Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 561
ANALISIS FAKTOR DEMOGRAFIS TERHADAP INTENSI KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA
Teodora Winda Mulia Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta
Lydia Ari Widyarini Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana Unversitas Airlangga Surabaya
Lodovicus Lasdi Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta
Abstrak
Di era persaingan global yang sangat ketat, inovasi usaha harus diiringi dengan berbagai macam rekayasa teknologi agar dapat melipatgandakan performa dari usaha tersebut. Pemanfaatan teknologi mutakhir tepat guna dalam pengembangan usaha yang berdasarkan pada jiwa entrepreneur yang mapan akan dapat mengoptimalkan proses sekaligus hasil dari unit usaha yang dikembangkan. Inilah yang disebut technopreneurship: sebuah kolaborasi antara penerapan teknologi sebagai instrumen serta jiwa usaha mandiri sebagai kebutuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor demografis yang mempengaruhi intensi mahasiswa terhadap kewirausahaaan yang mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan usaha. Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji intensi mahasiswa terhadap kewirausahaan dengan menggunakan analisis regresi berganda terhadap 990 mahasiswa UKWMS. Hasil pengujian menunjukan variabel jender dan usia tidak terkonfirmasi mempengaruhi intensi kewirausahaan sedangkan latar pendidikan ekonomi dan bisnis dan pengalaman berwirausaha memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan
562 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya mereka yang berlatar belakang pendidikan non-ekonomi dan bisnis.
Kata kunci: usia, jender, latar belakan pendidikan, pengalaman, intensi wirausaha
P E N D A H U L U A N
Peranan universitas dalam memotivasi sarjana menjadi wirausahawan muda sangat penting dalam menumbuhkan jumlah wirausahawan. Dengan meningkatnya wirausahawan dari kalangan sarjana akan mengurangi pertambahan jumlah pengangguran bahkan menambah jumlah lapangan pekerjaan. Pada tahun 1996 tingkat pengangguran masih 4,9 persen, dua tahun setelah krisis naik menjadi 6,3 persen, lalu naik lagi menjadi 8,1 persen pada tahun 2001. Sampai tahun 2009 ini angka pengangguran meningkat sampai 9,5%. Angka pengangguran tahun 2010 diperkirakan masih akan tinggi, berkisar antara 8-10%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010 yang diproyeksikan sebesar 5 persen, dinilai tidak akan cukup untuk menyerap seluruh tenaga kerja yang memasuki usia kerja.
Lapangan kerja yang terbatas membuat orang mencari jalan untuk bertahan hidup agar dapat hidup layak. Oleh karena itu untuk menumbuhkan perilaku wirausaha pada masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya akan sangat penting dan strategis bagi pengembangan sumberdaya manusia Indonesia yang bermutu, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masayrakat Indonesia. Pemerintah mengahrapkan para sarjana yang baru lulus mempunyai kemampuan dan keberanian untuk berwirausaha meskipun secara bisnis termasuk kecil tetapi membuka dan atau menambah lapangan kerja bagi banyak orang. Institusi pendidikan tinggi sebagai pencetak calon tenaga kerja baru bertanggung jawab dalam mendidik dan memberikan materi kewirausahaan.
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 563 Peranan perguruan tinggi dalam memotivasi sarjananya menjadi wirausahawan muda sangatlah penting. Masalahnya adalah bagaimana pihak perguruan tinggi mampu melakukan peranannya dengan benar dan mampu menghasilkan sarjana yang siap berwirausaha. Peranan pihak perguruan tinggi dalam menyediakan suatu wadah yang memberikan kesempatan memulai usaha sejak masa kuliah sangatlah penting, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana peranan perguruan tinggi dalam hal memotivasi mahasiswanya untuk tergabung dalam wadah tersebut. Karena tanpa memberikan gambaran secara jelas apa saja manfaat berwirausaha, maka besar kemungkinan para mahasiswa tidak ada yang termotivasi untuk memperdalam keterampilan berbisnisnya. Oleh karena itu, pihak perguruan tinggi juga perlu mengetahui faktor yang paling dominan memotivasi mahasiswa dalam berwirausaha.
Pengaruh pendidikan kewirausahaan selama ini telah dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penting untuk menumbuhkan dan mengembangkan hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di kalangan generasi muda (Kourilsky dan Walstad, 1998). Terkait dengan pengaruh pendidikan kewirausahaan tersebut, diperlukan adanya pemahaman tentang bagaimana mengembangkan dan mendorong lahirnya wirausaha-wirausaha muda yang potensial sementara mereka berada di bangku sekolah. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa keinginan berwirausaha para mahasiswa merupakan sumber bagi lahirnya wirausaha-wirausaha masa depan (Gorman et al., 1997; Kourilsky dan Walstad, 1998). Sikap, perilaku dan pengetahuan mereka tentang kewirausahaan akan membentuk kecenderungan mereka untuk membuka usaha-usaha baru di masa mendatang.
Di sisi lain, mahasiswa sebagai kader wirausahawan dihadapkan pada tantangan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Deperindag (2002) menyebutkan bahwa salah satu kelemahan utama wirausahan kecil dan menengah di
564 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
Indonesia adalah kemampuan dan agresivitas mengakses pasar para pengusaha kecil masih terbatas serta masih terbatasnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendinamisasi dan memajukan usaha kecildan menengah. Menurut OECD (2004), faktor-faktor penghambat penggunaan teknolgi informasi dan komunikasi meliputi (a) ketidaksesuaian proses bisnis, (b) keterbatasan pengetahuan dalam hal manajerial dan penggunaan TIK, (c) biaya pengembangan dan pemeliharaan sistem elektronik, (d) masalah prasarana jaringan komputer dan komunikasi, (e) masalah kepercayaan dan keamanan penggunaan TIK, (f) ketidakpastian hukum, serta (g) berbagai tantangan terkait dengan adopsi proses bisnis elektronik.
Di era modern, pengembangan teknologi akan sangat berpengaruh terhadap daya saing suatu negara dalam kompetisi global. Inovasi teknologi yang kontinu dan tepat guna membutuhkan sebuah penguasaan kompetensi serta otoritas ilmiah dalam implementasi teknologi tersebut. Untuk itulah, diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni sebagai seorang wirausahawan yang melek teknologi informasi dan komunikasi. Di sinilah peran universitas dan institusi pendidikan tingkat tinggi dalam menghasilkan mahasiswa-mahasiswa calon wirausahawan yang memiliki kepahaman ilmiah dan penguasaan teknis dalam rekayasa teknologi. Proses pembentukan kompetensi ini harus ditempuh melalui proses pendidikan yang paripurna. Pihak universitas yang bertanggung jawab dalam tatanan kurikuler harus dapat meramu sebuah kurikulum pendidikan wirausaha berbasis teknologi informasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi intensi mahasiswa terhadap kewirausahaaan. Penelitian ini sangat membantu pihak perguruan tinggi dalam memberikan informasi kepada para mahasiswanya, bahwa menjadi wirausahawan akan mendapatkan beberapa kesempatan, kebebasan dan kepuasan hidup.
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 565 Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah faktor kepribadian dan factor lingkungan mempengaruhi intensi kewirausahawan mahasiswa?
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
a. Kewirausahaan Sebagai Kebutuhan
Kata wirausaha atau pengusaha diambil dari bahasa Perancis “entrepreneur” yang pada mulanya berarti pemimpin musik atau pertunjukkan (Jhingan, 1999: 425). Dalam ekonomi, seorang pengusaha berarti orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan peluang secara berhasil. Pengusaha bisa jadi seorang yang berpendidikan tinggi, terlatih dan terampil atau mungkin seorang buta huruf yang memiliki karakteristik yang sama dengan mereka yang berpendidikan tinggi. Seorang pengusaha mempunyai kriteria kualitas sebagai berikut, (1) energik, banyak akal, siap siaga terhadap peluang baru, mampu menyesuaikan diri terhadap kondisi yang berubah dan mau menanggung risiko dalam perubahan dan perkembangan; (2) memperkenalkan perubahan teknologi dan memperbaiki kualitas produknya; (3) mengembangkan skala operasi dan melakukan persekutuan, mengejar dan menginvestasikan kembali labanya (Jhingan, 1999: 426).
Kewirausahaaan sendiri adalah semangat, sikap, perilaku seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kewirausahawan adalah suatu proses kreativitas dan inovasi yang mempunyai risiko tinggi untuk menghasilkan nilai tambah bagi produk yang
566 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
bermanfaat bagi masyarakat dan mendatangkan kemakmuran bagi wirausahawan. Kewirausahaaan itu dapat dipelajari walaupun ada juga orang-orang tertentu yang mempunyai bakat dalam hal kewirausahaaan.
Kewirausahaan, dalam konteks apapun, selalu berdampingan erat dengan karakter wirausahawan. Wirausahawan adalah seorang yang menciptakan sebuah bisnis yang berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian bertujuan memperoleh profit dan mengalami pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi kesempatan dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan. Kets De Vries (1997: 268) menggolongkan wirausahawan berdasarkan lingkungan mereka berasal, yaitu:
a. Wirausahawan craftman, berasal dari pekerja kasar dengan pengalaman dalam teknologi rendah, mekanik yang genius dan mempunyai reputasi dalam industri.
b. Wirausahawan opportunistic, berasal dari golongan kelas menengah sampai Chief Executives.
c. Wirausahawan dengan bekal pengalaman teknologi dari pendidikan formal.
d. Kewirausahawan ditandai dengan keanekaragaman, yaitu adanya pergantian besar pada masyarakat dan perusahaan yang berterminologi wirausaha.
Kewirausahawan dapat dipelajari (pedagogik) bukan sesuatu yang sifatnya mutlak genetik. Karakateristik khusus yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan adalah: (a) memiliki rasa percaya diri dan mampu bersikap positif terhadap diri dan lingkungannya, (b) berperilaku pemimpin, (c) memilki inisiatif, berperilaku kreatif dan inovatif, (d) mampu bekerja keras, (e) berpandangan luas dan memiliki visi ke depan, (f) berani mengambil risiko yang diperhitungkan, (g) tanggap terhadap saran dan kritik. Berkaitan dengan sifat pedagogik dari kewirausahawan, maka pihak perguruan tinggi ikut bertanggung jawab dalam membentuk karakter wirausahawan mahasiswanya.
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 567
b. Peranan Perguruan Tinggi Dalam Memotivasi Sarjana
Menjadi Wirausahawan
Kenyataan menunjukkan, bahwa dunia bisnis diwarnai oleh inovasi-inovasi diberbagai bidang. Inovasi sebagai proses kreatif, tidak akan sukses ketika inovator belum memiliki semangat kewirausahaan. Pemahaman kesadaran ini menuntut penyajian kuliah Kewirausahaan dan Inovasi tidak bertumpu pada ranah kognitif, tetapi juga afektif, dan psikomotorik. Dengan kata lain, melalui pendidikan tinggi, selain semakin memahami konsep
enterpreneurship juga diharapkan meningkatkan semangat enterpreneurship mahasiswa.
Program Pengembangan Kewirausahaan dilaksanakan untuk menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan pada para mahasiswa dan juga staf pengajar serta diharapkan menjadi wahana pengintegrasian secara sinergi antara penguasaan sains dan teknologi dengan jiwa kewirausahaan. Selain itu diharapkan pula hasil-hasil penelitian dan pengembangan tidak hanya bernilai akademis saja, namum mempunyai nilai tambah bagi kemandirian perekonomian bangsa. Kewirausahaan, dapat didefinisikan sebagai kemampuan melihat & menilai kesempatan-kesempatan (peluang) bisnis serta kemampuan mengoptimalisasikan sumberdaya dan mengambil tindakan serta bermotivasi tinggi dalam mengambil resiko dalam rangka mensukseskan bisnisnya. Peranan perguruan tinggi dalam memotivasi lulusan sarjananya menjadi seorang wirausahawan muda sangat penting dalam menumbuhkan jumlah wirausahawan. Dengan meningkatnya wirausahawan dari kalangan sarjana akan mengurangi pertambahan jumlah pengangguran bahkan menambah jumlah lapangan pekerjaan. Pertanyaannya adalah bagaimana pihak perguruan tinggi dapat mencetak wirausahawan muda. Pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat. Banyak pendidik yang kurang
568 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
memperhatikan penumbuhan sikap dan perilaku kewirausahaan sasaran didik, baik di sekolah-sekolah kejuruan, maupun di pendidikan profesional. Orientasi mereka, pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja.
Selain itu pula, secara historis masyarakat kita memiliki sikap feodal yang diwarisi dari penjajah Belanda, ikut mewarnai orientasi pendidikan kita. Sebagian besar anggota masyarakat mengaharapkan output pendidikan sebagai pekerja, sebab dalam pandangan mereka bahwa pekerja (terutama pegawai negeri) adalah priyayi yang memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani oleh warga masyarakat. Lengkaplah sudah, baik pendidik, institusi pendidikan, maupun masyarakat, memiliki persepsi yang sama terhadap harapan ouput pendidikan.
Berbeda dengan di negara maju, misalkan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat bahwa sejak 1983 telah merasakan pentingnya pendidikan kejuruan. Dimana Pendidikan kejuruan yang dikembangkan diarahkan pada usaha memperbaiki posisi Amerika dalam persaingan ekonomi dan militer. Pendidikan kejuruan khususnya yang berkenaan dengan pendidikan bisnis, dikatakan bahwa dapat dilakukan pada setiap level pendidikan, baik pada level Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, maupun di perguruan tinggi.
Sebagai negara sedang berkembang, Indonesia termasuk masih kekurangan wirausahawan. Hal ini dapat dipahami, kerena kondisi pendidikan di Indonesia masih belum menunjang kebutuhan pembangunan sektor ekonomi. Perhatikan, hampir seluruh sekolah masih didominasi oleh pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang konvensional. Mengapa hal itu dapat terjadi? Di satu sisi institusi pendidikan dan masyarakat kurang mendukung pertumbuhan wirausahawan. Di sisi lain, banyak kebijakan pemerintah yang tidak dapat mendorong semangat kerja masyarakat, misalkan kebijakan harga maksimum beras, maupun subsidi yang berlebihan yang tidak mendidik perilaku ekonomi masyarakat.
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 569 Sebagian besar pendorong perubahan, inovasi dan kemajuan suatu negara adalah para wirausahawan. Wirausahawan adalah seorang yang menciptakan sebuah bisnis yang berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian bertujuan memperoleh profit dan mengalami pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi kesempatan dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan. Dewasa ini banyak kesempatan untuk berwirausaha bagi setiap orang yang jeli melihat peluang bisnis tersebut. Karier kewirausahaan dapat mendukung kesejahteraan masyarakat serta memberikan banyak pilihan barang dan jasa bagi konsumen, baik dalam maupun luar negeri. Meskipun perusahaan raksasa lebih menarik perhatian publik dan sering kali menghiasi berita utama, bisnis kecil tidak kalah penting perannya bagi kehidupan sosial dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Oleh karena itu pemerintah mengharapkan para sarjana yang baru lulus mempunyai kemampuan dan keberanian untuk mendirikan bisnis baru meskipun secara ukuran bisnis termasuk kecil, tetapi membuka kesempatan pekerjaan bagi banyak orang. Pihak perguruan tinggi bertanggung jawab dalam mendidik dan memberikan kemampuan dalam melihat peluang bisnis serta mengelola bisnis tersebut serta memberikan motivasi untuk mempunyai keberanian menghadapi resiko bisnis. Peranan perguruan tinggi dalam memotivasi para sarjananya menjadi young
entrepreneurs merupakan bagian dari salah satu faktor pendorong
pertumbuhan kewirausahaan. Menurut Thomas Zimmerer (2001, 12) dalam Yohnson (2003), ada 8 faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan antara lain sebagai berikut :
1. Wirausahawan Sebagai Pahlawan.
Faktor diatas sangat mendorong setiap orang untuk mencoba mempunyai usaha sendiri karena adanya sikap masyarakat bahwa seorang wirausaha dianggap sebagai pahlawan serta sebagai model untuk diikuti. Sehingga status inilah yang mendorong seseorang memulai usaha sendiri.
570 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 2. Pendidikan Kewirausahaan.
Pendidikan kewirausahaan sangat populer di banyak akademi dan universitas di Amerika. Banyak mahasiswa semakin takut dengan berkurangnya kesempatan kerja yang tersedia sehingga mendorong untuk belajar kewirausahaan dengan tujuan setelah selesai kuliah dapat membuka usaha sendiri.
3. Faktor ekonomi dan Kependudukan.
Dari segi demografi sebagian besar entrepreneur memulai bisnis antara umur 25 tahun sampai dengan 39 tahun. Hal ini didukung oleh komposisi jumlah penduduk di suatu negara, sebagian besar pada kisaran umur diatas. Lebih lagi, banyak orang menyadari bahwa dalam kewirausahaan tidak ada pembatasan baik dalam hal umur, jenis kelamin, ras, latar belakang ekonomi atau apapun juga dalam mencapai sukses dengan memiliki bisnis sendiri.
4. Pergeseran ke Ekonomi Jasa.
Di Amerika pada tahun 2000 sektor jasa menghasilkan 92% pekerjaan dan 85% GDP negara tersebut. Karena sektor jasa relatif rendah investasi awalnya sehingga untuk menjadi populer di kalangan para wirausaha dan mendorong wirausaha untuk mencoba memulai usaha sendiri di bidang jasa.
5. Kemajuan Teknologi.
Dengan bantuan mesin bisnis modern seperti komputer, laptop,
notebook, mesin fax, printer laser, printer color, mesin penjawab
telpon, seseorang dapat bekerja dirumah seperti layaknya bisnis besar. Pada zaman dulu, tingginya biaya teknologi membuat bisnis kecil tidak mungkin bersaing dengan bisnis besar yang mampu membeli alat-alat tersebut. Sekarang komputer dan alat komunikasi tersebut harganya berada dalam jangkauan bisnis kecil.
6. Gaya Hidup Bebas.
Kewirausahaan sesuai dengan keinginan gaya hidup orang Amerika yang menyukai kebebasan dan kemandirian yaitu ingin bebas memilih tempat mereka tinggal dan jam kerja yang mereka sukai. Meskipun keamanan keuangan tetap merupakan sasaran
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 571 penting bagi hampir semua wirausahawan, tetapi banyak prioritas lain seperti lebih banyak waktu untuk keluarga dan teman, lebih banyak waktu senggang dan lebih besar kemampuan mengendalikan stress hubungan dengan kerja. Dalam penelitian yang telah dilakukan bahwa 77% orang dewasa yang diteliti, menetapkan penggunaan lebih banyak waktu dengan keluarga dan teman sebagai prioritas pertama. Menghasilkan uang berada pada urutan kelima dan membelanjakan uang untuk membeli barang berada pada urutan terakhir.
7. E-Commerce dan The World-Wide-Web.
Perdagangan on-line tumbuh cepat sekali, sehingga menciptakan perdagangan banyak kesempatan bagi wirausahawan berbasis internet atau website. Data menunjukkan bahwa 47% bisnis kecil melakukan akses internet sedangkan 35% sudah mempunyai
website sendiri. Faktor ini juga mendorong pertumbuhan
wirausahawan di beberapa negara. 8. Peluang Internasional.
Dalam mencari pelanggan, bisnis kecil kini tidak lagi dibatasi dalam ruang lingkup Negara sendiri. Pergeseran dalam ekonomi global yang dramatis telah membuka pintu ke peluang bisnis yang luar biasa bagi para wirausahawan yang bersedia menggapai seluruh dunia. Kejadian dunia seperti runtuhnya tembok Berlin, revolusi di negara-negara baltik UniSoviet dan hilangnya hambatan perdagangan sebagai hasil perjanjian Masyarakat Ekonomi Eropa, telah membuka sebagian besar pasar dunia bagi para wirausahawan. Peluang Internasional akan terus berlanjut dan tumbuh dengan cepat pada abad ke 21.
Faktor yang mendukung pembahasan ini adalah faktor Pendidikan Kewirausahaan. Di luar negeri banyak universitas mempunyai suatu program khusus dalam mempelajari bidang kewirausahaan, sehingga ada suatu embrio young entrepreneur. Peranan perguruan tinggi hanya sekedar menjadi fasilitator dalam
572 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
memotivasi, mengarahkan dan penyedia sarana prasarana dalam mempersiapkan sarjana yang mempunyai motivasi kuat, keberanian, kemampuan serta karakter pendukung dalam mendirikan bisnis baru.
Peranan perguruan tinggi dalam memotivasi sarjananya menjadi wirausahawan muda sangatlah penting. Hal ini dilihat dari beberapa pembahasan bidang kewirausahaan yang telah dikemukakan diatas. Masalahnya adalah bagaimana pihak perguruan tinggi mampu melakukan peranannya dengan benar dan mampu menghasilkan sarjana yang siap berwirausaha. Peranan pihak perguruan tinggi dalam menyediakan suatu wadah yang memberikan kesempatan memulai usaha sejak masa kuliah sangatlah penting, sesuai dengan pendapat Thomas Zimmerer bahwa memulai bisnis, bisa pada saat masa kuliah berjalan, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana peranan perguruang tinggi dalam hal memotivasi mahasiswanya untuk tergabung dalam wadah tersebut. Karena tanpa memberikan gambaran secara jelas apa saja manfaat berwirausaha, maka besar kemungkinan para mahasiswa tidak ada yang termotivasi untuk memperdalam keterampilan berbisnisnya. Oleh karena itu, pihak perguruan tinggi juga perlu mengetahui faktor-faktor yang memotivasi mahasiswa dalam berwirausaha.
c. Intensi Kewirausahaan Mahasiswa
Penelitian utnuk melihat aspek intensi kewirausahawan seseorang telah mendapat perhatian cukup besar dari para peneliti. Intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha (Katz dan Gartner, 1988). Seseorang dengan intense untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan tanpa intensi untuk memulai usaha. Seperti yang dinyatakan oleh Krueger dan Carsrud (1993), intense telah terbukti menjadi predictor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itu, intensi
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 573 dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo dan Wong, 2006).
Secara garis besar penelitian seputar intensi kewirausahaan dilakukan dengan melihat tiga hal secara berbeda-beda: karakteristik kepribadian; karakteristik demografis; dan karakteristik lingkungan. Beberapa peneliti terdahulu membuktikan bahwa faktor kepribadian serta kebutuhan akan prestasi (McClelland, 1961; Sengupta dan Debnath, 1994) dan efikasi diri (Gilles dan Rea, 1999; Yohnson, 2003; Indarti, 2004 dan 2008) merupakan prediktor signifikan intensi kewirausahaan. Faktor demografi seperti umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang diperhitungkan sebagai penentu bagi intensi kewirausahaan. Sebagai contoh, penelitian dari India (Sinha, 1996) menemukan bahwa latar belakang pendidikan seseorang menentukan tingkat intensi seseorang dan kesuksesan suatu bisnis yang dijalankan. Kristiansen (2001; 2002) menyebut bahwa faktor lingkungan seperti hubungan sosial, infrastruktur fisik dan institusional serta faktor budaya dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan.
Indarti (2004) meneyebutkan bahwa ada tiga faktor penentu kewirausahaan yaitu (1) faktor kepribadian: kebutuhan akan prestasi dan efikasi diri; (2) faktor lingkungan, yang dilihat pada tiga elemen kontekstual: akses kepada modal, informasi dan jaringan sosial; dan (3) faktor demografis: jender, umur, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja.
d. Faktor Demografis: Jender, Umur, Pendidikan, dan Pengalaman Kerja
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor-faktor demografis seperti jender, umur, pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang berpengaruh terhadap keinginannya untuk
574 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
menjadi seorang wirausaha (Mazzarol et al., 1999: Tkachev dan Kolvereid, 1999).
1. Jender
Pengaruh jender atau jenis kelamin terhadap intensi seseorang menjadi wirausaha telah banyak diteliti (Mazzarol et al., 1999; Kolvereid, 1996; Matthews dan Moser, 1996; Schiller dan Crewson, 1997). Seperti yang sudah diduga, bahwa mahasiswa laki-laki memiliki intensi yang lebih kuat dibandingkan mahasiswa perempuan. Secara umum, sektor wiraswasta adalah sektor yang didominasi oleh kaum laki-laki. Mazzarol et al. (1999) membuktikan bahwa perempuan cenderung kurang menyukai untuk membuka usaha baru dibandingkan kaum laki-laki. Temuan serupa juga disampaikan oleh Kolvereid (1996) laki-laki terbukti mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Mathews dan Moser (1996) pada lulusan master di Amerika dengan menggunakan studi longitudinal menemukan bahwa minat laki-laki untuk berwirausaha konsisten dibandingkan minat perempuan yang berubah menurut waktu. Schiller dan Crawson (1997) menemukan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal kesuksesan usaha dan kesuksesan dalam berwirausaha antara perempuan dan laki-laki.
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang akan dijawab dalam penelitian ini dirumuskan:
Hipotesis 1: Intensi kewirausahaan berhubungan dengan jender; laki-laki mempunyai intensi kewirausahaan lebih tinggi.
2 Umur
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinha (1996) di India, menunjukkan bahwa hampir sebagian besar wirausaha yang sukses adalah mereka yang berusia relatif muda. Hal ini senada dengan Reynolds et al. (2000) yang menyatakan bahwa seseorang berusia 25-44 tahun adalah usia-usai yang paling aktif untuk
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 575 berwirausaha di negara-negara barat. Hasil penelitian terbaru terhadap wirausaha warnet di Indonesia membuktikan bahwa usia wirausaha berkorelasi signifikan terhadap kesuksesan usaha yang dijalankan (Kristiansen et al., 2003). Senada dengan hal itu, Dalton dan Holloway (1989) membuktikan bahwa banyak calon wirausaha yang telah mendapat tanggung jawab besar pada saat berusia muda, bahkan layaknya seperti menjalankan usaha baru. Oleh karena itu, rumusan hipotesis yang diteliti adalah:
Hipotesis 2: Mahasiswa yang berusia muda memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berusia tua.
3. Latar Belakang Pendidikan
Latar belakang pendidikan seseorang terutama yang terkait dengan bidang usaha, seperti bisnis dan manajemen atau ekonomi dipercaya akan mempengaruhi keinginan dan minatnya untuk memulai usaha baru di masa mendatang. Sebuah studi dari India membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menajdi salah satu penentu penting intensi kewirausaahaan dan kesuksesan usaha yang dijalankan (Sinha, 1996). Penelitian lain, Lee (1997) yang mengkaji perempuan wiraausaha menemukan bahwa perempuan berpendidikan universitas mempunyai kebutuhan akan prestasi yang tinggi untuk menjadi wirausaha. Dari uraian tersbeut maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis 3 Mahasiswa yang berlatar pendidikan
ekonomi dan bisnis memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berlatar belakang pendidikan non-ekonomi dan bisnis.
4. Pengalaman Bekerja
Kolvereid (1996) menemukan bahwa seseorang yang memilki pengalaman bekerja mempunyai intensi kewirausahaan yang lebuh tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah bekerja
576 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
sebelumnya. Sebaliknya, secara lebih spesifik, penelitian yang dilakukan oleh Mazzaro et al. (1999) memberikan bukti bahwa seseorang yang pernah bekerja di sektor pemerintahan cenderung kurang suskes untuk memulai usaha. Namun,Mazzaro et el. (1999) tidak menganalisis hubungan antara pengalaman kerja di sektor swasta terhadap intensi kewirausahaan. Scott dan Twomey (1988) meneliti beberapa faktor seperti pengaruh orang tua dan pengalaman kerja yang akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu usaha dan sikap orang tersebut terhadap keinginannya untuk menjadi karyawan atau wirausaha. Lebih lanjut, mereka menyebutkan bahwa jika kondisi lingkugan sosial seseorang pada saat dia berusia muda kondusif untuk kewirausahaan dan seseorang tersebut memiliki pengalaman yang positif terhadap sebuah usaha, maka dapat dipastikan orang tersebut mempunyai gambaran yang baik tentang kewirausahaan. Dengan demikian, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis 4: Mahasiswa yang memiliki pengalaman kerja memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang belum pernah bekerja sebelumnya.
M E T O D E P E N E L I T I A N a. Sampel dan Data
Sampel penelitian ini adalah 990 mahasiswa sarjana (S1) dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Pengambilan sampel didasarkan pada judgement atau purposive sampling, sampel dipilih dengan adanya beberapa kriteria tertentu yang digunakan oleh peneliti (Remenyi, 2000). Kriteria tersebut adalah (1) mahasiswa semester lima ke atas atau telah memprogram mata kuliah yang berkaitan dengan kewirausahaan dan sistem informasi manajemen, (2) responden pernah menggunakan internet dengan tujuan agar responden tersebut saat mengisi kuesioner mempunyai gambaran tentang aktivitas bisnis melalui internet.
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 577 Kuesioner disebarkan secara langsung dengan tujuan untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang tinggi. Jumlah sampel ditetapkan berdasarkan pertimbangan model size (Hair, et al., 1998: 604-605). Pengumpulan data dilakukan di sekitar kampus, terutama di area publik seperti kantin, perpustakaan, dan laboraorium computer. Teknik ini digunakan agar peneliti dapat memperoleh responden dari latar belakang demografi yang berbeda-beda.
b. Variabel
Untuk menguji intensi kewirausahaan mahasiswa digunakan tiga variabel independen, yaitu (1) Latar belakang pendidikan, (2) usia, (3) jender dan (4) pengalaman. Satu variabel dependen digunakan untuk mengukur intensi kewirausahaan. Seluruh butir pertanyaan diukur dengan menggunakan skala Likert 5-poin. Informasi tentang jenis kelamin, usia, pendidikan dan pengalaman kerja responden juga dikumpulkan.
c. Teknik Analisis
1. Validitas dan Reliabilitas
Untuk menguji tingkat keandalan (reliabilitas) dari masing-masing variabel digunakan pengujian Cronbach Alpha. Hal ini dimaksudkan untuk menguji tingkat kesesuaian data yang digunakan dalam menjawab masalah-masalah penelitian. Instrumen yang dipakai dalam variabel penelitian tersebut dikatakan handal apabila memiliki Cronbach Alpha minimum 0,7 (Nunally, 1981)
Uji validitas digunakan untuk menentukan tingkat kesesuaian antara konstruk dengan indikator-indikatornya. Uji validitas menggunakan corrected item-total correlation, yaitu dengan cara mengkorelasi skor tiap item dengan skor totalnya. Kriteria yang digunakan valid atau tidak valid adalah bila koefisien korelasi r kuarng dari r nilai tabel dengan tingkat signifikansi 5%.
578 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
2. Teknik Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda terhadap variabel-variabel independen: Latar belakang pendidikan, usia, jender dan pengalaman.
A N A L I S I S D A N P E M B A H A S A N a. Deskripsi Variabel
Penelitian ini disebarkan kepada responden dengan syarat mereka menggunakan internet untuk berbagai macam kebutuhan dan berada pada semester 5 keatas . Kuesioner yang disebarkan 1000 kuesioner dan terkumpul sebanyak 990 buah atau tingkat respon adalah 99%. Sebaran responden dari penelitian ini merupakan sesuai dengan proporsi dari jumlah mahasiswa yang dapat kita lihat pada tabel berikut
Tabel 1.
Frekwensi Responden berdasarkan sebaran Fakultas dan Jenis Kelamin
Fakultas/ Jurusan Frekwensi L P FKIP- Fisika FKIP-Bahasa Inggris Fak Farmasi 5 10 17 50 24 85
Fak Bisnis- Manajemen Fak Bisnis-Akuntansi S1 Fak Bisnis D3 Fak Teknik- Elektro Fak Teknik- kimia Fak Teknik- Industri Fak Tehnologi Pangan Fak Psikologi 143 109 95 180 3 10 17 1 20 12 17 8 26 74 22 62 Total 389 601 Sumber: Data kuesioner diolah
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 579 Dari tabel di atas menunjukkan yang menjadi responden adalah 389 laki-laki atau 39.3% dan 601 responden adalah perempuan atau 60.7%.
Deskriptif statistik untuk jenis kelamin, pengalaman, latar belakang pendidikan dan umur adalah sebagai berikut:
jk
Frequency Percent Valid Percent Percent Cum
Valid .00 389 39.1 39.3 39.3 1.00 601 60.4 60.7 100.0 Total 990 99.5 100.0 Missing System 5 .5 Total 995 100.0 PENGALAMAN
Frequency Percent Valid Percent Percent Cum
Valid .00 898 90.3 90.7 90.7 1.00 92 9.2 9.3 100.0 Total 990 99.5 100.0 Missing System 5 .5 Total 995 100.0 USIA
Frequency Percent Valid Percent
Cum Percent Valid .00 931 93.6 94.0 94.0 1.00 59 5.9 6.0 100.0 Total 990 99.5 100.0 Missing System 5 .5 Total 995 100.0
580 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya eknonek Frequency Percent Valid Percent Cum Percent Valid .00 450 45.2 45.5 45.5 1.00 540 54.3 54.5 100.0 Total 990 99.5 100.0 Missing System 5 .5 Total 995 100.0
Jenis kelamin responden dari total sejumlah 990 responden, 39, 1 nya adalah laki-laki dan 60,7 adalah permuan dengan responden berpengalaman melakukan kegiatan wirausaha sebanyak 9,3% dan yang responden tidak berpengalaman dalam kegiatan kewirausahaan sebanyak 90,7%. Usia responden dengan
cut-off rata-rata 20 tahun adalah usia dibawah 20 tahun sebanyak
94% dan diatas 20 tahun sebanyak 6%. Latar belakang fakultas responden adalah responden yang berasal dari fakultas bisnis sebanyak 54,5% dan responden yang berasal dari fakultas non bisnis adalah 45,5%.
a. Uji Kecocokan Model Pengukuran 1. Uji Validitas dan Reliabilitas
Validitas dan reliabilitas dari variabel yang digunakan dalam penelitian dilakukan dengan melihat koefisien faktor loading dan nilai variance extracted dan reliabilitas konstruk. Indikator dikatakan valid apabila standardized loading factor ≥ 0.5 (Ghozali dan Fuad, 2005: 54).
Salah satu cara untuk menguji validitas indikator denga melihat t value. Dari hasil perhitungan nilai t untuk semua indikator adalah signifikan t>1.96. Nilai CR (Construct Reliability) pada semua variabel lebih dari 0,70. Hal ini berarti ini berari indikator-indikator yang ada memiliki konsistensi yang cukup tinggi (reliabel) untuk mengukur setiap konstruk. Nilai VE
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 581 (Variance Extracted) pada variabel seluruh variabel memiliki nilai lebih dari 0,5 berarti tiap indikator yang ada dapat mewakili seluruh konstruk yang ada secara baik. Hasil perhitungan nilai CR dan VE pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa kuesioner yang digunakan terbukti kehandalannya, dengan kata lain dapat memberikan hasil yang sama apabila dicobakan pada kelompok responden yang sama secara berulang-ulang.
2. Evaluasi Outliers
Tabel 2.
Uji Mutivariate dan Univariate Outliers
Sumber : Data-diolah
Deteksi adanya outliers data dapat dilihat dari nilai minimum dan maksimum, pada Tabel 4.6 tidak terlihat nilai maksimum dan minimum yang sangat ekstrim (antara skor 1 sampai dengan 5), berarti deteksi secara kesalahan entry data dari kuesioner tidak terjadi.
c. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis 1 sampai dengan hipotesis 7
menggunakan regresi dan uji beda rata-rata sampel independen. Berikut adalah hasil pengujian untuk hipotesis pertama sampai ketujuh:
Hasil pengujian intensi kewirausahaan berkaitan dengan jenis kelamin menunjukan bahwa rata-rata intensi kewirausahaan lebih besar pada jenis kelamin laki-laki dibanding perempuan.
Univariate Summary Statistics for Continuous Variables IK1 3.522 0.954 116.109 -0.105 -0.390 0.940 14 4.983 184 IK2 3.061 0.949 101.494 -0.029 -0.229 0.980 47 5.142 47 IK3 3.626 1.100 103.767 -0.243 -0.648 1.037 33 5.075 258
582 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
Hasil pengujian laki-laki mempunyai rata-rata intense kewirausahaan sebesar 3.4259 dan rata-rata wanita sebesar 3,3882. Namun pengujian signifikansi menunjukan bahwa jender tidak mempengaruhi secara signifikan intensi kewirausahaan, sehingga
Hipotesis 1: Intensi kewirausahaan berhubungan dengan jender; laki-laki mempunyai intensi kewirausahaan lebih tinggi ditolak
Hasil pengujian intensi kewirausahaan berkaitan dengan usia menunjukan bahwa rata-rata intensi kewirausahaan lebih besar pada usia yang lebih muda dibanding kelompok usia yang lebih tua. Hasil pengujian kelompok usia yang lebih muda mempunyai rata-rata intensi kewirausahaan sebesar 3.4078 dan rata-rata kelompok usia yang lebih tua sebesar 3,3277. Namun pengujian signifikansi menunjukan bahwa usia tidak mempengaruhi secara signifikan intensi kewirausahaan, sehingga
Hipotesis 2: Mahasiswa yang berusia muda memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berusia tua ditolak
Hasil pengujian intensi kewirausahaan berkaitan dengan latar belakang pendidikan menunjukan bahwa rata-rata intensi kewirausahaan lebih besar pada kelompok yang berlatar belakang ekonmi/bisnis dibanding kelompok yang berlatar belakang non ekonomi/bisnis. Hasil pengujian kelompok mahasiswa berlatyar belakang ekonomi/ bisnis mempunyai rata-rata intensi kewirausahaan sebesar 3.4278 dan rata-rata kelompok dari latar belakang non ekonomi/bisnis sebesar 3,3733. Nilai siginifikansi pengujian beda rata-rata kelompok dengan latar belakan pendidikan bisnis dan kelompok yang berasal dari fakultas non bisnis adalah 0,05 dimana nilai signifikansi ini lebih kecil dibanding nilai =0.05 sehingga pengujian signifikansi menunjukan bahwa latar belakang mempengaruhi secara signifikan intensi kewirausahaan, sehingga Hipotesis 3:
Mahasiswa yang berlatar pendidikan ekonomi dan bisnis memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 583
dibandingkan mereka yang berlatar belakang pendidikan non-ekonomi dan bisnis dapat diterima.
Hasil pengujian intensi kewirausahaan berkaitan dengan pengalaman menunjukan bahwa rata-rata intensi kewirausahaan lebih besar pada kelompok yang berpengalaman wirausaha dibanding kelompok yang tidak berpengalaman kegiatan wirausaha. Hasil pengujian kelompok berpengalaman wirausaha mempunyai rata-rata intensi kewirausahaan sebesar 3.5109 dan rata-rata kelompok yang tidak berpengalaman sebesar 3,3920. Nilai siginifikansi pengujian beda rata-rata kelompok berpengalaman dan kurang berpengalaman adalah 0,003 dimana nilai signifikansi ini lebih kecil dibanding nilai =0.05 sehingga pengujian signifikansi menunjukan bahwa pengalaman mempengaruhi secara signifikan intensi kewirausahaan, sehingga
Hipotesis 4: Mahasiswa yang memiliki pengalaman kerja memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang belum pernah bekerja sebelumnya dapat diterima.
d. Pembahasan
Faktor demografis pertama adalah jender, hasil pengujian menunjukan memang terdapat perbedaan rata-rata namun tidak signifikan. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa pada beberapa perioda terakhir ini telah terjadi banyak pergeseran paradigma dalam peran sebagai tenaga kerja. Sehingga hasil pengujian ini tidak menemukan hubungan bahwa jender mempengaruhi intensi kewirausahaan. Selain itu pula responden pada penelitian ini adalah mahasiswa yang memang memiliki keinginan bekerja seusai lulus dan didukung pula bahwa deskriptif statistik menunjukan perempuan dalam jumlah yang cukup besar
Usia sebagai faktor demografis kedua menunjukan hasil yang tidak signifikan juga, hal ini disebabkan karena perbedaan usia mahasiswa yang berperan serta dalam studi ini pada rentang
584 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
absolut usia tertinggi dan terendah tidaklah besar sehingga diduga hasil pengujian yang tidak signifikan karena data yang diperoleh memang tidak pada perbedaan absolut yang signifikan
Latar belakang pendidikan sebagai faktor demografis ketiga yang diuji menunjukan bahwa pendidikan bisnis lebih mempengaruhi intensi kewirausahaan, hal ini dapat dijelaskan bahwa kurikulum yang disusun dalam pendidikan bisnis memanglah secara intensif disusun dan ditujukan untuk mempersiapkan lulusan untuk bekerja di dunia bisnis. Sedang pada latar belakang pendidikan lain memberikan pula pendidikan kewirausahaan dan pengetahuan tehnologi informasi, namun dalam porsi yang lebih kecil.
Pengalaman kerja sebagai faktor demografis keempat menunjukan hasil bahwa faktor ini mempengaruhi intensi kewirausahaan. Pengalaman merupakan dorongan dan motivasi bagi seseorang melanjutkan dan mengembangkan kegiatan kewirausahaan. Rasa berhasil dan kebanggaan menjadi motivasi bagi seseorang untuk terus berusaha, sehingga pengalaman menjadikan seseorang untuk terus bertahan dan berkembang
SIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN
Faktor-faktor demografis yang mempengaruhi intensi kewirausahaan adalah pengalaman dan latar belakang pendidikan sedang usia dan jender tidak berpengaruh pada intensi kewirausahaan.
Berdasarkan temuan diatas maka saran bagi pratik adalah pengembangan kurikulum yang mendorong semangat kewirausahaan pada fakultas non bisnis dan juga mengembangan serangkain kegiatan pendukung yang memberikan pengalaman kewirausahaan.
Keterbatasan penelitian ini terletak pada pemilihan sampel yang homogen yaitu mahasiswa Unika Widya Mandala, perlu untuk mengkaji kembali untuk hasil yang lebih dapat digeneralisasi.
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 585
R E F E R E N S I
Choo, S., dan M. Wong. 2006. Entrepreneurial intention: triggers and barriers to new venture creations in Singapore.
Singapore Management Review 28 (2): 47-64.
Compeau, D. R., C. A. Higgins, dan S. Huff. 1999. Social cognitive theory and individual reactions to computing technology: a longitudinal study. MIS Quarterly 23 (2): 145-158.
Compeau, D. R., dan C. A. Higgins. 1995a. Application of social cognitive theory to training for computer skills. Information
Systems Research 6 (2):118-143.
Compeau, D. R., dan C. A. Higgins. 1995b. Computer self-efficacy: development of a measure and initial test. MIS
Quarterly 19 (2): 189-211.
Cromie, S. 2000. Assessing entrepreneurial inclinations: some approaches and empirical evidence. European Journal of
Work and Organizational Psychology 9 (1): 7-30.
Dalton, dan Holloway. 1989. Preliminary findings: entrepreneur study. Working Paper. Brigham Young University.
Davis, F. D., R. P. Bagozzi, dan P. R. Warshaw. User accpetance of computer technology: a comparison of two theoretical models. Management Science 35 (8): 983-1003.
Duh, M. 2003. Family enterprises as an important factor of the economic development: the case of Slovenia. Journal of
Enterprising Culture 11 (2): 111-130.
Ford, J., E. Smith., D. Weissbein, S. Gully, dan E. Salas. 1998. Relationships of goal orientation, metacognitive activity, and practice strategies with learning outcomes andtransfer. Journal of Applied Psychology 83:218-233.
Giles, M., dan A. Rea. 1970. Career self-efficacy: an application of the theory of planned behavior. Journal of Occupational &
586 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
Gorman G., D. Hanlon, dan W. King, 1997. Entrepreneurship education: the Australian perspective for the nineties.
Journal of Small Business Education 9: 1-14.
Hacket, G., dan N. E. Betz. 1986. Application of self-efficacy theory to understanding career choice behavior. Journal of
Social Clinical and Psychology 4: 279-289.
Hair, J. dan R. Anderson. 1998. Multivariate Data Analysis. London: Prentice Hall Inc.
Hansen, D., dan M. Mowen. 2007. Management Accounting, 8th edition. South Western Publishing.
Indarti, N. 2004. Factors affecting entrepreneurial intentions among Indonesian students. Jurnal Ekonomi dan Bisnis 19 (1): 57-70.
Jhingan, M. L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Pers: Jakarta.
Katz, J., dan W. Gartner. 1988. Properties of emerging organizations. Academy of Management Review 13 (3): 429-441.
Kets de Vries. 1997. The entrepreneurial personality, a person at the cross roads. Journal of Management Studies 14: 34-57. Klein, K. J., dan J. S. Sorra. 1996. The challenge of innovation
implementation. Academy of Management Review 21: 1055-1080.
Kolvereid, L. 1996. Prediction of employment status choice intentions. Entrepreneurship Theory and Practice 21 (1): 47-57. Kourilsky, M. L., dan W. B. Walstad, 1998. Entrepreneurship and
female youth: knowledge, attitude, gender differences, and educational practices. Journal of Business Venturing 13 (1): 77-88.
Kristiansen, S. 2001. Promoting African pioneers in business: what makes a context conductive to small-scale entrepreneurship? Journal of Entrepreneurship 10 (1): 43-69.
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 587 Kristiansen, S. 2002a. Individual perception of business contexts:
the case of small-scale entrepreneurs in Tanzania. Journal of Develomental Entrepreneurship 7 (3).
Kristiansen, S. 2002b. Competition and knowledge in Javanese rural business. Singapore Journal of Tropical Geography 23 (1): 52-70.
Kristiansen, S., B. Furholt, dan F. Wahid. 2003. Internet café entrepreneurs: pioneers in information dissemination in Indonesia. The International Journal of Entrepreneurship and
Innovation 4 (4): 251-263.
Krueger, N. F., dan A. L. Carsrud. 1993. Entrepreneurial intentions: applying the theory of planned behavior.
Entrepreneurship & Regional Development 5 (4): 315-330.
Lee, J. 1997. The motivation of women entrepreneurs in Singapore. International Journal of Entrepreneurial Behaviour
and Research 3 (2): 93-110.
MacClelland, D. 1961. The Achieving Society. Princenton, New Jersey: Nostrand.
Marsden, K. 1992. African entrepreneurs-pioneer of development. Small Enterprise Development 3 (2): 15-25. Mathews, C. H., dan S. B. Moser. 1996. A longitudinal
investigation of the impact of family background and gender on interest in small firm ownership. Journal of Small
Business Management 34 (2): 29-43.
Mathieson, K., E. Peacock, dan W. Chin. 2001. Extending the technology acceptance model: the influence of perceived user resources. The DATA BASE for Advances in
Information Systems 32 (3): 86-112.
Mazzarol, T., T. Volery, N. Doss, dan V. Thein. 1999. Factors influencing small business start-ups. International Journal of
588 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
McClelland, D. 1971. The Achievement Motive in Economic Growth, in: P. Kilby (ed.) Entrepreneurship and Economic
Development. New York The Free Press, 109-123.
Mead, D. C., dan C. Liedholm. 1998. The dynamics of micro and small enterprise in developing countries. World Development 26 (1): 61-74.
Meier, R., dan M. Pilgrim. 1994. Policy-induced constraints on small enterprise development in Asian developing countries. Small Enterprise Development 5 (2) 66-78.
Nunnally. 1981. Psychometric Theory. Second Ed. New Delhi: McGraw Hill Publishing Company.
Plouffe, C. R., J. S. Hulland, dan M. Vandenbosch. 2001. Richness versus parsimony in modelling technology adoption decisions: understanding merchant adoption of smart card-based payment system. Information System
Research 12 (2): 208-222.
Reynolds, P. D., M. Hay, W. D. Bygrave, S. M. Camp, dan E. Aution. 2000. Global entrepreneurship monitor: executive report. A Research Report from Babson College, Kauffman Center
for Entrepreneurial Leadership, and London Business School.
Scapinello, K. F. 1989. Enhancing differences in the achievement attributions of high and low motivation groups. Journal of
Social Psychology 129 (3): 357-363.
Schiller, B. R., dan P. E. Crewson. 1997. Entrepreneurial origins: a longitudinal inquiry. Economic Inquiry 35 (3): 523-531. Scott, M., dan D. Twomey. 1988. The long-term supply of
entrepreneurs; students career aspirations in relation to entrepreneurship. Journal of Small Business Management 26 (4): 5-13.
Sengupta, S. K., dan S. K. Debnath. 1994. Need for achievement and entrepreneurial success: a study of entrepreneurs in two rural industries in West Bengal. The Journal of
Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya 589 Singh, K. A., dan K. V. S. M. Khrisna. 1994. Agricultural
entrepreneurship: the concept and evidence. Journal of
Entrepreneurship 3 (1): 97-111.
Sinha, T. N. 1996. Human factors in entrepreneurship effectiveness. Journal of Entrepreneurship 5 (1); 23-29.
Steel, D. 1994. Changing the institutional and policy environment for small enterprise development in Africa. Small
Enterprise Development 5 (2): 4-9.
Swierczek, F. W., dan T. T. Ha. 2003. Entrepreneurial orientation, uncertainty avoidance and firm performance: an analysis of Thai and Vietnamese SMEs. International
Journal of Entrepreneurship and Innovation 4 (1): 46-58.
Taylor, S., dan P. A. Todd. 1995a. Understanding information technology usage: a test of competing models. Information
Systems Research 6 (2): 144-176.
Taylor, S., dan P. A. Todd. 1995b. Assessing IT usage: the role of prior experience. MIS Quarterly 19: 561-70.
Thompson, R., D. Compeau, dan C. Higgins. 2006. Intentions to use information technologies: an integrative model.
Journal of Organizational and End User Computing 18 (3):
25-46.
Tkachev, A., dan L. Kolvereid. 1999. Self-employment intentions among Russian students. Entrepreneurship & Regional
Development 11: 269-280.
Triandis, H. C. 1980. Values, attitudes and interpersonal behavior. In H. E. Howe (Ed.), Nebraska symposium on motivation,
1979: Beliefs, attitudes and values 195-259. Lincoln, NE:
University of Nebraska Press.
Venkatesh, V. 2000. Determinants of perceived ease of use: integrating control, intrinsic motivation and emotion into the technology acceptance model. Information Systems
590 Faculty of Business – Widya Mandala Catholic University Surabaya
Venkatesh, V., dan F. D. Davis. 1996. A model of the antecedents of perceived ease of use: developmet and test. Decision Sciences 27 (3): 451-482.
Yohnson. 2003. Peranan universitas dalam memotivasi sarjana menjadi young entrepreneurs. Jurnal Manajemen dan