• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pekerjaan perencanaan maupun pengembangan kawasan diperlukan dalam pengelolaan lokasi wisata, salah satunya di Taman Wisata Candi Ratu Boko. Situs Candi Ratu Boko merupakan peninggalan peradaban masa lalu dan menjadi bagian dari cagar budaya yang perlu terus dipelihara. Pengelolaan wilayah taman wisata Candi Ratu Boko dibagi menjadi dua zona pengelolaan, yaitu zona 1 dan zona 2. Wilayah zona 1 yang merupakan zona inti yang diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan kelestarian lingkungan fisik candi yang dikelola oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3). Pada zona ini tidak diperkenankan melakukan aktifitas pembangunan sama sekali. Sedangkan wilayah zona 2 merupakan kawasan yang digunakan untuk menunjang kegiatan kepariwisataan tetapi tetap sejalan dengan prinsip konservasi dimana diperkenankan melakukan aktifitas pembangunan secara terbatas. Kawasan zona 2 dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (Rahmat, 2013).

Wilayah Candi Ratu Boko memerlukan data spasial untuk mempermudah pihak pengelola dalam hal perencanaan dan perawatan, khususnya di wilayah zona 2. Salah satu cara yang dilakukan untuk mendukung perencanaan tersebut adalah dengan membuat peta situasi skala besar. Peta situasi skala besar digunakan untuk memberikan informasi spasial mengenai objek-objek di kawasan zona 2 yang berkaitan dengan penataan ruang kawasan candi. Kemajuan teknologi memberikan pilihan lain untuk melakukan kegiatan pengelolaan lokasi candi, salah satunya dengan menggunakan data spasial dalam bentuk 3D. Pembuatan model 3D kawasan zona 2 dapat memberikan gambaran terrain pada suatu luasan daerah. Selain itu model 3D dapat menunjukkan rancangan atau hasil dari pembangunan yang sudah dilakukan berupa tampilan 3D yang lebih realistis dan menarik jika dibandingkan dengan tampilan secara 2D. Model 3D mempermudah pengguna peta dalam melakukan interpretasi kondisi lanskap

(2)

kawasan situs Candi Ratu Boko, daripada membaca model 2D. Data masukan yang berasal dari data pengukuran peta situasi, kemudian diproses menjadi hasil model objek 3D. Pembuatan model 3D tersebut melalui proses editing pada bentuk model 3D yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Informasi mengenai data spasial dalam bentuk peta banyak dimanfaatkan pada pekerjaan perencanaan dan pembangunan sebagai data pendukung. Saat ini planner dapat memanfaatkan visualisasi 3D untuk memberikan gambaran terrain beserta objek yang terdapat di kawasan zona 2. Nilai garis kontur pada peta 2D ditampilkan dalam bentuk 3D yang menyerupai keadaan yang sebenarnya.

Kegiatan aplikatif ini dilakukan untuk membuat model 3D kawasan zona 2 Candi Ratu Boko. Model yang disajikan berupa kenampakan lanskap yang dibutuhkan oleh planner untuk mendukung informasi yang diperlukan meliputi perencanaan maupun pengelolaan wilayah. Model 3D yang dibuat berupa kondisi topografi, bangunan, dan utilitas beserta elemen lanskap yang dibuat dari data pengukuran terestris. Gambaran objek di lapangan dalam bentuk model 3D diharapkan memberi manfaat untuk kegiatan perencanaan dan pengembangan kawasan. Pembuatan model 3D kawasan Candi Ratu Boko juga mampu memberikan gambaran fasilitas dan infrastruktur yang sudah ada sebelumnya, serta memudahkan kegiatan perawatan, pembangunan, dan keperluan lainnya yang berkaitan. Penggunaan data terestris bertujuan untuk memberikan data posisi dalam bentuk koordinat (X, Y) serta nilai ketinggian (Z) dari pengukuran menggunakan Total Station. Pengukuran secara terestris menghasilkan titik koordinat sesuai dengan posisi di lapangan, sehingga model digital yang dihasilkan dapat digunakan dalam kegiatan engineering untuk perencanaan dan dapat diterima sebagai referensi informasi pekerjaan. Hasil akhir kegiatan ini dapat menjadi dasar dan pertimbangan bagi pihak pengelola kawasan candi untuk menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan zona 2 Candi Ratu Boko.

(3)

I.2. Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan yang dilaksanakan pada kegiatan aplikatif ini meliputi: 1. Pengumpulan data sekunder berupa data koordinat detil dari hasil

pengukuran situasi dan data primer melalui pengukuran ketinggian bangunan menggunakan Total Station secara reflectorless di kawasan zona 2 Candi Ratu Boko.

2. Melakukan editing data koordinat detil dari hasil pengukuran situasi di kawasan zona 2 Candi Ratu Boko.

3. Pembuatan Digital Terrain Model (DTM) kawasan zona 2 Candi Ratu Boko menggunakan metode Triangular Irregular Networks (TIN).

4. Pembuatan model 3D utilitas dan elemen lanskap yang berada di kawasan zona 2 Candi Ratu Boko.

5. Evaluasi hasil pembuatan DTM serta model 3D utilitas dan elemen lanskap. 6. Penggabungan DTM dengan model 3D utilitas dan elemen lanskap.

I.3. Tujuan

Tujuan dari kegiatan aplikatif ini adalah didapatnya model 3D kawasan zona 2 Candi Ratu Boko yang meliputi DTM, model 3D utilitas dan model 3D elemen lanskap yang dibuat dari data pengukuran terestris menggunakan Total Station.

I.4. Manfaat

Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah:

1. Membantu perencana dalam pekerjaan perencanaan, pemeliharaan, dan pengembangan kawasan di kawasan zona 2 Candi Ratu Boko.

2. Membantu perencana dalam menyajikan informasi kawasan zona 2 Candi Ratu Boko secara model 3D.

3. Melengkapi informasi topografi, lanskap, dan utilitas pada peta 2D yang sudah ada sebelumnya.

(4)

I.5. Landasan Teori Pemetaan Situasi Skala Besar

Pemetaan situasi merupakan suatu metode untuk menentukan posisi tanda-tanda buatan manusia maupun alami di atas permukaan tanah. Peta situasi skala besar memberikan informasi mengenai gambaran permukaan bumi beserta detilnya (jalan, sungai, jembatan, rumah, dan sebagainya) yang disajikan dalam bidang datar. Kenampakan topografi secara vertikal dapat direpresentasikan menggunakan garis kontur pada peta. Garis kontur merupakan garis khayal di lapangan yang menghubungkan beberapa titik dengan ketinggian yang sama (Basuki, 2006).

I.5.1.1. Kerangka kontrol pemetaan. Pengadaan kerangka kontrol pemetaan merupakan tahapan awal yang dilakukan dalam kegiatan pemetaan situasi. Adapun kerangka kontrol pemetaan terbagi atas dua macam yaitu: kerangka kontrol horizontal dan kerangka kontrol vertikal.

1. Kerangka Kontrol Horizontal

Pengukuran kerangka kontrol horisontal dimaksudkan untuk memperoleh nilai koordinat 2D (X, Y) titik kontrol pemetaan yang teliti. Ada berbagai metode yang dapat digunakan, antara lain metode terestris dan

extra-terestris. Metode terestris yang sering dipakai yaitu adalah poligon,

triangulasi, trilaterasi, pemotongan ke muka, dan pemotongan ke belakang (Basuki, 2006). Penggunaan poligon sebagai kerangka dasar pemetaan memerlukan koordinat titik-titik poligon yang teliti karena digunakan sebagai titik ikat detil (Gambar I.1).

(5)

Keterangan:

2. Kerangka Kontrol Vertikal

Pada pengukuran kerangka kontrol vertikal dapat dilakukan dengan metode barometris, takhimetri, metode waterpass maupun dengan metode

extra-terestris. Jika pengukuran dilakukan menggunakan teknologi GNSS perlu

dilakukan reduksi menggunakan undulusi geoid untuk mengetahui tinggi titik terhadap geoid bukan ellipsoid.

I.5.1.2. Pengukuran detil. Detil adalah segala objek yang ada di lapangan, baik yang bersifat alamiah seperti sungai, lembah, dan bukit, maupun hasil buatan manusia seperti jalan, jembatan, gedung, lapangan, stasiun, selokan, dan batas-batas pemilikan tanah yang akan dijadikan isi dari peta yang akan dibuat (Basuki, 2006). Penentuan posisi dari titik-titik detil dilakukan dengan mengikatkan pada titik-titik kerangka pemetaan yang terdekat dan telah diukur sebelumnya.

Metode pengambilan detil yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan metode koordinat kutub. Posisi detil ditentukan berdasarkan data jarak horisontal dan jarak miring, jarak vertikal, serta sudut horisontal dan sudut vertikal dari titik ikat atau BM ke titik detil (Kavanagh, 2009).

Gambar I.2. Ilustrasi pengikatan detil metode polar (Sulistian, 2015). A dan B : titik ikat poligon yang diketahui koordinatnya 1, 2, 3, 4, 5 : titik poligon

𝑑𝐴1, 𝑑12… 𝑑5𝐴 : jarak hasil ukuran 𝛽𝐴1, 𝛽1… . 𝛽𝐴2 : sudut hasil ukuran 𝛼𝐵𝐴, 𝛼𝐴1… 𝛼5𝐴: sudut azimuth

(6)

Keterangan:

Pengukuran dilakukan dengan diketahui azimut dan koordinat titik awalnya seperti ditunjukan pada Gambar I.2. Dari ilustrasi gambar dapat dihitung nilai koordinat Xd, Yd dengan metode polar yaitu seperti pada persamaan:

Xd = XBm2 + DBm2-d . Sin αbm2-d ... (I.1) Yd = YBm2 + DBm2-d . Cos αbm2-d ... (I.2) Parameter yang diukur adalah Dbm2-d dan βbm2, sedangkan αbm2-d dapat dicari berdasarkan azimut definitif αbm2-bm1 menggunakan persamaan:

αbm2-d = αbm2-bm1 - βbm2 ... (I.3) Penentuan posisi secara trigonometris digunakan untuk menentukan ketinggian antar titik. Penentuan ketinggian suatu titik dapat ditentukan dengan pengukuran sudut vertikal dan jarak miring. Pengukuran dilakukan antara posisi titik berdiri alat dengan titik yang akan ditentukan nilai ketinggiannya (Kavanagh, 2009). Pengukuran tinggi secara takhimetri tersaji dalam Gambar I.3 berikut.

Gambar I.3. Ilustrasi pengukuran secara trigonometris (Kavanagh, 2009) Xd, Yd : Koordinat planimetrik titik detil

Xbm2, Ybm2 : Koordinat planimetrik titik BM2 Xbm1, Ybm1 : Koordinat planimetrik titik BM1 αbm2-bm1 : Azimut BM2 ke BM1

αbm2-d : Azimut BM2 ke titik detil

βbm2 : Sudut yang dibentuk antara BM1-BM2-titik detil Dbm2-d : Jarak ukuran dari BM2 ke titik detil

(7)

Keterangan:

A : Posisi titik A

A’ : Posisi titik tengah teropong instrument pada titik A B : Posisi titik B

B’ : Posisi titik B terhadap pelurusan dari A’ hi : Tinggi instrument titik A

α : Sudut helling

S : Jarak miring dari alat ukur TS mulai dari titik A ke titik B hr : Tinggi reflektor titik B

V : Jarak vertikal antara titik A dengan titik B’ H : Jarak horizontal antara titik A dengan titik B

Dari parameter-parameter ukuran di atas tinggi titik B dapat dicari menggunakan metode takhimetri menggunakan persamaan:

HB = HA + hi + VAB – hr ... (I.4)

Pemodelan 3D

Pemodelan objek 3D merupakan pekerjaan dengan menggunakan perangkat lunak khusus untuk proses penggambaran objek alami maupun buatan yang ada di dunia nyata (misalnya: gedung, jembatan atau bukit) menjadi bentuk yang dapat direpresentasikan secara matematis di layar komputer untuk tujuan penyimpanan informasi dan analisis (Aditya, 2012). Model 3D yang dimaksud berupa kumpulan geometri yang terdiri atas titik-titik X, Y, Z pada ruang 3D yang diperoleh secara otomatis maupun manual (Gambar I.4).

(8)

Pemodelan 3D dibagi menjadi dua kategori model 3D yang digunakan, yaitu model 3D solid (volumetrik) dan poligon (cangkang). Pembentukan geometri 3D pada objek yang dimodelkan merupakan unsur paling krusial. Geometri model 3D yang terbentuk akan memberikan kesan bentuk objek yang sebenarnya. Geometri 3D dapat dibentuk dari beberapa cara, yaitu:

1. scanning (contoh: Terrestrial Laser Scanner (TLS), LIDAR), 2. survei lapangan,

3. fotogrametri,

4. digitasi kartografi (contoh: extrude),

I.5.2.1. Solid (model volumetrik). Model 3D pada kategori ini mendefinisikan batas dan isi model 3D secara utuh dengan koordinat 3D sehingga tidak ada ruang hampa di tengahnya. Constructive Solid Geometry (CSG) adalah suatu cara membentuk objek dengan cara menggabungkan atau memotong (mengurangi) beberapa objek primitif 3D (Aditya, 2012). CSG dapat diimplementasikan untuk mendukung pemodelan solid (solid modeling). Teknik pemodelan solid (volumetrik) dibuat dengan menggabungkan tiga prinsip utama, yaitu:

1. Disusun dari kumpulan bentuk primitif 3D.

2. Dimungkinkan melakukan transformasi objek berupa perbesaran/perkecilan, rotasi dan translasi.

3. Dapat diterapkan dalam operasi gabungan (Union), irisan (Intersection) dan selisih (Substract) (Gambar I.5).

Gambar I.5. Operasi gabungan, irisan, dan selisih pada model 3D (sumber: https://knowledge.autodesk.com/support).

(9)

I.5.2.2. Poligon (Cangkang). Model 3D disusun dari kumpulan permukaan (polygonal surfaces) untuk membentuk kesan 3D. Permukaan model memiliki koordinat 3D namun di tengah/bawah model merupakan ruang hampa tanpa koordinat (Gambar I.6). Teknik pemodelan yang dapat diterapkan untuk mendukung teknik pemodelan cangkang adalah Boundary Representation (BREP).

Gambar I.6. Model 3D cangkang (sumber: https://knowledge.autodesk.com/support). Menurut Aditya (2012), BREP adalah pemodelan objek 3D dengan prinsip pemanfaatan topologi dan geometri. Topologi yang dimakud adalah elemen muka (faces), tepi (edges), titik (vertices), sedangkan geometri yang digunakan adalah permukaan 2D, kurva/garis 1D, dan titik 0D. Oleh karena itu hasil yang didapat dari pemodelan menggunakan prinsip BREP adalah objek 3D poligon (cangkang).

Digital Terrain Model (DTM)

Penggambaran bentuk permukaan tanah kini dapat disajikan dalam bentuk digital yaitu menggunakan Digital Terrain Model (DTM). DTM adalah representasi bentuk permukaan tanah yang tersusun dari sejumlah titik yang diketahui nilai koordinat X, Y, dan Z dalam suatu bidang koordinat yang dapat berubah-ubah (Li dkk., 2005). DTM mencakup unsur-unsur dengan elevasi yang signifikan dari fitur topografi yakni unsur linier berupa breakline, mass point dan hidrologic condition, sehingga DTM mampu memodelkan permukaan tanah secara lebih realistik atau sesuai dengan kenyataan. DTM hanya merepresentasikan permukaan tanah saja tanpa memperhatikan objek diatasnya seperti pada Gambar I.7.

(10)

Gambar I.7. Contoh visualisasi Digital Terrain Model (DTM) (Pfeifer, 2008). Pembuatan DTM pada umumnya dilakukan dalam beberapa tahap yaitu; akuisisi data, pengolahan, representasi dan validasi atau kontrol kualitas (Li dkk., 2005). Akuisisi data adalah proses pengumpulan data permukaan terrain dengan menggunakan teknik tertentu. Proses ini mencakup pengambilan titik sampling di lapangan dengan kerapatan dan distribusi titik tertentu. Pengolahan data adalah proses rekonstruksi kondisi lapangan berdasarkan titik sampling dikumpulkan. Interpolasi diperlukan untuk DTM yang tidak tercakup oleh titik sampel. Kontrol kualitas adalah proses menguji kesalahan DTM. Tahap ini pada umumnya menggunakan oleh sejumlah parameter seperti; kekasaran, kepadatan, distribusi, volume data dan akurasi. I.5.3.1. Akuisisi data DTM. DTM dibuat berdasarkan informasi topografi yang dapat diperoleh dengan; foto udara, radiometer berbasis satelit atau pencitraan optik, radar interferometri atau yang disebut Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR), Light Detection and Ranging (LIDAR), digitalisasi kartografi dan juga survei terestris. Fotogrametri, penginderaan jauh, InSAR dan digitalisasi kartografi biasanya digunakan untuk menghasilkan DTM untuk resolusi rendah dan menengah. LIDAR, survei klasik dan GPS umumnya digunakan untuk menghasilkan DTM dengan resolusi menengah dan tinggi.

1. Fotogrametri. Fotogrametri adalah teknik utama akuisisi DTM pada awal pembuatan DTM. Sumber data utama adalah foto udara baik berupa digital maupun analog. DTM berasal dari sepasang foto udara stereo berdasarkan kesamaan fitur yang bertampalan. Proses ini membutuhkan titik kontrol tanah (GCP) untuk titik referensi antara foto.

(11)

2. Penginderaan jauh dan radiometri. Pencitraan satelit atau penginderaan jauh sangat mirip dengan foto udara dalam beberapa hal. Perbedaan mendasar terdapat pada sensor dan platform yang digunakan.

3. Synthetic Aperture Radar (SAR). SAR menggunakan gelombang mikro dari spektrum elektromagnetik, meliputi frekuensi sekitar 0.3GHz hingga 300GHz (panjang gelombang 1m ke 1mm). Penggunaan InSAR membutuhkan dua citra SAR dalam satu waktu.

4. Light Detection Ranging (LIDAR). LIDAR memberikan akurasi tinggi mulai dari 0,1 hingga 0,5 m dan akurasi horisontal mulai dari 0,3 hingga 1,5 m dalam akuisisi data DTM. Pengumpulan data dilakukan dapat dari

airborne laser profiling dan terestrial laser scanning.

5. Digitasi Kartografi. Teknik ini dilakukan untuk memperoleh DTM melalui digitalisasi peta yang tersedia. Hal ini dapat dilakukan secara manual atau dengan perangkat otomatis menggunakan software.

6. Survei Tanah Klasik. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

theodolite elektronik atau total station dengan metode trigonometri. Metode

ini memerlukan setidaknya dua orang untuk melakukan survei, satu untuk mengoperasikan perangkat dan satu lagi untuk memegang target menggunakan tiang prisma. Pengukuran tanah klasik masih banyak digunakan di dan mampu memberikan akurasi yang tinggi sampai ke tingkat milimeter.

7. Global Positioning System (GPS). GPS memiliki spesifikasi, kemampuan, dan akurasi yang bervariasi tergantung metode pengukuran yang digunakan. I.5.3.2. Pengolahan data DTM. Pengolahan DTM dapat dilakukan dengan menggunakan Triangular Irregular Network (TIN) dan jaringan segiempat atau grid. Penggunaan jaringan segitiga (jaringan TIN) dan jaringan segiempat (grid) merupakan dasar pembuatan DTM yang paling umum digunakan saat ini. TIN adalah salah satu algoritma yang digunakan untuk pembentukan DTM dan penarikan garis kontur. TIN merupakan algoritma yang berdasar pada jaringan segitiga yang menghubungkan tiga titik (Wilson dan Gallant, 2000).

(12)

Penggunaan TIN lebih efisien daripada menggunakan grid karena bentuk segitiga yang lebih rapat dan bervariasi dapat mencocokkan kekasaran permukaan (Gambar I.8). Perhitungan atribut topografi kadang-kadang lebih sulit menggunakan metode grid untuk daerah yang memiliki variasi permukaan yang banyak seperti gundukan, jurang dan lain-lain maka pendekatan TIN lebih dapat merepresentasikan bentuk dari permukaan.

Pembentukan TIN mampu merepresentasikan terrain dengan kualitas yang baik diperlukan data elevasi yang mewakili terrain, contohnya untuk daerah yang relatif terjal maka kerapatan pengambilan titik sampelnya lebih rapat jika dibandingkan dengan daerah yang relatif datar. Jika terdapat serangkaian titik (X ,Y) pada bidang datar, maka nilai dari titik-titik tersebut dapat divisualisasikan sebagai ketinggian Z pada bidang tersebut. Titik- titik pembentuk bidang-bidang segitiga pada TIN model merupakan nodal yang memiliki koordinat 3D (X, Y, Z), permukaan-permukaan segitiga-segitiga tersebut menjadi bidang interpolasi titik-titik yang ada didalamnya.

Gambar I.8. Struktur data TIN (Li dkk., 2005). 1. Pembentukan TIN.

Proses membentuk jaringan TIN memerlukan titik data asli yang saling dihubungkan sehingga segitiga dapat terbentuk. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kriteria Delaunay, kriteria optimasi yang paling umum untuk membentuk jarignan TIN. Titik yang dihubungkan membentuk segitiga, sehingga untuk setiap segitiga terdapat titik keempat yang membentuk suatu lingkaran. Kriteria Delaunay menghasilkan segitiga yang paling mendekati bentuk segitiga sama sisi.

(13)

2. Pembuatan breaklines.

Perubahan ketinggian pada DTM dapat ditandai dengan adanya breakline.

Breakline adalah gabungan titik koordinat pada permukaan DTM yang

menandakan adanya kemiringan atau perubahan nilai ketinggian, seperti batas lembah, jurang, atau bagian atas dan bawah pada suatu kemiringan permukaan (Kavanagh, 2009). Jenis breaklines dikelompokkan menurut titik sampling masing-masing fitur seperti; jalan, drainase, dan sebagainya. Titik

sampling ini kemudian didigitasi pada CAD (Computer Aided Design) untuk

menghasilkan breaklines.

Gambar I.10. Breaklines pada DTM (Atunggal, 2008). 3. Rendering permukaan DTM.

Setelah pembentukan TIN dan breaklines dilaksanakan, tahap selanjutnya menampilkan permukaan DTM. Proses ini dilakukan dengan rendering permukaan TIN dengan menerapkan gradasi warna pada permukaan.

Rendering dilakukan dengan maksud untuk menampilkan informasi

permukaan DTM secara visual seperti; perbedaan ketinggian, diskontinuitas, nilai-nilai tinggi, dan sebagainya.

Nilai ketinggian pada dasarnya dapat direpresentasikan dengan titik atau dengan garis/bidang yang disusun berdasar algoritma berbasis titik, jaringan segitiga, grid, maupun gabungannya (Li dkk., 2005) seperti ilustrasi Gambar I.11.

(14)

Gambar I.11. Representasi nilai ketinggian dengan metode point, triangle, grid dan

hybrid (Li dkk., 2005).

Model Kartografi 3D

Model kartografi 3D adalah seni memodelkan atau membentuk model 3D dari unsur-unsur yang terdapat di dunia nyata dengan tujuan menghasilkan peta berkualitas tinggi (Terriblini, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam model kartografi 3D antara lain:

1. Pengurangan volume data. Sesuai dengan prinsip generalisasi, data unsur yang disajikan dalam bentuk 3D adalah unsur-unsur yang hanya berkaitan dengan tujuan pembuatan peta. Hal ini penting agar penyajian model 3D yang dihasilkan lebih informatif.

2. Struktur data vektor. Pengurangan volume data yang tidak diperlukan dapat dikurangi menggunakan data vektor yang berupa koordinat (x, y, z). 3. Multi-resolution representation. Penyajian model 3D harus mendukung

multi-resolution representation agar diperoleh sudut pandang yang tepat.

Hal tersebut penting ketika unsur 3D yang ditampilkan pada layar monitor memungkinkan adanya unsur yang hilang karena tertutup oleh unsur yang lain.

4. Pembuatan simbol. Pembuatan simbol merupakan salah satu faktor penting bagaimana simbol dalam 2D harus ditampilkan dalam 3D.

Setiap objek di kenyataan memiliki bentuk 3D. Beberapa objek memiliki bentuk dominan yang mempengaruhi kartografer dalam menyajikannya di peta. Desain peta 2D menggunakan simbol titik, garis dan luasan untuk menyajikan objek. Pembuatan simbol pada peta dapat mengacu pada variabel tampak. Pemodelan kawasan menggunakan elemen-elemen pada variabel tampak dalam menampilkan simbol 3D

(15)

terhadap objek topografi. Presentasi simbol 3D diperoleh elemen grafis dasar 2D (titik, garis, dan luasan) yang dilengkapi dengan volume (Petrovic, 2003).

Pembuatan simbol 3D dari goemetri titik lebih sesuai untuk menyajikan objek seperti monument, lampu, pohon, dan lainnya. Simbol seperti seperti itu dapat dibentuk dari bentuk geometris sederhana. Ukuran dan bentuknya menyesuaikan jenis objek yang dipilih dan tingkat detail yang digunakan. Objek dengan satu dimensi dominan seperti jalan, jalur kereta api, jaringan listrik, pipa minyak, sungai, pagar, dan lainnya pada umumnya disajikan sebagai garis simbol 3D. Simbol 3D untuk luasan dapat digunakan untuk benda yang mencakup suatu area. Simbol luasan 3D yang memiliki nilai ketinggian dapat dibuat sebagai objek padat yang memiliki volume. Objek tersebut dapat digunakan untuk menyajikan danau, kolam, bangunan besar, dan lainnya.

Variabel tampak memiliki peran kunci dalam pembuatan simbol pada peta. Sebuah simbol geometris sederhana dapat mendefinisikan suatu variabel tampak dalam proses menyampaikan informasi spasial (Halik, 2012). Desain simbol dalam bentuk 3D masih mengacu pada konsep pembuatan simbol dalam bentuk 2D sehingga perlu perbandingan antara variabel tampak dalam bentuk 2D dengan variabel tampak dalam bentuk 3D (Bertin, 1980).

Gambar I.12. Hubungan antara variabel tampak pada simbol 2D dan 3D (Riyadi dkk., 2012).

(16)

Di dalam ilmu kartografi, variabel tampak digunakan untuk merancang simbol-simbol dengan menggunakan variasi dari variabel tersebut. Variabel tampak berperan dalam pembuatan desain kartografi pada peta. Gambar I.12 menunjukkan hubungan antara tujuh jenis variabel tampak yang sama pada pembuatan simbol 2D dan simbol 3D, yaitu:

1. Ukuran (size). Variabel tampak dari bayangan pada retina mata digunakan untuk membedakan simbol berdasarkan ukuran atau besaran objek.

2. Bayangan (shading). Bayangan digunakan untuk menunjukkan besar derajat keabuan berdasarkan kemampuan objek untuk memantulkan sinar. 3. Tekstur (texture). Tekstur dapat diartikan sebagai variasi kerapatan elemen gambar dibawah nilai konstan. Tekstur sebagai variabel tampak digunakan untuk memahami bermacam-macam ukuran dari suatu harga yang tetap. 4. Warna (color). Warna merupakan variabel tampak yang peling kuat dan

sering digunakan dalam desain simbol.

5. Garis perspektif (line perspective). Garis perspektif digunakan untuk membedakan simbol berbentuk perspektif berdasarkan orientasi garis perspektifnya.

6. Perspektif (perspective). Gambaran dari suatu unsur atau objek yang dipetakan dapat dinyatakan dalam berbagai perspektif. Apabila bentuk perspektif dari simbol berbeda maka akan lebih mudah dalam membedakan simbol tersebut.

7. Pertampalan atau penghalang (overlap/obstruction). Hal ini berkaitan dengan posisi (x, y, z) masing-masing objek dari sudut pandang yang diambil pada model 3D memungkinkan terdapat objek yang hilang atau tidak tampak karena terhalang objek lain.

Level of Detail (LoD) pada Model Bangunan 3D

Model 3D dapat merepresentasikan bentuk yang sebenarnya di lapangan atau di dunia nyata. Hal ini mempermudah bagi pengguna untuk melakukan analisis spasial dalam keperluan perencanaan, pembuatan peta 3D, dan keperluan lain yang berkaitan

(17)

dengan pembuatan model 3D. Pembuatan model 3D di zona 2 Candi Ratu Boko dilakukan dengan berdasarkan Level of Detail (LoD) atau tingkat kedetilan tertentu.

Menurut Biljecki (2013), LoD adalah tahapan dalam pembuatan model 3D beserta model situasi yang menunjukkan perkembangan yang didapat selama proses pembuatan model 3D dengan memperhatikan tingkat kedetilan objek yang dimodelkan.

I.5.5.1. Level of Detail 00. LoD 00 meliputi kegiatan digitasi pada layar komputer dengan memberikan nilai secara langsung pada setiap objek yang didigitasi. Data hasil digitasi menghasilkan data planimetris dalam bentuk 2D yang tidak memiliki nilai ketinggian yang kemudian diproses lebih lanjut. Objek yang masih dalam format 2D ini kemudian diberi nilai ketinggian sehingga akan nampak seperti bangunan di lapangan yang tidak lagi berbentuk planimetris.

I.5.5.2. Level of Detail 01. LoD 01 meliputi kegiatan pembuatan model 3D pada objek-objek yang sudah memiliki nilai ketinggian. Data ini merupakan objek yang sebelumnya dibuat dalam bentuk 2D yang kemudian diberi nilai ketinggian sehingga data akan terlihat seperti balok-balok. Pada tingkat ini, kedetilan objek hanya disajikan berupa blok bangunan yang memiliki ketinggian dan belum menunjukkan adanya kedetilan objek seperti atap dan eksterior pada bangunan (Gambar I.13.).

Gambar I.13. Model bangunan pada LoD 01 (Biljecki, 2013).

I.5.5.3. Level of Detail 02. LoD 02 meliput pekerjaan untuk menambah tingkat kedetilan pada objek 3D. Objek diberi detil atap untuk menambah tingkat kedetilan bangunan sehingga bagian atas bangunan tidak lagi datar. Penambahan bentuk atap bangunan seperti ditunjukkan pada Gambar I.14.

(18)

Gambar I.14. Model bangunan pada LoD 02 (Biljecki, 2013).

I.5.5.4. Level of Detail 03. LoD 03 meliputi kegiatan untuk membuat objek bangunan 3D dengan tingkat kedetilan lebih tinggi dari LoD 02, yaitu menunjukkan eksterior pada setiap sisi bangunan. Eksterior dapat ditunjukkan dengan adanya jendela, pintu, beranda, atau komponen eksterior lainnya seperti pada Gambar I.15. Tujuan dari LoD 03 adalah untuk memberikan model 3D pada objek yang detil daripada LoD 01 dan LoD 02.

Gambar I.15. Model bangunan pada LoD 03 (Biljecki, 2013).

I.5.5.5. Level of Detail 04. LoD 04 meliputi pekerjaan untuk membuat model bangunan 3D menjadi lebih detil dari LoD 03 dengan memberikan detil interior bangunan. LoD 04 merupakan tingkatan paling tinggi dalam menyajikan model 3D karena pada tahap ini model bangunan 3D memiliki detil pada interior (Gambar I.16.).

(19)

Detil interior bangunan disajikan sengan menunjukkan kondisi bangunan yang hampir menyerupai interior yang sebenarnya seperti adanya property di dalam bangunan, lekukan bagian dalam bangunan, dan kondisi interior lainnya.

Sistem dan Jenis Jaringan Perpipaan

Pipa adalah saluran tertutup yang digunakan untuk mengalirkan fluida, sedangkan sistem perpipaan merupakan rangkaian pipa yang menghubungkan antar fasilitas pengguna air bersih. Secara hirarki disusun menurut banyak jumlah air yang dibawa. Hirarki dalam sistem perpipaan berupa pipa induk, pipa sekunder/tersier atau pipa retikulasi dan pipa-pipa layanan (service).

Pipa yang dimodelkan pada kegiatan ini merupakan pipa air yang digunakan untuk distribusi air bersih di kawasan Candi Ratu Boko. Pada sistem perpipaan dikenal juga jenis jaringan pemipaan. Menurut (Immanuel dan Indrawan, 2014) jenis jaringan pemipaan dibedakan menjadi sistem jaringan pemipaan seri, sistem jaringan pemipaan bercabang (branch), sistem jaringan pemipaan tertutup (loop), dan sistem jaringan pemipaan kombinasi.

I.5.6.1. Sistem jaringan pemipaan seri. Sistem jaringan pemipaan seri adalah jaringan pipa tanpa cabang atau pun loop. Jaringan ini memiliki satu sumber, satu ujung dan node yang menyambung dua pipa yang berada dalam satu jalur. Jaringan pemipaan jenis ini sangat kecil dan dipakai untuk pendistribusian air kawasan yang kecil (Gambar I.17.).

(20)

I.5.6.2. Sistem jaringan pemipaan bercabang. Sistem jaringan pemipaan bercabang merupakan jaringan susunan seri yang memiliki satu sumber namun terdiri atas banyak cabang. Sistem jaringan ini memiliki jangkauan yang luas untuk memenuhi kebutuhan air namun investasi yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Di kawasan taman wisata Candi Ratu Boko menggunakan sistem jaringan pemipaan bercabang (branch) (Gambar I.18.).

Gambar I.18. Pipa jaringan bercabang (Immanuel dan Indrawan, 2014). I.5.6.3. Sistem jaringan pemipaan tertutup (loop). Sistem jaringan pemipaan tertutup (loop) merupakan sistem yang jaringannya saling terhubung yang terdiri atas node-node yang menerima aliran air lebih dari satu bagian seperti pada Gambar I.19. Namun sistem pemipaan dengan jaringan ini lebih rumit jika dibandingkan dengan sistem seri atau bercabang. Sementara itu untuk biaya operasi dan investasi yang dikeluarkan cukup besar. Sistem ini biasanya dipakai pada daerah yang cukup luas.

Gambar I.19. Sistem jaringan pemipaan tertutup (Loop) (Immanuel dan Indrawan, 2014).

I.5.6.4. Sistem jaringan pemipaan kombinasi. Sistem perpipan kombinasi merupakan sistem jaringan pemipaan yang umum digunakan untuk daerah yang luas. Sistem ini merupakan gabungan antara sistem dengan jaringan bercabang dan loop seperti pada Gambar I.20.

(21)

Gambar I.20. Sistem jaringan pemipaan kombinasi (Immanuel dan Indrawan, 2014).

Elemen Lanskap

Menurut Handayani (2011), lanskap adalah adalah bagian dari kawasan lahan yang dibangun atau dibuat oleh manusia di luar bangunan, jalan, utilitas dan sampai ke alam bebas, yang dirancang terutama sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia. Lanskap sangatlah erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Suatu lanskap dikatakan seimbang apabila memiliki dua aspek, yaitu aspek fungsional dan aspek estetik. Simonds (1983) mendefinisikan lanskap sebagai suatu bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya melalui seluruh indera yang dimiliki oleh manusia. Dikenal dua bentuk lanskap, yaitu lanskap alami (natural landscape) dan lanskap buatan atau binaan (man made landscape).

Lanskap alami adalah lanskap yang tercipta secara alami, baik berdasarkan perilaku manusia, lingkungan, atau interaksi antar keduanya. Salah satu faktor pembentuk lanskap alami adalah budaya. Dari suatu budaya dapat terbentuk suatu lanskap yang unik dan berkarakter. Lanskap budaya sendiri merupakan refleksi dari interaksi antara manusia dengan lingkungan alam lebih dari ruang dan waktu. Sedangkan mendefinisikan lanskap budaya sebagai suatu model dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumber daya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut (Platcher dan Rossler, 1995). Pengelolaan lanskap diperlukan untuk melestarikan dan merawat tatanan lanskap yang telah ada. Pengelolaan lanskap dilakukan melalui empat tahap (Parker dan Bryan, 1989), yaitu:

a. Pengaturan objek lanskap, dalam hal ini adalah kegiatan inventarisasi dan analisis.

(22)

c. Pelaksanakan rencana, perencanaan yang telah dibuat direalisasikan pada tapak.

d. Pengelolaan dan memperbaharui hal-hal yang perlu diperbaharui sesuai dengan kebutuhan.

Elemen-elemen pendukung lanskap diperlukan untuk menunjang penataan ruang lanskap guna mendukung pengelolaan tata ruang. Elemen-elemen pendukung lanskap dapat dibedakan atas dua macam, yaitu: elemen lunak dan elemen keras. Yang dimaksud dengan elemen lunak di sini adalah elemen pendukung yang biasanya merupakan vegetasi (pepohonan/perdu/rerumputan). Sedangkan elemen keras adalah unsur tidak hidup dalam lanskap yang keberadaannya dapat meningkatkan kualitas dan fungsi dari lanskap tersebut misalnya pagar, lampu-lampu taman, bangku dan meja taman, gazebo, kolam, bebatuan, kerikil dan lain-lain (Handayani, 2011).

I.5.7.1. Elemen Lunak. Penggunaan tanaman sangat berperan terhadap hasil penataan suatu lanskap. Elemen tanaman memiliki beberapa sifat khas yang membedakannya dengan elemen-elelemen lainnya. Karakteristik yang paling penting dan menonjol adalah bahwa tanaman merupakan elemen yang hidup dan tumbuh. Dengan sifat khas demikian maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama, tanaman merupakan elemen yang dinamis, setiap saat berubah, baik itu ukuran, tekstur, kelebatan daun maupun karakter keseluruhan sesuai dengan sifat pertumbuhannya. Kedua, kualitas dinamis tadi mempunyai implikasi terhadap penggunaan tanaman dalam penataan lanskap.

I.5.7.2. Elemen Keras. Elemen keras merupakan unsur tidak hidup dalam lanskap dan berfungsi sebagai unsur pendukung untuk meningkatkan kualitas lanskap tersebut. Beberapa jenis elemen keras yatu:

1. Jalan setapak

Jalan setapak dibuat terutama pada lanskap yang luas untuk penghubung antar bagian atau sebagai jalur sirkulasi. Jalan setapak adalah salah satu bentuk perkerasan pada lanskap (Gambar I.21). Salah satu fungsinya adalah untuk sirkulasi pejalan kaki agar tidak merusak rumput yang telah ditata dengan apik.

(23)

Gambar I.21. Contoh jalan setapak (Handayani, 2011). 2. Kolam

Kolam dibuat dalam rangka menunjang fungsi bangunan atau merupakan bagian lanskap yang memiliki nilai estetika tersendiri. Kolam dapat ditampilkan sebagai bentukan kolam yang modern/kontemporer sampai bentukan yang terkesan alami, meniru situasi alam dengan bentukan artifisial. Kolam biasanya dapat dipadukan dengan batuan tebing dan dengan permainan air yang menambah kesan dinamis (Gambar I.22).

Gambar I.22. Contoh kolam buatan (Handayani, 2011). 3. Tebing buatan

Tebing ini dibuat untuk memberi kesan alami, menyatu dengan alam. Suasana alam gunung, alam pantai, atau alam tepian jurang seakan ingin dibawa ke sini. Di sela-sela tebing biasanya diisi dengan tanah yang subur dan porus untuk menanam tanaman-tanaman yang tetap tumbuh rendah atau merambat sehingga menambah kesan alamiah (Gambar I.23).

(24)

Gambar I.23. Tebing buatan pada taman (Handayani, 2011). 4. Pagar

Pagar berfungsi untuk membatasi lahan pribadi dari lahan peruntukkan yang lain (tetangga, jalan umum atau lingkungan lain). Fungsi lainnya adalah untuk keamanan dan menjaga privasi, agar tidak saling mengganggu dengan lingkungan lainnya. Benteng lebih tepat untuk tujuan pengamanan karena biasanya benteng lebih masif dibandingkan dengan pagar yang transparan. 5. Gazebo

Gazebo adalah bangunan peneduh/rumah kecil yang terdapat di suatu lanskap untuk tempat istirahat dan menikmati suasana sekitar (Gambar I.24). Gazebo hanya mungkin dibuat untuk lanskap dengan lahan yang luas. Bentuknya dapat dirancang disesuaikan dengan bentuk bangunan utama, atau bila ingin dianggap sebagai aksen, dapat dibuat kontras meniru gaya khusus misalnya art nouveau, gaya kolonial atau tradisional seperti saung, joglo, dan lain sebagainya.

(25)

6. Bangku taman

Bangku taman adalah bangku panjang yang disatukan dengan tempat duduknya dan ditempatkan di gazebo atau tempat-tempat teduh untuk istirahat atau menikmati suasana sekeliling (Gambar I.25).

Gambar I.25. Contoh bangku taman (Handayani, 2011).

7. Lampu taman

Lampu taman merupakan salah satu elemen utama sebuah lanskap dan digunakan untuk menunjang suasana di malam hari (Gambar I.26). Lampu yang dikreasikan mampu menampilkan berbagai macam permainan bentuk dan warna yang hidup.

Gambar I.26. Contoh lampu taman (Handayani, 2011). 8. Bangunan gedung

Lanskap biasanya dibuat untuk menunjang penampilan suatu bangunan, termasuk bangunan gedung. Gaya arsitektur bangunan gedung bermacam-macam.

(26)

Visualisasi 3D pada Autocad Civil 3D

Autocad adalah sebuah program aplikasi (software) yang digunakan untuk

menggambar dan mendesain gambar, seperti pada bidang rekayasa, konstruksi, perkapalan, otomotif dan lain-lain (Autodesk, 2010). Program Autocad mempunyai kemudahan dan keunggulan untuk membuat gambar dengan cepat dan akurat serta bisa digunakan untuk memodifikasi gambar dengan cepat. Produk Autocad pada seri Civil

3D dapat memudahkan pengguna untuk membuat desain gambar secara 3D.

Pembuatan desain 3D pada Autocad Civil 3D dibekali dengan kelebihan dalam menyajikan desain yang dibuat dengan berbagai jenis visualisasi.

Jenis visualisasi 3D pada Autocad merupakan kumpulan pengaturan untuk memberikan kesan 3D pada desain. Pada prinsipnya, pemilihan jenis visualisasi 3D berdasarkan beberapa variabel. Variabel yang dimaksud antara lain mengatur kehalusan, warna polyline pada permukaan objek, warna permukaan dan garis objek, serta variabel lainnya. Terdapat lima jenis visualisasi 3D yang umum digunakan pada Autocad (Anonim, 2010), yaitu:

1. 2D Wireframe. Menampilkan objek menggunakan garis dan kurva untuk menyajikan batas suatu objek.

2. 3D Wireframe. Menampilkan objek menggunakan garis dan kurva untuk menajikan batas suatu objek yang memiliki ketinggian.

3. 3D Hidden. Menampilkan objek menggunakan representasi 3D Wireframe dan garis yang tersembunya untuk menunjukkan sisi belakang objek yang tertutup.

4. Realistic. Menghasilkan objek 3D dengan sisi objek yang solid dan kerangka objek yang halus. Setiap kerangka objek ditampilkan secara halus sehingga objek terlihat lebih nyata. Sisi objek dapat diberi warna sesuai dengan penggunaan.

5. Conceptual. Menghasilkan objek solid dan kerangka objek yang halus. Terdapat transisi antara gelap ke terang pada setiap sisinya. Efek dari transisi tersebut menyebabkan terlihat kurang realistis, tetapi bisa membuat rincian model lebih mudah untuk melihat.

(27)

Gambar I.27. Jenis visualisasi 3D pada Autocad (sumber: https://knowledge.autodesk.com/support).

Setiap jenis visualisasi 3D (Gambar I.27) menghasilkan bayangan dari dua sumber cahaya yang mengukuti arah sudut pandang ketika melakukan orbit pada objek 3D. Pencahayaan ini diatur untuk memberikan cahaya pada setiap sisi model sehingga dapat dilihat secara visual. Jenis visualisasi 3D dapat dipilih atau diatur setiap saat sesuai dengan kebutuhan.

Gambar

Gambar I.1. Poligon tertutup (Basuki, 2006).
Gambar I.2. Ilustrasi pengikatan detil metode polar (Sulistian, 2015).
Gambar I.3. Ilustrasi pengukuran secara trigonometris (Kavanagh, 2009) Xd, Yd   : Koordinat planimetrik titik detil
Gambar I.4. Contoh objek pada pemodelan 3D (Aditya, 2012).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tunggal Prakarsa Tbk., Cirebon memiliki keakuratan yang baik, namun untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan controling yang ketat, oleh karena itu digunakan metode

Dengan banyaknya manfaat yang bisa diperoleh dengan adanya suatu sistem, maka penulis membuat suatu “Sistem Pengelompokan Data Obat Berdasarkan Efek Farmakologi

- Tebing sungai sebagian rusak karena erosi dan lantai saluran rusak ringan - Perlu

Faktor ekonomi Suami menyimpang Hobi suami jalan sama anak-anak SMA Suami pacaran dengan anak-anak SMA Hasil kerja suami tidak untuk anak istri Suami berfoya-foya Hasil kerja

Arthropoda dapat dijumpai dengan mudah di lingkungan sekolah sehingga kegiatan praktikum dapat dilakukan dengan memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar dan

Gambar 3  Siklus hidup proyek penelitian dan pengembangan yang berorientasi pada  Siklus hidup proyek penelitian dan pengembangan yang berorientasi pada  produk atau proses

[r]

Agenda aksi dan demonstrasi mahasiswa yang terjadi pada periode tahun 1997 sampai 1998, merupakan kelanjutan dari aksi-aksi mahasiswa yang muncul pada tahun 1996 yang