• Tidak ada hasil yang ditemukan

viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut.1

Hukum pidana adalah sebagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Pengenaan hukum pidana ini, adalah sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Selain itu, hukum pidana juga menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenankan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan sekaligus menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu

1 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan sosiologis), (Jakarta,

(2)

dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan itu.2

Permasalahan tanah terkait penyerobotan tanah bukan merupakan suatu hal yang baru di berbagai daerah di Indonesia. Secara umum istilah penyerobotan tanah dapat diartikan sebagai perbuatan menguasai, menduduki, atau mengambil alih tanah milik orang lain secara melawan hukum, melawan hak, atau melanggar peraturan hukum yang berlaku. Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana.3

Penyerobotan tanah merupakan salah satu dalam perkara pidana yang merupakan perkara publik, yang dilibatkan adalah orang atau subyek hukum yang melawan Negara yang dalam hal ini dijalankan oleh lembaga penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan sekaligus hakim sebagai tonggak keadilan dalam penyelesaian kasus pidana.

Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum pidana yang merupakan tumpuan dari para pencari keadilan selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.4 Keadilan yang dihasilkan melalui proses peradilan yang tertuang di dalam putusan hakim merupakan syarat utama untuk menjaga wibawa hukum sebagai panglima yang menjaga kelangsungan hidup masyarakat.

2 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, PT Rineke Cipta, 2008), hal. 4-5. 3

“Penyerobotan Tanah Secara Tidak Sah Dalam Prespektif Pidana”, melalui http://www.hukumproperti.com, diakses tanggal 6 Desember 2015.

4 Lihat Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009

(3)

Putusan hakim harus dipahami dalam konteks deindividuasi putusan, selain memang merupakan hasil cipta dan olah pikir serta rasa dari hakim itu sendiri. Bahwa putusan hakim ketika telah diketuk palu maka pada saat itulah terjadi deindividuasi, yaitu putusan hakim berubah menjadi putusan pengadilan yang sekaligus menjadi perwajahan pengadilan tersebut.5

Putusan sebagai produk pengadilan sejatinya lahir dari proses yang penuh kecermatan dan kehati-hatian. Hakim dalam memutus suatu perkara senantiasa dituntut untuk mendayahgunakan segenap potensi yang dimilikinya untuk meng-konstatir (menemukan fakta-fakta hukum), meng-kualifisir (menemukan dan mengklasifikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok perkara), serta meng-konstituir (menetapkan hukum dari perkara tersebut). Putusan hakim harus memuat pertimbangan hukum yang cukup dan relevan sebagai dasar dari kesimpulan dan ketetapan hakim (ground of the judgment) agar tidak dikualifikasi sebagai onvoldoende gemotiveerd (kurang pertimbangan hukum) yang menyebabkan putusan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Onvoldoende gemotiveerd dalam perkembangan hukum Indonesia kemudian disepakati sebagai salah satu alasan (reasoning) bagi pengadilan yang lebih tinggi untuk membatalkan putusan pengadilan yang ada dibawahnya.6

Kualitas suatu putusan hakim serta tingkat kecerdasan dan intelektualitas yang dimilikinya akan direfleksikan sekaligus dipertaruhkan pada bagaimana hakim merumuskan ratio decidenci dalam putusannya. Penalaran hukum (legal

reasoning) serta rumusan argumentasi hukum (legal argumentation) akan

5 M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim (Pendekatan Multidispliner dalam

Memahami Putusan Peradilan Perdata), (Yogyakarta, UII-Press, 2014), hal. 4.

(4)

menggambarkan kecermatan dan tingkat intelektualitas hakimnya. Hakim dalam merumuskan putusannya tidak hanya berkutat pada silogisme formal belaka, bukan juga sekedar menafsir secara mekanis, melainkan sebagai pekerjaan intelektual yang membutuhkan analisis dan penafsiran secara komprehensif.7

Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : 1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/atau tata tertib;

2. Putusan bebas;

3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.8

Terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa di putus bebas. Selanjutnya dalam rumusan van Bemmelen dalam bukunya Andi Hamzah tentang “hukum acara pidana Indonesia” berbunyi : “Putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak memperoleh keyakinan mengenai kebenaran (mengenai pertanyaan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan) atau ia yakin bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa ini yang melakukannya”.9

Berbicara tentang masalah tujuan putusan bebas didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Sehingga bilamana suatu hukum atau undang-undang tidak mempunyai

7 Ibid., hal. 8.

8 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), hal. 285. 9 Ibid., hal. 287.

(5)

tujuan, tentunya acara penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia pun akan berjalan dengan suatu ketidakpastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.

Terkait putusan bebas yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara tindak pidana penyerobotan tanah, sebagaimana pada Perkara No. 564/K/Pid/2013 yang amar putusannya membebaskan terpidana kasus penyerobotan tanah merupakan salah satu wewenang dari hakim untuk menjatuhkan putusan bebas berdasarkan keyakinan hakim di persidangan. Maka terhadap putusan bebas tersebut harus sedapat mungkin dilengkapi dengan pertimbangan yang cukup. Karena putusan yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd), selain merendahkan mutu putusan, juga akan membawa hakim pada kesimpulan akhir yang keliru atau kurang mencerminkan keadilan, baik bagi para pencari keadilan maupun masyaraat pada umumnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengajukan judul dengan : “Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2013 Yang

Membebaskan Terpidana Kasus Penyerobotan Tanah”.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana penyerobotan tanah?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2013 terhadap perkara terpidana kasus penyerobotan tanah?

(6)

3. Bagaimana penerapan hukum terhadap putusan bebas terpidana tindak pidana penyerobotan tanah dalam putusan Mahkamah Agung No. 564/k/pid/2013?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana penyerobotan tanah. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung

No. 564/K/Pid/2013 terhadap perkara terpidana kasus penyerobotan tanah. 3. Untuk mengetahui penerapan hukum terhadap putusan bebas terpidana

tindak pidana penyerobotan tanah dalam Putusan Mahkamah Agung No. 564/k/pid/2013.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian di dalam pembahasan proposal ditunjukkan kepada berbagai pihak terutama :

1. Secara teoritis untuk melengkapi literatur di bidang hukum acara pidana khususnya mengenai putusan yang membebaskan terpidana kasus penyerobotan tanah.

2. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran bagi kepentingan negara, Bangsa, Masyarakat, dan Pembangunan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara yang membahas tentang

(7)

“Analisis Putusan Mahkamah Agung No.564/K/Pid/2013 Yang Membebaskan Terpidana Kasus Penyerobotaan Tanah” ini belum pernah dilakukan dalam judul dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Tinjauan Umum Mahkamah Agung

Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakkan hukum atau pemberian sanksi adalah monopoli penguasa. Perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum (menghakimi sendiri), tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan.10

Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

10 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberti,

(8)

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.11

Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan badan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya bebas dari pemerintah. Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung adalah sebagaimana diuraikan dibawah ini:

a. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang tertinggi atau tingkat kasasi.

Adapun kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh lembaga-lembaga berikut ini:

1) Pengadilan Negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota. Pengadilan Negeri merupakan pengadilan tingkat pertama yang dibentuk dengan keputusan Presiden.

11 Lihat Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang

(9)

2) Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding yang dibentuk dengan undang-undang. Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi, yang daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. 12

b. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang. Dalam lingkungan Peradilan Agama, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:

1) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi dan di bentuk dengan undang-undang.

2) Pengadilan Agama merupakan peradilan tingkat pertama di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota, kabupaten atau kota dan dibentu dengan keputusan Presiden.13 c. Peradilan Militer adalah peradilan yang kekuasaan kehakimannya

dilakukan oleh Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi, dan Mahkamah Tentara Agung yang mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer.14

12

Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2013), hal. 92.

13 Ibid., hal. 99. 14 Ibid., hal. 103.

(10)

d. Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.15

2. Tinjauan Umum Putusan Hakim

Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak. Proses berjalannya peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap kasus pidana.

Mengenai putusan yang dijatuhkan oleh hakim ini, KUHAP telah diatur tentang definisi putusan yang terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 11. Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahwa : “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Ada juga yang mengartikan putusan (vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief) (Kamus istilah Hukum Fockema Andreae). Rumusan-rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemah ahli bahasa yang bukan ahli hukum. Sebaliknya, dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah. Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir

15 Ibid., hal. 107.

(11)

dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut

interlocutoire yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan

sela dan preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan provisionale yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.16 Yang harus terbukti adalah kenyataan-kenyataan yang dituduhkan dalam surat tuduhan (acte

van verwijzing). Kenyataan-kenyataan yang dituduhkan itu merupakan

unsur-unsur dari tindak pidana yang dituduhkan.17

Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Untuk memutus suatu perkara pidana, maka terlebih dahulu hakim harus memeriksa perkaranya.18 Bagian yang amat penting dari suatu surat putusan hakim ialah bagian yang memuat pertimbangan-pertimbangan hakim, yang mengalirkan pikiran hakim ke arah bunyi putusan.19

Bentuk dari suatu putusan tidak diatur pada KUHAP. Namun jika diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir bersamaan dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya bentuk-bentuk putusan yang telah ada tidak keliru jika diikuti.20

16

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan Dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum Dan Eksekusi) Bagian Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 129-130.

17 Ibid., hal. 106.

18 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat

Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 123.

19 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, (Bandung: Sumur

Bandung, 1983), hal. 145.

(12)

Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta Pasal 193 ayat (1) KUHAP, maka setidaknya dapat diketahui sifat putusan hakim.

Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP berbunyi:

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Pasal 193 ayat (1) KUHAP menentukan : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Dari ketentuan tersebut di atas maka ada 2 (dua) sifat putusan hakim yaitu:21

a. Putusan pemidanaan, apabila ada yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; dan

b. Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van

recht vervolging).

Putusan hakim merupakan aspek penting dalam penyelesaian perkara pidana. Di satu pihak, putusan hakim berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum (rechts zekerheid) tentang statusnya dan

21 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal. 126.

(13)

sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum banding, kasasi, dan sebagainya. Sedangkan di lain pihak, putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak pencerminan nilai-nilai keadilan serta penguasaan hukum atau fakta dan moralitas dari hakim yang bersangkutan. Karena itu, tentu saja hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, sampai dengan kecakapan teknik membuatnya.

3. Tinjauan Umum Tindak Pidana Penyerobotan Tanah

Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana. Dari sudut hukum pidana Pasal 2 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya menentukan : “Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah”. Jika ketentuan ini dilanggar, maka “dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah)”, sebagaimana dimaksud ketetuan Pasal 6.

Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 juga berlaku untuk perbuatan : (1) mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah didalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah; (2) menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau

(14)

tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud pada huruf a dan b; (3) memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b.

Kasus penyerobotan tanah juga bisa terjadi tindak pidana lainnya seperti:

a. Penipuan dan penggelapan yang berkaitan dengan proses perolehan dan pengalihan hak atas tanah dan bangunan dapat dikenakan Pasal 363, 365 KUHP;

b. Memasuki dan menduduki pekarangan, bangunan dan tanah orang lain dapat dikenakan Pasal 167, Pasal 389 KUHP;

c. Perusakan barang, pagar, bedeng, plang, bangunan dll dapat dikenakan Pasal 170, Pasal 406 dan Pasal 412 ;

d. Pemalsuan dokumen/akta/surat yang berkaitan dengan tanah dapat dikenakan Pasal 263, 264, 266 KUHP;

e. Menempati tanah orang lain tanpa hak dapat dikenakan Pasal 167 dan Pasal 389 KUHP.22

G. Metode Penulisan

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian terssebut diadakan analisa dan

22 Zahmi Yulis, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Hukum Pidana Dalam

Penyelesaian Sengketa Atau Konflik Pertanahan, dalam Jurnal Mahasiswa S2 Hukum, (Pontianak: Universitas Tanjung Pura, 2012), hal. 1.

(15)

kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.23 Agar mendapatkan hasil yang maksimal, maka metode yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan gejala tertentu. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam kerangka menyusun teori baru. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis sehingga dapat ditarik kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian.

2. Sumber Data

Penelitian ini diperoleh dari data skunder yaitu studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan refrensi yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

23 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja

(16)

b. Bahan hukum skunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder, berupa kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.24

3. Alat Pengumpul Data

Adapun alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi atau literatur, berupa menganalisa buku-buku, memakai Putusan Mahkamah Agung No. 567/K/Pid/2013 terhadap penjatuhan putusan yang membebaskan terpidana penyerobotan tanah, menelaah peraturan perundang-undangan, dan karya tulis dari ahli hukum yang ada relevansinya atau kaitannya dengan obyek penelitian yang akan dibahas.

4. Analisis Data

Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis kualitatif yang dipergunakan untuk aspek-aspek normatif (yuridis) melalui metode yang bersifat deskriptif analisis, yaitu menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan menghubungakan satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan umum. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu

24 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal.

(17)

cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.25

H. Sistematika Penulisan

Mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan bab yang menguraikan mengenai Pengaturan hukum tindak pidana penyerobotan tanah, yang diantaranya berisi tentang aturan hukum tindak pidana penyerobotan tanah, unsur-unsur tindak pidana penyerobotan tanah, serta sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah.

Bab III merupakan bab yang menguraikan secara mendetail mengenai pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2015 yang membebaskan terpidana kasus penyerobotan tanah, yang berisi Duduk perkara terhadap tindak pidana pelaku penyerobotan tanah, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terpidana tindak pidana penyerobotan tanah, serta kendala hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terpidana tindak pidana penyerobotan tanah.

25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia

(18)

Bab IV merupakan bab yang menguraikan mengenai penerapan hukuman terhadap putusan bebas terpidana tindak pidana penyerobotan tanah dalam putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2015, yang terdiri dari penjatuhan putusan bebas terhadap tidak terbuktinya unsur-unsur terjadinya tindak pidana, alasan penjatuhan putusan bebas terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan tanah dalam putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2015, serta penerapan terhadap penjatuhan putusan bebas pelaku tindak pidana penyerobotan tanah dalam putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2015.

Bab V merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian penggunaan pendekatan whole language dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Bendungan Hilir 01 Pagi Jakarta Pusat..

Penggunaan botol susu dengan karet penghisap yang keras berisiko mengganggu pertumbuhan rahang, lengkung gigi-geligi, lidah dan otot-otot wajah. Proses menghisap pada

Asuhan kebidanan pada Ny.”W” dilakukan secara berkelanjutan mulai dari usia kehamilan 39/40 minggu dengan frekuensi kunjungan 1 kali, persalinan 1 kali, Nifas 4

Bank Indonesia (BI), 1990, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia Desember 1990, BI, Jakarta. BI, 1992, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia November 1992,

I. tentang perubahan nama , yaitu judul yaitu kata Akademi diganti dengan A rademia, tetapi karena kemarin k.!_ ta sudah putus sesuai dengan judul RQU yang

Sedangkan dalam hal pelanggaran hak cipta yang ada dalam perbuatan cyber crime dalam bentuk phising, yang mana perbuatannya adalah membuat tampilan yang mirip dengan

Berdarkan tabel dapat diketahui bahwa strategi yang dilakukan oleh pedagang apabila suatu saat dagangan mereka sepi pembeli adalah meningkatkan kualitas

Adaptasi penglihatan pada hewan nokturnal khususnya terjadi di retina matanya, karena retina merupakan bagian dari mata yang berperan dalam melihat warna.. Dari