Aula Pascasarana Universitas Udayana, Lt 3 Gedung Pascasarjana, Unud 3 November 2016
PROGRAM MAGISTER ARSITEKTUR, UNIVERSITAS UDAYANA
S U S U N A N A C A R A
NO. WAKTU (Wita) ACARA DIKOORDINIR OLEH RUANGAN
1. 08.30-09.00 Registrasi Front Desk Pascasarjana Hall Aula 2.
09.00-09.10 Laporan Penyelenggaraan Gusti Ayu Made Suartika, ST.,
MEngSc.,PhD Aula Pascasarjana 3. 09.10-09.20 Sambutan dan Pembukaan oleh Bapak Rektor, Unud. Direktur Program Pascasarjana
Univ. Udayana
4. 09.20-09.50 Coffee Break Panitia Pascasarjana Hall Aula
Sesi Pembicara Kunci
5
09:50
-10:00 Moderator
Moderator Prof. Dr. Ir. I Putu
Rumawan Salain, MSi
Aula Pascasarjana 10:00
-11:00 1. Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, MArch., PhD 11:00 -
12-00 2. Ir. I Nyoman Popo Danes Priyatna 12:00-
12-20 Diskusi
12:25-12:30 Penyerahan cindera mata
Ketua PS Magister
Arsitektur Aula Pascasarjana 6 12-30-13:30 Makan siang Panitia Pascasarjana Hall Aula
7 13:30 -15:00 Pararel Sesi 1 Pararel 1 Moderator RKG 01 Pararel 2 Moderator RKG 02 Pararel 3 Moderator RKG 03
Penyerahan sertifikat Moderator Di setiap ruangan 8 15:00-15:30 Coffee Break Panitia Pascasarjana Hall Aula
9 15:30 -17:00 Pararel Sesi 2 Pararel 1 Moderator RKG 01 Pararel 2 Moderator RKG 02 Pararel 3 Moderator RKG 03 Pararel 4 Moderator RKG 04 Pararel 5 Moderator RKG 05
Penyerahan sertifikat Moderator Di setiap ruangan 10 17:00
-17:10 Penutupan Ayu Siwalatri, MT Dr. Ir. Ni Ketut Aula Pascasarjana
Aula Pascasarana Universitas Udayana, Lt 3 Gedung Pascasarjana, Unud 3 November 2016
PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTUR, UNIVERSITAS UDAYANA
D I S K U S I P A R A L E L 1
Ruang: RKG 01
Waktu Pemakalah Judul Makalah Moderator
13:30-14:55
Kadek Edi Saputra Implementasi Tata Aturan Tradisional dalam Tata Ruang Publik Pesisir Pantai Sanur
Ni Made Swanendri Luh Ketut Yulitrisna
Dewi Karakteristik Desa Adat Tradisional Sidatapa sebagai Desa Bali Aga di Bali Utara
I Made Raditya
Wahyu Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Tenganan
Vinsensius R. Edo Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Arsitektur Lokal di Kawasan Budaya Kotabaru
I Nyoman Jatiguna Karakteristik Permukiman Tradisional Penglipuran, Bangli
14:55-15:00 Penyerahan Sertifikat oleh Moderator
15:00-15:30 C O F F E E B R E A K
15:30-16:55
Ni Putu Atik
Pradnya Dewi Transformasi Bentuk Fasad dan Pola Arsitektur Tradisional Bali
N Keddy Setiada Sayu Putu Peny
Purnama Permukiman Tradisional Desa Pengotan Bangli
I Made Juniastra Implementasi Nilai-Nilai Arsitektur Arsitektur Tradisional Bali pada Bangunan di Lahan Sempit
Gordon Ardinata Tatanan Spasial Permukiman Tradisional Desa Bali Aga, Timbrah
Sri Indah Retno
Kusumawati Penyesuaian Fungsi Ruang pada Bangunan Domestik di Desa Penglipuran, Bangli
16:55-17:00 Penyerahan Sertifikat oleh Moderator
F O R U M A R S I T E K T U R
Seminar Nasional
TRADISI DALAM PERUBAHAN: ARSITEKTUR LOKAL DAN RANCANGAN LINGKUNGAN TERBANGUN Aula Pascasarana Universitas Udayana, Lt 3 Gedung Pascasarjana, Unud
3 November 2016
PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTUR, UNIVERSITAS UDAYANA
D I S K U S I P A R A L E L 2
Ruang: RKG 02
Waktu Pemakalah Judul Makalah Moderator
13:30-14:55
Putu Ayu Niasitha
Prabandhari Kawasan Suci Pura Khayangan Tiga Sebagai Bentuk Pelestarian Arsitektur Tradisional Bali di Desa Adat Kesiman
I Made Adhika Ni Nyoman Ratna
Diantari Eksistensi Permukiman Tradisional (Bali) di Kelurahan Ubud
Dwi Meisa Putri Transformasi Rancang Bangun Tradisional Bali (Jineng) dalam Fisik Bangunan Fungsi
Pariwisata (Hotel) di Badung
Made Chryselia
Dwiantari Karakteristik Permukiman Tradisional Bali: Desa Julah, Buleleng
Putu Pradnya Lestari Ratmayanti
Eksistensi Permukiman Tradisional di Desa Bugbug Karangasem terhadap
Perkembangan Pembangunan Masa Kini
14:55-15:00 Penyerahan Sertifikat oleh Moderator
15:00-15:30 C O F F E E B R E A K
15:30-16:55
A A Gede Trisna Gamana
Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Adat Trunyan, Kintamani, Bangli
I B G Primayatna Dona Sri Lestari
Poskiparta
Arsitektur Lingkungan Binaan pada Permukiman Tradisional (Studi Kasus: Desa Tenganan, Bali)
Ni Luh Jaya
Anggreni Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Bungaya
Sylvia Agustine Maharani
Komodifikasi Arsitektur Lokal pada Perkembangan Akomodasi Wisatawan di Pulau Bali
Ni Putu Helsi
Pratiwiningsih Karakteristik Desa Bali Aga: Desa Tengkudak, Kabupaten Tabanan
16:55-17:00 Diskusi dan Penyerahan Sertifikat oleh Moderator 17:00-17:10 P E N U T U P A N
Aula Pascasarana Universitas Udayana, Lt 3 Gedung Pascasarjana, Unud 3 November 2016
PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTUR, UNIVERSITAS UDAYANA
D I S K U S I P A R A L E L 3
Ruang: RKG 03
Waktu Pemakalah Judul Makalah Moderator
13:30-14:55
Muhammad Zakaria
Umar Koeksistensi Makna Simbolik Rumah Tradisional Buton (Rumah Kaum Walaka) dan Bangunan Kantor DPRD di Kota Baubau
Ni Ketut Agusintadewi
Himasari Hanan Bale: Objek Pembentuk Ruang yang
Berkelanjutan pada Arsitektur Bali Aga
Antonius Karel
Muktiwibowo Kunci Keberlangsungan Arsitektur Lokal
Amos Setiadi Desa Wisata Brayut dalam Konteks
Pertemuan Aspek Tradisional dan Mordern
Anak Agung Gde
Djaja Bharuna S. Struktur Konstruksi Bangunan Tradisional di Desa Pengotan, Bangli:Pelestarian Arsitektur Bali Aga
14:55-15:00 Diskusi dan Penyerahan Sertifikat oleh Moderator 15:00-15:30 C O F F E E B R E A K
15:30-16:55
Ni Made Yudantini Karakteristik Arsitektur Pertamanan (Lanskap) Bali: Potensi dan Tantangan
dalam Perkembangan Arsitektur
I G A B Suryadha Syamsul Alam
Paturusi Membongkar Stagnansi Perkembangan Arsitektur Bali
Ni Ketut
Agusintadewi Memaknai Kembali Kearifan Lokal dalam Rajutan Arsitektur Nusantara
Ni Made Emmi Nutrisia Dewi, Freddy Hendrawan
Kajian Semiotika Ornamen dan Dekorasi Interior Kelenteng sebagai Wujud Inkulturasi Budaya di Kota Denpasar
Ni Luh Putu Eka
F O R U M A R S I T E K T U R
Seminar Nasional
TRADISI DALAM PERUBAHAN: ARSITEKTUR LOKAL DAN RANCANGAN LINGKUNGAN TERBANGUN Aula Pascasarana Universitas Udayana, Lt 3 Gedung Pascasarjana, Unud
3 November 2016
PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTUR, UNIVERSITAS UDAYANA
D I S K U S I P A R A L E L 4
Ruang: RKG 04
Waktu Pemakalah Judul Makalah Moderator
13:30-14:55
Ni Ketut Ayu
Siwalatri Tektonika Arsitektur Bali
I B G Wirawibawa I Nyoman Widya
Paramadhyaksa
Perubahan Orientasi dan Metode Penamaan Ruang dalam Rumah Tinggal Orang Bali di Denpasar
Anak Agung Ayu
Oka Saraswati Arsitektur Umah Bali Aga di Desa Wongaya Gede, Kabupaten Tabanan-Bali
Putu Rumawan
Salain Arsitektur di Bali Antara Norma dengan Fakta
Fabiola T A Kerong Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten
Ende
14:55-15:00 Penyerahan Sertifikat oleh Moderator
15:00-15:30 C O F F E E B R E A K
15:30-16:35
I Ketut Mudra, I Wayan Yuda Manik
Kajian Dinamika Ekonomi, Politik, dan Sosial Budaya: Penghilangan Karakteristik Lokal Arsitektur Kota di Bali
I Gde Windu Laskara I Nyoman Widya
Paramadhyaksa, I Gusti Agung Bagus Suryada, Ida Ayu Armeli
Reinterpretasi Latar Belakang Filosofis Konsepsi Desa Kala Patra dan Wujud Penerapannya dalam Seni Arsitektur Bali
I Nyoman Susanta Arsitektur Bale Banjar dan Perannya di
Desa Pakraman Perasi, Karangasem
Ni Putu Suda Nurjani
Transformasi Arsitektur Bale Delod Banjar Gamongan, Desa Kaba-Kaba,Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali
Widiastuti Adaptasi Bentuk dan Pola Bangunan Tradisional terhadap Fungsi Modern di Desa Tradisional Penglipuran
16:35-17:00 Diskusi dan Penyerahan Sertifikat oleh Moderator 17:00-17:10 P E N U T U P A N
Aula Pascasarana Universitas Udayana, Lt 3 Gedung Pascasarjana, Unud 3 November 2016
PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTUR, UNIVERSITAS UDAYANA
D I S K U S I P A R A L E L 5
Ruang: RKG 05
Waktu Pemakalah Judul Makalah Moderator
13:30-15:10
Nimas Sekarlangit Transformasi Rumah Adat Bali Aga Kasus: Desa Adat Bayung Gede, Desa Adat Penglipuran, Desa Adat Tenganan
I Wayan Wiryawan Basauli Umar Lubis Transformasi Arsitektur Tradisional
dalam Perancangan Bandar Udara
Tri Anggraini Prajnawrdhi
Perubahan Wujud dan Fungsi Ruang pada Rumah Tinggal Tradisional Desa Bali Aga Studi Kasus: Desa Pedawa, Buleleng-Bali
I Gusti Agung Adi Wiraguna
Optimalisasi Fungsi Ruang Terbuka Hijau sebagai “Natah” dalam Setting Aktivitas dan Interaksi Sosial Masyarakat
Perkotaan di Kota Denpasar
I Dewa Gede Agung
Diasana Putra Dialog pada Arsitektur Bali: Sarana Komunikasi Identitas Lokal
15:10-15:15 Penyerahan Sertifikat oleh Moderator
15:00-15:30 C O F F E E B R E A K
15:30-16:55
16:55-17:00 Penyerahan Sertifikat oleh Moderator
E d i t o r
Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEng.Sc., Ph.D Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., Ph.D
Ni Made Swanendri, ST., MT.
Desain halaman sampul
iv
KATA PENGANTAR
Publikasi ini merupakan salah satu wujud dokumentasi yang dihasilkan dari pelaksanaan Seminar Nasional yang mengambil tema Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Ranganan Lingkungan Terbangun. Proseding ini mendokumentasikan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi di dalam kegiatan ini, yang diselenggarakan oleh Program Magister Arsitektur: Program Keahlian Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa/Kota dan Program Keahlian Manajemen Konservasi, di Aula Pascasarjana, Lt III Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari Kemis, tanggal 2 November 2016.
Seminar ini dihadiri oleh para akademik; arsitek profesional - anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan para arsitek rancang bangun, para perancang kota maupun perencana; pemerintah - Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), Tata Ruang; Team Tata Aturan Bangunan dan Gedung, Perijinan; serta masyarakat pemakai hasil desain. Sedangan para pemakalah berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan elemen-elemen arsitektural lokal dan tradisi dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan masa datang. Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci maupun sesi pararel untuk para pemakalah.
Partisipan dan presenter berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan elemen-elemen arsitektural lokal dan tradisi dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan masa yang akan datang. Besar harapan kami, jika Seminar Nasional ini bisa menjadi ajang diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, ide terkait tradisi, perubahannya, adaptasinya serta akomodasinya dalam rancangan keruangan mikro maupun makro. Semoga kegiatan ini bisa dijadikan bagian aktivitas rutin di Program Magister Arsitektur Universitas Udayana, yang secara berkelanjutan bisa dijadwal serta didukung penyelenggaraannya, tidak hanya oleh kami sebagai civitas akademika, tetapi juga oleh asosiasi profesi, pemerintah, dan masyarakat tentunya.
Kami sangat bersyukur karena penyelenggaraan Seminar ini merupakan sebuah kolaborasi antara Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana, Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali, Program Studi Arsitektur Universitas Udayana, Program Studi Arsitektur Universitas Warmadewa, Program Studi Universitas Dwijendra, dan Program Studi Arsitektur Universitas Ngurah Rai. Terima kasih kami ucapkan kepada keempat lembaga untuk kerjasma serta kordinasinya selama ini.
Kepada Bapak Profesor Gunawan Tjahjono serta Bapak Ir Popo Danes - sebagai pembicara kunci dalam Seminar ini -, kami ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi melalui pertemuan akademik ini. Kepada Ibu dan Bapak Pemakalah dan Peserta Seminar, kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya, kepada ibu dan bapak panitia pelaksana seminar dan juga para moderator, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk, waktu dan energi yang direfleksikan melalui kerja keras dan kerjasamanya, sehingga Seminar tahun ini bisa terlaksana dengan baik.
Sebagai penutup, mohon maaf dan permaklumannya jika ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyelenggaraan Seminar ini.
Terima kasih
vi
R I N G K A S A N
"Forum Arsitektur - Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Desain Lingkungan Terbangun" diselenggarakan untuk merumuskan ide serta pemikiran kritis terkait akomodasi elemen-elemen arsitektur tradisional ke dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan yang akan datang. Beberapa pertanyaan mendasar yang akan didiskusikan disini adalah: (1) Manakah yang disebut sebagai arsitekur tradisional/lokal/vernakular, sebelum kita berbicara mengenai akomodasinya ke dalam desain?; (2) Haruskah kita memperpanjang keberadaan arsitektur tradisional, ketika lingkungan dimana kita berada telah mengalami perubahan, baik dari segi fisik, sosial-budaya, dan politikal-ekonominya?; (3) Apakah ide pelestarian arsitektur tradisional/lokal hanya dimaksudkan sebagai usaha pembangunan identitas dan image, dua kualitas yang lambat laun menghilang bersama era globalisasi?; (4) Apakah usaha untuk mengakomodasi elemen-elemen desain lokal merupakan tindakan yang melalaikan esensi arsitektur sebagai ranah profesi yang diwarnai kreativitas, tumbuh serta berkembang mengkuti budaya, peradaban dan pembangunan sosial yang ada; dan (5) Dalam mekanisme yang bagaimana wujud serta tata nilai budaya lokal bisa direfleksikan ke dalam rancangan lingkungan terbangun kita?
Pencarian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini membawa makna penting, khususnya bagi satuan kedaerahan yang menjadikan pelestarian budaya lokal sebagai jiwa dan arah pembangunannya, seprti misalnya apa yang terjadi di Pulau Bali. Dengan mengambil konteks perkembangan dunia rancang bangun yang telah terjadi di Provinsi ini, pelaksanaan Forum Arsitektur ini diinspirasi oleh munculnya beragam produk rancangan, yang tidak berjalan beriringan dengan nafas pelestarian budaya lokal. Kondisi ini mengundang perhatian serius, khususnya bagi para akademisi maupun budayawan, mengingat telah dicanangkannya arah pembangunan Pulau Dewata sebagai proses yang mengusung kaidah-kaidah tradisi lokal. Dunia rancang bangun sebagai elemen penentu kualitas lingkungan binaan, dimana kita bernaung, memiliki andil penting dalam pencapaian misi tersebut. Peran ini bukanlah posisi yang mudah untuk dilakoni, baik oleh pihak yang menggeluti profesi perancang, maupun bagi pemerintah yang mengemban fungsi kontrol dan pengendalian. Ini merupakan sebuah tantangan yang mana jika dilakoni dengan sesungguhnya akan membutuhkan niat untuk mengembannya, kemampuan interprestasi serta kreativitas.
Forum Arsitektur - Seminar Nasional ini mencoba menjembatani proses pencarian jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang telah dipaparkan di atas. Adapun sub tema yang diangkat dalam Forum Arsitektur - Seminar ini adalah:
Mempertanyakan arsitektur tradisional, lokal, dan vernakular.
Rancang bangun, karya arsitektur, dan perjalanannya.
Arsitektur tradisional dan rancangan lingkungan terbangun.
Mekanisme serta alternatif metode dalam mengakomodasi arsitektur tradisional ke dalam desain lingkungan binaan.
Mekanisme pengaturan serta pengendalian - akomodasi arsitektur tradisional dalam desain kekinian dan masa depan.
viii
ISBN: 978-602-294-145-3
Kegiatan ini tidak hanya merangkum ide-ide yang didokumentasikan ke dalam karya tulis (seminar), tetapi juga dengan mencoba memperoleh masukan melalui diskusi interkatif. Keduanya melibatkan para akademisi sebagai pemerhati, perancang profesional, pemerintah sebagai pengontrol dan pengendali pembangunan, serta masyarakat sebagai pemakai hasil rancangan. Diharapkan, dengan mensinergikan kedua kegiatan ini ke dalam satu forum, akan diperoleh masukan yang inklusif, bagaimana kita memahami arsitektur sebagai produk budaya yang memiliki dinamikanya sendiri, bersanding dengan keinginan untuk melestarikan tradisi rancang bangun, yang memiliki tatanan wujud fisik serta tatanan tata nilai yang memandu keberadaannya.
Terima kasih
DAFTAR ISI
Halaman muka ………..…………. i Editor ………..………. iii Kata Pengantar ……….………. v Ringkasan ……….…….. vii Daftar Isi ………. ix Daftar PemakalahSub Tema 1. Konsepsi: Arsitektur Tradisional, Lokal,
dan Vernakular
Kajian Semiotika Ornamen dan Dekorasi Interior Kelenteng sebagai Wujud Inkulturasi Budaya di Kota Denpasar ………...……… 1Ni Made Emmi Nutrisia Dewi, Freddy Hendrawan Dialog pada Arsitektur Bali: Sarana Komunikasi Identitas Lokal ………...………… 15
I Dewa Gede Agung Diasana Putra Membongkar Stagnansi Perkembangan Arsitektur Bali ………... 25
Syamsul Alam Paturusi Arsitektur di Bali Antara Norma dengan Fakta ...………...……… 33
Putu Rumawan Salain Reinterpretasi Latar Belakang Filosofis Konsepsi Desa Kala Patra dan Wujud Penerapannya dalam Seni Arsitektur Bali ...………...……… 41
I Nyoman Widya Paramadhyaksa, I Gusti Agung Bagus Suryada, Ida Ayu Armeli
Sub Tema 2. Transformasi Rancang Bangun Tradisional
dan Karya Arsitektur
Transformasi Rumah Adat Bali Aga Kasus: Desa Adat Bayung Gede, Desa Adat Penglipuran, Desa Adat Tenganan ……….. 51Nimas Sekarlangit Transformasi Arsitektur Tradisional dalam Perancangan Bandar Udara ………... 61
Basauli Umar Lubis Bale: Objek Pembentuk Ruang yang Berkelanjutan pada Arsitektur Bali Aga ……… 67
Himasari Hanan Transformasi Bentuk Fasad dan Pola Arsitektur Tradisional Bali ……… 81
x
ISBN: 978-602-294-145-3
Penyesuaian Fungsi Ruang pada Bangunan Domestik di Desa Penglipuran, Bangli ………… 91
Sri Indah Retno Kusumawati
Struktur Konstruksi Bangunan Tradisional di Desa Pengotan, Bangli:
Pelestarian Arsitektur Bali Aga ……… 105
Anak Agung Gde Djaja Bharuna S.
Transformasi Rancang Bangun Tradisional Bali (Jineng) dalam
Fisik Bangunan Fungsi Pariwisata (Hotel) di Badung ………...………. 117
Dwi Meisa Putri
Transformasi Arsitektur Bale Delod Banjar Gamongan, Desa Kaba-Kaba,
Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali ………...……...………. 125
Ni Putu Suda Nurjani
Perubahan Wujud dan Fungsi Ruang pada Rumah Tinggal Tradisional Desa Bali Aga
Studi Kasus: Desa Pedawa, Buleleng-Bali ………..………...…………...………. 137
Tri Anggraini Prajnawrdhi
Adaptasi Bentuk dan Pola Bangunan Tradisional terhadap Fungsi Modern
di Desa Tradisional Penglipuran ………...………...…………...………. 153
Widiastuti
Perubahan Setting Hunian Tradisional di Desa Tengkudak, Tabanan-Bali ………. 167
Ni Luh Putu Eka Pebriyanti
Perubahan Orientasi dan Metode Penamaan Ruang dalam Rumah Tinggal Orang Bali
di Denpasar ………...………...…………...………. 179
I Nyoman Widya Paramadhyaksa
Arsitektur Bale Banjar dan Perannya di Desa Pakraman Perasi, Karangasem ……...………….. 189
I Nyoman Susanta
Sub Tema 3. Strategi dan Metode dalam Mengakomodasi Arsitektur
Tradisional ke dalam Desain Lingkungan Binaan
Koeksistensi Makna Simbolik Rumah Tradisional Buton (Rumah Kaum Walaka)
dan Bangunan Kantor DPRD di Kota Baubau ………... 203
Muhammad Zakaria Umar
Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende …… 213
Fabiola T A Kerong
Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Bungaya …...…... 227
Ni Luh Jaya Anggreni
Karakteristik Permukiman Tradisional Bali: Desa Julah, Buleleng …... 241
Made Chryselia Dwiantari
Permukiman Tradisional Desa Pengotan Bangli …... 249
Sayu Putu Peny Purnama
Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Adat Trunyan, Kintamani, Bangli …... 255
Ni Putu Helsi Pratiwiningsih
Eksistensi Permukiman Tradisional di Desa Bugbug Karangasem
terhadap Perkembangan Pembangunan Masa Kini …... 275
Putu Pradnya Lestari Ratmayanti
Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Tenganan …... 283
I Made Raditya Wahyu
Tatanan Spasial Permukiman Tradisional Desa Bali Aga, Timbrah …... 291
Gordon Ardinata
Kawasan Suci Pura Khayangan Tiga Sebagai Bentuk Pelestarian Arsitektur
Tradisional Bali di Desa Adat Kesiman …... 305
Putu Ayu Niasitha Prabandhari
Karakteristik Permukiman Tradisional Penglipuran, Bangli …... 317
I Nyoman Jatiguna
Arsitektur Lingkungan Binaan pada Permukiman Tradisional
(Studi Kasus: Desa Tenganan, Bali) …... 325
Dona Sri Lestari Poskiparta
Karakteristik Desa Adat Tradisional Sidatapa sebagai Desa Bali Aga di Bali Utara …... 339
Luh Ketut Yulitrisna Dewi
Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Arsitektur Lokal di
Kawasan Budaya Kotabaru …... 345
Vinsensius R. Edo
Eksistensi Permukiman Tradisional (Bali) di Kelurahan Ubud ... 355
Ni Nyoman Ratna Diantari
Arsitektur Umah Bali Aga di Desa Wongaya Gede, Kabupaten Tabanan-Bali …... 365
Anak Agung Ayu Oka Saraswati
Implementasi Nilai-Nilai Arsitektur Arsitektur Tradisional Bali
pada Bangunan di Lahan Sempit ……...…………... 375
I Made Juniastra
Tektonika Arsitektur Bali …... 383
Ni Ketut Ayu Siwalatri
Karakteristik Arsitektur Pertamanan (Lanskap) Bali: Potensi dan Tantangan
dalam Perkembangan Arsitektur …... 395
xii
ISBN: 978-602-294-145-3
Sub Tema 4. Mekanisme Pengaturan serta Pengendalian Akomodasi
Arsitektur Tradisional dalam Desain Kekinian
dan Masa Depan
Desa Wisata Brayut dalam Konteks Pertemuan Aspek Tradisional dan Mordern ……....…… 407
Amos Setiadi
Optimalisasi Fungsi Ruang Terbuka Hijau sebagai “Natah” dalam Setting Aktivitas
dan Interaksi Sosial Masyarakat Perkotaan di Kota Denpasar ………...…… 419
I Gusti Agung Adi Wiraguna
Komodifikasi Arsitektur Lokal pada Perkembangan Akomodasi Wisatawan
di Pulau Bali ………... 427
Sylvia Agustine Maharani
Kajian Dinamika Ekonomi, Politik, dan Sosial Budaya:
Penghilangan Karakteristik Lokal Arsitektur Kota di Bali ………...…… 437
I Ketut Mudra, I Wayan Yuda Manik
Kunci Keberlangsungan Arsitektur Lokal ………...…... 447
Antonius Karel Muktiwibowo
Implementasi Tata Aturan Tradisional dalam Tata Ruang Publik Pesisir Pantai Sanur …… 455
Kadek Edi Saputra
Memaknai Kembali Kearifan Lokal dalam Konteks Kekinian ...……...……….………. 461
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
461
MEMAKNAI KEMBALI KEARIFAN LOKAL
DALAM KONTEKS KEKINIAN
Ni Ketut Agusintadewi
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana Email: nkadewi@unud.ac.id
Abstrak
Keanekaragaman budaya di Indonesia merupakan modal sosial untuk membentuk karakter dan identitas budaya dari masing-masing daerah, selain sebagai kekayaan intelektual dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Kearifan lokal merupakan entitas yang menentukan identitas, harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya yang terdiri atas gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam, menjadi tradisi (ajeg) dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Namun dari perspektif lain, ada yang sedikit mengaburkannya. Dalam kehidupan saat ini, manusia telah merasa bahwa dirinya modern, sehingga kebanyakan menganggap tradisi adalah primitif dan tidak perlu dipakai. Akibatnya terdapat rantai yang terputus antara alam–tradisi–artefak fisik. Tulisan ini bertutur tentang bagaimana kearifan lokal mengalami distorsi makna karena perkembangan jaman. Kearifan lokal perlu dimaknai kembali dengan menerapkannya dalam kehidupan modern. Keberadaannya masih perlu dipertahankan dengan memaksimalkan peran arsitek dalam merancang gubahan massa dan lingkungannya agar tidak kehilangan identitas setempat.
Kata kunci: kearifan lokal; makna; tradisi dan identitas.
Pendahuluan
Wilayah Indonesia yang luas terdiri dari berbagai budaya etnis barat, tengah , dan bagian timur daerah. Kebudayaan daerah yang dibentuk oleh etnis di kepulauan Indonesia memiliki karakteristik, bahasa, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang unik dan berasal dari budaya masyarakat. Proses panjang yang membentuk kebudayaan Indonesia telah menetapkan unsur-unsur budaya untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti agama, bahasa, berbagai bentuk seni, norma, pengetahuan, ekonomi, alat-alat dan budaya bermukim (Meliono, 2011). Dalam bidang arsitektur, kebudayaan ini menghasilkan artefak berupa bermacam ragam bangunan dengan kefungsiannya masing-masing seperti rumah, pendopo, tempat sembahyang, lumbung, dan lain-lain.
Dengan semakin pesatnya perkembangan arsitektur dunia, identitas arsitektur Indonesia (nusantara/tradisional/vernakular) telah meluntur digerus oleh arsitektur dari Eropa dan Amerika. Identitas berarti kesamaan dan kesatuan yang menunjukkan kekhasan atau keunikan dan menopang secara berkesinambungan (Abel, 1997). Untuk menempatkan kembali arsitektur Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri adalah dengan menguatkan pengetahuan tentang konteks budaya yang terkandung dalam arsitektur Indonesia itu sendiri. Menguatkan pengetahuan ini tentunya dengan cara mengubah pola pikir (mindset) bahwa arsitektur Eropa dan arsitektur Amerika tidak berada di atas arsitektur Indonesia melainkan sejajar, serta mengubah haluan pendidikan arsitektur di Indonesia yang mengarah ke barat menjadi ke timur (Prijotomo, 2013). Pendalaman akan makna kearifan lokal dalam arsitektur mau tidak mau menjadi intisari dalam pendidikan arsitektur Indonesia. Hal ini disebabkan karena kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi
Tulisan ini bertutur tentang bagaimana kearifan lokal mengalami distorsi makna karena perkembangan jaman. Kearifan lokal perlu dimaknai kembali dengan menerapkannya dalam kehidupan modern. Keberadaannya masih perlu dipertahankan dengan memaksimalkan peran arsitek dalam merancang gubahan massa dan lingkungannya agar tidak kehilangan identitas setempat.
Makna yang Tersurat
Beberapa ahli mendefinisikan konsepsi kearifan lokal dari berbagai sudut pandang. Pengertian ini diperoleh selain diperoleh dari sudut antropologis, kesejarahan maupun khususnya dalam bidang arsitektur (lingkungan binaan). Kebanyakan pengertian tersebut menjadi sebuah ‘definisi’ yang mengalami degenerasi atau penyempitan makna, karena tidak satu-dua yang langsung mencontek referensinya tanpa ada contoh dari image realita kehidupan.
Local wisdom atau kearifan lokal adalah gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam, menjadi tradisi (ajeg) dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Antariksa, 2009; Irsan, 2009; Sartini, 2009). Keanekaragaman budaya di Indonesia merupakan modal sosial untuk membentuk karakter dan identitas budaya dari masing-masing daerah, selain sebagai kekayaan intelektual dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Kearifan lokal merupakan entitas yang menentukan identitas, harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 1992). Hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan, tata kelola, serta tata cara dan prosedur merupakan contoh bentuk kearifan lokal. Di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat anjuran, larangan maupun persyaratan-persyaratan adat yang ditetapkan sesuai peruntukannya dalam kehidupan masyarakat setempat. Jadi makna kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat modern adalah sebagai motivasi kebaikan dari perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai luhur yang ada dan pantas menjadi pegangan hidup. Selain itu sebagai ketahanan budaya, kearifan lokal menjadi bagian penting dalam menghadirkan identitas daerah itu sendiri (Antariksa, 2009).
Wujud dari kearifan lokal ada dua macam, yaitu:
1. Tangible (Berwujud Fisik), seperti kearifan lokal yang tertuang ke dalam bentuk tulisan yang dapat ditemukan seperti pada Primbon dan Praksi. Sebagai contoh dari Primbon adalah naskah Serat Chentini. Naskah karangan pujangga Sinuwun PB V (1820-1823) yang hidup di zaman Surakarta awal abad ke-18 merupakan akumulasi catatan kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat Jawa pada masa itu dan sebelumnya. Naskah tersebut memuat berbagai persoalan pada masa itu, mulai dari sejarah, pendidikan, kesenia, arsitektur, hingga adat dan tata cara dalam budaya Jawa.
Arsitektur vernakular merupakan bentuk lain dari kearifan lokal yang tangible yang sangat erat kaitannya dengan konteks lingkungan setempat dan masyarakatnya. Arsitektur ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: ketersediaan material, jenis iklim dan keadaan lingkungan sekitar, tapak dan topografi, kemampuan ekonomi, penguasaan teknologi, kebutuhan hidup sehari-hari, simbolisme dan makna (Setyowati, 2008). Masyarakat tradisional menggunakan pengetahuan yang telah terjadi turun
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
463 temurun untuk membangun bangunan tradisionalnya dan pengetahuan ini mengalami perbaikan (trials and errors) dan perubahan sesuai dengan kondisi alam, simbol, kemajuan teknologi dan lain lain.
Rumah Gadang sebagai salah bentuk dari arsitektur tradisional Minangkabau mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya dalam beradaptasi dengan alam tempat bangunannya berdiri. Ukuran Rumah Gadang mengikuti ukuran ketersediaan tanah datar yang ada. Namun Masyarakat Minangkabau mempunyai ketetapan susunan ruangnya yang terungkap dalam syair adat mereka, yaitu: Rumah Padang sembilan ruang, salanjo
kuda balari, sapa kian budak maimbau, sekuat kubin melayang. Hasil persepsi dari syair ini
membentuk denah Rumah Gadang yang kebanyakan terdapat di Tanah Minang saat ini yaitu beruang sembilan dan berpola grid simetris (Setyowati, 2008).
2. Intangible (Tidak Berwujud), kearifan lokal yang tidak berwujud ini dapat ditemui
seperti dalam petuah-petuah yang disampaikan secara verbal dan turun-temurun dapat berupa nyanyian, kidung yang mengandung ajaran-ajaran tradisional.
Membaca Fenomena
Kearifan lokal juga tergantung dari setiap individu untuk memaknainya, oleh karena itu tercipta beragam arti. Tidak ada kata pasti untuk menjelaskannya karena akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga lebih cocok disebut konsepsi; bukan definisi. Perubahan tersebut sejalan dengan budaya manusia yang selalu berkembang. Dalam proses pemahamannya, perlu kembali kepada kehidupan sehari-hari, yaitu membaca fenomena nyata dengan pengalaman ruang. Sebatas yang diketahui, karena kearifan lokal sebagai unsur dari tradisi budaya masyarakat. Umumnya para ahli meletakkan tradisi sebagai katalisator untuk proses generalisasi arti.
Nusantara yang tercipta dari beragam budaya memiliki kesamaan dalam ranah nilai tradisi. Tradisi merupakan nilai-nilai adat yang sudah mengakar dan diterima oleh masyarakat. Pada permukiman tradisional terdapat sesuatu yang diagungkan yang mana menjadikan agama dan kepercayaan sebagai sentral. Dari segi ini, manusia mencoba memberi identitasnya melalui simbol tertentu pada hunian yang mana sebagai karakter kesetempatan (Antariksa, 2009). Tatanan Tanean Lanjeng di Madura membagi permukiman menjadi zona sakral dan profan. Hunian berawal dari adanya masjid/surau di sebelah barat dan diikuti rumah awal pada bagian utara dan dapur pada bagian selatan. Hunian tumbuh menyamping dengan didirikannya rumah secara linear sejalan dengan jumlah penduduk. Pada bagian tengah sebagai lapangan memanjang (tanean) sebagai zona sosial. Di tempat lain di Dusun Sade, Lombok juga terdapat zonifikasi berdasarkan tingkat kesakralan. Permukiman di Sade tersusun berdasarkan hirarki yang mengarah pada gunung Rinjani, semakin tinggi posisinya, maka semakin tinggi peranan orang tersebut. Orang Sade juga mengkhususkan wanita dengan menempatkan ruang tertentu dalam bale. Sedangkan lelaki hanya diberikan ruang publik di ruang luar ataupun berugak yang berfungsi seperti gazebo untuk kebutuhan sosial (Agusintadewi, 2015). Ternyata dari beberapa daerah tersebut terdapat kesamaan ciri dan disebut sebagai kesetempatan dalam universalitas (Antariksa, 2009).
Masyarakat tradisional merasa bahwa dia merupakan bagian dari alam dan merasa memilikinya (Prijotomo, 2013). Tidak ada bedanya antara tinggal di alam maupun dalam
tampak adalah masyarakat tropis hidup ‘lebih santai’ karena iklim lebih bersahabat. Lain halnya seperti Jepang, negara subtropis yang terkenal pekerja keras. Dari penjelasan ini diketahui dalam aspek tradisionalistik memperhatikan tanda-tanda yang menjunjung potensi alam setempat dan mempengaruhi sikap manusia di dalamnya.
Selanjutnya Prijotomo (2013) menjelaskan contoh lain berupa tacit knowledge yang berarti aturan ini sebagai pengetahuan tidak tertulis tetapi dijunjung tinggi. Proses memahami alam akan berhasil apabila terjadi resonansi antara masyarakat manusia dan alam. Sebagai contoh dalam permukiman Madura (tanean lanjang) dan permukiman Sade terdapat batas permukiman berupa bambu atau alang-alang. Bahan yang banyak ditemukan ini juga dipakai sebagai bahan rumah mereka seperti atap di Sade menggunakan alang-alang. Contoh lain adalah petani ataupun nelayan tradisional, mereka tahu kapan dimulai suatu pekerjaan melalui tanda-tanda alam seperti munculnya rasi bintang, hujan, arah angin, dan sebagainya. Tradisi Jawa juga mengajarkan hal yang baik seperti primbon daur hidup (kelahiran, pernikahan, kematian) selain itu juga arah hadap dan prosesi upacara membangun rumah. Antariksa (2009) menegaskan bahwa manusia yang merasa modern cukup mengutamakan pemikiran logis dan mengesampingkan detail tradisi, padahal memberikan tuntunan hidup. Pengetahuan seperti ini tidak pernah ada di kalangan akademisi karena langsung dari alam, berkaitan dengan metafisik dan fenomenologi; yang berarti upaya penggalian lapis demi lapis agar diketahui makna yang terkandung. Nilai tacit knowledge ini memberikan pesan bahwa adanya timbal balik terhadap detail tradisi dan alam untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Handinoto (2006) memberikan perspektif lain mengenai kemunculan bangunan-bangunan kolonial di Nusantara. Daendels (±1800an), dengan diterapkannya langgam Empire Stijl dari Perancis yang diadaptasikan di daerah Hindia-Belanda maka tercipta langgam Indische Empire Stijl yang kurang menghargai alam, ditunjukkan dengan adanya luas lahan yang diperlukan untuk membuat sebuah rumah, tanpa teritisan, penggunaan kolom yang besar (doric, ionic, dan corintian), lantai satu yang masuk ke dalam tanah menyebabkan kelembaban tinggi. Nilai individualitas tersebut kontras terhadap proses pemahaman terhadap alam justru mengubah cara pandang orang pribumi dan campuran terhadap nilai dari luar, dengan menganggapnya sebagai karya yang agung sebagai wujud kebesaran kekuasaan kolonial, dan langgam tersebut dijadikan sebagai acuan langgam sampai seratus tahun ke depan, bahkan sampai merasuki rumah rakyat. Indische Empire Stijl merupakan salah satu langgam awal sebelum bertransformasi menjadi langgam yang lain seperti NA, Romantiek, Voor dan 1915an. Oleh beberapa ahli dalam arsitektur, karya arsitektur kolonial tetap sebagai wujud local wisdom, salah satu faktornya adalah akulturasi budaya sehingga bangunan tersebut tidak ada di Belanda ataupun Indonesia asli. Keunikan kulturnya memberikan nilai bahwa tidak ada di tempat lain dan mewakili masa tertentu dari sisi diakronik. Adapun nilai yang dipetik dari perspektif ini adalah kegagalan sekaligus menumbuhkan kreatifitas baru dalam menghargai alam dan arsitektur.
Kontribusi dalam bidang arsitektur dalam metode visual skill atau imaging (melihat-bacakan dari fenomena nyata) ini adalah mampu membangun budaya arsitektur di tanah air supaya lebih peduli dan adil terhadap masyarakat manusia dan alam. Konsepsi sementara kearifan lokal adalah proses menemu-kenali potensi dan sifat-sifat alam untuk keberlanjutan tradisi
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
465 manusia khususnya dalam berarsitektur. Melalui dengan pendekatan antropologis, ‘membaca
fenomena’lah sebagai alat pengungkap kearifan lokal.
Masih Perlukah?
Dalam perkembangan peradaban manusia yang dinamis dari waktu ke waktu, konsepsi kearifan lokal pun mulai terkaburkan dari kondisi ideal untuk harapan kehidupan yang lebih baik. Pada konteks kekinian, modernitas menyebabkan sebagian besar manusia beranggapan tradisi itu sesuatu yang usang, kurang penting, dan tidak perlu dirujuk lagi. Anggapan ini menyebabkan terputusnya mata rantai antara alam – tradisi – artefak fisik. Kearifan lokal mengalami distorsi makna.
Tambahan lagi, pendekatan ekonomi (materi) menyebabkan manusia semakin rasional dan berpikir praktis. Rumah sebagai salah satu karya arsitektur dirancang sesuai kebutuhan (fungsional dan efektif) dengan modal yang rendah, tetapi dapat menghasilkan manfaat yang maksimal, termasuk kepuasan pemilik ataupun penggunanya. Bahkan pada rancangan-rancangan rumah modern, tidak menyediakan fungsi sosial untuk berinteraksi dengan tetangga dan lingkungan sekitarnya. Kondisi ini semakin mengaburkan nilai kosmologis dari suatu tradisi yang dapat mengancam hilangnya identitas setempat.
Namun demikian, ada beberapa arsitek mengupayakan untuk memaknai kembali kearifan lokal dengan menerapkannya pada kehidupan modern. Tipologi bentukan lama (tradisional) tidak lagi menjadi rujukan dalam proses perancangan. Eesensi ruang atau detail tradisi yang lain, seperti kebiasaan tertentu menjadi dasar pertimbangan. Misalnya, peletakan ruang dalam rumah Jawa masih dipertahankan. Bagian depan untuk mewadahi fungsi sosial, sedangkan pada bagian belakang lebih bersifat privat dan seterusnya. Gaya boleh mutakhir sesuai selera pemiliknya, tetapi tidak menghilangkan identitasnya. Identitas dapat dipertahankan dengan menggunakan material-material lokal yang lebih menghargai alam, misalnya kayu, bambu, atau bahkan material lawasan.
Catatan Akhir
Sebagai bagian dari tradisi budaya yang sifatnya dinamis, kearifan lokal mengalami perubahan makna dari masa ke masa. Perubahan makna tersebut dapat berupa penyempurnaan, atau bahkan mengalami distorsi. Dalam konteks tersebut, pemaknaan kembali dapat dilakukan oleh setiap individu atau sekelompok komunitas. Pada sebuah proses menemu-kenali potensi dan sifat-sifat alam, salah satu tujuan kearifan lokal adalah untuk menjaga keberlanjutan tradisi manusia dalam berarsitektur, sehingga hubungan timbal balik antara alam-manusia-tradisi. Distorsi makna kearifan lokal terjadi karena adanya anggapan bahwa dalam kehidupan modern, tradisi dikategorikan sebagai sesuatu yang primitif. Dalam konteks ini, seorang arsitek diperlukan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan manusia modern dengan penghargaan kepada alam, sehingga identitas setempat tetap terjaga.
Referensi
Abel, C (1997) Architecture and Identity Singapore, Architectural Press. Adimihardja, Agusintadewi, N K (2015) ‘Tradisi Meruang Masyarakat Tradisional Sasak Sade di Lombok
Tengah’ Proseding Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun, hal. 127-140. 22 Desember 2015, Denpasar: Universitas Udayana.
Geertz, C (1992) Kebudayaan dan Agama Yogyakarta: Kanisius Press.
Handinoto (2006) Daendels dan Perkembangan Arsitektur di Hindia Belanda Abad 19. Jurnal
Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra, Surabaya.
(http://archaeology.blogsome.com, diakses 6 September 2008). Irsan, B V N (2009) Kearifan Lokal untuk Kesejahteraan Rakyat (Online)
http://budayalampung.blogspot.com/2009/04/kearifan-lokal-untuk-kesejahteraan.html
Kusnaka (2008) Dinamika Budaya Lokal Bandung, CV.Indra Prahasta + LBPB.
Meliono, I (2011) ‘Understanding the Nusantara Thought and Local Wisdom as an Aspect of the Indonesian Education’ TAWARIKH, International Journal for Historical Studies, 2(2) 2011.
Pangarsa, G W (2008) Arsitektur untuk Kemanusiaan Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika. Prijotomo, J (2013) Arsitektur Nusantara: Bukan Arsitektur Tradisional Palu: Universitas
Tadulako, Kuliah Tamu Arsitektur Nusantara.
Sartini (2004) Menggali Kearifan Lokal Nusantara sebagai Kajian Filsafati Jurnal Filsafat 37(2): 111-120.
Setyowati, E (2008) Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Arsitektur Tradisional Minangkabau http://ninkarch.files.wordpress.com/2008/11/ars-vern-minangkabau.pdf