• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penambahan Biodiesel Terhadap Unjuk Kerja dan Emisi Motor Diesel Pada Derajat Waktu Injeksi Advanced

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Penambahan Biodiesel Terhadap Unjuk Kerja dan Emisi Motor Diesel Pada Derajat Waktu Injeksi Advanced"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Penambahan Biodiesel Terhadap Unjuk Kerja dan Emisi Motor

Diesel Pada Derajat Waktu Injeksi Advanced

Bambang Sudarmanta1, Djoko Sungkono1, M.Rachimoellah2, Sugeng Winardi2

1. Jurusan Teknik Mesin FTI-ITS 2. Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS Kampus ITS Sukolilo Surabaya, 60111

Abstrak

Diteliti pemakaian campuran biodiesel dan fossil diesel sebagai bahan bakar alternatif motor diesel dengan sasaran utama untuk mendapatkan suatu pemahaman terhadap karakteristik pembakaran, unjuk kerja dan emisi mesin. Injeksi bahan bakar pada motor diesel akan mengalami tahapan proses berupa phase ignition delay dan pembakaran (premixed dan diffusion combustion). Pada phase ignition delay terjadi physical delay (droplet break-up, penguapan, pencampuran uap bahan bakar dengan udara) dan chemical delay (oksidasi pre-flame dan penyalaan lokal), sedangkan pada phase pembakaran diawali dengan pembakaran secara premixed dan dilanjutkan dengan diffusion. Premixed combustion terjadi pada durasi yang pendek dengan laju pelepasan panas yang tinggi, sedangkan diffusion combustion terjadi pada durasi yang panjang dengan dengan laju pelepasan panas rendah.

Penelitian dilakukan secara eksperimental yang dimulai dari karakterisasi bahan bakar, pembakaran,a unjuk kerja dan emisi mesin. Karakterisasi bahan bakar didasarkan pada standarisasi Nasional Indonesia untuk bahan bakar biodiesel. Karakterisasi pembakaran, unjuk kerja dan emisi mesin dilakukan dengan pengaturan derajat waktu injeksi, yaitu advanced dan retarded masing masing sebesar 2 dan 4 0 CA. Selanjutnya untuk karakterisasi pembakaran dilakukan melalui pendekatan analisis heat release. Analisis heat release didasarkan pada data tekanan gas dalam ruang bakar yang diolah lebih lanjut kedalam heat release. Kurva tersebut digunakan untuk mengestimasi karakteristik pembakaran berupa phase ignition delay dan phase pembakaran (premixed dan diffusion combustion).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pemakaian 100 % biodiesel dapat mengurangi durasi ignition delay sampai 4 deg, durasi premixed combustion sampai 2 deg, besarnya heat release total sampai 26 %, besarnya emisi soot sampai 30 % serta meningkatkan durasi diffusion combustion sebesar 3 deg dibandingkan dengan fossil-diesel. Pengukuran unjuk kerja mesin menunjukkan bahwa penambahan persentase biodiesel kedalam campuran menghasilkan penurunan unjuk kerja (torsi, daya, Bmep dan ffisiensi thermis) 1–3 % untuk setiap peningkatan 20% biodiesel pada campuran dan kenaikan Bsfc 2-4 % untuk setiap peningkatan 20% biodiesel pada campuran. Pengukuran emisi mesin menunjukkan bahwa penambahan persentase biodiesel kedalam campuran l menghasilkan penurunan emisi partikel soot 4–6 % untuk setiap peningkatan 20% biodiesel pada campuran. Hasil visualisasi terhadap deposit biodiesel lebih besar dari fossil diesel. Perubahan derajat waktu injeksi, baik itu retarded maupun advanced 2 0CA memberikan perubahan (kenaikan ataupun penurunan) terhadap karakterisasi pembakaran, unjuk kerja dan emisi mesin yang lebih besar dibandingkan perubahan retarded maupun advanced 4 0CA.

Kata kunci : Biodiesel, fossil diesel, motor diesel, derajat waktu injeksi, karakteristik pembakaran, unjuk kerja dan

emisi mesin.

1. PENDAHULUAN

Gagasan pemakaian bahan bakar berbasiskan biomassa khususnya yang berasal dari minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif motor diesel pertama kali disampaikan oleh Rudolf Diesel, yaitu saat menjalankan motor dieselnya dengan bahan bakar minyak nabati dari kacang tanah pada tahun 1897. Sejak itu, berbagai macam minyak nabati diuji coba sebagai bahan bakar alternatif motor diesel. Tetapi dengan ketersediaan bahan bakar fossil diesel saat itu, maka penelitian-penelitian kearah penggunaan minyak nabati kurang diminati. Baru setelah terjadi krisis bahan bakar fossil pada tahun 1970-an, minat dalam pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif mulai muncul lagi ke permukaan. Sasaran awal, terutama pada keamanan suplai bahan bakar, tetapi akhirnya lebih difokuskan pada penggunaan bahan bakar renewable dalam rangka mereduksi produksi netto CO2 hasil pembakaran.

Pembakaran pada motor diesel prinsipnya merupakan pembakaran diffusi turbulen unsteady yang ditentukan oleh proses pencampuran antara bahan bakar dan udara diruang bakar. Oleh karena itu, karakteristik semprotan bahan bakar dan aliran udara mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses pencampuran bahan bakar-udara di ruang bakar, disamping geometri ruang bakar (Kamimoto et al, 1991). Sedangkan Hohmann et al (2003) menambahkan bahwa proses atomisasi dan penetrasi semprotan bahan bakar berpengaruh pada proses pembentukan emisi. Sedangkan karakteristik semprotan bahan bakar dipengaruhi oleh properti fisik bahan bakar berupa densitas, viskositas dan tegangan permukaan. Untuk semprotan pada ruang terbuka (ambient atmosferic pressure), semakin tinggi properti fisik bahan bakar (berupa viskositas, densitas dan tegangan permukaan) akan menghasilkan penetrasi semprotan yang semakin panjang (Lee et al, 2002 dan Sudarmanta et al, 2004). Sedangkan kenaikan tekanan dan suhu ambient menyebabkan phase cairan semprotan menjadi lebih

(2)

pendek dan tipis. Hal ini disebabkan oleh terjadinya kenaikan momentum dan perpindahan panas dari droplet ke udara ambient (Lee et al, 2001 dan Sudarmanta et al, 2005).

Pemakaian minyak nabati dalam motor diesel secara langsung dilakukan oleh Bhattacharyya et al (1994). Hasil menunjukkan bahwa pemakaian dalam jangka waktu pendek secara umum dapat dilakukan dengan baik, sedangkan untuk jangka waktu panjang menunjukkan keterbatasan bahan bakar terhadap kontaminasi pelumas, deposit pada permukaan komponen mesin dan masalah injeksi, dimana hal ini akan mempengaruhi daya tahan dan unjuk kerja mesin. Kandungan asam lemak bebas menjadikan minyak nabati bersifat korosif, kandungan fosfor akan menghasilkan kerak didalam ruang bakar, sedangkan permasalahan injeksi disebabkan viskositas minyak nabati lebih tinggi dibandingkan solar.

Modifikasi secara kimia minyak nabati menjadi bahan bakar dengan berat molekul kecil, viskositas rendah dan berangka setana tinggi dapat dilakukan melalui proses transesterifikasi menggunakan alkohol. Proses ini menghasilkan ester alkil asam lemak (fatty acid methyl ester, FAME dan biasa disebut sebagai biodiesel) sebagai produk utama dan gliserin sebagai produk ikutan (Ma et al, 1999 dan Srivastava et al, 2000).

Pengujian unjuk kerja dan emisi gas buang motor diesel memakai bahan bakar biodiesel telah banyak dilakukan. Secara umum hasilnya menunjukkan bahwa konsumsi bahan bakar spesifik (specific fuel consumption, sfc) untuk bahan bakar biodiesel lebih tinggi dibandingkan dengan fossil diesel dan emisi HC untuk bahan bakar biodiesel lebih rendah dibandingkan fossil diesel (Altin et al, 2001; Kalam et al, 2002; Machacon et al, 2001; Nwafor et al, 2004, 2000; Reksowardojo et al, 2004). Scholl et al (1996) meneliti proses pembakaran Soybean Methyl Ester (SME) pada motor diesel sistem injeksi langsung dengan variasi diameter nozzle. Tekanan dan kenaikan laju tekanan didalam silinder untuk bahan bakar SME lebih sensitif terhadap variasi diameter nozzle dibandingkan diesel fossil. Ignition delay period untuk bahan bakar SME kurang sensitif terhadap variasi diameter nozzle dibandingkan fossil diesel. Bahan bakar fossil diesel mempunyai kelambatan penyalaan sedikit lebih panjang dan laju pembakaran maksimum sedikit lebih tinggi selama pembakaran tingkat “premixed”.

Tujuan penulisan ini adalah untuk mempelajari karakterisasi unjuk kerja dan emisi motor diesel injeksi langsung berbahan bakar campuran fossil diesel dan biodiesel dengan pengaturan derajat waktu injeksi bahan bakar, yaitu dimajukan dan dimundurkan masing-masing sebesar 2 dan 4 0 CA (Crank Angle).

2. METODE PENELITIAN 2.1. Rancangan Eksperimen

Sebuah mesin diesel injeksi langsung silinder tunggal digunakan dalam pengujian. Spesifikasi mesin

selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 1, sedangkan rancangan eksperimen ditunjukkan pada Gambar 1.

Tabel 1. Spesifikasi Mesin Uji

Item Spesifikasi

Merk KAMA

Tipe KM 178 FS, 4-langkah silinder Tunggal dan posisi vertikal

Sistem pendingin Udara

Sist. pembakaran Direct Injection Combustion Dia. x langkah 78 mm x 64 mm Volume langkah 305,7 cc Power 4 kW/1.800 rpm 10 11 8 9 5 6 7 4 12 1 50 ml 3 2 1234 9 87 65 12 11 10 18 17 16 15 14 13 32 1 18 17 16 15 14 13 12 1011 9 87 65 4 14 13

Gambar 1. Rancangan Eksperimen

2.2. Kondisi Operasi

Dalam penelitian ini, mesin dijalankan secara putaran konstan sebesar 1800 rpm dengan waktu injeksi standart (260 Before Top Dead Center, BTDC), advanced 2 dan 4 0CA (280 dan 300 BTDC) dan retarded 2 dan 4 0CA (240 dan 220 BTDC). Beban engine diatur menggunakan water brake dynamometer, yaitu mulai beban rendah (12,5%) sampai beban tinggi (100%). Bahan bakar yang digunakan adalah fossil diesel dan biodiesel serta campuran dari keduanya (dinyatakan dalam persen volume). Selanjutnya kondisi operasi ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kondisi Operasi

Waktu injeksi 22, 24, 26, 28 dan 300 BTDC Putaran Engine 1800 rpm

Beban Engine 12,5%; 25%; 37,5%; 50%; 62,5%; 75%; 87,5%; 100% Bahan Bakar Fossil diesel 100% (B0);

Campuran 80 fossil diesel dan 20 % biodiesel (B20); B40; B60;

B80 dan 100% biodiesel (B100)

Emisi partikulat dari gas buang yang diukur hanyalah smoke, yaitu diukur menggunakan smoke meter type Bosch.

Tabel 3. menunjukkan properti dari kedua macam bahan bakar fossil diesel dan biodiesel. Uji properti bahan bakar menunjukkan bahwa biodiesel menunjukkan perbedaan dalam properti fisik seperti densitas, viskositas dan tegangan permukaan dibandingkan dengan fossil diesel.

(3)

Tabel 3. Perbandingan properti bahan bakar

Propeties Bahan Bakar

Biodiesel Fossil diesel

Densitas, kg/m3 875 848 Viskositas, cSt 4,532 4,083 Teg. Permukaan, N/cm 0,146 0,144 Flash point, 0C 140 64 CCI, [ - ] 61,51 53,22 HHV, kJ/kg 40954 44492

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik pembakaran pada motor diesel dibedakan menjadi 3 phase, yaitu ignition delay, premixed combustion dan diffusion combustion. Identifikasi terhadap karakteristik pembakaran tersebut didasarkan pada pengukuran tekanan gas didalam ruang bakar. Pengolahan lebih lanjut data tekanan gas didalam ruang bakar kedalam diagram heat release dapat memberikan estimasi hasil terkait karakteristik pembakaran, unjuk kerja dan emisi mesin. Karakterisasi unjuk kerja dan emisi mesin dilakukan dengan pengaturan derajat waktu injeksi yang dimajukan (advanced) dan dimundurkan (retarded), yaitu masing masing sebesar 2 dan 4 0CA.

3.1. Tekanan Gas Dalam Ruang Bakar

Karakterisasi pembakaran berupa ignition delay period didasarkan pada data pengukuran tekanan gas didalam silinder ruang bakar. Perubahan tekanan gas didalam ruang bakar terhadap crank angle untuk setiap jenis bahan bakar ditunjukkan dalam Gambar 2. Pada Gambar ditunjukkan bahwa penambahan persentase biodiesel pada campuran memberikan kecenderungan yang sama, yaitu kenaikan tekanan yang lebih awal, tekanan maksimum yang hampir sama dan penurunan tekanan setelah posisi top dead centre (TDC) yang lebih tajam. Kenaikan tekanan yang lebih awal dapat diidentifikasi sebagai majunya start of combustion, sedangkan penurunan tekanan yang lebih tajam diidentifikasi sebagai pendeknya durasi premixed combustion. Sedangkan pengaruh perubahan beban menunjukkan terjadinya kenaikan pada besarnya tekanan puncak. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Crank Angle, Deg

T e k a n a n , b a r s B0 B20 B 40 B 60 B 80 B 100

Gambar 2. Diagram P-motor diesel pada beban tinggi

Besarnya tekanan puncak pada ruang bakar untuk berbagai beban ditunjukkan pada Gambar 3.

Pada Gambar terlihat bahwa tekanan puncak mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan beban. Hal ini terjadi mulai beban rendah sampai beban 87,5 % dan selanjutnya tekanan puncak cenderung konstan atau mengalami sedikit penurunan. Sedangkan pengaruh penambahan persentase biodiesel pada campuran, pada beban rendah relatif menghasilkan tekanan puncak yang konstan, baru pada beban menengah keatas (37,5 % keatas) penambahan persentase biodiesel menghasilkan tekanan puncak yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan oksigen didalam biodiesel (sebesar 10,78%) sehingga pembakaran tingkat premixed berlangsung lebih cepat dan menghasilkan lonjakan tekanan lebih tinggi dibandingkan dengan fossil diesel. Kecende-rungan ini hampir terjadi pada semua pembebanan, mulai beban rendah, menengah sampai beban tinggi.

50 55 60 65 70 75 80 85 90 12,5 25 37,5 50 62,5 75 87,5 100 Beban (% ) T e k a n a n p u n c a k ( b a r) B0 B20 B40 B60 B80 B100

Gambar 3. Variasi tekanan puncak terhadap beban motor

3.2. Karakterisasi Pembakaran Melalui Analisis Heat Release

Analisis heat release dilakukan dengan perhitungan terhadap data tekanan gas didalam ruang bakar yang selanjutnya ditunjukkan pada Gambar 4. Terlihat bahwa terdapat perbedaan dalam durasi phase ignition delay maupun phase pembakaran (premixed dan diffusion combustion). Dari Gambar tersebut, selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap durasi phase ignition delay, premixed combustion dan diffusion combustion. Selanjutnya hasil perhitungan ditunjukkan pada Tabel 4. sebagai berikut :

-40 -20 0 20 40 60 80 100 -30 -20 -10 0 10 20 30 40

Crank Angle, deg

H e a t re le a s e r a te , J /d e g B0 B20 B40 B60 B80 B100

Gambar 4. Diagram heat relase rate motor diesel pada beban pengeremen 87%

(4)

No Bahan Bakar Ignition delay (deg) Premixed Combustion (deg) Diffusion combustion (deg) 1. B 0 26,88 8,02 36,12 2. B 20 26,02 7,90 37,24 3. B 40 25,18 7,60 37,44 4. B 60 24,88 7,12 38,10 5. B 80 23,12 6,62 39,18 6. B100 22,92 6,02 39,38

Dari diagram heat release pada Gambar 4. dan hasil perhitungan pada Tabel 4, selanjutnya diplot variasi ignition delay, premixed combustion dan diffusion combustion terhadap persentase penambahan biodiesel pada campuran biodiesel dan fossil diesel, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa penambahan persentase biodiesel pada campuran menyebabkan phase ignition delay dan premixed combustion semakin pendek, namun phase diffusion combustion semakin panjang. Hasil mengenai semakin pendeknya ignition delay dengan penambahan persentase biodiesel pada campuran bahan bakar sesuai dengan penelitian sebelumnya (Sudarmanta et al, 2006), yaitu yang mengidentifikasi bahwa pemakaian biodiesel menghasilkan kecenderungan kenaikan tekanan gas didalam silinder ruang bakar lebih awal dan penurunan tekanan gas setelah top dead center lebih tajam dibandingkan pemakaian fossil diesel.

5 10 15 20 25 30 35 40 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Komposisi biodiesel dalam campuran, % vol.

D u ra s i p h a s e p e m b a k a ra n , d e g Ignition delay Premixed Comb. Diffusion Comb. Gambar 5. Diagram durasi phase pembakaran

Terkait semakin panjang phase diffusion combustion dengan penambahan komposisi biodiesel pada campuran bahan bakar lebih banyak disebabkan oleh properti fisik biodiesel berupa viskositas, densitas dan tegangan permukaan yang lebih besar dibandingkan fossil diesel. Dengan harga-harga viskositas, densitas dan tegangan permukaan yang lebih besar maka akan menghasilkan ukuran diameter droplet yang lebih besar dan sudut penyebaran semprotan yang lebih sempit. Hal ini menyebabkan kemampuan bahan bakar untuk menimbulkan efek penarikan udara (air entrainment induced effect) lebih kecil sehingga proses diffusi antara bahan bakar dan udara membutuhkan waktu yang lebih lama. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Sudarmanta et al, 2006) yang menyebutkan bahwa pemakaian biodiesel dapat menurunkan air fuel ratio sampai 6 %.

Total of Heat release didapat dengan menjumlahkan besarnya heat release pada setiap posisi

crank angle. Hasil selengkapnya dari total of heat release ditunjukkan pada Gambar 6. Pada Gambar terlihat bahwa penambahan persentase biodiesel pada campuran, menyebabkan panas untuk proses evaporasi lebih kecil dan jumlah panas maksimum yang dibebaskan juga berkurang. Hasil ini juga sejalan dengan besarnya suhu gas buang yang melewati exhaust system. -200 -100 0 100 200 300 400 500 -30 -20 -10 0 10 20 30 40

Crank Angle, deg

H ea t re le as e to ta l, J B0 B20 B40 B60 B80 B100

Gambar 6. Diagram total of heat release

3.3. Unjuk Kerja Mesin 3.3.1. Daya

Tujuan utama menjalankan mesin adalah mendapatkan tenaga penggerak berupa daya mesin, dimana daya mesin ini besarnya akan berbanding lurus dengan torsi. Gambar 7 menunjukkan bahwa semakin besar penambahan beban, maka daya yang dihasilkan akan semakin besar pula. Pada saat pembebanan 87.5% besarnya daya mengalami puncak, kemudian akan mengalami penurunan lagi. Kenaikan daya disebabkan oleh injeksi bahan bakar yang semakin banyak, sehingga pembakaran yang terjadi lebih besar.

0.5 1.5 2.5 3.5 4.5 5.5 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Beban (%) D a y a (h p ) B 0 B 20 B 40 B 60 B 80 B 100

Gambar 7 Grafik daya terhadap perubahan beban Penambahan persentase biodiesel pada campuran bahan bakar memiliki kecenderungan untuk menurunkan daya pada setiap perubahan beban. Hal ini berkaitan dengan nilai kalor biodiesel yang lebih kecil dibandingkan fossil diesel. Selain itu penurunan daya ini juga disebabkan oleh setting waktu injeksi bahan bakar yang kurang optimum. Sebagaimana diketahui bahwa biodiesel mempunyai angka setana yang lebih tinggi dibandingkan dengan fossil diesel sehingga memerlukan ignition delay period yang lebih pendek. Pemakaian campuran B100 (biodiesel murni) pada beban rendah (25% beban) menunjukkan kenaikan daya yang lebih landai. Hal ini terkait nilai kalor

(5)

biodiesel yang lebih rendah dibandingkan dengan fossil diesel. Sedangkan pada beban menengah keatas, rendahnya nilai kalor ini terbantu oleh kesempurnaan proses pembakaran akibat kandungan oksigen didalam biodiesel, sehingga kenaikan daya mempunyai kecenderungan yang mendekati dengan fossil diesel.

3.3.2. Pemakaian Bahan Bakar Spesifik

Gambar 8. menunjukkan grafik pemakaian bahan bakar spesifik terhadap kenaikan beban. Hasil menunjukkan bahwa pemakaian bahan bakar spesifik cenderung menurun pada beban rendah (beban 12,5 % ~ 37,5%), cenderung konstan pada beban sedang (37,5 % ~ 87,5%) dan naik pada beban tinggi (87,5% ~ 100%). Kecenderungan penurunan ini disebabkan oleh adalah campuran bahan bakar dan udara terlalu kurus sehingga untuk menghasilkan daya 1 hp dalam waktu 1 jam membutuhkan lebih sedikit bahan bakar. Pada saat tertentu tren grafik akan naik yang disebabkan oleh besarnya konsumsi yang diperlukan mesin untuk menghasilkan daya 1 hp dalam waktu 1 jam. Konsumsi bahan bakar yang besar akan menyebabkan campuran menjadi kaya. Hal ini disebabkan oleh mekanisme pada motor diesel bahwa besarnya mass flow udara relatif konstan pada semua kondisi operasi. Campuran yang kaya ini juga menyebabkan pada tahap after burning tidak semua bahan bakar akan terbakar sehingga ada sebagian bahan bakar yang terbuang atau unburn fuel. Unburn fuel inilah yang terbuang dan tidak menjadi energi yang berguna, sehingga menyebabkan naiknya pemakaian bahan bakar spesifik.

Penambahan persentase biodiesel pada campuran bahan bakar memiliki kecenderungan pemakaian bahan bakar spesifik yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya nilai kalor biodiesel dibandingkan fossil diesel, sehingga akan berakibat bahwa untuk menghasilkan daya yang sama membutuhkan konsumsi bahan bakar yang lebih besar.

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Beban (%) B s fc ( K g /h p .J a m ) B 0 B 20 B 40 B 60 B 80 B 100

Gambar 8. Grafik bsfc terhadap perubahan beban

3.3.3. Emisi Partikel Soot

Emisi partikel soot tergantung pada banyaknya jumlah bahan bakar yang disemprotkan ke dalam ruang bakar. Semakin kaya bahan bakar yang disemprotkan oleh injektor, semakin besar nilai emisi partikel soot demikian pula sebaliknya. Dari Gambar 9. ditunjukkan bahwa besarnya emisi partikel soot semakin meningkat seiring dengan bertambahnya beban. Apabila beban ditambah, jumlah bahan bakar yang diinjeksikan ke

ruang bakar semakin besar, yang menyebabkan waktu untuk membakar bahan bakar tidak mencukupi. Sehingga pada tahap after burning ada sebagian bahan bakar yang tidak terbakar atau disebut unburn fuel. Unburn fuel inilah yang menjadi asap dan diukur ketebalannya yang kemudian dikonversi menjadi nilai emisi partikel soot.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Beban (%) O p a s it a s (% ) B 0 B 20 B 40 B 60 B 80 B 100

Gambar 9. Emisi partikel soot terhadap perubahan beban

Penambahan persentase biodiesel pada campuran bahan bakar menunjukkan kecenderungan menurunkan kadar emisi partikel soot. Hal ini sesuai dengan prediksi sebelumnya sebagaimana diketahui bahwa biodiesel tidak mengandung senyawa aromatik dan sangat sedikit sulfur. Kedua senyawa terkandung pada bahan bakar fossil diesel dan merupakan penyusun dari emisi partikul soot. Faktor penyebab yang lebih penting adalah bahwa kandungan oksigen dalam biodiesel lebih banyak dibandingkan fossil diesel. Partikel soot terbentuk pada daerah/zone kaya bahan bakar yang bersuhu dan tekanan tinggi. Kehadiran molekul biodiesel yang beroksigen tinggi akan mengurangi daerah kaya bahan bakar dan membatasi pembentukan partikel soot.

3.4. Karakterisasi Unjuk Kerja Dengan Perubahan Waktu Injeksi

Berdasarkan Tabel properti bahan bakar dan analisis unjuk kerja dan emisi mesin maka diperlukan suatu modifikasi terhadap mesin untuk menghasilkan unjuk kerja dan emisi secara optimal. Pada penelitian ini dicoba untuk dilakukan modifikasi terhadap waktu injeksi bahan bakar yaitu dimajukan (advanced) dan dimundurkan (retarded), masing-masing sebesar 2 dan 4 0CA dari waktu injeksi standar (26 0CA). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan proses pembakaran yang tepat terkait pemakaian campuran biodiesel sebagai bahan bakar pada motor diesel.

1. Tekanan Pada Ruang Bakar

Tekanan pada ruang bakar yang dianalisis disini adalah tekanan puncak dan peak rate of pressure rise. Besarnya tekanan puncak pada ruang bakar untuk berbagai variasi waktu injeksi ditunjukkan pada Gambar 10. Kecenderungan yang dapat diambil bahwa tekanan puncak biodiesel relatif lebih tinggi dibandingkan fossil diesel pada semua beban. Terkait dengan modifikasi waktu injeksi, dari Gambar terlihat adanya kecenderungan yang sama yaitu bahwa besarnya tekanan puncak didalam ruang bakar menga-lami penurunan dengan retarded (2 dan 4 0CA) dan mengalami kenaikan dengan advanced (2 dan 4 0CA).

(6)

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 10 bahwa penurunan dan kenaikan tekanan puncak didalam ruang bakar dengan modifikasi retarded dan advanced 2 0CA lebih besar dibandingkan dengan modifikasi retarded dan advanced 4 0CA. Penurunan tekanan puncak berkisar 0,8 ~ 1,3 % pada retarded 2

0

CA dan 0,08 ~ 0,2 % pada retarded 4 0CA, sedangkan kenaikan tekanan puncak berkisar 0,5 ~ 1 % pada advanced 2 0CA dan 0,03 ~ 0,08 % pada advanced 4

0

CA. Secara umum penurunan dan kenaikan tekanan puncak lebih rendah seiring dengan penambahan biodiesel pada campuran bahan bakar.

83 83.5 84 84.5 85 85.5 86 86.5 87 87.5 88 22 24 26 28 30

Derajat waktu injeksi (deg BTDC)

T ek an an p u n ca k (b ar ) B0 B20 B40 B60 B80 B100

Gambar 10. Tekanan puncak terhadap perubahan waktu injeksi

2. Karakterisasi Pembakaran dalam Ruang Bakar

Karakterisasi pembakaran berupa ignition delay period terhadap perubahan derajat tekanan injeksi ditunjukkan pada Gambar 11. Kecenderungan yang didapatkan adalah ignition delay period semakin pendek seiring dengan penambahan biodiesel pada campuran bahan bakar. Terkait dengan modifikasi waktu injeksi, dari Gambar terlihat adanya kecenderungan bahwa besarnya igniton delay period didalam ruang bakar mengalami penurunan dengan retarded (2 dan 4 0CA) dan mengalami kenaikan dengan advanced (2 dan 4 0CA).

20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 22 24 26 28 30

Derajat waktu injeksi (deg BTDC)

Ig n it io n D e la y P e ri o d ( d e g ) B0 B20 B40 B60 B80 B100

Gambar 11. Ignition delay period terhadap waktu injeksi Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 11 bahwa penurunan dan kenaikan igniton delay period didalam ruang bakar dengan modifikasi retarded dan advanced 2 0CA lebih besar dibandingkan dengan modifikasi retarded dan advanced 4 0CA. Penurunan igniton delay period rata-rata berkisar 2,77 % pada retarded 2 0CA dan 0,67 % pada retarded 4 0CA, sedangkan kenaikan igniton delay period rata-rata sebesar 1,71 % pada advanced 2 0CA dan 1,51 % pada advanced 4 0CA. Secara umum penurunan dan

kenaikan igniton delay period lebih rendah seiring dengan penambahan biodiesel pada campuran.

Sebagaimana karakterisasi pembakaran berupa ignition delay period, karakterisasi pembakaran berupa premixed combustion period terhadap perubahan derajat waktu injeksi ditunjukkan pada Gambar 12. Kecenderungan yang didapatkan adalah premixed combustion period semakin pendek seiring dengan penambahan biodiesel pada campuran bahan bakar. Terkait dengan modifikasi waktu injeksi, dari Gambar terlihat adanya kecenderungan bahwa besarnya premixed combustion period didalam ruang bakar mengalami penurunan dengan retarded 2 dan 4 0CA dan mengalami kenaikan dengan advanced 2 0CA dan penurunan lagi pada advanced 4 0CA.

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 12 bahwa penurunan dan kenaikan premixed combustion period didalam ruang bakar dengan modifikasi retarded dan advanced 2 0CA lebih besar dibandingkan dengan modifikasi retarded dan advanced 4 0CA. Penurunan premixed combustion period rata-rata berkisar 1,17 % pada retarded 2 0CA dan 0,84 % pada retarded 4 0CA, sedangkan kenaikan premixed combustion period rata-rata sebesar 1,29 % pada advanced 2 0CA dan penurunan 1,82 % pada advanced 4 0CA. 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8 8.5 9 9.5 10 22 24 26 28 30

Derajat waktu injeksi (deg BTDC)

P re m ix e d C o m b u s ti o n P e ri o d ( d e g ) B0 B20 B40 B60 B80 B100

Gambar 12. Premixed combustion period terhadap waktu injeksi Karakterisasi pembakaran berupa diffusion combustion period terhadap perubahan derajat tekanan injeksi ditunjukkan pada Gambar 13. Kecenderungan yang didapatkan adalah diffusion combustion period semakin panjang seiring dengan penambahan biodiesel pada campuran bahan bakar. Hal ini disebabkan oleh kandungan senyawa tak jenuh dalam biodiesel sehingga lebih sulit untuk terbakar. Sedangkan terkait dengan modifikasi waktu injeksi, dari Gambar terlihat adanya kecenderungan bahwa besarnya diffusion combustion period didalam ruang bakar mengalami penurunan dengan retarded 2 dan 4 0CA dan mengalami kenaikan dengan advanced 2 0CA dan penurunan lagi pada advanced 4 0CA.

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 13 bahwa penurunan dan kenaikan diffusion combustion period didalam ruang bakar dengan modifikasi retarded dan advanced 2 0CA lebih besar dibandingkan dengan modifikasi retarded dan advanced 4 0CA. Penurunan diffusion combustion period rata-rata berkisar 0,73 % pada retarded 2 0CA dan 0,45 % pada retarded 4 0CA, sedangkan kenaikan diffusion

(7)

combustion period rata-rata sebesar 0,26 % pada advanced 2 0CA dan 0,06 % pada retarded 4 0CA.

35 35.5 36 36.5 37 37.5 38 38.5 39 39.5 40 22 24 26 28 30

Derajat waktu injeksi (deg BTDC)

D if fu s io n C o m b u s ti o n P e ri o d ( d e g ) B0 B20 B40 B60 B80 B100

Gambar 13. Diffusion combustion period terhadap waktu injeksi

3. Unjuk Kerja dan Emisi Mesin

Karakterisasi unjuk kerja dan emisi mesin dinyatakan dalam daya, bsfc dan emisi soot. Kecenderungan yang didapatkan adalah bahwa besarnya daya cenderung menurun seiring dengan penambahan biodiesel dalam campuran bahan bakar. Hal ini berkaitan dengan kandungan nilai kalor biodiesel yang lebih kecil dibandingkan fossil diesel. Sehubungan dengan lebih sempurnanya proses pembakaran akibat kandungan oksigen didalam biodiesel, sehingga penurunan daya tidak sebesar penurunan nilai kalor bahan bakar.

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 14 bahwa penurunan dan kenaikan daya didalam ruang bakar dengan modifikasi retarded dan advanced 2 0CA lebih besar dibandingkan dengan modifikasi retarded dan advanced 4 0CA. Penurunan daya rata-rata berkisar 3,9 % pada retarded 2 0CA dan 1,85 % pada retarded 4

0

CA, sedangkan kenaikan daya rata-rata sebesar 0,19 % pada advanced 2 0CA dan 0,10 % pada advanced 4

0 CA. 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 22 24 26 28 30

Derajat waktu injeksi (deg BTDC)

D a y a ( H p ) B0 B20 B40 B60 B80 B100

Gambar 14. Variasi Daya terhadap perubahan waktu injeksi Karakterisasi unjuk kerja dan emisi mesin selanjutnya adalah besarnya konsumsi bahan bakar spesifik sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 15. Kecenderungan yang didapatkan adalah bahwa besarnya bsfc cenderung naik seiring dengan penambahan biodiesel dalam campuran bahan bakar. Hal ini berkaitan dengan kandungan nilai kalor biodiesel yang lebih rendah dibandingkan fossil diesel, namun sehubungan dengan lebih sempurnanya proses pembakaran akibat kandungan oksigen didalam biodiesel, sehingga kenaikan bsfc tidak sebesar penurunan nilai kalor bahan bakar.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 22 24 26 28 30

Derajat waktu injeksi (deg BTDC)

B s fc ( k g /h p j a m ) B0 B20 B40 B60 B80 B100

Gambar 15 Variasi bsfc terhadap perubahan waktu injeksi Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 15 bahwa kenaikan dan penurunan bsfc didalam ruang bakar dengan modifikasi retarded dan advanced 2 0CA lebih besar dibandingkan dengan modifikasi retarded dan advanced 4 0CA. Kenaikan bsfc rata-rata berkisar 3,34 % pada retarded 2 0CA dan 1,48 % pada retarded 4 0CA, sedangkan penurunan bsfc rata-rata sebesar 6,54 % pada advanced 2 0CA dan 2,89 % pada advanced 4 0CA.

Sedangkan karakterisasi unjuk kerja dan emisi mesin yang terakhir berupa emisi partikel soot sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 16. Kecenderungan yang didapatkan adalah bahwa besarnya emisi partikel soot cenderung menurun seiring dengan penambahan biodiesel dalam campuran bahan bakar. Hal ini berkaitan dengan kandungan aromatik biodiesel yang lebih rendah dibandingkan fossil diesel sehingga dapat mengurangi terbentuknya emisi partikel soot.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 22 24 26 28 30

Derajat waktu injeksi (deg BTDC)

P e rs e n ta s e O p a s it a s ( % ) B0 B20 B40 B60 B80 B100

Gambar16. Emisi partikel soot thd perubahan waktu injeksi Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 16 bahwa kenaikan dan penurunan emisi partikel soot didalam ruang bakar dengan modifikasi retarded dan advanced 2 0CA lebih besar dibandingkan dengan modifikasi retarded dan advanced 4 0CA. Kenaikan emisi partikel soot rata-rata berkisar 10,02 % pada retarded 2 0CA dan 5,13 % pada retarded 4 0CA, sedangkan penurunan emisi partikel soot rata-rata sebesar 7 % pada advanced 2 0CA dan 4,3 % pada advanced 4 0CA.

4. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pemakaian 100 % biodiesel dapat mengurangi durasi ignition delay sampai 4 deg, durasi premixed

(8)

combustion sampai 2 deg, heat release total sampai 26 %, emisi soot sampai 30 % serta meningkatkan durasi diffusion combustion sebesar 3 deg dibandingkan dengan fossil diesel.

Pengukuran unjuk kerja mesin menunjukkan bahwa penambahan persentase biodiesel kedalam campuran bahan bakar menghasilkan penurunan unjuk kerja (torsi, daya, bmep dan effisiensi thermis) 1–3 % untuk setiap penambahan 20% biodiesel pada campuran bahan bakar dan kenaikan bsfc 2-4 % untuk setiap penambahan 20% biodiesel pada campuran bahan bakar. Pengukuran emisi mesin menunjukkan bahwa penambahan persentase biodiesel kedalam campuran bahan bakar menghasilkan penurunan emisi partikel soot 4–6 % untuk setiap penambahan 20% biodiesel pada campuran. Hasil visualisasi terhadap ruang bakar menunjukkan bahwa pemakaian biodiesel menghasilkan deposit berwarna coklat dengan karakter lebih pekat dibandingkan fossil diesel. Perubahan derajat waktu injeksi, baik itu retarded maupun advanced 2 0CA memberikan perubahan (kenaikan ataupun penurunan) terhadap karakterisasi pembakaran, unjuk kerja dan emisi mesin yang lebih besar dibandingkan perubahan retarded maupun advanced 4 0CA.

Ucapan Terima Kasih

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada LPPM ITS yang telah memberikan pendanaan terhadap penelitian kami yang berjudul “Karakterisasi unjuk kerja motor diesel injeksi langsung berbahan bakar campuran biodiesel dan fossil diesel”, dimana artikel ini merupakan bagian dari penelitian tersebut.

Daftar Pustaka

1. Altin, R., Cetinkaya, S. and Yucesu, H.S., “The potential of using vegetable oil fuel as fuel for diesel engines”, Energy Conversion and Management, Volume 42, pp. 529-538, 2001. 2. Bhattacharyya, B. and Reddy, C.S., “Vegetable oils

as fuels for internal combustion engine : a review”, Agriculture Engineering Resource Journal, volume 57, pp. 157 – 166, 1994.

3. Hohmann, S. and Renz, U., “ Numerical simulation of fuel sprays at high ambient pressure: the influence of real gas effects and gas solubility on droplet vaporization”, International journal of heat and mass transfer, Vol. 46, pp. 3017 – 3028, 2003. 4. Kalam, M.A. and Masjuki, H.H., “Biodiesel from

palmoil-an analysis of its properties and potential”, Journal Biomass and Bioenergy, Volume 23, pp. 471 – 479, 2002.

5. Kamimoto, T. and Kobayashi H., “Combustion processes in diesel engines”, Progress Energy Combust. Science, Vol. 17, pp 163-189, 1991. 6. Lee C.S. and Park S.W., “An experimental and

numerical study on fuel atomization charac-teristicsof high-pressure diesel injection sprays”, Fuel Journal, Vol. 81, pp. 2417–2423, 2002.

7. Lee , S.W., Tanaka., D., Kusaka, J. and Daisho, Y., “ Effect of diesel fuel characteristics on spray and combustion in a diesel engine “, JSAE Review journal, volume 23, pp. 407 – 414, 2002.

8. Lee , S.W., Kusaka, J. and Daisho, Y.,“ Spray characteristics of alternative fuels in constant volume chamber (comparison of the spray charac-teristics of LPG, DME and n-dodecane)“, JSAE Review Journal, volume 22, pp. 271 276, 2001. 9. Lefebvre, H. and Artur, “Fuel Atomization, Droplet

Evaporation and Spray Combustion”, Fosil Fuel Combustion, John Willley & Sons, Inc., pp. 529-642, 1991.

10. Ma, F. and Hanna, A. M., “Biodiesel production a review”, Bio-resource Technology Journal, pp. 1-15, 1999.

11. Machacon, H.T.C., Shiga, S., Karasawa, T. and Nakamura, H., “ Performance and emission characteristics of diesel engine fueled with coconut oil-diesel fuel blend”, Biomass and bioenergy, Volume 20, pp. 63-69, 2001.

12. Nwafor, O.M.I., “ Emission characteristics of diesel engine operating on rapeseed methyl ester”, Renewable energy Journal, Volume 29, pp. 119-129, 2004.

13. Nwafor, O.M.I., Rice, G. and Ogbonna, A.I., “ Effect of advanced injection timing on the perfor-mance of rapeseed oil in diesel engines”, Rene-wable energy Journal, Vol. 21, pp. 433-444, 2000. 14. Reksowardojo, I.K., Nurudin, Brodjonegoro, T.P.,

Soerawidjaja, T.H., Dewi, R.G., Syaharuddin, I. dan Arismunandar, W.,”Pengaruh bahan bakar biodiesel minyak goreng dari kelapa sawit pada motor diesel penyemprotan langsung ”, Proseding SNTTM III, Unhas , Makassar, 2004.

15. Scholl, K.W. and Sorenson, S.C., “Combustion of Soybean Oil Methyl Ester in a direct Injection Diesel Engine”, SAE Paper, 1996.

16. Srivastava, A., Prasad, R., “Triglycerides-based diesel fuels”, Renewable and sustainable Energy Reviews Journal, pp. 111-133, 2000.

17. Sudarmanta, B., Sungkono, D., Rachimoellah, M. dan Winardi, S., ”Diesel and Palm Methyl Ester Fuel Atomization Characteristics of Pintle Type Diesel Injection Spray”, Jurnal Industri (Terakreditasi), Fakultas Teknologi Industri, ITS Surabaya, Vol. 5., No. 3., Oktober 2006.

18. Sudarmanta, B. dan Sungkono, D., “Transesterifikasi crude palm oil dan uji karakteristik semprotan menggunakan injektor motor diesel“, Jurnal Teknik Mesin FTI-ITS, Vol. 2, Mei, 2005.

19. Sudarmanta, B. dan Sungkono, D., “Pemodelan numerik karakteristik semprotan biodiesel minyak kelapa sawit dengan type injektor pressurized swirl atomizer”, prosiding seminar nasional Pasca Sarjana IV, ITS-Surabaya, 2004.

20. Turns, S. R., “ An Introduction To Combustion; Concepts and Application”, 2

nd

Edition, Mc. Graw Hill, 2000.

(9)

Gambar

Tabel 1. Spesifikasi Mesin Uji
Tabel 3.   Perbandingan properti bahan bakar
Gambar 7  Grafik daya terhadap perubahan beban
Gambar  8.  menunjukkan  grafik  pemakaian  bahan  bakar  spesifik  terhadap  kenaikan  beban
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada kondisi ini usahatani tanaman jarak tidak layak untuk diusahakan karena memiliki nilai NPV yang negatif, Net B/C yang kurang dari satu dan IRR yang lebih rendah

Penelitian ini menyimpulkan bahwa ekstrak etanolik buah biji pinang (Areca catechu) memiliki aktifitas antiproliferatif terhadap sel MCF-7 dengan menghambat pertumbuhan dan

Hasil sidik ragam (Anova) menunjukkan terjadi interaksi antara pemangkasan tunas lateral dan bunga terhadap berat segar berangkasan dimana berangkasan segar tanaman yang

Sebaliknya bila udara pembakaran masuk ke ruang bakar melalui saluran udara primer, sekunder dan tersier secara lebih merata, menghasilkan laju pembakaran yang lebih rendah

Sehingga apabila ada hambatan atau akan terjadi bertambahnya arus pada sebuah beban, sensor akan segera menangkap arus tersebut dan kemudian diproses oleh IC, setelah diproses

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

bahwa di Basel, Swiss, pada tanggal 22 Maret 1989 telah diterima Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of the Hazardous Wastes and Their Disposal sebagai hasil

[r]