Konversi Limbah Kelapa Sawit Menjadi Bio-Oil melalui Proses
Catalytic Fast Pyrolysis dan Upgrading-nya
Widodo Wahyu Purwanto*, Dijan Supramono, Rahma Muthia, Gina Annisa Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
*E-mail: [email protected]
A B S T R A K
Salah satu sumber energi baru yang berpotensi diterapkan di Indonesia adalah biomassa. Dengan ketersediaan yang melimpah, limbah kelapa sawit sangat potensial untuk dikonversikan menjadi bio-oil. Tujuan riset ini adalah untuk mendapatkan teknologi produksi bio-oil yang memiliki karakteristik mendekati solar/petroleum-diesel dari limbah kelapa sawit sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti solar. Limbah kelapa sawit dikonversi menjadi bio-oil melalui reaksi catalytic fast pyrolysis dalam reaktor fluidized bed pada suhu operasi 450-600oC. Tahapan riset adalah (1) fast pyrolysis tanpa katalis menggunakan variasi limbah kelapa sawit berupa tandan kosong, serat, dan cangkang untuk mendapatkan kualitas bio-oil terbaik, kemudian (2) fast pyrolysis dengan katalis, yaitu optimasi kondisi operasi produksi bio-oil menggunakan katalis RCC komersial dan zeolit alam lampung teraktivasi, dan (3) upgrading bio-oil melalui proses hidrodeoksigenasi (HDO) dengan katalis CoMo/C untuk mendapatkan produk bio-oil dengan kadar oksigen rendah. Luaran riset yang diharapkan adalah diperoleh bio-oil dengan kualitas tinggi sehingga dapat digunakan sebagai kandidat bahan bakar alternatif pengganti solar.
Kata kunci: limbah kelapa sawit, bio-oil, catalytic fast pyrolysis, upgrading
One of abundant renewable energy resources to be implemented in Indonesia is biomass. With those availabilities, waste of palm oil is promising to be converted into bio-oil. The goal of research is developing technology for bio-oil production in order to create product that has similar characteristics with petroleum-diesel. The raw material, waste of palm oil, is converted into bio-oil through catalytic fast pyrolysis in a fluidized bed reactor at temperature of 450o-600o C. The steps for this research consist of: (1) non catalytic fast pyrolysis using variations in waste of palm oil: empty fruit bunch, fiber, and shell, in order to conclude the best raw material to get the highest quality of bio-oil. (2) Catalytic fast pyrolysis which uses optimal operating conditions to produce bio-oil. Kind of catalysts as variants are commercial RCC catalyst and activated Lampung natural zeolite. (3) Bio-oil upgrading within hydrodeoxigenation process (HDO) by using CoMo/C catalyst. The purpose of this step is getting bio-oil product with low oxygen content. The expected output of this research is to acquire high quality of bio-oil, so it can be taken into account as alternative energy and a substitution of petroleum-diesel. Keywords : waste of palm oil, bio-oil, catalytic fast pyrolysis, upgrading
1. Pendahuluan
Penggunaan bahan bakar fosil semakin meningkat seiring bertambahnya kebutuhan manusia. Konsekuensinya adalah cadangan bahan bakar fosil semakin menipis. Association for the Study of Peak Oil and Gas menyatakan bahwa krisis energi global akan terjadi pada akhir abad ini [1].
Kenyataannya, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan setara 311.232 MW. Salah satu potensi energi terbarukan yang belum banyak dimanfaatkan adalah energi biomassa. Potensi energi biomassa di Indonesia sebesar 50.000 MW, tetapi hanya 320 MW yang sudah dimanfaatkan, 0,64% dari seluruh potensi yang ada. Salah satu jenis biomassa yang potensial adalah limbah kelapa sawit karena Indonesia merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di dunia [2]. Dari satu hektar perkebunan kelapa sawit dihasilkan limbah sebesar 50-70 ton [3]. Jenis limbah kelapa sawit yang utama adalah tandan kosong, cangkang, dan serat yang dihasilkan oleh industri Crude Palm Oil (CPO). Dalam pembuatan satu ton CPO dapat dihasilkan limbah berupa tandan kosong sebesar 1,16 ton, serat 0,53 ton, cangkang 0,3 ton, abu 0,02 ton [4]. Penggunaan limbah kelapa sawit menjadi bioenergi tentunya mendatangkan manfaat positif dari segi lingkungan, sosial, dan ekonomi. Salah satu alternatif yang sangat menarik adalah konversi limbah kelapa sawit menjadi bio-oil yang berpotensi sebagai bahan bakar alternatif.
Purwanto W.W. dkk [5], [6] telah melakukan identifikasi dan uji pemanfaatan biomassa untuk biopelet dan bio-oil. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa tandan kelapa sawit sangat berpotensi untuk dikonversi menjadi bio-oil. Bio-oil merupakan campuran hidrokarbon C5-C14 yang
dapat diolah untuk dijadikan biodiesel. Komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada biomassa menjadi faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas bio-oil yang dihasilkan. Tabel 1 menunjukkan kandungan biopolimer pada limbah kelapa sawit.
Tabel 1. Kandungan biopolimer limbah kelapa sawit Bagian Kandungan (%) Selu-losa Hemi-selulosa Lignin Total Tandan kosong 39,0 22,0 29,0 90,0 Serat 21,0 16,0 43,0 80,0 Cangkang 20,8 22,7 50,7 94,2
Teknologi yang digunakan untuk pembuatan bio-oil dengan kinerja tinggi adalah fast pyrolysis, yaitu proses pemanasan dengan temperatur tinggi (4500-600oC) tanpa adanya kehadiran oksigen/udara. Dibutuhkan laju pemanasan yang tinggi, temperatur tinggi, dan waktu tinggal yang singkat untuk menghasilkan bio-oil yang maksimal [7].
Dari kajian riset sebelumnya, konversi limbah kelapa sawit menjadi bio-oil belum memiliki komposisi sesuai untuk menggantikan diesel. Bio-oil yang telah dihasilkan pada penelitian sebelumnya masih memiliki kandungan oksigenat yang sangat tinggi. Keberadaan senyawa oksigenat dalam bio-oil menyebabkan rendahnya pH, meningkatkan keasaman, menurunkan heating value, menimbulkan korosi, membuat produk menjadi tidak stabil, dan mengakibatkan tingginya viskositas produk.
Proses catalytic hydrotreatment mempunyai kondisi operasi dengan suhu dan tekanan yang sangat tinggi, > 150°C dan >100 bar, begitu pula dengan reaksi hidrodeoksigenasi (HDO) [8]. Namun, ada proses mild hidrodeoksigenasi yaitu proses reaksi hidrodeoksigenasi dengan menggunakan suhu dan tekanan yang rendah dari kondisi yang biasa digunakan untuk proses hidrodeoksigenasi [9]. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa suhu sangat berpengaruh pada reaksi HDO sedangkan peranan tekanan mempunyai pengaruh untuk memastikan kelarutan hidrogen yang lebih tinggi pada bio-oil dan sehingga ketersediaan hidrogen pada katalis juga tinggi [10].
Pemakaian katalis merupakan parameter yang penting dalam proses ini. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa katalis Co-Mo
mampu memberikan hasil terbaik dalam hal konversi dan laju deoksigenasi untuk reaksi hidrodeoksigenasi menggunakan komponen model seperti fenol, benzaldehida, dan asetofenon [11]. Hasil studi terhadap penyangga katalis dari proses hidrodeoksigenasi pun menyatakan bahwa menggunakan penyangga karbon dalam katalis merupakan cara untuk mengurangi laju pembentukan coke [12].
Dalam penelitian ini, digunakan tandan kosong, serat, dan cangkang kelapa sawit sebagai bahan baku. Langkah pertama penelitian ini adalah menguji produksi bahan baku pada temperatur 450, 550, dan 650oC. Selanjutnya dipilih satu bahan baku dengan kualitas bio-oil terbaik. Untuk meningkatkan kualitas produk, dalam penelitian ini dilakukan dua langkah yang berbeda. Pertama, penggunaan katalis zeolit berupa katalis RCC komersial dan zeolit alam lampung (ZAL) teraktivasi. Kedua, upgrading produk bio-oil dengan reaksi hidrodeoksigenasi dengan katalis Co-Mo/C.
2. Metodologi Penelitian
Penelitian skala laboratorium dengan menggunakan alat fluidized bed reactor (Gambar 1). Pada reaktor ini terjadi proses fast pyrolysis yang menghasilkan bio-oil. Fast pyrolysis terdiri dari proses pirolisis di dalam reaktor, kondensasi uap, dan pengumpulan produk bio-oil. Proses fast pyrolysis menggunakan nitrogen sebagai gas inert dengan laju alir 7 L/detik pada tekanan atmosfer.
Bahan baku berupa biomassa kelapa sawit dicacah untuk mendapatkan diameter partikel 0,1-2 mm. Di tahap pertama riset ini, dengan menggunakan variasi bahan baku berupa tandan kosong, cangkang, dan serat pada tiga variasi temperatur (450, 550, dan 650oC), selanjutnya akan diketahui bahan baku terbaik yang menghasilkan kandungan fenol tertinggi pada suhu optimum yang menghasilkan bio-oil terbanyak.
Gambar 1. Skema peralatan fluidized bed reactor Di tahap kedua, yaitu upaya peningkatan kualitas bio-oil dengan katalitik pirolisis. Katalis yang digunakan adalah katalis zeolit, yaitu katalis RCC komersial dan zeolit alam lampung (ZAL) teraktivasi. Bahan baku yang digunakan ditetapkan dari hasil penelitian tahap satu.
Untuk proses upgrading, metode impregnasi konvensional dilakukan untuk sintesis katalis Co-Mo/C. Karbon aktif di-pre-treatment dengan HNO3
6 M selama 18 jam. Kemudian karbon aktif dicuci dengan air, dikeringkan pada suhu 110oC selama 3 jam. Larutan (NH4)6Mo7O24.4H2O sebagai prekursor
logam Mo dicampur dengan karbon aktif, diaduk selama 20 jam dipanaskan dengan suhu 70oC sampai membentuk slurry. Slurry ini kemudian dikeringkan dengan suhu dan waktu yang sama seperti pada tahap pre-treatment. Kemudian diimpregnasi dengan larutan Co(NO3)2.6H2O
sebagai prekursor logam Co dengan kondisi yang sama saat impregnasi logam Mo sampai menjadi slurry, dikeringkan dan dikalsinasi pada suhu 500oC selama 5 jam. Perbandingan Co-Mo yang digunakan adalah 3:10 (persen massa dari basis penyangga katalis).
Pada proses upgrading, reaksi hidrodeoksigenasi berlangsung pada autoclave Parr dengan kapasitas 1200 mL. Autoclave diisi dengan oil dan katalis sintesis (katalis 5% berat dari bio-oil yang digunakan basis basah). Autoclave dialirkan gas nitrogen terlebih dahulu lalu dialirkan gas hidrogen 10 bar. Setelah itu, menyalakan
motor pengaduk sebesar 400 rpm dan suhu diset sesuai yang diinginkan. Reaksi berlangsung selama 2 jam. Produk cair diambil dari valve untuk sampel cair sedangkan gas diambil dari valve untuk sampel gas.
Karakterisasi katalis zeolit yang dilakukan adalah uji X-Ray Diffraction (XRD), sedangkan katalis CoMo/C dikarakterisasi dengan uji EDX. Sementara itu, untuk mengetahui sifat fisika dan kimia bio-oil, dilakukan uji Gas Cromatograph and Mass Spectrometer (GC-MS), identifikasi pH, analisis viskositas, serta uji pembakaran.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Produksi Bio-oil dengan Variasi Bahan Baku dan Temperatur
Dapat dilihat pada Gambar 2, dari ketiga jenis umpan yang digunakan (cangkang, tandan, dan serat), cangkang dan tandan kosong merupakan umpan yang menghasilkan yield bio-oil di atas 50%.
Gambar 2. Persentase produk cair pirolisis Hal ini disebabkan karena kandungan biopolimer cangkang dan tandan kosong (jumlah selulosa, hemiselulosa, dan lignin) jumlahnya besar di antara umpan serat, yakni sebesar 94,2% dan 90% (Tabel 1). Pada tingkat pemanasan yang rendah (<100oC/menit), biomassa terurai melalui tahap evolusi kelembaban, dekomposisi hemiselulosa, dan dekomposisi selulosa [13]. Sedangkan peningkatan jumlah yield minyak pada suhu 350 sampai 500oC diikuti dengan peningkatan produksi lignin yang berasal dari oligomers tak larut dalam air namun larut dalam CH2Cl2. Pada
tingkat pemanasan pirolisis cepat (10oC/min) saat
suhu mencapai 300oC terjadi degradasi hemiselulosa. Suhu 350-390oC berpengaruh dalam degradasi selulosa. Sedangkan degradasi lignin terjadi pada rentang suhu degradasi selulosa dan hemiselulosa[14].
Dari uji GC-MS diketahui bahwa komponen utama cairan produk pirolisis adalah fenol, senyawa asam, senyawa oksigenat, dan beberapa senyawa aromatik. Pada bio-oil hasil umpan tandan, fenol dan turunannya adalah senyawa dengan komposisi paling besar. Sedangkan pada bio-oil hasil umpan cangkang, senyawa dodecanoic acid dan turunannya memiliki presentase terbesar. Maka, umpan tandan lebih baik untuk dijadikan bahan bakar.
3.2 Produksi Bio-oil dengan Katalis Zeolit Karakterisasi Zeolit Alam Lampung Teraktivasi
Gambar 3. Difraktogram ZAL teraktivasi, standar SiO2, standar Al2O3, dan standar klinoptilolit
Gambar 3 menunjukkan hasil uji XRD ZAL yang telah dipreparasi. Pada sudut 20o-30o terbentuk peak klinoptilolit yang tidak terlalu tajam dan sedikit melebar. Selain itu, pada ZAL teraktivasi juga terdapat kristal SiO2 dan Al2O3 yang menjadi
ciri utama katalis zeolit. Peak yang terbentuk pada difraktogram ZAL teraktivasi secara umum mengindikasikan bahwa sifat kekristalan yang dimiliki katalis tidak terlalu mendominasi. Walaupun demikian, keberadaan kristal diharapkan
memberikan pengaruh terhadap penurunan kandungan oksigenat pada produksi bio-oil.
Karakterisasi RCC Komersial
Gambar 4 menunjukkan difraktogram RCC komersial dan standar pembandingnya. Uji XRD menunjukkan bahwa RCC komersial memiliki kristal klinoptilolit, SiO2, dan Al2O3. Pada sudut 20o-23o,
difraktogram RCC komersial menunjukkan peak yang tajam. Beberapa peak lain juga menunjukkan kemiripan dengan difraktogram standar. Maka, diketahui bahwa RCC komersial memiliki sifat kristal yang dominan dan tersusun dengan baik.
Gambar 4. Difraktogram RCC komersial, standar SiO2, standar klipnotilolit, standar Al2O3
Identifikasi Komponen Bio-oil
Untuk menguji kandungan senyawa bio-oil, pada penelitian ini dilakukan uji GC-MS. Dari difraktogram GC-MS, dapat dihitung kandungan senyawa oksigenat dan fenol dengan memperhatikan besar persentase area. Bio-oil yang mengandung banyak oksigenat cenderung korosif, tidak stabil, memiliki viskositas yang tinggi dan pH rendah sehingga berimplikasi pada rendahnya nilai heating value [15]. Gambar 5 menampilkan kandungan oksigenat dan fenol pada bio-oil.
Gambar 5. Kandungan fenol dan oksigenat di dalam bio-oil
Dari Gambar 5 disimpulkan bahwa keberadaan katalis zeolit memberikan pengaruh terhadap jumlah senyawa oksigenat dan fenol. Secara umum, bio-oil yang diproduksi dengan katalis zeolit mampu mereduksi kandungan senyawa asam dari nilai 42,48% dan meningkatkan kandungan fenol dari angka 10,74%. Dari persentase fenol dan oksigenat, RCC komersial merupakan katalis yang membantu terciptanya produk berkualitas paling baik, di mana dengan penggunaan katalis ini diperoleh oksigenat paling sedikit, dengan nilai 31,79%.
Persebaran komposisi yang dijelaskan pada Gambar 5 menunjukkan keberhasilan proses perengkahan senyawa hidrokarbon. Perbedaan hasil pada kedua jenis katalis disebabkan oleh sifat kekristalan masing-masing katalis. RCC komersial merupakan katalis yang memiliki kekristalan paling baik. Walaupun ZAL teraktivasi juga memiliki kristal zeolit, tetapi sifat kekristalan yang tidak begitu dominan menyebabkan perengkahan yang terjadi tidak lebih baik daripada RCC komersial.
Neraca Massa Proses Fast Pyrolysis
Gambar 6 menunjukkan yield untuk setiap jenis bio-oil. Yield terendah diperoleh saat adanya pemakaian RCC komersial. Sebaliknya, produksi bio-oil tanpa adanya perlakuan penambahan katalis menghasilkan paling banyak produk cair bio-oil. Secara umum, adanya penambahan zeolit telah
menurunkan jumlah produk cair bio-oil karena terjadinya perengkahan hidrokarbon oleh katalis zeolit. Perengkahan membuat ikatan pada hidrokarbon rantai panjang terputus menjadi hidrokarbon berantai pendek. Akibatnya, beberapa jenis hidrokarbon rantai pendek berubah menjadi fasa gas pada suhu keluaran kondenser karena jenis hidrokarbon tersebut memiliki titik didih lebih rendah daripada temperatur lingkungan.
Gambar 6. Pengaruh katalis pada Bio-oil Uji pH
Nilai pH bio-oil seharusnya menyerupai pH diesel, yaitu sebesar 5. Apabila tingkat keasaman bio-oil terlalu tinggi, produk cair tersebut akan memiliki sifat korosif sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan bakar. Tabel 2 menunjukkan nilai pH untuk masing-masing bio-oil yang diperoleh dengan perlakuan produksi berbeda.
Tabel 2. Hasil uji pH terhadap bio-oil No. Perlakuan Produksi pH
1. Tanpa katalis 4 2. Dengan RCC komersial 5 3. Dengan ZAL teraktivasi 4
Dari ketiga produksi yang dilakukan, produksi bio-oil dengan RCC komersial menunjukkan nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan produk lain. Perolehan nilai pH yang lebih baik untuk bio-oil tersebut disebabkan dua faktor, yaitu lebih rendahnya kandungan senyawa asam dan meningkatnya kandungan air di dalam
bio-oil. Hal ini berkaitan dengan berlangsungnya proses perengkahan senyawa asam oleh katalis RCC komersial.
Analisis Viskositas Bio-oil
Gambar 7 menunjukkan nilai viskositas untuk masing-masing bio-oil yang diproduksi dengan perlakuan variabel bebas yang berbeda.
Gambar 7. Viskositas produk cair bio-oil Produk bio-oil yang diperoleh memiliki viskositas dengan kisaran nilai 2,76-3 cSt. Nilai ini lebih rendah apabila dibandingkan nilai viskositas pada diesel yang mencapai angka 4. Seperti pembahasan pada densitas, kandungan air yang cukup banyak di dalam bio-oil telah menyebabkan bilangan viskositas menjadi lebih rendah. Lebih banyaknya kandungan air di dalam bio-oil yang diproduksi dengan RCC komersial telah menyebabkan nilai viskositas menjadi lebih rendah. 3.3 Upgrading Bio-Oil dengan Katalis Co-Mo/C Karakterisasi Co-Mo/C
Hasil analisis katalis Co-Mo/C dengan EDX menunjukkan peak yang terdeteksi hanya logam Co sedangkan logam Mo tidak terdeteksi peak-nya yang dapat dilihat pada Gambar 8. Kemungkinan logam Mo menghilang pada saat katalis dikeringkan dengan oven atau pada saat proses kalsinasi dalam proses sintesis katalis. Loading Co yang terdeteksi pada katalis sebanyak 19%.
Gambar 8. Hasil uji EDX katalis Co-Mo/C Analisis GC-MS Bio-Oil Sebelum dan Setelah Reaksi HDO
Terdapat 30 sampai 50 jenis komponen yang terkandung dalam bio-oil dimana komponen utamanya adalah senyawa fenol dan senyawa oksigenat. Untuk semua bio-oil, senyawa syringol memiliki presentasi paling besar dan signifikan dibandingkan senyawa lainnya. Setelah senyawa syringol, senyawa guaiacol juga memiliki presentasi yang signifikan besarnya jika dibandingkan dengan senyawa lain (Tabel 3). Kedua senyawa tersebut merupakan hasil perengkahan dari lignin, sedangkan senyawa furan, asetat, dan aromatik berasal dari degradasi selulosa dan hemiselulosa. Tabel 3. Karakterisasi GC-MS produk cair pirolisis
sebelum dan sesudah reaksi HDO
syringol guaiacol 2-hydroxy-3-methyl-2 cyclopenten-1-one sebelum HDO 15,59 8,35 6,5 HDO 100oC 19,46 8,08 9,2 HDO 150oC 17,67 9,09 10,77 HDO 200oC 18,7 8,45 6,55 HDO 250oC 18,78 10,32 2,81 HDO 300oC 21,68 14,04 1,91
Dari tampilan data GC-MS, ditarik kesimpulan bahwa reaksi HDO pada bio-oil berlangsung yang ditandai dengan menurunnya konsentrasi senyawa oksigenat seperti keton dan meningkatnya konsentrasi alkohol dalam hal ini diwakili oleh fenol.
Secara keseluruhan, reaksi hidrodeoksigenasi terbukti meningkatkan senyawa
fenol yang ada pada bio-oil, di mana semakin tinggi suhu reaksi maka senyawa fenol pada bio-oil akan meningkat serta menurunkan senyawa oksigenat seperi turunan senyawa keton dan karboksilat. Namun, variasi suhu yang dilakukan untuk reaksi HDO ini belum optimal untuk menghasilkan senyawa alkana. Hal ini dikarenakan kurangnya peran katalis, logam Mo yang tidak ada pada katalis, sehingga proses deoksigenasi pada proses HDO tidak berlangsung maksimal, dimana logam Mo yang memegang peranan penting dalam proses deoksigenasi [16].
Neraca Massa Proses HDO Bio-Oil
Produksi bio-oil dengan variabel bebas, yaitu variasi suhu operasi pada reaksi HDO (suhu 100oC, 150oC, 200oC, 250oC, dan 300oC), memberikan hasil produk yang berbeda antara komposisi bio-oil, tar, dan gasnya walaupun tidak signifikan perbedaannya. Gambar 9 menunjukkan persentase yield bio-oil yang dihasilkan untuk setiap suhu operasi reaksi HDO bio-oil.
Gambar 9. Persentase yield bio-oil hasil reaksi HDO
Yield bio-oil untuk suhu 100oC sampai 200oC memberikan hasil yang sama yaitu berkisar 76,5-85,9%. Namun saat suhu 250oC dan seterusnya,
76 78 80 82 84 86 88 0 100 200 300 400 % yield Suhu (ºC)
yield bio-oil mulai menurun yang ditandai dengan bertambahnya tar dan gas yang dihasilkan. Pembentukan gas dan tar yang semakin banyak mengindikasikan yield bio-oil yang semakin turun seiring bertambahnya suhu. Hal ini juga dibuktikan pada saat reaksi HDO berlangsung pada suhu tinggi maka tekanan yang ditunjukkan pada kontrol dan gauge akan semakin besar nilainya.
4. Kesimpulan
Berikut adalah kesimpulan utama berdasarkan hasil penelitian, yaitu:
1. Dalam proses fast pyrolysis tanpa katalis dihasilkan yield bio-oil maksimum pada umpan tandan dan cangkang sebesar 58,7% dan 62% pada suhu 550oC
2. Sintesis Co-Mo/C diperoleh loading Co yang terdeteksi sebanyak 19%, sedangkan logam Mo tidak ada pada katalis yang disintesis.
3. Dengan membandingkan sifat fisik dan kimia, bio-oil yang diproduksi dengan RCC komersial memiliki kualitas lebih baik dibandingkan katalis lain.
4. Untuk proses upgrading, senyawa fenol (syringol) yang paling banyak dihasilkan pada suhu 300oC dengan konsentrasi sebanyak 21,68%.
5. Analisis kandungan senyawa yang didapat dari hasil analisis GC-MS, bio-oil hasil reaksi HDO masih jauh dari produk tujuan karena masih banyak terkandung senyawa oksigenat sehingga proses reaksi HDO bio-oil ini masih perlu dikaji lebih lanjut.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terimakasih atas pembiayaan riset ini melalui program Hibah Riset Strategis Nasional Dikti tahun 2012.
Daftar Pustaka
[1] ASPO, http://www.peakoil.net/press-room [2] Prasetyani, M. dan Ermina M. 2009. Tulisan
Analisis Ekonom Suatu Bank di Jakarta: Potensi dan Prospek Bisnis Kelapa Sawit di Indonesia. Jakarta.
[3] Salathong, J. 2007. The Sustainable Use of Oil Palm Biomass in Malaysia with Thailand’s Comparative Perspective. http://www.wiaps.waseda.ac.jp/initiative/200 6/intern/group_02/PDF/Jessada%
20Salathong.pdf.
[4] Hayasi, K. 2007. Enviromental Impact of Palm Oil Industry in Indonesia. Proceeding of International Symposium on EcoTopia Science. Nagoya University, Jepang.
[5] Purwanto W.W., Dijan Supramono, Yulianto S. Nugroho, Dwi Endah Lestari. 2009. Characteristics of Biomass Pellet as Fuel. Proceeding International Seminar on Sustainable Biomass Production and Utilization Challenges and Oppurtunities (ISOMASS). Lampung.
[6] Purwanto W.W, Dijan Supramono, Fisafarani H. 2010. Biomass Waste and Biomass Pellet Characteristics and Their Potential in Indonesia. International Seminar on Fundamental and Application of Chemical Engineering (ISFAChE 2010). November 3-4. Bali.
[7] Basak B. U., Aye Eren Ptn, dan Ersan Ptn. 2007. Rapid Pyrolysis of Olive Residue. 1. Effect of Heat and Mass Transfer Limitations on Product Yields and Bio-oil Composition. Energy Fuels 21 (3), Pp. 1768-1776.
[8] Mercader, F. de Miguel dkk. 2010. Pyrolysis Oil Upgrading by High Pressure Thermal Treatment. Fuel 89, 2829-2837.
[9] Wildschut, J., dkk. 2010. Catalyst Studies on the Hydrotreatment of Fast Pyrolysis Oil. Applied Catalyst B: Environmental 99, 298-306.
[10] Choudhary, T.V. dan C.B. Phillips. 2011. Renewable Fuels via Catalytic Hydrodeoxygenation. Applied Catalysis A: General 397, 1-12.
[11] Wang, Weiyan, dkk. 2011. Amorphous Co-Mo-B Catalyst with High Activity for the Hydrodeoxygenation of Bio-Oil. Catalyst Communication 12, 436-440.
[12] Choudhary, T.V. dan C.B. Phillips. 2011. Renewable Fuels via Catalytic
Hydrodeoxygenation. Applied Catalysis A: General 397, 1-12.
[13] Raveendran, K.; Ganesh, A.; Khilar, K. C. (1996). Pyrolysis Characteristics of Biomass and Biomass Components. Fuel 75 (8), 987-998.
[14] Garcia-Perez, M. dkk. 2001. Co-pyrolysis of Sugarcane Bagasse with Petroleum Residue. Part I: Thermogravimetric Analysis. Fuel 80, 1245.
[15] Iliopoulou, E.F. dkk. 2007. Catalytic Conversion of Biomass Pyrolysis Products by Mesoporous Materials: Effect of Steam Stability and Acidity of Al-MCM-41 Catalysts. Chemical Engineering Journal 134, 51-57.
[16] Kubicka, David dan Kaluza Ludek. 2010. Deoxygenation of Vegetable Oils Over Sulfided Ni, Mo, and NiMo Catalysts. Applied Catalysis A: General, 199-208.