• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 88/PUU-XIV/2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 88/PUU-XIV/2016"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 88/PUU-XIV/2016

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2012

TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, PIHAK TERKAIT,

DAN AHLI DPD

(VII)

J A K A R T A

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 88/PUU-XIV/2016 PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta [Pasal 18 ayat (1) huruf m] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Raden Mas Adwin Suryo Satrianto 2. Supriyanto

3. Anggiastri Hanantyasari Utami, dkk

ACARA

Mendengarkan Keterangan DPR, Pihak Terkait, dan Ahli DPD (VII)

Senin, 30 Januari 2017 Pukul 11.10 – 12.37 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)

2) Anwar Usman (Anggota)

3) Aswanto (Anggota)

4) I Dewa Gede Palguna (Anggota) 5) Manahan MP Sitompul (Anggota)

6) Suhartoyo (Anggota)

7) Wahiduddin Adams (Anggota)

8) Maria Farida Indrati (Anggota)

(3)

Pihak yang Hadir: A. Pemohon:

1. Sjamsiah Achmad

2. Ninuk Sumaryani Widyantoro 3. Siti Nia Nurhasanah

4. Bambang Soeroso 5. Anggiastri

6. Raden Mas Adwin 7. Masruhah

B. Kuasa Hukum Pemohon:

1. Irmanputra Sidin

2. Iqbal Tawakal Pasaribu 3. Agustjar

4. Alungsyah

5. Victor Santoso Tandiasa

C. Pemerintah:

1. Hotman Sitorus 2. Rahayu

3. Fitri Nur Astari 4. Wahyu Jaya D. DPD: 1. Nono Sampono 2. Farouk Muhammad 3. Akhmad Muqowan 4. Intsiawati Ayus E. Ahli dari DPD:

1. Abdul Hakam Naya 2. Heru Wahyukiswoyo 3. Aan Eko Widiarto 4. Marzuki Wahid

F. Kuasa Hukum Pihak Terkait:

1. Syamsudin Slawat 2. Sigit Nurhadi

(4)

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Sidang dalam Perkara Nomor 88/PUU-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Sebelum kita mulai, saya akan mengecek kehadirannya. Pemohon yang hadir siapa? Saya persilakan.

2. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMANPUTRA SIDIN

Terima kasih, Yang Mulia. Yang hadir dari Pemohon kami kuasa hukum, saya sendiri Irmanputra Sidin, Iqbal Tawakal Pasaribu, Victor Santoso Tandiasa, Alungsyah, dan Agustjar. Para Pemohon Prinsipal kami hadir Ibu Siti Nia Nurhasanah, Ibu Ninuk Sumaryani, Ibu Sjamsiah Achmad, Bambang Soeroso, Ibu Anggiastri, Raden Mas Adwin, dan Ibu Masruhah, Yang Mulia. Sekian, Yang Mulia.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Dari Dewan Perwakilan Daerah, silakan.

4. DPD: AKHMAD MUQOWAM

Terima kasih, Yang Mulia. Dari Dewan Perwakilan Daerah hadir empat orang. Satu, Bapak Wakil Ketua DPD, Bapak Farouk Muhammad. Yang kedua, saya Akhmad Muqowan. Yang ketiga, Ibu Intsiawati Ayus. Dan yang keempat adalah Bapak Nono Sampono. Saya izin, Yang Mulia. Karena ada tugas, Pak Farouk Muhammad Wakil Ketua DPD sebelum rapat ini ... sebelum sidang ini selesai, Beliau akan meninggalkan tempat. Terima kasih.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih. Dari Pemerintah?

6. PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS

Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir, saya Hotman Sitorus, bersama Ibu Rahayu dan Bapak Wahyu Jaya. Terima kasih, Yang Mulia.

SIDANG DIBUKA PUKUL 11.10 WIB

(5)

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Dari Pihak Terkait Ngerso Dalem hadir? Dari PBNU?

8. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT

Hadir, Yang Mulia. Kami Kuasa Hukum, Syamsudin Slawat dengan Sigit Nurhadi, Yang Mulia.

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Sebelum sidang dimulai, sudah diketahui bersama saya atas nama lembaga minta maaf pada pihak yang hadir di sini. Agenda kita pada pagi hari ini adalah mendengarkan Ahli dari DPD. Ada empat, tapi kemarin sesuai dengan sidang yang lalu, itu kita akan mendengarkan dua terlebih dahulu, nanti yang berikutnya akan kita dengar pada persidangan yang akan datang karena kita akan mendengarkan keterangan Pihak Terkait dari PBNU. Silakan keterangan Pihak Terkait dari PBNU, saya minta di mimbar.

Kalau ... anu ... kita sumpah dulu juga enggak apa-apa, silakan duduk dulu sebentar supaya rohaniwan bisa meninggalkan sidang. Untuk Ahli dari DPD yang kita minta memberi keterangan pada persidangan kali ini adalah Bapak Drs. Abdul Hakam Naya, M.Si., silakan maju ke depan. Dan yang kedua, Bapak Heru Wahyukiswoyo RH, S.Sos., M.Si. Kemudian yang Pak Aan dan Pak Kiyai Haji Dr. Marzuki Wahid pada persidangan yang akan datang, tapi disumpah terlebih dahulu juga bisa nanti keterangannya pada yang akan datang. Silakan maju juga Pak Aan dan Pak Kiyai Haji Dr. Marzuki Wahid.

Mohon berkenaan Yang Mulia Pak Wahiduddin.

10. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS

Untuk Ahli, ikuti lafal yang saya tuntunkan.

“Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”

11. SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH:

Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.

(6)

12. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih, Yang Mulia. Silakan kembali ke tempat. Rohaniwan, terima kasih.

Pihak Terkait PBNU, saya persilakan. Kalau tebal tidak perlu dibacakan seluruhnya, highlight-nya saja tolong bisa disampaikan.

13. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT

Ya, kebetulan kami sudah menyiapkan rangkumannya, Yang Mulia.

14. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, silakan.

15. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SYAMSUDIN SLAWAT

Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Para Pemohon maupun Kuasanya yang saya hormati, perwakilan dari Pemerintah, perwakilan dari DPD RI yang saya hormati, kemudian Pihak Terkait Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta saya hormati.

Berikut kami dari Pihak Terkait Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdatul Ulama dengan ini menyampaikan keterangan Pihak Terkait. Keterangan ini tidak akan kami bacakan seluruhnya, hanya beberapa poin yang menurut kami penting untuk kami kemukakan, jadi langsung kami masuk pada bagian eksepsi.

Dalam eksepsi, Para Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo.

1. Bahwa Pihak Terkait berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang, khususnya ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah

Yogyakarta bahwa pendapat Pihak Terkait ini didasarkan

yurisprudensi Mahkamah Agung ... Mahkamah Konstitusi sebagaimana Putusan Mahkamah Nomor 6/PUU tahun 2015 dan Putusan Mahkamah Nomor 11 Tahun 2007 yang kaidah hukumnya menentukan kapasitas Pemohon yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Dasar, yaitu:

a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Bahwa hak konstitusional Pemohon dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji.

(7)

c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

d. Adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

3. Bahwa dalam permohonannya Para Pemohon mengajukan permohonan a quo berdasarkan tiga kepentingan yang dirugikan, yaitu:

a. Pemohon I sampai dengan Pemohon V sebagai pegiat dan pejuang antidiskriminasi terhadap perempuan memandang bahwa pasal yang diuji mengandung diskriminasi terhadap perempuan. b. Pemohon VI sampai dengan Pemohon IX memandang bahwa

pasal yang diuji akan menimbulkan kekosongan jabatan dan berakibat pada terhambatnya pelaksanaan fungsi pemerintah daerah.

c. Pemohon X dan Pemohon XI sebagai perangkat keraton merasa bahwa keberlakuan pasal yang diuji berpotensi menimbulkan dualisme kekuasaan di Provinsi DIY yang menyebabkan gangguan aktivitas kerja dan kinerja.

4. Bahwa menurut pendapat Pihak Terkait, Para Pemohon tersebut di atas tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yurisprudensi yang disebutkan di atas sehingga (suara tidak terdengar jelas) Para Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo.

Bahwa Pihak Terkait juga berpendapat bahwa Para Pemohon tidak memiliki legal standing mengajukan permohonan karena bukan merupakan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta maupun Adipati Paku Alam yang bertakhta karena untuk mengajukan permohonan yang terkait dengan Pasal 18 ayat (1) huruf m, maka seharusnya Para Pemohon juga memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf c, yaitu bahwa calon gubernur dan wakil gubernur adalah sultan yang bertakhta maupun adipati yang bertakhta.

6. Bahwa Pihak Terkait berpendapat bahwa Para Pemohon tidak memiliki legal standing mengajukan permohonan aku ... permohonan a quo karena Pemohon tidak memiliki kepentingan langsung untuk mencalonkan diri menjadi gubernur dan/atau wakil gubernur karena ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang Dasar 2000 ... Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 secara keseluruhan mengatur mengenai syarat-syarat calon gubernur atau calon wakil gubernur DIY, maka tentunya Para Pemohon yang tidak bermaksud

(8)

mencalonkan diri sebagai gubernur atau wakil gubernur tidak memiliki kepentingan apa pun terhadap ketentuan pasal yang diuji. 7. Bahwa Pihak Terkait berpendapat bahwa Pemohon I, Pemohon II,

Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V sebagai pegiat dan pejuang antidiskriminasi terhadap perempuan tidak memiliki legal standing mengajukan permohonan a quo karena dasar mengenai adanya dis ... adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang 13 Tahun 2012 adalah bersifat asumtif belaka, serta tidak mempertimbangkan DIY sebagai daerah istimewa yang diakui dan dihormati oleh konstitusi.

Bahwa pihak pertaik ... Pihak Terkait berpendapat bahwa Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, dan Pemohon IX tidak memiliki legal standing mengajukan permohonan a quo karena dasar pengajuan Pemohon ... permohonan akan terjadinya kekosongan jabatan gubernur atau wakil gubernur DIY hanya merupakan asumsi Pemohon saja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 khususnya Pasal 26 telah mengatur secara rigid mengenai mekanisme apabila Sultan Hamengku Buwono maupun Adipati Paku Alam tidak memenuhi syarat sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (1).

Bahwa Pihak Terkait juga berpendapat bahwa Pemohon X dan Pemohon XI tidak memiliki legal standing mengajukan permohonan a quo karena dasar pengajuan permohonan akan terjadi ... terjadi dualisme di DIY, yaitu kekuasaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah pimpinan sultan dan kekuasaan pemerintah Provinsi DIY di bawah ... di bawah pimpinan gubernur atau pejabat sementara adalah dalil yang bersifat asumtif belaka. Pemohon X dan Pemohon XI terlalu mendramatisir adanya dualisme kekuasaan yang saling bertentangan sehingga menyebabkan terganggunya kinerja pemerintahan dan abdi dalem kasultanan atau kadipaten.

10. Bahwa karena jabatan gubernur dan wakil gubernur adalah Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam, meskipun seandainya ada pengangkatan pejabat gubernur, pengangkatan tersebut juga didasarkan pada pertimbangan kesultanan dan kadipaten sehingga tidak mungkin akan terjadi pertentangan sebagaimana digambarkan oleh Pemohon X dan Pemohon XI.

Bahwa Pemohon X dan Pemohon XI harusnya juga memahami bahwa wewenang kesultanan dan wewenang pemerintahan provinsi adalah dua hal yang berbeda, masing-masing memiliki urusan sendiri-sendiri dan tunduk pada ketentuan masing-masing. Sehingga meskipun sultan dan gubernur dijabat oleh orang yang sama, masing-masing jabatan menjalankan tugasnya yang berbeda. Sebagai sultan, ia menjadi benteng budaya menjalankan tradisi kesultanan Yogyakarta. Sementara sebagai gubernur, ia menjalankan fungsi pemerintahan daerah. Hal ini tidak akan berdampak apa pun seandainya dua jabatan tersebut dijalankan oleh orang yang berbeda.

(9)

Dalam pokok permohonan. Bahwa pada intinya pokok permohonan Para Pemohon adalah secara substansi sama dengan apa yang diuraikan dalam bagian eksepsi. Oleh karenanya kami merasa tidak perlu untuk menguraikan kembali dan dianggap apa yang sudah kami uraikan dalam bagian eksepsi sudah terwakili … sudah mewakili uraian dalam pokok permohonan.

Oleh karenanya kami berkesimpulan bahwa dalil-dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pasal yang diuji bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum, oleh karenanya harus ditolak.

Selain dan selebihnya adalah apa yang tertera dalam keterangan tertulis kami dan dianggap dibacakan. Oleh karenanya kami mohon dalam petitum, dalam eksepsi menerima … menerima eksepsi dari Pihak Terkait menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Dalam pokok permohonan, menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.

Demikian yang dapat kami sampaikan kurang-lebihnya. Assalamualaikum wr. wb.

16. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam, terima kasih. Silakan duduk. Berikutnya sekarang Pak Drs. Abdul Hakam Naja dan Pak Heru, dari DPD siapa dulu yang akan kita dengar, Pak Muqo?

17. DPD: AKHMAD MUQOWAM

Terima kasih, Yang Mulia. Saudara Hakam Naja lebih duluan.

18. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, baik. Kalau begitu Pak Hakam silakan di mimbar, kemudian nanti Pak Heru berikutnya.

19. AHLI DARI DPD: ABDUL HAKAM NAJA

Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Para Hakim Konstitusi, Pak Ketua, Wakil Ketua, dan Para Hakim Konstitusi. Pimpinan dan Anggota DPD RI, Ngarso Dalem Gubernur DIY, dari Pemerintah Republik Indonesia, dan Para Pihak Terkait yang hadir dalam sidang kali ini.

Saya akan menyampaikan beberapa poin terkait dengan proses lahirnya Undang-Undang Keistimewaan tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya kira saya akan langsung saja masuk kepada poin bahwa keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta memang sudah

(10)

muncul dengan pengakuan Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam terhadap Negara Republik Indonesia, yaitu dengan adanya amanat Sultan Hamengku Buwono ke-IX dan Paku Alam ke-VIII dengan bergabungnya Keraton dan Paku Alam Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia, atau yang dikenal dengan Ijab Qobul 5 Desember 1945.

Daerah Istimewa Yogyakarta kemudian dibentuk oleh pemerintah waktu itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta memang tidak diatur secara terinci dalam berbagai undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pada pokoknya berbagai undang-undang tersebut mengatur tentang pemerintahan daerah yang berprinsip pada otonomi daerah.

Nah, terkait dengan otonomi daerah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

Kekhususan dan keistimewaan ini merupakan otonomi asimetrik. Otonomi asimetrik telah melahirkan beberapa undang-undang yang (suara tidak terdengar jelas) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota negara.

Kemudian, proses lahirnya Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta itu memang harus melampaui dua periode DPR RI. Yang pertama pada periode 2004-2009 dimulai dengan adanya usulan dari DPD. DPD RI mengajukan usulan RUU perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta kepada DPR RI pada bulan Maret 2008.

Lima bulan kemudian pada tanggal 15 Agustus, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan surat pengajuan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta kepada DPR RI. Nah, tetapi karena ternyata waktu itu pembahasan mengalami jalan buntu atau deadlock, maka pada rapat kerja DPR RI dengan pemerintah pada tanggal 28 September 2009, artinya dua hari sebelum periode DPR RI 2004-2009 berakhir, yang berakhir tanggal 30 September memutuskan bahwa pembahasan lanjutan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi agenda prioritas DPR RI berikutnya, yaitu periode 2009-2014.

(11)

Kemudian pada periode 2009-2014, dimulai dengan presiden mengirimkan Surat Pengajuan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta kepada DPR RI pada tanggal 16 Desember 2010. RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dibacakan pengusulannya dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 17 Desember 2010. RUU Keistimewaan Yogyakarta juga kemudian dibacakan keterangan pemerintah waktu itu dibacakan oleh Menteri Dalam Negeri pada Rapat Kerja Komisi II DPR RI yang dihadiri juga oleh DPD RI pada tanggal 26 Januari 2011.

Jadi, kami di Komisi II memang merupakan alat kelengkapan pertama yang mengimplementasikan putusan MK untuk melibatkan DPD RI dalam pembahasan rancangan undang-undang. Jadi kami melibatkan sampai ke tingkat proses raker, panja, timus, timsin, lobi-lobi, dan kemudian pengambilan putusan.

Kemudian rapat berikutnya, rapat kerja untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta disahkan pada Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan pemerintah, yang dihadiri oleh DPD RI pada tanggal 28 Agustus 2012 yang biasanya kami sebut di tata tertib merupakan pengambilan keputusan tingkat pertama. Jadi, memang kami dalam proses itu melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kami mengundang dan bahkan beberapa kali hadir ke Yogya untuk kami mendapatkan masukan, baik dari Ngarso Dalem Sultan Hamengku Buwono ke-X, maupun dari pihak keraton, juga dari Pakualam yang … dan juga pihak Pakualaman Kadipaten untuk mendapatkan masukan yang lengkap. Juga dari para pakar, para ahli, termasuk kami datang ke Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Nah, barulah kemudian pada tanggal 30 Agustus RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 30 Agustus 2012, dan dimasukkan dalam Lembaran Negara pada tanggal 3 September 2012. Yang biasanya kami sebut sebagai pengambilan keputusan tingkat II. Beberapa isu krusial yang ada di dalam pembahasan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu yang pertama tentang pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Yang kedua tentang pertanahan. Yang ketiga tentang tata ruang. Dan yang keempat tentang keuangan.

Nah, memang dalam pembahasan periode 2004-2009 juga memang menjadi isu yang krusial, terutama yang pertama tentang pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur.

Kemudian, memang kami di dalam keputusan akhirnya bisa disepakati setelah lobi berulang kali, termasuk akhirnya ada lobi khusus antara Presiden dengan Gubernur DIY waktu itu. Dan kemudian pemerintah akhirnya mengubah posisi, sehingga akhirnya undang-undang ini disepakati, yaitu memberikan kewenangan keistimewaan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada 5 kewenangan dalam urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu yang pertama tentang

(12)

tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur. Yang kedua, kelembagaan pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Ini merupakan lima keistimewaan yang diberikan oleh undang-undang kepada Daerah Istimewa Yogyakarta.

Demikian juga terkait dengan dana urusan keistimewaan. Dana urusan keistimewaan DIY bersumber dari APBN sesuai dengan kebutuhan Daerah Istimewa Yogyakarta dan kemampuan kewenangan negara melalui mekanisme transfer ke daerah. Yang tercantum dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012.

Yang Mulia Bapak Ketua dan Para Hakim Konstitusi. Kami perlu menyampaikan bahwa rancangan undang-undang yang kemudian menjadi Undang-Undang Keistimewaan Daerah Yogyakarta, yang menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 memberikan definisi tentang Keraton Yogyakarta, yaitu pada Pasal 1 angka 4, “Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat selanjutnya disebut kesultanan adalah warisan budaya yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarso Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono … Sultan Hamengku Buwono.” Ini pada Pasal 1 angka 4.

Kemudian Kadipaten Pakualaman disebutkan, didefinisikan sebagai Kadipaten Pakualaman selanjutnya disebut Kadipaten adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Pakualam, selanjutnya disebut sebagai Adipati Pakualam. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Nah, dalam hal ini memang kita mengacu kepada pengertian yang disampaikan oleh Prof. Ibrahim Alfian (Guru Besar Universitas Gadjah Mada) dalam buku Islam dan Khazanah Budaya Kraton Yogyakarta mengartikan gelar sultan tersebut sebagai senopati berarti sultanlah penguasa yang sah di dunia yang fana ini. Ing alogo berarti raja mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian, dan peperangan, atau sebagai panglima tertinggi saat perang. Abdurrahman sayidin panotogomo berarti sultan dianggap sebagai penata, pemuka, dan pelindung agama. Khalifatullah sebagai wakil Allah di dunia.

Nah, kemudian masuk kepada hal yang terkait dengan pengajuan perkara dalam hal ini, yaitu persyaratan calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Saya langsung saja pada huruf c, ini yang menyangkut yang digugat atau yang diajukan judicial review di sini. Pada huruf c, yaitu disebutkan, “Bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon gubernur dan bertahta sebagai Adipati Pakualam untuk calon wakil gubernur.” Pada

(13)

huruf c. Pada huruf m, “Menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak … istri dan anak.” Kemudian yang n, “Bukan sebagai anggota partai politik.” Ini memang pembahasan termasuk yang … isu yang ramai waktu itu.

Nah, hal ini memang ketika kami membahas, apakah nanti hal tersebut akan dianggap melanggar hak asasi manusia? Pembahasan waktu itu mengacu kemudian melihat di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28J ayat (2) menyebutkan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memberikan ... untuk memenuhi tuntunan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jadi, demikian yang ingin kami sampaikan. Bahwa di dalam pembahasan memang kami membahas secara lengkap, hampir dua tahun di DPR dan merupakan salah satu undang-undang yang lama pembahasan pada periode 2009-2014.

Demikian keterangan yang kami sampaikan, kami mohon maaf. Assalamualaikum wr. wb.

20. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Pak Abdul Hakam. Silakan duduk dulu.

Berikutnya, Pak Heru. Langsung, silakan.

21. AHLI DARI DPD: HERU WAHYUKISWOYO

Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb.

22. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb.

23. AHLI DARI DPD: HERU WAHYUKISWOYO

Yang kami muliakan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua DPR RI atau yang mewakili, Ketua DPD RI atau yang mewakili, Pihak Pemerintah, Pihak Terkait, serta Pihak Penggugat yang kami hormati.

Perkenankan saya, Heru Wahyukiswoyo, menyampaikan keterangan Saksi Ahli sesuai kemampuan dan kopetensi saya sebagai

(14)

Saksi Ahli DPD RI terhadap Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 sebagaimana disebutkan di atas.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Mohon perkenan saya menyampaikan substansi pokok Keistimewaan Yogyakarta. Paugeran adat sebagai landasan utama dalam menetapkan Gubernur/Wakil Gubernur DIY. Sekali lagi, paugeran adat sebagai landasan utama menetapkan Gubernur/Wakil Gubernur DIY sebagai berikut.

UUK DIY adalah produk hukum yang disepakati bersama secara demokrasi deliberatif atas dasar pertimbangan adat, istiadat, budaya yang melibatkan tiga pilar demokrasi antara Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman sebagai pilar lembaga adat budaya. Dengan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pilar lembaga daerah.

Perwakilan rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, serta dewan ... DPD RI, dan pemerintah sebagai pilar lembaga nasional. Kesultanan dan Pakualaman adalah negeri masing-masing yang bergabung menjadi satu-kesatuan wilayah hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bernama Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 18 dan penjelasannya, serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.

Yogyakarta disebut daerah istimewa karena memiliki tiga hal keistimewaan yang substansial, yaitu sejarahnya, daerahnya, dan kepala daerahnya.

Pertama, disebut istimewa karena memiliki ikatan historis dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tidak terjadi adanya negara dalam negara atau adanya negara kerajaan dalam negara republik atau enklave sehingga diturunkan gradasinya menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan.

Kedua, keistimewaan selanjutnya adalah bentuk daerahnya yang masih menghormati kesatuan adat istiadat, susunan tata pemerintahan asli yang dimiliki oleh Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang masih bergabung dan tetap dipertahankan sebagai salah satu mozaik Bhinneka Tunggal Ika.

Ketiga, istimewa dalam hal kepala daerahnya karena masih menghormati kedudukan Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman secara kelembagaan sebagai sumber rekrutmen jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta karena sebagai pemilik acte van investiture atau pemegang mandat kepala daerah swapraja sehingga tidak perlu melalui pemilihan umum, demokrasi, prosedural, tapi melalui proses penetapan atas dasar demokrasi deliberatif atau atas dasar pertimbangan-pertimbangan tertentu secara asas hukum menganut asas lex specialis derogat legi generali karena ada kontrak

(15)

politik berupa surat kawat dukungan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam ke-VIII terhadap proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 18 Agustus tahun 1945.

Adanya piagam kedudukan 19 Agustus tahun 1945, Amanat 5 September tahun 1945, Amanat 30 Oktober tahun 1945 yang jelas-jelas tertulis di dalamnya sebagai sultan yang sah adalah Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Pakualam VIII lengkap dengan gelar serta kedudukannya dalam negeri masing-masing, yaitu tertulis Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.

Nama gelar dan kedudukan seorang raja yang sah sesuai paugeran adat atau nama disebut asmo dalem, yakni Sultan Kesultanan Yogyakarta adalah Ngarso Dalem, Sampeyan Dalem, Ingkang Sinwun, Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ingalodo Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng. Nama kerajaan yang sah sesuai paugeran adat sejak didirikan tahun 1755 sesuai perjanjian Giyanti sampai sekarang adalah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau sering disebut Negeri Dalem.

Nama dan gelar Adipati Pakualaman yang sah sesuai paugeran adat adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam. Nama kadipaten yang sah sesuai paugeran adat sejak didirikan tahun 1813 adalah Kadipaten Pakualaman sehingga hal tersebut identik dengan kedudukan kepala negara, yaitu Presiden Republik Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kesepakatan dan kita taati bersama sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus tahun 1945 sampai di masa yang akan datang.

Oleh karena itu, berdasarkan sosiohistoris maupun sosioyuridis yang memuat ketentuan-ketentuan sosiospiritual, sosiofilosofis, sosiopolitis berdirinya Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Sultan Hamengku Buwono yang bertahta sesuai paugeran adat dan Kadipaten Pakualaman dengan Adipati Paku Alam yang bertahta sesuai paugeran adat adalah landasan utama dalam hal pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Nama selain ketentuan sebagaimana paugeran adat sejak berdirinya Kesultanan Yogyakarta tahun 1755 dan Kadipaten Pakualaman tahun 1813 adalah tidak sah karena tidak sesuai paugeran adat yang diyakini, dihayati, dijalani, dipercaya masyarakat luas, baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal) dan sudah berjalan hampir 3 abad lamanya. Apalagi sekarang sudah disahkan secara umum (lex generalis) dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah dan secara khusus (lex spesialis) dalam Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, baik melalui pasal-pasal, ayat-ayat, serta aturan perundangan lainnya berupa perda istimewa.

(16)

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, paugeran adat menurut Raden Mas H. Tirun Marwito, S.H., Kanjeng Raden Tumenggung H. Jatiningrat, S.H., putra dari BPH Prabuningrat, putra dari Sultan Hamengku Buwono VIII bahwa paugeran adat adalah bebaku atau pekuku pikukuh atau pokok-pokok kaidah yang termasuk dalam kategori konvensi atau hukum adat yang tidak harus tertulis, tapi dijalankan, diyakini kebenarannya, dan dijadikan sumber hukum dasar dalam sistem negara kerajaan masyarakat adat yang tidak boleh diubah begitu saja, seperti misalnya pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pancasila, Proklamasi Tahun 1945 sebagai amanat penderitaan rakyat, akan tetapi paugeran tersebut dapat dilacak melalui simbol-simbol peris … peristiwa dan amar amanat seperti misalnya:

1. Nama seorang Sultan Hamengku Buwono secara lengkap adalah Paugeran Adat sehingga tidak boleh diganti siapa pun. Nama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat secara lengkap adalah Paugeran Adat sehingga tidak boleh diubah siapa pun. Tata letak Ibu Kota Keraton sebagai ibu kota sesuai planologi kota yang diletakkan HB-I tahun 1755 sebagai askosmos (jagad ageng) maupun askosmis (jagad alit) yang sarat dengan nilai-nilai filosofis ajaran hidup, sehingga dijadikan sumbu filosifis adalah paugeran adat. Sehingga, tidak bisa diubah. Regalia atau simbol-simbol upacara adat, penobatan seorang sultan, ampilan dalem, busana, ageman dalem, setting (tempat duduk), gending-gending yang dibunyikan, pusaka, kereta, dan alat kelengkapan lain yang syarat dengan makna filosofis adalah paugeran adat. Sehingga, berlaku tetap dan menjadi paugeran adat sejak di ... penobatan Sultan Hamengku Bowono I sampai dengan sultan selanjutnya.

Praja Cihna, Cihna ning Kaprajan atau simbol-simbol kenegaraan, baik HB, Hobo, atau PA yang menjadi ciri khas Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat maupun Kadipaten Pakualaman, baik secara institusional maupun logo pribadi seorang adipati atau sultan tidak boleh diubah.

Nilai-nilai filosofis, teosofis seperti Hamemayu Hayuning Bawana dan Sangkan Paraning Dumadi Manunggaling Kawulo Gusti merupakan manisvestasi ajaran Alquran, hadis adalah paugeran adat, sehingga tidak bisa diubah karena sebagai inti ajaran Budaya Adiluhung yang menjiwai seluruh kehidupan masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat secara golong gilik, utuh menyatu, saling mengisi, gotong royong, kekeluargaan.

Paugeran adat adalah identik dengan pokok-pokok kaidah hukum, adat yang dijadikan sumber rujukan utama, sebagaimana Kitab Surya Raja yang disakralkan. Sebagaimana masyarakat Minang memaknai hukum adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabulah, serta kesatuan masyarakat hukum adat yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 18B ayat (2), serta keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, "Kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak

(17)

tradisionalnya secara de facto masih ada dan/atau masih hidup, actual assistance, atau paling tidak memiliki perasaan kelompok, ada pranata adat, ada harta, dan/atau benda adat, ada perangkat norma hukum adat.”

Paugeran adat identik dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang bersifat normatif karena menyangkut nilai-nilai yang fundamental dan berlaku terus-menerus, serta mengikat dengan eksistensi suatu negara atau institusi masyarat adat, dalam hal ini Kesultanan Yogyakarta. Sehingga, cara membacanya adalah bagaimana memahami penjelasan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Angka II.

Bahwa pokok-pokok pikiran dalam pembukaan yang paling esensial adalah negara, begitu bunyinya, yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, untuk memenuhi amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai supremasi hukum atas dasar nilai-nilai luhur, maka negara pun menyusun aturan perundangan lebih lanjut, terutama dalam hal melindungi masyarakat adat demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Daftar undang-undang, peraturan perundang-undangan yang ada terlampir.

Hukum adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgronje seorang ahli sastra timur dari Belanda. Sebelum istilah hukum adat berkembang, dulu dikenal istilah adat recht. Prof. Hurgronje dalam bukunya de Atjehers pada tahun 1893-1894 menyatakan, “Hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de Atjehers.”

Kemudian istilah ini dipergunakan oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang sarjana sastra yang juga sarjana hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden Belanda. Ia memuat istilah adatrecht dalam bukunya yang berjudul, Adatrecht van Nederlandsch-Indië. Menurut Prof. Cornelis van Vollenhoven, "Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi hukum dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi atau adat. Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi konsekuensi dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma atau hukum. Sedang kodifikasi dapat berarti sebagai berikut, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kodifikasi berarti himpunan berbagai aturan menjadi undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dalam buku undang-undang yang baku.

Menurut Prof. Djoyodiguno, kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah atau lapangan bidang hukum tertentu sebagai

(18)

kesatuan secara bulat, semua bagian diatur lengkap, diatur segala unsurnya dan tuntas diatur semua soal yang mungkin terjadi. Artinya, paugeran adat sesungguhnya bisa lebih jelas jika dikodifikasikan kembali dari berbagai sumber-sumber kitab, syarak, babad, pranatan, lampah-lampah, undang-undang maupun risalah yang ada dalam lembaga masing-masing.

Paugeran adat Kesultanan Yogyakarta adalah seperangkat aturan baku, hukum dasar terkait adat istiadat yang berlangsung dalam kehidupan Kesultanan Yogyakarta dan ditaati besama selama berabad-abad, baik oleh Ngarso Dalem (Sultan), Sentono Dalem (saudara dekat sultan), Darah Dalem (kerabat keturunan hubungan darah sultan yang masih ada atau pernah ada), Abdi Dalem (perangkat birokrasi kesultanan, baik yang memiliki hubungan darah maupun tidak memiliki hubungan darah dengan sultan yang masih ada atau pernah ada), Kawulo Dalem (masyarakat pada umumnya sebagai satu-kesatuan entitas sekaligus identitas Budaya Adiluhung Ngayogyakarta Hadiningrat).

Sebagaimana terminologi ketika didirikannya pada tahun 1755 dan dipertahankan di masa-masa yang akan datang, sehingga tidak bisa diubah begitu saja, sebagaimana dianologikan dengan landasan idiil Pancasila, landasan konstitusional Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta Declaration of Independence Proklamasi 45. Simbol-simbol negara, letak geografis suatu negara dan lain-lain.

Paugeran adat tidak identik dengan sabda raja, dawuh raja atau sabda jejering raja. Karena terminologi tersebut tidak dikenal dalam sejarah berlangsungnya kehidupan aturan adat dalam Kesultanan Yogyakarta sejak HB I 1755 sampai dengan HB IX 1989, khususnya terkait paugeran adat dalam hal suksesi raja-raja.

Paugeran adat dalam sejarah tradisinya selalu didahului oleh peristiwa-peristiwa yang terkait dengan proses politik kerajaan pada era pasca Perjanjian Giyanti 1755. Termasuk Keraton Yogyakarta, sosok HB I ketika memilih putra mahkota yang bernama BRM Soendoro. Dalam situasi politik saat itu memiliki persyaratan yang cukup, kemudian Belanda dengan agak terpaksa mengikuti wasiat HB I untuk menobatkan BRM Soendoro sebagai HB II.

Pada masa HB IV, situasinya sedikit berbeda karena HB IV saat wafat putra mahkota baru berumur tiga tahun dan gelar putra mahkota yang dilegitimasi sama persis seperti masa HB II, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Soedibyo Rojo Putro Narendro Mataram. Maka otomatis harus diterima dan harus naik tahta sebagai Sultan HB V meski masih anak-anak. Sampai di sini paugeran adat dapat didefinisikan dari unsur gelar putra mahkota yang sudah legitimatif sejak HB I memilih HB II dan dipraktikan dalam setiap suksesi sultan.

Pada dinasti HB V tidak memiliki putra laki-laki, maka yang diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati adalah adiknya sehingga akhirnya

(19)

yang mengikuti gelar paugeran adat dinaikkan sebagai kanjeng gusti, Pangeran Adipati Anom dan selanjutnya, sehingga dipraktikan dalam suksesi sebagai HB VI.

Paugeran adat selain didefinisikan dari peristiwa-peristiwa proses politik juga diatur dalam praktik tata lenggah, protokoler kedudukan. Untuk menggugurkan paugeran adat versi HB X yang selalu mengatakan identik dengan dawuh raja, sabda jejering raja, sabda raja, dan sabda-sabda lainnya adalah tidak tepat dan dapat disanggah dengan bukti-bukti sejarah praktik suksesi masa lampau yang sudah tertulis sebagai hukum suksesi.

Akhirnya, paugeran adat adalah peristiwa-peristiwa proses politik yang sudah dibuktikan dan dipraktikan dalam sistem pemerintahan tradisional dengan tujuan untuk memberikan jaminan kelangsungan hidup bagi kerajaan dan masyarakat.

Dalam disertasi Dr. R. M. Pramutomo menyebutkan, “Karya-karya seorang sultan adalah status display, yaitu sebuah karya seorang raja yang menjadi kebanggan bisa berupa karya sastra, karya seni tari, karya gending, pakaian, dress, karya arsitektur yang menggambarkan suasana batin atau idealisme seorang raja yang hendak disampai … hendak ditampilkan ke hadapan publik termasuk salah satunya adalah Serat Puji karya HB V.”

Serat Puji adalah karya sastra yang dilatarbelakangi situasional kondisional Sultan HB V yang tidak mungkin meninggalkan legal formal sebagai realitas rasional, yaitu adanya ketentuan bahwa yang berhak menjadi seorang sultan adalah seorang anak laki-laki dari seorang sultan yang bertahta atau pernah bertahta. Sehingga bagi Sultan HB V yang saat itu belum dikarunai seorang anak laki-laki menuangkan sebuah status display atau karya sastra pujangga berupa Serat Puji sebagai simbolisme harapan atau doa agar mendapatkan anak laki-laki.

Menurut Serat Babad Momana, Kitab Sejarah Momana, menulis sejarah Sultan HB V memiliki putri berjumlah lima orang dalam perkawinan yang pertama pada tahun 1841 dengan Putri Purwonegaran Kanjeng Ratu Kencono dan perkawinan yang kedua dengan Putri Suryaning Alogo pada tahun 1843. Menyadari bahwa harapan menjadikan seorang putri sebagai sultan adalah hal yang mustahil, sehingga melakukan suatu karya simbolik berupa Tari Serimpi Renggowati sebagai buah apologia atau memupus rasa atau memupus harapan.

Menurut penjelasan R. M. Pramutomo, apabila melihat status display seorang Sultan HB V berupa karya Tari Serimpi Renggowati dengan menampilkan penari berjumlah lima orang putri adalah sebuah simbolisme yang menggambarkan kesadaran kosmis bahwa kesetaraan gender tidak mungkin disandingkan dalam paugeran adat sebagai realitas rasional, legal formal yang tidak tertulis tapi ditaati secara turun-temurun sehingga mencoba memupus sarira karena mupus … karena

(20)

Sultan HB V ini juga dikenal sebagai Sinuwun Wali karena kedekatannya dengan Kyai Hasan Besari pada tahun 1820 dan melahirkan karya pengumpulan kembali (…)

24. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Pak Heru, mohon maaf. Waktunya … sebentar, Pak Heru! Mohon maaf waktunya sudah 20 menit lebih, tolong dipercepat, dipersingkat. Silakan.

25. AHLI DARI DPD: HERU WAHYUKISWOYO

Kami akan bacakan semampu saya.

Dalam diskusi UIN di Yogyakarta, HB X mendefinisikan paugeran adat bagi seorang calon sultan dianalogikan dengan istilah cemani jalu jati. Yang dapat ditafisiri bahwa seorang calon raja adalah lelaki sejati, anak dari seorang raja yang pernah bertahta atau sedang bertahta bisa menurunkan anak laki-laki yang berkualitas kepemimpinan, berakhlak mulia, bertakwa sebagai penerusnya kelak. Diutamakan anak sulung, urut tua, kalau tidak memenuhi syarat dapat digantikan oleh adik-adik kandungnya atau adik lain ibu. Calon raja adalah putra raja dan istri permaisuri atau istri lain yang dinikahi secara sah sesuai syariat agama Islam.

Calon seorang raja memiliki syarat kecakapan, ketakwaan dalam Islam dan diberi gelar khusus, seperti misalnya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, Sudibyo Raja Putra Narendra Mataram, serta kelahiran putra mahkota diiringi gending monggang, diskusi dengan Romo Tirun. Paugeran adat terkait suksesi seorang sultan, bersumberkan silsilah atau nasab atau garis keturunan, sesuai Alquran dan hadis yang mengamanatkan bahwa sultan identik dengan Khalifatullah fi'l ardh atau prinsip-prinsip imamah dan anak laki-laki adalah penerus waris sang ayahandanya.

Oleh karena itu, Sultan HB IX mengangkat semua istrinya secara adil sesuai hukum Islam, maka pewaris sah dinasti Hamengku Buwono adalah Putra Laki-Laki Sultan Hamengku Buwono IX dari keempat istri-istrinya.

Ketika terjadi disorientasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono X dengan mengeluarkan sabda raja dan mengubah nama menjadi Hamengku Buwono Ingkang Kasepuluh, Suryaning Mataram langsung mendapat surat mosi tidak percaya dari adik-adiknya selaku pewaris sah dari dinasti Sultan Hamengku Buwono IX.

Sesuai paugeran adat tentang asmo dalem atau nama raja, Sultan Hamengku Buwono X oleh rayi dalem dianggap sudah ingkar janji, ingkar amanat leluhur, ingkar tradisi, dengan mengangkat putrinya menjadi putri mahkota calon sultan dan mengubah nama dirinya yang sah sesuai

(21)

paugeran adat yang berlaku sejak 1755 melalui sabda raja 30 tahun 2015.

Nama yang sah adalah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sepuluh Ing Ngayogyakarto Hadiningrat menjadi Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Langenging Bawono Langgeng Ing Toto Panotogomo.

Melalui Sabda Raja 30 April Tahun 2015 yang bersangkutan menyatakan menerima anugerah perintah Gusti Allah, Gusti Agung, Kuasa Cipta, untuk mengganti nama kemudian mendaftarkan perubahan nama ke lembaga pengadilan, kemudian dicabut kembali adalah sebuah tindakan tanpa mempertimbangkan aspek sosiospiritual, sosiofilosofis, sosiokultural, sosiohistoris, sosioyuridis, serta sosiopolitis sehingga mendapat pertentangan dari kalangan masyarakat luas dan rayi dalem, putra-putri ahli waris Sultan Hamengku Buwono IX, serta ahli waris trah Hamengku Buwono I sampai IX.

Sabda raja tidak hanya kontroversial dengan paugeran adat,

yurispridensi atau perundang-undangan negara, Undang-Undang Keistimewaan DIY, serta sosiohistoris sejak berdirinya kesultanan Yogyakarta, sampai dengan berdirinya DIY dalam NKRI, namun juga merupakan ancaman bagi akidah Islam. Ketahanan nasional serta kontraproduktif dengan semangat demokrasi Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 18 karena ingin mengembalikan ke sistem monarki absolut, sebagaimana Louis XIV yang dianggap menerapkan absolutisme, imperialisme, kekuasaan yang terpusat dalam dirinya (...)

26. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Maaf, Pak Heru, saya potong sebentar. Ini karena sudah

diserahkan kepada kita, kita bisa membaca ya, tidak usah dibacakan secara keseluruhan.

27. AHLI DARI DPD: HERU WAHYUKISWOYO Terima kasih, Yang Mulia.

28. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Sudah 20 menit lebih. Kesimpulan dari akhir dari keterangan Ahli, apa ini?

(22)

29. AHLI DARI DPD: HERU WAHYUKISWOYO Kami mohon pengajuan gugatan ditolak.

30. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ditolak, gitu ya. Baik, kalau gitu. Maaf, Pak Heru, ya karena memang waktunya tadi Pak Naya saja hanya 21 menit. Terima kasih, Pak Heru. Sekarang giliran dari DPD kita berdiskusi, apakah ada yang akan dimintakan penjelasan lebih lanjut berturut-turut nanti dari DPD, kemudian dari Pemerintah, dari Pemohon, dan Pihak Terkait, terakhir yang Hakim. Silakan, Pak.

31. DPD: AKHMAD MUQOWAM

Terima kasih, Yang Mulia. Saudara Saksi Ahli, Saudara Abdul

Hakam Naja. Tatib DPR di dalam mekanisme rapat, apakah ada paripurna sampai dengan lobi? Lalu yang kedua, dalam lobi itu apakah DPR dan Pemerintah melibatkan DPD? Ya, siapakah yang hadir dalam lobi-lobi itu, apakah konsisten seseorang atau berganti-ganti orang? Lalu yang kedua, CMN. Saya kira ... saya kira, saya mohon kepada Saksi Ahli untuk menjelaskan mengenai Pasal 18 ayat (1) huruf m, utamanya berkaitan kata istri, apakah itu merupakan lex generalis? Atau lex specialis. Termasuk implikasinya adalah antara poin c dengan n, kaitannya adalah tidak ikut serta di dalam partai politik. Terima kasih, Yang Mulia.

32. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari Pemerintah?

33. PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS

Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah cukup.

34. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Cukup, baik. Kemudian, dari Pemohon sekarang.

35. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMANPUTRA SIDIN

Terima kasih, Yang Mulia. Mungkin pertama, Yang Mulia perlu

(23)

36. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya.

37. KUASA HUKUM PEMOHON: IRMANPUTRA SIDIN

Pertanyaan kami Saudara Ahli Pak Hakam Naja. Kami mau tanya

tadi dikutip ada nama Ibrahim Alfian, begitu. Kami mau tanya, apakah Ibrahim Alfian ini adalah sosok yang memiliki inheren power, kemudian itu pendapatnya itu seolah bisa menjadi hukum dipakai oleh keraton di situ? Itu yang pertama. Yang kedua adalah calon gubernur, 18 ayat (1) huruf m ini, kami mau tanyakan juga. Kalau misalnya dia laki-laki, belum kawin, masih muda, masih jomblo, atau dia kemudian duda, atau dia belum punya pekerjaan, atau dia tidak punya anak, atau tidak punya saudara kandung, itu bagaimana Ahli menafsirkan seperti itu?

Kepada Ahli kedua adalah tentang paugeran adat, tadi kami dengar bahwa itu nama tidak boleh diganti. Kami mau bertanya, apakah ini pendapat atau memang ini hukum yang berlaku? Ada seperti perdebatan dulu dalam ketatanegaraan Indonesia, itu negara kesatuan bisa diubah atau tidak, orang berbeda pendapat di situ, tapi kemudian konstitusi menjadikan dia hukum di situ, ini negara kesatuan republik tidak bisa diubah. Kira-kira itu pertanyaan kami, apakah ini pendapat atau hukum?

Saya kira itu, Yang Mulia.

38. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Dari Pihak Terkait? Ngarso Dalem. Silakan. Monggo, silakan. Ini mohon Ngarso Dalem, bukan tanggapan, tapi pertanyaan untuk pendalaman kepada dua orang Ahli.

39. PIHAK TERKAIT: SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X

Assalamualaikum wr. wb.

40. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb.

41. PIHAK TERKAIT: SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X

Bapak Ketua dan Para Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Yang mewakili DPD, Pemerintah, maupun Pemohon yang saya hormati. Saya akan mencoba untuk menambahkan saja. Saya tidak akan menyangkal apa yang dikatakan, hanya kami akan mengingatkan

(24)

pada aspek Rapat Panja Komisi II DPR RI tentang Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis—Jumat, 29 dan 30 September 2011. Kami tidak akan membacakan siapa yang ngadelir [Sic!], tapi langsung pada materinya saja.

Rapat Panja Komisi II DPR RI, pembahasan materi Panja RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dibuka hari Kamis, pukul 20.00 WIB oleh Ketua Panja Komisi II DPR RI, yang terhormat Drs. Abdul Hakim Naja.

Kesimpulan. Setelah pimpinan membuka rapat dan pemerintah menyampaikan usulan perubahan terkait mekanisme pengisian kepala daerah, kemudian anggota panja menyampaikan pendapat atau pandangannya disepakati untuk mengundang Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, adapun beberapa poin kesepatakannya sebagai berikut.

1. Terkait dengan mekanisme pengisian kepala daerah, panja menerima penjelasan terkait dengan pertemuan Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan presiden pada tanggal 27 September 2011 yang lalu, dengan penjelasan bahwa presiden menyampaikan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk perpanjangan dua tahun, tetapi Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta satu tahun dan disekapati perpanjangan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur Daerah ... Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selama satu tahun. 2. Dibicarakan juga antara presiden dengan Sri Sultan Hamengku

Buwono X tentang alternatif yang dibahas di panja yang diusulkan pemerintah dan mengerucut pada alternatif dua ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY selama lima tahun, sejak diundangkannya undang-undang ini dan periode berikutnya ditetapkan secara demokratis melalui Sidang Paripurna DPRD dan secara prinsip Sri Sultan Hamengku Buwono X menerima alternatif tersebut untuk dibahas secara mendalam di panja.

3. Disepakati. Mengundang Sri Sultan Hamengku Buwono X pada hari Jumat, tanggal 30 September, untuk mengonfirmasi pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan presiden pada tanggal 27 September 2011. Adapun hasil pertemuan panja dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai berikut.

a. Pertemuan dengan presiden tanggal 27 September 2011, disampaikan bahwa RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini harus segera selesai dan presiden memiliki tujuan baik dengan tetap mengakomodir proses demokratisasi, yaitu fraksi-fraksi di DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengajukan sultan dan paku alam, selanjutnya ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD. Hasil Paripurna DPRD tersebut disampaikan ke presiden untuk memperoleh keputusan presiden tentang penetapan menjadi gubernur dan wakil gubernur.

(25)

b. Terhadap usulan perpanjangan jabatan gubernur bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X saat ini, presiden mengusulkan dua tahun, tetapi Sri Sultan Hamengku Buwono X mengusulkan hanya satu tahun dan hal itu diterima oleh presiden. Waktu satu tahun dianggap cukup karena secara psikologis politis mengindikasikan adanya kemauan kuat dari pemerintah dah DPR RI untuk segera menyelesaikan RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

c. Tanggapan Sri Sultan Hamengku Buwono X atas penjelasan presiden, yakni secara prinsip menerima dan menilai bahwa hal tersebut sebagai jalan keluar atas persoalan. Oleh karena itu, Sri Sultan Hamengkubuwono X menilai hal tersebut sudah selesai dengan adanya empat alternatif rumusan yang diajukan pemerintah dan mengerucut kepada alternatif dua dan/atau alternatif satu.

d. Sri Sultan Hamengkubuwono X memohon kepada panja untuk tidak mencantumkan kata penetapan dan pemilihan, tetapi langsung kepada prosedur guna menghindari kemungkinan adanya judicial review.

e. Persoalan selanjutnya adalah tidak hanya menjadi beban pemerintah, tetapi internal kraton dan pakualaman, yakni perlunya mengkondisikan di internal kraton dan pakualaman jika ada sultan atau paku alam tidak diterima masyarakat. Atas hal tersebut, kraton harus melakukan penataan untuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam undang-undang terkait persyaratan untuk menjadi gubernur. Untuk disadari bahwa perubahan di kraton mungkin tidak mudah dan akan muncul perdebatan, tetapi setiap sultan yang bertahta berhak melakukan perubahan di kraton, perlu dipertimbangkan ada satu pasal yang menyatakan kraton harus berubah melalui ketentuan dalam undang-undang ini.

f. Waktu tansisi digunakan juga oleh pihak kraton untuk sosialisasi dan mempersiapkan prosedur pengangkatan sultan untuk diketahui publik meskipun tidak ideal, tetapi kraton juga sudah memulai adanya perubahan tersebut.

g. Terkait dengan siapa sultan yang disebutkan dalam undang-undang, Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan, “Tidak perlu menyebut angka Sultan HB ke berapa karena siapa pun sultannya tetap harus ada demokratisasi, yakni melalui perubahan di internal kraton atau dengan kata lain bahwa sultan yang gubernur atau gubernur yang sultan jika menyebut angka maka hal tersebut bersifat personal.”

h. Terhadap posisi gubernur saat ini yang dipegang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dijelaskan bahwa berawal ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X diusulkan oleh fraksi-fraksi DPRD lalu

(26)

diparipurnakan oleh DPRD dan selanjutnya ditetapkan oleh presiden melalui surat keputusan. Berbeda dengan sebelumnya, HB IX dan Paku Alam VIII tidak ada surat keputusan pusat dan hanya surat keputusan PNS. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang juga Sri Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam adalah gubernur dan wakil gubernur yang sama dengan provinsi lain yang ditetapkan oleh Presiden RI.

i. Diakui bahwa ketika Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berlaku, terdapat dua ketentuan yang berbeda, yakni ada ketentuan Gubernur DIY adalah keluarga kraton serta ketentuan pemilihan kepala daerah melalui pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana yang berlaku di Yogyakarta muncul ketidakpastian hukum?

j. Terhadap penggunaan gubernur utama tidak diperlukan dan juga tidak dikenal dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945. k. Penataan di internal kraton terkait pemilihan dan pengangkatan

sultan baru harus tune-in dengan yang diatur dalam undang-undang ini tentang persyaratan seorang gubernur. Jika terjadi kondisi tidak memenuhi syarat seperti usia atau belum cukup umur dan lain-lain, maka presiden yang menetapkan setelah berkonsultasi dengan pihak kraton. Tetapi undang-undang ini tidak perlu mengatur tentang paugeran didasari bahwa secara umum persyaratan kepala daerah tidak membedakan gender, tetapi secara khusus sultan itu adalah pria sebagaimana gelar yang disandangnya, yaitu Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalogo Ngabdurrahman Sayyidin Pranotogomo Khalifatullah.

4. Terhadap poin-poin kesepakatan terkait dengan substansi mekanisme pengisian kepala daerah yang telah disepakati oleh panja dan pemerintah akan dibuat rumusan substansi tersebut yang dipersiapkan tim ahli pemerintah dan tim ahli DPR selama satu minggu untuk selanjutnya dibahas dalam rapat panja berikutnya.

5. Terhadap ketentuan Pasal 26 yang terkait dengan Pasal 7

kewenangan, Pasal 35 ketentuan lain-lain, dan Pasal 37 ketentuan peralihan tentang pertanahan dan penataan ruang perlu pendalaman lebih lanjut karena persoalan pertanahan tidak sederhana dalam rumusan yang menyatakan sebagai badan hukum. Terkait dengan hal tersebut disepakati akan mengundang pihak Kakanwil BPN DIY urusan pertanahan kraton kesultanan dan puro pakualaman dan pihak-pihak terkait lainnya. Rapat ditutup hari Jumat, pukul 22.00 WIB, Bogor, 29-30 September 2011, Pimpinan Panja Komisi II DPR RI, Ketua Drs. Abdul Hakam Naja.

(27)

42. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Ngarso Dalem. Silakan duduk.

Apa yang dibacakan Ngarso Dalem bisa diserahkan ke Kepaniteraan untuk menjadi dokumen. Baik, dari Pihak Terkait Lembaga Bantuan Hukum dari LPBHNU yang akan disampaikan? Cukup? Baik.

Dari Hakim? Ada tiga, lady first. Silakan, Prof. Maria.

43. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI

Terima kasih, Pak Ketua. Kepada Bapak Heru, di dalam keterangan halaman 5 ini disebutkan dalam alinea kelima, “Paugeran adat selain didefinisikan dari peristiwa-peristiwa proses politik juga diatur dalam praktik tata lenggah protokoler kedudukan untuk menggugurkan paugeran adat versi HB X yang selalu mengatakan identik dengan dawuh raja, sabda jejering raja, sabda raja, dan sabda-sabda lainnya adalah tidak tepat dan dapat disanggah dengan bukti sejarah praktik suksesi masa lampau yang sudah tertulis dalam hukum suksesi.”

Ini kalau kita melihat kalau dari bukti sejarah berarti kita kan harus melihat pada ini, padahal kita kan sekarang dalam negara yang sudah lebih modern dalam hukum positif, gitu. Kalau saya melihat dari situ, apakah kemudian kalau paugeran yang kemudian dibentuk oleh HB X kalau itu dianggap tidak tepat dan dapat disanggah, kemudian siapa yang harus mengeluarkan sanggahan atau yang menyatakan itu tidak tepat? Apakah ada satu paguyuban atau apakah siapa yang duduk di situ, kemudian harus menyatakan itu tidak tepat dan itu kemudian dianggap tidak berlaku, gitu? Itu saja.

44. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih, Yang Mulia. Dari pojok, Yang Mulia Pak Palguna, silakan. Nanti berikutnya yang terakhir dari Yang Mulia Pak Wahiduddin.

45. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Pak Hakam Naja, saya mau menanyakan satu hal yang sederhana saja, tetapi logika dari undang-undang ini. Di dalam Pasal 18 huruf c tadi dikatakan bahwa Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu adalah sultan yang bertakhta, gitu kan. Sementara diakui pener ... sultan yang bertahta itu sementara dari ... ini kesimpulan dari saya, sementara diakui bahwa sultan yang bertahta itu bukanlah kewenangan dari pihak di luar kesultanan untuk menentukan, tetapi itu adalah urusan internal.

(28)

Yang saya tanya bukan itu, yang saya tanya adalah ketika merumuskan huruf m di dalam Pasal 18 itu, apakah ada perdebatan mengenai soal itu? Ketika dirumuskan huruf m itu? Artinya, apakah waktu itu ada kesadaran bahwa ketika memasukkan huruf m itu ada potensi untuk memasuki wilayah yang sebenarnya merupakan wilayah kesultanan sendiri untuk mengaturnya atau tidak? Apakah itu yang dimaksudkan dengan ingat dengan Pasal 28J ayat (2) tadi itu? Apakah itu yang dimaksud? Itu pertanyaan saya sederhana saja untuk yang Pak Hakam.

Yang kedua untuk Pak Heru, Ahli. Begini, pertanyaan saya sederhana juga. Saya yakin kesultanan juga pasti berubah mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, paugeran pun pasti akan berubah. Kalau dikatakan di dalam naskah yang kami terima di sini dan juga yang dibacakan tadi bahwa paugeran tidak bisa diubah oleh siapa pun, lalu bagaimana cara paugeran itu berubah dan siapa yang mengubah?

Jadi, agak berkait dengan pertanyaan Yang Mulia Prof. Maria tadi. Kalau beliau menekankan pada siapa yang bisa membantah kalau perubahan terjadi, saya ingin menanyakan, siapa yang bisa mengubah itu atau mempunyai kewenangan mengubah itu menurut tradisi keraton? Nah, dan perubahannya melalui apa? Kalau bukan misalnya dikatakan dawuh raja bukan, sabda raja juga bukan, atau sabda-sabda yang lain juga bukan, lalu apa medium cara untuk mengubah paugeran ini sehingga bisa diterima itu sebagai bagian dari paugeran keraton oleh generasi berikutnya sejak paugeran itu diterapkan sebagai paugeran yang baru sebagai pengganti yang lama? Itu pertanyaan saya. Terima kasih, Yang Mulia.

46. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS

Terima kasih. Saya ingin ke Pak Hakam Naja. Tadi disebutkan memang pembahasan rancangan undang-undang ini, inilah untuk pertama kalinya Komisi II melaksanakan putusan MK dimana melibatkan DPD mulai dari tahapan raker, kemudian panja, timsin, nah, apakah juga timus? Saya juga waktu itu sering bersama-sama mewakili Menteri Hukum dan HAM.

Nah, yang ingin saya tanyakan karena terkait kesaksian Pak Paulus Yohanes Sumino pada tanggal 29 November 2016 yang menyatakan bahwa rumusan pasal yang diuji ini huruf … 18 huruf m ini, ini disebutkan kesalahan administratif. Kenapa? Karena di dalam kesepakatan itu cukup mengambil dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana di sana hanya menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, serta saudara kandung, suami atau istri.

(29)

Nah, lalu di rumusan ini dan dari ahli kemarin menyatakan bahwa calon gubernur itu laki-laki atau perempuan, tidak pernah dibahas kenapa pembentuk undang-undang menjadikan hal tersebut adalah mutlak hal internal keraton. Ya, pertanyaan saya, ini kalaupun masuk ... apa ... usulan atau rumusan ini atau dari DIM dari DPR, ini pada tahap mana? Pada tahap panja atau timsin, atau timus? Karena disebutkan oleh saksi kemarin, ketika disahkan persetujuan bersama tanggal 30 Agustus 2012, nah, ini apakah di sana sudah ada ketentuan yang diuji ini yang lalu sekarang yang kita pakai tentu yang diundangkan pada tanggal 3 September 2012. Nah, ini apa betul ini kesalahan administratif? Karena di rancangan undang-undangnya memang tidak ada. Nah, ya, tentu kalau kita lihat proses-prosesnya, ini muncul DIM.

Nah, ketika di mana ini diputuskan apa sejak di raker, pasti belum, tapi apakah di panja atau di timsin, atau di timus, dan apakah DPD hadir pada semua ... apa ... tahapan-tahapan pembahasan ini? Seperti yang Pak Hakam Naja katakan tadi bahwa inilah, ya, satu-satunya pembahasan RUU, di mana DPD hadir. Ya, saya juga menyaksikan itu pada waktu itu, cuma saya tidak tahu persis bahwa terkait pasal yang ini, yang disebutkan kesalahan administratif oleh ... apa ... Pak Paulus Yohanes Sumino tanggal 29 November yang lalu, berarti ini tidak pernah ada. Nah, ini di mana letaknya kalau memang ini ada? Terima kasih, Pak.

47. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Yang terakhir dari saya, saya hanya mau mempertajam saja.

Di dalam permohonan Pemohon, itu keistimewaan Yogya itu menyangkut 3 hal utama, masalah budaya, masalah pertanahan, dan masalah pengangkatan raja, sehingga itu diserahkan kewenangan itu kepada pihak keraton. Sekarang yang menjadi pertanyaan yang di dalam permohonan, Pak Hakam Naja Anggota DPR yang saya muliakan. Kalau ada frasa di dalam persyaratan huruf m yang menuliskan harus ada anak, adik, terus termasuk istri, itu campur tangan kewenangan pemerintah pusat kepada Provinsi DIY atau tidak? Padahal kan ini keistimewaan Yogya berkaitan dengan pengangkatan raja, pertanahan, dan masalah budaya. Nah, sekarang dengan adanya pasal ini, Pemohon mengatakan ini bentuk campur tangan pemerintah pusat terhadap keistimewaan, mestinya yang kayak begini enggak boleh, gitu? Bagaimana pandangan dari DPR waktu itu? Ini berkaitan dengan yang disebutkan ada kesalahan administrasi, kan seolah-olah harus menentukan raja itu harus laki-laki karena ada nama istri, gitu. Ini pertanyaan inti dari Pemohon itu sebetulnya di situ.

(30)

Silakan, Pak Hakam Naja dulu, kemudian baru Pak Heru merespons seluruh apa yang disampaikan. Silakan, Pak. Duduk saja, enggak masalah.

48. AHLI DARI DPD: ABDUL HAKAM NAJA

Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua dan Para Hakim Konstitusi. Saya akan menjawab, mungkin tidak satu per satu, tapi per cluster issue. Terutama memang khusus nanti yang tentang Pasal 18 itu mungkin nanti akan saya kumpulkan. Ini karena satu kelompok pertanyaan.

Yang pertama, saya kira dari Pak Akhmad Muqowam Ketua Komite I DPD-RI menanyakan tentang lobi apakah merupakan bagian dari tatib DPR? Betul. Bahwa memang di tatib DPR RI itu memang ada mekanisme lobi. Jadi, kalau deadlock, itu dimungkinkan lobi, jadi kami selalu memanfaatkan itu dan memang di pembuatan proses penyusunan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini kami sering sekali melakukan lobi. Karena memang seringkali lebih efektif karena kami sudah tahu sebenarnya isu yang sensitif yang pada periode sebelumnya yang menjadikan tidak selesainya undang-undang ini.

Kemudian tentang pelibatan DPD RI. Sesuai dengan Putusan MK, itu memang kami menjalankan semua proses. Jadi dari raker, panja, rapat-rapat panja, rapat-rapat timsin, timus kami undang. Dan kemudian pada saat pengesahan di Komisi I ... Komisi II DPR RI pada pengambilan keputusan tingkat I. Nah, tetapi memang seringkali yang hadir dari DPD RI tidak sama karena ada beberapa orang. Jadi ... mohon maaf, misalnya A hadir, kemudian berikutnya B, C, dan seterusnya karena beberapa orang waktu itu yang seingat saya 4 apa 5 orang yang gantian hadir. Sehingga memang saya tidak tahu apakah memang polanya diatur demikian, sehingga barangkali tidak semua orang dari DPR RI yang ditunjuk mewakili itu mengikuti seluruhnya. Barangkali anggota DPR RI juga hanya saya barangkali karena saya harus memimpin sidang. Terus-menerusnya dari A sampai Z-nya saya ikuti.

Kemudian, Pak Irman. Pertanyaan tentang pengutipan Prof. Ibrahim Alfian, itu memang itu referensi, Pak. Jadi memang seringkali kami di dalam penyusunan undang-undang harus banyak menggunakan referensi untuk melihat sejarah, termasuk mengartikan istilah-istilah yang barangkali waktu itu Pak Gamawan dan Pak Joe itu kalau ketika membacakan gelar itu memang seringkali keliru-keliru, khalifatullah Sayidin Panatagama dan seterusnya karena mungkin dialeknya. Nah, itupun kami kemudian jadi referensi untuk mengartikan tentang gelar sultan yang ada di dalam undang-undang. Draft undang-undang yang kemudian menjadi undang-undang.

Nah, kemudian yang saya kira menjadi pertanyaan dari Pak Muqowam, Pak Irman, dan kemudian Yang Mulia Ibu Maria, Yang Mulia Pak Palguna, Yang Mulia Pak Wahidin, dan Yang Mulia Pak Ketua. Itu

(31)

memang terkait dengan huruf m Pasal 18 ayat (1) huruf m yang di situ menyebutkan, melampirkan daftar nama keluarga sampai kemudian istri. Nah, Bapak, Ibu sekalian. Jadi sebenarnya ini merupakan satu proses di dalam pembahasan undang-undang, dimana ketika definisi Kesultanan Yogyakarta yang kemudian di situ disebutkan tentang gelar sultan. Kami kemudian mendapatkan konfirmasi pada saat pertemuan dengan Ngarso Dalem tanggal 30 September yang tadi Beliau bacakan sendiri. Bahwa disebutkan bahwa sultan adalah pria, pada pertemuan di Kopo kami waktu itu. Jadi di Kopo waktu itu kami undang, sebelumnya adalah dari Kemendagri untuk menanyakan Pak Gamawan, “Apa sih hasil pertemuan antara Presiden dengan Gubernur Yogya?” Yang dihadiri oleh Pak Gamawan, Pak Gamawan kami undang juga. Pada kesempatan berikutnya adalah Ngarso Dalem Sri Sultan, kami ingin mendapatkan langsung dari tangan pertama.

Nah, di situlah yang tadi juga dibuatkan Berita Acaranya adalah memang Sri Sultan dengan mengatakan bahwa sultan adalah pria. Di situlah yang kemudian kami sisir ketika penyelesaian undang-undang itu Pasal 18 ayat (1) huruf m itu menyebutkan adalah istri karena terkonfirmasi. Dari gelar, kemudian Ngarso Dalem mengatakan bahwa sultan adalah pria. Ya sudah berarti … karena kesepakatan kami adalah bahwa Gubernur DIY yang adalah sultan, sultan adalah gubernur itu persyaratannya tidak boleh lebih rendah dari gubernur di tempat lain, di seluruh Indonesia. Maka artinya kalau ada seorang yang umurnya belum sampai, maka ya harus diangkat penjabat dulu. Sampai misalnya umurnya tercapai dengan … dan seterusnya. Jadi hal seperti ini untuk memberikan satu gambaran bahwa kualitas dari gubernur, kualifikasi itu sama. Nah, kekhususannya ya adalah huruf c menjabat … maaf, bertakhta sebagai sultan, kemudian sebagai paku alam … sebagai adipati paku alam untuk wakil gubernur, huruf c. Huruf m itu kemudian menyebutkan eksplisit karena tadi terkonfirmasi dari pembahasan kami. Gelar yang menunjukan adalah sebagai raja, kemudian terkonfirmasi pernyataan Sultan Ngarso Dalem di Cikopo 30 September bahwa sultan adalah pria. Sehingga di dalam huruf m ya sudah kami … karena kami sisir waktu itu, Pak. Jadi di timus timsim itu kami sisir, ya. Oh, ini berarti karena pria sesuai dengan gelar, kemudian terkonfirmasi dengan sultan. Kami selalu sangat hati-hati. Artinya apakah ini draft ini sudah diterima? Karena kami juga tidak ingin ketika undang-undang ini disahkan nanti ada pihak yang tidak terima. Jadi kami juga sangat hati-hati untuk melihat itu.

Jadi makanya ketelitiannya supaya kemudian kan kalau di undang-undang waktu itu adalah Undang-Undang Nomor 32, itu kan disebutkan suami atau istri. Tapi karena semua melihat adalah pembahasannya mengarah kepada raja, maka istri itu adalah hasil dari timus timsin, penyisiran ya.

(32)

Nah, di situlah kami melihat kecermatan oleh timus dan timsin yang semua dihadirkan dan kami undang DPD. Nah, kehadirannya nanti tentu bisa dicek di daftar hadir. Tapi kami undang seluruh pihak panja, timus, timsin sampai ke raker. Artinya memang ini bukan kesalahan administratif. Jadi memang produk yang memang disahkan dan diketahui oleh seluruh anggota panja, anggota timus, anggota timsir karena disisir, Pak. Istilahnya ... mohon maaf, kalau di undang-undang kami ada ‘penyisiran kutu’ istilahnya, titik, koma, dan seterusnya. “Undang-undang yang ... yang Nomor 32, gimana?”

“Oh, ini ternyata kan ini raja. Jadi, kan istri,” misalnya gitu. Nah, kecuali kemudian huruf n tentang tidak berpartisipasi dalam ... tidak merupakan bagian dari partai politik, itu juga dalam pembahasan yang alot, akhirnya disepakati. Dan kami juga konfirmasi langsung dengan Ngarso Ndalem, beliau menerima, jadi masuk ke n. Itu bedanya dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah Pasal C tentang Bertahta sebagai Sultan dan Adipati Pakualam. Huruf m tentang persyaratan yang menyebutkan istri. Dan huruf n bukan bagian dari partai politik.

Nah, jadi, hal seperti ini saya kira moga-moga bisa menjadi gambaran untuk Bapak-Bapak, dan Yang Mulia, Ibu, dan Bapak Hakim mengenai pertanyaan Pasal 18 ayat (1), khususnya adalah huruf m.

Jadi, memang kami semua kemudian sampai pada titik itu dan tidak ada satu pun yang keberatan. Jadi, pada pandangan akhir pun yang banyak disorot adalah tentang periodisasi. Waktu kan karena masih ada ... sehingga disepakati tidak ada periodisasi. Jadi, tidak ada pembatasan dua periode. Kalau gubernur lain dua periode, di Yogya tidak terikat.

Kemudian, tentang keanggotaan partai politik, itu juga jadi sorotan fraksi-fraksi. Kemudian, juga tentang menyangkut keistimewaan, pendanaan, dan seterusnya. Tetapi tentang huruf m yang waktu menyebutkan istri tidak ada catatan keberatan dari semua pihak. Demikian, mohon maaf kalau ada yang kurang dan terima kasih. Assalamualaikum wr. wb.

49. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Walaikum salam wr. wb. Terima kasih, Pak Abdul Hakam Naja. Sekarang Pak Heru, silakan.

50. AHLI DARI DPD: HERU WAHYUKISWOYO

Terima kasih, Yang Mulia. Untuk menjawab Saudara Penggugat terkait dengan paugeran adat. Paugeran adat hakikatnya adalah hukum adat dan itu berlaku tetap sejak HB I sampai dengan HB seterusnya.

Referensi

Dokumen terkait

Majalah seperti sebuah club, yang mana fungsi utamanya adalah memberikan wadah bagi pembaca untuk mendapatkan informasi dengan memberikan rasa nyaman dan

Terdapat keberagaman pendapat mengenai keorisinilan kisah dalam rubrik Goresan Hati sebagian informan menganggap bahwa cerita Goresan Hati merupakan kisah nyata

Tugas umum adalah tugas yang diberikan secara bertahap oleh Panitia OKK IM FKM UI 2018 selama rangkaian kegiatan magang OKK IM FKM UI 2018 untuk seluruh Peserta

Penggalang : Kreasi Pionering Tiang Bendera, Semaphore Dance, Story Telling, Kaligrafi, Pengetahuan Umum dan Kepramukaan. Penegak : Miniatur Pionering, Semaphore

Judul ini diambil dan diteliti karena dilatar belakanggi maraknya remaja sekarang yang kesulitan dan bahkan belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Jika dilihat dari

kursi pakai tangan, sandaran tinggi, sandaran dan dudukan beralas karet atau busa dibungkus imitalisir atau kain bludru warna coklat atau wam a lain yang

Berdasarkan lembar angket yang diberikan kepada MIS. MIS memberikan skor jarang pada permasalahan tentang belajar dia di luar sekolah. dan jika dilihat dari

Pada siklus I pertemuan ke 2 guru mulai mencoba menerapkan metode Tanya jawab pada siswa, dengan penggunaan metode Tanya jawab ini siswa terlihat sudah mulai