BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelepah Kelapa Sawit
Pemanfaatan kelapa sawit hingga saat ini ditujukan hanya untuk memproduksi buah yang digunakan untuk bahan baku pembuatan minyak kelapa sawit yang berupa CPO (Crude Palm Oil) maupun PKO. Setiap pemanenan buah kelapa sawit biasanya dilakukan pemotongan pelepah sebanyak 2 sampai dengan 3 buah per tandan kelapa sawit (TKS). Pemotongan ini dilakukan untuk mempermudah pengambilan buah (tandan kelapa sawit). Biasanya, pelepah yang merupakan hasil ikutan pemanenan tersebut dibiarkan menjadi limbah di kebun. Oleh karena itu, usaha untuk memanfaatkan limbah pelepah sawit ini merupakan suatu keniscayaan, sehingga limbah tersebut dapat lebih bernilai ekonomi.
Berlangsungnya proses metabolisme dengan baik, seperti proses fotosintesis dan respirasi maka jumlah pelepah pada setiap batang tanaman harus dipertahankan dalam jumlah tertentu sesuai dengan umur tanaman. Untuk namana berumur 3-8 tahun, jumlah pelepah yang optimal sekitar 48-56 (6-7 lingkaran duduk daun) dan untuk tanaman dengan umur lebih dari 8 tahun, jumlah pelepah sekitar 40-88 pelepah (5-6 lingkaran duduk daun). Pemangkasan dilakukan 6 bulan sekali untuk tanaman menghasilkan. Pemangkasan atau penunasan dapat dilakukan dengan menggunakan alat
chisel (dodos), eggrek (arit bergagang), atau kampak petik (Fauzi, dkk 2002).
2.2. Penunasan Pelepah Kelapa Sawit
Berbagai tindakan kultur teknis yang dikerjakan oleh suatu perkebunan kelapa sawit dalam usaha meningkatkan produksinya, diantaranya adalah penunasan. Daun kelapa sawit dalam jumlah tertentu, merupakan salah satu faktor yang turut menentukan pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Basyar, 1996).
Penunasan adalah pembuangan daun-daun tua yang tidak produktif pada tanaman kelapa sawit. Pada tanaman muda sebaiknuya tidak dilakukan pemangkasan, kecuali dengan maksud mengurangi pengguapan oleh daun padasaat tanaman akan dipindahkan dari pembibitan ke areal perkebunan. Tujuan pemangkasan adalah sebagai berikut.
a. Memperbaiki sirkulasi udara di sekitar tanaman sehingga dapat membantu proses penyerbukan secara alami.
b. Mengurangi penghalangan pembesaran buah dan kehilangan buah terjepit pada pelepah daun.
c. Membantu dan memudahkan pada waktu panen. d. Mengurangi perkembangan apifit
e. Agar proses metabolisme tanaman berjalan lancar, terutama proses fotosintesis dan respirasi.
Pertumbuhan dan produksi tanaman dianggap sebagai selisih antara produksi fotosintesisi dengan kehilangan asimilat akibat proses respirasi. Dalam satu tahun tanaman kelapa sawit mampu menghasilkan 20-30 pelepah daun. Kemampuan produksi tersebut menurun menjadi 18-25 pelepah daun seiring dengan pertambahan umur tanaman. Dengan demikian rata-rata produksi pelepah adalah 1,5-2,5 pelepah/bulan. Namun, hanya sekitar 8-22 pelepah daun yang ditemukan bunga atau buah. Pelepah daun yang menghasilkan bunga atau buah disebut pelepah penyangga (songgoh) dan pelepah yang tidak bisa menghasilkan bungaan atau buah disebut pelepah kososng. Pelepah penyangga akan ditunas bersamaan dengan panen buah, sedangkan pelepah kosong akan ditunas secara rutin dengan interval waktu tertendu diluar waktu panen.
Menurut (Basyar, 1996) dalam setiap tahun kelapa sawit muda dapat memproduksi 30-35 pelepah dan berangsur-angsur menurun pada tanaman dewasa menjadi 20-24 pelepah. Jumlah pelepah yang diinginkan untuk menghasilakn produksi yang optimum adalah minimum 40 pelepah untuk
tanaman menghasilkan (TM) Dewasa (berumur > 9 tahun). Hasil analisis dan sifat fisik dan morfologi serat menunjukkan bahwa panjang serat pelepah kelapa sawit berkisar antara 0,62-2,51 mm dengan panjang rata-rata 1,30 mm. Berdasarkan pengelompokkan dalam kelasifikasi panjang serat menurut KLEMM, maka serat pelepah kelapa sawit yang termasuk kedalam kelompok panjang serat pelepah sedang (0,9-1,6 mm). Secara keseluruhan, serat pelepah kelapa sawit lebih panjang dari pada serat tandan kosong kelapa sawit (Darnoko dkk, 2010).
Tabel 2.1 Sifat fisik dan Morfologi Serat Pelepah Kelapa Sawit dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKS)
NO Parameter Pelepah Tandan
Kosong 1 Panjang Serat (L), mm - Minimum - Maksimum - Rata-rata 0,62 0,23 2,52 1,48 1,30 0,66 2 Diameter Serat (D) 19,48 16,89
3 Diameter Lumen (I) 12,07 9,52
4 Tebal Dinding (W) 3,89 3,69
5 Bilangan Rungkel 0,64 0,77
6 Kelangsingan (I/D) 65,52 39,08
7 Kelemasan (I/D) 0,61 0,56
8 Rapat masa tumpukkan serpih kg/m3 106,50 190,57
9 Kadar Serat % 42,86 75,58
2.3 PKC (Palm Kernel Cake)
Bungkil Inti Sawit (BIS) Merupakan salah satu salah satu hasil samping pengelolaan inti sawit dengan kadar 45-46% dari inti sawit. BIS umummnya mengandung air kurang dari 10% dan 60% fraksi nutrisinya berupa selulosa, lemak, protein, arabinoksilan, glukoronoxilan, dan mineral. Bahan ini dapat diperoleh dengan proses kimia atau dengan cara mekanik. Walaupun BIS proteinnya rendah, tetapi kualitasnya cukup baik dan serat kasarnya tinggi ( Wikipedia, 2018)
Kandungan zat nutrisi BIS bervariasi, variasi ini disebabkan oleh adanya perbedaan umur tanaman, teknik ekstraksi, daerah asal atau jenis kelapa sawit (Supriyat, Pasaribu, Hamid, & Sinurat, 1998).
2.4 Proses Pengomposan
Pengomposan merupakan dekomposisi biologi dan stabilisasi bahan organic pada kondisi suhu tinggi dan lembab dengan produk akhir yang cukup stabil untuk disimpan atau diaplikasikan ke tanah (Haug, 1993). Proses pengomposan umumnya melibatkan beberapa kelompok organisme baik microflora (bakteri), kapang dan actinomycetes), microfauna (protozoa), macroflora (jamur tingkat tinggi)dan macrofauna (cacing tanah, rayap, semut). Pada proses pengomposan, organisme tersebut bisa bersal dari bahan baku, lingkungan atau sengaja ditambahkan (Isroi, 2005).
Menurut Sutanto (2002) proses pengomposan dibagi ke dalam tiga tahap. Tahapan awal dimana dekomposisi intensif berlangsung dihasilkan suhu yang cukup tinggi dalam waktu yang relative pendek dan bahan organic yang mudah terdekomposisi akan diubah menjadi senyawa lain. Pada tahap pematangan dan pasca pematangan, bahan yang sukar didekomposisi akan terdekomposisi, dan terurai. Menurut Sutanto (2002), dari proses pengomposan ini akan dihasilkan produk kompos yang matang dengan ciri : tidak berbau, remah, berwarna kehitaman, mengandung hara yang tersedia bagi tanaman dan kemampuan mengikat air yang tinggi. Pada tahap awal
proses dekomposisi akan terjadi proses dekomposisi yang kurang baik diakibatkan oleh kelembaban yang tidak sesuaidan atau campuran bahan campuran kompos yang tidak sesuai.
Proses penguraian bahan organic secara utuh adalah sebagai berikut (Pace, dkk., 1995):
Bahan organic+O2𝑚𝑖𝑐𝑟𝑜𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑠𝑚𝑒 𝑎𝑒𝑟𝑜𝑏𝑖𝑘
𝑛𝑢𝑡𝑟𝑖𝑠𝑖 H2O+CO2+Hara+humus+energy
Penelitian Bernal et al. (2009) dalam Bulan, dkk (2016), menyatakan bahwa besarnya partikel kompos dan distribusinya merupakan faktor penting guna menyeimbangkan luas permukaan partikel. Hal ini ditujukan untuk pertumbuhan mikroorganisme dan mempertahankan aerasi udara yang cukup untuk proses pengomposan. Partikel kompos yang lebih besar mengakibatkan menurunnya rasio luas permukaan terhadap massa. Kompos dengan partikel yang lebih besar tidak terdekomposisi dengan baik karena bagian dalam (interior) dari partikel sulit dijangkau oleh mikroorganisme. Namun demikian, partikel kompos yang terlalu kecil akan mengakibatkan produk kompos yang padat dan porositasnya berkurang. Porositas dari produk kompos yang dihasilkan, masih oleh penelitian yang sama, ditentukan oleh faktor-faktor yang terkait bahan penyusun kompos, meliputi ukuran partikel dan distribusinya, bentuk, kepadatan dan kadar air (Bulan, dkk 2016).
Daun kelapa sawit merupakan limbah padat perkebunan yang potensial guna dikonversi menjadi pupuk organik melalui proses pengomposan. Proses pengomposan dengan komposisi bokashi lebih baik dari komposisi lainnya berdasarkan pertimbangan perubahan suhu selama proses pengomposan. Selain itu, dimensi cacah daun kelapa sawit berukuran 2 cm direkomendasikan terkait dengan kemampuan mikroorganisme yang lebih baik dalam mengurai bahan organik. Kombinasi proses pengomposan dengan komposisi kompos bokashi dengan ukuran cacahan daun sawit 2 cm dengan durasi pengomposan 10 minggu, direkomendasikan sebagai kombinasi kondisi proses pengomposan yang optimal (Bulan, dkk 2016).
Adanya energi panas yang dihasilkan selama proses pengomposan oleh mikroorganisme berakibat mudah teruapnya uap air dan gas lainnya ke udara bebas. Gas tersebut meliputi karbon dioksida (CO2), nitrogen monoksida (NO) dan gas lainnya (Oviasogie et al. 2010).
2.5 Analisis Kelayakan Bisnis
Menurut Umar (2001) dalam Winantara dkk (2014), analisis kelayakan bisnis merupakan penelitian terhadap rencana bisnis yang tidak hanya menganalisis layak atau tidak layak bisnis dibangun, tetapi juga saat dioperasionalkan secara rutin dalam rangka pencapaian keuntungan yang maksimal untuk waktu yang tidak ditentukan.
2.6 Biaya Produksi
Menurut Soekartawi (2006), Biaya produksi adalah semua pengeluaran ekonomis yang harus dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang. Biaya produksi membentuk harga pokok produksi yang digunakan untuk menghitung harga pokok produk jadi dan harga pokok produk pada akhir periode akuntansi masih dalam proses (Riadi, 2012). Biaya produksi digolongkan dalam tiga jenis yang juga merupakan elemen-elemen utama dari biaya produksi, meliputi :
2.6.1 Biaya Bahan Baku (Direct Material Cost)
Menurut (Ma'aruf, 2014) biaya bahan baku adalah biaya yang digunakan
untuk bahan-bahan yang bisa dengan mudah dan langsung diidentifikasikan dengan barang jadi. Contoh bahan baku adalah tembakau bagi perusahaan rokok dan kayu bagi perusahaan mebel.
Sedangkan menurut (Yunita, 2017) biaya bahan baku merupakan bahan
secara langsung digunakan dalam produksi untuk mewujudkan suatu macam produk jadi yang siap untuk dipasarkan.
2.6.2 Biaya Tenaga Kerja Langsung (Direct Labour Cost)
Menurut (Ma'aruf, 2014) definisi biaya tenaga kerja langsung adalah biaya
untuk tenaga kerja yang secara langsung menangani proses produksi atau bisa dihubungakan langsung dengan barang jadi. Contoh tenaga kerja
langsung adalah tukang kayu pada perusahaan mebel dan tukang pelinting
rokok dalam perusahaan rokok.
Menurut (Yunita, 2017) biaya tenaga kerja langsung merupakan biaya-biaya bagi para tenaga kerja langsung ditempatkan dan didayagunakan dalam menangani kegiatan-kegiatan proses produk jadi secara langsung diterjunkan dalam kegiatan produksi menangani segala peralatan produksi dan usaha itu dapat terwujud.
2.6.3 Biaya Overhead Pabrik (Factory Overehead Pabrik)
Menurut (Ma'aruf, 2014) biaya overhead pabrik adalah biaya pabrik selain
daripada bahan baku dan tenaga kerja langsung. Jadi biaya ini tidak dapat diidentifikasikan langsung dengan barang yang dihasilkan.
Biaya overhead pabrik umumnya didefinisikan sebagai bahan tidak langsung, tenaga kerja tidak langsung dan biaya pabrik lainnya yang tidak secara mudah didefinisikan atau dibebankan pada suatu pekerjaan (Yunita, 2017).
2.7 Biaya Penyusutan
Menurut (Rahman, 2012) biaya penyusutan yaitu biaya yang dikeluarkan untuk penyusutan nilai alat karena berkurangnya umur ekonomis. Biaya depresiasi dapat diperlakukan sebagi komponen dari biaya tetap, jika masa pakai alat dihitung berdasarkan waktu. Untuk menghitung biaya depresiasi, hal pertama yang dilakukan adalah menentukan harga alat.
Menurut (Utami, 2015) penyusutan adalah Alokasi biaya perolehan atau sebagian besar hargaperolehan suatu aset tetap selama masa manfaat aset itu. Besar nilai yang dapat disusutkan adalah selisih antara harga perolehan dengan nilai sisa, yaitu nilai aset itu pada akhir masa manfaatnya. Setiap
perusahaan memegang peranan penting dalam menentukan metode apa yang akan digunakan dan hal ini akan berpengaruh pada besarnya beban penyusutan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyusutan, diantaranya: 1. Pemakaian
2. Keausan
3. Ketidak seimbangan kapasitas yang tersedia dengan yang diminta 4. Keterbatasan teknologi
Biaya penyusutan alat juga dapat berpengaruh dalam biaya proses suatu produksi dengan memeperhitungkan umur ekonomis alat yang digunakan dalam proses produksi.
2.8 Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya tetap (Fixed cost) adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisaran perubahan volume kegiatan tertentu. Besar kecilnya biaya tetap di pengaruhi oleh kondisi perusahaan jangka panjang, teknologi dan metode serta strategi manajemen. Contohnya pajak bumi dan bangunan, gaji kariyawan dan asuransi (Passoe, 2013)
Menurut (Yunita, 2017) Biaya tetap merupakan biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisaran volume kegiatan tertentu, yang terdiri dari beberapa faktor tergantung jenis kegiatan usahanya. Faktor-faktor yang menjadi biaya tetap pada masing-masing usaha antara lain biaya peralatan, biaya penyusutan peralatan, dan biaya-biaya lain-lain.
2.9 Biaya Tidak Tetap (Variabel Cost)
Biaya tidak tetap (Variable cost) adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Biaya variabel per unit konstan (tetap) dengan adanya perubahan volume kegiatan. Contoh: biaya bahan baku, biaya iklan dan komisi untuk seorang selesman sesuai dengan levelnya (Passoe, 2013)
Menurut Yunita (2017) biaya tidak tetap adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan kegiatan, dimana sama seperti biaya tetap setiap usaha memiliki variabel yang berbeda-beda. Faktor-faktor biaya yang menjadi biaya variabel yaitu biaya tenaga kerja dan biaya bahan baku yang digunakan selama proses produksi.
2.10 Penerimaan
Menurut (Passoe, 2013), penerimaan adalah segala penerimaan produsen dari hasil penjualan outputnya. Penerimaan adalah jumlah uang yang diterima oleh usaha pembuatan kompos pelepah kelapa sawit dari aktivitasnya (Soekartawi, 2006).
2.11 Keuntungan
Keuntungan merupakan kondisi dimana terjadinya peningkatan kekayaan seorang investor sebagai hasil penanam modalnya, setelah dikurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan penanaman modal tersebut (Yunita, 2017).
2.12 Biaya Total
Biaya total adalah keseluruhan biaya produksi yang digunakan untuk menghasilkan sejumlah output tertentu baik yang bersifat tetap maupun variabel. Contoh: perusahaan melakukan pengkalkulasian total biaya produksi yang dikeluarkan (Passoe, 2013).
2.13 BEP (Break Event Point)
Break Even point atau BEP adalah suatu analisis untuk menentukan dan mencari jumlah barang atau jasa yang harus dijual kepada konsumen pada harga tertentu untuk menutupi biaya-biaya yang timbul serta mendapatkan keuntungan / profit. Berikut rumus untuk menghitung BEP (Soekartawi, 2006).
BEP Produksi (Kg) = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 (𝑅𝑝)
𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝐽𝑢𝑎𝑙 (𝑅𝑝)
BEP Harga (Kg) = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 (𝑅𝑝)
BEP dapat diartikan suatau keadaan dimana dalam operasi perusahaan, perusahaan tidak memperoleh laba dan tidak menderita rugi (penghasilan yang dinilai menggunakan total biaya). Tetapi analisa BEP tidak hanya semata-mata untuk mengetahui keadaan perusahaan apakah mencapai titik BEP, akan tetapi analisa BEP mampu memberikan informasi kepada pinjaman perusahaan mengenai bebrbagai tingkat volume penjualan, serta hubungannya dengan kemungkinan memperoleh laba menurut tingkat penjualan yang bersangkutan (Hafizh, 2018).
Ukuran yang sering dipakai menilai sukses tidaknya suatu manajemen perusahaan adalah tercapainya target penjualan dalan arti laba yang maksimal. Untuk mencapai penilaian tersebut di pengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : biaya produksi, harga jual, dan volume penjualan. Biaya akan menentukan harga jual, harga jual akan mempengaruhi volume penjualan, volume penjualan akan mempengaruhi volume produksi dan volume produksi akan mempengaruhi biaya (Hafizh, 2018).
2.14 Fungsi Analisis BEP
Rumus BEP/analisis break even point (Analisis balik modal) digunakan untuk menentukan hal-hal seperti:
a. Jumlah penjualan minimum yang harus dipertahankan agar perusahaan tidak mengalami kerugian. Jumlah penjualan minimum ini berarti juga jumlah produksi minimum yang harus dibuat.
b. Jumlah penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh laba yang telah direncanakan atau dapat diartikan bahwa tingkat produksi harus ditetapkan untuk memperoleh laba tersebut.
c. Mengukur dan menjaga agar penjualan dan tingkat produksi tidak lebih kecil dari BEP.
d. Menganalisis perubahan harga jual, harga pokok dan besarnya hasil penjualan atau tingkat produksi. Sehingga analisis terhadap BEP merupakan suatu alat perencanaan penjualan dan sekaligus perencanaan
tingkat produksi, agar perusahaan secara minimal tidak mengalami kerugian. Selanjutnya karena harus memperoleh keuntungan berarti perusahaan harus berproduksi di atas BEP-nya.
2.15 Pendekatan Grafik BEP
Pendekatan grafik menggambarkan hubungan antara volume penjualan dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan serta laba. Selain itu juga untuk mengetahui biaya tetap dan biaya variabel dan tingkat kerugian perusahaan. Asumsi yang digunakan dalam analisis peluang pokok ini adalah bahwa harga jual, biaya variabel per unit adalah konstan.
Pendekatan grafik dilakukan dengan menggambarkan unsur-unsur biaya dan penghasilan kedalam sebuah gambar grafik. Dalam gambar tersebut akan terlihat garis-garis biaya tetap, biaya total yang menggambarkan jumlah biaya tetap dan biaya variabel, dan garis penghasilan penjualan. Besarnya volume produksi/penjualan dalam unit digambarkan pada sumbu horizontal (sumbu X) dan besarnya biaya dan penghasilan penjualan digambarkan pada sumbu vertikal (sumbu Y) (Hafizh, 2018).
Gambar 2.1 Gambaran grafik Break Event Point (BEP)
Sumber : (Hafizh, 2018)
Untuk menggambarkan garis biaya tetap dalam grafik break even point dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggambarkan garis biaya tetap
secara horizontal sejajar dengan sumbu X, atau dengan menggambarkan garis biaya tetap sejajar dengan garis biaya variabel. Pada cara yang kedua, besarnya contribution margin akan tampak pada gambar break even point tersebut (Hafizh, 2018).
Penentuan break even point pada grafik, yaitu pada titik dimana terjadi persilangan antara garis penghasilan penjualan dengan garis biaya total. dan Apabila titik tersebut kita tarik garis lurus vertikal ke bawah sampai sumbu X akan tampak besarnya break even point dalam unit. dan Kalau titik itu ditarik garus lurus horizontal ke samping sampai sumbu Y, akan tampak besarnya break even point dalam rupiah (Hafizh, 2018).
2.16 Revenue/Cost (R/C)
Revenue/Cost adalah adalah merupakan perbandingan antara total pendapatan dengan total biaya dengan rumusan sebagai berikut (Soekartawi, 2006).
R/C = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 (𝑅𝑃)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 (𝑅𝑃)
Jika R/C ratio > 1, maka usaha yang dijalankan mengalami keuntungan atau layak untuk dikembangkan. Jika R/C ratio < 1, maka usaha tersebut mengalami kerugian atau tidak layak untuk dikembangkan selanjutnya jika R/C ratio = 1, maka usaha pada titik impas (Break Event Point).
2.17 Benefit/Cost Ratio
Benefit/Cost Ratio merupakan alat analisa untuk mengukur tingkat kelayakan di dalam proses produksi usaha tani.(Soekartawi, 2006).
Benefit Cost Ratio (B/C) = 𝐵𝑒𝑛𝑒𝑓𝑖𝑡
𝐶𝑜𝑠𝑡
Jika B/C Ratio > 1, maka usaha yang dijalankan mengalami keuntungan atau prospek untuk dikembangkan. Jika B/C Ratio < 1, maka usaha tersebut mengaami kerugian atau tidak layak untuk dikembangkan. Selanjutnya jika B/C Ratio = 1 maka usaha berada pada titik impas (Break Event Point).