• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADHAPER JURNAL HUKUM ACARA PERDATA ISSN Vol. 3, No. 1, Januari Juni 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADHAPER JURNAL HUKUM ACARA PERDATA ISSN Vol. 3, No. 1, Januari Juni 2017"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017

ISSN. 2442-9090

• Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

Sentosa Sembiring

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A

(2)

1. Perlindungan Hukum terhadap Debitor Pailit Individu dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan di Indonesia

Sonyendah Retnaningsih ... 1–16

2. Konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berbasis Pemberdayaan Sebagai Upaya Peningkatan Perlindungan Hukum terhadap Buruh dalam Mencari Keadilan

Kadek Agus Sudiarawan dan Nyoman Satyayudha Dananjaya ... 17–37

3. Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemakai Pangan Segar

Neneng Oktarina ... 39–53

4. Penggabungan Perkara dalam Proses Penyelesaian Ganti Rugi Tumpahan Minyak di Laut Sebagai Upaya Optimalisasi Penerapan Blue Economy

Satrih ... 55–74

5. Penyelesaian Perkara Cerai Gugat oleh Mediator di Pengadilan Agama

Mardalena Hanifah ... 75–89

6. Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

Sentosa Sembiring ... 91–110

7. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri terhadap Gugatan Perceraian yang tidak dapat Diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) dalam Praktik

Rai Mantili, Samantha Aulia Lubis ... 111–134

8. Kewenangan Lembaga Dewan Adat Dayak (DAD) dalam Melindungi Hak Atas Tanah Adat di Provinsi Kalimantan Tengah

Joanita Jalianery ... 135–154

9. Kompetensi Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Basyarnas pada Sengketa Perbankan Syariah Menuju Unifi kasi Hukum

Neni Sri Imaniyati, Neneng Nurhasanah, Panji Adam ... 155–173

Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017 ISSN 2442-9090

DAFTAR ISI

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER

Printed by: Airlangga University Press. (OC 441/02.17/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia. Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com

(3)

v

PENGANTAR REDAKSI

Puji syukur atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, setelah melalui beberapa tahapan, akhirnya Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER Volume 2 Nomor 2 Juli-Desember 2016 dapat diterbitkan. Artikel-artikel yang dimuat dalam edisi ini adalah artikel-artikel yang telah dipresentasikan dalam Konferensi Hukum Acara Perdata II yang diselenggarakan di Surabaya dan Konferensi Hukum Acara Perdata III yang diselenggarakan di Pontianak. Konferensi tersebut diikuti oleh para Dosen Hukum Acara Perdata dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Dalam edisi kali ini sepuluh artikel disajikan di dalam Jurnal ini dengan berbagai topik mengenai penyelesaian sengketa keperdataan yang merupakan pokok kajian Hukum Acara Perdata. Artikel-artikel tersebut merupakan artikel hasil penelitian maupun artikel konseptual yang membahas berbagai model penyelesaian sengketa di bidang keperdataan.

Artikel pertama ditulis oleh Sdri. Isis Ikhwansyah dengan judul “Gugatan Terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai PT. Persero dalam Perkara Perdata”, mengulas BUMN persero sebagai Badan Hukum Publik yang apabila menimbulkan kerugian dalam aktivitas bisnis dapat digugat di pengadilan layaknya PT sebagai badan Hukum dan sebagai subjek hukum privat. Dengan demikian dalam praktik beracara perdata di pengadilan terdapat kejelasan dari BUMN sebagai badan hukum publik untuk digugat karena BUMN sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara yang berasal dari APBN. Kekayaan BUMN persero dengan kekayaan negara merupakan kekayaan yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan ini berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara. UU BUMN yang merupakan aturan hukum khusus dan lebih baru dibandingkan dengan peraturan terkait, maka dapat menggunakan asas

lex specialis derogat legi generali dan lex posteriori derogat legi priori.

Artikel kedua dibawakan oleh Sdr. Ema Rahmawati dan Linda Rachmainy yang berjudul “Penjatuhan Putusan Verstek dalam Praktik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Bandung dalam Kajian Hukum Acara Perdata Positif di Indonesia”. Artikel ini merupakan hasil penelitian penulis yang didanai oleh DIPA BLU Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada Tahun 2013. Artikel ini menggunakan metode penelitian empiris yang mengkaji mengenai ketidakhadiran tergugat dalam persidangan yang diatur di dalam Pasal 125 HIR yang dikenal dengan putusan di luar hadir (verstek). Mengenai kapan dijatuhkannya putusan verstek ini menjadi variatif di dalam praktik. Penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan Agama Bandung umumnya dilakukan dalam perkara perceraian (gugat cerai atau cerai talak). Penjatuhan putusan verstek umumnya dilakukan setelah tergugat dipanggil dua kali untuk

(4)

persidangan hari pertama, tetapi tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 125 juncto Pasal 126 HIR. Pelaksanaan penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan Negeri Bandung mayoritas dilakukan dalam perkara perceraian serta perkara lainnya (perkara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum).

Artikel ketiga, disajikan oleh Sdr. I Putu Rasmadi Arsha Putra yang berjudul “Transplantasi

Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Artikel ini mengulas

tentang akibat globalisasi ekonomi yang mengakibatkan masuknya pranata ekonomi dan hukum asing ke dalam suatu negara yang memiliki sistem hukum yang berbeda, yaitu masuknya lembaga hukum yang hanya ada pada sistem Common Law ke Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law, di mana dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan benturan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan salah satu pranata hukum asing yang diadopsi ke dalam pranata hukum Indonesia, hal ini sejalan dengan tujuan undang-undang Perlindungan Konsumen adalah untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam menuntut hak-hak konsumen, dengan penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK. Sejauh ini BPSK masih terganjal dengan berbagai permasalahan yang melingkupi BPSK, hal ini dikarenakan perbedaan system hukum, maka diperlukan upaya-upaya agar BPSK dapat menjadi lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang cepat, murah dan adil sesuai dengan amanah dari UUPK. Upaya yang biasa dilakukan BPSK adalah melakukan perubahan terhadap substansi peraturan, kelembagaan BPSK, cara penerapan hukum serta mengubah budaya hukum.

Artikel keempat ditulis oleh Sdr. M. Hamidi Masykur berjudul “Lembaga Eksaminasi Pertanahan sebagai Alternatif Model Penyelesaian Sengketa di Bidang Pertanahan”. Artikel ini mengulas tentang Lembaga Eksaminasi Pertanahan yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan konflik pertanahan. Pada tahun 2011 Pemerintah telah memberlakukan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011. Peraturan tersebut mengamanatkan adanya mekanisme kelembagaan Gelar Kasus Pertanahan dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Yang menjadi tantangan adalah mampukah Lembaga Eksaminasi Pertanahan (Peraturan Kepala BPN RI No 12 Tahun 2013) sebagai lembaga penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan (alternatif dispute resolution) mampu menjawab permasalahan konflik pertanahan yang menjadi penyumbang banyaknya perkara di Mahkamah Agung. Kelebihan dari Lembaga Eksaminasi ini adalah dapat menyelesaikan sengketa secara cepat, dan putusannya bersifat

win win solution, mengurangi biaya ligitasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa

terjadi, mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan. Namun kelemahan dari Lembaga Eksaminasi ini adalah kurangnya sosialisasi, belum semua kantor wilayah BPN membentuk tim eksaminasi. Diperlukan Optimalisasi lembaga Eksaminasi

(5)

Pertanahan agar penyelesaian sengketa pertanahan dapat segera diselesaikan tanpa mekanisme peradilan yang tentu memakan waktu yang lama dan tak kunjung selesai.

Artikel kelima disajikan Anita Afriana dan Efa Laela Fakhriah dengan judul “Inklusivitas Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Tanggung Jawab Mutlak: Suatu Tinjauan Terhadap Gugatan Kebakaran Hutan di Indonesia”. Artikel ini menyoroti kasus lingkungan khususnya kebakaran hutan dan mengulas pertimbangan hukum beberapa putusan hakim dalam perkara kebakaran hutan dan pengenaan tanggung jawab mutlak yang dapat dibebankan pada Tergugat. Bahwa penegakan hukum dilakukan hakim melalui putusan sebagai produk pengadilan. Pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu pengecualian sebagaimana yang diatur Pasal 1365 KUHPerdata. Karena berbeda dari pertanggungjawaban perdata dalam KUHPerdata, maka penerapannya bersifat inklusivitas antara lain dalam hal pencemaran lingkungan.

Artikel keenam ditulis Sdri. Galuh Puspaningrum berjudul “Karakteristik Hukum Persaingan Usaha”. Artikel ini membahas tentang kegiatan-kegiatan yang diperkenankan dan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat. Selain itu artikel ini juga mengulas tentang Hukum Acara Persaingan Usaha yang terkandung hukum formil yang bermuara pada hukum acara perdata, meliputi prinsip-prinsip hukum acara perdata, mekanisme penyelesaian dan sifat putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memiliki kekuatan hukum tetap serta pelaksanaan putusan sampai dengan upaya hukum keberatan ke peradilan umum dan apabila pelaku usaha tidak melaksanakan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam hal ini terdapat inkonsistensi dalam hukum acara persaingan usaha sehingga menimbulkan permasalahan dalam pengembangan hukum pada tataran teoritis dan praktisnya.

Artikel ketujuh ditulis oleh Agus Mulya Karsona dan Efa Laela Fakhriah berjudul “Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja di Indonesia”. Artikel ini mengulas tentang keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam tataran implementasinya masih mengalami banyak permasalahan seperti; Gugatan tidak mencantumkan permohonan sita jaminan; Putusan yang memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan kembali pekerja sulit dilaksanakan karena terkait kebijakan dari perusahaan; Terkait kewajiban penggugat dari pihak pekerja yang harus memberikan pembuktian, menurut hakim beban pembuktian khususnya terkait surat-surat sulit dipenuhi oleh pekerja dan menjadi kendala dalam proses gugatannya. Akan tetapi untuk mengatasi hal tersebut hakim di pengadilan lain melakukannya dengan mendatangkan saksi-saksi baik teman saat bekerja atau tetangga; Penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial ada kecenderungan menurun, hal ini disebabkan oleh antara lain : pekerja seringkali kalah

(6)

viii

dalam persidangan; putusan seringkali tidak bisa dieksekusi; pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya (ada saran negatif dari pihak pengacara); kemampuan membuat gugatan dari pekerja; kemampuan membayar pengacara dari para pekerja.

Artikel kedelapan ditulis oleh Sdr. Heri Hartanto yang berjudul “Perlindungan Hak Konsumen Terhadap Pelaku Usaha yang Dinyatakan Pailit”. Artikel ini mengulas mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa Pelaku Usaha berkewajiban untuk mengganti rugi apabila konsumen dirugikan akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang harus segera dibayar dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Apabila Pelaku Usaha yang memberikan barang dan/atau jasa tersebut dipailitkan oleh Pengadilan Niaga atas permohonan kreditor atau debitor itu sendiri. Salah satu kelompok kreditor dalam hal Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga adalah para Konsumennya. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur tersendiri tentang bagaimana penyelesaian sengketa konsumen dengan menempatkan posisi konsumen sebagai pihak yang diberi perlindungan. Namun dengan dipailitkannya Pelaku Usaha, menjadikannya tidak cakap hukum dan kehilangan wewenang untuk mengelola kekayaannya sendiri kemudian beralih kepada kurator. Ketidakmampuan Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit untuk memenuhi hak konsumen menempatkan konsumen di posisi sebagai kreditor konkuren dan tidak memiliki hak untuk didahulukan.

Artikel kesembilan disampaikan oleh Sdr. Moh. Ali yang berjudul “Prinsip Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa pada Kontrak E Commerce Transnasional”. Artikel ini menilai bahwa UUPK, UU ITE, UUP maupun HPI Indonesia belum memberikan jaminan perlindungan yang tegas berkaitan dengan pilihan hukum dalam kontrak e-commerce berskala transnasional sehingga muncul legal gap. Prinsip-prinsip pilihan hukum yang lazimnya didasarkan atas kebebasan berkontrak dan kesepakatan para pihak mengalami pergeseran paradigma terutama didasarkan doktrin negara kesejahteraan di mana ruang publik perlu mendapatkan perlindungan. Dalam soal penyelesaian sengketa, kebanyakan negara civil law menganut prinsip country of reception yaitu aturan yang memperbolehkan konsumen pemakai terakhir (end user) menerapkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen negaranya. Prinsip ini dikecualikan terhadap transaksi konsumen dan tidak berlaku pada kontrak e-commerce antara pengusaha. Untuk mengatasi legal gap pada penyelesaian sengketa e-commerce transnasional maka perlu dilakukan legal reform yang mengadaptasi keberlakuan prinsip

country of reception ini ke dalam regulasi Indonesia sehingga kepentingan konsumen dapat

terlindungi.

Jurnal edisi kali ini ditutup oleh tulisan dari I Ketut Tjukup, Nyoman A. Martana, Dewa N. Rai Asmara Putra, Made Diah Sekar Mayang Sari, dan I Putu Rasmadi Arsha Putra,

(7)

ix

yang berjudul “Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan Berdasarkan Hukum Acara Perdata yang Pluralistik”. Artikel ini mengkaji Hukum Acara Perdata di Indonesia sangat pluralistik dan tersebar dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 masih tetap mempergunakan HIR (Reglement Indonesia yang diperbaharui STB 1941 No. 44 berlaku untuk wilayah hukum Jawa dan Madura), dan RBg (Reglement daerah seberang STB 1927 No. 227) berlaku luar Jawa dan Madura. Mencermati pluralistiknya hukum acara perdata Indonesia yang sampai sekarang belum memiliki Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata yang nasional, hukum acara yang demikian dalam penerapannya timbul multi interpretasi, sulit mewujudkan keadilan dan tidak menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu Hakim sebagai penegak hukum dan untuk mewujudkan keadilan tidak boleh hanya bertindak sebagai mulut undang-undang, hakim harus progresif dan selalu memperhatikan perasaan keadilan para pihak dalam proses pemeriksaan di persidangan, sebagaimana yang diatur oleh moralitas para pihak yang dilanggar selalu menginginkan keadilan atau penegakan hukum identik dengan penegakan keadilan. Perwujudan keadilan haruslah didahului dengan kepastian hukum sehingga sangat diperlukan hukum acara perdata yang unifikasi atau tidak terlalu banyak multi interpretasi, yang akhirnya putusan Hakim yang adil dapat diketemukan. Jadi hukum acara perdata yang pluralistik dalam penerapannya banyak timbul hambatan, tidak mencerminkan kepastian hukum dan sangat sulit mewujudkan keadilan, sehingga sangat diperlukan satu kesatuan hukum acara perdata (unifikasi hukum).

Pemikiran-pemikiran yang tertuang di dalam artikel pada jurnal ini semoga dapat memberikan manfaat dan tentunya dorongan bagi berbagai pihak untuk memberikan perhatian pada pembaharuan Hukum Acara Perdata Indonesia yang harus diakui sudah cukup renta serta tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pembaharuan Hukum Acara Perdata diharapkan memberikan kepastian hukum dalam proses penegakan hukum perdata di Indonesia serta mampu beradaptasi dengan perkembangan bisnis dan teknologi. Kami redaktur JHAPER mengucapkan selamat membaca!

(8)

91

EKSISTENSI KURATOR DALAM PRANATA HUKUM KEPALITAN

Sentosa Sembiring*

ABSTRAK

Dalam menjalankan kegiatan bisnis para pihak berharap hubungan bisnis tersebut berjalan sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Dalam kenyataan bisa terjadi sebaliknya, salah satu pihak dalam hal ini Debitor tidak dapat memenuhi kewajiban sesuai dengan apa yang telah disepakati. Bila terjadi demikian, secara yuridis formal sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt Kreditor, dapat menyita (beslag) hak kebendaan Debitor. Untuk melaksanakan hak kreditor terhadap harta benda Debitor harus mengajukan permohonan pailit. Ada pun syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan pailit menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK), Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo. Dalam putusan pernyataan pailit diangkat seorang Kurator. Kurator yang diangkat harus independen, demikian ditegaskan dalam Pasal 15 UUK. Tugas Kurator dalam kepailitan yakni melakukan pengurus dan/atau pemberesan harta pailit sejak putusan pailit diucapkan, demikian ditegaskan dalam Pasal 16 UUK. Kurator memegang peran yang cukup penting dalam menyelesaikan dan membereskan aset Debitor untuk melunasi kewajiban kepada para Kreditor. Kurator selain dituntut independen juga harus profesional dalam menjalankan tugas pemberesan harta pailit sebagaimana yang dijabarkan dalam UUK. Kurator sebagai suatu profesi dalam bidang layanan jasa hukum harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, sebab sejak diucapkannya putusan pailit oleh Pengadilan, secara hukum yang mempunyai kewenangan untuk mengurus harta pailit adalah Kurator.

Kata Kunci: hak kebendaan, kurator, lelang, sita

LATAR BELAKANG

Manusia sebagai makhluk sosial, hampir dapat dipastikan akan mengadakan hubungan hukum, baik dilakukan sesama individu maupun yang dilakukan secara berkelompok. Hubungan yang dibangun tersebut juga bisa terjadi dalam berbagai kegiatan, antara lain dalam kegiatan bisnis. Kegiatan bisnis dalam dekade terakhir ini telah berkembang dengan cepat, tidak hanya dalam negeri akan tetapi melintasi antar negara. Dalam suasana seperti ini, budaya hukum atau kebiasaan yang berlaku di lingkup perusahaan yang akan melakukan hubungan dengan mitra bisnis yang bersangkutan akan terbawa juga. Salah satu contoh yang kiranya

(9)

92 JHAPER: Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017: 91–110

dapat dikemukakan di sini yakni digunakannya standar kontrak dalam berbagai kegiatan bisnis, sudah merupakan hal yang lazim dalam praktik bisnis.

Apabila diperhatikan secara sepintas, standar kontrak yang digunakan dalam kegiatan bisnis tersebut kelihatannya cukup sederhana. Bila dilihat dari sudut pandang hukum, kontrak standar tersebut membawa dampak yang cukup luas. dalam standar kontrak tersebut telah dicantumkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuat kontrak. Dengan menandatangani kontrak, berarti para pihak telah menyetujui berbagai klausul yang tercantum di dalam kontrak tersebut.

Jika para pihak tidak memenuhi apa yang menjadi kewajiban maka disebut wanprestasi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt)1: tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Pasal 1239 KUHPdt dijelaskan: tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apabila pihak yang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajibannya memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.

Dari apa yang dijabarkan dalam ketentuan di atas dapat diketahui bahwa, bila seseorang mengadakan hubungan hukum antara satu pihak dengan pihak lain ada konsekuensi hukum yang harus ditanggung. Misalnya dalam perjanjian pinjam meminjam atau utang piutang, pihak yang mempunyai pinjaman berkewajiban untuk memenuhi kewajiban membayar pinjaman sesuai dengan apa yang telah disepakati.2 Tepatnya dalam Pasal 1763 KUHPdt diatur: siapa yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang ditentukan. Dalam hukum pinjam meminjam atau utang piutang, pihak yang meminjam mempunyai kewajiban untuk mengembalikan apa yang dipinjam. Selain mengembalikan utang pokok dapat pula diperjanjikan dengan sejumlah bunga. Hal ini diatur dalam Pasal 1765 KUHPdt: adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau lain barang yang habis karena pemakaiannya.

Masalah pinjam meminjam tersebut di era masa kini cukup relevan bila dikaitkan dengan bisnis perbankan. Bank sebagai lembaga keuangan menyediakan dana pinjaman yang lebih dikenal dengan kredit. Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan

Undang-1 Yang dimaksud dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) Burgelijk Wetboek (BW), 2001, Cetakan

31, Penerjemah R. Subekti dan R. Tijtrosudibio, Pradnya Paramita, Jakarta.

2 Salah satu asas yang dianut dalam hukum perjanjian adalah Asas Konsensualisme. Ada pun maksud asas ini adalah

dengan adanya kesepakatan dalam perjanjian maka pada saat itu muncul hak dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian (Lihat Pasal 1320 KUHPdt)

(10)

93

Sembiring: Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (UUP) mengatur bahwa fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali ke masyarakat melalui kredit. Untuk mendapatkan kredit sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima kredit. Pengertian kredit dalam UUP adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.3 Pengertian Debitur dalam UUP dikemukakan, Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.4

Memperhatikan pengertian kredit dalam UUP di atas, hubungan antara bank dan nasabah berdasarkan hukum perjanjian. Perjanjian kredit dalam bisnis perbankan lebih dikenal dengan akad kredit. Dalam akad kredit inilah dicantumkan apa hak kewajiban para pihak dalam hal ini Bank sebagai pemberi kredit (Kreditor) dan penerima kredit (Nasabah Debitor). Perlu juga kiranya dikemukakan di sini, sebelum akad kredit ditandatangani, akan dilakukan analisis kredit oleh pihak Kreditor. Tujuan untuk melakukan analisis kredit agar bank mendapatkan keyakinan, apakah pemohon kredit secara yuridis layak untuk diberikan kredit.5 Salah satu yang menjadi bahan analisis adalah jaminan (collateral), apakah jaminan yang diberikan oleh debitor sebanding dengan nilai kredit yang diajukan. Hal ini penting agar jika debitor tidak mampu melunasi kredit pada waktu yang telah disepakati, jaminan dapat dijual untuk melunasi kredit yang sudah jatuh tempo. Proses yang harus dilakukan untuk melakukan proses penjualan atau lelang terhadap jaminan, harus dilakukan penyitaan (beslag).

Bila perjanjian yang telah disepakati berjalan secara normal dan para pihak dengan penuh itikad baik mematuhinya, bagi pihak pemberi pinjaman dalam hal ini Kreditor sebenarnya tidak perlu khawatir, karena semua harta benda seseorang menjadi jaminan terhadap utang Debitor. Secara normatif, terhadap hutang seseorang dijamin oleh harta benda yang dimiliki baik yang ada sekarang, maupun di masa yang akan datang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1131 KUHPdt: Segala kebendaan Debitor menjadi jaminan bagi segala perikatan yang dibuat oleh Debitor. Perlu ditegaskan di sini, bahwa dalam ketentuan di atas dijelaskan “segala perikatan” yang dibuat oleh Debitor. Jadi di sini tidak hanya terbatas terhadap utang yang lahir karena perjanjian semata-mata, akan tetapi juga timbul karena undang-undang. Pasal 1233 KUHPdt mengatur bahwa: tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun

3 Lihat Pasal 1 Angka 11 UUP 4 Lihat Pasal 1 Angka 18 UUP

(11)

94 JHAPER: Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017: 91–110

karena undang-undang. Jadi di sini terlihat cakupan perikatan yang bisa melahirkan adanya utang sangat luas.

Merujuk kepada ketentuan di atas, bisa jadi perikatan yang dilakukan oleh debitor tidak hanya kepada seorang kreditor bisa jadi kepada beberapa orang Kreditor. Perikatan yang dibuat oleh Debitor tidak hanya terbatas apa yang diatur dalam KUHPdt, namun bisa juga di luar itu. Dalam hukum perdata dianut asas kebebasan berkontrak. Para pihak mempunyai kebebasan dalam membuat perjanjian, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.6 Jika terjadi demikian, bila debitor mempunyai utang mana yang harus didahulukan? Jawaban terhadap pertanyaan ini diatur dalam Pasal 1132 KUHPdt: kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua Kreditor; pendapatan terhadap penjualan benda tersebut dibagi berdasarkan keseimbangan. Pertanyaan adalah siapa yang melaksanakan penjualan hak kebendaan Debitor dan siapa yang membagi hasil penjualan tersebut untuk? Dalam kaitan ini perlu dilihat norma hukum yang mengatur penyelesaian hutang debitor secara bersama-sama. Norma hukum yang dimaksud adalah pranata hukum kepailitan (bankruptcy law). Salah satu pranata hukum yang mempunyai peran yang cukup penting dalam membereskan harta pailit yakni Kurator (Curator). Berkaitan dengan hal ini tersebut di atas, perlu untuk dikaji lebih lanjut tentang Eksistensi Kurator dalam menyelesaikan utang Debitor melalui Pranata Hukum Kepailitan.

PEMBAHASAN

Tujuan Undang-Undang Kepailitan

Sebelum membahas tentang keberadaan Kurator dalam membereskan harta pailit, perlu dipahami terlebih dahulu tujuan dibentuknya undang-undang kepailitan. Dalam kepustakaan hukum para ahli menjelaskan, tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitor oleh kurator kepada semua kreditor dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing. Melalui sita umum tersebut dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para kreditor secara sendiri-sendiri.7 Jadi di sini terlihat yang hendak di tekanan adalah sita umum dan menghindari tindakan sendiri-sendiri oleh kreditor dalam menyita aset debitor yang dapat merugikan kreditor lainnya. Dalam pandangan yang senada dikemukakan oleh ahli hukum lainnya, maksud dan tujuan Kepailitan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan adalah untuk menyelesaikan seluruh utang-utang dari seorang debitor yang sudah

6 Dalam hukum perjanjian dikenal Asas Kebebesan Berkontrak. Maksud dari asas ini adalah para pihak bebas membuat

perjanjian. Perjanjian yang dibuat mengikat para pihak (Lihat Pasal 1338 ayat KUHPdt).

7 Fred B.G. Tumbuan, “Menelaah Konsep Dasar Dan Aspek Hukum Kepailitan”. dalam Emmy Yuhassarie (Ed),

2005, Prosiding Lokakarya Terbatas Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, h. 96.

(12)

95

Sembiring: Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

tidak membayar lunas paling sedikit satu utangnya yang telah jatuh tempo utang-utangnya pada lebih dari seorang kreditor sehingga ia dinyatakan pailit.8 Dalam pandangan ini yang hendak ditekankan adalah bagaimana menyelesaikan utang-utang debitor yang sudah jatuh tempo. Untuk itu, perlu ada pernyataan pailit dari lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu dalam hal ini lembaga peradilan.9

Pandangan dari kalangan praktisi hukum kepailitan yang juga merangkap sebagai Kurator, mengemukakan salah satu tujuan hukum kepailitan adalah untuk melindungi kepentingan kreditor untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa semua harta kekayaan debitor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitor dan juga melindungi kepentingan debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Dalam kaitan ini, Kuratorlah yang lebih banyak berperan untuk merealisasikannya.10 Dari pandangan ini, semakin tampak eksistensi Kurator memegang peranan penting dalam membereskan harta pailit.

Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh para ahli dan praktisi hukum di atas terlihat, bahwa tujuan dibentuknya undang-undang kepailitan bila debitor tidak sanggup melunasi utang-utangnya terhadap harta benda debitor dapat dilakukan sita umum. Penyitaan dilakukan melalui proses peradilan yakni dengan putusan pailit. Salah satu lembaga yang berperan cukup penting untuk mengeksekusi dan membereskan kebendaan Debitor dengan menggunakan pranata hukum kepailitan adalah Kurator. Terminologi Kurator sendiri muncul ketika Faillissements-verordening (Fv), Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348 yang berlaku sejak kemerdekaan Republik Indonesia, diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Perubahaan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Kepailian (UU No. 4 Tahun 1998) dan Perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK).

Perlu kiranya ditegaskan di sini, bahwa sesorang dinyatakan pailit atau sering juga disebut bangkrut (bankrupt) secara yuridis formal harus ada putusan pengadilan yang menyatakan palitnya seseorang (bisa pribadi atau badan hukum). Pertanyaan adalah apa konsekuensi hukum yang muncul jika Debitor dinyatakan pailit?

8 Eliyana, “Konsep Dasar Dan Aspek Hukum Dari Kepailitan”, dalam Emmy Yuhassarie (Ed), Ibid, h. 116. 9 Lihat Pasal 6 ayat (1) UUK: Permohonan pernyataan pailit diajukan ke Ketua Pengadilan. Pasal 1 angka 7 UUK:

Pengadilan adalah Pengadilan Niaga di Lingkungan Peradilan Umum.

10 Bernard Nainggolan, 2014, Peranan Kurator dalam Pemberesan Boedel Pailit, Alumni, Bandung, h. 50. Lihat dan

bandingkan. Jerry Hoff, 2000, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia. Penerjemah. Kartini Muljadi, Tatanusa, Jakarta, h. 66. Mengemukakan: tujuan kepailitan adalah untuk membayar hak para kreditor yang seharusnya mereka peroleh sesuai dengan tingkat urutan tuntutan mereka.

(13)

96 JHAPER: Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017: 91–110

Syarat Permohonan Pailit

Pengertian kepailitan dijabarkan dalam UUK adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini11. Mengacu kepada pengertian di atas, secara sederhana dapat dikatakan kepailitan adalah sita umum terhadap semua hak kebendaan debitor. Ada pun proses penyitaan terhadap hak kebendaan debitor dilakukan dengan cara mengajukan permohonan pailit. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK: Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Bila diperhatikan secara saksama, apa yang dijabarkan dalam ketentuan di atas jika digunakan instrumen pranata hukum kepailitan untuk menyita hak kebendaan debitor tidak dijelaskan berapa jumlah utang debitor yang harus dilunasi ketika sudah jatuh tempo. Syaratnya adalah jumlah kreditor12 minimal dua dan satu di antaranya utang sudah jatuh tempo.

Mencermati ketentuan ini di atas, syarat yang harus diperhatikan jika Kreditor hendak menggunakan pranata hukum kepailitan dalam menyelesaikan utang piutang syarat yang harus diperhatikan oleh Kreditor yakni Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan satu utang sudah jatuh tempo. Pengertian utang yang telah jatuh tempo, dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK diatur sebagai berikut: yang dimaksud dengan “utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Tampaknya mengenai utang jatuh tempo ini harus menjadi perhatian baik bagi Kreditor maupun Debitor. Bagi Debitor, dengan jatuh tempo berarti ada kewajiban yang harus dipenuhi. Bila tidak dipenuhi dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan pailit oleh Kreditor.

Pengertian Utang dijabarkan Pasal 1 angka 6 UUK: Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh

11 Lihat Pasal 1 Angka 1 UUK

12 Pengertian Kreditor dijabarkan dalam Pasal 1 angka 2 UUK: Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang

karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan Debitor dijabarkan dalam Pasal 1 angka 3 UUK: Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

(14)

97

Sembiring: Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Dengan demikian pengertian utang sangat luas, tidak hanya muncul karena ada perjanjian semata.

Akibat Hukum Pernyataan Pailit

Kepailitan atau sita umum semata-mata terkait dengan hak kebendaan debitor. Dengan kata lain, secara hukum Debitor pailit tidak ada larangan untuk melakukan hubungan hukum dengan lain. Hal ini diatur dalam Pasal 21 UUK: Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.

Konsekuensi dari pailit diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUK: Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Sejak adanya putusan pailit tersebut, pihak ketiga yang mengadakan hubungan dengan debitor pailit yang terkait dengan harta kekayaan debitor pailit, diwakili oleh Kurator. Lebih lanjut dikemukakan dalam Pasal 26 ayat (1) UUK: Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator.

Merujuk kepada ketentuan di atas, terhadap aset Debitor yang telah disita, pengelolaan dan pemberesannya beralih ke Kurator. Jika ada pihak yang hendak berhubungan dengan aset Debitor harus melalui Kurator. Dengan demikian terkait dengan harta pailit ada kemungkinan harta pailit menghasilkan sehingga nilai harta bisa bertambah dan bisa juga terjadi harta harus dijual maka dalam hal ini sejak adanya putusan pailit yang berwenang untuk mengurus adalah Kurator.

Hal ini tampaknya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh praktisi hukum kepailitan, sejak tanggal putusan pernyataan pailit, debitor kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta pailit, maka dengan memperhatikan sifat serta mertanya suatu putusan pernyataan pailit, kurator tanpa memerlukan kuasa ataupun persetujuan dari debitor pailit memiliki kewenangan untuk mengurus dan atau membereskan harta pailitnya debitor.13 Pendapat senada dikemukakan oleh praktisi hukum lainnya, dengan diputuskannya seorang debitor menjadi debitor pailit oleh Pengadilan Niaga, membawa konsekuensi hukum yaitu, bagi debitor dijatuhkan sita umum terhadap seluruh harta debitor pailit dan hilangnya kewenangan debitor pailit untuk

13 G.P Aji Wijaya, “Peran Kurator dalam Kepailitan dan Permasalahan yang Dihadapi dalam Praktik”, dalam Emmy

(15)

98 JHAPER: Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017: 91–110

menguasai dan mengurus harta pailitnya. Untuk mengurus dan membereskan harta pailit diangkat Kurator.14 Jika demikian halnya, apa saja tugas dan wewenang Kurator?

Eksistensi Kurator dalam Membereskan Harta Pailit Tugas dan Kewenangan Kurator

Jika demikian halnya, apa saja yang harus dilakukan oleh Kurator dalam menjalankan putusan pengadilan terkait dengan pailitnya seseorang? Dalam hal ini menarik mengikuti berbagai pendapat yang dikemukakan, baik dari kalangan teoritisi hukum maupun praktisi hukum kepailitan, antara lain dikemukakan, Undang-Undang Kepailitan memberikan tugas dan kewenangan kepada Kurator untuk melakukan kepengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam mengemban tugas dan kewenangan tersebut Kurator dinyatakan mempunyai keahlian tertentu dan terutama dan tentunya dasar-dasar kewenangan yang dimilikinya yaitu ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan.15 Dari sudut pandang ini, penekanannya adalah pada pengelolaan harta pailit oleh Kurator bersumber dari undang-undang kepailitan.

Pandangan yang senada juga dikemukakan oleh hukum lainnya, Kurator dalam menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip fiduciare duty yang artinya tugas yang diemban oleh Kurator didasarkan pada kepercayaan yang mengangkat kurator tersebut yaitu Pengadilan.16 Menarik pemikiran yang dilontarkan ahli hukum ini Kurator dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh pengadilan. Kepercayaan tersebut diberikan pada saat pernyataan pailit diucapkan. Tugas dan wewenang tersebut dirinci lebih lanjut oleh undang-undang untuk menghindari perbedaan penafsiran dari banyak pihak yang terkait.17 Jadi di sini terlihat Kurator memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu proses Kepailitan. Disebut demikian, karena Kurator harus dapat mengelola dan mengurus seluruh harta agar dapat memenuhi seluruh kewajiban Debitor pailit terhadap para Kreditornya.18

Dalam kaitan ini cukup beralasan pandangan yang dikemukakan oleh praktisi hukum kepailitan bahwa, pada prinsipnya tugas umum dari Kurator adalah melakukan pengurusan dan/ atau pemberesan terhadap harta pailit. Hal yang perlu diperhatikan adalah dalam menjual harta

14 Imran Nating, 2004, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit,

Rajagrafi ndo Persada, Jakarta, h. 57.

15 Marijan E Pane, “Sekilas Tentang Tugas dan Wewenang Kurator”, dalam Emmy Yuhassarie (Ed), Op.Cit.

h. 163.

16 Man S. Sastrawidjaja, 2014, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung,

h. 141. Lihat dan bandingkan, Edward Manik, 2012, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Dilengkapi dengan Studi Kasus Kepailitan), Mandar Maju, Bandung, h. 72: Dalam kaitannya dengan pembebanan harta pailit, maka perlu ada persetujuan dari Hakim Pengawas.

17 M. Hadi Shubhan, 2009, Hukum Kepailitan Prinsip Norma dan Praktik di Peradilan, Cetakan II, Kencana

Prenada Media, Jakarta, 2009. h. 100.

18 Timur Sukirno, “Tangung jawab Kurator Terhadap Harta Pailit dan Penerapan Actio Pauliana”, dalam Rudhy

A. Lontoh, Deny Kailimang dan Beny Ponto, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, h.369

(16)

99

Sembiring: Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

pailit harus mempertimbangkan: Pertama, aspek yuridis. Hal ini dimaksudkan agar kurator yang menjual harta debitor pailit tidak disalahkan. Dalam kaitan ini yang harus diperhatikan oleh seorang Kurator adalah apa persyaratan yuridis terhadap tindakan tersebut, dan yang

Kedua adalah aspek bisnis. Dalam hal ini, bisa juga menyewa ahli untuk memberikan masukan.

Berapa nilai wajar dari harta pailit yang dijual. Fokus utama dalam pertimbangan bisnis adalah, apakah dengan penjualan tersebut dapat dicapai dengan harga yang setinggi-tingginya.19

Menyimak berbagai pandangan ahli hukum di atas dapat ditarik benang merah dilihat dari sudut pandang hukum kepailitan, Kurator diberi kewenangan untuk membereskan hak kebendaan Debitor yang telah disita. Dalam pemberesan tersebut, Kurator tidak saja memperhatikan kepentingan Kreditor namun harus memperhatikan kepentingan Debitor pailit. Untuk itu terkait dengan penjualan harta pailit melalui pelelangan, Kurator perlu memperhatikan ketentuan tentang lelang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK No. 27 Tahun 2016). Dalam PMK ini dijelaskan: Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.20 Selanjutnya dikemukakan: Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan

putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/ atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.21

Perlu mendapat perhatian bagi seorang Kurator dalam melakukan pelelangan harta benda debitor adalah masalah harga limit. Dalam PMK ini dijelaskan: Setiap pelaksanaan lelang disyaratkan adanya Nilai Limit. Ada pun yang dimaksud dengan Nilai Limit adalah harga minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh Penjual. Bila hal ini dikaitkan dengan putusan pailit yang bertindak sebagai penjual adalah Kurator.

Syarat Menjadi Kurator

Rumusan secara otentik tentang Kurator dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 UUK: Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini. Ada satu hal yang menarik dari rumusan di atas, Kurator yang selama ini hanya dikenal hanya Balai Harta Peninggalan (Weeskamer)22 pasca diubahnya

19 Munir Fuady, 2010, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Cetakan III, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 49. 20 Lihat Pasal 1 Angka 1 PMK No. 27 Tahun 2016

21 Lihat Pasal 1 Angka 4 PMK No. 27 Tahun 2016

22 Lihat ex Pasal 13 ayat (2) Fv: Pengampuan atas harta pailit demi hukum ditugaskan Balai Harta Peninggalan

(17)

100 JHAPER: Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017: 91–110

UUK tahun 1998 dikenal adanya Kurator orang perorangan yang diberi kewenangan untuk mengurus harta pailit.

Pertanyaan adalah bila orang perseorangan ingin menjadi Kurator, apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi? Dalam UUK dijelaskan untuk dapat diangkat menjadi Kurator harus terdaftar pada Kementerian Hukum dan HAM23. Ada pun syarat yang harus dipenuhi bagi orang perseorangan yang hendak diangkat sebagai Kurator, harus memenuhi kriteria tertentu. Hal ini dijelaskan lebih lanjutan dalam 70 ayat (2) UUK: yang dapat menjadi Kurator adalah: a. orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang

dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; dan

b. terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.

Jika diperhatikan ketentuan di atas, syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi Kurator harus mempunyai keahlian khusus dan terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia. Kriteria mempunyai keahlian khusus dijabarkan dalam penjelasan Pasal 70 Ayat (2) UUK, sebagai berikut. Pada huruf a dikemukakan, yang dimaksud dengan “keahlian khusus” adalah mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan Kurator dan pengurus. Pada huruf b dijelaskan, yang dimaksud dengan “terdaftar” adalah telah memenuhi syarat-syarat pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan adalah anggota aktif organisasi profesi Kurator dan pengurus.24

Keahlian khusus yang dimaksud di sini adalah mengikuti pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh organisasi profesi Kurator dan Pengurus. Adanya persyaratan keahlian khusus bagi seorang Kurator cukup beralasan, karena dalam membereskan harta pailit membutuhkan analisis yang mendalam dan komprihensif, mengapa? Karena Kurator adalah orang yang akan melakukan segala sesuatu berkenaan dengan failisemen, yang mengambil tempat dari pihak debitor yang telah dinyatakan pailit untuk melakukan tindakan hukum berkenaan dengan preservasi asetnya yang sedapat mungkin dibagi kepada semua para kreditor secara adil.25 Untuk itu dibutuhkan kajian tidak saja dari sudut pandang hukum tetapi juga ekonomi dan bisnis. Tentunya dengan analisis yang mendalam diharapkan pemberesan harta pailit dapat mendapat nilai ekonomis yang optimal sehingga pembayaran terhadap utang-utang debitur dapat terpenuhi sesuai dengan harapan dari kreditur.

23 Lihat Pasal 70 ayat 2 huruf UUK

24 Sejak diterbitkannya UUK Tahun 1998 terdapat 3 Organisasi profesi Kurator dan Pengurus yakni Pertama, Asosiasi

Pengurus dan Kurator Indonesia (AKPI); Kedua, Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) dan Ketiga, Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI).

25 Sudargo Gautama, 1999, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru untuk Indonesia (1998), Citra Aditya Bakti,

(18)

101

Sembiring: Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

Penjabaran lebih lanjut tentang pendaftaran Kurator diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pendaftaran Kurator Dan Pengurus (Permenhukham No. 18/2013). Dalam Permenhukham No. 18/2013 dijelaskan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendaftar sebagai Kurator dan Pengurus. Tepatnya dalam Pasal 3 Permenhukham No. 18/2013 dijelaskan: ayat (1) Untuk terdaftar sebagai Kurator dan Pengurus, orang perseorangan harus mengajukan pendaftaran kepada Menteri26 secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Jadi bagi orang perseorangan yang ingin menjadi Kurator mengajukan permohonan secara tertulis ke Menteri Hukum dan HAM. Selain membuat surat permohonan secara tertulis harus dilengkapi sejumlah syarat lain seperti yang ditegaskan dalam ayat (2) Orang perseorangan yang mengajukan pendaftaran sebagai kurator harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. berkewarganegaraan Indonesia dan berdomisili di wilayah Indonesia;

c. setia pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. sehat jasmani dan rohani;

e. advokat, akuntan publik, sarjana hukum, atau sarjana ekonomi jurusan akuntansi; f. telah mengikuti pelatihan Kurator dan Pengurus dan dinyatakan lulus dalam ujian yang

penilaiannya dilakukan oleh Komite Bersama;

g. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

h. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga; dan

i. membayar biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak yang besarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Dari sejumlah persyaratan untuk menjadi Kurator sebagaimana dijabarkan dalam Permenhukham di atas adalah secara akademis yang harus berlatar belakang pendidikan hukum dan ekonomi. Selain itu ada syarat tambahan sudah bekerja di kantor advokat atau di kantor akuntan paling tidak selam 3 tahun. Demikian dijelaskan dalam ayat 3 Permnenhukham. Hanya saja di sini tidak ada penjelasan secara otentik mengapa hanya kedua disiplin ilmu ini yakni ilmu hukum dan Ekonomi saja yang diijinkan untuk menjadi Kurator. Hal yang kedua adalah

26 Yang dimaksud dengan Menteri dalam Permenhukham No. 18/2013 dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 Menteri

(19)

102 JHAPER: Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017: 91–110

untuk menjadi Kurator harus mengikuti pelatihan Kurator. Menarik di sini adalah pelatihan yang diselenggarakan oleh asosiasi profesi Kurator, peserta pelatihan diwajibkan mengikuti ujian. Pendaftaran sebagai Kurator hanya mereka yang lulus ujian profesi Kurator.

Dalam mengajukan pendaftaran sebagai Kurator, harus dilampirkan sejumlah syarat lain sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 4 Permenhukham No. 18/2013 yakni:

(1) Pendaftaran sebagai Kurator dan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan melampirkan kelengkapan syarat:

a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk; b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;

c. fotokopi sertifi kat tanda lulus ujian Kurator dan Pengurus yang dilegalisir oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum;

d. surat rekomendasi dari Organisasi Profesi Kurator dan Pengurus; e. surat pernyataan tidak rangkap jabatan;

f. surat Pernyataan bersedia memisahkan harta pribadi dengan harta debitor; g. surat pernyataan tidak pernah dinyatakan pailit;

h. surat pernyataan tidak pernah menjadi anggota Direksi dan Komisaris yang dinyatakan bersalah yang menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit;

i. surat pernyataan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana 5 (lima) tahun atau lebih dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

j. surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari rumah sakit pemerintah; k. surat Keterangan Catatan Kepolisian;

l. pasfoto;

m. bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak pendaftaran Kurator dan Pengurus; dan

n. alamat surat menyurat pemohon.

(2) Selain melampirkan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi advokat atau akuntan publik, juga harus melampirkan surat keterangan terdaftar sebagai advokat27 atau surat keterangan terdaftar sebagai akuntan publik.28

27 Advokat sebagai profesi diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Pasal 1 angka 1 dijelaskan: Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

28 Akuntan Publik sebagai profesi diatur dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Pasal 1 angka 1: Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(20)

103

Sembiring: Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

(3) Selain melampirkan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Pemohon yang berasal dari sarjana hukum atau sarjana ekonomi, juga harus melampirkan fotokopi ijazah sarjana hukum atau fotokopi ijazah sarjana ekonomi yang dilegalisir oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.

Kurator Harus Independen

Memperhatikan tugas yang diemban seorang Kurator sebagaimana yang dijabarkan dalam UUK, semakin menguatkan pemikiran sebagaimana telah dijelaskan di awal tulisan ini, keberadaan Kurator sebagai pengelola harta kekayaan Debitor Pailit, semakin eksis keberadaannya ketika permohonan pailit diterima oleh hakim. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 15 ayat (1) UUK: Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan. Dari ketentuan ini ada satu hal yang menarik untuk didalami lebih lanjut yakni dengan putusan pernyataan pailit diangkat paling tidak 2 lembaga yakni Kurator yang mengurus dan pemberesan harta pailit. Di sini lain ada juga lembaga Hakim Pengawas yang bertugas untuk mengawasi Kurator, apakah Kurator sudah menjalankan tugasnya sebagai pemberes harta pailit telah sesuai dengan UUK. Ada pun keberadaan Hakim Pengawas dalam pemberesan harta pailit, adalah sebagai wakil pengadilan.29 Hakim Pengawas yang ditugaskan dalam hal ini adalah Hakim pada Pengadilan Niaga yang ditunjuk oleh Majelis Hakim Pemeriksa atau Majelis Hakim Pemutus perkara.30

Jika diperhatikan secara saksama tugas yang diemban oleh Kurator dalam membereskan harta pailit di samping harus memperhatikan kepentingan Kreditor juga kepentingan Debitor. Untuk itulah sangat dituntut betapa pentingnya independensi Kurator dalam menjalankan tugasnya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UUK: Kurator yang diangkat tersebut harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara. Satu catatan penting yang perlu disadari dalam hal ini adalah untuk menjadi kurator harus independen. Apa yang dimaksud dengan independen? Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUK diatur: yang dimaksud dengan “independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan” adalah bahwa kelangsungan keberadaan Kurator tidak tergantung pada Debitor atau Kreditor, dan Kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentingan ekonomis Debitor atau Kreditor.

29 Perihal Pengadilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam

Pasal 1 angka 8 dikemukakan: Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.

30 Lilik Mulyadi. “Tugas dan Wewenang Hakim Pengawas dalam Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

(21)

104 JHAPER: Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017: 91–110

Apa yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 15 UUK di atas tampaknya masih memerlukan beberapa elaborasi, mengapa? Karena, sekalipun wewenang Kurator cukup luas, bukan berarti Kurator dapat berbuat apa saja, sebab dalam UUK diatur secara rigid apa yang menjadi tugas dan wewenang Kurator. Konsekuensinya adalah, jika Kurator bertindak menyimpang dan terbukti merugikan kepentingan para kreditor maupun debitor pailit, Kurator dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Selain itu, bila Kurator menyimpang dalam menjalankan tugas dan wenangnya dapat diberhentikan oleh Hakim Pengawas, bahkan Kurator dapat digugat ke Pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan. Selain itu Kurator pun diawasi oleh Organisasi Kurator berdasarkan Kode Etik Kurator.31

Untuk itu Kurator dalam melaksanakan tugas profesionalnya harus menghindari terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest). Perdebatannya adalah dalam UUK tidak dijelaskan apa kriteria benturan kepentingan. Dalam kaitan ini, para ahli hukum mengemukakan demi kepastian, sebaiknya dianggap telah terjadi benturan kepentingan apabila: Pertama, Kurator menjadi salah satu kreditor; Kedua, Kurator memiliki hubungan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali atau dengan pengurus dari perseroan debitor; Ketiga, Kurator memiliki saham lebih dari 10% pada salah satu perusahaan kreditor atau pada perseroan debitor dan Keempat, Kurator adalah pegawai, anggota direksi, atau anggota komisaris dari salah satu perusahaan kreditor atau dari perusahaan debitor.32

Perlunya dihindari benturan kepentingan tersebut dapat dipahami, sebab dengan adanya putusan pernyataan pailit, harta debitor pailit diurus oleh Kurator. Hal ini secara tegas dikemukakan dalam Pasal 16 UUK:

(1) Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

(2) Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat Debitor.

Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1 dan 2) UUK dikemukakan, yang dimaksud dengan “pemberesan” dalam ketentuan ini adalah penguangan aktiva untuk membayar atau melunasi utang. “segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator”, meliputi setiap perbuatan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pengertian “tetap sah dan mengikat

31 Bernard Nainggolan. Op.Cit. h. 52. Lihat dan bandingkan. Munir Fuady. Op.Cit. h. 35. 32 Sutan Remy Sjahdeini, 209, Op.Cit, h. 209

(22)

105

Sembiring: Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

Debitor”, adalah bahwa perbuatan Kurator tidak dapat digugat di pengadilan mana pun. Dengan merujuk kepada penjelasan Pasal 16 UUK, dilihat dalam tataran normatif keberadaan Kurator dalam membereskan harta pailit dilindungi oleh hukum.

Tantangan Bagi Kurator dalam Menjalankan Tugas

Merujuk kepada ketentuan di atas, jika ada pihak yang hendak menghalang-halangi tugas yang hendak dilaksanakan oleh Kurator tidaklah beralasan sama sekali. Hanya saja, mengingat adanya sebuah tindakan hokum untuk melakukan pemberesan asset debitor, maka dalam situasi seperti ini tantangan atau hambatan yang mungkin saja bisa dihadapi oleh seorang Kurator dalam menjalankan tugas dan kewewenang yang diberikan oleh UUK dalam membereskan harta pailit. Untuk itu sebagai seorang profesional yang diangkat berdasarkan putusan pengadilan, acuan dalam menjalankan tugas selain merujuk kepada peraturan perundang-undangan juga harus taat kepada kode etik profesi yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi Kurator.

Dalam menjalankan tugas seperti inilah, Kurator harus taat asas, sebab bisa jadi Kurator dalam menjalankan tugas dan wenang yang diberikan oleh UUK yang cukup luas, ada pihak yang merasa haknya diabaikan begitu saja oleh Kurator. Untuk itu, sekalipun kewenangan yang diberikan cukup besar tidak berarti wewenang tersebut dapat digunakan begitu saja. Dengan kata lain, dalam menjalankan tugas, Kurator harus memperhatikan norma-norma yang diberikan oleh UUK dan juga Kode etik profesi. Dalam rangka menjalankan tugas, yang kiranya harus diperhatikan oleh seorang Kurator adalah bagaimana memaksimal harta pailit yang ada, sehingga kepentingan Kreditor dapat dipenuhi.

Dalam kaitan dengan tugas yang diemban oleh Kurator ada pengawasan dari Pengadilan cukup beralasan. Untuk itulah Kurator dalam menjalankan tugas pemberesan harta pailit perlu diawasi oleh Hakim Pengawas. Tegasnya dalam Pasal 65 UUK diatur: Hakim Pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Ada pun yang dimaksud dengan Hakim Pengawas dalam hal ini mengatur dalam Pasal 1 angka 8 UUK: Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan33 dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Jadi di sini terlihat fungsi lembaga peradilan dalam menegakkan keadilan yang dalam hal ini diwakili oleh Hakim Pengawas sangat penting. Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memperhatikan Kreditor lainnya.

33 Dalam Pasal 1 angka 7 UUK dikemukakan: Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan

(23)

106 JHAPER: Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017: 91–110

Kurator dalam menjalankan tugas pengurus harta pailit, harus melakukan dengan penuh kecermatan, sebab jika ada kesalahan atau kelalaian dari Kurator dalam menjalankan tugas dapat diminta pertanggungjawaban hukum. Tegasnya dalam Pasal 72 UUK diatur: Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.

Apa yang dijabarkan dalam ketentuan di atas bisa dijadikan celah hukum bagi pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan Kurator dalam membereskan harta pailit. Tampaknya di sinilah bisa titik rawan bagi seorang Kurator dalam menjalankan tugas. Bisa saja, debitor pailit dan ataupun pihak yang merasa dirugikan terhadap tindakan pemberasan harta pailit, menggunakan berbagai instrumen hukum lain, misalnya hukum pidana. Lewat pranata hukum pidana Kurator dilaporkan ke institusi penegak hokum. Bila hal ini terjadi, maka apa yang disuarakan oleh para Kurator terjadinya kriminalisasi terhadap profesi Kurator tidak bisa dihindari.

Timbul pertanyaan, apakah Kurator sebagai pejabat umum seperti halnya profesi notaris.34 Dalam menyikapi hal ini para praktisi hukum kepailitan memberikan pandangan, Kurator dalam menjalankan tugasnya diangkat oleh pengadilan niaga.35 Bila demikian halnya, dilihat dari sudut pandang ini maka profesi Kurator mempunyai karakteristik yang tersendiri. Dengan kata lain, seharusnya Kurator dapat dikualifikasikan sebagai pejabat umum seperti halnya notaris yang harus dilindungi. Selain itu, harus juga ada imunitas bagi kurator sehingga ketika dia menjalankan tugas tidak boleh dikriminalkan. Itu sudah diatur dalam Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).36 Orang yang menjalankan tugas karena perintah undang-undang tidak boleh dihukum. Kurator menjalankan amanat undang-undang.37 Untuk itu, sebagai Kurator perlu menyadari bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh kurator tidak serta merta dapat diterima begitu saja oleh kreditor atau panitia kreditor ataupun debitor pailit apabila perbuatan hukum itu dirasakan merugikan.38

Dalam konteks ini, dirasakan perlu ada kesamaan pandang dari semua pihak, bahwa Kurator dalam menjalankan tugas berdasarkan undang-undang dan perintah pengadilan. Perlunya kesamaan pandang ini, karena secara yuridis formal pranata hukum kepailitan

34 Notaris sebagai pejabat umum dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (UUJN). Dalam Pasal 1 Angka 1 dikemukakan: Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

35 Lihat Pasal 15 ayat (1) UUK

36 Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.

37 Soedeson Tandra, Kalau tak Dilindungi, Kurator Mudah Dikriminalisasi, termuat dalam www. hukumonline.com, edisi kamis, 11 Juli 2013, diakses 20 Agustus 2016.

(24)

107

Sembiring: Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

telah diatur dalam undang-undang. Hanya saja, kepailitan sebagai suatu bidang hukum yang bersifat khusus memang tidak dapat dipungkiri sebagai sesuatu yang asing bagi sebagian besar masyarakat. Akibatnya, seringkali, orang salah memahami hukum kepailitan dan berbagai macam perangkatnya, termasuk Kurator yang tugas dan wewenangnya yang merupakan bagian terpenting dalam hukum kepailitan dan implementasinya di masyarakat.39

Apabila pengadilan dan Kepolisian Negara Indonesia begitu gampang untuk menerima dan mengadili setiap gugatan atau memproses laporan pengaduan atas seorang kurator sehubungan dengan pelaksanaan tugas profesi kurator maka dikhawatirkan kurator dapat menjadi tidak independen dalam melakukan tugasnya.40 Diharapkan semua pihak memahami bahwa kedudukan Kurator dalam pranata hukum kepailitan adalah mewakili kepentingan Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga yang mengangkatnya berdasarkan Putusan pengadilan. Kedudukannya sebagai wakil Pengadilan, maka melekat sifat-sifat kekuasaan kehakiman (judicial authority) yang tidak boleh diintervensi, digugat, bahkan sampai mendapatkan perlakuan “kriminalisasi”.41

Mencermati tugas yang diemban oleh Kurator tidaklah ringan, maka dalam melaksanakan tugas pemberesan harta pailit, tidak akan berhasil tanpa bantuan dari pihak yang terkait langsung dengan proses kepailitan tersebut. Meskipun Kurator oleh Undang-undang Kepailitan diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan pengurusan dan pemberesan atas harta pailit sejak debitor dinyatakan pailit, namun tanpa bantuan dan kerja sama dari pihak yang terkait langsung dengan kepailitan, maka tugas kurator tidak akan berhasil dengan baik bahkan akan gagal sama sekali.42

Untuk menghindari terjadinya gugatan dan ataupun tindakan hukum lain yang mungkin saja dilakukan oleh debitor pailit, maka Kurator dalam menjalankan tugas wajib memperhatikan prinsip etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi Kurator. Dalam Prinsip Keempat Kepentingan Masyarakat/Umum yang diterbitkan oleh Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) dikemukakan, ciri utama dari profesi kurator dan pengurus adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat secara umum, khususnya kepada semua pihak yang terkait dengan kepailitan atau penundaan kewajiban pembayaran utang. Sementara itu dalam Kode Etik Profesi Asosiasi Kurator Dan Pengurus Indonesia (AKPI) dijelaskan: Pengertian

39 Rio T Simanjuntak, Kriminalisasi Kurator, Langkah Mundur Hukum Kepailitan di Indonesia, termuat dalam www.hukumonline.com, edisi Selasa, 06 Mei 2014, diunduh 1 September 2016.

40 A Maryke Silalahi. “Tidak Ada Jaminan Independensi Kurator Di Indonesia” termuat dalam http://www. rmol.co/read/2014/06/05/158280/Tidak-Ada-Jaminan-Independensi-Kurator-di-Indonesia-, diunduh tanggal 10 September 2016

41 Alfi n Sulaiman, Hak Imunitas Profesi Kurator dan Pengurus, termuat dalam www.hukumonline.Com, edisi Selasa, 22 April 2014, diakses 10 Juli 2016.

(25)

108 JHAPER: Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017: 91–110

benturan Kepentingan adalah keterkaitan antara kurator atau pengurus dengan debitor, kreditor dan/atau pihak lain yang dapat menghalangi pelaksanaan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PENUTUP

Sejak diamandemen Peraturan Kepailitan (Faillissements-verordening, Fv), Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Perubahaan Atas Undang Kepailian dan Perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK) mulai dikenal terminologi Kurator orang perseorangan. Sebelumnya hanya dikenal sebagai lembaga yang berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia yang lebih dikenal dengan Balai Harta Peninggalan (Weeskamer).

Berdasarkan ketentuan UUK dalam putusan pailit diangkat Kurator. Ada pun tugas Kurator adalah mengurus dan membereskan harta pailit. Mencermati tugas yang diemban oleh Kurator sebagaimana yang dijabarkan dalam UUK. Kurator mempunyai peranan yang sangat senteral dalam membereskan harta pailit. Kurator dalam menjalankan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh UUK tidak semata-mata memperhatikan kepentingan Kreditor namun juga kepentingan Debitor. UUK menjelaskan untuk dapat diangkat sebagai Kurator harus mempunyai keahlian khusus. Selain itu Kurator dalam menjalankan tugas diawasi oleh Hakim Pengawas ditunjuk dari Pengadilan Niaga.

Melihat terminologi Kurator khususnya Kurator orang perseorangan sesuatu yang baru dalam pranata hukum kepailitan, belum semua pihak dapat menerima begitu saja terhadap pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh seorang Kurator dalam membereskan harta pailit. Terjadinya kriminalisasi terhadap profesi Kurator sulit untuk dihindari. Untuk itu, dirasakan perlu untuk menata ulang tentang ekistensi Kurator sebagai pengelola dan pemberes harta pailit.

DAFTAR BACAAN Buku

Fuady, Munir, 2010. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Citra Aditya Bakti, Cetakan 3, Bandung.

(26)

109

Sembiring: Eksistensi Kurator dalam Pranata Hukum Kepalitan

Gautama, Sudargo, 1998, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru untuk Indonesia Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hoff, Jerry, 2000. Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, Penerjemah, Kartini Muljadi. Tatanusa, Jakarta.

Lontoh, Rudhy A, et al. 2001. Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung.

Manik, Edward, 2012. Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (Dilengkapi dengan Studi Kasus Kepailitan), Mandar Maju,

Bandung.

Nainggolan, Bernard, 2014. Peranan Kurator dalam Pemberesan Boedel Pailit. Alumni, Bandung.

Nainggolan, Bernard, 2011. Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor dan Pihak-Pihak

Berkepentingan dalam Kepailitan. Alumni, Bandung.

Nating, Imran, 2004. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Rajagrafi ndo Persada, Jakarta.

Remy Sjahdeini, Sutan, 2010. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Cetakan 4, Grafi ti, Jakarta.

Sastrawidjaja, Man S, 2014. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

Alumni, Bandung.

Shubhan, M.Hadi 2009. Hukum Kepailitan Prinsip Norma dan Praktik di Peradilan. Jakarta:

Kencana Prenada Media, Cetakan 2, Jakarta.

Subekti R dan R.Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Burgerljike Wetboek), 2001, Cetakan 31, Pradnya Paramita, Jakarta.

Sembiring, Sentosa, 2006. Hukum Kepailitan Dilengkapi dengan Peraturan

Perundang-Undangan yang Terkait. Nuansa Aulia, Bandung.

Sembiring, Sentosa, 2012, Hukum Perbankan Edisi Revisi, Cetakan III, Mandar Maju, Bandung.

Yuhassarie, Emmy (Ed), 2005. Prosiding Lokakarya Terbatas Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum. Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta.

(27)

110 JHAPER: Vol. 3, No. 1, Januari – Juni 2017: 91–110

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Sumber Lain

A Maryke Silalahi. “Tidak Ada Jaminan Independensi Kurator di Indonesia” termuat dalam http://www.rmol.co/read/2014/06/05/158280/Tidak-Ada-Jaminan-Independensi-Kurator-di-Indonesia-, diakses tanggal 10 September 2016

Alfi n Sulaiman. Hak Imunitas Profesi Kurator dan Pengurus. Termuat dalam: www.hukumonline. Com, edisi Selasa, 22 April 2014, diakses 10 Juli 2016.

Lilik Mulyadi. “Tugas dan Wewenang Hakim Pengawas dalam Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” (Makalah, tt).

Rio T Simanjuntak. Kriminalisasi Kurator, Langkah Mundur Hukum Kepailitan di Indonesia. Termuat dalamwww.hukumonline.com, edisi Selasa, 06 Mei 2014, diakses 1 September 2016

Soedeson Tandra: Kalau tak Dilindungi, Kurator Mudah Dikriminalisasi, termuat dalam www. hukumonline.com, edisi kamis, 11 Juli 2013, diakses 20 Agustus 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakah selanjutnya adalah memaksimalkan dan mempertahankan apa yang telah ada

D 18 Juli 2013 10:30 wib MARIO ANTONIUS - MARIO BONAVENTURA LUKAS Yanita Petriella 090903774. 13 HUBUNGAN ANTARA KUALITAS

SQUARE(ARTOS) MAGELANG B 19 Desember 2013 12:00 wib Nobertus Ribut Santoso Diyah Hayu Rahmitasari Risa Permanasari 090903781.. Jadwal Ujian KKL PeriodeDesember 2013

Skema implementasi ini dikenal dengan Elliptic Curve Integrated Encryption Scheme (ECIES) yang menggabung enkripsi kurva eliptik asimetrik dengan AES yang simetris dan memakai

Judul laporan akhir penelitian diketik miring, huruf kapital hanya pada kata di awal kalimat atau awal kata yang memang harus kapital (jenis laporan akhir diketik regular).

Ketika menu sudah ditampilkan, anda tidak dapat membatalkan untuk mencetak 1. Tekan tombol PRINT sampil melihat pesan yang dibuka pada layar cetak 2. Tekan untuk memilih

Rekonstruksi kota dalam seperti Rotterdam  kesempatan merealisasikan ide-ide baru di antaranya kombinasi kerajinan tangan + industri kecil  membawa ke arah