• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: zuhud, spiritualisme, Buya Hamka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: zuhud, spiritualisme, Buya Hamka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Shobahussurur * Abstrak

Ajaran Islam untuk meninggalkan dunia dan hidup sederhana telah melahirkan konsep hidup yang disebut zuhud. Konsep ini dengan berbagai variasinya telah berkembang dengan pesat tidak hanya pada tataran teoretis, tetapi juga praktis, dan pada akhirnya melahirkan sebuah disiplin ilmu yang dikenal dengan tasawuf. Pada era klasik Islam, ilmu ini telah melahirkan banyak tokoh yang sangat berpengaruh tidak hanya pada zamannya, tetapi jauh setelah kematian sang tokoh, sebut saja nama-nama seperti Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul Ibn Zuayb, Abdullah Ibn 'Umar, Abu al-Darda', Rabi'ah al-'Adawiyyah, al-Hasan al-Bashri, Ibrahim Ibn al-A'dham, dan lain sebagainya.

Pada era modern, tasawuf masih begitu digandrungi oleh banyak orang, apalagi di tengah kehidupan modern yang serba tidak menentu dan kering akan nilai-nilai spritual, tasawuf datang dan menjanjikan kesejukan jiwa. Namun demikian, pemahaman banyak tokoh terhadap tasawuf begitu beragam. Setiap tokoh dengan latar belakang masing-masing telah ikut andil besar dalam mengembangkan ilmu tasawuf dan dalam membantu orang lain dalam menghadapi hidup yang serba tidak menentu ini. Salah satu tokoh yang agak berbeda dalam memahami ajaran tasawuf adalah Buya Hamka. Menurutnya tasawuf atau dia biasa menyebut spiritualisme Islam mestinya mendorong manusia untuk bersemangat, tidak malas, guna memperoleh kembali fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh.

Kata kunci: zuhud, spiritualisme, Buya Hamka A. Pendahuluan

Sebuah hadits Rasulullah menyatakan: izhad fi al-dunya yuhibbuka Allah, wazhad bima 'inda al-nas yuhibbuka al-nas (tinggalkankanlah dunia, maka kamu akan dicintai oleh Allah, dan tinggalkanlah apa saja yang menjadi milik manusia, maka kamu akan dicintai mereka). Hadits itu kemudian memunculkan istilah al-zuhd (zuhud) dalam dunia tasawuf dengan berbagai interpretasinya, ditambah lagi dengan ajaran-ajaran dalam Islam seperti al-shabr (kesabaran), al-tawakkul (tawakal), al-ridha (ridla) dan lain-lain. Pada masa Rasulullah orang-orang seperti Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul Ibn Zuayb, Abdullah Ibn 'Umar, Abu al-Darda' dikenal sebagai para zuhhad termasyhur. Ada pula orang-orang penting dalam sejarah awal

* Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

(2)

tasawuf seperti Rabi'ah 'Adawiyyah, Hasan Bashri, Ibrahim Ibn al-A'dham.

Para zuhhad itu meninggalkan kemewahan dunia, tirakat, dengan sedikit makan, sedikit tidur, berpakaian bulu domba yang kasar, dan tinggal di emper-emper masjid. Ibrahim ibn Adham umpamanya, rela keluar meninggalkan istana, agar hidup dalam kefakiran. Kefakiran menurut dia adalah harta yang disimpan Allah di surga dan hanya dianugerahkan kepada orang-orang yang dicintai. Orang fakir di dunia akan menjadi kaya di akhirat, demikian ungkapnya. Rabi'ah al-'Adawiyyah tidak mau menikah, karena menurutnya, mencintai seseorang berarti akan memberi ruang untuk tidak mencintai Allah secara totalitas. Cintanya kepada Allah tidak memberikan ruang untuk mencintai sesuatu selain Allah.

Pada perkembangan selanjutnya tasawuf tidak saja dilakukan oleh individu-individu, tapi dikordinir sedemikian rupa menjadi kelompok-kelompok ulahbatin yang kemudian memunculkan istilah thariqah (tarekat) dalam dunia tasawuf. Masing-masing kelompok tarekat memiliki cara-cara tersendiri dengan wirid dan riyadhah khusus dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Berbagai faktor turut memicu berkembangnya tradisi tasawuf dan tarekat tersebut, dari mulai kecenderungan hidup mewah, faktor sosial politik, pengaruh tradisi asing hingga kecenderungan menggali ajaran pada aspek ruhani dalam ajaran Islam.

Pada dunia modern seperti sekarang ini, ketertarikan terhadap dunia tasawuf semakin meningkat, bukan saja di kalangan awam dan di pedesaan, tetapi terjadi di kalangan kaum terpelajar dan di perkotaan. Beberapa alasan yang mendorong hal itu antara lain: sistem nilai dunia modern yang telah hancur, masa depan yang semakin tidak ada rasa aman, ketidakpahaman akan pesan Islam yang kandungan ajaran-ajaran batiniahnya semakin tidak dapat dicapai, kerinduan akan visi dunia spiritual dalam lingkungan yang semakin merosot kualitasnya, dan kegagalan modernisasi dan modernitas serta kegagalan formalisme agama-agama dalam menyampaikan pesan ajarannya. 1

Di kota-kota besar dapat dilihat bagaimana kegandrungan yang begitu tinggi akan dunia tasawuf. Berbagai media menyuguhkan paket kajian, ulasan, kolom, dan tema-tema tentang tasawuf. Buku-buku tentang tasawuf laris manis terjual mengungguli buku-buku keagamaan yang lain. Bukan saja media cetak bercorak Islam yang menyajikan kolom tasawuf tapi media seperti Kompas, Media Indonesia, dan Tempo kepincut untuk tidak melewatkan ulasan tentang dunia tasawuf. Organisasi keagamaan dan

(3)

lembaga-lembaga kajian beramai-ramai menyuguhkan paket kajian tasawuf dengan kemasan yang bukan saja berbobot tapi juga marketable (lakujual). Beberapa stasiun radio dan TV berlomba-lomba menyiarkan dan menayangkan kajian tasawuf sebagai bukti minat besar masyarakat akan pendalaman terhadap dunia tasawuf. Hanya saja yang menjadi kritik terhadap gejala semaraknya minat akan keingintahuan terhadap tawasuf adalah penyalahgunaan tasawuf sebagai ajang bisnis-ekonomis yang justru mengarah kepada kehampaan spiritual, padahal sejatinya tasawuf dimaksudkan sebagai jalan asketis spiritual yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, berintikan al-akhlaq al-karimah, tetap setia kepada syari'ah, menekankan keseimbangan antara aspek-aspek lahiriah dan batiniah, material dan spiritual, dunia dan akhirat, dan berpihak kepada orang-orang lemah dan tertindas.

Kegelisahan spiritual masyarakat kota untuk mencari ketenangan batin, menggerakkan Buya Hamka untuk menjadi ”dokter” spiritual bagi mereka. Beliau ”buka praktik” di majalah Pedoman Masyarakat sejak pertengahan tahun 1937 untuk mengobati mereka yang sakit batin. Beliau mengadakan kajian di majalah tersebut dengan nama kajian Tasawuf Moderen. Kajian tentang kesucian batin, kekuatan iman dan jiwa itu mendapatkan respon luar biasa dari masyarakat. Hampir dua tahun kajian itu berlangsung dengan antusiasme yang tinggi dari masyarakat. Setiap kali majalah itu terbit, mereka mencari ”Tasawuf Modern”. Setelah kajian di majalah itu tamat pada nomor 43 tahun 1938, tulisan-tulisan itu dibukukan dengan nama Tasauf Moderen. Buku itupun laris manis, terus terbit higga kini, dibaca dan diruju’ oleh siapa saja yang ingin memahami tentang spiritualisme dalam Islam.

Kajian tentang tasawuf oleh Buya Hamka dimaksudkan agar orang Islam dapat kembali kepada makna tasawuf yang sebenarnya, yaitu keluar dari budi pekerti tercela yang masuk kepada budi pekerti terpuji, sebagaimana pandangan al-Junaid. Di samping itu, juga diharapkan mampu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi, menekankan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang berlebih dari keperluan untuk kesentosaan diri.2

B. Tradisi Sufisme dan Tarekat dalam Dunia Islam.

Persoalan sosial politik menjadi salah satu faktor tumbuhnya tradisi sufisme di dunia Islam. Perebutan kekuasaan yang mulai tampak pada fitnah kubra era Khalifah Usman ibn Affan, pola kehidupan mewah di kalangan para pejabat dan orang-orang kaya, dekadensi moral, serta

(4)

semakin tampak kecenderungan masyarakat untuk melakukan pola hidup materialis, memicu tumbuh dan suburnya sufisme.

Pada masa awal pembentukannya, sufisme bercorak praktis. Para sufi belum memusatkan perhatian pada penyusunan prinsip-prinsip teoretis tentang kehidupan asketis. Mereka menjalani hidup zuhud, meningkatkan aneka bentuk ibadah, penuh kepasrahan dengan perasaan berdosa, dan meninggalkan aktivitas keduniawian. Kisah tentang tokoh-tokoh sufi seperti al-Hasan al-Bashri (w. 110) dengan paham al-khauf dan al-raja'-nya, juga Rabi'ah al-'Adawiyyah dengan paham al-hubb al-ilahi-nya memberi petunjuk tentang praktik kehidupan asketis mereka. Asketisme praktis seperti yang terjadi pada abad pertama dan kedua hijrah lebih cenderung pada sebatas usaha perbaikan moral dengan melakukan hidup zuhud daripada membuat teori-teori sufisme.

Pada abad ketiga dan keempat sufisme memiliki corak baru. Paham ekstase (kefanaan) yang menjurus pada ajaran persatuan antara hamba dengan Tuhan mulai ditemukan dalam berbagai teori pada sufi. Maka dapat ditemukan paham tentang fana' fi al-mahbub, ittihad fi al-mahbub, baqa' fi al-mahbub, musyahadah, liqa' dan lain-lain. Tokoh sufi yang dianggap sebagai penemu pertama paham ini adalah Abu Yazid al-Busthami (w. 261) dengan menggunakan istilah fana' dalam tasawufnya.

Sufisme di abad kelima dianggap sebagai masa konsolidasi. Masa itu ditandai dengan adanya perseteruan antara tasawuf semi falsasi dengan tasawuf sunni yang kemudian dimenangkan oleh tasawuf sunni. Diduga bahwa kemenangan tasawuf sunni karena pengaruh teologi Asy'ariyyah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (w. 324). Pada masa konsolidasi ini ditandai dengan usaha para sufi sunni dalam memberikan landasan-landasan bagi tasawuf Islam serta lontaran kritik yang disampaikan terhadap paham tasawuf spekulatif seperti al-Busthami, dan al-Hallaj. Tokoh penting tasawuf sunni pada masa ini adalah al-Qusyairi (w. 376), al-Hawari (w. 396), dan al-Ghazali (w. 450).

Abad keenam adalah masa bangkitnya kembali tasawuf falsafi setelah mengalami kekalahan pada abad sebelumnya dari dominasi tasawuf sunni. Disebut tasawuf falsafi karena di satu sisi sulit menamakannya sebagai filsafat, sebagaimana sulit dikatakan sebagai tasawuf murni. Ibn Khaldun memberikan karakteristik tasawuf falsafi antara lain: (1) latihan ruhaniyah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi; (2) illuminasi atau hakekat yang tersingkap dari alam gaib, (3) peristiwa-peristiwa dalam alam atau kosmos pempunyai pengaruh pada bentuk kekeramatan, (4) adanya ungkapan-ungkapan syathahat. Tokoh-tokoh penting tasawuf falsafi antara lain al-Shuhrawardi al-Maqtul, Ibn Arabi dan Ibn Sab'in.

(5)

Perkembangan berikutnya adalah usaha pemurnian tasawuf untuk dikembalikan kepada syari'ah karena dianggap telah menyeleweng jauh dari ajaran yang sesungguhnya. Kecenderungan ke arah khurafat dan tayayyul, serta ungkapan dan teori yang tidak dapat ditemukan rujukannya dari al-Kitab maupun al-Sunnah, semakin tampak, sejalan dengan semakin bebasnya orang dalam pengembaraan spiritual. Ibn Taimiyyah adalah tokoh penting pada masa pemurnian tasawuf tersebut. Dia menyajikan pemikiran baru ke arah pengembalian tasawuf kepada dalil ortodoksi Islam, seperti pembagian fana' kepada tiga macam: fana' al-'ibadah, fana' syuhud al-qalb, dan fana' wujud ma siwa Allah.

Pada perkembangannya ulah batin dalam dunia tasawuf itu diyakini harus dipelajari dari guru yang dianggap lebih tahu dan berpengalaman dalam tasawuf. Mereka tidak dapat melakukan ajaran atau riyadhah tanpa bimbingan guru. Sistem isnad dalam pengajaran tasawuf mengharuskan seorang murid (pelajar) untuk merujuk kepada mursyid atau syeikh yang dianggap memiliki kemampuan dan keilmuan lebih luas dalam pengamalan tasawuf. Mereka berbondong-bondong belajar kepada para mursyid atau syeikh itu hingga kemudian membentuk kelompok, perkumpulan, atau perkampungan sufi dengan bimbingan dan binaan para mursyid atau syeikh itu.3 Masing-masing kelompok memiliki ciri khas dan cara tersendiri dalam

mengaplikasikan tasawuf. cara-cara tersebut kemudian secara umum disebut tariqah (tarikat).

Tarekat Thaifuriyyah yang muncul pada abad ke-9 M. di Persia dianggap sebagai organisasi tarekat tertua di dunia. Tarekat ini dinisbatkan kepada Abu Yazid karena ajarannya bersumber dari beliau.4 Hal ini didukung oleh fakta bahwa kebanyakan tarekat yang berkembang di Persia merupakan penganut dari faham Bayazid.5 Tarekat lain yang berkembang

setelah itu antara lain: Qadiriyyah, Rifa'iyyah, Shuhrawardiyyah, Syadzaliyyah. Para sufi setelah itu hampir seluruhnya menjadi salah satu pengikut tarekat-tarekat yang ada.

Diyakini bahwa penyebaran Islam di berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia, banyak dilakukan oleh para pejuang dari para sufi dan pengikut tarekat. Maka tidak heran kalau kemudian karya-karya intelektual

3Ada beberapa istilah dalam pemberian nama perkampungan itu, seperti ribath

atau zawiyah di Maroko, khanaqah di Mesir dan Iran, dan tekke di Turki. Lihat Mirce Aliade, The Encyclopedia of Islam, vol. xiv, (New York: MacMillan Publishing Co., 1972), pp. 342-343.

4Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam,

1976), p. 102.

(6)

Islam awal yang berkembang di Indonesia didominasi oleh corak tasawuf, dan para ulamanya kebanyakan adalah pengikut tarekat.6

Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam sufi.7 Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang

jenis tasawuf yang masuk pertama kali. Ada yang mengatakan bahwa jenis tasawuf falsafi yang pertama kali berkembang di Indonesia. Namun, ada yang berpendapat bahwa corak tasawuf moderat yang mementingkan aspek fiqih merupakan corak tasawuf yang pertama berkembang di Indonesia.

Hampir semua sufi awal di Indonesia tumbuh dan berkembang dalam organisasi tarekat. Mereka mengembangkan aspek spiritual melalui maqamat-maqamat yang diformulasikan sedemikian rupa oleh masing-masing tarekat yang diikuti. maka perkembangan tarekat di Indonesia sejalan dengan perkembangan tasawuf. Aneka ragam corak tasawuf, dan jatuh bangunnya pergumulan tasawuf dengan masyarakat Indonesia tidak lepas dari keberadaan tarekat yang ada, karena tarekat merupakan sarana (wadah) bagi proses berkembangnya tasawuf.

Terdapat puluhan jenis tarekat yang berkembang di Indonesia. Tarekat-tarekat itu kebanyakan merupakan kepanjangan dari tarekat-tarekat yang hidup di dunia Islam, meskipun biasanya memiliki kekhasannya sendiri. Jaringan dan hubungan ulama Haramayn dengan ulama Nusantara turut menjadi faktor berkembangnya tarekat-tarekat itu. Dengan ijazah dan bay'ah yang diberikan sang guru di Haramayn, sekembalinya di Nusantara, ulama Nusantara menyebarkan tarekat-tarekat itu.

Tarekat Qadariyah8 merupakan salah satu tarekat mu'tabarah yang

mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Meskipun jalur yang mengantarkan tarekat ini sampai di Indonesia masih dipertanyakan, namun pengaruhnya terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat hingga

6Lihat bagaimana peran para sufi dan ahli tarekat sejak abad 13 dalam berjuang

membangun dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam di penjuru dunia, termasuk peran mereka dalam penyebaran Islam di Indonesia, dalam Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), p. 15. Juga Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad XIX, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 173.

7Karel A. Steenbrink, Beberapa, p. 173.

8Qadiriyah adalah nama tarekat yang dinisbatkan kepada pendirinya, Abd al-Qadir

al-Jailani (470-561 H./1077-1166 M.), lahir di Jailan, Irak. Ciri tasawufnya, seperti halnya tasawuf mu'tabarah lainnya, tasawuf ini menekankan pentingnya keterkaitannya dengan al-Quran dan al-Sunnah (tasawuf Sunni) seperti yang dikembangkan al-Ghazali. Lihat Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, terj. Ahmad Rafi' Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), pp. 235-236.

(7)

kini, seperti tradisi masyarakat yang mengadakan acara-acara keagamaan dengan membaca Manaqib Syeikh Abd Qadir al-Jailani.9

Tarekat Naqsyabandiyah10 dan Syattariyyah11 merupakan jenis

tarekat lain yang pengaruhnya cukup luas di Indonesia. Syeikh Yusuf al-Maqassari merupakan ulama yang dianggap sebagai pembawa tarekat Naqsyabandiyyah ke Indonesia. Dia menerima ajaran dari Syeikh Abi Abdillah Abd al-Baqi Billah.12 Sedang tarekat Syattariyyah dikatakan

dibawa pertama kali ke Indonesia oleh Syeikh Abd al-Rauf al-Singkili di Aceh.13

Tarekat Naqsyabandiyah dan Syattariyyah mengembangkan dua corak ajaran yang berbeda. Naqsyabandiyah lebih mementingkan unsur syari'ah sedang Syattariyah mengembangkan ajaran tasawuf falsafi.14

Perkembangan masing-masing tarekat ini berbeda selajan dengan

9Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung:

Mizan, 1995), p. 209.

10Naqshabandiyah adalah nama tarekat yang muncul di sekitar Bukhara (Asia

Tengah) pada abad ke-14 M. (8 H.), didirikan oleh Syeikh Muhammad Baha' Din al-Bukhari al-Naqshabandi (717-791 H./1317-1389 M.), lahir di Hinduwan, Bukhara. Ajaran utamanya adalah: 1). Enam dasar; taubat uzlah, zuhud, taqwa, qana'ah dan taslim, 2). Enam rukun; ilm, hilm, shabr, ridha, ikhlash, dan akhlaq, 3). Enam hukum; makrifat, yakin, pemurah, benar, bersyukur, dan tafakkur, 4). Enam kewajiban; dzikir, meninggalkan hawa nafsu, meninggalkan dunia, menunaikan tugas agama sengan sungguh-sungguh, berbuat baik kepada seluruh makhluk Tuhan, dan mengerjakan amal kebajikan. Tarekat ini masuk ke Minangkabau pada paruh pertama abad ke-17, dibawa oleh Jamal al-Din, seorang Minang yang mula-mula belajar di Pasai, kemudian belajar ke Bait Faqih, Aden, al-Haramain, Mesir, dan India. Lihat Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), p. 727. Lihat juga Azyumardi Azra, JaringanUlama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1998), p. 291.

11Syattariyah adalah tarekat yang dihubungkan kepada nama pendirinya, Syeikh

Abd Allah al-Syattar, keturunan Syeikh Syihab al-Din Suhrawardi. Dia lahir di Persia dan mengembangkan ajarannya di Timur Gujarat, India, hingga wafat tahun 1429 M. (833 H.). Dari Gujarat, tarekat ini dibawa ke al-Haramain oleh Syeikh Ahmad Qusyasyi (w. 1661 M./1082 H.) dan Syeikh Ibrahim Kurani (w. 1689 M./1101 H.). Syeikh Abd al-Ra'uf al-Sinkili (w. 1693 M./1105 H.), setelah belajar dan mendapat ijazah dari kedua gurunya itu, membawa tarekat tersebut ke Aceh. Pokok ajaran Tarekat Syattariyah yang dikembangkan oleh Abd al-Ra'uf al-Sinkili adalah paham Wihdat al-Wujud dalam bentuk Martabat Tujuh; Martabat Ahadiyat, Wahdah, Wahidiyah, Alam Arwah, Alam Misal, Alam Ajsam, dan Martabat Manusia. Tiga yang pertama merupakan martabat ketuhanan, sedangkan yang empat terakhir adalah martabat alam. Lihat Harun Nasution, Ensiklopedi, pp. 899-900.

12Lihat Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di

Nusantara, p. 34. Juga Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia, p. 34.

13Lihat A. John dalam dalam Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat Lintasan

Historis Islam Indonesia, p. 89.

(8)

perkembangan tasawuf sunni dan falsafi di Nusantara. Karena perkembangan tasawuf sunni lebih dominan dibanding dengan tasawuf falsafi, maka tarekat Naqsyabandiyah jauh lebih luas perkembangannya dibandingkan dengan Syattariyah.15

C. Spiritualisme untuk Kebahagiaan

Buya Hamka berupaya melepaskan diri dari kungkungan tasawuf atau tarekat yang terlembagakan sedemikian mengakar dan mentradisi. Bila kakeknya, Amrullah adalah penganut tulen tarekat Naqshabandiyah yang kemudian ditentang keras oleh Abdul Karim (H. Rasul, ayah Buya), maka Buya Hamka adalah sintesis dari kakek dan ayahnya itu. Buya mengakui pentingnya tasawuf bagi kebutuhan olah spiritual, meskipun tidak harus memakai simbol-simbol lembaga tarekat tertentu. Buya Hamka mengambil esensi, mengabaikan simbol. Esensi itu adalah kebahagiaan.

Setiap orang ingin bahagia dalam hidupnya. Kehidupan spiritual dipelajari dan diparaktikkan dalam rangka mencari kebahagian. Hal itu karena ternyata harta benda, materi, dan kehidupan lahiriyah duniawi saja tidak dapat mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan itu. Ada orang yang mencoba mencari kebahagiaan dengan cara menumpuk kekayaan, rumah indah, mobil mewah, segala keinginan terpenuhi, tetapi kebahagiaan itu tidak ditemukan. Ada orang yang berebut kekuasaan karena menganggap bahwa kalau sudah berkuasa dan mempunyai kedudukan tinggi dia akan bahagia. Ternyata kebahagiaan itu tidak juga didapatkan.

Kehidupan spritual yang mapan, mampu memenangi peperangan melawan nafsu dan menahan kehendak yang berlebihan, itulah kebahagian, kata Imam al-Ghazali. Menang atas nafsu, kata Buya Hamka, adalah induk dari segala kemenangan. Karena orang yang berperang ke medan perang, bisa jadi hanya ingin mencari nama dan kemegahan duniawi. Pada lahirnya dia menjadi terkenal, tapi batinnya belum tentu. Kemenangan atas nafsu itulah kebahagiaan.16

Buya Hamka menjelaskan bahwa kebahagian itu hanya dapat diraih dengan cara menjalankan agama dengan benar. Karena agama itu membukakan pintu pikiran, menyuruh menggunakan akal dalam melakukan banyak hal.

Dalam agama ada aqidah dan syari’ah. Aqidah diawali dengan adanya i’tikad, diikuti dengan keyakinan dan iman. I’tikad adalah kesimpulan pendapat pikiran. Kesimpulan itu kemudian diyakini, sehingga

15Ibid., p. 175.

(9)

menjadi sebuah keyakinan dengan tiga tingkatannya: ilm yaqin, haqq al-yaqin, dan ain al-yaqin. Ilm al-yaqin artinya ilmu yang timbul dari pendapat yang lahir setelah memperoleh dalil (argumen) yang kuat. Haqq al-yaqin adalah hasil dari eksperimentasi argumen yang kuat itu. Dan ain al-yaqin adalah persaksian sendiri atas bukti kebenaran argumen. Kita yakin kota Mekah ada, disebut ilm al-yaqin. Argumentasinya, karena ada kabar yang benar tentang kota itu. Sampai di Mekkah, tampaklah Ka’bah, itu namanya haqq yaqin. Setelah itu kita keliling melakukan thawaf, timbullah ain al-yaqin. Keyakinan itu kemudian menimbulkan iman, yaitu kepercayaan.

Aqidah itu tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terjalin erat dengah syari’ah. Aqidah tanpa syari’ah ibarat gedung yang mempunyai pondasi tanpa bangunan di atasnya. Syari’ah tanpa Aqidah seperti bangunan tak berpondasi. Maka dalam agama Islam, iman selalu terkait dengan amal shaleh. Allah berfirman: ”Orang beriman sejati adalah apabila disebut nama Allah, gemetar hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah, bertambahlah iman mereka, dan mereka bertawakkal kepada Tuhan. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan rizki yang Kami berikan. Mereka itulah orang-orang mukmin sejati”. (Q.S. al-Anfal/: 2-4). Firman yang lain: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah yang beriman dengan Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ada keraguan lagi, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar pengakuannya”. Q.S. al-Hujurat/: 15). Rasulullah bersabda: ”Iman itu lebih dari enam puluh ranting, yang paling tinggi ialah kalimat: la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). Dan paling rendah ialah membuang duri dari tengah jalan”. H.R. Bukhari dan Muslim.

Oleh karena itu, urat agama Islam adalah iman, pohonnya adalah Islam, dan disiram terus supaya subur dengan ihsan, maka meningkat menjadi taqwa (iman, islam, ihsan, taqwa). Orang yang beramal kebajikan, tetapi tidak memiliki kepercayaan (iman), maka Allah tidak menerima kebajikannya itu. Allah tidak menerima amal orang munafik, karena hatinya tidak percaya, meskipun setiap hari melakukan shalat. Supaya aqidah subur dalam hati, hendaknya hati terhindar dari sifat-sifat sombong, dengki, dan gila hormat, ingin selalu mencari kemegahan. Fir’aun tidak menerima agama yang dibawa Musa karena sombong. Iblis tidak mau sujud kepada Adam lantaran dengki. Masak makhluk yang dijadikan dari tanah akan melebihi makhluk yang dijadikan dari api. Raja Heraclius tidak mau beriman kepada Muhammad karena kegilaan kepada pangkat.17

(10)

Hanya dengan Aqidah yang kuat dan menjalankan Syari’ah yang benar, seorang itu memperoleh kebahagiaan. Orang yang tidak memiliki iman, hidupnya akan terombang-ambing. Hidup tidak memiliki prinsip, selalu gelisah, akhirnya putus asa. Orang yang tidak menjalankan Syari’ah hidupnya menjadi gelap, tidak tahu mana yang benar mana yang salah, mana yang hak dan mana yang batil, mana yang mulia dan mana yang tercela.

Buya Hamka lebih jauh menjelaskan, dengan adanya aqidah yang kuat itu, maka timbul tiga kepercayaan penting, yaitu:

1. Bahwa manusia adalah makhluk paling mulia dan tertinggi di bumi. Oleh karena timbul minat yang kuat untuk menjaga kemanusiaannya, jangan sama dengan binatang. Kepercayaan ini menyebabkan adanya upaya terus menerus untuk meningkatkan mutu akal budinya, mengangkat martabat, menegakkan keadilan dan kebenaran sesama manusia. Tidak menjadi buas, karena itu adalah sifat binatang. Kepercayaan ini menimbulkan minat berpikir mencerdaskan akal, merenung, meneliti, dan mengamati, karena ada keyakinan dalam hati bahwa manusia adalah makhluk paling mulia.

2. Bahwa aqidah yang diyakini itulah yang paling benar dan paling mulia. Kepercayaan ini menimbulkan semangat untuk memperjuangkan aqidah itu. Orang Islam dengan keyakinan hanya Islam saja yang paling benar akan menegakkan dan memperjuangkan tersebarnya aqidah itu, karena hanya dengan Islam dunia akan mencapai kemuliaan dan bahagia. Dia selalu mencegah pemeluknya menganiaya sesama makhluk. Dia membela saudaranya seaqidah bila mendapatkan kehinaan. Dia tidak rela umat seiman sengsara, terjajah, dan teraniaya. Dia tidak senang dulu umat seiman menguasai dunia, kini dikuasai oleh umat beda aqidah, dulu menjadi ahli budi, sekarang menjadi umat yang binasa. Dia berusaha dan berjuang sekuat tenaganya. Bila belum berhasil, dia wasiatkan kepada generasi berikutnya untuk meneruskan perjuangan. Tujuannya adalah memperoleh kemuliaan umat seaqidah. Dalam mewujudkan tujuan itu, hanya dua pilihan yang yang ditempuh. Berhasil dengan bendera kemenangan menuju kemuliaan, atau mati berkalang tanah dalam perjuangan. Hidup mulia atau mati syahid.

3. Bahwa manusia itu hanya tinggal sementara di dunia, tidak kekal. Masih ada perjalanan panjang dan kekal, itulah kehidupan akhirat. Kepercayaan ini menimbulkan minat yang kuat untuk mencapai kemuliaan ruhani, budi dan jiwa. Kepercayaan ini menghindarkan nafsu tamak dan loba. Orang yang tidak percaya akan akhirat, selalu diikat oleh dunia; memperkaya badan kasarnya, bersolek, sombong,

(11)

dan selalu menganggap rendah orang lain. Orang yang percaya akhirat akan memperindah batin, budi dan jiwanya. Akal budi dan pikirannya selalu digosok supaya mengkilap. Dia memikirkan keharuman namanya sesudah masuk kubur, bukan memikirkan kemegahannya semasa hidup. Dia mencari harta dengan jujur, tidak menyakiti orang lain, tidak dicampuri tipu daya, tidak suka menerima uang suap dan korupsi, tersingkir dari kelobaan anjing dan kecerdikan kancil, terpelihara dari menohok kawan seiring seperjuangan, menggunting dalam lipatan. Kekayaannya tidak dibelanjakan kepada yang percuma, tidak dihambur-hamburkan untuk mengenyangkan nafsu syahwatnya, tetapi untuk memberikan manfaat untuk perikemanusiaan dan kebersihan jiwa.

D. Catatan Akhir: Spiritualisme Tidak Membenci Kemajuan

Sebagian pandangan mengatakan bahwa kehidupan ruhani itu membenci dunia, mencari kebahagiaan dunia adalah sesat, tertipu oleh hawa nafsu. Maka dibuat cara-cara (thariqat) yang menghindar dari kehidupan ramai, berkhalwat, menyendiri, menyepi, hingga akhirnya tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya, masa bodoh, dungu, tidak teratur pakaian dan rumahnya, tersisih dari pergaulan.

Buya Hamka menolak pemahaman seperti itu. Pemahaman itu tidak diajarkan oleh agama. Pemahaman itu akan membawa kemunduran. Pemahaman itu menyebabkan umat terpuruk, tertindas, dan kalah. Agama Islam, kata Buya, bukan musuh kemajuan. Islam justru menuntun kemajuan, menempuh tujuan untuk perdamaian segala bangsa. Allah tidak mengharamkan perhiasan (Q.S. al-A’raf/: 32). Islam mengajarkan agar kita memperoleh kebahagian dunia dan akhirat (Q.S. al-Baqarah/2: 201). Kebaikan itu diturunkan Allah kepada orang-orang yang bertakwa baik di dunia mapun di akhirat (Q.S. al-Nahl/: 30). Islam mendorong manusia untuk memperoleh kemajuan dunia dengan banyak anjuran untuk membaca, menuntut ilmu, dan meneliti. Semua ilmu milik Allah untuk dijadikan sebagai sarana mencapai kebahagiaan. (Hamka, 2007: 114-115).

Spiritualisme dengan demikian mestinya mendorong manusia untuk bersemangat, tidak malas, guna memperoleh kembali fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh (penguasa di muka bumi). Dengan spiritualisme, seseorang bangkit memimpin dunia tanpa silau dengan kemajuan yang berujung pada pemujaan dunia. Kemajuan adalah untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kemakmuran menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Gaya hidup modern tidak jarang membawa manusia kepada kehidupan materialis hingga mengesampingkan nilai-nilai spiritual. Ajaran tasawuf dari masa ke masa dimaksudkan untuk menarik kehidupan

(12)

materialis itu untuk dibawa kepada nilai esoteris. Namun, ajaran Islam adalah ajaran keseimbangan antara yang eksoteris dan yang esoteris. Oleh karenanya, tasawuf yang benar adalah yang sesuai dengan nilai Islam yaitu yang menyeimbangkan antara kedua hal tersebut. Tasawuf yang benar adalah yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah, menjunjung tinggi akhlak mulia, setia kepada syariah, mendekatkan diri kepada Allah, dan membela kaum lemah dan tertindas, memberi manfaat bagi banyak manusia, dan mendorong semangat kemajuan. Inilah paham spiritual yang benar (tasawuf perennial) yang diridhai oleh Allah s.w.t. sehingga pengikutnya mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, insya Allah.

(13)

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik, Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam Indonesia, Aliade, Mirce, The Encyclopedia of Islam, vol. xiv, New York: MacMillan

Publishing Co., 1972.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1998.

Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995.

Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992.

Hamka, Tasauf Moderen, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007.

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.

Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992. Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di

Nusantara,

Noer, Kautsar Azhari, Tasawuf Perenial,Jakarta: 2002.

Said, Usman, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan: IAIN-SU, 1982.

Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad XIX, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Taftazani, Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, terj. Ahmad Rafi' Utsmani, Bandung: Pustaka, 1985.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak seperti sistem operasi lain yang hanya menyediakan satu atau 2 shell, sistem operasi dari keluarga unix misalnya linux sampai saat ini dilengkapi oleh banyak shell

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan untuk analisis dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang berasal dari laporan keuangan

Pemasaran produk dalam bisnis perbankan saat ini semakin berkembang dan bersaing, hal ini semakin membuat informasi semakin cepat terdistribusikan, Teknologi ini dapat

Margond a Raya Konsultansi Studi Kelayakan Pembangunan Jalan Tembus Jalan Proklamasi ke Jalan Bogor

Benih yang direndam dengan H2SO4 selama 20 menit tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada daya berkecambah terhadap semua metode uji tetapi berbeda secara signifikan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa hasil penelitian menunjukan adanya pengaruh dan berpengaruh secara signifikan

4.6 Distribusi Frekuensi Pengukuran Infeksi Bakteri pada Organ Reproduksi Sebelum Pemakaian Pembalut Wanita Herbal di Lokalisasi Kelurahan Sukosari Kecamatan Bawen Semarang