• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ini, pemerintah kota di berbagai penjuru dunia mulai menggenjot pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ini, pemerintah kota di berbagai penjuru dunia mulai menggenjot pembangunan"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Globalisasi yang semakin menguat dengan derasnya arus informasi dan transportasi, telah menciptakan peluang kompetisi dalam berbagai bidang kehidupan di berbagai belahan dunia. Globalisasi dalam bidang ekonomi dan kebudayaan, telah mendorong kota di seluruh dunia untuk berkompetisi dalam hal menarik pengunjung dan investor yang dapat menjadi penggerak bagi perkembangan kota tersebut.

Menyadari pentingnya kompetisi untuk menarik investor dan pengunjung ini, pemerintah kota di berbagai penjuru dunia mulai menggenjot pembangunan dan pemasaran kota-kota tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kotler dkk (1999: 21) bahwa dalam tiga dekade terakhir, jumlah kota yang menggunakan metode pemasaran terus meningkat disebabkan oleh persaingan intensif untuk memperoleh lebih banyak investasi, penerimaan dari sektor pariwisata dan penduduk (residen).

Sayangnya perencanaan dan pembangunan kota yang selama ini ada, terbilang monoton dengan dibangunnya gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan dan kawasan industrial saja. Hal ini secara tidak disadari akan menghilangkan potensi keunikan dari masing-masing kota itu sendiri.

(2)

Oleh karena itu, konsep city branding muncul dalam merespon kondisi tersebut sehingga perencanaan yang ada saat ini tidak hanya dapat diimplemetasikan, namun juga mengangkat dan mengembangkan kekhasan suatu kota sebagai brand yang bernilai jual tinggi.

City branding menempatkan kota sebagai suatu bentuk produk yang harus dikemas sedemikian rupa, sehingga memiliki ciri khasnya sendiri, yang membedakannya dengan kota dan daerah lainnya, seperti halnya dalam pemasaran produk dalam dunia bisnis dan komersial. Ciri khas inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menjual kota dan daerah kepada calon pendatang dari seluruh penjuru dunia.

Sebenarnya upaya sadar dari pemerintah suatu kota untuk membentuk identitas kota dan mempromosikannya kepada publik internal maupun publik eksternal, sebenarnya hampir setua sejarah pemerintahan sipil kota itu sendiri. Menurut Ward (dalam Kavaratzis, 2004: 59) praktik memasarkan suatu kota sudah ada sejak abad ke-19. Meskipun begitu, baru dalam 2 dekade terakhir ini kegiatan promosional dan pengiklanan suatu kota bisa diterima secara luas sebagai bagian dari pengelolaan sektor publik.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa upaya pemasaran suatu kota, daerah dan suatu negara, berkembang sangat dinamis dan kompetitif dalam beberapa dekade terakhir ini. Dalam keadaan ini, para perencana pengembangan kota-kota berupaya untuk mencitrakan kotanya yang lebih unggul daripada kota-kota lain yang menjadi kompetitor mereka. Mereka menemukan bahwa penerapan brand

(3)

strategy yang baik dan menyeluruh akan memberikan banyak manfaat dan keuntungan.

Suatu merek (brand) –jelas, menarik dan unik- adalah dasar yang membantu dalam membuat suatu kota menjadi desirable sebagai sebuah lokasi bisnis, destinasi wisata atau suatu tempat tinggal. Pengembangan suatu brand strategy bagi suatu kota mempengaruhi fitur-fitur kota itu untuk bisa menyediakan suatu janji yang relevan dan menarik bagi para target audiences. Suatu upaya city branding tidak hanya sebuah kampanye periklanan atau sebuah tagline. Lebih dari itu, city branding membutuhkan upaya menyeluruh dan mendalam yang melibat-kan banyak pihak dalam kegiatannya (Prophet, 2006: 4).

Kota New York merupakan salah satu kota yang dinilai berhasil dalam hal membangun positioning kota tersebut melalui pengembangan city branding. Kampanye I Love NY yang digencarkan sejak tahun 1977 dinilai berhasil dalam menyelamatkan kota New York dari kemelut ekonomi dengan membentuk positioning sebagai kota destinasi wisata.

Kampanye city branding ini mendorong peningkatan pengujung New York dan menyumbang pendapatan kota sebesar US$ 1,6 miliar dari sektor pariwisata. Selain itu, pada tahun 2011 pemerintah kota New York mendapatkan pemasukan lebih dari US$ 1,83 juta dari penjualan lisensi branding I Love NY. Fakta-fakta inilah yang kemudian membuat New York disebut sebagai kota pionir yang melakukan city branding di dunia (Glenn Bain, “I love New York iconic tourism logo raking in millions in licensing fees for state” melalui

(4)

http://www.nydailynews.com/new-york/love-new-york-iconic-tourism-logo-raking-millions-licensing-fees-state-article-1.955282 diakses pada 9 Mei 2015).

Jakarta sebagai Ibukota dan kota terbesar di Indonesia memulai upaya city branding Enjoy Jakarta yang mulai diluncurkan pada bulan Maret 2005. City branding Enjoy Jakarta ini bertujuan untuk menarik wisatawan mancanegara sebanyak 2,2 juta pengunjung (Aurora Tambunan dalam ―Slogan Introduced with Abang-None‖ melalui http://www.thejakartapost.com/news/2004/07/20/slogan-introduced-039abangnone039.html diakses pada 16 Mei 2015).

Sayangnya branding Enjoy Jakarta ini dinilai gagal dalam proses implementasinya. Implementasi branding ini dinilai gagal karena penyampaian 6 brand assets utama Jakarta —golf, spa, wisata belanja, wisata kuliner, nightlife dan wisata bahari— dihambat oleh aspek-aspek negatif kota Jakarta seperti kemacetan lalu lintas yang parah, polusi udara dan kondisi transportasi umum yang memprihatinkan (Alistar Speirs dalam ―What is Jakarta’s Brand? Making It Clear Cloud Bring Big City Benefits‖ melalui http://thejakartaglobe.beritasatu. com/archive/what-is-jakartas-brand-making-it-clear-could-bring-city-big-benefits/ diakses pada 15 Mei 2015).

Pada tahun 2006 Kota Surakarta meluncurkan branding Solo the Spirit of Java. City branding kota Surakarta ini dinilai berhasil karena adanya manajemen merek yang baik serta kerjasama setiap komponen pemerintahan serta masyarakat kota Surakarta. Pemerintah secara berkesinambungan melakukan revitalisasi dan secara rutin mengadakan cultural event untuk menunjang pariwisata Kota Solo

(5)

dan mendirikan Badan Promosi Pariwisata Daerah serta Tourism Information Center. Hal ini membuat brand Solo the Spirit of Java dapat bertahan dan memiliki tempat tersendiri di benak masyarakat, baik masyarakat lokal maupun luar daerah Surakarta (Ratu Yulya Chaerani dalam Jurnal Riset Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Volume 2 No. 4 tahun 2011).

Aktivitas pemasaran kota dengan strategi city branding ini juga dilakukan di Kota Semarang. Pemerintah Kota Semarang sadar bahwa city branding meru-pakan salah satu cara yang efektif dan penting dalam memasarkan potensi ibukota Provinsi Jawa Tengah ini, kepada masyarakat lokal maupun internasional.

Pada tahun 2007, Pemerintah Kota Semarang meluncurkan program city branding bertajuk Semarang Pesona Asia (SPA). SPA diharapkan dapat menjadi representasi kota ini sebagai kota yang menawarkan berbagai atraksi kebudayaan dan pariwisata bercita rasa Asia. Pada kenyataannya, program SPA ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan infrastruktur penunjang yang memadai. Pada akhirnya lambat laun, slogan tersebut menghilang seiring dengan penggantian kepemimpinan Pemerintah Kota Semarang.

Pada tahun 2011, Wali Kota Semarang terpilih, Soemarmo, mencanangkan program Semarang SETARA sebagai perwujudan semangat untuk menyetarakan Semarang dengan kota metropolitan lain di Indonesia. Sebagai bagian dari semangat mewujudkan Semarang SETARA, maka pada tahun 2011 hingga tahun 2012 dilakukan kajian mendalam terhadap aset-aset budaya, pariwisata, dan ekonomi di kota Semarang.

(6)

Kajian ini dilakukan untuk menemukan data-data dasar yang kemudian digunakan unutk merumuskan brand kota Semarang yang baru. Kajian yang melibatkan beberapa stakeholders kunci ini kemudian menjadi rujukan dalam hal perencanaan kegiatan sayembara pembuatan tagline dan logo city branding Semarang. Pada bulan Desember 2012 diumumkan pemenang lomba membangun city branding Semarang dan dipilihlah tagline Semarang Variety of Culture.

Gambar 1.1

Logo dan tagline Semarang Variety of Culture

Sumber: http://semarangkota.go.id/

Terhitung mulai tahun 2013, brand Semarang Variety of Culture digunakan sebagai representasi dari komunikasi citra kota Semarang sebagai kota metropolitan yang menawarkan keanekaragaman budaya sebagai atraksi utama kota Semarang. Keanekaragaman budaya ini diharapkan dapat menjadi daya tarik wisatawan agar berkunjung ke Semarang, karena dampak dari keanekaragaman budaya ini pasti memunculkan berbagai jenis variasi dalam hal kesenian, peninggalan bangunan/ arsitektur, religi, kuliner dan event lainnya. Selain bagi wisatawan, brand Semarang Variety of Culture ini ditujukan pula bagi internal warga kota Semarang, pihak investor dan calon penduduk potensial.

(7)

Sayangnya selama 3 tahun implementasinya, brand ini belum mampu berbicara banyak untuk bisa mengkomunikasikan citra positif Kota Semarang kepada para target khalayak yang dituju oleh brand ini. Kesadaran warga kota Semarang terhadap brand ini terbilang masih kurang, karena hingga saat ini brand yang masih diingat oleh warga Semarang adalah city brand terdahulu (Semarang Pesona Asia) dan kegagalan-kegagalan yang melingkupinya. Hal ini pada akhirnya akan menghambat tujuan Pemerintah Kota Semarang untuk menanamkan citra kota Semarang yang baru kepada warga Semarang melalui brand Semarang Variety of Culture ini.

Sementara dalam hal menarik wisatawan untuk berkunjung ke Kota Semarang, brand Semarang Variety of Culture ini juga belum mampu bersaing dengan city brand Yogyakarta dan Surakarta yang menawarkan atraksi yang sama yakni wisata budaya. Dalam statistik wisatawan tahun 2014, jumlah kunjungan wisatawan ke Semarang masih tertinggal dari Surakarta dan Yogyakarta yang sama-sama menggunakan aspek budaya sebagai aspek utama yang ditawarkan kepada wisatawan domestik maupun mancanegara.

Tabel 1.1

Jumlah wisatawan di Yogyakarta, Surakarta dan Semarang

Tahun Yogyakarta Surakarta Semarang

Wisman Wisdom Wisman Wisdom Wisman Wisdom 2014 220.020 4.696.964 28.615 3.236.462 3.442 1.457.576

Sumber: DIY dalam Angka 2015, Surakarta dalam Angka 2015, dan Semarang dalam Angka 2015

(8)

Minimnya kesadaran warga Semarang akan brand yang baru dan masih belum maksimalnya peran city brand Semarang Variety of Culture untuk menarik wisatawan inilah, yang membuat penulis tertarik untuk meneliti perencanaan komunikasi dalam pengembangan city brand Semarang Variety of Culture. Karena pada dasarnya dalam pengembangan brand suatu kota, perlu adanya perencanaan yang matang dalam membangun brand dan positioning yang baik agar dapat diterima oleh khalayak luas sebagai target pasar.

Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui setiap upaya perencanaan komunikasi yang dilakukan oleh BAPPEDA Kota Semarang dalam pengembangan brand Semarang Variety of Culture, dan membandingkannya dengan konsep perencanaan komunikasi dan city brand yang relevan. Hal ini penting untuk mengetahui formulasi perencanaan komunikasi yang tepat guna bagi pengembangan city brand Kota Semarang. Sehingga pada akhirnya, peneliti berharap penelitian ini akan dapat memberikan koreksi dan masukan bagi pengembangan city brand Kota Semarang ke depannya.

(9)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah upaya-upaya perencanaan komunikasi yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang dalam program pengembangan city branding Semarang Variety of Culture pada tahun 2011-2014?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya-upaya perencanaan komunikasi yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang dalam program pengembangan city branding Semarang Variety of Culture pada tahun 2011-2014.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Akademis

a. Menambah wacana bagi para akamedisi perihal perencanaan city brand dalam rangka mengembangkan keunggulan kompetitif suatu wilayah dan memasarkannya kepada khalayak luas (investor, pengunjung dan masyarakat wilayah itu sendiri).

b. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar atau acuan pada penelitian-penelitian selanjutnya yang sejenis dan dapat dikaji

(10)

secara mendalam, serta menjadi bagian dari pengetahuan bagi masyarakat.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang mengenai perumusan dan pengembangan city branding Kota Semarang khususnya dalam hal perencanaan komunikasi dalam program city branding Semarang Variety of Culture ini.

E. TELAAH PUSTAKA

1. Komunikasi

Kata komunikasi atau communication (bahasa Inggris) berasal dari kata Latin communis yang berarti sama, communico, communication yang berarti membuat sama (to make common). Istilah pertama (communis) paling sering disebut sebagai asal kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama (Mulyana, 2003: 46).

Effendy (2006: 9) menjelaskan bahwa komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu

(11)

menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu.

Secara sederhana komunikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan makna antara penyampai pesan dan orang yang menerima pesan. Oleh karena itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (communication depends on our ability to understand one another) dan kemampuan penyesuaian dengan pihak yang diajak berkomunikasi. Jadi, komunikasi merupakan suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya (Hermawan, 2012: 4).

Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Lasswell menerangkan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?

Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:

a. Komunikator (communicator, source, sender) b. Pesan (message)

c. Media (channel, media)

d. Komunikan (communicant, communicatee, receiver, recipient) e. Efek (effect, impact, influence)

(12)

Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2006: 10).

Bagan 1.1

Unsur dalam Proses Komunikasi

Sumber: Effendy (2006: 18)

Menurut Shimp (2003: 163-165), semua aktivitas komunikasi meliputi delapan elemen berikut ini:

1. Sumber (Source)

Sumber (source) atau pengirim adalah orang atau kelompok (misalnya sebuah perusahaan) yang memiliki pemikiran (ide, rencana penjualan, dan lain-lain) untuk disampaikan kepada orang atau kelompok orang lain.

2. Penerjemahan (Encoding)

Encoding adalah suatu proses menerjemahkan pemikiran dalam bentuk-bentuk simbolis. Sumber tersebut memilih tanda-tanda spesifik dari berbagai kata, struktur kalimat, symbol dan unsur non verbal yang

(13)

amat luas pilihannya untuk menerjemahkan sebuah pesan sehingga dapat dikomunikasikan dengan efektif kepada khalayak sasaran. 3. Pesan (Message)

Pesan (message) sendiri adalah suatu ekspresi simbolis dari pemikiran sang pengirim atau sumber (source).

4. Penyampaian Pesan (Message Channel)

Saluran penyampaian pesan (message channel) adalah suatu saluran yang dilalui pesan dari pihak pengirim, untuk disampaikan kepada pihak penerima.

5. Penerima (Receiver)

Penerima adalah orang atau kelompok orang yang dengan mereka pihak pengirim berusaha menyampaikan ide-idenya.

6. Interpretasi (Decoding)

Interpretasi adalah melibatkan aktivitas yang dilakukan pihak dalam menginterpretasi atau mengartikan pesan.

7. Gangguan atau Distorsi (Noise)

Gangguan atau distorsi adalah sebuah pesan yang melintas dalam suatu saluran dipengaruhi oleh stimulus-stimulus eksternal yang mengganggu. Stimulus ini mengganggu penerimaan pesan dalam bentuk yang murni dan orisinil.

8. Umpan Balik (Feedback)

Umpan balik memungkinkan sumber pesan memonitor seberapa akurat pesan yang di sampaikan dapat diterima. Umpan balik

(14)

memungkinkan sumber untuk menentukan apakah pesan sampai pada target secara akurat atau apakah pesan tersebut perlu di ubah untuk memberikan gambaran yang lebih jelas di benak penerima.

Agar komunikasi efektif, proses penyandian oleh komunikator harus bertautan dengan proses pengawasandian oleh komunikan. Wilbur Schramm melihat pesan sebagai tanda esensial yang harus dikenal oleh komunikan. Semakin tumpang tindih bidang pengalaman (field of experience) komunikator dengan bidang pengalaman komunikan, akan semakin efektif pesan yang dikomunikasikan. Komunikator akan dapat menyandi dan komunikan akan dapat mengawasandi hanya dalam istilah-istilah pengalaman yang dimiliki masing-masing (Effendy, 2006: 19).

Taylor (1999: 8) menjelaskan bahwa kesuksesan komunikasi bukan didasarkan pada seberapa hebat seorang komunikator dalam menyampaikan pesan, namun seberapa baik pesan tersebut dapat diterima oleh komunikan. Dalam hal ini, kemampuan komunikan untuk memahami dan mengintepretasi pesan menjadi suatu hal yang krusial. Maka dari itu, sehebat apapun strategi penyampaian pesan, apabila komunikan tidak mampu menerima dan mengintepretasi pesan sesuai dengan maksud dan tujuan komunikator, maka proses komunikasi tersebut belumlah berhasil dan efektif.

(15)

2. Perencanaan Komunikasi

Perencanaan komunikasi adalah proses pengalokasian sumber daya komunikasi untuk mencapai tujuan organisasi. Sumber daya tersebut tidak saja mencakup media massa dan komunikasi antar pribadi, tapi juga setiap aktivitas yang dirancang untuk mengubah perilaku dan menciptakan keterampilan-keterampilan tertentu di antara individu dan kelompok dalam lingkup tugas-tugas yang dibebankan oleh organisasi (Middleton, 1978 dalam Cangara, 2014: 47). Sejalan dengan pendapat Middleton di atas, Hancock (1978: 11) mengemukakan bahwa perencanaan komunikasi berpusat pada pemanfaatan komunikasi sebagai suatu upaya mobilisasi yang terintegrasi di dalam suatu komunitas.

Perencanaan komunikasi dimaksudkan untuk mengatasi rintangan-rintangan yang ada guna mencapai efektivitas komunikasi, sedangkan dari sisi fungsi dan kegunaan komunikasi, perencanaan diperlukan untuk mengimplementasikan program-program yang ingin dicapai, apakah itu untuk pencitraan, pemasaran, penyebarluasan gagasan, kerjasama, atau pembangunan infrastruktur komunikasi (Cangara, 2014: 43).

Cangara (2014: 48) menjelaskan bahwa terdapat beberapa pokok pikiran dalam perencanaan komunikasi, yakni:

a. Perencanaan komunikasi adalah suatu usaha yang disengaja

b. Perencanaan komunikasi merupakan penerapan ilmu pengetahuan dan seni komunikasi

(16)

c. Merupakan aktivitas manusia yang disusun secara sistematis dan berkelanjutan dari satu proses ke proses selanjutnya.

d. Memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu

e. Untuk mencapai tujuan itu perencanaan komunikasi menetapkan alokasi sumber daya (dana, barang/alat, manusia atau keahlian, dan program)

f. Perencanaan komunikasi menggunakan unsur-unsur komunikasi yang mencakup sumber, pesan, media, target sasaran, dan efek (perubahan) sebagai komponen audit

g. Perencanaan komunikasi memerlukan pengukuran hasil atau evaluasi.

Menurut Hancock (1978: 15) perencanaan komunikasi sedapat mungkin diintepretasikan dalam tiga unsur, yaitu: kebijakan pembangunan publik, sistem infrastruktur komunikasi, dan teknologi

Dengan perencanaan komunikasi, maka kita dapat mengimplikasikan penyusunan rencana baik jangka panjang dan jangka pendek (strategis dan operasional) untuk penggunaan yang efisien dan merata dari sumber daya komunikasi dalam konteks tujuan masyarakat, sarana dan prioritas tertentu, dan bergantung pada bentuk organisasi sosial dan politik yang berlaku (Hancock, 1978: 12).

Cangara (2014: 49-50) menjelaskan bahwa perencanaan komunikasi sebagai penuntun terhadap kegiatan komunikasi yang akan dilakukan. Ia menjadi dokumen kerja dan cetak biru (blueprint) yang harus diperbarui

(17)

secara periodik sesuai dengan kebutuhan khalayak. Ia menjelaskan bagaimana cara menyebarluaskan pesan yang tepat dari komunikator kepada khalayak yang tepat. Ia juga membantu kita untuk membuat agenda kegiatan sehingga bisa menjadi pegangan bagi para stakeholder untuk selalu well-informed, terutama dalam kaitannya dengan apa yang kita tawarkan.

Middleton (dalam Cangara, 2014: 83-84) menjelaskan bahwa terdapat beberapa langkah atau tahapan dalam perencanaan komunikasi. Model yang dibuat oleh Middleton diawali dengan riset untuk memperoleh data dan upaya untuk mengetahui kebutuhan khalayak (need assessment).

Adapun langkah-langkah perencanaan komunikasi menurut Middleton adalah:

a. Pengumpulan data baseline dan need assessment

Sebagai langkah awal dalam perencanaan komunikasi diperlukan seperangkat data dasar (baseline data) yang akurat dan memadai termasuk informasi tentang identifikasi masalah dan kajian mengenai apa yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi (need assesment).

Analisis awal ini penting untuk menemukan faktor-faktor strategis yang sangat penting bagi organisasi dan keberlangsungan program komunikasi organisasi (Iriantara, 2004: 15).

b. Perumusan tujuan

Dalam menetapkan tujuan, seorang perencana komunikasi harus bisa menjawab pertanyaan; mengapa anda perlu melakukan

(18)

kegiatan/ program dan apa yang anda ingin capai dengan kegiatan tersebut; perubahan bagaimana yang anda inginkan; apakah tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan kebutuhan target sasaran (need assessment).

c. Analisis dan segmentasi khalayak

Analisis khalayak diperlukan guna mengetahui kebutuhan khalayak akan pengembangan suatu program. Keterlibatan khalayak dalam perumusan suatu program akan berdampak baik bagi dukungan khalayak terhadap program yang dijalankan.

Untuk mengetahui dan memahami segementasi khalayak, para peneliti sering kali memulai dengan cara memetakan karakteristik khalayak.

Ada beberapa aspek yang bisa digunakan dalam memetakan karakteristik khalayak, yaitu:

1) Aspek Demografis. Segmentasi yang didasarkan pada peta kependudukan, misalnya usia, jenis kelamin, besarnya anggota keluarga, pendidikan tertinggi yang dicapai, jenis pekerjaan, tingkat penghasilan, agama, suku.

2) Aspek geografis (letak daerah). Segmentasi ini membagi-bagi khalayak berdasarkan jangkaun geografis. Pasar dibagi-bagi ke dalam beberapa unit geografis yang berbeda yang mencakup suatu wilayah negara, provinsi, kabupaten, kota hingga ke lingkungan perumahan.

(19)

3) Aspek geodemografis. Segmentasi ini merupakan gabungan dari segmentasi geografis dan segmentasi demografis. Para penganut konsep ini percaya bahwa mereka yang menempati geografis yang sama cenderung memiliki karakter-karakter demografis yang sama pula. Namun wilayah geografis harus sesempit mungkin, misalnya kawasan-kawasan pemukiman atau kelurahan.

4) Aspek psikografis (menyangkut gaya hidup dan selera masyarakat). Segmentasi psikografis merupakan pembagian berdasarkan gaya hidup dan kepribadian manusia. Gaya hidup mempengaruhi perilaku seseorang dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang.

d. Analisis perencanaan dan pengembangan strategi

Tahap ini merupakan keputusan mengenai jalan yang ditempuh untuk mencapai apa yang sudah ditetapkan dalam tujuan. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor lingkungan sosial, operasional, dan internal, kemudian dengan mempertimbangkan tujuan, maka ditetapkan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.

Lubis (dalam Iriantara, 2004: 35) menerangkan bahwa sebagai bagian dari manajemen strategis, strategi perencanaan komunikasi yang dipilih harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

(20)

1) Responsif terhadap lingkungan

2) Memanfaatkan keunggulan kompetitif

3) Konsisten dengan keseluruhan strategi lain yang dimiliki oleh organisasi

4) Memberikan fleksibilitas yang memadai bagi organisasi 5) Sesuai dengan misi dan tujuan jangka panjang organisasi 6) Layak untuk dijalankan.

e. Pemilihan media

Memilih media komunikasi harus mempertimbangkan karakteristik isi dan tujuan isi pesan yang ingin disampaikan, dan jenis media yang dimiliki oleh khalayak.

Beberapa hal perlu mendapat perhatian, dalam melakukan pemilihan media komunikasi, antara lain:

1) Sumber daya komunikasi yang tersedia di suatu tempat. 2) Pemilikan media di kalangan masyarakat sasaran. 3) Terjangkau tidaknya pesan yang akan disampaikan. f. Desain dan pengembangan pesan

Pesan sangat tergantung pada program yang ingin disampaikan. Jika program itu bersifat komersial untuk mengajak orang agar membeli barang yang dipasarkan, maka pesannya bersifat persuasif. Sedangkan jika produk dalam bentuk program penyuluhan untuk penyadaran masyarakat, maka sifat pesannya harus persuasif dan edukatif.

(21)

Hal kedua yang perlu diperhatikan dalam penyusunan pesan adalah sifat dari produk itu sendiri. Jika produk itu bersifat tangible (nyata) dan barangnya bisa dimiliki, maka pesan yang digunakan tidak perlu terlalu banyak sebab setiap anggota masyarakat bisa mengevaluasinya sendiri. Namun, jika program yang dipasarkan sifatnya tidak nyata (intangible) maka memerlukan penjelasan yang lebih lengkap, mudah dimengerti, dan menjanjikan prospek apa yang akan diperoleh setelah menerima program tersebut.

g. Perencanaan manajemen

Yang perlu dilakukan pertama kali dalam tahap ini adalah menentukan komunikator yang akan menyampaikan pesan komunikasi kepada khalayak yang dituju, baik itu dalam bentuk perseorangan maupun tim komunikator.

Menurut Cangara (2014: 133) ada 3 syarat yang perlu dipenuhi oleh seorang komunikator, yakni: tingkat kepercayaan orang lain kepada dirinya (kredibilitas), daya tarik (attractive) dan kekuatan (power).

Yang tak kalah penting dalam tahap ini adalah membentuk tim yang akan mengelola program komunikasi dan melakukan pengawasan secara berkelanjutan. Untuk melaksanakan suatu program komunikasi dibutuhkan personil yang handal dan memahami tugas-tugas komunikasi yang akan dilaksanakan.

(22)

i. Evaluasi program

Evaluasi merupakan metode pengkajian dan penilaian keberhasilan kegiatan komunikasi yang telah dilakukan, dengan tujuan memperbaiki atau meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai sebelumnya. Evaluasi dilakukan dalam rangka mengukur sejauh mana keberhasilan suatu program komunikasi. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan bertitik tolak dari tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:

1) Evaluasi program

Evaluasi program biasa disebut dengan evaluasi sumatif. Evaluasi ini memiliki fokus untuk melihat:

a) Sejauhmana tujuan akhir yang ingin dicapai dari suatu kegiatan, apakah terpenuhi atau tidak.

b) Untuk melakukan modifikasi tujuan program dan strategi.

2) Evaluasi Manajemen

Evaluasi manajemen biasa disebut dengan evaluasi formatif. Evaluasi ini memiliki fokus terhadap pencapaian operasional kegiatan, misalnya:

a) Apakah hal-hal yang dilakukan masih dalam tataran rencana yang telah ditetapkan semula.

(23)

c) Apakah usaha yang dilakukan itu mengalami kemajuan atau tidak.

d) Apakah ada hambatan atau kemacetan yang ditemui dalam operasional atau tidak.

e) Bagaimana cara mengatasi hambatan tersebut, apakah dengan cara memodifikasi langkah-langkah yang akan diambil, apakah mengurangi atau menambah komponen yang bisa memperlancar jalannya kegiatan.

3. Brand (Merek)

Menurut the American Marketing Association (AMA) brand (merek) merupakan suatu nama, istilah, tanda, simbol atau desain, ataupun kombinasi dari unsur-unsur tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau layanan jasa dari seorang penjual atau sekelompok penjual untuk membedakannya dari produk kompetitor (Keller, 2003: 3).

Selanjutnya Keller (2003: 3) menjelaskan bahwa kunci dalam membentuk merek sesuai dengan definisi dari AMA di atas adalah untuk mampu memilih suatu nama, logo, simbol, desain kemasa, atau atribut lain yang mengidentifikasikan suatu produk dan membedakannya dari produk lain. Komponen- komponen pembeda dari suatu merek yang memiliki kemampuan mengidentifikasi dan membedakan ini disebut dengan brand elements.

Moilanen dan Rainisto (2009: 9) menjelaskan, merek adalah kesan yang dirasakan dalam pikiran klien dari suatu produk atau layanan jasa. Yang

(24)

merupakan keseluruhan dari semua elemen berwujud dan tidak berwujud, yang membuat seleksi produk menjadi unik. Sebuah merk tidak hanya sebuah simbol yang memisahkan satu produk dengan lainnya, tetapi merk merupakan seluruh atribut yang ditujukan kepada benak konsumen saat mereka memikirkan sebuah merk. Atribut-atribut tersebut antara lain fitur-fitur yang tampak, tidak tampak, psikologikal, dan sosiologikal terkait sebuah produk.

Merek bukan hanya sekedar nama, bukan pula sebuah logo atau simbol. Merek dapat menjadi payung yang mampu merepresentasikan suatu produk atau layanan jasa. Meskipun merek adalah nama atau tanda tetapi merek mempunyai arti yang penting dalam pemasaran. Karena merek sangat efektif sebagai alat untuk meningkatkan atau mempertahankan jumlah penjualan (Ambadar dkk, 2007: 2).

Murphy (dalam Keller, 2003: 7) menjelaskan bahwa menciptakan suatu merek yang sukses memerlukan perpaduan dari semua jenis elemen bersama-sama dalam suatu cara yang unik, produk atau layanan jasa haruslah berkualitas tinggi dan sesuai dengan kebutuhan konsumen, nama suatu merek harus menggugah dan sejalan dengan persepsi konsumen tentang suatu produk, kemasan, promosi, harga dan semua elemen-elemen lain harus sesuai dengan tingkat kelayakan, daya tarik dan diferensiasi produk atau layanan jasa tersebut.

Ada tiga tujuan dalam pemberian nama merek, yaitu: 1. Sebagai suatu cara untuk mendapatkan nilai tambah.

(25)

2. Para pelanggan dapat langsung mengetahui kualitas produk, fitur yang diharapkan dan jasa yang dapat diperoleh.

3. Cermin atau janji yang diucapkan oleh produsen terhadap konsumen atas kualitas produk yang akan mereka hasilkan (Ambadar, 2007: 4-5).

Menurut Ambadar (2007: 4) ada dua fungsi merek. Pertama, merek memberikan identifikasi terhadap suatu produk sehingga konsumen mengenali merek yang berbeda dengan produk lain. Kedua, merek membantu untuk menarik calon pembeli. Kebanyakan pengusaha selalu berusaha agar produknya dapat terus bertahan pada tahap kejayaan di pasar. Tidak heran jika banyak pengusaha yang melakukan berbagai macam upaya dan kiat-kiat baru agar nama produk tidak hilang dalam ingatan konsumen, memperluas geografis pemasaran untuk meraih konsumen-konsumen baru. Tetapi kalangan pelanggan yang fanatik tidak mau beralih dari satu merek favorit, walaupun ada merek lain yang menawarkan lebih baik dari merek favoritnya.

Menurut Kotler (2003, 15-33) ada beberapa hal yang dapat di-branding-kan, yakni:

1. Produk fisik (physical goods). 2. Pelayanan Jasa (Services). 3. Retailer dan Distributor. 4. Produk dan Layanan Online. 5. Orang dan Organisasi. 6. Olahraga, Seni dan Hiburan.

(26)

7. Wilayah atau lokasi geografis. 8. Ide dan causes.

Surachman (2008: 33) menjelaskan bahwa elemen-elemen merek sering disebut sebagai identitas dari suatu merek. Elemen merek dapat menjadi alat yang dapat digunakan untuk memperkenalkan dan membedakan suatu merek. Elemen-elemen utama dari merek terdiri atas beberapa hal berikut ini:

1. Nama merek

Nama merek adalah hal yang mendasar yang menggambarkan tema sentral atau asosiasi kunci suatu produk dalam suatu penyajian iklan yang sederhana maupun lebih kompleks. Nama merupakan indikator mendasar dari suatu merek yang berbasis pada kesadaran maupun usaha-usaha komunikasi. Dengan kata lain nama bisa mem-bentuk esensi dari konsep sebuah merek.

2. Logo dan simbol

Logo dan simbol merupakan kesatuan yang dapat mewakili desain produk, yakni mengenai baik atau buruknya desain tersebut dalam pemikiran konvensional pasar pada saat tertentu. Simbol yang unik akan membantu konsumen untuk mengingat dan dapat dipastikan bahwa tidak ada pesaing yang berniat meniru bentuk maupun rancangannya. Simbol yang unik dapat memiliki makna dalam beberapa tahun ke depan untuk digunakan dalam program komunikasi melalui periklanan.

(27)

3. Karakter

Karakter di sini dapat diartikan sebagai hasil dari simbol suatu merek. Biasanya karakter diperkenalkan dalam suatu periklanan yang dihubungkan dengan desain kemasan suatu produk. Manfaat karakter adalah bahwa produk tersebut mendapat citra dan dapat digunakan untuk membuat suatu kesadaran merek para konsumen.

4. Slogan

Slogan merupakan suatu rangkaian kalimat pendek yang bertujuan untuk mengkomunikasikan informasi tentang suatu merek. Slogan merupakan suatu alat yang dirasa kuat untuk bersaing dengan merek lain.

5. Jingles

Jingles merupakan suatu pesan musical yang ditulis dalam cakupan merek tersebut. Biasanya, aransemen dari jingles dibuat oleh penulis lagu yang profesional. Jingles dapat mengkomunikasikan manfaat dari merek yang melekat pada produk tersebut.

6. Kemasan

Kemasan merupakan suatu hal yang pertama kali dilihat oleh konsumen dalam memilih suatu merek pada produk. Kemasan melibatkan aktivitas mendesain dan memproduksi suatu produk. Suatu produk yang dikemas dapat membuat seorang konsumen merasa puas. Pemilihan elemen ini harus didukung oleh strategi pemasaran yang

(28)

baik. Apabila ada beberapa elemen tersebut tidak saling mendukung maka kinerja merek yang dihasilkan akan berjalan tidak baik.

Ekuitas merek adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengindikasikan nilai dari suatu merek. Ekuitas merek merupakan nilai tambah bagi suatu produk dengan menunjukkan keunggulan dari nama merek tersebut (Pelsmacker, 2001: 42).

Menurut perspektif konsumen, sebuah merek memiliki ekuitas sebesar pengenalan konsumen atas merek tersebut dan menyimpannya dalam memori mereka beserta asosiasi merek yang mendukung, kuat, dan unik. Ekuitas merek dalam perspektif konsumen terdiri atas dua bentuk pengetahuan tentang merek: kesadaran merek (brand awareness) dan citra merek (brand image) (Shimp, 2003: 10).

Kesadaran merek (brand awareness) merupakan kemampuan sebuah merek untuk muncul dalam benak konsumen ketika mereka sedang memikirkan kategori produk tertentu dan seberapa mudahnya nama tersebut dimunculkan. Kesadaran merek (brand awareness) merupakan dimensi dasar dalam ekuitas merek (brand equity). Berdasarkan cara pandang konsumen, sebuah merek tidak memiliki ekuitas hingga konsumen menyadari keberadaan merek tersebut, mencapai kesadaran merek adalah tantangan utama bagi merek baru. Mempertahankan tingkat kesadaran akan merek yang tinggi adalah tugas yang harus dihadapai oleh semua merek (Shimp, 2003: 11).

(29)

Tingkatan kesadaran merek, secara berurutan dapat dijelaskan dari beberapa hal berikut:

1. Tidak menyadari adanya merek (unaware of brand). Tingkat kesadaran yang paling rendah dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek.

2. Pengenalan merek (brand recognition). Tingkat minimal dari kesadaran merek. Hal ini penting ketika seorang pembeli memilihi suatu merek pada saat melakukan pembelian.

3. Mengingat kembali merek (brand recall). Hal ini didasarkan apakah seorang dapat menyebutkan merek tertentu dalam suatu kategori produk tertentu. Hal ini diistilahkan dengan pengingatan kembali tanpa bantuan karena berbeda dari tugas pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk memunculkan merek tersebut.

4. Puncak pikiran (top of mind). Apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan pengingat dan ia dapat menyebutkan suatu nama merek, maka merek yang paling banyak disebutkan pertama kali merupakan puncak pikiran dari konsumen itu sendiri. Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama yang terdapat dalam benak konsumen di antara merek lainnya (Surachman, 2008:8).

Aaker dan Jacobson (dalam Kotler, 2003:112) berpendapat bahwa suatu merek dengan ekuitas merek yang baik secara tidak langsung berkemungkinan besar untuk memberikan manfaat bagi produsen produk tersebut, seperti

(30)

membantu produsen dalam menarik pekerja yang lebih baik, membangkitkan rasa tertarik yang lebih besar dari para investor, dan mengumpulkan lebih banyak dukungan dari para shareholders.

4. City Brand

Dengan adanya kompetisi antara kota secara global, maka konsep strategi brand secara signifikan diadopsi dan diaplikasikan untuk mencapai pengem-bangan kota, regenerasi kota dan peningkatan kualitas hidup di kota tersebut (Dinnie, 2010: 3).

Twitchell (dalam Rizzi, 2010: 42) menerangkan bahwa branding telah digunakan sebagai teknik pemasaran suatu produk (kota, wilayah, negara) dan bukan hanya sebagai alat dalam suatu upaya periklanan. Dari tahun 1990-an city branding telah diperkenalkan untuk membuat suatu kota (juga negara dan wilayah) lebih mengesankan dan dikenali secara luas.

Kavaratzis (2004: 70) menjelaskan bahwa city branding dipahami sebagai sarana untuk mencapai keunggulan kompetitif dalam rangka untuk meningkatkan investasi dari pariwisata, dan juga sebagai pencapaian pembangunan masyarakat. Memperkuat identitas lokal dan identitas warga dengan kota mereka dan mengaktifkan semua kalangan sosial demi menghindari pengucilan dan kerusuhan sosial.

City branding umumnya memfokuskan pada pengelolaan citra, tepatnya apa dan bagaimana citra itu akan dibentuk serta aspek komunikasi yang dilakukan dalam proses pengelolaan citra (Kavaratzis, 2008:8).

(31)

Molainen dan Rainisto (dalam Saragih, 2011: 340) berpendapat bahwa pengelolaan merek suatu tempat tujuan (destinasi) merupakan rangkaian upaya pembentukan identitas merek yang kemudian dilanjutkan dengan upaya memposisikan merek dalam benak prospek (pengunjung), dan akhirnya terbentuk menjadi citra merek sebuah tempat tujuan. Baik atau buruknya pengunjung atau stakeholder lainnya mencitrakan sebuah tempat akan bergantung kepada upaya terkoordinasi dalam masalah-masalah yang menyangkut internal sebuah kota atau negara, sehingga memberikan nilai keuntungan kompetitif dengan kota lainnya.

City branding berpusat pada persepsi dan citra yang dimiliki seseorang dan menempatkannya di pusat program pengembangan merek, yang dirancang untuk membentuk suatu kota dan masa depan kota tersebut. Mengelola merek suatu kota menjadi upaya untuk mempengaruhi dan membentuk mental maps dengan cara yang dianggap menguntungkan bagi keadaan sekarang dan kebutuhan masa depan dari suatu kota (Kavaratzis dan Ashworth, 2005: 507).

Ada banyak alasan mengenai pentingnya suatu kota untuk memiliki brand strategy (strategi merek), tapi alasan yang paling umum adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kota atau daerah tersebut. Hal ini karena, suatu merek kota yang kuat dapat:

a. Mengubah persepi kota yang mungkin memiliki citra buruk di antara para konstituen internal dan eksternalnya.

b. Membentuk suatu visi yang umum bagi masa depan warga kota dan mereka yang berpotensi menjadi warga kota tersebut di masa depan. c. Menyediakan suatu representasi yang konsisten mengenai kota tersebut.

(32)

d. Meningkatkan tingkat kesadaran dan posisi kota tersebut di tingkat lokal, regional dan global.

e. Menghilangkan stereotip buruk yang diasosiasikan dengan kota tersebut dan menggantinya dengan asosiasi yang lebih menarik (Prophet, 2006: 4). Vermeulen (dalam Kavaratzis, 2004: 66) menjelaskan bahwa dalam upaya city branding dan pemasaran kota, citra dari kota yang bersangkutanlah yang perlu direncanakan dan dikelola dengan baik. Apa saja yang menjadi komponen kota tersebut, apa saja yang berlangsung di kota tersebut dan apa saja telah terjadi di kota tersebut, mengkomunikasikan pesan mengenai citra kota tersebut.

Bagan 1.2 City Image Communication

(33)

Menurut Kavaratzis (2004: 67-69) citra kota dikomunikasikan melalui 3 jenis komunikasi yang berbeda, yaitu:

a. Primary Communication

Primary Communication berhubungan dengan efek komunikatif dari semua ―kegiatan‖ kota tersebut. Komunikasi ini dibagi menjadi 4 kategori intervensi:

1) Landscape strategies, merujuk pada aksi dan keputusan yang berhubungan dengan urban design, arsitektur, ruang hijau, dan ruang publik dalam suatu kota. Pengembangan public art dan heritage planning juga termasuk dalam kategori ini.

2) Infrastructure projects, merujuk pada pengembangan proyek untuk membentuk, mengembangkan atau memberi karakter yang berbeda bagi bermacam jenis infrastruktur yang dibutuhkan dalam suatu kota. Kategori ini berhubungan juga dengan peningkatan aksesibilitas kota tersebut bagi bermacam-macam audiens, seperti akses jalan raya bagi para penduduk, akses bagi tempat-tempat wisata dan tempat penting bagi para wisatawan ataupun eksistensi dari bandara yang cukup besar.

3) Organisational and administrative structure, yang berhubungan dengan efektivitas dan peningkatan struktur pemerintahan kota tersebut. Elemen yang paling penting dalam kategori ini adalah community development networks dan partisipasi warga kota

(34)

tersebut dalam pembuatan keputusan, sejalan dengan pembentukan kerjasama pemerintah dengan swasta.

4) The city’s behavior, merujuk pada masalah-masalah seperti visi pemimpin kota bagi pengembangan kota tersebut, strategi yang diadopsi atau insentif keuangan yang disediakan oleh kota tersebut bagi berbagai macam stakeholders.

b. Secondary Communication

Secondary Communication adalah komunikasi yang bersifat formal dan terencana yang biasanya dilakukan melalui praktik pemasaran seperti indoor and outdoor advertising, public relations, desain grafik, penggunaan logo, dan sebagainya. Praktik pemasaran kota inilah yang sering kali disalahpahami dengan upaya branding secara keseluruhan. Jadi perlu ditekankan bahwa secondary communication secara lengkap harus sesuai dengan komponen city branding yang lain dan juga selaras dengan realitas kota sebagaimana dirasakan oleh berbagai khalayak kota.

c. Tertiary Communication

Tertiary communication berhubungan dengan word of mouth, diperkuat oleh komunikasi yang dilakukan media dan kompetitor, jadi tertiary communication ini tidak dapat dikontrol oleh pengupaya city branding dan pemasaran kota. Seluruh proses branding dan dua jenis image communication lain yang terkontrol (primary communication dan secondary communication) memiliki tujuan untuk membangkitkan dan memperkuat tertiary communication yang positif.

(35)

Koswara dalam Saragih (2011: 341) berpendapat bahwa terdapat beberapa keuntungan dari penggunaan merek dalam mempromosikan suatu kota, antara lain:

a. Kota dapat dijadikan sebagai sebuah hak cipta, yang artinya dapat mengingatkan orang tentang keunikan sebuah kota.

b. Kota dapat menjadi simbol kualitas yang dapat meyakinkan pengunjung, kualitas yang dapat merepresentasikan kepribadian pengunjungnya yang ditunjukkan melalui tampilan-tampilan yang disampaikan oleh merek sebuah kota.

c. Ketika digunakan berkali-kali, merek menjadi sebuah metode tangan pendek untuk mengingatkan pengunjung potensial mengenai manfaat yang ditawarkan oleh sebuah kota.

F. KERANGKA BERPIKIR

Kerangka berpikir merupakan petunjuk bagi peneliti untuk menentukan arah dan alur dari penelitian tersebut. Kerangka berpikir menunjukkan alur atau cara berpikir dari peneliti untuk menemukan hasil dari penelitian yang dilakukannya.

Penelitian ini akan berusaha menunjukkan bagaimana perencanaan komunikasi yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang dalam program city branding ―Semarang Variety of Culture‖. Kerangka berpikir dari penelitian perencanaan komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang ini adalah:

(36)

Bagan 1.3

Kerangka Berpikir Perencanaan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang dalam Pengembangan City Brand

(37)

Dalam kerangka berpikir di atas, terdapat beberapa variable yang menjadi komponen dalam proses perencanaan komunikasi yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang dalam program city branding “Semarang Variety of Culture”, yaitu:

1. Pengumpulan data baseline dan kebutuhan khalayak (need assessment) Langkah awal ini dilakukan untuk mengumpulkan seperangkat data dasar (baseline data) yang akurat dan memadai termasuk informasi tentang identifikasi masalah dan kajian mengenai apa yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi (needs assesment). Dalam penelitian ini, akan diketahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh pihak BAPPEDA Kota Semarang untuk mengumpulkan data baseline dan need assessment yang dibutuhkan sebagai langkah awal dalam city branding Semarang Variety of Culture.

2. Perumusan tujuan

Pada tahap ini pengembang city branding perlu mengetahui tujuan utama (primer) dari dikembangkannya project ini. Apa hasil spesifik yang ingin dicapai (meningkatkan pengunjung, meningkatkan perdagangan, menarik dan mempertahankan residen, atau mengubah persepsi saat ini terhadap kota tersebut). Penelitian ini akan berusaha menunjukkan bagaimana perumusan tujuan oleh BAPPEDA Kota Semarang dalam program city branding Semarang Variety of Culture.

(38)

3. Analisis dan segmentasi khalayak

Dalam tahapan ini project developer harus mengerti audiens/ khalayak yang dituju dengan adanya program city branding ini terdiri atas siapa saja, apa persepsi dan sikap mereka terhadap kota kita. Penelitian ini akan berusaha menunjukkan bagaimana segmentasi khalayak dan memilih target audiens, yang dilakukan oleh BAPPEDA Kota Semarang selaku project developer program city branding ini.

4. Analisis perencanaan dan pengembangan strategi

Tahap ini merupakan keputusan mengenai jalan yang ditempuh untuk mencapai apa yang sudah ditetapkan dalam tujuan. Penelitian ini akan melihat perumusan dan pengembangan strategi untuk mencapai tujuan program city branding yang sudah dirumuskan. Perumusan strategi didasarkan atas data baseline dan need assessment serta segmentasi khalayak dan penentuan target audiens yang sudah dilakukan pada tahap sebelumnya.

5. Pemilihan media

Pemilihan media komunikasi dalam suatu program didasarkan atas karakteristik isi dan tujuan isi pesan yang ingin disampaikan, dan jenis media yang dimiliki oleh khalayak. Penelitian ini akan mencoba menunjukkan bagaimana pemilihan media komunikasi dalam program city branding Semarang Variety of Culture oleh BAPPEDA Kota Semarang.

(39)

6. Desain dan pengembangan pesan

Penyusunan pesan sangat tergantung pada program yang ingin disampaikan dan sifat dari produk tersebut. Penelitian ini akan berusaha menunjukkan bagaimana BAPPEDA Kota Semarang menyusun serta menyampaikan pesan kepada target audiens yang telah ditentukan sebelumnya.

7. Perencanaan manajemen

Perencanaan manajemen terdiri atas penentuan komunikator yang akan menyampaikan pesan komunikasi kepada khalayak yang dituju dan pembentukan tim yang akan mengelola program komunikasi city branding. Penelitian ini akan menunjukkan bagaimana penentuan komunikator dan pembentukan tim manajemen program city branding Semarang Variety of Culture oleh BAPPEDA Kota Semarang.

8. Impelementasi program komunikasi

Penelitian ini akan menunjukkan bagaimana pelaksanaan (implementasi) program komunikasi city branding yang telah disusun oleh BAPPEDA Kota Semarang.

9. Evaluasi program

Evaluasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa pesan yang disampaikan dalam city branding ini diterima dengan baik oleh khalayak dan apakah upaya-upaya yang telah dilakukan telah berhasil dengan maksimal. Penelitian ini akan mencoba menunjukkan bagaimana

(40)

kegiatan evaluasi program komunikasi city branding Semarang Variety of Culture oleh BAPPEDA Kota Semarang.

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, arah dari kerangka berpikir tersebut bertujuan untuk mengetahui tahapan-tahapan dari proses perencanaan komunikasi program city branding Semarang Variety of Culture oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang.

Hasil akhir dari penelitian ini adalah jawaban atas pertanyaan bagaimana perencanaan program city branding Semarang Variety of Culture oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang.

(41)

G. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk studi deskriptif kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan dan melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami peristiwa tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Penelitian deskriptif kualitatif yaitu pembahasan dalam bentuk paparan kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Data yang dikumpulkan dalam penelitian deskriptif berupa kata-kata dan gambar. Dalam penelitian deskriptif datanya tidak berupa angka-angka (Moelong, 2008: 23).

Menurut Kriyantono (2008: 56) penelitian kualitatif lebih memen-tingkan makna dan tidak ditentukan oleh kuantitasnya. Data dikumpulkan berwujud kata-kata dalam kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka atau jumlah. Metode penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya dengan pengumpulan data sedalam-dalamnya.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang, Lantai 7 Kompleks Perkantoran Terpadu Pemerintah Kota Semarang, Jl Pemuda No. 148, Semarang, Jawa Tengah.

(42)

3. Teknik Pengambilan Sample

Teknik pengampilan sample dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah pemilihan sekelompok subjek yang didasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Arikunto, 2006: 17). Ciri-ciri atau sifat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan informan mengenai perumusan dan pengembangan city brand Semarang Variety of Culture. Adapun informan yag dijadikan sample dalam penelitian ini antara lain:

a. Z.S. Satyahadi, S.E. selaku Kepala Bidang Pengendalian dan Statistik (eks Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan) BAPPEDA Kota Semarang. Z.S. Satyahadi bertindak sebagai sekretaris dalam program pengembangan brand Kota Semarang. b. Nik Sutiyani, S.T., M.T. selaku Kepala Sub-Bidang Tata Ruang

dan Lingkungan Hidup BAPPEDA Kota Semarang. Nik bertindak sebagai Humas dalam program pengembangan brand kota Semarang.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik: a. Wawancara

Wawancara adalam percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan dengan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer),yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee), yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Metode

(43)

wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi yang jelas dan mendalam tentang berbagai aspek yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian kepada responden penelitian (Moelong, 2008: 35).

Wawancara dilakukan dengan 2 orang staf BAPPEDA Kota Semarang yang menjadi bagian dari tim developer brand Kota Semarang yang baru. Hal yang ditanyakan dalam wawancara seputar perumusan dan pengembangan brand Kota Semarang (Semarang Variety of Culture) pada tahun 2011 hingga tahun 2014.

b. Analisis Dokumen

Analisis dokumen berupa dokumen Prosiding Sayembara Membangun City Brand Kota Semarang dan Laporan Akhir Penyusunan City Brand Kota Semarang. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang mendukung dalam penelitian ini.

5. Jenis Data a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara mendalam (indepth interview) yang dilakukan kepada informan terkait. Dalam hal ini informan adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang.

b. Data Sekunder

Merupakan data yang sumber utamanya diperoleh dengan cara mengutip atau memperoleh dari data yang sudah tersedia dan berkaitan

(44)

dengan perencanaan city branding Kota Semarang seperti dokumen proceeding sayembara logo dan tagline branding Kota Semarang, Laporan penyusunan branding, foto, dan file-file terkait penyusunan brand kota Semarang. Serta menggunakan buku-buku untuk mendukung teori serta mempelajari dokumen, laporan, dan naskah-naskah lain yang berhubungan dengan penelitian.

6. Teknik Analisis Data

Sutopo (2002: 91) mengungkapkan bahwa dalam proses analisis data terdapat 4 komponen utama yang harus dipahami oleh setiap peneliti kualitatif. Empat komponen tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pengumpulan Data

Merupakan kegiatan memperoleh informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi dan wawancara pada obyek penelitian ditambah dengan data dari dokumen-dokumen. Peneliti mewawancarai informan dalam menggali data yang diperlukan. Data yang diperoleh masih berupa data mentah yang tidak teratur, sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur.

b. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanan, dan abstraksi dari field note atau data mentah. Reduksi data dilakukan selama penelitian berlangsung. Reduksi data merupakan kegiatan analisis yang menajamkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data. Peneliti

(45)

memilih data yang benar-benar diperlukan dari hasil wawancara dan mengorganisasikannya. Karena dalam wawancara, ada kemungkinan informan menjawab panjang lebar sehingga melenceng dari pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

c. Sajian Data

Sajian data dapat diartikan sebagai sekumpulan informasi yang tersusun yang memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Sajian data dapat berupa matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kegiatan, tabel. Semuanya dirakit secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi. Dengan penyajian data, peneliti dengan mudah memahami apa yang sedang terjadi dan lebih jauh menganalisis berdasarkan pengalaman yang didapat dari penyajian tersebut. Data yang dipilih dan telah diorganisasikan akan disajikan dalam bentuk teks normatif.

d. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Kesimpulan akhir diperoleh bukan hanya sampai pada akhir pengumpulan data melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa pengulangan dengan melihat kembali field note (data mentah) yang ada.

Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian dalam proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan, dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju

(46)

komponen yang lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa mengambil salah satu komponen.

Bagan 1.4

Teknik Analisis Interaktif

Sumber: Sutopo (2002: 96)

Aplikasi empat langkah teknik analisis data dalam penelitian ini adalah:

a. Pengumpulan data. Sebagaimana dijelaskan dalam bagian sebelumnya bahwa dalam tahap pengumpulan data, peneliti melakukan kegiatan indepth interview dengan pihak BAPPEDA Kota Semarang sebagai city brand’s developer dan kegiatan analisis dokumen dari dokumen-dokumen terkait pengembangan city brand Kota Semarang yang peneliti dapatkan dari BAPPEDA Kota Semarang.

b. Reduksi data. Setelah data diperoleh melalui wawancara dan telah ditranskrip, kemudian dilakukan pengelompokan data sesuai dengan tujuan penelitian yang mengacu pada model

(47)

perencanaan komunikasi yang dikemukakan oleh John Middleton (dalam Cangara, 2014: 83).

c. Setelah data dikelompokkan sesuai tujuan penelitian, kemudian dilakukan kegiatan sajian data. Dimana data disajikan sesuai dengan tujuan penelitian. Data-data tersebut kemudian dianalisis, dalam analisis data digunakan metode induktif, yaitu hasil data dianalisis sesuai perolehan data dengan menghubungkan dengan teori yang digunakan melalui pemikiran peneliti.

d. Langkah yang terakhir adalah membuat kesimpulan berdasarkan rumusan masalah penelitian.

7. Validitas Data

Teknik yang digunakan untuk menguji validitas data yaitu dengan menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi adalah menganalisis jawaban subyek dengan meneliti kebenarannya dengan data empiris (sumber data lain) yang tersedia (Kriyantono, 2008: 70).

Menurut Dwidjowinoto (2002) dalam Kriyantono (2007: 70) terdapat lima macam triangulasi, yakni triangulasi sumber, triangulasi waktu, triangulasi teori, triangulasi periset dan triangulasi metode.

Dalam studi ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber. Dwidjowinoto (2002) dalam Kriyantono (2007: 70) menjelaskan bahwa triangulasi sumber adalah membandingkan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda.

(48)

Dimana dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa sumber data untuk mengumpulkan data. Sehingga data-data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya apabila digali dari beberapa sumber yang berbeda.

Peneliti dapat memperoleh dari narasumber yang berbeda posisinya dengan cara:

a. Wawancara mendalam dengan lebih dari satu informan, sehingga informasi dari informan satu dapat dibandingkan dengan informasi yang peneliti dapatkan dari informan yang lain.

b. Dokumen Prosiding Sayembara Membangun City Brand Kota Semarang, Laporan Penyusunan Akhir City Brand Kota Semarang dan dokumen kegiatan seperti foto yang berkaitan dengan data-data yang dimaksudkan oleh peneliti.

Dengan cara mengumpulkan data dari sumber data yang berbeda, data sejenis bisa teruji kemantapannya dan kebenarannya. Data yang satu akan dikontrol oleh data yang sama dari sumber yang berbeda. Sementara data yang diperoleh setelah dikomparasikan dan diuji dengan data yang lain, bisa saling melengkapi dan menguji sehingga diperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan kompetensi peserta PEDAMBA: Kelas Pemanfaatan Software Tracker dalam pelajaran Fisika Tahap ke-I” dapat dilihat dari hasil evaluasi pelaksanaan

Modul ini dikembangkan dengan tujuan agar mahasiswa mengerti, memahami masalah Penggunaan Obat yang Rasional ( POR ); memahami dan berkemampuan cara mengidentifikasi masalah POR;

Tipografi adalah suatu proses untuk menyusun bahan publikasi menggunakan huruf cetak, oleh karena itu menyusun meliputi merancang bentuk huruf cetak hingga merangkainya

Belum adanya syslog server yang dapat menampilkan log jika terjadi serangan di sebuah jaringan client yang ditampilkan secara terpusat untuk memudahkan para admin wahana

Hasil penelitian menunjukan hasil tes akhir/pos tes dengan menggunakan model pembelajaran langsung berbasis proyek terhadap hasil belajar konsep perubahan wujud benda

Kelemahan tersebut, seperti: (1) keharusan menulis identitas, sedangkan desain yang peruntukkan siswa awas yang hanya melingkari atau menghitamkan bulatan-bulatan utnuk

Misi taspen yaitu mewujudkan manfaat dan pelayanan yang semakin baik bagi peserta dan stakeholder lainnya secara profesional, dan akuntabel yang berlandaskan integritas dan etika

Tujuan: Menemukan metoda diagnostik sederhana dalam mende- teksi vaginosis bakterial (VB) dalam kehamilan dengan menentukan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan