• Tidak ada hasil yang ditemukan

FASCIOLA GIGANTICA DENGAN TREMATODA LAIN PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FASCIOLA GIGANTICA DENGAN TREMATODA LAIN PADA SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA TERNAK : KONTROL BIOLOGI

FASCIOLA GIGANTICA

DENGAN TREMATODA LAIN PADA SIPUT

LYMNAEA

RUBIGINOSA

PENDAHULUAN

Masalah fasciolosis pada ternak ruminansia

di Indonesia cenderung ticlak berubah dari

waktu ke waktu . Tingkat kejadian fasciolosis

berkisar antara

42-100 % (ANONIMOUS, 1992),

dapat mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar

Rp.

513

milyar setiap tahunnya

(ANONIMOUS, 1991)

sehingga perlu penanganan yang serius

mengingat pada umumnya ternak yang

terse-rang tersebar di pedesaan . Pada negara-negara

yang sudah maju walau masih ditemukan kasus

fasciolosis namun masalahnya sudah dapat

di-tangani, baik dengan cara-cara pencegahan

ter-hadap terjadinya infeksi maupun pengobatan

pada ternak. Sedang di negara-negara yang

sedang berkembang, seperti halnya Indonesia,

masih banyak kendala yang dihadapi.

Kemam-puan ekonomi peternak, sistem usaha

peter-nakan, pengetahuan tentang penyakit berkaitan

dengan sistem usaha lainnya (misalnya

perta-nian), serta program pemerintah di dalam

me-nangani penyakit clan ketersediaan/harga obat

yang masih belum memadai merupakan contoh

kendala yang memungkinkan kejadian

fasciolo-sis pads ternak tidak berubah sejak penyakit ini

ditemukan.

Pengendalian fasciolosis pada ternak dapat

dilakukan dengan berbagai macam cara,

misal-nya program pengobatan dipadukan dengan

pencegahan terhadap terjadinya penyakit

berda-sarkan data epidemiologi parasit . Pengobatan

fasciolosis pada ternak di daerah yang

mempu-nyai empat musim, pemberian obat cacing biasa

diberikan paling kurang dua kali setahun

(ANONIMOUS, 1977; FAWCETT,1990; REID

clan

ARMOUR, 1978)

clan dipadukan dengan

pro-gram-program

pencegahan.

Sedang

untuk

daerah tropis program pengobatan masih

bera-gam . Seperti di Thailand misalnya, pengobatan

dilakukan setelah populasi siput L . rubiginosa di

lapangan

menonjukkan

angka

terrendah

(SRIKITJAKARN, 1986)

clan dilakukan sekali lagi

pada saat populasi siput tertinggi. Di Filipina

SUHARDONO

Balai Penelitian Veteriner

Jalan R. E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114

(TONGSON, 1978)

pernah membuat program

nasional untuk pengobatan fasciolosis

berclasar-kan atas periode prepaten cacing hati, yakni

3

bulan, sehingga pemberian obat cacing

diberi-kan sampai empat kali setahun .

BORAY (1991)

memperkirakan pemberian obat cacing hati pada

ternak di wilayah Asia Tenggara dapat

dilaku-kan dua kali setahun pada setiap akhir musim

kemarau clan penghujan. Pencegahan fasciolosis

dimaksudkan untuk menghinclarkan /

mengu-rangi kemungkinan ternak menclapatkan infeksi

atau menghindari bersatunya telur cacing

dengan siput. Pencegahan ini dapat dilakukan

misainya dengan cara memisahkan ternak dari

lahan yang cocok untuk hidupnya siput,

mem-bunuh/menurunkan populasi siput clan kontrol

biologi

(ANONIMOUS, 1977; BORAY, 1991 ; OVER, 1982; WILSON

et al.,

1982; WRIGHT, 1968) .

Pengendalian fasciolosis dengan cara

pengo-batan clan dipadukan dengan perbaikan

tata-lak-sana sistem usaha peternakan telah

disampai-kan oleh

SUHARDONO

et al. pada Seminar

Nasional Peternakan clan Veteriner

1997

di

Ciawi, Bogor. Pada kesempatan ini penulis

bermaksud menguraikan pengendalian

fasciolo-sis melalui kontrol biologi .

PENGERTIAN KONTROL BIOLOGI

Kontrol biologi merupakan cara

pengenda-lian penyakit dengan menggunakan makhluk

hidup lain dimana agen tersebut dapat berperan

sebagai predator, parasit/patogen, kompetitor

atau pengubah habitat

(STURROCK, 1995 ; WRIGHT, 1968) .

Untuk fasciolosis, kontrol

biologi dapat ditargetkan pada siput yang

ber-peran sebagai incluk semang antara cacing hati

(Lymnaea spp .) atau ditujukan pada larva cacing

hati yang masih berada di dalam siput tersebut.

MURTISARI

clan

EVANS (1982)

melaporkan bahwa

itik yang clipelihara dengan cara digembalakan

mengkonsumsi siput sebanyak

17%

dari total

pakan yang ada di dalam temboloknya . Hal

(2)

yang senada juga dilaporkan oleh BORAY (1991) bahwa sehubungan dengan banyaknya itik yang digembalakan di sawah-sawah di Indonesia, di-cluga dapat menurunkan populasi siput . Laporan dari Zambia (LOCKE, 1969) clan Inggris (HANCOCK, 1969) menduga bahwa dengan menggembalakan sejumlah angsa (geese) atau itik selama beberapa minggu di pastur sebelum sapi digembalakan clapat menghabiskan siput di tempat itu. SRI WIDJAJANTI (1990) melaporkan hasil penelitian laboratoriumnya bahwa seekor ikan mas

(Cyprinus carpio)

mampu memangsa paling seclikit 10 siput

L. rubiginosa

setiap hari, seclang ikan gurami

(0sphromenus gouraini)

clan ikan sepat

(Trichogaster sp.)

potensinya sebagai pemangsa siput lebih rendah daripada ikan mas . Contoh-contoh di atas merupakan kontrol biologi dimana unggas clan ikan berpe-ran sebagai predator langsung dalam

menurun-kan populasi siput .

Kontrol biologi dengan Cara antagonis dari dua atau lebih larvae trematoda di dalam siput sempat menclapat perhatian yang serius di Malaysia baik oleh peneliti dari dalam maupun luar negeri, seperti yang dilaporkan oleh LIE

et

al.

(1968), Kwo

et al.

(1970) clan Lim clan HEYNEMAN (1972) . Konsepnya sendiri didasar-kan pads beberapa pengamatan bahwa bebera-pa spesies cacing trematoda menggunakan siput yang sama sebagai incluk semang antara (BASCH, 1966), akan tetapi jarang sekali ditemu-kan satu siput melepasditemu-kan lebih dari satu tipe serkariae (LIE

et al.,

1966) . BASCH

et al.

(1970) di dalam mencari penjelasan terhadap fenomena tersebut mengemukakan suatu teori bahwa larvae trematoda secara langsung atau tidak langsung berantagonis dengan larvae trematoda lainnya clan sebagai akibatnya adalah lenyapnya parasit yang lemah (subordinate) . Mereka menemukan bahwa

Echinostoma audyi

(seka-rang spesies ini menurut KANEV (1994) identik dengan E.

revolutum

bersifat antagonis domi-nan terhadap larva F.

gigantica

(Kwo

et al.,

1970; LIE

et al.,

1971) . Di Indonesia sifat dominan dari larva

E. revolutum

terhadap F.

gigantica

di dalam siput

L . rubiginosa

juga dila-porkan oleh ESTUNINGSIH (1991) . Bentuk dewasa cacing E.

revolutum

biasa ditemukan di dalam saluran pencernaan itik clan ayam buras Lebih lanjut ESTUNINGSIH melaporkan dari hasil penelitian laboratoriumnya bahwa infeksi

L.

rubiginosa

dengan

E. revolutum

mengakibatkan sterilitas dari siput yang terinfeksi, sehingga siput tersebut menurun atau bahkan berhenti

Trematoda Lain pada Siput Lymnaea Rubiginosa

memproduksi telur . Penemuan ini senada dengan pengamatan yang dilakukan oleh SLUITERS (1981) clan COMES (1982) bahwa ter-jadi gangguan fungsi reproduksi dari siput yang terinfeksi oleh larva trematoda . Beberapa gambaran ini lebih lanjut memperkuat dugaan tentang kemampuan dari E.

revolutum

sebagai agen untuk pengendalian secara biologi larva cacing F.

gigantica

dalam siput

L. rubiginosa.

Namun untuk memastikan dugaan ini perlu dilakukan uji di lapangan . Sehubungan dengan hal ini, maka penulis melakukan uji lapang pada tahun 1995 (SUHARDONO, 1997) . Sebelum melaksanakan uji lapang tersebut di atas, penulis telah melakukan penelitian biologi siput

L. rubiginosa

clan infeksi larvae trematoda pada siput di daerah yang sama .

BIOLOGI SIPUT

LYMNAEA RUBIGINOSA

DAN KEJADIAN INFEKSI OLEH TREMATODA LAIN Di Indonesia telah dilaporkan tentang dina-mika populasi siput

L. rubiginosa

di beberapa habitat (SRI WIDJAJANTI, 1989; VAN BENTHEM JUTTING, 1956; SUHARDONO, 1997) . Habitat yang paling cocok untuk siput tersebut adalah sawah irigasi yang ditanami padi . Habitat ini memberikan fasilitas maksimum bagi siput

L.

rubiginosa,

antara lain : air yang selalu ada, mengalir dengan lamban, dangkal, teduh dari sinar matahari clan banyak biota lain yang hidup di situasi seperti ini .

Pengamatan penulis menunjukkan bahwa populasi siput, akan naik dengan cepat pada saat padi tumbuh clan bertahan tetap tinggi hingga panen padi berakhir . Pengeringan sawah sekitar seminggu sebelum padi dipanen ticlak membunuh siput. Namun populasi siput akan cepat berkurang segera setelah panen padi selesai clan lahan clibiarkan 'bero' atau ditanami palawija . Sehingga selama musim penghujan boleh clikatakan populasi siput akan tetap tinggi. Pada musim kemarau populasi siput relatif rendah clan habitat yang cocok pada musim kemarau ini antara lain : selokan/sungai yang aliran airnya sangat pelan, daerah sekitar sumber mata air clan kolam .

Dari penelitian yang dilakukan di propinsi Jawa Tengah, DIY clan Jawa Barat cliketahui bahwa angka prevalensi kejadian infeksi oleh larva F.

gigantica

pada siput

L . rubiginosa

sangat rendah (0,07 %) clan oleh trematoda lain sebesar 22 % dari 9000 lebih siput yang

(3)

diperiksa (SUHARDONO

et al., 1989) .

Hasil pengamatan penulis tentang kejadian infeksi oleh larva cacing trematoda pada siput tersebut menunjukkan tingkat prevalensi yang tidak sama di setiap habitat siput yang diambil contohnya. SUHARDONO

(1997)

berhasil mengi-dentifikasi daerah/habitat siput L.

rubiginosa

dengan tingkat infeksi oleh larva cacing trematoda yang berbeda-beda (Gambar 1) . Dari Gambar 1 tersebut terlihat bahwa kejadian infeksi tertinggi oleh F.

gigantica

pada siput ditemukan pada habitat sawah/kolam yang letaknya bersebelahan dengan kandang sapi, habitat yang jaraknya < 200 meter dari pemu-kiman tingkat kejadiannya lebih renclah clan boleh dikatakan tidak ditemukan siput terinfeksi oleh

F. gigantica

pada habitat yang jaraknya > 200 meter dari pemukiman . Demikian juga infeksi oleh larvae trematoda lain pada siput yang sama tingkat kejadiannya mirip dengan hal di atas .

Secara umum clapat dikatakan bahwa semakin dekat dengan pemukiman penclucluk maka tingkat infeksi larva cacing trematoda pada siput semakin tinggi . Dengan

teridentifika-10

Prevalensi (%)

WARTAZOA Vol. 7 No. 1 Th. 1998

Kandang-Sawah Sawah <200 m SawA >200 m Habitat siput

sinya habitat-habitat siput dengan tingkat kejadian infeksi oleh

F. gigantica

yang berbeda satu sama lain, maka secara teoritis kontrol biologi dengan cara antagonisme antar larva trematoda dalam siput dapat diterapkan pada salah satu habitat dengan prevalensi fasciolosis tertinggi yakni sawah/kolam yang bersebelahan dengan kandang sapi . Habitat semacam itu ti-dak seclikit ditemukan di pedesaan dimana populasi ternak cukup tinggi . Diperkirakan dengan menurunkan prevalensi infeksi oleh larva cacing hati pada siput di lokasi-lokasi seperti tersebut di atas clapat menurunkan tingkat pencemaran pada hijauan, yang lebih lanjut akan menurunkan kemungkinan bagi ter-nak untuk mendapatkan infeksi . Untuk menguji dugaan ini maka dilakukan penelitian lapangan, dimana pada sekelompok kandang sapi yang letaknya 'berdekatan' dengan sawah/kolam juga dibuat kandang itik sedemikian sehingga koto-ran itik jatuh clan 'menyatu' dengan feses sapi clan akhirnya feses tersebut masuk ke dalam petak sawah tanaman padi yang sama. Uji lapang ini dilakukan pada tahun 1995 di Kecamatan Surade, Sukabumi .

Selokan Kolam

Gambar 1 . Angka prevalensi infeksi larva

Fasciola gigantica

pada siput

Lymnaea rubiginosa

dari berbagai habitat

(4)

Trematoda Lain pada Siput Lymnaea Rubiginosa UJI LAPANG KONTROL BIOLOGI

Dua puluh enam petak sawah yang ditanami padi, berumur antara 2-6 minggu, bersebelahan dengan kandang sapi dipakai untuk penelitian . Empat belas petak sebagai kontrol clan 11 petak lainnya sebagai perlakuan . Pada kelompok perlakuan dibuat kandang itik sedemikian rupa sehingga feses itik tersebut dapat masuk/bercampur dengan feses sapi di petak sawah tersebut. Sebanyak 10 ekor itik dibandangkan setiap malam selama penelitian berlangsung, sebelum percobaan dimulai telah diperiksa bahwa 70% dari itik-itik tersebut terinfeksi oleh cacing trematoda; selama perco-baan berlangsung juga telah diperiksa bahwa antara 700-1200 telur cacing trematoda pada itik ditemukan dalam feses/kandang/malam . Sedang telur cacing hati yang ada pada feses sapi sekitar 20.000 butir/kandang/malam . Sela-ma padi tumbuh hingga panen, feses yang ber-asal dari kedua jenis ternak tersebut masuk ke sawah . Telur-telur cacing trematoda tersebut akan menetas clan menemukan siput di sawah tersebut .

Tabel 1 . Tingkat prevalensi infeksi oleh larvae trematoda pada siput Lymnaea rubiginosa pada kedua kelompok

petak sawah tanaman padi

= Jumlah siput L . rubiginosa diperiksa Sumber : SUHARDONO, 1997

Selama penelitian berlangsung ada bebera-pa ekor itik yang mati/hilang, sehingga rata-rata akhir dari itik yang ada di masing-masing kelompok perlakuan tinggal 8 ekor, terrenclah 5 ekor clan tertinggi 10 ekor. Waktu sekitar padi dipanen, siput L. rubiginosa pada petak sawah diambil semua baik di kelompok kontrol maupun perlakuan . Hasil pemeriksaan siput L. rubiginosa terhadap adanya infeksi larvae cacing trematoda disajikan dalam Tabel 1 . Dari Tabel 1 tersebut terlihat bahwa tingkat infeksi oleh larva F. gigantica pada siput yang diambil dari

petak-petak perlakuan (0,18 %) 10 kali lebih renclah (P<0,00) dibandingkan pada kelompok kontrol (1,75 %) . Sebaliknya, tingkat infeksi pada siput oleh larvae trematoda lain (Echinostoma clan Furcocercous) pada kelompok perlakuan lebih tinggi (46,73%) dibanding pada kelompok kontrol (11,2 %) (P<0,01) . Terjadi penurunan (P<0,05) jumlah siput yang ticlak terinfeksi oleh larvae cacing trematoda pada kelompok perla-kuan (48,16 %) dibandingkan pada kelompok kontrol (86,86 %) .

Penjelasan dari penurunan kejadian infeksi oleh larva F. gigantica pada siput L. rubiginosa adalah sebagai berikut : Pengandangan itik yang secara alami terinfeksi oleh cacing trematoda memungkinkan masuknya feses itik clan sapi secara bersamaan ke sawah tanaman padi dimana banyak ditemukan siput di sini. Selanjut-nya terjadi kompetisi antara larva yang menetas dari telur-telur cacing trematoda yang berasal dari itik clan dari sapi didalam menggunakan siput L. rubiginosa sebagai incluk semang antara. Dari Tabel 1 di atas terlihat jelas bahwa derajad infeksi larvae trematoda lain (Echinostoma clan Furcocercous) dalam siput meningkat. Kenaikan tingkat infeksi ini dapat terjadi karena sifat dominan dari larvae cacing tersebut, namun mungkin juga clibarengi dengan kecepatan pertumbuhan larva yang lebih tinggi (khususnya larva Furcocercous) bila dibanding-kan dengan pertumbuhan larva F. gigantica. Dengan demikian, hasil penelitian laboratorium yang dilakukan oleh ESTUNINGSIH (1991) tentang antagonisme antar larvae trematoda pada siput terbukti pada penelitian ini. Namun berclasarkan jumlah populasi siput yang ada di petak sawah dimana penelitian dilakukan, pengaruh sterilisasi dari siput yang terinfeksi oleh E. revolutum (ESTUNINGSIH, 1991 ; SLUITERS et al., 1980; SLUITERS, 1981) ticlak terlihat dalam penelitian ini (P>0,05) . Hal ini erat sekali dengan sifat biologi dari siput yang mempunyai kemampuan berreproduksi sangat besar, jumlah siput yang terinfeksi oleh larvae cacing trematoda kurang dari setengahnya sedangkan sisanya bebas dari infeksi, sehingga secara keseluruhan populasi siput yang ada di petak sawah tempat peneliti-an ticlak terlihat adpeneliti-anya perbeclapeneliti-an populasi . Dengan demikian pemanfaatan parasit trema-toda pada unggas sebagai agen biologik untuk pengendalian fasciolosis hanya clitekankan pada daerah-daerah dimana terjadi derajad infeksi yang tinggi oleh larva F. gigantica pada siput L. rubiginosa, misalnya pada sawah tanaman padi Larvae Trematoda Tingkat prevalensi (%)

Kontrol Perlakuan F. gigantica 1,75 0,18 Echinostoma 11,2 46,73 Furcocercous 0,19 4,93 Negatif 86,86 48,16 10,179* 5,641*

(5)

atau kolam yang bersebelahan dengan kandang sapi/ kerbau . Kontrol biologi yang ditawarkan ini bukan untuk menurunkan populasi siput

L.

rubiginosa

melainkan menekan derajad infeksi oleh larva

F.

gigantica

pada siput tersebut.

APLIKASI KONTROL BIOLOGI

Kontrol biologi terhadap fasciolosis dapat diterapkan di daerah dimana penanaman padi dilakukan baik secara intensif maupun semi intensif, ternak khususnya sapi dan kerbau ber-peran utama sebagai sumber tenaga kerja untuk mengolah sawah, dan unggas (khususnya ung-gas air) dipelihara secara ekstensif. Lingkungan seperti tersebut di atas banyak tersebar di pede-saan . Apabila unggas air (misalnya itik) tidak/ jarang dipelihara di suatu daerah yang diduga merupakan daerah endemik fasciolosis, maka itik dapat diintroduksi di daerah tersebut dengan tata laksana pemeliharaan yang dilakukan seca-ra ekstensif atau semi intensif. Sehingga intro-duksi itik tersebut berperan ganda, yaitu mem-bantu mengendalikan kasus fasciolosis pada ternak dan menambah sumber pendapatan bagi peternak .

Kontrol biologi terhadap fasciolosis ini dapat tercapai dengan mengandangkan itik seki-tar 5 - 10 ekor, yang merupakan jumlah yang dapat dipelihara oleh petani hampir tanpa mem-berikan pakan tambahan kecuali sisa-sisa dapur dan makanan yang diperoleh pada saat dilepas . Ada sedikit perubahan yang harus dilakukan dari tatalaksana sistem pengandangan itik yang sebelumnya, yakni dengan memindahkan kan-dang itik ke tempat yang bersebelahan dengan kandang sapi. Cara lainya yaitu dengan me-ngumpulkan feses itik kemudian dicampurkan dengan feses sapi yang akan dipakai sebagai pupuk tanaman padi .

KESIMPULAN

Dengan diidentifikasinya daerah-daerah sumber siput

L. rubiginosa

dengan tingkat prevalensi yang tinggi oleh larva casing hati maka kontrol biologi dengan cara antagonisme antar parasit dapat diaplikasikan di lapangan . Memahami sifat biologi dan daur hidup cacing hati

F.

gigantica

dan kejadian infeksi secara alami pada itik oleh cacing trematoda lain kemu-dian dikaitkan dengan tatalaksana baik dalam cara bercocok tanam padi maupun cara

beter-WARTAZOA Vol. 7 No. 1 Th. 1998

nak sapi di daerah lahan dengan sistem irigasi intensif maka peternak sapi sebaiknya juga memelihara itik dengan menempatkan kandang bersebelahan satu sama lain sedemikian sehing-ga feses dari kedua jenis ternak tersebut mudah bercampur. Cara beternak ini akan memberikan keuntungan bahwa fasciolosis pada sapi dapat ditekan melalui penurunan pencemaran hijauan oleh metaserkaria cacing hati, disamping itu ada keuntungan tambahan dari pemeliharaan itik itu sendiri baik berupa penghasilan maupun protein .

Mekanisme kontrol biologi ini terjadi dengan oercampurnya feses sapi dan itik masuk ke sawah tanaman padi memungkinkan terjadinya kompetisi antara larva trematoda yang menetas dari telur yang ada pada feses didalam menggunakan siput

L. rubiginosa

sebagai induk semang antara . Kontrol biologi ini dapat diterapkan di daerah pedesaan dimana kedua jenis ternak ini sudah sejak lama ada di daerah seperti itu . Jumlah itik yang hanya berkisar antara 5-10 ekor untuk setiap keluarga pemilik sapi/kerbau tidak akan banyak mengganggu kerja tambahan bagi keluarga tersebut namun sebaliknya lebih memperkecil ternak dari kemungkinan mendapatkan infeksi cacing hati.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMOUS. 1977 . Fascioliasis in Australia. Bulletin of

International Office of Epizootic87 : 675-691 .

ANONIMOUS. 1991 . Data ekonomi akibat penyakit

hewan 1990. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian .

ANONIMOUS. 1992. Dwi windu P41 (Beberapa masalah

parasitosis pada hewan di Indonesia) . Buku peringatan 16 tahun P41 (13 Januari 1976 - 31 Januari 1992) . P41, Jakarta .

BASCH, P. F. 1966. The life cycle of Trichobilharzia

brevis, n.sp., an avian schistosome from Malaya . Zeitschrift fur Parasitenkunde27 : 242-251 .

BASCH, P. F., LIE, K . J. and HEYNEMAN, D. 1970.

Experimental double and triple infections of snails with larval trematodes. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 1 : 129-137 .

BORAY, J. C. 1991 . Current status of the control of

trematode infections in livestock in developing countries. Working paper for expert consultation on helminth infections of livestock in developing countries. FAO Rome pp. 1-33.

(6)

COMBES, C. 1982. Trematodes : antagonism between species and sterilizing effects on snails in biological control . Parasitology84: 151-175 . ESTUNINGSIH, S. E. 1991 . Studies on trematodes

infecting Lymnaea rubiginosa in West Java. M.Sc thesis, Tropical Veterinary Sciences and Agriculture, James Cook University, Townsville, Australia .

FAWCETT, A. R. 1990 . A study of a restricted programme of strategic dosing against Fasciola hepatica with triclabendazole . The Veterinary

Record Nov. : 492-493 .

HANCOCK, R. C. G . 1969. Controllin g liver-fluke . The Veterinary Record 84 : 228.

KANEV, I. 1994. Life-cycle, deLIMination and redescription of Echinostoma revolutum (Froelich, 1802) (Trematoda : Echinostomatidae) . Systematic Parasitology 28 : 125-144 .

Kwo, E. H ., LIE, K. J. and Ow-Yang, C. K. 1970 . Predation of sporocysts of Fasciola gigantica by rediae of Echinostoma audyi. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 1 :429 .

LIE, K. J ., BASCH, P. F. and Umathevy, T. 1966 . Studies on echinostomatidae (trematoda) in Malaya . XII. Antagonism between two species of echinostome trematodes in the same lymnaeid snail. The Journal of Parasitology 52: 454-457.

LIE, K. J., BASCH, P. F., HEYNEMANN, D., BECK, A. J. and AUDY, J . R. 1968. Implications for trematode control of interspecific larval antagonism within snail hosts. Transaction of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene 62: 299-319 .

LIE, K. J., Kwo, E. H. and OW-YANG, C. K. 1971 . Further trial to control Schistosoma spindale by trematode antagonism . Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 2:237-243.

LIM, H. K. and HEYNEMAN, D. 1972. Intramolluscan inter-trematode antagonism : a review of factors influencing the host parasite system and its possible role in biological control . Advances in Parasitology 10:191-268.

LOCKE, R. D . 1969 . Controlling liver-fluke . The Veterinary Record Mar:260.

MURTISARI, T. and EVANS, A. J . 1982. The importance of aquatic snails in the diet of fully herded ducks. Research Report 1982, Balai Penelitian Ternak Ciawi pp.59-61 .

OVER, H. J . 1982. Ecological basis of parasite control: Trematodes with special reference to fascioliasis . Veterinary Parasitology 11 : 85-97 . REID, J. F. S. and ARMOUR, J . 1978. An economic

appraisal of helminth parasites in sheep. The Veterinary Records 102:4-7.

SLUITERS, J . F., BRUSAARD-WUST, C. M. and MEULEMAN, E. A. 1980. The relationship between miracidial dose, production of cercariae, and reproductive activity of the host in the combination Trichobilharzia ocellata and Lymnaea stagnalis. Zeitschrift for Parasitenkunde 63:13-26 .

SLUITERS, J. F. 1981 . Development of Trichobilharzia ocellata in Lymnaea stagnalis and the effect of infection on the reproductive system of the host. Zeitschrift fur Parasitenkunde64 : 303-319. SRIKITJAKARN, L. 1986. Strategic treatment of

Fasciola gigantica in the North-East of Thailand. Proceedings of the 5th International Conference on Livestock Production and Disease in the Tropics. Edited by M R Jaenudin, M Mahyuddin and J E Huhn, pp 95-96.

SRI WIDJAJANTI . 1989 . Studies on the biology of Lymnaea rubiginosa . M .Sc. Thesis, Tropical Veterinary Sciences and Agriculture, James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia .

SRI WIDJAJANTI . 1990 . Ikan air tawar sebagai predator siput Lymnaea Rubiginosa . Seminar Parasitologi Nasional VI dan Konggres P41 V di Pandaan, Pasuruan, 23-25 Juni 1990 .

STURROCK, R. F. 1995 . Current concept on snail control. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz Rio de Janeiro 90:241-248 .

SUHARDONO . 1997 . Epidemiology and control of fasciolosis by Fasciola gigantica in ongole cattle in West Java . Ph.D . thesis. James Cook University of North Queensland, Australia . SUHARDONO, BACHRI, S. and WAHYUNING, K.S. 1989 .

Usaha pengendalian fascioliasis secara biologis . Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian . 11 : 6.

TONGSON, M . S. 1978 . A national fascioliasis control program for the Philippines (A professorial lecture) . The annual convention of the Veterinary Practitioners Association of the Philippines, 22-23 June. pp. 106-117 .

VAN BENTHEM JUTTING, W. S . S. 1956 . Systemati c studies on the non-marine mollusca of the Indo-Australian archipelago . V. Critical revision of the Javanese fresh water gastropods. Treubia 23: 454-461 .

(7)

WILSON, R. A., SMITH, G.

and

THOMAS, M. R.

1982.

Fascioliasis. In: The population dynamic of

infectious diseases: Theory and applications

pp262-319 (Edited by

R M

Anderrson) Chapman

and Hall, London, New York.

WARTAZOA Vol. 7 No. 1 Th. 1998

WRIGHT,

C. A. 1968. Some views on biological

control of trematode diseases.

Transaction of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene

62: 32-324.

Gambar

Gambar 1 . Angka prevalensi infeksi larva Fasciola gigantica pada siput Lymnaea rubiginosa dari berbagai habitat
Tabel 1 . Tingkat prevalensi infeksi oleh larvae trematoda pada siput Lymnaea rubiginosa pada kedua kelompok

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan kebutuhan itu, 1 massa dapat diterapkan dalam desain, namun karena kendala lahan terhadap lahan gambut, massa diris dan dibagi bagi menjadi 4 unit massa

Pengontrol lain dapat diparameterisasi dengan tujuan untuk memperlihatkan bahwa pengontrol dapat dibentuk dari berbagai macam parameter dan dapat digunakan untuk

Tuliskan materi yang telah Ananda pelajari dan materi yang baru Ananda pelajari tentang Struktur Penyusun Tubuh Makhluk Hidup pada kolom-kolom berikut.. Yang sudah saya pelajari

Jaringan granulasi pada dasar ulkus merupakan komponen jaringan ikat yang terdiri dari fibroblas, makrofag, dan sel endotel yang berproliferasi membentuk pembuluh darah

Tabel : 4.3.7 Banyaknya Perkara Yang Diputus Oleh Pengadilan Negeri Denpasar Dirinci Menurut Golongan Kejahatan Tahun

Pengolahan data alumni di SMA Negeri 1 Subang belum mendapat perhatian yang lebih dari pihak sekolah, sehingga penyimpanan datanya masih dalam bentuk kumpulan berkas-berkas

5. Bahwa dalil Para Pemohon tentang kesalahan perhitungan yang telah dilakukan Termohon dalam Rekapitulasi Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten