• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Televisi Sebagai Media Kampanye Partai Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penggunaan Televisi Sebagai Media Kampanye Partai Politik"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS TUGAS

KOMUNIKASI MASSA KOMUNIKASI MASSA JURNAL

JURNAL KOMUNIKASI KOMUNIKASI MASSAMASSA

Penggunaan Televisi Sebagai Media Kampanye Partai Politik 

Penggunaan Televisi Sebagai Media Kampanye Partai Politik 

Disusun oleh : Disusun oleh :

DENNY YUDHA PRATAMA DENNY YUDHA PRATAMA

D1210018 D1210018

PROGRAM ILMU KOMUNIKASI S1 TRANSFER  PROGRAM ILMU KOMUNIKASI S1 TRANSFER  FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK  FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK 

UNIVERSITAS SEBELAS MARET UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2012 2012

(2)

Penggunaan Televisi Sebagai Media Kampanye Partai Politik 

Denny Yudha Pratama

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Politik  Universitas Sebelas Maret

dennykupletz@gmail.com  Abstract 

 Mendengar tentang partai politik saat ini tidak akan pernah lepas dari media televisi  sebagai media pendukung dalam melakukan kampanye politik di Indonesia. Media massa  sering dijadikan politisi sebagai alat komunikasi politik untuk memperkenalkan partai politik 

mereka kepada masyarakat, karena media massa dianggap efektif dalam memperkenalkan atau mengkampanyekan Partrai Politik mereka kepada masyarakat untuk memperoleh dukungan terhadap masyarakat agar tercapai tujuan politiknya. Banyak cara yang dilakukan  para petinggi partai politik untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak agar 

kepentingan politiknya dapat tercapai, salah satunya dengan menggunakan media massa  sebagai sarana pendukung yaitu dengan membuat iklan tentang partai politiknya dan yang 

lebih fantastis lagi yaitu dari pihak pemilik media tersebut yang menggunakan medianya  sebagai sarana pendukung untuk mengkampanyekan partai politiknya. Televisi merupakan  salah satu media yang dianggap paling efektif dalam memperkenalkan Parpol kepada

masyarakat karena dalam penayangan iklan politik tersebut masyrakat tidak hanya bisa mendengar saja tetapi bisa langsung melihat dengan tampilan visualnya sehingga akan timbul  opini dari masyarakat tentang partai politilk tersebut karena pesan-pesan komunikasi iklan  politik tersebut akan lebih dipahami oleh masyarakat.

 Kata kunci : Televisi, media kampanye, pemilik media Pendahuluan

Dunia ini dengan segala isi dan peristiwanya tidak bisa melepaskan diri dari kaitannya dengan media massa; demikian juga sebaliknya, media massa tidak bisa melepaskan diri dari dunia dengan segala isi dan peristiwanya. Hal ini disebabkan karena hubungan antara keduanya sangatlah erat sehingga menjadi saling bergantung dan saling membutuhkan. Segala isi dan  peristiwa yang ada di dunia menjadi sumber informasi bagi media massa. Selanjutnya, media

massa mempunyai tugas dan kewajiban – selain menjadi sarana dan prasarana komunikasi –  untuk mengakomodasi segala jenis isi dunia dan peristiwa-peristiwa di dunia ini melalui  pemberitaan atau publikasinya dalam aneka wujud (berita, artikel, laporan penelitian, dan lain

(3)

sebagainya) – dari yang kurang menarik sampai yang sangat menarik, dari yang tidak  menyenangkan sampai yang sangat menyenangkan – tanpa ada batasan kurun waktu. William L. Rivers dan kawan-kawannya (Rivers 2003: ix) mengatakan bahwa pada dasarnya, kondisi di dunia nyata mempengaruhi media massa, dan ternyata keberadaan media massa juga dapat mempengaruhi kondisi nyata dunia. Dengan kata lain, dunia mempunyai peranan dan kekuatan untuk mempengaruhi media massa; dan sebaliknya, media massa juga mempunyai peranan dan kekuatan yang begitu besar terhadap dan bagi dunia ini, terlebih dalam segala sesuatu yang  berkaitan dengan manusia dengan segala aspek yang melingkupinya. Oleh karenanya, dalam

komunikasi melalui media massa, media massa dan manusia mempunyai hubungan saling ketergantungan dan saling membutuhkan karena masing-masing saling mempunyai kepentingan, masing-masing saling memerlukan. Media massa membutuhkan berita dan informasi untuk publikasinya baik untuk kepentingan media itu sendiri maupun untuk  kepentingan orang atau institusi lainnya; di lain pihak, manusia membutuhkan adanya  pemberitaan, publikasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu

Munculnya media politik di Indonesia

Banyak hal besar yang terjadi di Indonesia, pada era tahun 1990 terjadi suatu peristiwa yang besar, yaitu diawali dengan munculnya televisi swasta dengan muncul RCTI yang  bersiaran tanpa dekoder. Sampai akhir Era Orde baru , jumlah televisi swasta di Indonesia membengkak menjadi lima stasiun televisi, yaitu RCTI, SCTV, ANTV,TPI dan INDOSIAR. Meski melarang iklan di TVRI dengan memicu alasan akan memicu konsumenrisme, nyatanya iklan komersial menjadi sesuatu yang diperebutkan secara bebas di televisi-televisi ini.

Kampanye melalui iklan dalam media massa televisi tampaknya memang menimbulkan efek tertentu pada perilaku memilih yang ditunjukkan masyarakat dalam Pemilu. Efek  komunikasi politik tersebut bisa berupa perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap atau  perilaku masyarakat. Karenja pesan-pesan komunikasi yang disampaikan secara tidak langsung masuk kedalam pikiran masyarakat yang melihat dan mendengarnya sehingga akan muncul opini, pendapat masyarakat.

Seperti yang dikutip dari jurnal ilmiah komunikasi massa Efek Iklan Politik Dalam Media Massa Terhadap Perilaku Memilih dalam Pemilu Karangan Gati Gayatri mengatakan Sejak awal perkembangannya sampai saat ini efek kampanye melalui media massa mendapat  perhatian para ahli dan peneliti dari berbagai bidang studi. Dalam studi komunikasi misalnya,  para ahli dan peneliti telah memberikan perhatian mereka terhadap efek media massa terhadap

(4)

 perilaku memilih sejak tahun 1950-an, diawali dengan studi Paul Lazarsfeld di Erie County, Ohio (1954) sebelum adanya TV yang menunjukkan adanya keterkaitan antara perilaku memilih dengan penggunaan media. Studi yang merupakan studi pertama tentang efek media massa terhadap perilaku memilih itu menghasilkan kesimpulan efek yang sifatnya terbatas, yakni karena adanya pengaruh faktor terpaan selektif atau  selective exposure, yakni bahwa masyarakat hanya memperhatikan gagasan-gagasan dalam media massa yang sebelumnya sudah menjadi keyakinan mereka. Dengan kata lain, efek media massa terhadap perilaku memilih ternyata hanya memperkuat (reinforce) keyakinan yang sebelumnya memang sudah dimiliki masyarakat. Para ahli dan peneliti pada masa selanjutnya mengembangkan penelitian tersebut sehingga menghasilkan teori-teori efek media massa dalam Pemilu dan dukungan terhadap Parpol yang sangat terkenal sampai sekarang, seperti  Agenda-setting (McCombs & Shaw, 1972), dan Spiral of Silence (Noelle-Neumann, 1973).

Ketika menerima informasi yang disampaikan oleh media massa, khalayak dihadapkan  pada berbagai tahap dalam penerimaan informasi. Menurut Scott Ward sebagaimana dikutip Ishadi SK (1996: 20-22), tahapan tersebut disebut “ Information Processing” (Mursito 2006: 142-144). Tahap tahap yang dimaksud adalah:

1) Penerimaan terpaan media melalui berbagai media,

2) Penerimaan informasi yang telah melewati proses filterisasi, 3) Pencocokan dan integrasi informasi yang diterima, dan 4) Proses penekanan kognitif yang terus menerus.

Selanjutnya Donohew dan Tripton (1973) dalam Mursito (2006: 144-145) mengembangkan model informasi yang disebut sebagai “Information Seeking Model” yang menggambarkan rasioanlisasi perilaku individu dalam mencari informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. Model informasi yang dikembangkan oleh Donohew dan Tripton memiliki asumsi dalam masyarakat terdapat banyak informasi yang diproduksi dan disebarkan dalam berbagai sumber. Dengan banyaknya pilihan imformasi, maka individu akan mengalami kesulitan dalam memilih dan menentukan informasi yang relevan baginya. Kemudian perilaku pemulihan dan penentuan informasi atas pertimbangn psikologis, dimana ia akan berupaya menghindari informasi yang incongruent  karena akan menimbulkan disonansi. Kecenderungan ini terutama akan terjadi pada individu yang secara psikologis merasa tidak  siap atau tidak mampu mengatasi persoalan yang akan timbul.

(5)

Meskipun demikian, hasil-hasil penelitian tersebut sampai saat ini belum mampu sepenuhnya menjawab pertanyaan dan menghasilkan kesepakatan diantara para ahli dan  peneliti bidang komunikasi massa mengenai ukuran, bentuk, dan sifat efek media terhadap

khalayaknya. Sebagian penelitian hasilnya menunjukkan bahwa media massa menimbulkan efek yang sangat besar, tetapi sebagian penelitiam lain hasilnya menunjukkan bukti-bukti efek  media sangat kecil terhadap khalayak. Sejumlah penelitian berhasil menunjukkan bukti bahwa media mampu menimbulkan perubahan-perubahan sikap dan perilaku, tetapi sejumlah  penelitian lain hanya mampu menunjukkan perubahan-perubahan opini dan persepsi pada khalayak. Dalam penelitian-penelitian tertentu terbukti bahwa media menimbulkan dampak   positif, tetapi dalam penelitian-penelitian lain justru diperoleh bukti-bukti sebaliknya. Variasi

dan inkonsistensi temuan-temuan penelitian tersebut terus terjadi sejak awal perkembangan  penelitian komunikasi massa sampai sekarang sehingga mendorong para ahli dan peneliti untuk 

terus melakukan berbagai studi dalam upaya menjawab pertanyaan penting tersebut. Iklan Politik di Media Televisi

Iklan politik sejak lama telah digunakan para politisi sebagai alat kegiatan komunikasi  politik yang mereka lakukan untuk mencari dukungan masyarakat terhadap tujuan politiknya. Dalam kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden, selain cara-cara lainnya wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif dan kepala daerah iklan politik merupakan salah satu alat komunikasi yang cukup sering dimanfaatkan oleh para calon. Sebagaimana iklan-iklan yang menawarkan produk barang dan jasa, iklan politik juga menawarkan sesuatu kepada khalayak  media massa, termasuk calon itu sendiri, program-program, dan janji-janji yang akan dipenuhi si-calon. Iklan politik dapat berupa komunikasi yang mendukung atau yang menentang seorang calon sebagai nominasi atau pilihan.(Danial Ahmad. 2009)

Iklan politik melalui televisi merupakan salah satu alternatif yang sering dipilih Parpol dan calon-calon pemimpin politik dalam pelaksanaan kampanye Pemilu. Meskipun harus mengeluarkan dana yang besar, Parpol dan calon-calon pemimpin politik sering menggunakan iklan dalam media massa sebagai salah satu alat untuk memudahkan upaya pencapaian tujuan-tujuan politik mereka. Pertimbangan-pertimbangan yang menjadi landasan mereka memutuskan menggunakan media komunikasi politik itu biasanya adalah faktor keunggulan media massa dalam menjangkau khalayak yang sangat luas dan faktor peluang menyampaikan  pesan-pesan politik dengan berbagai pilihan strategi komunikasi.

(6)

Di Indonesia, semenjak reformasi bergulir, mulai dikenalnya istilah konglomerasi media. Istilah ini mengacu pada kecenderungan beberapa media untuk saling bergabung di  bawah kepemilikan satu orang atau kelompok. Beberapa contoh adalah bergabungnya dua stasiun televisi Trans TV dan TV 7 (yang kemudian berubah nama jadi Trans 7) di bawah naungan Trans Corp pimpinan Chairul Tanjung. Selain itu, kita mengenal pula Abu Rizal Bakrie, sebagai pimpinan dari Bakrie Group, yang menguasai stasiun televisi Anteve dan TV One. Ada pula yang telah bertahan cukup lama, Hary Tanoesoedibyo, dengan penguasaannya atas RCTI, Global TV, MNC TV, koran Seputar Indonesia, Trijaya FM, majalah Trust, dan situs berita on-line okezone.com. Terakhir, yang cukup populer pula, ada Media group yang menaungi Metro TV dan harian Media Indonesia dengan pimpinan utama Surya Paloh. Dilihat sekilas, tak ada yang bermasalah dengan kepemilikan beberapa media massa di tangan satu orang. Dalam dunia bisnis, konglomerasi biasa terjadi untuk menghimpun kekuatan ekonomi yang lebih besar demi menghadapi saingan. Namun, dalam ranah pers, hal ini bisa jadi sangat  berbahaya.

Pertama, penguasaan beberapa media oleh satu orang, dapat mengakibatkan isi  pemberitaan yang monotone. Seperti pada media massa yang dikuasai oleh Hary Tanoesoedibyo. Dalam mewartakan sebuah issu, akan tercipta sudut pandang atau perspektif  yang sama antara RCTI, MNC TV, harian Seputar Indonesia, atau Trijaya FM misalnya. Sebab dalam praktiknya, tiap media massa yang terlingkup dalam satu jaringan tersebut, memiliki visi dan kepentingan yang sama pula. Efek dari keseragaman ini tentu akan berakibat para masyarakat yang dirugikan. Meski berbeda media, tapi isi dan nada dalam berita yang disampaikan sama. Lebih jauh, bayangkan saja jika semakin banyak media yang dimiliki oleh satu orang yang sama. Maka isi pemberitaan akan semakin tidak variatif dan tak ada  pertarungan opini yang terjadi.

Kedua, adalah potensi media sebagai alat politik pemiliknya. Ketika masa kampanye misalnya, isi pemberitaan yang disajikan cenderung akan terfokus untuk menonjolkan satu  partai yang didukung pula oleh pemilik media massa tersebut. Sebaliknya, media massa itu dapat pula untuk menjatuhkan partai lain yang memang menjadi musuh politiknya. Hal ini seperti apa yang menjadi kecurigaan banyak orang pada Metro TV di pemilu 2009. Ada anggapan yang menilai Metro TV kurang berimbang dalam memberitakan Pemilu 2009. Pemberitaan condong kepada pencitraan positif partai Golkar yang Surya Paloh sebagai kader  di dalamnya. Lebih jauh, media massa pun dapat pula dijadikan sebagai alat untuk terus

(7)

menyerang pemerintah. Meski fungsi dasar media massa memang untuk kontrol sosial  pemerintah, namun pemberitaan yang bias dan kepentingan pemilik yang ikut disisipkan, akan

menjadikan pemberitaan yang diterbitkan tak berimbang lagi.

Ketiga, adalah kecenderungan media sebagai alat pencitraan dan pembenaran bagi  pemiliknya. Tendensi ini amat jelas terlihat dengan pemberitaan yang dilakukan oleh TV One kepada kasus semburan lumpur di Sidoharjo. Di media massa lain, mayoritas akan mengatakan kasus tersebut sebagai “Lumpur Lapindo”. Sesuai dengan nama perusahaan yang dimiliki oleh Bakrie Group. Sedangkan oleh TV One, pemberitaan kasus tersebut selalu disebutkan dengan “Lumpur Sidorharjo” tanpa menyinggung nama perusahaan yang dipimpin pula oleh pemilik  TV One tersebut. Dalam isi pemberitaannya, TV One juga selalu mengedepankan bahwa kasus tersebut disebabkan oleh fenomena alam seperti Gempa Yogya 2005, bukan human error  seperti media massa lain.

Selain itu, media massa pun digunakan pula untuk sarana exposer tokoh yang menjadi  pemiliknya. Seperti apa yang ada di Metro TV. Ketika ada pemberitaan yang seorang Surya

Paloh berada di sana, akan ada waktu khusus yang menyiarkan pidato Surya Paloh secara  panjang lebar. Begitu pula yang dilakukan oleh TV One. Ketika Abu Rizal Bakrie masuk dalam  pemberitaan, maka akan ada sesi eksklusif yang menayangkan seluruh pembicaraan dari ketua Partai Golkar tersebut. Dari analisa di atas, terlihat bagaimana berbahayanya media massa ketika dijadikan alat megemoni oleh pihak-pihak tertentu.

Persaingan antara Metro TV dan TV One

Saat ini, Metro TV dan TV One adalah dua stasiun TV terdepan di Indonesia dalam  penyajian berita. Dua stasiun tersebut menitikberatkan publikasinya pada konten berita. Meski Metro TV sudah berdiri sejak tahun 2000 dan secara konsisten menayangkan konten berita, TV One yang sejak tahun 2008 berubah nama dari La TV, merupakan pesaing yang cukup kuat. Dengan sajian acara yang cukup kreatif, TV One mendapatkan porsi tersendiri di hati masyarakat. Ketika ingin melihat berita terkini, jika bukan Metro TV, ya TV One jadi  pilihannya. Selama masa kampanye 2009, antara Metro TV dan TV One terjalin hubungan yang baik. Mengingat bahwa Surya Paloh dan Abu Rizal Bakrie sama-sama kader partai Golkar, mereka sepakat untuk saling mendukung agar partai mereka mendapat suara sebanyak- banyaknya di Pemilu 2009. Namun, sejak pemilihan ketua umum Partai Golkar yang baru

(8)

untuk menggantikan Jusuf Kala Oktober 2009, mulai terjadi persaingan antar kedua pengusaha tersebut.

Terpilihnya Abu Rizal Bakrie atau Ical sebagai ketua umum Partai Golkar, seakan menabuh genderang perang antar Surya Paloh dan dirinya. Pertarungan antar media milik  mereka berdua pun dimulai. Hal ini terlihat di antaranya pada kasus Lapindo. Pada pemberitaan yang diterbitkan Media Group (termasuk di dalamnya Metro TV dan harian Media Indonesia), kasus tersebut selalu disebutkan dengan istilah “lumpur Lapindo”. Penggunaan kata tersebut tak lain adalah untuk memberikan penekanan bahwa bencana itu tertitik berat pada human error   perusahaan Lapindo Brantas milik Bakrie Group. Gencar sekali pemberitaan mengenai ini dan terus menonjolkan peran perusahaan Lapindo sebagai “penyebab bencana”. Sedangkan di TV One, pemberitaan masalah ini dilakukan dengan lebih hati-hati. Media ini seakan-akan ingin mati-matian membela pemiliknya. Seperti dalam penggunaan istilah. Pada kasus yang sama, TV One menyebutnya sebagai “lumpur Sidoharjo”. Bukannya mengangkat nama Lapindo yang merupakan salah satu anak perusahaan Bakrie Group. Mereka ingin memberikan kesan bahwa itu adalah bencana alam dan bukan karena kesalahan sebuah perusahaan yang bernama Lapindo tersebut. Lebih jauh, TV One pun acap kali menggunakan pandangan seorang ahli yang mengungkapkan hubungan antar gempa di Yogyakarta tahun 2005 dengan semburan lumpur di Sidoharjo tersebut.

Efektifitas Alat Propaganda

Pemberitaan di media adalah salah satu bentuk dari propaganda, dan dalam hal ini tentang persaingan antara 2 pemilik media itu dapat dikatakan sebagai bentuk propaganda kepada khalayak. Eksperimen yang dilakukan oleh pakar psikologi sosial yang menginvestigasi  bagaimana sikap dapat diubah, salah satu tes yang dilakukan adalah dengan sistem propaganda

card stacking  yaitu eksperimen tentang efektivitas pesan satu sisi (one sided message) dibandingkan pesan dua sisi (two sided message) ( Hovland, Lumsdiane, dan Sheffield, 1949 ;  Lumsdiane dan Janis 1953). Pesan satu sisi pada prinsipnya adalah pesan card stacking . Hanya argumen dari satu sisi sebuah kontroversi yang disajikan. Di dalam pesan dua sisi, beberapa argumen yang dapat dimunculkan di sisi lain disebutkan secara jelas. Secara umum, penelitian ini telah menunjukkan bahwa one sided message bekerja sangat efektif pada beberapa tipe orang yaitu mereka yang pada dasarnya menyetujui argumen tersebut dan two sided message akan lebih efektif pada mereka yang cenderung menentang argumen tersebut. Dalam buku  Denis MC, Quail(1991) mengatakan bahwa Teori Inokulasi jarum suntik merupakan suatu teori

(9)

yang mengamsusikan individu atau kelompok masih lemah terhadap pemahaman persepsi, karena faktor lemahnya maka individu atau kelompok akan mudah terpengaruhi. Hal ini juga dikaitkan dengan teori peluru yang mengatakan bahwa masyarakat benar-benar rentan terhadap  pesan komunikasi massa, inilah yang sepertinya dimanfaatkan para pemilik media untuk terus menerus mempengaruhi masyarakat dengan media yang dimilikinya untuk mendukung kedudukan politik yang ingin dicapai.

Ada sejumlah alasan mengapa hal itu terjadi. Para ahli mengungkap kedekatan antara komunikasi dengan politik. Komunikasi bahkan menjadi pusat studi politik, kekuatan politik  dan pemerintahan. EE Schattschneider beralasan, kekuatan politik terletak pada mereka yang menguasai arena perdebatan dan arah wacana (Crigler, 1996 ), maka panggung perdebatan dan arah wacana diburu. Panggung itu adalah media massa, koran, tabloid, radio, internet dan terutama televisi. Di republik ini televisi menjadi saluran paling perkasa untuk memengaruhi khalayak. Sebuah lembaga penelitian menyebut tingkat penetrasinya mencapai angka 94%. Sungguh luar biasa. Artinya, sekali seseorang tampil di layar televisi, jutaan orang menyaksikannya. Dan bila penampilannya buruk, celakalah ia, karena semua hal tentang dirinya dianggap buruk.

 Namun penampilan ‘buruk’ disebabkan sejumlah faktor. Antara lain, siapa atau media mana yang menampilkan. Media massa sebagai sebuah industri mempunyai kepentingan untuk  mendapatkan keuntungan ganda berupa uang sekaligus pengaruh. Maka iklan di media menjadi sarana paling ampuh meraup kekayaan sehingga isi atau program media dirancang sedemikian rupa agar menerbitkan air liur para pemodal dan menjajakan barang dagangannya di sana. Sebagai kekuatan politik, media juga menuruti kemauan pemilik. Bila kehendak politik pemilik  televisi berseberangan dengan kepentingan partai yang sedang tampil di medianya sejumlah hal  bisa terjadi, positif atau negatif. Bisa juga kompromi. Maka isi media kadang membingungkan, tidak jelas arahnya. Faktor lain adalah kualitas dan kinerja politisi atau parpol. Bila sebuah  parpol memang berkinerja bagus setidaknya untuk konstituennya sendiri maka media apapun

yang memberitakannya tidak akan terlalu menggoyahkan kredibilitas.

Pendekatan kuno dan dominan dalam studi komunikasi politik berpusat pada efek  media. Salah satu pendekatan disebut peluru sihir (magic bullet). Cara kerja pendekatan ini mengandaikan peluru yang ditembakkan sehingga menembus pikiran khalayak. Mereka yang terkena tembakan media berupa foto, video, peristiwa disertai ulasan dengan pesan tertentu akan terpengaruh dan mengikuti isi pesan tersebut, bagaikan kena ilmu sihir. Pesan-pesan itu

(10)

tampil di ruang utama media, dengan huruf besar dan cetak tebal (headline) disampaikan  presenter yang menawan. Pemberitaan yang terus menerus, berulang-ulang, disebut  propaganda. Sejumlah pemimpin politik menggunakan model ini untuk memengaruhi rakyat. Hitler misalnya menggunakan mesin propanda untuk mendapat dukungan rakyat dalam melakukan peperangan. Tidak sedikit pimpinan kementerian dan politisi kita mengiklankan ‘kesuksesan’ programnya di televisi.

Para ahli juga berpendapat pendekatan ini dianggap kuno karena media bukan menjadi  penyebab dominan kehadiran pengaruh. Ada sejumlah faktor lain, lingkungan, pendidikan dan lainnya, tapi boleh jadi model ini masih relevan dalam masyarakat kita. Keberhasilan kandidat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden bahkan hingga dua periode merupakan salah satu petunjuk, tanpa mengesampingkan faktor di luar media. Meski pendekatan konstruktivisme mengandalkan faktor jurnalis akan tetapi terdapat beberapa hal lain di sekeliling jurnalis, seperti latarbelakang pendidikan, ideologi, dan otonomi jurnalis. Media yang profesional mestinya memberikan dukungan pada otonomi jurnalis sehingga produk yang dihasilkannya sungguh memberi kemanfaatan bagi publik. Dengan independensinya jurnalis akan melaporkan kondisi riil sebuah parpol, tanpa menambah atau mengurangi. Walau demikian tidak berarti bahwa jurnalis dan media bisa bersikap seratus persen independen. Mustahil media benar-benar objektif. Sedikit atau banyak ia akan berpihak, bahkan di sejumlah negara media berpihak pada partai politik karena ia dimiliki oleh partai itu. Pasca reformasi media di Indonesia pada umumnya lebih berpihak pada masyarakat luas seiring dengan  bekerjanya sistem politik demokrasi.

Kesimpulan

Hegemoni media pada media massa di Indonesia tak terlepas dari tujuan politik dan kepentingan tertentu. Apabila semasa Orde Baru media massa digunakan sebagai alat untuk  melanggengkan kekuasaan pemerintah, di era reformasi ini media massa dipegang oleh konglomerasi swasta yang memiliki tujuan yang lebih kompleks. Selain didasari oleh faktor  ekonomis, untuk efisiensi dan keuntungan yang maksimal, media massa digunakan pula sebagai pemulus kendaraan politik ke posisi tertentu.

Dalam maksud ini, ada usaha melalui media massa yang dimiliki, untuk membangun opini di masyarakat, yang kemudian akan berdampak balik pada pemenuhan kebutuhan  politisnya. Seperti bias dalam pemberitaan sebuah peristiwa, hal tersebut riskan disisipi

(11)

kepentingan tertentu yang kemudian mendapatkan tanggapan dari masyarakat apakah pro atau kontra.

Seperti apa yang terjadi antara Metro TV dan TV One dalam pemberitaannya. Sesama televisi yang titik utama program-programnya adalah news atau berita, kedua media tersebut memiliki tendensitas berbeda yang disesuaikan dengan kepemilikan masing-masing. Tiap media berusaha melindungi dan mengedepankan tokoh yang berada di belakangnya melalui  pemberitaan-pemberitaan yang diatur sedemikian rupa sudut pandangnya untuk kemudian

disajikan ke masyarakat.

Oleh karena itu, sebagai masyarakat, perlu jeli dalam melihat berita atau wacana yang disajikan oleh media massa. Mengingat fakta bahwa media – media massa nasional Indonesia tengah dikuasai oleh para konglomerat media, konten berita yang disajikan tak dapat ditelan mentah-mentah begitu saja.

Daftar Pustaka

Danial, A.( 2009). Iklan Politik Tv. Yogjakarta: LKIS Printing Cemerlang.

Severin, W.J & James W. Tankard, JR. (2009). Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, & Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta : Kencana.

(12)

McQuail, Denis. (1991). Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar . Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Rivers, W.L, Jay W.J, Theodore P. (2003).  Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Jakarta: Kencana.

Isprandiarno S Lukas. (2012). Galau Karena Media.Yogyakarta : Analis Kedaulatan Rakyat. Kuswandi, Wawan. (1996).  Komunikasi Massa, Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Mursito. (2006). Memahami Institusi Media. Surakarta: Lindu Pustaka & SPIKOM. Jurnal

Murti, B.H. (2000). “Peran Media Massa dalam Politik Luar Negeri Amerika Serikat, dalam Jurnal Studi Amerika”.  Kumpulan Jurnal Komunikasi Massa. Jakarta: Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia.

Web

Wikipedia.org. (2010). “TVone”. Retrieved from http://id.wikipedia.org/wiki/TvOne, 27 Desember 2012.

(13)

 NAMA : DENNY YUDHA PRATAMA

TTL : KLATEN, 11 AGUSTUS 1989

ALAMAT : DUNGRINGIN RT 23/01, TALUNOMBO, BATURETNO

WONOGIRI 57673

STATUS : MAHASISWA

 NIM : D1210018

STUDI : S1 TRANSFER ILMU KOMUNIKASI UNS SURAKARTA

Referensi

Dokumen terkait

tegakkan untuk tempat bersarang dan jenis tumbuhan pakan kukang (Nycticebus coucang) di Hutan Lindung Pegunungan Merratus, Kalimantan Selatan dilakukan selama

Program ini merupakan program penyuluhan untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat se-Kabupaten Sukoharjo, dengan cara mendatangi setiap sekolahan untuk

Dengan analisis ini bisa diketahui batas kondisi keamanan struktur yang diizinkan, sehingga jika hasil evaluasi kinerja struktur dinyatakan tidak aman maka bisa dilakukan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam penelitian ini akan dilakukan kajian tentang model multilevel gabungan ARIMAX dua level dan ANFIS dengan deteksi

Berdasarkan data tangkapan yang dikumpulkan dari tiga TPI di Kabupaten Kbumen sejak tahun 1997 sampai dengan 2007 menunjukkan bahwa musim penangkapan lobster terutama

menyelesaikan tugas akhir dengan judul “ Studi Pelayanan Pusat Perbelanjaan Pasar Sentral Sengkang Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo5. Tak lupa pula salawat dan salam

27,28 Penelitian ini untuk mengetahui hubungan kadar protein darah khususnya albumin dengan kadar hormon tiroid darah pada penderita sindroma nefrotik, dan mengetahui perubahan

penulisan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “ Asuhan Kebidanan pada ibu nifas fisiologis di BPS Mu'arofah Surabaya tahun 2012 ” sebagai salah satu tugas akhir program