• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada anak usia 1 sampai 18 tahun di beberapa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada anak usia 1 sampai 18 tahun di beberapa"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

55 A. Karakteristik Subyek

Penelitian ini dilakukan pada anak usia 1 sampai 18 tahun di beberapa sekolah TK dan Lembaga Pendidikan Non Formal di Surakarta. Sampel sebanyak 30 anak, 15 anak yang menderita OME (sebagai kelompok kasus) dan 15 anak yang tidak menderita OME (sebagai kelompok kontrol).

Pada karakteristik menurut jenis kelamin pada sampel OME diperoleh jumlah laki-laki pada kelompok OME lebih banyak dibandingkan perempuan, dengan perbandingan 1,5:1 (tabel 4.1). Pada beberapa studi didapatkan angka kekerapan OME pada laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan perempuan. Secara teori perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya OME. Restuti mendapatkan perbandingan kekerapan OME antara laki-laki dan perempuan pada anak usia 6-8 tahun adalah 1,3:1. Xenelis dkk menemukan perbandingan OME pada laki-laki dan perempuan adalah 1,3:1. Rizaldi mendapatkan perbandingan kekerapan OME antara laki-laki dan perempuan pada anak usia 0-14 tahun adalah 1,5:1 ( Restuti, 1998; Xenelis et al., 2005; Rizaldi, 2012).

Stangerup seperti yang dikutip oleh Restuti menghubungkan hal ini dengan volume sel-sel mastoid dengan jenis kelamin, pada perempuan cenderung memiliki volume sel-sel mastoid lebih besar dibandingkan laki-laki, sehingga OME lebih sedikit terjadi pada perempuan ( Restuti, 1998)

(2)

Pada penelitian ini didapatkan anak yang menderita OME pada rentang usia 1 sampai 6 tahun sebanyak 12 anak (80%) (tabel 4.1). Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa prevalensi OME terbanyak pada usia 6 bulan sampai 4 tahun dan angka tersebut akan menurun pada usia diatas 6 tahun. hal ini disebabkan anatomi tuba Eustachius pada bayi dan anak dibawah 7 tahun lebih pendek dan lebih horizontal serta sistim imun yang belum sempurna menyebabkan risiko lebih tinggi terjadinya OME pada bayi dan anak-anak. (Casselbrant dan Mandel, 2014).

Tamin dalam penelitiannya yang melibatkan anak usia 4-12 tahun menemukan presentase terbanyak anak dengan OME adalah 4-6 tahun. Xenelis dkk pada penelitiannya terhadap anak sekolah 6-12 tahun diperoleh insiden OME terbanyak pada usia 6-7 tahun. (Tamim, 1996; Xenelis, 2005).

Dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner mengenai adanya pajanan asap rokok di lingkungan tempat tinggal pada kelompok kasus dan kontrol (tabel 4.1), didapatkan 7 sampel semuanya merupakan perokok pasif, 5 sampel dari kelompok kasus dan 2 sampel dari kelompok kontrol. Dari 7 sampel tersebut, 4 sampel didapatkan kadar kotinin urin positif, dengan asal sumber pajanan berasal dari 2 orang atau lebih perokok aktif di dalam rumah. Anggota keluarga yang merokok didapatkan ayah yang memberikan kontribusi terbesar asap rokok. Terdapat 3 sampel yang mempunyai riwayat perokok pasif, namun hasil kotinin urin negatif. Hal ini terjadi karena pada penilaian subyektif tidak selalu mendapatkan informasi yang dapat diandalkan oleh karena tingkat

(3)

pajanan dapat dipengaruhi oleh jenis rokok, keadaan jarak terhadap sumber asap rokok, lamanya pajanan dan kondisi ventilasi lingkungan saat itu.

Meskipun penilaian riwayat pajanan asap rokok secara subyektif memiliki keterbatasan dalam tingkat akurasi, namun beberapa peneliti menganggap penting untuk melakukan penilaian secara subyektif maupun obyektif secara bersamaan, karena dapat memberikan informasi yang saling melengkapi, untuk mengetahui karakteristik sumber paparan dari keluarga dan lingkungannya. Hal tersebut berguna bagi studi epidemiologi dan langkah-langkah intervensi pengendalian paparan asap rokok selanjutnya (Hovel et al., 2000, Nodahl et al., 2004; Jones et al., 2012).

Pada pemeriksaan timpanometri kelompok kasus didapatkan sisi telinga yang sakit sebanyak 8 sampel bersifat bilateral (kedua sisi telinga), sedangkan 7 sampel bersifat unilateral yaitu hanya salah satu sisi telinga saja yang terkena (tabel 4.2). Mayangsari pada penelitiannya terhadap anak SD mendapatkan OME terbanyak adalah bilateral sebesar 52,2%. Restuti pada penelitiannya mendapatkan OME terbanyak adalah bilateral sebesar 60% (Restuti, 1997; Mayangsari, 2007).

Pada hasil wawancara dan pengisian kuesioner pada sampel penderita OME (tabel 4.2) didapatkan 2 dari 15 kasus OME terdapat keluhan masing-masing telinga berdenging dan telinga terasa penuh namun belum menyebabkan gangguan pendengaran. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa OME jarang menimbulkan keluhan pada anak. Keluhan biasanya disampaikan oleh orang tua dan guru berupa anak kurang respon bila dipanggil,

(4)

keterlambatan bicara dan prestasi belajar anak yang menurun di sekolah. Keluhan berupa telinga terasa penuh, autofoni, dan tinitus biasanya dikeluhkan pada anak yang lebih besar. Tamim dalam penelitiannya menemukan 15,6% anak dengan OME terdapat gangguan pendengaran. Mayangsari dalam penelitiannya terhadap anak sekolah SD mendapatkan 26,1% mengalami gangguan pendengaran (Tamim, 1996; Mayangsari, 2007)

Gangguan pendengaran yang tidak dirasakan pada OME dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu penurunan fungsi pendengaran terjadi secara perlahan sehingga anak tidak merasakan perubahan yang terjadi dan anak masih mendengar dari sisi telinga yang sehat atau kemungkinan lain gangguan fungsi pendengaran tersebut belum berpengaruh pada komunikasi (Restuti, 1998).

Pada kelompok kasus didapatkan sebagian besar membran timpani suram (91,3%), diikuti gambaran gelembung udara (13,4%) (tabel 4.2). Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan gambaran membran timpani pada OME dapat berupa retraksi, bulging, suram atau adanya perubahan warna MT, gelembung udara dan batas air udara pada otoskopi (Bluestone dan Klein, 2007).

B. Faktor Risiko Kadar Kotinin Urin dan ISPA Terhadap OME

Faktor risiko pajanan asap rokok pada penelitian ini dilakukan dengan metode obyektif melalui pemeriksaan kadar kotinin urin dengan metode

(5)

Lateral Flow Chromatographic Immunoassay menggunakan cut-off 100 ng/ml merujuk pada penelitian Yeh dkk yang telah tersedia di Indonesia.

Pada penelitian ini disimpulkan bahwa kadar kotinin urin positif (≥ 100 ng/ml) tidak terbukti sebagai faktor risiko kejadian OME. Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pajanan asap rokok berperan sebagai faktor risiko OME yang diyakini terjadi melalui mekanisme iritasi pada mukosa telinga tengah dan tuba Eustachius sehingga terjadi hiperplasia sel goblet dan kerusakan silia yang mengakibatkan menghilangnya fungsi transport mukosiliar. Salah satu zat alkaloid utama yang terkandung dalam asap rokok tembakau yaitu Nikotin akan diabsorpsi melalui mukosa saluran napas kemudian masuk peredaran darah selanjutnya sebagian besar diubah menjadi kotinin melalui metabolisme di hati. Kotinin yang diekskresi dalam urin dapat ditentukan kadarnya untuk mengetahui ada tidaknya pajanan asap rokok. (Kubba et al., 2000; Lee et al., 2006; Lin et al., 2012).

Penelitian sebelumnya yang mendukung penelitian ini antara lain, Rizaldi pada penelitiannya menyimpulkan, tidak terdapat penderita OME yang terpajan asap rokok tembakau berdasarkan metode obyektif menggunakan analisis kotinin urin dengan cut-off 200 ng/ml dan tehnik lateral flow chromatographic immunoassay (Rizaldi, 2012).

Penelitian sebelumnya yang tidak sesuai dengan hasil penelitian ini antara lain, Ilicali dkk pada studi kasus kontrol menggunakan metode obyektif melalui analisis kotinin urin pada anak-anak umur 3-8 tahun menyimpulkan pajanan asap rokok pada meningkatkan risiko OME pada 154 anak (P=0.046

(6)

OR=2,29, 95% CI=1.08-4,85), dalam penelitiannya Ilicali menggunakan metode radioimmunoassay, dengan cut-off 25 ng/ml. Etzel dkk melakukan penelitian kohort retrospektif pada 132 anak umur 0-3 tahun menggunakan analisis kotinin serum dengan tehnik yang sama dan cut-off 2,5 ng/ml, mendapatkan kesimpulan perokok pasif meningkatkan risiko OME pada anak umur 0-3 tahun. (OR: 1,39, 95% CI: 1,21-1,56) (Ilicali et al.,2001; Etzel et al., 1992). Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Ilicali maupun Etzel terletak pada perbedaan tehnik analisis, penentuan cut-off kadar kotinin, perbedaan karakteristik dan jumlah sampel penelitian. Ilicali dan Etzel dalam penelitiannya menggunakan tehnik radioimmunoassay dengan cut-off yang lebih rendah sehingga lebih sensitif dalam mendapatkan sampel yang terpajan asap rokok. (Ilicali et al.,200; Etzel et al.,1992).

Beberapa peneliti terdapat perbedaan dalam menetapkan angka batas (cut-off) kadar kotinin urin untuk menilai status merokok seseorang antara tidak terpajan asap rokok (bukan perokok) dan terpajan (perokok aktif/pasif). Danch dkk menyimpulkan cut-off 50 ng/ml untuk membatasi bukan perokok dan perokok pasif ringan, 170 ng/ml untuk membatasi perokok pasif ringan dan perokok pasif berat dan cut-off 550 ng/ml untuk membatasi antara perokok pasif berat dan perokok aktif ringan menggunakan tehnik High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Moyer dkk menyimpulkan hasil cut-off 20 ng/ml untuk batas antara bukan perokok dan perokok pasif ringan menggunakan metode HPLC-tandem mass spectrometry. Yeh dkk menetapkan cut-off 100 ng/ml untuk membatasi status bukan perokok dan perokok

(7)

(pasif/aktif) menggunakan metode lateral flow chromatographic immunoassay (Moyer et al., 2002; Danch et al., 2007; Yeh et al., 2011).

Menurut Jung dkk perbedaan variasi cut-off dari beberapa studi dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain, perbedaan teknik atau metode dalam pengukuran kotinin, variasi rasial dan variasi genetik (Jung et al., 2012).

Menurut Danch untuk mendapatkan perkiraan cut-off perlu adanya distribusi statistik dari kadar kotinin urin pada populasi setempat sehingga dapat dibedakan status pajanan seseorang. Angka cut-off dapat berbeda diantara populasi di berbagai wilayah di dunia karena banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kotinin diantaranya perbedaan ras dan genetik (Danch et al., 2007)

Belum ada penelitian di Indonesia untuk menentukan cut-off status merokok seseorang, sehingga penulis merujuk pada penelitian Yeh dkk yang menggunakan cut-off 100 ng/ml dengan metode Lateral Flow Chromatographic Immunoassay yang telah tersedia di Indonesia. Angka cut-off tersebut memiliki sensivitas 92% dan spesifitas 91% (Yeh et al, 2011). Namun sesuai pendapat Jung dan Danch bahwa angka cut-off akan berbeda diantara populasi yang berbeda di berbagai wilayah di dunia, tentunya pemilihan cut-off pada penelitian ini yang merujuk penelitian Yeh dkk memiliki keterbatasan karena dilakukan di populasi yang berbeda. Sehingga metode analisis dan penetapan cut-off yang dipakai dalam penelitian ini masih perlu disesuaikan lagi dengan karakteristik masyarakat Indonesia.

(8)

Pada penelitian ini ISPA terbukti secara bermakna menjadi faktor risiko OME, sehingga dapat merancu pengaruh faktor risiko pajanan asap rokok. ISPA merupakan faktor risiko yang diyakini sangat berpengaruh terhadap kejadian OME. Beberapa penelitian telah membuktikan hal ini, Zhang dkk dalam sebuah studi meta analisis, mengumpulkan 4 studi ISPA, didapatkan hasil ISPA bermakna meningkatkan risiko otitis media (OR, 6,59; 95% CI, 3,13-13,89; P<0.00001). Chonmaitree dkk menyatakan prevalensi ISPA cukup tinggi pada anak-anak dan lebih dari 60% kasus menyebabkan komplikasi OMA dan/ atau OME (Chonmaitree et al., 2008; Zhang et al., 2014). Anak yang memiliki riwayat ISPA dalam 1 bulan terakhir berpeluang 7 kali menderita OME dibandingkan dengan anak yang tidak memilki riwayat ISPA (Kirin, 2012).

Hal ini didukung kepustakaan yang menyatakan ISPA dapat menyebabkan peradangan dan mengganggu fungsi tuba Eustachius sehingga menurunkan tekanan di telinga tengah diikuti masuknya bakteri dan virus ke dalam telinga melalui tuba Eustachius mengakibatkan peradangan dan efusi di telinga tengah. Selain itu tuba Eustachius anak belum berkembang mencapai ukuran dewasa, tuba Eustachius pada anak lebih pendek dan letaknya lebih mendatar atau horisontal sehingga sekret nasofaring lebih mudah masuk telinga tengah. Sistim imun yang belum sempurna pada anak menyebabkan anak-anak rentan terkena infeksi seperti infeksi saluran nafas atas sehingga memudahkan terjadinya otitis media (Bluestone dan Klein, 2007).

(9)

63 A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada anak usia 1 – 18 tahun di kota Surakarta dapat diambil kesimpulan bahwa kadar kotinin urin tidak terbukti sebagai faktor risiko kejadian OME.

B. Saran

1. Mengadakan deteksi dini terhadap penyakit otitis media efusi secara berkala dengan melakukan skrining kesehatan THT pada anak-anak guna mencegah terjadi komplikasi yang dapat menyebabkan kecatatan pada indera pendengaran.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penentuan tehnik dan cut-off yang tepat sesuai dengan sasaran penelitian

3. Mengadakan penelitian lebih lanjut terhadap faktor-faktor risiko lain yang berpengaruh terhadap terjadinya OME, sehingga diharapkan dapat membantu kebijakan dibidang kesehatan telinga berupa upaya deteksi dini, preventif, promotif, maupun intervensi dan penatalaksanaannya.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Agius A.M, Wake M, Pahor A.L. (1995). Ciliary beat frequency of nasal and midle ear mucosa in children with otitis media with effusion, Clin. Otolaryngol. 17, 155-157

Badan Pusat Statistik. Survei sosial ekonomi nasional (Susenas), 2007.

Berkman ND, Wallace IF, Steiner MJ, Harrison M. (2013). Otitis Media With Effusion: Comparative Effectiveness of Treament. 1-26

Behera D, Uppal R, Majumdar S. (2003). Urinary Levels of Nicotine and Cotinine in Tobacco Users. Postgraduate Institute Of Medical Education & Research, Candigarh, India. Indian J Med Res 118. 129-133

Benowitz NL, Hukkanen J, Jacob P (2009). Nicotine chemistry, metabolism, kinetics and biomarkers. Handb Exp Pharmacol; 192:29-60.

Blackford AL, Yang G, Avila MH, Przewozniak K. (2006) Cotinine concentration in smokers from different countries: relationship with amount smoked and cigarette type. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev; 15:1799-804.

Bluestone CD, Klein JO. (2007). Physiology, Pathophysiology, and Pathogenesis. In: Bluestone CD, ed Otitis Media in infant and children 4th ed: BC Decker Inc, 87-94

Bluestone CD, Klein JO. (2007) Otitis media in infant and children. 4th ed. Hamilton, ON: BC Decker Inc, 1-19.

Bosquet J, Cauwenberge P, Khaltaev N, Bachert C, Durham SR, Lund V, Mygind N. (2001). Management of Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA). ARIA workshop Report. J All Clin Immunol (Suppl) 108;5. Casselbrant ML, Mandel EM.(2014). Otitis Media in The Age of Antimicrobial

Resistance in Bailey BJ, Johnson, JT, Newlands SD. Head and Neck Surgery – Otolaryngology, 5th ed. Philadelphia: Lippincott : 1479 – 1505 Chen CH, Lin CJ, Hwang TH. (2003) Epidemiology of otitis media in Chinese

children. Clin Otolaryngol Allied Sci 28:442-5.

Cho J-G , Jeong-SW, Heung-ML, Hak HJ, Soon-JH, Sungwon C. (2009). Effects of cigarette smoking on mucin production in human middle ear epithelial cells. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology , 1447– 1451.

(11)

Chonmaitree T, Revai K, James. (2008). Viral Upper Respiratory Tract Infection and Otitis Media Complication in Young Children. Pediatric infectious disease J. 815-23

Corbeel L. (2007) What is new in otitis media? Eur J Pediatr; 166:511-9.

Crapko M, Kerschner JE, Syring M, Johnston N. (2007) Role of extra-esophageal reflux in chronic oititis media with effusion. Laryngoscope.

Danch Z, Wardas W, Sobczak A, Boldys S. (2007). Estimation of urinary cut-off points distinguising non-smoker, passive and active smokers. Department of General and Analytical Chemistry, Medical University of Siselia, Poland; 12(5): 484-96.

Departemen Kesehatan RI Riset kesehatan dasar (Riskesdas), 2007.

Dhingra PL, Shruti D, Deeksha D.(2014). Disease of Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. India: Elsevier.

Erdivanli CO, Coskun OZ, Kazigdas CK, Demirci M. (2011). Prevalence of otitis media with effusion among primary school children in Eastern Black Sea, in Turkey and the effect of smoking in the development of otitis media with effusion. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 64 (1): 17-21.

Feres N, Fransisco M, Pignatari N. (2012). Reliability of radiographic parameters in adenoid evaluation. Braz J Otorhinolaryngol. 78(4):80-90

Fowler CG, Shanks JE. (2002) Tympanometry In: Katz J, Burkard R, Medwetsky L, eds. Handbook of Clinical Audiology 5r ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2:175-204.

Froom J. (2001). A cross-national study of acute otitis media: risk factors,severity, and treatment at initial visit. Report from the International Primary Care Network (IPCN) and the Ambulatory Sentinel Practice Network (ASPN). J Am Board Fam Pract;14:406–17.

Hovell FM, Zakarian MJ, Wahlgren RD, Matt EG. (2000). Reported measures of enviromental tobacco smoke exposure: trials and tribulations. Tobacco control; 9(Suppl III): iii22-iii28.

Humaid A, Abou-halawa SA, Khan AM, Al-Hamamah SN, Al Duways AS. (2014). Prevalence and risk factors of Otitis Media with effusion in school children in Qassim Region of Saudi Arabia. International Journal of Health Sciences, Qassim University , 1-10.

(12)

Hukkanen J, Jacob P, Benowitz NL.(2005). Metabolism and disposition kinetics of nicotine. Pharmacol Rev ; 57: 79-115.

Ilicali Ömer Cenker , Nesil K, Kemal D, Ömer FS, Yahya G. (2001). Evaluation of the Effect of Passive Smoking on Otitis Media in Children by an Objective Method: Urinary Cotinine Analysis. Laryngoscope , 163-167. Jacoby PA, Coates HL, Arumugaswamy A. (2008). The effect of passive smoking

on the risk of otitis media in Aboriginal and non-Aboriginal children in the Kalgoorlie-Boulder region of Western Australia. MJA; 118:559-603.

Jarvis JM, Fidler J, Mindell J, Feyeraben C, West R. (2008). Assesing smoking status in children, adolescent and adults : cotinine cut-points revised. Addiction 103 (9): 1553-61

Jones L, Hassanien A, Cook G, Britton J, Bee L. (2012). Parental smoking in the risk of midle ear disease in children. Arch pediatr adolescent med/vol 166(1). 18-27.

Jung S, Lee S, Kim B. (2012). Urinary Cotinine for Assesing Tobacco Smoke Exposure in Korea National Health and Nutrition Examination Survey (KNHANES). Division of Pulmonology, Deparment of Internal Medicine, Severance Hospital, Yonsei University College of Medicine, Seoul, Korea; 73; 210-218.

Kenna MA, Latz AD. (2006) Otitis media with effusion in head and neck surgery otolaryngology. Philadelphia:. Lippincott Williams & Wilkins,:1265-71. Kerschner JE. (2007 ). Mucin gene expression in human middle ear epithelium. .

Laryngoscope , 1666-76.

Kong K, Coates HLC. (2009). Natural History, definitions, risk factors and burden of otitis media. MJA , p S39-S43.

Kvestad E. (2004). Otitis media: genetic factors and sex differences. Twin Res;7(3):239-44.

Kwon JT, Nakajima M, Chai S, Yom YK, Kim HK. (2001). Nicotine metabolism and CYP2A6 allele frequencies in Koreans, Pharmacogenetics; 11: 317-23.

Kubba H, Pearson JP, Birchall JP.(2000) The aetiology of otitis media with effusion: a review. Clin Otolaryngol. 25:181-94.

(13)

Lambert E, De Paepe.(2014). The biofilm paradigm as the elucidation of otitis media with effusion, Dissertation presented in the 2nd Master year in the programe of Master of Medicine at the University of Ghent. 1-65

Lemeshow, S., Hosmer, D.W., J & Lwanga, S.K. (1997). Besar sampel dalam penelitian kesehatan (terjemahan). Yogyakarta: Gadjahmada university press.

Lee IW, Goh EK, Roh HJ. (2006) Histologic changes in the eustachian tube mucosa of rats after short-term exposure to cigarette smoke. Otology & Neurotology; 27:433-40.

Lin J, Caye-Thomasen P, Tono T. (2012). Mucin production and mucous cell metaplasia in otitis media. Int J Otolaryngol.

Marseglia GL, Poddige D, Caimmi D, Marseglia A. (2009). Role of adenoids and adenoiditis in children with allergy and otitis media. Curr Allergy Ashma Rep; 9(6): 460-4.

Mahadevan M, Navarro L, H.K.K. Tan. (2012). A review of the burden of disease due to otitis media in the Asia-Pacific. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology , 623–635.

Mayangsari (2007). Hubungan reaksi hipersensivitas tipe I pada anak dengan otits media efusi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Munawaroh S, Bramantyo B, Zakiudin M (2008), Insiden dan Karakteristik Otitis Media Efusi Pada Rinitis Alergi Anak. Sari Pediatri Vol 10, 212 – 218. Moyer TP, Charlson JR, Enger RJ. (2002). Simultaneous analysis of nicotine,

nicotine metabolits, and tobacco alkaloids in serum or urine by tandem mass spectrometry, with clinically relevant metabolic profiles. Clin Chem;48:1460-71

Neto L, Sih T. (2015). Risk Factor for Recurrent Otitis Media Acute and Chronic Otitis Media with Effusion in childhood, in Otitis Media: State of the Art Concept and Treatment. Department of Pediatric otorhinolaryngology, Santo Antonio Children Hospitl. Brazil. 23-29.

Nistico L, Kreft R, Gieseke A. (2011) Adenoid reservoir for pathogenic biofilm bacteria. J Clin Microbiol:49 (4):1411-1420

Nondahl M, Cruickshanks J, Schubert R.(2004). A questionare for assesing enviromental tobacco smoke exposure. Department of Population Health Sciences. University of Winconsin, Madison, USA. 76-82

(14)

O’Reilly RC, Soundar S, Tonb D. (2015) The Role of Gastric Pepsin in the imflammatory Cascade of Pediatric Otitis Media. JAMA Otolaryngol Head Neck Surg.

Revai K, Dobbs LA, Nair S, Patel JA, Grady JJ, Chonmaitree T.(2007). Incidence of acute otitis media and sinusitis complicating upper respiratory tract infection : the effect of age. Pediatricts.; 119(6):e1408-12

Restuti RD (1998). Gangguan pendengaran berdasarkan pemeriksaan BERA pada anak dengan OME. Universitas Indonesia. Jakarta.

Rizaldi R (2012). Proporsi Kepositifan Kadar Kotinin Urin pada Anak Otitis Media Efusi Usia 0 – 14 Tahun di Kotamadya Jakarta Timur. Tesis Akhir PPDS THT-KL. Bagian THT-KL FK UI RSCM. Jakarta.

Rohilla A., Sharma V, Kumar S, Sonu (2013). Upper Respiratory Tract Infections : An Overview. International Journal of Current Pharmaceutical Research. Vol 5, Issue 3, 1-3.

Rosenfeld RM, Culpepper L, Doyle KJ. (2004) Clinical practice guideline: otitis media with effusion. Otolaryngol Head Neck Surg; 130:895.

Rovers MM, Numans ME, Langenbach E, Grobbee DE, Verheij TJM and Schilder AGM. (2008). Is pacifier use a risk factor for acute otitis media? A dynamic cohort study. Family Practice.; 25: 233–6.

Saim A, Saim S, Saim L. (1997). Prevalence of otitis media with effusion among preschool children in Malaysia. Int J Ped Otorhinolaryngol. 41: 21-8 Siddartha, Bhat V, Bhandary K, Shenoy V, Rashmi.(2012). Otitis Media with

Effusion in Relation to Socio Economic Status: A Community Based Study. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg 64(1):56-58

SignorelloLB, Cai Q, Tarene RE, McLaughlin JK, Blot WJ. (2009). Racial differences in serum cotinine levels of smokers, Dis Markers 27:187-92 Shekelle P, Takata G, Chan LS. (2003). Diagnosis, History, and Late Effects of

Otitis Media With Effusion. Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ)

Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA). (2012). The ASEAN Tobacco Control. Bangkok.

Strachan D. (1997). Worldwide variations in prevalence on symptom of allergic rhinoconjunctivitis in children, The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Pediatric Allergy Immunol; 8:161-76

(15)

Steven K, Juhn MD, Mark D, Brian R, Drew MD (2008), The Role Of Inflamatory Mediators In The Pathogenesis of Otitis Media And Squele, Clinical and Experimental Otorhino Laryngology Vol 1, No. 3 117 – 138. Summer S. Hawkins, Lisa B. (2011). Increased Tobacco Exposure in Older

Children and Its Effect on Asthma and Ear Infections. Journal of Adolescent Health , 647–650.

Talaat Hossam Sanyelbhaa, Mohamed AM, Ahmed HK, Hatem RA. (2014). Dose passive smoking induce sensorineural hearing loss in children? International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology , 46-49.

Tamim S. 1996. Prevalensi dan faktor yang berhubungan dengan otitis media efusi pada anak sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar di wilayah desa tertinggal dan desa maju di Jakarta. Universitas Indonesia. Jakarta. Tang A, Delaimy, Ashley L, Benowitz N, Bernert T. (2012). Assesing

secondhand smoke using biological marker. 164-171

Uhari M, Mantysaari K, Niemela M A. (1996). Meta-analytic review of the risk factors for acute otitis media. Clin Infect Dis. 1996; 22:1079-82. 31

Xenelis J, Paschalidis J, Georgalas C. (2005). Factor influencing the presence of otitis media with effusion 16 month after initial diagnosis in a cohort of school age children in rural Greece: a prospective study. Int J Ped Otorhinolaryngol; 69:1641-7.

Yang CY, Cheng MF, Tsai SS, Hung CF, Lai TC, Hwang KC (1999) Effects of indoor environmental factors on risk of acute otitis media in a subtropical area. Journal of Toxicology and Environmental Health. 56:111-9

Yeo SG, Park DC, Eun YG, Cha CI. (2007). The role of nasal allergic rhinitis in the development of otitis media with effusion: effect on Eustachian tube function. Am J Otolaryngol:28:148-52

Yeh E, Levasseur G, Kaiserman J. (2011). Evaluation of Urinary Cotinine Immunoassay Test Strip Used to Asses Smoking Status. Oxford University Press on Behalf of the Society for Research of Nicotine and Tobacco. Zhang Y, Xu M, Zhang J, Zeng L, Wang Y, Zheng Y. (2014) Risk Factor for

Chronic and Recurrent Otitis Media-A Meta-Analysis. Plos One. Vol 3, Issue 1, 1-9.

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Desa ini mulai berlaku, maka Peraturan Desa Pondok Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa (Berita Daerah Kabupaten Sukoharjo Tahun

CELLULAR SYSTEM ARCHITECTURE Base Transceiver Station (BTS) Base Transceiver Station (BTS) Base Station Controller (BSC) Abis interface Base Station (BS) Mobile Stations (MS) A

Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa propaganda adalah suatu usaha yang sistematis dan terencana yang dilakukan

Dari data pengembangan SDM aparatur di Sekretariat Daerah melalui pendidikan formal diatas, dapat disimpulkan bahwa jumlah aparatur yang berpendidikan SLTA/SLTP

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat- Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Hubungan Caregiver Self-efficacy dengan

Untuk dosen-dosen STIE Perbanas Surabaya yang pernah mengajariku dengan ilmu yang engkau berikan, terima kasihku yang tiada tara ku ucapkan untukmu,, khususnya buat Dosen Manajemen

Karena ada beberapa faktor yang membatasi produksi optimal seperti (bahan baku, kapasitas mesin, tenaga kerja, modal/dana dan jumalah permintaan atau jumlah penjualan) maka