2011
Profil Kesehatan Sulawesi Barat
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANGPembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya untuk mewujudkan Negara Indonesia menjadi bangsa yang sehat,maju, mandiri, sejahtera, adil dan makmur dengan sasaran meningkatnuya kualitas sumber daya manusia yang ditandai dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan semakin kuatnya jati diri dan karakter bangsa.
Pembangunan kesehatan harus dilaksanakan dengan keterlibatan masyarakat luas dan dilaksanakan dengan semangat kemitraan lintas sektor, antara pemerintah dan sawasta, serta antara pusat dengan daerah. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui peningkatan : 1). Upaya kesehatan, 2). Teknologi dan Produk Teknologi Kesehatan, 3). Pembiayaan Kesehatan, 4). SDM Kesehatan, 5). Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Makanan, 6). Manajemen, Informasi, Regulasi Kesehatan, dan 7). Pemberdayaan Masyarakat.
Sesuai dengan amanat yang tertiuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 dan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI tahun 2010 – 2014, yang ditujukan
untuk meningkatkan status kesehatan setinggi-tingginya, serta mencapai MDG,s yang merupakan salah satu tugas penting dari Pemerintah. Diupayakan percepatan pencapaian target sasaran yang telah ditetapkan dengan pembangunan kesehatan yang lebih focus, sistematis, terpadu, efisien, terintegrasi yang memerlukan kerjasama dan komitmen dari seluruh stakeholders.
Untuk menjamin terlaksananya pembangunan secara efektif dan efisien khususnya dalam bidang Kesehatan maka diperlukan data dan informasi kesehatan yang cepat, tepat dan akurat sebagai bahan dasar penyusunan perencanaan pembangunan kesehatan yang sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh . Data yang akurat menjadi salah satu indikator penting dalam penyusunan perencanaan pembangunan kesehatan
Profil Kesehatan 2011 yang berbasis data terpilah menurut jenis kelamin. Profil Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat tahun 2011 adalah gambaran situasi kesehatan di Provinsi Sulawesi Barat yang memuat berbagai data tentang situasi dan hasil pembangunan kesehatan selama tahun 2011. Data dan informasi yang termuat antara lain data kependudukan, fasilitas kesehatan, pencapaian program-program kesehatan, masalah kesehatan dan lain sebagainya. Profil Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat ini disajikan secara sederhana dan informatif dengan harapan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Selain untuk menyajikan informasi kesehatan, profil Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat bisa dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan/kemajuan pembangunan kesehatan yang telah dilakukan selama tahun 2011 dibandingkan dengan target yang sudah ditetapkan, sekaligus bisa dipakai sebagai bahan evaluasi perwujudan menuju Sulawesi Barat Malaqbi.
B. MAKSUD DAN TUJUAN I. Maksud
Maksud dalam penyusunan Profil Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat Tahun 2011 adalah untuk memantapkan dan mengembangkan Sistem Informasi Kesehatan, sehingga dapat digunakan secara aplikatif sebagai acuan dalam manajemen pelaksanaan upaya pelayanan kesehatan.
II. Tujuan
a. Tujuan Umum
Memberikan informasi tentang program-program pembangunan kesehatan, pencapaian pembangunan kesehatan dan kinerja pembangunan kesehatan.
b. Tujuan Khusus
1. Tersedianya data tentang data geografi, demografi, dan
sosial-ekonomi.
3. Evaluasi kinerja pembangunan kesehatan
4. Terciptanya suatu sistem informasi kesehatan yang dapat
digunakan sebagai indikator pencapaian program dan kegiatan kesehatan
C. SISTEMATIKA PENYAJIAN
Profil Kesehatan diharapkan bisa lebih informatif, maka profil kesehatan ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:
Bab I – Pendahuluan. Bab ini secara ringkas menjelaskan latar belakang, maksud dan tujuan serta sistematika penulisan. Di dalamnya berisi pula uraian ringkas dari masing-masing bab.
BAB II - Gambaran Umum. Bab ini menyajikan tentang gambaran umum Propinsi Sulawesi Barat. Di dalamnya berisi uraian tentang keadaan geografis, keadaan penduduk, keadaan pendidikan, keadaan ekonomi, dan keadaan lingkungan di Propinsi Sulawesi Barat
BAB III - Situasi Derajat Kesehatan. Bab ini menyajikan situasi Derajat Kesehatan berisi uraian tentang angka kematian, angka kesakitan, dan keadaan gizi;
BAB IV - Situasi Upaya Kesehatan . Bab ini membahas tentang upaya – upaya kesehatan yang telah dilaksanakan di Sulawesi Barat sampai tahun 2011.
BAB V - Tenaga Kesehatan berisi uraian tentang jenis tenaga kesehatan, unit kerja penempatan tenaga kesehatan, dan persebaran tenaga kesehatan di unit kerja Propinsi Sulawesi Barat
BAB II
PENDAHULUAN
A. KEADAAN GEOGRAFISulawesi Barat merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang cukup strategis karena berada diantara dua Provinsi, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Provinsi Sulawesi Barat sebelah barat berbatasan langsung dengan Selat Makassar, Sebelah timur berbatasan dengan Sulawesi Selatan, sebelah utara berbatasan dengan Sulawesi tengah dan Sulawesi selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan.
Gambar 2.1
Luas wilayah Provinsi Sulawesi Barat sebesar 16.729,9 km2, secara administratif terbagi menjadi 5 kabupaten, yang tersebar menjadi 604 desa/kelurahan. Wilayah terluas adalah Kabupaten Mamuju dengan luas 7.943 km2, atau sekitar 47,5% dari luas total Provinsi Sulawesi
Barat, sedangkan Kabupaten Majene merupakan wilayah yang luasnya
paling kecil di Sulawesi barat, yaitu seluas 948 km2.
Gambar 2.2
Luas dan Persentase Kabupaten Se- Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2011
Secara topografi, wilayah Sulawesi Barat memiliki kondisi yang bervariasi yaitu pegunungan, perbukitan, dataran rendah, pesisir pantai serta rawa-rawa. Sebagian besar wilayah di Sulawesi Barat merupakan daerah yang sulit dijangkau disebabkan kondisi daerah yang sangat berat sehingga hanya bisa dilalui dengan kuda dan jalan kaki. Disamping itu masih terdapat sekelompok masyarakat terasing yang menutup diri dari kemajuan ilmu pengetahuan.
B. KEADAAN PENDUDUK
Jumlah penduduk Sulawesi Barat tahun 2011 (Hasil Estimasi Dinas Kesehatan masing-masing kabupaten) sebesar 1.163.737 Jiwa. Dengan
luas wilayah sebesar 16.937,2 km2,maka rata – rata kepadatan
penduduk di Sulawesi Barat sebesar 69 jiwa untuk setiap kilometer
persegi (km2). Wilayah terpadat adalah Kabupaten Polewali Mandar,
dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 231 jiwa per kilometer persegi (km2). Wilayah terlapang di Sulawesi Barat adalah Kabupaten
Mamuju, dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 42 jiwa per
kilometer persegi (km2). Dengan demikian dapat dilihat bahwa
persebaran penduduk se Sulawesi Barat belum merata.
Gambar 2.3
Jumlah Penduduk Provinsi Sulawesi Barat Menurut Kabupaten Tahun 2011
Dengan jumlah rumah tangga sebesar 255.512 rumah tangga, maka rata-rata jumlah rumah tangga di Sulawesi Barat adalah 4,55 Jiwa untuk setiap rumah tangga. Jumlah penduduk tertinggi berada di Kabupaten Polewali Mandar dan terendah di Kabupaten Mamuju Utara. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari rasio jenis kelamin yaitu perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan per 100 penduduk. Berdasarkan hasil proyeksi Dinas Kesehatan Kabupaten tahun 2010 didapatkan jumlah penduduk laki-laki di Sulawesi Barat sulit ditentukan karena kelengkapan data yang kurang dari kabupaten. Data mengenai Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio) dapat dilihat pada lampiran tabel 2.
Struktur/komposisi penduduk Sulawesi Barat menurut umur dan jenis kelamin menunjukkan bahwa penduduk laki maupun perempuan mempunyai proporsi terbesar pada kelompok umur 10 – 14 tahun dan 5–9 tahun.
C. KEADAAN PENDIDIKAN
Keadaan pendidikan merupakan salah satu indikator yang kerap ditelaah dalam mengukur tingkat pembangunan manusia suatu daerah. Melalui pengetahuan, pendidikan berkonstribusi penting terhadap perubahan perilaku kesehatan masyarakat. Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor
pencetus yang berperan dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat.
Angka buta huruf berkolerasi dengan angka kemiskinan. Sebab, pendududk yang tidak bisa membaca secara tidak langsung mendekatkan mereka pada kebodohan, sedangkan kebodohan itu sendiri mendekatkan kepada kemiskinan.
Berdasarkan data BPS 2010, persentase penduduk usia 5 tahun keatas yang melek huruf di Sulawesi Barat sebesar 84,86%, artinya persentase penduduk usia 5 tahun keatas yang bisa membaca serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. Penggunaan AMH adalah untuk mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama didaerah pedesaan di Indonesia terutama didaerah di Sulawesi Barat; menunjukkan kemampuan penduduk suatu wilayah dalam menyerap informasi daer beberapa media dan menunjukkan kemapuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis.
D. KEADAAN EKONOMI
Proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya kurang dari $1 per kapita per hari adalah persentase penduduk yang hidup dengan pendapatan di bawah $1 (PPP) per hari. Nilai dolar dimaksud adalah nilai dolar berdasarkan Paritas Daya Beli atau Purchasing Power Parity
(PPP) yang konversinya dengan mata uang lokal berdasarkan harga tahun 1993.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Barat tidak melakukan pendataan tingkat kemiskinan dengan parameter pendapatan kurang dari US$ 1,00 per kapita perhari, oleh karena itu tolak ukur yang digunakan adalah garis kemiskinan yang telah ditentukan secara nasional.
Salah satu pendekatan dalam pengukuran kemiskinan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik adalah seseorang yang dianggap miskin jika tak mampu memenuhi kebutuhan dasar makanan yang disetarakan 2100 kilokalori serta kebutuhan bukan makanan, yakni kebutuhan minimum perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan yang dibawah rata-rata minimum, konsep dan Pendekatan di atas dikenal denga nama pemenuhan kebutuhan dasar (Basic Needs Approach). Jumlah Penduduk miskin di Provinsi Sulawesi Barat sejak Maret 2007 sampai dengan Maret 2010 terus mengalami penurunan yang signifikan. Tahun 2007 presentase penduduk miskin mencapai kisaran 19,03 persen atau setara dengan 189,9 ribu orang, kemudian mengalami penurunan yang cukup besar hingga tahun 2010, yaitu sebesar 13,58 persen atau sekitar 141,33 ribu orang dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 13,89%
Gambar 2.4
Angka Kemiskinan Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2007-2011
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Barat, 2012
Kecenderungan data garis Kemiskinan dari hasil pendataan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan hasil yang positif, dimana garis kemiskinan rata-rata penduduk di Provinsi Sulawesi Barat dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 semakin membaik.
BAB III
SITUASI DERAJAT KESEHATAN
Gambaran masyarakat Provinsi Sulawesi Barat masa depan yang ingin dicapai oleh segenap kelompok masyarakat melalui pembangunan kesehatan Provinsi Sulawesi Barat adalah “Terwujudnya Masyarakat
Sulawesi Barat Yang Sehat Maju dan Amanah”. Untuk mewujudkan
visi tersebut ada lima misi yang diemban oleh seluruh jajaran petugas kesehatan di masing-masing jenjang administrasi pemerintahan, yaitu meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, Menjamin pemerataan sumber daya kesehatan, Memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, Mendorong percepatan pelaksanaan pembangunan kesehatan daerah tertinggal dan daerah perbatasan dan menciptakan manajemen kesehatan yang akuntabel.
Guna mempertegas rumusan visi Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat “Terwujudnya Masyarakat Sulawesi Barat Yang Sehat Maju
dan Amanah” maka ditempuh strategi percepatan berupa
mewujudkan komitemen pembangunan berwawasan kesehatan, Profesioanalisme Unit Kerja, mempercepat pemerataan pelayanan kesehatan yang berkualitas di daerah terpencil dan kepulauan dengan strategi mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan Melaksanakan jejaring Pembangunan Kesehatan.
Adapun situasi derajat kesehatan masyarakat di Provinsi Sulawesi Barat adalah sebagi berikut :
A. ANGKA KEMATIAN
Kejadian kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu dapat menggambarkan status kesehatan masyarakat secara kasar, kondisi atau tingkat permasalahan kesehatan, kondisi lingkungan fisik dan biologic secara tidak langsung. Disamping itu dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan.
1. Angka Kematian Bayi
Angka kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi (0-12 bulan) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKB dapat menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan factor penyebab kematian bayi, tingkat pelayanan antenatal, status gizi ibu hami, tingkat keberhasilan program KIA dan KB, serta kondisi lingkungan dan social ekonomi. Bila AKB disuatu wilayah tinggi, berarti status kesehatan diwilayah tersebut rendah. AKB di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2011 sebesar 11,6/1000 kelahiran hidup, menurun bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 15,2/1000 kelahiran hidup. Apabila dibandingkan dengan target Nasional dalam RPJMN 24/1000 kelahiran hidup, maka AKB Provinsi Sulawesi Barat sudah melampaui target Nasional, demikian juga bila
dibandingkan dengan target yang diharapkan dalam MDD (Millennium
Development Goals) tahun 2015 yaitu 23/1000 kelahiran hidup.
Penurunan AKB di Provinsi Sulawesi Barat satu tahun terakhir dapat memberi gambaran pelayanan kesehatan yang meningkat secara keseluruh lapisan masyarakat.
Gambar 3.5 Angka Kematian Bayi di Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2007-2011 Sumber : Program KIA Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, 2012
Kabupaten dengan Angka Kematian Bayi tertinggi pada tahun 2011 adalah kabupaten Mamuju Utara dengan AKB sebesar 15,9/1000 Kelahiran hidup atau sebanyak sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Mamasa 6/1000 kelahiran hidup
Gambar 3.6
Angka Kematian Bayi Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat
Tahun2011
Sumber : Program KIA Dinas Kesehatan Provinsi, tahun 2012
Angka kematian bayi yang bervariasi dan tidak merata ditiap kabupaten merupakan masalah pelayanan kesehatan. Akses pelayanan yang tidak merata ditiap kabupaten memerlukan intervensi yang berbeda.
Tabel 3.1
Jumlah kematian bayi menurut Kabupaten
tahun 2011
Sumber : Program KIA Dinas Kesehatan Provinsi 2012
2. Angka Kematian Balita
Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah kematian balita (1 – 5 tahun) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKABA dapat menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak balita, tingkat pelayanan KIA/Posyandu, tingkat keberhasilan program KIA/Posyandu, dan kondisi sanitasi lingkungan.
Angka kematian balita atau AKABA menggambarkan peluang untuk meninggal pada fase antara kelahiran dan sebelum umur 5 tahun. Berdasarkan laporan Dinas kesehatan 5 Kabupaten di Propinsi Sulawesi Barat, Angka kematian balita tahun 2007 sebesar 17,2 per 1.000 kelahiran hidup, tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 11,4 per
1000 kelahiran hidup dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 14,02 per 1000 kelahiran hidup, tahun 2010 menurun menjadi 16,42 per 1000 kelahiran hidup dan pada tahun 2011 menjadi 12,1/1000 Kelahiran hidup . Hal ini menandakan Angka Kematian Balita 3 tahun terakhir sifatnya fluktuatif
Kasus kematian Balita berhubungan erat dengan kondisi lingkungan, perilaku, infeksi penyakit, status gizi dan imunitas serta mutu dari pelayanan kesehatan. Format pelaporan program KIA yang selama ini digunakan tidak bisa mengakomodasi jumlah kematian balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas sehingga data kematian balita (1 – 4 th) tidak bisa diketahui.
Gambar 3.7
Angka Kematian Balita (AKABA) per 1000 kelahiran hidup Propinsi Sulawesi Barat Tahun 2007-2010
Sumber : Program KIA Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, 2012
Pada gambar 3.7 nampak bahwa Angka Kematian Balita selama periode 2007-2009 menunjukkan flukstuasi dan mengalami penurunan
pada tahun 2011. Pencapaian AKABA Sulawesi Barat sudah mencapai target MDGs yakni 32 / 1000 kelahiran hidup yang mesti dicapai pada tahun 2015
Data kematian balita ini termasuk dalam indikator pemantauan pada cakupan pelayanan anak balita (12-59 bulan). Jadi, kasus kematian yang terjadi tergantung dari peran tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan sesuai standar meliputi pemantauan pertumbuhan minimal 8x setahun, pemantuan perkembangan min 2x setahun dan pemberian vitamin A 2x setahun. Termasuk dalam pelayanan mendapatkan MTBS, khusus untuk anak yang sakit sehingga kematian dapat dicegah.
3. Angka Kematian Ibu
AKI yang didefinisikan sebagai banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau bersalin per 100.000 kelahiran hidup yang disebabkan oleh kehamilan atau pengelolaannya, kecuali yang disebabkan oleh kecelakaan.
Angka kematian Ibu merupakan salah satu indikator penting yang merefleksikan derajat kesehatan di suatu daerah, yang mencakup tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan Ibu, kondisi kesehatan lingkungan serta tingkat pelayanan kesehatan terutama bagi ibu hamil, ibu melahirkan dan ibu pada masa nifas.
Kesehatan Ibu hamil/bersalin dan AKI memiliki korelasi erat dengan kesehatan bayi dan AKB. Faktor kesehatan ibu saat ia hamil dan bersalin berkontribusi terhadap kondisi kesehatan bayi yang dikandung serta resioko bayi yang dilahirkan dengan lahir mati (still birth) atau yang mengalami kematian neonatal dini (umur 0-6 hari).
Gambar 3.8
Jumlah Kematian Ibu Menurut Kabupaten Tahun 2011
Sumber : Program KIA Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, 2012
Sebagai Provinsi baru Sulawesi Barat belum memiliki data statistik vital yang langsung dapat menghitung Angka Kematian Ibu (AKI). Jumlah Kematian Ibu didapatkan dengan mengumpulkan informasi dari Puskesmas semasa kehamilan, persalinan atau selama melahirkan. Seperti indikator kesehatan lain pada umumnya, terdapat perbedaan AKI antar wilayah di Sulawesi Barat. Berdasarkan data Jumlah Kematian Ibu di provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011 di 5 (lima) kabupaten menunjukkan bahwa kabupaten Mamuju Utara dan Mamasa mempunyai jumlah kematian Ibu yang paling rendah yaitu 5 ibu di bandingkan dengan Polman dan Mamuju 13 ibu yang meninggal dan Majene 6 ibu yang meninggal pada tahun 2010.
Gambar 3.9
Angka Kematian Ibu Menurut Kabupaten Tahun 2011 Provinsi Sulawesi Barat
Sumber : Program KIA Dinas
Kesehatan
Provinsi Sulawesi Barat tahun 2012
Angka Kematian Ibu per tahun di Provinsi Sulawesi Barat belum dapat ditentukan karena jumlah kelahiran hidup di Sulawesi Barat pada tahun 2011, sebesar 23.259 kelahiran hidup. Namun untuk menjadi acuan program dalam pelaksanaan kebijakan program bidag kesehatan dan pembanding capaian tiap kabupaten maka konstanta yang digunakan dalam perhitungan Angka Kematian Ibu pada gambar 3.9 adalah per 100.000 kelahiran hidup. Jadi dalam buku ini penyusun hanya angka absolut atau jumlah sebenarnya, dan dengan menggunakan rumus per 100.000 kelahiran hidup.
Gambar 3.10
Jumlah Kematian Ibu Maternal Sulawesi Barat Tahun 2006-2011
Sumber : Program KIA Dinas Kesehatan Sulawesi Barat,2012
B. Morbiditas
Morbiditas adalah angka kesakitan (insidensi atau prevalensi) dari suatu penyakit yang terjadi pada suatu populasi dalam kurun waktu
tertentu. Morbiditas berhubungan dengan terjadinya atau
terjangkitnya penyakit didalam populasi, baik fatal maupun non-fatal. Angka morbiditas lebih cepat menentukan keadaan kesehatan masyarakat dari pada angka mortalitas, karena banyak penyakit yang mempengaruhi kesehatan hanya mempunyai mortalitas yang rendah.
1. Penyakit terbanyak di Rumah Sakit
Penyakit terbesar di rumah sakit sepanjang tahun 2010 di Sulawesi Barat menurut catatan Bidang Pelayanan Medik Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan pasien yang paling banyak
berkunjung adalah pasien dengan faktor yang mempengaruhi keadaan kesehatan dan berhubungan dengan pelayanan kesehatan.
Perincian penyakit yang melakukan kunjungan rawat jalan di rumah sakit menurut catatan Bidang Pelayanan Medik Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2011 adalah sebagai berikut :
Kunjungan terbesar pertama rawat jalan adalah Diare dengan Jumlah kunjungan 1888 orang dan penyakit kedua adalah Demam Berdarah dengan jumlah kunjungan 1232 orang.
Gambar 3.11
Jumlah 6 Penyakit Terbanyak Pada Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap Dirumah Sakit Di Sulawesi Barat Tahun 2011
2. Penyakit Menular a. Malaria
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang upaya pengendaliannya menjadi komitmen global dalam Millennium
Development Goals (MDGs). Malaria disebabkan oleh hewan bersel satu
(protozoa). Plasmodium yang ditularkan melaui gigitan nyamuk
Anopheles. Wilayah endemis malaria di Sulawesi Barat pada umumnya
adalah desa – desa terpencil dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, sarana transportasi dan komunikasi yang sulit, akses pelayanan kesehatan kurang, tingkat pendidikan dan social ekonomi masyarakat yang rendah.
Direktorat Jenderal PP&PL Kementerian Kesehatan telah menetapkan stratifikasi endemisitas malaria di suatu wilayah di Indonesia menjadi 4 strata yaitu:Endemis tinggi bila API > 5 per 1.000 penduduk; Endemis sedang bila API berkisar antara 1 - < 5 per 1.000 penduduk; Endemis rendah bila API 0 – 1 per 1.000 penduduk; Non Endemis adalah daerah yang tidak terdapat penularan malaria (Daerah pembebasan malaria) atau API = 0.
Guna mencapai target yang di canangkan secara nasional maka ada beberapa program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat diantaranya sebagai berikut :
1. Gebrak Malaria yang bertujuan untuk memastikan 80% dari masyarakat yang beresiko terjangkit malaria mendapatkan perlindungan melalui metode pengendalian vector yang sesuai keadaan setempat; 80% penderita malaria didiagnosis dan diobati dengan menggunakan antimalarial yang adekuat; 80% perempuan ibu hamil didaerah penularan yang stabil mendapat perawatan pencegahan berkala (IPTp); dan beban akibat penyakit malaria berkurang sampai 50% dan pada tahun 2015, penyakit dan kematian akibat malaria berkurang 75 persen dibandingkan dengan tahun 2005, tervapainya target MDG dan intervensi efektif diterapkan secara universal
Tabel 3.2
Strategi Kampanye Gebrak Malaria
Strategi Utama Tujuan Utama
Memobilisasi dan memberdayakan masyarakat menuju hidup sehat
Semua desa menjadi “desa siaga”-pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pemberantasan dan pengendalian malaria dan penyakit lain yang merupakan masalah utama kesehatan
Meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang berkualitas
Setiap bayi, anak dan kelompok resiko tinggi terlindung dari
penyakit-penyakit Memperbaiki sistem surveilans,
monitoring dan informasi
Setiap kejadian penyakit dilaporkan secara tepat waktu dan akurat kepada dinas kesehatan terdekat
Setiap kejadian luar biasa/wabah dikendalikan secara cepat dan tepat Peningkatan ketersediaan pendanaan
malaria
2. Penelitian Malaria terpadu kerjasama Universitas Hasanuddin dengan Dinas Kesehatan Sulawesi Barat. Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Mamuju yang merupakan daerah endemis malaria tinggi di Sulawesi Barat dan berlangsung selama 3 tahun mulai 2010 – 2012.
Di Sulawesi Barat terdapat dua kabupaten yang termasuk dalam daerah endemis tinggi yakni Mamuju dan Mamuju Utara. Kondisi wilayah yang ada menjadi salah satu faktor tingginya kasus malaria di kedua wilayah tersebut di bandingkan dengan wilayah lain di Sulawesi Barat.
API Sulawesi Barat pada tahum 2010 adalah 6,7 per 1.000 dan mengalami penurunan menjadi 5,9 per 1000 penduduk Sulawesi barat pada tahun 2011. Di hubungkan dengan target MDGs angka API Sulawesi Barat masih sangat tinggi. Begitupula dengan target nasional yang yang menargetkan jumlah kasus kejadian malaria menjadi kurang dari 1 per 1000 kasus malaria positif yang ditemukan melalui pelayanan rutin. Sulawesi Barat mesti memacu diri untuk mencapai target nasional Indonesia bebas malaria tahun 2030.
b. TB Paru
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi hasil TB.
Bersama dengan malaria dan HIV AIDS, TB menjadi salah satu penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam MDGs.
Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB adalah
Case Detection Rate (CDR), yaitu proporsi jumlah pasien baru TBA
Positif yang ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Kementerian Kesehatan menetapkan target CDR minimal pada tahun 2010 sebesar 70%.
Dalam upaya peningkatan efektifitas pengendalian TB, Sulawesi Barat telah melakukan upaya penguatan DOTS yang merupakan kebijakan nasional dalam pengendalian Tuberkulosis. Kunci utama dalam DOTS yaitu : komitmen, doagnosa yang benar dan baik. Ketersediaan dan lancarnya distribusi obat, pengawasan penderita menelan obat dan pencatatan dan pelaporan penderira dengan baik dan benar dengan sistem kohort.
Gambar 3.12 Angka Penemuan Kasus (CDR) Per Kabupaten Provinsi Sulawesi Barat tahun 2011
Sumber : Program P2PL Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, 2012
Angka penemuan kasus Case Detection Rate (CDR) Sulawesi Barat tahun 2011 Sulawesi Barat sebesar 55%. Kabupaten Majene adalah Kabupaten dengan pencapaian CDR sebesar 110% dan paling rendah adalah Kabupaten Mamasa sebesar 17%. CDR Sulawesi Barat sebesar 50%. Capaian ini belum mencapai target MDGs sebesar 70%. Hal ini tentu menjadi tantangan terbesar bagi Sulawesi Barat untuk dapat mencapai target MDGs pada tahun 2015.
Tantangan yang dihadapi dalam upaya penanganan TB di Sulawesi Barat antara lain:
1. Masih rendahnya kesadaran masyarakat mengakibatkan tingginya
resiko penyebaran infeksi. Hal ini terkait dengan advokasi, komunikasi dan mobilisasi social belum optimal, terbatasnya akses pelayanan dan belum maksimalnya kemitraan antara public-swasta;
2. Masih tingginya penemuan kasus yang belum diimbangi dengan
ketersediaan pelayanan pengobatan yang memadai. Layanan pengobatan untuk TB secara rutin belum merata.
3. Masih terbatasnya penguatan kebijakan pengendalian TB berbasis
local di Sulawesi Barat. Diperlukan penguatan pelayanan kesehatan, informasi dan pendanaan tingkat daerah
4. Belum optimalnya sistem informasi untuk penyusunan kebijakan
sistem kesehatan, peran serta petugas kesehatan, ASCM, dan riset masih kurang optimal
5. Masih terbatasnya sumber pendanaan untuk menanggulangi TB di
Sulawesi Barat. Selama ini sumber dana pendanaan penanggulangan TB di Sulawesi Barat sebagian besar berasal dari bantuan luar negeri (GF TB). Untuk itu diperlukan peningkatan mobilisasi sumber daya local dan peningkatan efisiensi anggaran bersumber APBD dalam peningkatan program TB.
c. HIV AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus (retrovirus) yang
menginfeksi sel-sel sistem imunologi sehingga merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah kondisi kesehatan seseorang ketika HIV telah merusak sistem kekebalan terhadap penyakit Infeksi menular seksual (IMS) merupakan penyakit yang sangat erat keterkaitannya dengan kejadian HIV dan AIDS.
Keberadaan penderita HIV/AIDS bagaikan fenomena gunung es, dimana jumlah penderita yang ditemukan jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk yang terinfeksi dan diperkirakan pada tahun 2010 jumlah Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) di Sulawesi Barat mencapai 000000 orang. Kondisi tersebut berkaitan dengan keadaan geografis Sulawesi Barat yang berada dalam posisi “Segitia emas” terletak diantara
Sulawesi selatan dan Sulawesi Tengan dan berbatasan langsung dengan pulau Kalimantan menjadi salah satu faktor mobilisasi penduduk yang cepat. Selain itu banyaknya penduduk yang masuk menyebabkan adanya perubahan pola hidup dan perubahan perilaku seksual yang tidak aman serta penggunaan Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) suntik yang semakin meluas.
Tantangan lain yang dihadapi adalah terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan dalam pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV AIDS. Sistem layanan kesehatan perlu diperkuat dalam menangani kasus HIV/AIDS; terbatasnya alokasi anggaran dan ketersediaan dana yang berkesinambungan dalam pengendalian HIV/AIDS. Masalah dana menjadi kendala utama dalam mengani HIV/AIDS; masih lemahnya koordinasi linta sektor sistem monitoring dan evaluasi; dan masih terbatasnya fasilitas dan tenaga kesehatan baik dalam hal kuantitas dan kualitas maupun kapasitas dalam penanganan HIV AIDS.
Upaya pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan memalui penyuluhan ke masyarakat, pembentukan klinik IMS dan Voluntary Concealing Test VCT di puskesmas, pengobatan dan pemeriksaan berkala penyakit menular seksual, pengamatan darah donor dan kegiatan lain yang menunjang pemberantasan penyakit HIV/AIDS. Pengembangan jejaring HIV/AIDS serta kerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA) tingkat provinsi dan kabupaten,
Majelis Ulama (MU) serta organisasi masyarakat lainnya yang terkait merupakan usaha lain dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Meski demikian jumlah penderita HIV/AIDS di Provinsi Sulawesi Barat hingga tahun 2011 belum ada laporan secara tertulis penduduk yang tercatat sebagai penderita positif, namun penderita positif tersebut diperkirakan ada di sekitar kita.
d. Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
ISPA seringkali menjadi penyebab utama kematian pada bayi dan balita, dimana pneumonia diduga sebagai faktor utama penyebabnya. ISPA juga merupakan salah satu penyebab kunjungan berobat pasien di rumah sakit dan Puskesmas.
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) atau Acute Respiratory
Infection (ARI) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu
bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit ISPA yang menjadi fokus program kesehatan adalah Pneumonia, karena pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak.
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus maupun jamur dengan populasi rentan pada anak-anak usia kurang dari dua tahun, usia lanjut
lebih dari 65 tahun, atau orang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologi).
Gambar 3.13
Penderita Pneumonia pada Balita
Menurut Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2007 – 2011
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, 2012
Berdasarkan laporan bidang pencegahan dan pengendalian penyakit dari dinas kesehatan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Barat, kasus pneumonia mengalami penurunan yang cukup tajam dari tahun 2007.
Pada tahun 2011 kasus pneumonia menunjukkan adanya
kecenderungan penurunan dari 4.187 pada tahun 2010 menjadi 1.729 pada tahun 2011
e. Kusta
Penyakit kusta atau disebut penyakit lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae yang
menyerang syaraf tepi dan jaringan tubuh lainnya. Bila tidak ditangani dengan baik, kusta dapat menjadi progresif, menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, syaraf, anggota gerak dan mata.
Penyakit kusta menurut jenis penyakitnya dibedakan menjadi kusta Pausi Basiler (PB) dan kusta Multi Basiler (MB) dan pengobatannya disesuaikan dengan klasifikasi jenisnya.
Strategi global WHO menetapkan indikator eliminasi kusta adalah angka penemuan penderita atau istilah bahasa inggrisnya Newly Case
Detection Rate (NCDR) yang menggantikan indicator utama
sebelumnya yaitu angka penemuan penderita terdaftar berupa prevalensi rate < 1/100.000 penduduk.
Gambar 3.14 Angka Penemuan Kasus Kusta Baru Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2007 – 2011 Sumber :Bagian P2PL Dina Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, 2012
Angka penemuan kasus kusta baru pada tahun 2011 mengalami peningkatan, baik dari jenis MB. Sedangkan untuk persebarannya, kasus kusta terdapat di semua kabupaten dengan jumlah kasus yang
berbeda-beda.Hal ini disebabkan masalah dalam pengelolaan pengendalian penyakit kusta baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.
Dalam upaya penanggulangan penyakit kusta di Indonesia, salah satu indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilannya adala angka proporsi cacat tingkat II (kecatatatn yang dapat dilihat dengan mata) sebesar 5% dan proporsi anak di antara kasus baru. Angka proporsi cacat tingkat II digunakan untuk menilai kinerja petugas dalam upaya peningkatan penemuan kasus.
3. Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
AFP adalah kondisi abnormal yang ditandai dengan melemahnya, lumpuhnya atau hilangnya kekuatan otot tanpa penyebab yang jelas secara tiba-tiba. Hal ini dapat disebabkan oleh penyakit atau trauma yang mempengaruhi syaraf yang berhubungan dengan otot. AFP ini sering juga dijelaskan sebagai tanda cepat munculnya serangan seperti pada polio.
Kasus AFP adalah semua anak berusia kurang dar 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya layuh yang terjadi secara mendadak. Sedangkan AFP non polio adalah kasus AFP yang pada pemeriksaan spesimen tinja tidak ditemukan virus polio liar yang ditetapkan oleh tim ahli sebagai kasus AFP dengan kriteria tertentu.
Gambar 3.15
Jumlah Kasus AFP [lumpuh layuh] Provinsi Sulawesi Barat tahun 2007-2011
Sumber : Bagian P2PL Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, 2011
Indikator keberhasilan ERAPO adalah ditemukannya kasus AFP minimal 2/100.000 penduduk dan tidak ditemukannya kasus polio selama lima tahun berturut-turut. Penemuan kasus AFP di Sulawesi Barat dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 3.16
AFP Rate tahun 2007 – 2011 Provinsi Sulawesi Barat tahun 2012
4. Penyakit Potensial KLB/Wabah a. Demam Berdarah
Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorraghic Fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue serta disebarkan dengan perantaraan nyamuk Aedes Aegypty dan Aedes Albopictus yang hidup di genangan air bersih atau jernih di sekitar rumah atau tempat-tempat yang dapat menampung dan menjadi genangan air dan umumnya kasus ini mulai meningkat pada musim penghujan.
Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan sering muncul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) sehingga menimbulkan kepanikan di masyarakat karena penyebarannya yang sangat cepat dan berpotensi menimbulkan kematian bila tidak mendapatkan penangan secara cepat dan tepat.
Angka kesakitan DBD di Provinsi Sulawesi Barat sampai tahun 2011 cukup tinggi walaupun secara umum mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2011 jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) sebanyak 325 kasus meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar 169 kasus. Jumkah penderita yang meninggal pada tahun 2011 sebanyak 5 orang yang tersebar 1 di kabupaten Mamuju dan 4 di Kabupaten Mamuju Utara. Adanya kasus
kematian yang terjadi di Mamuju Utara ini karena adanya kasus KLB yang membuat 139 orang menderita DBD dan 4 diantaranya meninggal. Gambar 3.17 Jumlah kasus DBD tahun 2010 dan 2011 Menurut Kabupaten Provinsi Sulawesi Barat 2011 Sumber : Program P2PL Dinas Kesehatan Sulawesi Barat 2012
b. Diare
Diare dapat didefinisikan sebagai perubahan konsistensi fases selain dari frekuensi buang air besar. Dikatakan diare apabila fases lebih berair dari biasanya. Diare juga didefinisikan bila Buang Air Besar (BAB) tiga kali atau lebih atau BAB lebih berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam. Sementara diare yang berdarah didefinisikan sebagai disentri.
Selain angka kesakitan yang masih tinggi, penyakit diare juga sering menimbulkan KLB dengan tingkat CFR yang juga tinggi. Salah satu upaya menurunkan kematian akibat diare adalah dengan tatalaksana yang tepat dan cepat. Pengolahan, analisa, dan interpretasi data secara rutin juga akan dilakukan, sebagai upaya kewaspadaan dini KLB
Diare. Upaya ini dilakukan dengan mengadakan pelatihan petugas terintegrasi dengan pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), serta pengamatan tatalaksana diare di puskesmas sentinel.
Gambar 3.18
Cakupan Penemuan Penderita Diare
Menurut Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2011
Sumber : Bagian P2PL Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, 2012
Untuk tahun 2011, kejadian diare tertinggi tercatat di Kabupaten Mamuju sebanyak 18.425 kasus melebihi kasus perkiraan kejadian sebesar 13.850 kasus diare dan terendah di Kabupaten Mamasa sebanyak 4.128 kasus dengan kasus perkiraan sebenayak 5.925 kasus Gambar 3.19
Cakupan Penanganan Penderita Diare Menurut Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2008 - 2011.
Sumber : Bagian P2PL Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2012
Penanganan kasus diare di Provinsi Sulawesi Barat sudah mulai menunjukkan peningkatan dari tahun 2010 ke tahun 2011 secara signifikan. Pada tahun 2010 sebesar 43,9% dan menjadi 110,5% pada tahun 2011. Jumlah kasus diare yang terjadi lebih tinggi dari perkiraan kasus. Hal ini terjadi karena adanya kasus KLB diare yang terjadi beberapa kali selama kurun waktu tahun 2011.
c. Filariasis
Limpathic Filariasis adalah penyakit parasit dimana cacing filaria (Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori) menginfeksi jaringan limfe (getah bening). Parasit ini ditularkan pada manusia melalui gigitan berbagai jenis nyamuk yang telah terinfeksi dan kemudian menjadi cacing dewasa dan hidup di jaringan limfe.
Penyakit ini sering menyebabkan menurunkan daya kerja dan produktifitas serta timbulnya cacat tubuh yang menetap atau permanen berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelaminsebagai tanda tingkat lanjut dari penyakit. Penyakit ini juga sering disebut Elefantiasis atau yang sering juga disebut penyakit kaki gajah karena penderitanya sering mengalami bengkak di kaki yang sangat besar menyerupai kaki gajah.
Pada tahun 2011 penyakit ini menyebar di Kabupaten Polewali Mandar dan Mamuju Utara. Di Polewali Mandar berdasarkan data yang masuk tercatat 33 dan di Mamuju Utara sebanyak 10 kasus. Survey pemetaan
endemitas telah di beberapa kabupaten namun hingga saat ini belum dapat diketahui secara akurat prevalensi dan jumlah penderita secara pasti. Penemuan kasus filariasis selama ini hanya setelah timbulnya tanda tingkat lanjut dari penyakit ini mengingat penyakit ini bersifat kronis. Belum pernah ditemukan orang yang menderita filaria secara dini walaupun orang tersebut bermukim di daerah endemis atau terdapat penderita filariasis disekitarnya.
Gambar 3.20
Trend Kejadian Kasus Filariasis Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2007 - 2011
Sumber : Bagian P2PL Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, 2012
Dalam upaya mencapai eradikasi filariasis pada tahun 2020 diperlukan upaya pencegahan dan pemberantasan dilakukan dengan memutus rantai penularan dan mengobati penderita untuk mencegah infeksi sekunder serta alat/sarana yang sensitive untuk penegakan diagnosis sehingga penderita dapat ditemukan dalam stadium dini dan sampai tidak menimbulkan kecatatan.
BAB IV
SITUASI UPAYA KESEHATAN
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, telah dilakukan berbagai upaya pelayanan kesehatan masyarakat. Berikut ini diuraikan gambaran situasi upaya kesehatan yang telah dilakukan di Provinsi Sulawesi Barat.
A. PELAYANAN KESEHATAN DASAR
Pelayanan Kesehatan Dasar merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat, diharapkan sebagian besar masalah kesehatan dapat diatasi. Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dan jaringannya adalah sebagai berikut :
1. PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI
Ibu mempunyai peran besar didalam pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang dialami seorang ibu yang sedang hamil bisa berpengaruh pada kesehatan janin dalam kandungan hingga kelahiran dan masa pertumbuhan bayi / anaknya.
Pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi antara lain pelayanan antenatal, persalinan, nifas dan perawatan bayi baru lahir yang diberikan di sarana kesehatan mulai Posyandu sampai rumah sakit. a. Pelayanan Antenatal (K 1 dan K 4)
Pelayanan Antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan professional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat) kepada ibu hamil sesuai pedoman.Kegiatan pelayanan antenatal meliputi pengukuran berat badan dan tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundus uteri, imunisasi Tetanus Toxoid (TT) serta pemberian tablet besi pada ibu hamil selama masa kehamilannya. Titik berat kegiatan adalah promotif dan preventif dan hasilnya terlihat dari cakupan K1 dan K4
Cakupan K1 untuk mengukur akses pelayanan ibu hamil, menggambarkan besaran ibu hamil yang melakukan kunjungan pertama ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Indikator ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal dan kemampuan program dalam menggerakan masyarakat. Cakupan K1 tahun 2011 sebesar 97,8%, menurun dibandingkan tahun 2010 sebesar 99,2%.
Cakupan K4 adalah gambaran besaran ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar, minimal empat kali kunjungan selama masa kehamilannya (sekali di trimester pertama,
sekali di trimester kedua dan dua kali di trimester ketiga). Indikator ini berfungsi untuk menggambarkan tingkat perlindungan dan kualitas pelayanan kesehatan pada ibu hamil.
Cakupan K4 Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011 sebesar 78,1% dan mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010 sebesar 74,9%.
Gambar 4.21
Persentase cakupan pelayanan K1 dan K4 ibu hamil Di Sulawesi Barat Tahun 2006-2011
Sumber : Program Kesehatan Ibu dan Anak Bidang Bina Kesehatan Masyarakat, 2012
Dari grafik tersebut terlihat cakupan K4 di Sulawesi Barat menunjukan peningkatan dalam empat tahun terakhir dari tahun 2006 - 2010 yang berarti terjadi peningkatan kualitas pelayanan pada ibu hamil di Sulawesi Barat, namun menunjukkan penurunan dari tahun 2010 – 2011. Hal ini menunjukkan adanya penurunan program memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama bagi ibu hamil.
Hal ini harus menjadi perhatian dari pemegang program untuk meningkatkan program pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan memberikan kesadaran kepada masyarakat (ibu hamil) untuk memeriksakan kesehatannya, terutama kabupaten Mamasa yang cakupannya terendah 88,7%. Gambaran cakupan pelayanan K1 dan K4 menurut Kabupaten di Sulawesi Barat, dapat di lihat pada gambar 4.22 berikut:
Gambar 4.22
Persentase Cakupan Pelayanan K1 dan K4 Ibu Hamil Menurut Kabupaten Tahun 2011
Sumber : Program Ibu dan Anak, Binkesmas Dinkes Sulbar, 2012
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa tahun 2011 presentase ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC sampai 4 kali (cakupan K4) yang tertinggi adalah Kabupaten Majene (85%) setelah itu Kabupaten Mamuju 81,1% dan yang terendah adalah Kabupaten Mamasa (70%). Untuk dapat meningkatkan cakupan K4 dapat didukung dengan kegiatan Program Perencanaan Persalinan dan Penanganan Komplikasi (P4K), kemitraan bidan dan dukun serta kelas ibu hamil dan juga
dengan adanya program kelambu oleh GF ATM Round 8 Kesehatan Ibu dapat meningkatkan cakupan K4.
Serta diharapkan peran serta kader dalam mencari dan membawa ibu hamil dengan memberikan sosialisasi penggunaan buku KIA sehingga kader dapat mengenali tanda – tanda dan mendeteksi secara dini. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa di semua kabupaten se Provinsi Sulawesi Barat terdapat penurunan cakupan K1 ke cakupan K4. Hal ini disimpulkan bahwa banyaknya K4 yang drop out. Semua kabupaten se Provinsi Sulawesi Barat cakupan K1 lebih banyak dari ibu hamil dari sasaran yang telah mendapatkan pelayanan antenatal care pada kehamilannya tapi melihat DO K1-K4 sejumlah 19,1% maka Provinsi Sulawesi Barat perlu penelusuran dan intervensi lebih lanjut. Salah satu penyebab DO tersebut adalah ibu yang kontak pertama (K1) dengan tenaga kesehatan, kehamilannya sudah berumur lebih dari 3 bulan, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang kehamilannya. Sehingga diperlukan intervensi penelusuran ibu hamil dan mensosialisasikan kepada masyarakat pentingnya pemeriksaan kehamilan secara dini ke petugas kesehatan serta meningkatkan Program Perencanaan Persalinan dan Penanganan Komplikasi (P4K) dan melakukan sweeping ibu hamil secara berkala di wilayah kerja masing – masing.
Bila ibu hamil kontak pertama pada tenaga kesehatan (K1) bukan pada trimester 1 maka cakupan K4 nya pasti akan lebih kecil dari K1 karena dikatakan cakupan K4 bila memenuhi persyaratan 1 kali kontak dengan tenaga kesehatan pada kehamilan trimester 1, 1 kali kontak dengan tenaga kesehatan ada kehamilan trimester 2 serta 2 kali kontak dengan tenaga kesehatan pada kehamilan trimester 3
b. Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga
Kesehatan Yang memiliki kompetensi Kebidanan
Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir sebagian besar terjadi pada masa disekitar persalinan, hal ini antara lain disebabkan pertolongan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional).
Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan mengalami fluktuasi. Tahun 2011 Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 79,3% meningkat di bandingkan tahun 2010 sebesar 73,1% % Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan tahun 2006-2011 cenderung meningkat selama 4 tahun terakhir, namun belum mencapai target Standar Pelayanan Minimal tahun 2015 sebesar 90%. Capaian Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat hal dapat di lihat pada gambar 4.23 dan 4.24 berikut ini :
Gambar 4.23
Oleh tenaga Kesehatan Tahun 2006-2011
Sumber : Program Kesehatan Ibu dan Anak Bidang Bina Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Barat tahun 2012
Sumber : Program Kesehatan Ibu dan Anak, Bidang Bina Kesehatan
Masyarakat Dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, 2012
Pada gambar 4.23 terlihat bahwa
presentase ibu hamil yang melahirkan dengan ditolong oleh tenaga kesehatan ( cakupan PN) yang tertinggi adalah Kabupaten Majene (85,6%) kemudian Kabupaten Polman (83,9%) dan yang terendah adalah Kabupaten Mamuju (67,8%). Capaian Linakes Provinsi Sulawesi Barat berbanding lurus dengan Angka Kematian Ibu Kabupaten masing-masing. Kabupaten Mamasa dengan capaian Linakes 69,1% memiliki capaian Angka kematian ibu tertinggi di Sulawesi Barat yang mencapai 214 Per 100.000 Kelahiran hidup. (Perhitungan menggunakan rumus Jumlah kematian Ibu / Jumlah Kelahiran hidup x 100.000. Perhitungan
ini digunakan sebagai alat untuk membandingkan AKI per Kabupaten. Sebab konstanta yang digunakan adalah 100.000 Kelahiran hidup sedangkan jumlah kelahiran hidup di Kabupaten dan Provinsi belum mencapai angka 100.000)
Untuk dapat meningkatkan cakupan linakes dapat didukung dengan kegiatan Program Perencanaan Persalinan dan Penanganan Komplikasi (P4K), kemitraan bidan dan dukun, kelas ibu hamil serta pelatihan APN bagi bidan sehingga dapat menambah keterampilan bidan menangani persalinan disamping pelatihan – pelatihan lainnya yang menunjang peningkatan keterampilan bidan memberikan pelayanan di masyarakat. Serta membuat rumah tunggu untuk ibu hamil yang tempat tinggalnya jauh dari tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Serta diharapkan peran serta kader dalam mencari dan membawa dengan memberikan sosialisasi penggunaan buku KIA sehingga kader dapat mengenali tanda – tanda dan mendeteksi secara dini.
c. Ibu Hamil Resiko Tinggi (Risti)/komplikasi yang
ditangani
Risiko tinggi pada ibu hamil adalah keadaan penyimpangan dari normal yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Risti/komplikasi kebidanan meliputi Hb<8 %, Tekanan darah tinggi (Sistole >140 mmHg, diastole > 90 mmHg), oedema nyata, ekslampsia, perdarahan pervaginam, ketuban pecah dini, letak lintang
pada usia kehamilan > 36 minggu, letak sungsang pada pramigravida, infeksi berat/sepsis, persalinan prematur.
Dalam memberikan pelayan kuhususnya oleh tenaga bidan didesa dan puskesmas, beberapa ibu hamil yang memiliki resiko tinggi (risti) memerlukan pelayanan kesehatan karena terbatasnya kemampuan dalam memberikan pelayanan, maka kasus tersebut perlu dilakukan rujukan ke unit pelayanan kesehatan yang memadai.
Gambar 4.26
Persentase Penanganan Komplikasi Ibu Hamil Di Sulawesi Barat Tahun 2006 - 2011
Sumber : Program Ibu dan Anak Dinkes Sulawesi Barat tahun 2012
Pada tahun 2011
terdapat 28.154 ibu
hamil di Propinsi
Sulawesi Barat. Dari jumlah tersebut, terdapat sebanyak 5.631 ibu hamil risiko tinggi/komplikasi atau sebesar 20% dari jumlah ibu hamil yang ada. Jumlah ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ditangani sebesar 3.519 ibu hamil atau sebesar 62,5% .
Persentase Penanganan Komplikasi Ibu Hamil menurut Kabupaten Di Sulawesi Barat Tahun 2011
Sumber : Program Ibu dan Anak Dinkes Sulawesi Barat tahun 2012
Persentase cakupan ibu hamil komplikasi yang ditangani (PK) yang tertinggi adalah Kabupaten Polman (89,1%) dan yang terendah adalah Kabupaten Mamuju(35,1%). Untuk dapat meningkatkan cakupan PK dapat didukung dengan kegiatan Program Perencanaan Persalinan dan Penanganan Komplikasi (P4K) sehingga ibu hamil yang komplikasi dapat lebih dini terdeteksi jika bumil melakukan ANC lengkap, dapat pula didukung oleh kegiatan pemeriksaan ibu hamil secara brkala dengan menggunakan USG Mobile yang dilakukan oleh dokter obgyn ke daerah yang sulit dijangkau, kemitraan bidan dan dukun, kelas ibu hamil sera PKM mampu PONED sehingga bila ada yang ditedeksi bumil resti oleh nakes maupun masyarakat dapat terlebih dahulu ditangani di PKM PONED sebelum dirujuk ke RS. Tapi kendala yang ada yaitu tim PONED di PKM masih banyak yang belum aktif memberikan pelayanan
disebabkan oleh tiak adanya alat PONED serta seringnya terjadi pergeseran petugas kesehatan.
Serta diharapkan peran serta kader dalam mencari dan membawa bumil resti yang perlu mendapatkan penanganan dengan memberikan sosialisasi penggunaan buku KIA sehingga kader dapat mengenali tanda – tanda dan mendeteksi secara dini.
d. Pelayanan Nifas
Masa nifas adalah masa 6-8 minggu setelah persalinan dimana organ reproduksi mulai mengalami masa pemulihan untuk kembali normal, walau pada umumnya organ reproduksi akan kembali normal dalam waktu 3 bulan pasca persalinan.
Dalam masa nifas, ibu seharusnya memperoleh pelayanan kesehatan yang meliputi pemeriksaan kondisi umum, payudara, dinding perut, perineum, kandung kemih dan organ kandungan. Karena dengan perawatan nifas yang tepat akan memperkecil resiko kelainan bahkan kematian ibu nifas.
Gambar 4.28
Cakupan Kunjungan Ibu Nifas Di Sulawesi Barat Tahun 2007 – 2011
Sumber : Sumber : Program Ibu dan Anak Dinkes Sulawesi Barat tahun 2012
Pada tahun 2011 jumlah sasaran ibu bersalin di Sulawesi Barat sebanyak 26.911 orang dan 21.708 (81,1) mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010 sebesar 76,89%. Capaian tertinggi pelayanan nifas yang mendapat pelayanan nifas sesuai standar tahun 2011 adalah kabupaten Majene (96,4%) dan terendah Mamasa (71,9%).
Persentase pelayanan nifas tidak sama dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Di Kabupaten Majene, Mamasa, Mamuju dan Mamuju Utara ada kecenderungan cakupan pelayanan nifas lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan oleh tenaga kesehatan. Hal ini menandakan bahwa adanya ibu hamil yang dilahirkan dengan bantuan tenaga non kesehatan yang masa nifasnya ditangani oleh tenaga kesehatan. Sebaliknya di Kabupaten Polewali Mandar cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan cakupan pelayanan ibu nifas. Sehingga dapat diasumsikan bahwa adanya ibu hamil yang ditangani oleh tenaga kesehatan yang tidak mendapatkan pelayanan nifas sebesar 7,1% atau sebanyak 657 ibu hamil.
Gambar 4.29
Cakupan Kunjungan Ibu Nifas Menurut Kabupaten Di
Sulawesi Barat Tahun 2011
Sumber : Program Ibu dan Anak, Dinkes Sulawesi Barat 2011
e. Kunjungan Neonatus (KN2)
Kunjungan neonatus adalah bayi usia 0-28 hari yang kontak dengan tenaga kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan minimal tiga kali yaitu dua kali pada umur 0 -7 hari dan satu kali pada umur 8-28 hari (KN2).
Adapun pelayanan kesehatan yang diberikan adalah pelayanan kesehatan neonatal dasar yang meliputi tindakan resusitasi, pencegahan hipotermia, pemberian ASI dini dan ekslusif, pencegahan infeksi berupa perawatan mata, tali pusat, kulit dan pemberian imunisasi, pemberian vitamin K, manajemen terpadu balita muda (MTBM) dan konseling untuk ibunya tentang perawatan neonatus di rumah dengan menggunakan buku KIA.
Berdasarkan laporan Program Kesehatan ibu dan Anak jumlah perkiraan dengan risiko tinggi/komplikasi pada neonatal di Propinsi Sulawesi Barat tahun 2011 sebanyak 3.413 bayi. Dari jumlah tersebut cakupan penanganan neonatal resiko tinggi ditangani sebanyak 1.431 atau sebesar 41,9%. Cakupan penanganan Neonatla selama tahun 2008 sampai 2011 dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4.30
Cakupan Penangana Neonatal resiko tinggi Sulawesi Barat
Tahun 2008-2011
Sumber : Program Kesehatan Ibu dan Anak Dinkes Sulawesi Barat, 2012
Berdasarkan gambar 4.30 diatas menunjukkan bahwa selama tahun 2008-2011 penanganan neonatal resiko tinggi di Sulawesi Barat mengalami peningkatan yang cukup fluktuatif . Penurunan penanganan neonatus dengan komplikasi ditangani pada tahun 2010 - 2011 bukan berarti penanganan neonatus tidak dilaksanakan, namun dari perkiraan neonatus yang ada ternyata lebih banyak dari jumlah sebenarnya. Ini menjadi tanda bahwa semakin baiknya pelayanan kesehatan dan kunjungan ibu hamil kesarana pelayanan kesehatan selama hamil. Pada tahun 2011 persentase cakupan neonatal komplikasi yang ditangani yang tertinggi adalah Kabupaten Polman (57,9%). Kabupaten Polman mempunyai 1 (orang) orang dokter ahli anak dan memiliki RS mampu PONEK yang menjadi pusat rujukan, kemudian Kabupaten Majene dapat menangani neonatal yang komplikasi sebesar 45,2%.
Gambar 4.31
Cakupan Penanganan Neonatal resiko tinggi
menurut Kabupaten Di Sulawesi Barat Tahun 2011
Sumber : Program Kesehatan Ibu dan Anak Dinkes Sulawesi Barat, 2012
Untuk dapat meningkatkan cakupan penanganan neonatal dapat didukung dengan kegiatan Program Perencanaan Persalinan dan Penanganan Komplikasi (P4K) sehingga ibu hamil yang komplikasi dapat lebih dini terdeteksi jika bumil melakukan ANC lengkap, dapat pula didukung oleh kegiatan pemeriksaan ibu hamil secara berkala dengan menggunakan USG Mobile yang dilakukan oleh dokter obstetric dan ginekologin ke daerah yang sulit dijangkau, kemitraan bidan dan dukun, kelas ibu hamil serta PKM mampu PONED sehingga bila ada yang terdeteksi neonatal resti oleh nakes maupun masyarakat dapat terlebih dahulu ditangani di PKM PONED sebelum dirujuk ke RS. Tapi kendala yang ada yaitu tim PONED di PKM masih banyak yang belum aktif memberikan pelayanan disebabkan oleh tidak adanya alat PONED serta seringnya terjadi pergeseran petugas kesehatan. Serta diharapkan peran serta kader dalam mencari dan membawa neonatal resti yang perlu mendapatkan penanganan dengan memberikan sosialisasi penggunaan buku KIA sehingga kader dapat mengenali tanda – tanda dan mendeteksi secara dini.
3. PELAYANAN KESEHATAN ANAK BALITA, USIA SEKOLAH DAN REMAJA
Pelayanan kesehatan pada kelompok anak balita (pra sekolah), usia sekolah dan remaja dilakukan melalui deteksi/pemantauan dini terhadap tumbuh kembang dan kesehatan anak pra sekolah serta pemeriksaan kesehatan anak sekolah dasar/ sederajat dan pelayanan kesehatan pada remaja (SMP dan SMU).
Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita/pra sekolah adalah cakupan anak umur 0-5 tahun yang dideteksi kesehatan dan tumbuh kembangnya sesuai standar oleh dokter, bidan dan perawat paling sedikit dua (2) kali per tahun baik didalam gedung maupun diluar gedung seperti Posyandu, taman kanak-kanak, panti asuhan. Sementara untuk pelayanan kesehatan bagi siwa SD/MI dan siswa`SMP/SMU dan sederajat dilakukan melalui penjaringan kesehatan bagi murid kelas 1 (satu) SD/MI dan SMP/SMU.
Adapun jenis pelayanan yang diselenggarakan Posyandu untuk balita
mencakup: Penimbangan berat badan; Penentuan status pertumbuhan;
Penyuluhan; Jika ada tenaga kesehatan Puskesmas dilakukan
pemeriksaan kesehatan, imunisasi dan deteksi dini tumbuh kembang, apabila ditemukan kelainan, segera ditunjuk ke Puskesmas.
Cakupan pelayanan anak balita pra sekolah tahun 2011 sebesar 77,1% meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar 43,6%, meningkat tajam
dibanding tahun 2009 sebesar 41,16%, namun masih jauh dari target SPM sebesar 80%.
Gambar 4.32
Cakupan Pelayanan Anak Balita Sulawesi Barat Tahun 2008 – 2011
Sumber : Program KIA Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2012
Cakupan tahun 2011 masih sangat jauh target SPM yang harus dicapai maka masih dibutuhkan upaya ekstra guna meningkatkan cakupan. Dibutuhkan koordinasi dengan lintas program dan lintas sektor terkait.
4. PELAYANAN KESEHATAN PRA USILA (45-59 TH) DAN USILA (>60 TH)
Seiring bertambahnya Umur Harapan Hidup (UHH) maka keberadaan para lanjut usia tidak dapat begitu saja diabaikan, sehingga perlu diupayakan peningkatan kualitas hidup bagi kelompok umur lanjut usia.
Pelayanan kesehatan pra usila dan usila adalah penduduk usia 60 tahun ke atas yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan baik di Puskesmas, di Posyandu lansia maupun di kelompok usia lanjut.
Pada tahun 2011 jumlah usila di Sulawesi Barat sebanyak 105.588 orang, dan yang mendapat pelayanan kesehatan 60.519 orang atau 57,32%. Kabupaten Mamuju menjadi kabupaten dengan capaian tertinggi pelayanan kesehatan lansia sebesar 72,45% dan terendah adalah kabupaten Mamuju Utara sebesar 6,30%. Kabupaten Mamasa tidak melaporkan datanya.
Gambar 4.33
Cakupan pelayanan lansia menurut Kabupaten Sulawesi Barat Tahun 2011
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2012
Masih kurangnya cakupan pelayanan kesehatan bagi untuk warga usila, kemungkinan karena belum berfungsinya posyandu lansia secara optimal. Selain itu belum semua desa mempunyai posyandu lansia. Padahal dengan adanya posyandu lansia maka pelayanan kesehatan akan lebih mudah dijangkau oleh para lansia. Dibutuhkan koordinasi dan peran serta masyarakat serta lintas sektor terkait dalam upaya meningkatkan cakupan pelayanan terhadap para lansia.
5. PELAYANAN KELUARGA BERENCANA (KB)
Masa subur seorang wanita memiliki peran penting bagi terjadinya kehamilan sehingga peluang wanita melahirkan menjadi cukup tinggi, menurut hasil penelitian bahwa usia subur wanita antara usia 15-49 tahun. Oleh karena itu untuk mengatur jumlah kelahiran, maka wanita/ pasangan usia subur (PUS) diprioritaskan untuk menggunaan KB.
Peserta KB dibagi menjadi KB baru dan KB aktif. Pada tahun 2011 cakupan peserta KB baru sebesar 13,3 % meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar 6,1% dan KB aktif sebesar 42,9 % menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 45,1 % dari jumlah PUS sebanyak 188.922 orang. Cakupan KB aktif Sulawesi Barat tahun 2010 masih dibawah target nasional sebesar 70%
Gambar 4.34 : Cakupan peserta KB Baru dan Aktif
Provinsi Sulawesi Barat
tahun 2010 - 2011
Sumber : Program KIA Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2012
Berdasarkan jenis metode kontrasepsi yang digunakan, pada tahun 2010 sebanyak 93% akseptor KB aktif memilih metode kontrasepsi jangka pendek (non MKJP) meningkat dibandingkan tahun 2010
sebesar 92,4% dengan pilihan terbanyak adalah metode Pil (48,2%). Sementara yang memilih metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti IUD, MOW/MOP dan implant hanya 7,0% meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar 6,1%.
6. PELAYANAN IMUNISASI
Beberapa penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok vaksin, yaitu vaksin yang tergabung dalam kelompok vaksin virus dan kelompok vaksin bakteri. Kelompok vaksin bakteri misalnya tuberculosis, difteri, pertusis, tetanus, meningitis meningokokus, tipus abdominalis, kolera, hemophilus influenza tipe B dan pneumonia pneumokokus.
Sedangkan vaksin virus termasuk di dalamnya adalah penyakit campak, polio, hepatitis B, hepatitis A, influenza, rabies, Japanese encephalitis, yellow fever (demam kuning), rubella, varicella, parotitis epidemica dan rotavirus. Banyak penyakit lain yang sedang dikembangkan seperti malaria, demam berdarah, HIV/AIDS dan AI. Upaya imunisasi telah terbukti dapat mengeradikasi penyakit cacar dan menekan penyakit polio, yaitu serta sejak tahun 1995 tidak ditemukan lagi virus polio liar yang berasal dari Indonesia (indigenous). Hal ini sejalan dengan upaya global untuk membasmi polio di dunia dengan program ERAPO.
Indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan program imunisasi secara nasional adalah angka cakupan Universal Child Immunization (UCI) pada wilayah desa/kelurahan. Untuk tahun 2011 indikator perhitungan UCI adalah cakupan imunisasi lengkap pada bay1 >85% untuk semua antigen. Sehingga bila cakupan UCI dikaitkan dengan batas wilayah maka dapat menggambarkan besarnya tingkat kekebalan masyarakat atau bayi terhadap penularan PD3I di wilayah tersebut.
Gambar 4.35 Cakupan Desa / Kelurahan UCI Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2007 – 2011
Sumber : Program P2PL Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2012
Cakupan UCI desa/kelurahan di Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011 sebesar 65,1% meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar
65,5%. Pencapaian UCI Sulawesi Barat tahun 2010 belum mencapai target nasional sebesar 85%.
Sedangkan untuk cakupan UCI per Kabupaten, Kabupaten Mamuju memiliki cakupan UCI desa/kelurahan tertinggi 75,5%, yang paling terendah adalah Kabupaten Mamasa (56,2%)
Provinsi Sulawesi Barat tahun 2009-2011
Sumber : Bagian P2PL Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, 2012
Kegiatan imunisasi rutin
meliputi pemberian imunisasi kepada bayi umur 0 – 1 tahun (BCG, DPT, Polio, Campak, HB), imunisasi kepada Wanita Usia Subur (WUS)/ibu hamil (TT) dan imunisasi kepada anak sekolah dasar kelas 1 : DT, kelas 2-3 : TT) sedangkan kegiatan imunisasi tambahan dilakukan atas dasar ditemukannya masalah, seperti desa non UCI, potensial/risti KLB, ditemukan adanya virus polio liar atau kegiatan lainnya berdasarkan kebijakan teknis.
Gambar 4.37
Cakupan pemberian Imunisasi DPT, HB dan Campak Pada Bayi Menurut Kabupaten di Sulawesi Barat tahun 2011
Sumber: Program P2PL Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, 2012
Dari 25.486 bayi di Sulawesi Barat
23.557 bayi atau 92,4%
diantaranya telah mendapatkan imunisasi campak pada tahun
2011. Cakupan DO tahun 2011 sebesar 2,7%, meningkat dibandingkan tahun 2010 yang hanya sebesar 0,5%. seluruh kabupaten di Sulawesi Barat mencapai cakupan campak > 80% dengan cakupan terendah adalah Kabupaten Mamasa (91,4%).
Adapun untuk Imunisasi BCG dan Polio Capaian Sulawesi Barat untuk BCG sebesar 92,41% meningkat sedikit dibandingkan tahun 2010 sebesar 92,31%. Sedangkan untuk imunisasi polio juga mengalami sedikit peningkatan dari 89,5% pada tahun 2010 menjadi 92,95% pada tahun 2011. kabupaten Majene pada tahun 2011 memiliki cakupan capaian tertinggi 102,44% dibandingkan dengan kabupaten lain. Capaian ini melebihi 100% karena yang digunakan sebagai pembagi adalah jumlah perkiraan sasaran bayi selama kurun waktu tahun 2011.
7. PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT
Upaya perbaikan gizi masyarakat dilakukan melalui distribusi tablet besi (Fe) pada ibu hamil, distribusi Vitamin A pada balita dan pemberian kapsul yodium pada WUS.
a. Pemberian Tablet Besi (Fe) pada ibu hamil
Pada saat periksa kehamilan di sarana kesehatan, ibu hamil akan mendapatkan tablet Fe yang bertujuan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kasus anemia serta meminimalkan dampak buruk akibat kekurangan Fe, karena kekurangan Fe pada ibu hamil dapat