasi timbal-balik yang menstruktur relasi antara subyek dan sejarah dunia yang melingkupinya. Pembacaan histori-sis itu berpegang pada sebaris frase kunci yang tidak berasal dari Marx melainkan dari Engels, yakni “determinasi pada po-kok terakhir”.13 Artinya, determinasi pada pokok terakhir ada pada infrastruktur ekonomi. Terhadap tafsiran historisis ini, Althusser juga mengajukan sanggahan. Ini dilancarkannya melalui elaborasi konsep overdeterminasi (surdétermination), yakni relasi determinasi resiprokal di mana po-kok yang mendeterminasi ikut terdeter-minasi oleh apa yang ia deterterdeter-minasikan sendiri.14 Relasi overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti Marx dalam konteks relasi antara infrastruk-tur dan suprastrukinfrastruk-tur. Itulah sebabnya Althusser dapat menulis: “Dari momen pertama hingga terakhir, jam sepi ‘pokok terakhir’ tak pernah datang [the lonely hour

of the ‘last instance’ never comes].”15 Dengan demikian, tak ada historisisme yang esen-sial dalam pemikiran Marx.

4. Materialisme Dialektis dan Material-isme Historis

Setelah kita mencapai pengertian tentang materialisme, dialektika dan his-torisitas dalam pemikiran Marx, kini kita dapat beranjak menuju pemahaman akan materialisme dialektis dan historis—atau apa yang kerap disebut sebagai MDH. Kita akan mulai dengan uraian tentang asal-usul term.16 Tentang materialisme di-alektis, term ini sendiri tidak ada dalam

corpus Marx-Engels: Marx hanya bicara

tentang “metode dialektis” sementara Engels tentang “dialektika materialis”. Ekspresi “materialisme dialektis” pertama kali dipakai oleh Joseph Dietzgen di tahun 1887, salah seorang kawan koresponden Marx. Lenin lah yang mempergunakan term ini secara sistematis—sesuatu yang, dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908), ia elaborasi dari karya-karya En-gels. Sesudah Lenin, wacana Marxisme Soviet terbagi oleh dua orientasi pemiki-ran: “dialektis” (Deborin) dan “mekanis” (Bukharin). Untuk mengatasi perdebatan yang tak kunjung selesai di antara kedua kubu ini, Sekretaris Jendral Partai Stalin mengeluarkan dekrit di tahun 1931 yang memutuskan bahwa materialisme dialek-tis adalah sama dengan Marxisme-Le-ninisme. Lantas, pada tahun 1938, Stalin menjalankan kodifikasi atas ajaran terse-but secara lebih lanjut di dalam pamflet-nya, Dialectical and Historical Materialism. Kodifikasi Stalin inilah yang dikenal seb-agai sistem diamat (singkatan dari

dialecti-cal materialism) dan diterapkan di sebagian

besar negara Komunis. Koreksi penting atas kodifikasi Stalin ini datang dari Mao Tse-Tung. Dalam esainya dari tahun 1937,

On Contradiction, Mao menolak ide Stalin

tentang “hukum-hukum dialektika” dan justru memberikan penekanan pada kom-pleksitas kontradiksi. Kontradiksi, dalam pandangan Mao, tidak tunggal melainkan memiliki struktur ganda: di satu sisi

ter-dapat kontradiksi pokok, yakni kontradiksi yang tak dapat diperdamaikan (misalnya, kontradiksi antara borjuis dengan prole-tar), dan di sisi lain terdapat kontradiksi

ti-dak pokok yang dapat diselesaikan dengan

negosiasi (misalnya, kontradiksi antara buruh dan petani). Dari penafsiran Mao atas kontradiksi inilah nantinya Althusser mengelaborasi konsep overdeterminasi yang tadi telah kita bahas secara singkat sebagai kritik atas pembacaan historisis tentang Marx.

Apapun penafsiran para komen-tator tentang materialisme dialektis dan historis, ada satu yang tetap, yakni bahwa semuanya mengakui bahwa materialisme dialektis dan materialisme historis meru-pakan ajaran yang internal dalam pe-mikiran Marx sendiri walaupun Marx tak pernah menggunakan term-term tersebut secara sistematis. Oleh karena pemba-hasan mengenai materialisme dialektis dan historis ini mengandaikan rekon-struksi atas keseluruhan teks Marx, maka kami di sini hanya akan membatasi pada pengertian tentang kedua term tersebut berangkat dari klarifikasi yang telah kita lakukan atas term materialisme, tika dan historisitas. Materialisme dialek-tis merupakan cara berpikir Marx tentang realitas, yakni pengertian bahwa realitas tersusun oleh materi yang memiliki relasi langsung dengan subyektivitas dan relasi ini pun bergerak dalam untaian determi-nasi resiprokal. Dalam pengertian yang lebih sederhana, realitas adalah efek dari mekanisme perjuangan kelas. Jika, mengi-kuti Njoto, materialisme historis meru-pakan penerapan materialisme dialektis kepada kenyataan yang menyejarah, maka materialisme historis dapat kita mengerti sebagai gugus pemahaman tentang se-jarah sebagai ikhwal yang tersusun oleh determinasi resiprokal antar subyek dan antara subyek dengan materi obyektif. Atau dalam arti yang dipermudah, sejarah adalah efek perjuangan kelas—sebuah

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh video pembelajaran terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V di SDN Inti Tondo Palu?.. Subyek dalam

Hasil penelitian yang diperoleh penulis adalah Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya dalam menangani masalah Pemungutan dan Penegakan hukum pajak bumi dan bangunan

Melalui Peternakan Kroto Modern (PKM) diharapkan tidak akan terjadi lagi kelangkaan kroto dipasar karena jumlah permintaan penggemar burung yang terus bertambah setiap tahunnya..

Manfaat lainnya, agar mengetahui ada atau tidaknya pengaruh tayangan infotainment terhadap peniruan gaya hidup selebriti di kalangan remaja sehingga dapat lebih

Bagi penderita yang mempunyai luka, anda bisa mengobati luka tersebut dengan daun sirih yang sudah ditumbuk bersama air kapur dan dan garam.. Oleskan ramuan tersebut pada luka

inti isi halaman-halaman Tarjuman al-Mustafid, melihat rujukan tafsir secara sekilas, kemudian menyimpulkan: “Karya besar lain dari Abd al-Rauf ialah terjemah tafsir al-Qur’an

Hasil simulasi, pola sebaran sedimen pada saat musim hujan memiliki konsentrasi yang sangat tinggi, mengingat besarnya debit air yang mengalir pada Sungai Porong cukup kuat

Berdasarkan hasil perhitungan normatif dari data Biaya yang Dikeluarkan untuk Memungut Pendapatan Asli Daerah terhadap Realisasi Pendapatan Asli Daerah dalam