Proposal penelitian
ANALISIS GEOSPASIAL MENGGUNAKAN METODE CELLULAR AUTOMATA UNTUK PREDIKSI PERUBAHAN GARIS PANTAI
OLEH : BAHARUDDIN
H 221 11 006
PROGRAM STUDI GEOFISIKA JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2016
i
ANALISIS GEOSPASIAL MENGGUNAKAN METODE
CELLULAR AUTOMATA UNTUK PREDIKSI PERUBAHAN
GARIS PANTAI
S K R I P S I
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Geofisika Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin
OLEH :
BAHARUDDIN
H 221 11 006
PROGRAM STUDI GEOFISIKA JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGATAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2016
ii
HALAMAN PENGESAHAN
ANALISIS GEOSPASIAL TERHADAP KONVERSI LAHAN OPTIMAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE CELLULAR AUTOMATA
OLEH : BAHARUDDIN H 221 11 006 Makassar, 2016 Disetujui Oleh : Pembimbing Pertama Dr. Sakka, M.Si NIP. 196402061991031002 Pembimbing Utama
Dr. Samsu Arif, M.Si NIP. 196305181990031001
iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN
iv
SARI BACAAN
v
ABSTRACT
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTAR ISI
Proposal penelitian ... i
ANALISIS GEOSPASIAL MENGGUNAKAN METODE CELLULAR AUTOMATA UNTUK PREDIKSI PERUBAHAN GARIS PANTAI ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
SARI BACAAN ...iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR...vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi BAB I ... 1 I. 1. Latar Belakang ... 1 I. 2. Ruang Lingkup ... 2 I. 3. Tujuan Penelitian ... 3 BAB II ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 II. 1. Pantai ... 4
II. 2. Perubahan Garis Pantai ... 6
II. 2. 1. Gelombang ... 7
II. 2. 2. Kecepatan Arus ... 7
II. 2. 3. Sedimen ... 8
II. 3. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis ... 9
II. 3. 1. Penginderaan Jauh ... 9
II. 3. 2. Citra Satelit Landsat ... 11
II. 3. 3. Sistim Informasi Geografis (SIG) ... 12
II. 4. Model Cellular Automata (CA) ... 14
viii
METODOLOGI ... 19
III. 1. Lokasi Penelitian ... 19
III. 2. Alat dan Bahan ... 20
III. 3. Prosedur Penelitian ... 21
III. 3. 1. Persiapan ... 21
III. 3. 2. Pengumpulan Data ... 21
III. 3. 3. Analisis Data ... 21
III. 4. Analisis Perubahan Garis Pantai ... 23
III. 5. Bagan Alir Penelitian ... 27
BAB IV ...Error! Bookmark not defined. IV. 1. Hasil ...Error! Bookmark not defined. IV. 2. Pembahasan...Error! Bookmark not defined. BAB V ...Error! Bookmark not defined. V. I. Kesimpulan...Error! Bookmark not defined. V. I. Saran ...Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... 28 LAMPIRAN ...Error! Bookmark not defined.
ix
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar. Sebagian besar daerah di Indonesia dikelilingi lautan termasuk daerah Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Pinrang. Daerah ini merupakan daerah berkembang yang masih dalam tahap pembangunan sarana dan prasarana penunjang. Sebagian besar wilayah yang ada di kabupaten Pinrang termasuk dalam wilayah pesisir.
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah dengan fenomena geofisik yang sangat kompleks. Wilayah pesisir (coastal area) merupakan bentang lahan yang dimulai dari garis batas wilayah laut yang ditandai dengan terbentuknya zona pecah gelombang ke arah darat hingga pada daerah yang proses pembentukannya masih dipengaruhi oleh aktifitas marine, seperti dataran alluvial kepesisiran (CERC, 1984). Pesisir merupakan wilayah yang sangat dinamis dengan berbagai aspek fisik sebagai pendorongnya. Perubahan yang terjadi di wilayah pesisir dipengaruhi oleh energi gelombang, angin dan pasang surut (Zevenbergen, 2004). Indikasi paling mudah yang dapat kita amati dari perubahan yang terjadi di pesisir adalah fenomena perubahan garis pantai.
Perubahan garis pantai dapat terjadi secara alami serta karena adanya aktifitas reklamasi pantai untuk pemenuhan kebutuhan lahan akibat meningkatnya pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan aktifitas sosial ekonomi di daerah pesisir. Upaya manusia dalam memanfaatkan kawasan pantai seringkali
2
tidak dilandasi dengan adanya pemahaman yang baik tentang kondisi oseanografi didaerah pantai. Akibatnya, berbagai masalah di daerah sekitar pantai bermunculan. Diantara masalah tersebut adalah proses abrasi dan akresi garis pantai. Pada awalnya proses abrasi dan akresi garis pantai terjadi secara alami, akan tetapi proses tersebut akan berlangsung lebih cepat jika pembangunan sarana kepentingan manusia tidak didasari dengan pengetahuan yang baik tentang perilaku proses dinamika perairan pantai, dalam hal ini perubahan garis pantai (Dewi, 2011).
Analisis perubahan garis pantai suatu daerah sangat diperlukan khususnya bagi daerah yang wilayahnya termasuk dalam wilayah pesisir serta merupakan daerah yang masih dalam tahap perkembangan. Hal ini karenakan data hasil analisis dapat membantu dalam hal perencanaan tata ruang wilayah pesisir untuk daerah tersebut. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk melakukan analisis perubahan garis pantai adalah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Pemanfaatan SIG dalam menganalisis perubahan garis pantai akan sangat membantu, terlebih lagi dengan ketersediaan model – model aplikatif yang mampu menyajikan aspek dinamika keruangan.
I. 2 Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah analisis perubahan garis pantai di daerah kabupaten Pinrang menggunakan data citra satelit dengan metode
3 I. 3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis besarnya perubahan garis pantai di kabupaten Pinrang sejak tahun 2000 hingga tahun 2015 menggunakan metode CA Markov Chain
2. Memprediksi besarnya perubahan garis pantai di kabupaten Pinrang untuk 10 dan 20 tahun mendatang menggunakan metode CA Markov Chain.
4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pantai
Menurut Jhonson (1919), pantai merupakan suatu areal pengendapan reruntuhan berupa kerikil atau pasir dalam zona tepian. Pantai dapat pula disebut sebagi daerah batas pertemuan antara lautan dengan daratan, dimana daerah tersebut merupakan daerah yang terbentuk dari hasil dinamika pantai (abrasi ataupun akresi). Daerah pantai sangat dipengaruhi oleh dinamika pasang surut air laut dan ombak.
Gambar 2.1 Profil Melintang Pantai (Fatihah, 2015)
Wilayah pantai terbentuk oleh berbagai proses geologi yaitu proses endogen dan eksogen. Pantai selalu menyelesaikan bentuk profilnya sedemikian rupa sehingga mampu menahan gelombang yang datang. Kondisi gelombang normal
5
terjadi dalam waktu yang lebih lama dan energi gelombang dapat dengan mudah dihancurkan oleh mekanisme pertahanan pantai. Pada saat terjadi badai gelombang yang mempunyai energi besar, sering kali pertahanan alami pantai tidak mampu menahan serangan gelombang, sehingga pantai dapat tererosi. Setelah gelombang besar reda, pantai akan kembali ke bentuk semula oleh pengaruh gelombag normal. Tetapi ada kalanya pantai yang tererosi tersebut tidak kembali ke bentuk semula karena material pembentuk pantai terbawa arus ketempat lain dan tidak kembali kelokasi semula (Triatmodjo, 1999).
Ditinjau dari segi suplai material, morfologi wilayah pesisir terbentuk dari suplai sedimen yang berasal dari daerah hulu yang terangkut oleh aliran sungai dan / atau banjir, dan daerah gugusan terumbu karang berupa keping-keping kecil sampai halus hasil gerusan gugusan terumbu karang oleh ombak dan arus yang diangkut sehingga terendapkan di sepanjang pantai oleh pola arus-arus pantai beserta ombak. Proses morfologi berlangsung secara terus menerus baik berupa suplai maupun pendistribusiannya yang diakaibatkan oleh aktivitas pola ombak dan arus-arus pantai, sehingga bentuk pantai secara horisontal dapat berupa teluk, tanjung, laguna, atau pantai terbuka; sedangkan profil vertikalnya dapat berbentuk tebing pada pantai yang berbukit atau pantai yang memiliki dasar dengan kemiringan datar, landai, dan curam.
Material pembentuk pantai dapat berupa tebing cadas, kerikil, pasir, atau lumpur. Tenaga pendistribusian material pembentuk pantai seperti telah disinggung terutama oleh pola ombak dan arus-arus, tetapi dinamika air di perairan pantai ini berlangsung adalah karena peran gaya-gaya meteorologis
6
berupa hembusan angin dan badai, gaya-gaya astronomis berupa fluktuasi vertikal dan horisontal dari muka dan badan air laut yang dikenal sebagai gerak harmonis pasang naik dan surut, gaya-gaya geologis berupa pembangkitan tsunami, dan tidak kalah penting adalah gaya-gaya anthropogenik yang mengubah dengan lebih cepat kondisi pantai melalui kegiatan kanalisasi, lagunisasi, reklamasi atau penempatan berbagai bentuk bangunan pantai seperti groin, jetty, breakwater, pulau buatan.
Dalam kajian dinamika pesisir, dikenal istilah: pantai yang didominasi oleh gelombang (wave-dominated coast) dan pantai yang didominasi oleh pasang surut (tide-dominated coast). Pantai yang didominasi oleh gelombang cenderung memiliki profil pantai yang lebih curam, sementara pantai yang didominasi oleh pasut cenderung memiliki profil pantai yang lebih landai.
II.2 Perubahan Garis Pantai
Garis pantai terbentuk karena adanya masukan energi dan material kelingkungan wilayah pesisisr secara terus menerus. Posisi garis pantai bersifat tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang - surut air laut dan abrasi pantai atau pengendapan lumpur. Garis pantai merupakan suatu komponen yang khas dan sangat dinamik, karena sangat dipengaruhi oleh berbagai fenomena hidro - oseanografi, seperti arus, gelombang, dan pasang surut.
7 II.2.1 Gelombang
Menurut Setiyono (1996) dalam Antasari (2011) gelombang adalah naik
turunnya permukaan air laut. Gelombang laut terutama timbul oleh pengaruh
angin. Angin yang bertiup di atas permukaan laut (air) akan mentransfer energi ke permukaan air sehingga terbentuk gelombang laut. Gelombang laut ini pada hakekatnya adalah perambatan energi bukan perambatan massa. Gelombang laut yang telah bebas dari medan angin pembangkitnya dan angin lokal disebut ”Swell”. Misalnya gelombang yang terbentuk oleh angin di lepas pantai bergerak menuju pantai. Dalam gerakannya menuju pantai bila ia tidak lagi di pengaruhi oleh angin (lokal dan angin dilepas pantai) maka ia disebut sebagai ”Swell”.
Gelombang laut merupakan salah satu hal yang penting dalam mempelajari dinamika perairan. Beberapa bentuk dari gelombang yang paling penting dalam bidang teknik pantai adalah gelombang angin untuk selanjutnya disebut gelombang dan pasang surut. Gelombang dapat membentuk pantai, menimbulkan arus dan transport sedimen dalam arah tegak lurus dan sepanjang pantai serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan pantai. Gelombang merupakan faktor utama dalam penentuan tata letak (lay out) pelabuhan. Alur pelayaran, perencanaan bangunan pantai dan sebagainya (Triatmodjo, 1999).
II.2.2 Arus Laut
Menurut Pariwono (1999) arus merupakan perpindahan massa air dari satu tempat ke tempat yang lain, yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti gradien tekanan, hembusan angin, perbedaan densitas atau pasang surut. Di sebagian besar
8
perairan, faktor utama yang dapat menimbulkan arus yang relatif kuat adalah angin dan pasang surut. Arus yang disebabkan oleh angin pada umumnya bersifat musiman, dimana pada satu musim arus mengalir kesatu arah dengan tetap, dan pada musim berikutnya akan berubah arah sesuai dengan perubahan arah angin yang terjadi. Pasang surut (pasut) dilain pihak menimbulkan arus yang bersifat harian, sesuai dengan kondisi pasut diperairan yang diamati. Pada saat air pasang, arus pasut pada umumnya akan mengalir dari lautan lepas kearah pantai, dan akan mengalir kembali ke arah semula pada saat air surut (Pariwono, 1999).
Arus dan sirkulasi merupakan suatu sistem gerakan massa air laut ke arah vertikal maupun horizontal yang menimbulkan adanya keseimbangan distribusi massa dan temperatur. Arus pantai terjadi karena adanya pengaruh yang sifatnya lokal terutama akibat pergerakan angin dari daerah yang mempunyai tekanan tinggi ke daerah yang mempunyai tekanan rendah, perbedaan kerapatan air, suhu air, dan pasang surut.
II.2.3 Transpor Sedimen Pantai
Laju angkutan sedimen sejajar pantai merupakan faktor utama dalam mengevaluasi perubahan garis pantai (Hung et al., 2008 dan Elfrink & Baldock, 2002 dalam Palilu, 2015). Untuk mempelajari angkutan sedimen akibat ombak, maka daerah dekat pantai dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu daerah offshore
zone, surf zone dan wash zone (Horikawa, 1988 dalam Palilu,2015).
Sedimen merupakan bahan utama pembentuk morfologi (topografi dan batimetri) pesisir. Sedimen berasal dari fragmentasi (pemecahan) batuan.
9
Pemecahan batuan terjadi karena pelapukan yang dapat berlangsung secara fisik, kimiawi, dan biologis. Berubahnya morfologi pesisir terjadi sebagai akibat berpindahnya sedimen yang berlangsung melalui mekanisme erosi, pengangkutan (transport) dan pengendapan. Sedimen yang dipindahkan adalah sedimen yang terletak pada dasar perairan.
Sedimentasi adalah masuknya muatan sedimen ke dalam suatu lingkungan perairan tertentu, melalui media air dan diendapkan didalam lingkungan tersebut. Sedimentasi yang terjadi di lingkungan Teluk menjadi persoalan bila terjadi di lokasi-lokasi yang terdapat aktifitas manusia yang membutuhkan kondisi perairan yang dalam seperti, pelabuhan, dan alur-alur pelayaran, atau membutuhkan kondisi perairan yang jernih seperti tempat wisata, ekosistem terumbu karang. Sedimentasi di suatu lingkungan teluk terjadi karena terdapat suplai muatan sedimen yang tinggi di lingkungan teluk. Suplai muatan sedimen yang sangat tinggi yang menyebabkan sedimentasi itu hanya dapat berasal dari daratan yang dibawa ke teluk melalui aliran sungai.
II.3 Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
II.3.1 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi dibidang pertanian, kehutanan, geografi, dan lain – lain. Tujuan utama penginderaan jauh
10
ialah mengumpulkan data sumber alam dan lingkungan. Informasi tentang objek disampaikan ke pengamat melalui energi elektromagnetik, yang merupakan pambawa informasi dan sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi tersebut dapat dipahami secara penuh (Bambang, 1995 dalam Suci S., 2012).
Menurut Lillesand dan Kiefer (1994) dalam Paharuddin (2012), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau fenomena dengan cara menganalisa data yang diperoleh dengan alat tertentu tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh dapat menghasilkan data berupa citra. Ini
dimungkinkan karena semua benda yang mempunyai temperatur di atas 0° absolut
(0° K) memancarkan atau memantulkan secara alami berkas-berkas energi dengan
panjang gelombang yang bervariasi berdasarkan temperatur dan karakteristik molekul benda tersebut. Gelombang energi yang dipancarkan atau dipantulkan oleh benda diterima oleh sensor, selanjutnya bila diproses akan menghasilkan data penginderaan jauh yang dikenal dengan sebutan citra (Paharuddin, 2012).
Citra yang dihasilkan berupa citra digital terdiri atas sekumpulan sel-sel penyusun gambar yang disebut pixel (picture elemen). Tiap pixel mewakili satu luasan tertentu pada permukaan yang terindera dan juga memiliki nilai pantulan (spektral) tertentu. Dengan demikian satu pixel merupakan data yang memberikan
11
aspek spasial yakni ukuran luas yang terwakili dan aspek spektral yaitu nilai pantulan yang tercatat (Paharuddin, 2012).
Dalam koordinat 3 dimensi dinyatakan sebagai (x, y , z). Koordinat x,y menunjukkan lokasi dan z menunjukkan nilai intensitas pantul dari tiap pixel dalam tiap selang panjang gelombang yang dipakai. Nilai intensitas pantul dibagi menjadi 256 tingkat berkisar antara 0 – 255 dimana 0 merupakan intensitas terrendah (hitam/gelap) dan 255 menyatakan intensitas tertinggi (putih/terang). Dengan data citra asli (raw data) tidak lain adalah kumpulan dari sejumlah pixel yang bernilai antara 0 -255 (Paharuddin, 2012).
Data penginderaan jauh (citra) menggambarkan objek di permukaan bumi relatif lengkap, dengan wujud dan letak objek yang mirip dengan wujud dan letak di permukaan bumi dalam liputan yang luas. Citra penginderaan jauh adalah gambaran suatu objek, daerah, atau fenomena, hasil rekaman pantulan dan atau pancaran objek oleh sensor penginderaan jauh, dapat berupa foto atau digital (Purwadhi, 2001 dalam Suci S., 2012).
II.3.2 Citra Satelit Landsat
Pemanfaatan citra landsat telah banyak digunakan untuk beberapa kegiatan survey maupun penelitian, antara lain geologi, pertambangan, geomorfologi, hidrologi, dan kehutanan. Dalam setiap perekaman, citra landsat mempunyai cakupan area 185 km x 185 km. Sehingga aspek dari objek tertentu yang cukup luas dapat diidentifikasi tanpa menjelajah seluruh daerah yang disurvei atau diteliti. Dengan demikian, metode ini dapat menghemat waktu maupun biaya
12
dalam pelaksanaannya dibanding cara konvensional atau survey secara teristris di lapangan (Wahyunto, 1995 dalam Suci S., 2012).
Salah satu cara penajaman citra adalah dengan mengubah histogram input data. Cara ini adalah cara yang paling sederhana dilakukan untuk menajamkan citra penginderaan jauh. Histogram adalah representasi kandungan informasi citra inderaja dalam bentuk grafik. Dalam usaha meningkatkan mutu citra, karakteristik citra yang paling diperhitungkan adalah histogram citra itu sendiri, karena histogram adalah tampilan grafis dari frekuensi relatif distribusi bilangan digital (DN) milik sebuah band citra. Sehubungan dengan hal ini, maka pemahaman mengenai histogram merupakan salah satu aspek yang diperlukan untuk bekerja dengan band-band citra digital (Suci S. 2012)
II.3.3 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Menururt Arronof (1989) dalam Arif (2015) Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis. Sedangkan menurut Baja (2012) SIG merupakan suatu sistem handal yang digunakan secara efektif dalam berbagai keperluan analisis dan pengambilan keputusan spasial. Selain itu SIG dapat pula dikatakan sebagai suatu sistem bebasis komputer yang didesain untuk mengumpulkan, mengelolah, memanipulasi, dan menampilkan informasi spasial (keruangan).
Secara terperinci Borrough and McDonnell (1998) dalam Baja (2012) mendefinisikan SIG dari tiga sudut pandang sebagai berikut :
13
Sudut pandang kotak alat (toolbox)
SIG adalah suatu set perangkat alat yang handal untuk mengumpulkan, menyimpan, memanggil kembali, transformasi dan menampilkan data spasial yang berasal dari dunia nyata.
Sudut pandang basis data (database)
SIG adalah suatu sistem basis data dimana data tereferensi secara spasial dan didalamnya terdapat serangkaian prosedur yang beroperasi untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan tenteng entitas spasial dalam basis data tersebut.
Sudut pandang organisasi
Sig adalah suatu set fungsi – fungsi otomatik yang menyediakan para profesional dengan kemampuan tinggi untuk menyimpan, memanggil kembali, memanipulasi dan menampilkan data tereferensi secara geografis.
SIG merupakan suatu media yang sangat berguna untuk mewakili model input dan output dari suatu geospasial alam. Namun SIG yang ada tidak mengakomodir model dinamis (Goodchild 2005, dan Magure 2005 dalam Arif 2015). Jaringan perangkat keras dan lunak yang dapat menunjukkan operasi-operasi dimulai dari perencanaan, pengamatan, dan pengumpulan data, kemudian untuk penyimpanan dan analisis data, termasuk penggunaan informasi yang diturunkan kedalam beberapa proses.
Untuk mewujudkan dunia nyata kedalam lingkup digital, maka model harus dibuat efektif tapi masih mencirikan fenomena dunia nyata. Pemilihan model yang efektif berdampak paada proses operasi, kekuatan analisis dan keluaran yang
14
dihasilkan ( Demers 2009 dalam Arif 2015). Secara umum, persepsi manusia mengenai bentuk representasi entity spasial adalah konsep raster dan vektor. Dengan demikian, data spasial direpresentasikan dalam basis data raster dan vektor.
II.4 Model Cellular Automata (CA)
Otomata seluler (cellular automata) adalah model sederhana dari proses terdistribusi spasial (spatial distributed process) dalam GIS. Data terdiri dari susunan sel-sel (grid), dan masing-masing diatur sedemikian rupa sehingga hanya diperbolehkan berada di salah satu dari beberapa keadaan. Cellular system dapat didefinisikan sebagai suatu koleksi tersusun dari unsur-unsur serupa yang disebut
cell. Struktur ini diberikan oleh pilihan dari bentuk pixel atau biasa disebut lattice.
Beberapa lattice adalah 1 dimensi, 2 dimensi dan 3 dimensi.
Gambar 2. 2. Susunan sel cellular automata (Paharuddin, 2012)
Ketetanggaan (neighborhood) artinya perubahan penggunaan lahan pada satu piksel akan dipengaruhi oleh penggunaan lahan pada piksel tetangganya. Dalam hal ini yang perlu didefenisikan adalah jumlah piksel yang dianggap
15
sebagai tetangga. Konsep ketetanggaan ini, secara teknis diterjemahkan dengan filter/jendela, seperti diperlihatkan pada gambar berikut
Gambar 2. 3 Ilustrasi dari ukuran filter, (a) Filter 3x3, (b) Filter 5x5, (c) Filter
7x7, (d) Filter Oktogonal 5x5, (e) Filter Oktogonal 7x7, (f) Filter Cros 4 tetangga terdekat (Sumber: Jensen 1996, dalam Peruge, 2013).
Keadaan suatu CA sepenuhnya dipengaruhi oleh variabel yang dimiliki tiap sel. CA bekerja dengan tahapan waktu yang diskrit, dimana nilai variabel sel dipengaruhi oleh nilai variabel sel tetangganya di tahapan waktu sebelumnya. Tetangga dari suatu sel yaitu sel-sel yang berdekatan dengan sel itu sendiri. Variable sel diperbaharui secara simultan, berdasarkan kepada nilai variable yang dimiliki sel tersebut dan tetangganya di tahapan waktu sebelumnya, menurut aturan lokal tertentu ( Wolfram , 1983).
II.5 Validasi Model
Validasi model yang sering digunakan untuk menguji kualitas hasil klasifikasi penutupan lahan (land use) berbasis data penginderaan jauh adalah
16 Kappa accuracy (Jensen, 1996 dalam Peruge, 2013).Perhitungan Kappa menurut
Hagen (2002) dalam Peruge (2013), didasarkan pada tabel kontingensi seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1. Pembuatan table kontingensi ini menurut Pontius (2000) dalam Peruge (2013) umumnya adalah sebagai tahap awal dalam membandingkan peta secara obyektif.
Tabel 2.1. Tabel Kontingensi untuk J Kategori
Simulasi Realitas 1 2 … J Total 1 p11 p12 p1J S1
p1j 2 p21 p22 p2J S2
p2j … J pJ1 pJ2 pJJ SJ
pJj Total R1
pj1 R2
pj2 RJ
pjJ 1Sumber: Pontius (2000) dalam Peruge (2013).
Koefisien Kappa dapat ditentukan berdasarkan formula berikut (Carletta, 1996 dalam Peruge, 2013):
( ) ( )
( )
Di mana ( ) adalah proporsi benar yang diamati dan ( ) adalah proporsi
17
Nilai ( ) dan ( ) masing-masing ditentukan dari formula berikut:
( ) ∑ ( ) ∑ Di mana :
= proporsi sel yang termasuk kategori j pada simulasi,
= proporsi sel yang termasuk kategori j pada realitas,
= proporsi sel yang termasuk kategori j pada simulasi dan realitas,
= jumlah iterasi pada seluruh kategori, dan
= Banyaknya kategori.
Pontius (2000) dalam Peruge (2013) menjelaskan bahwa statistik Kappa mencampuradukkan kesalahan kuantifikasi dengan kesalahan lokasi dan memperkenalkan dua statistik secara terpisah untuk mempertimbangkan kesamaan lokasi dan kesamaan kuantitas. Nilai ambang batas untuk membedakan tingkat kecocokan dari setiap nilai kappa, ditunjukkan pada Tabel 2.1
18
Tabel 2.1.Tingkat Kecocokan Nilai Kappa
Nilai Kappa Tingkat kecocokan
< 0.05 Tidak ada 0.05 Sangat jelek 0.2 Jelek 0.4 Sedang 0.55 Agak baik 0.7 Baik 0.85 Sangat baik 0.99 Sempurna
19 BAB III
METODOLOGI
III.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di sepanjang pantai delta muara Sungai Saddang kabupaten Pinrang. Panjang pantai daerah penelitian ± 19,371 km dengan letak geografis yaitu 119° 26' 16.8" BT - 119° 31' 19.2" BT dan 3° 37' 55.2" LS - 3° 41' 25.2" LS. Lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
20 III.2 Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan sebagai berikut :
Perangkat keras : Komputer dan printer
Perangkat lunak pengolah data SIG
Perangkat lunak pengolah data citra
2. Bahan
Bahan yang akan digunakan adalah
Citra satelit landsat 7 ETM+ tahun 2000 dan 2010 sumber
http://earthexplorer.usgs.gov/
Citra satelit landsat 8 OLI and TIRS tahun 2015 sumber
http://earthexplorer.usgs.gov/
Peta rupa bumi skala 1 : 50.000 Lembar 2012 – 31Pinrang edisi I
– 1991 sumber Bakosurtanal.
Data batimetri dari peta LPI Kabupaten Pinrang skala 1:50.000
sumber http://tanahair.indonesia.go.id/
Data angkutan sedimen, gelombang laut dan data arus laut yang
diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Rahmat Nurhidayat dan Chaeril Anwar.
Data pasang surut yang merupakan data hasil prediksi
21 III.3 Prosedur Penelitian
Prosedur identifikasi perubahan garis pantai, terdiri dari :
III.3.1 Persiapan
Tahap ini merupakan tahap awal dalam melaksanakan penelitian, berupa pengumpulan literatur yang berhubungan dengan penelitian, menentukan alat yang akan digunakan dalam penelitian serta pemilihan bahan yang dipakai dalam melakukan penelitian.
III.3.2 Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait serta dari beberapa penelitian sebelumnya.
III.3.3 Analisis Data
A. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik dimaksudkan untuk mengoreksi distorsi spasial obyek pada citra sehingga posisi obyek yang terekam sesuai dengan koordinat di lapangan . Data raster tersebut dikoreksi menggunakan peta RBI lembar 2012 – 31 Pinrang skala 1:50.000 edisi I – 1991 ang dikeluarkan oleh Bakosurtanal.
22
B. Digitasi Garis Pantai Tahun 2000 – 2010
Digitasi garis pantai dilakukan untuk mengetahui posisi atau letak dari garis pantai pada tahun 2000 - 2015. Dengan mengetahui posisi atau letak tersebut nantinya dapat kita ketahui besar perubahan yang terjadi pada garis pantai dari tahun 2000 hingga tahun 2015.
C. Analisis Kelerengan Dasar Pantai
Penentuan nilai kemiringan dasar pantai diperoleh melalui persamaan :
(III.1)
Dengan, h adalah kedalaman dan x adalah jarak dari garis pantai menuju kedalaman tertentu dalam satuan meter. Nilai kelerengan dasar pantai ini akan digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pergeseran garis pantai, sehingga diperoleh garais pantai pada saat MSL.
D. Menentukan Koreksi Garis Pantai Citra terhadap MSL
Koreksi garis pantai citra terhadap MSL dilakukan dengan
mengetahui selisih posisi muka air () pada saat perekaman citra terhadap
MSL, seperti pada Gambar 3.1. MSL diperoleh dari konstanta-konstanta pasut Dishidros,
23
sehingga jarak pergeseran garis pantai (r) diperoleh melalui persamaan :
() (III.2)
Jika perekaman citra dilakukan pada saat air laut pasang maka garis pantai digeser ke arah laut sejauh r, sebaliknya jika air laut surut maka garis pantai digeser ke arah darat sejauh r.
III.4 Analisis Perubahan Garis Pantai
Adapun tahapan dalam analisis data perubahan garis pantai adalah sebagai berikut :
Crosstab
Untuk mengetahui apakah telah terjadi perubahan garis pantai serta mengetahui lokasi perubahan tersebut maka perlu dilakukan crosstab. Dalam tahap ini dilakukan analisis perubahan garis pantai untuk tahun 2000 sampai tahun 2010 secara spasial menggunakan Cross-classification. Idrisi Selva 17.0 menyediakan suatu modul untuk tujuan ini yaitu “CrossTab” yang dipilih pada menu “GIS Analysis → Change/Time Series → CROSSTAB”.
Probabilitas Markov
Probabilitas perubahan garis pantai dapat dilakukan dengan metode
Markov Chain. Hasil dari proses Markov Chain adalah matriks transisi
24
tertentu. Markov Chain melakukan analisis pada dua data raster perubahan garis pantai pada waktu yang berbeda. Markov Chain dapat diakses dalam
software Idrisi Selva 17.0 dengan memilih menu “GIS Analysis → Change/Time Series → MARKOV”. Penelitian ini menggunakan data raster
perubahan garis pantai tahun 2000, 2010 dan 2015, kemudian mengatur modul markov agar melakukan analisis probabilitas transisi perubahan garis pantai untuk tahun 2000 sampai 2010. Dari data tahun 2000 dan 2010 tersebut, diperoleh perkiraan perubahan garis pantai tahun 2015 dari hasil analisis Markov Chain dengan menggunakan modul Stokastik. Analisis stokastik dapat diakses melalui “GIS Analysis → Change/Time Series →
STCHOICE” dengan menggunakan data raster probabilitas bersyarat hasil
analisis markov sebagai masukan.
Validasi Model
Dalam tahap ini dilakukan validasi model dengan metode validasi model kappa. Pada tahap validasi, yang dimasukkan adalah data raster perubahan garis pantai tahun 2015 hasil proses markov chain dan data raster perubahan garis pantai tahun 2015 dari hasil digitasi citra landsat 8. Hasil prosedur validasi digunakan untuk melihat kelayakan suatu operasi analisis. Jika nilai hasil Validasi Model <70% akan dilakukan kalibrasi ulang pada proses pembuatan data peta perubahan garis pantai tahun 2000, 2010 dan 2015 dimulai dari koreksi geometrik, koreksi radiometrik, training area sampai pada klasifikasi multispektral. Tetapi jika nilai hasil validasi cukup
25
atau >70% model perubahan garis pantai akan diproses untuk menghasilkan perubahan garis pantai tahun 2025 dan tahun 2035.
Membuat Data raster Kesesuaian pada Modul MCE (Multi Criteria
Evaluation)
Dalam modul MCE (Multi Criteria Evaluation), dihasilkan transition
suitability image collection dengan memasukkan data raster sedimentasi dan
rencana batimetri sebagai faktor pendukung. Faktor pendukung digunakan untuk mengatur peta kesesuaian setiap perubahan garis pantai. Hal pertama yang dilakukan pada modul MCE adalah melakukan reklasifikasi untuk semua faktor pendukung, dimana untuk semua kriteria faktor yang sesuai diberi nilai 1 sedangkan yang tidak sesuai diberi nilai 0. Setelah itu melakukan standarisasi sejumlah faktor. Untuk semua faktor pendukung harus dalam format biner byte dan menggunakan sistem skala yang sama. Pada penelitian ini digunakan nilai skala 0-255 untuk masing-masing faktor.
Semua tipe data raster untuk masing-masing faktor yang masih berformat raster tipe real atau interger di konversi ke dalam format raster tipe
byte dengan memilih menu “Reformat → CONVERT”. Selanjutnya
mengukur jarak masing-masing faktor dengan menu “GIS Analysis →
Distance Operators → DISTANCE”. Untuk menciptakan nilai skala 0-255
dilakukan pada menu “Image Processing → Enhancement → STRETCH”. Setelah semua faktor pendukung telah diproses, langkah berikutnya yang dilakukan adalah melakukan pembobotan untuk melihat kepentingan relatif
26
dari setiap faktor. Setiap faktor harus memiliki nilai bobot. Pembobotan ini dilakukan dalam “WEIGHT – AHP weight derivation” dengan memilih menu “Modeling → Model Deployment Tools → Weight”. Hasil dari pembobotan ini digunakan sebagai parameter untuk menentukan factor
weight pada modul MCE.
Setelah semua faktor data raster standar telah didapat, modul MCE dijalankan dengan memilih menu “Modeling → Model Deployment Tools
→ MCE” dengan memasukkan sejumlah faktor pendorong, kemudian
mengambil parameter faktor yang didapatkan dari AHP weight derivation. Hasil akhir dari modul MCE yaitu peta kesesuaian transisi yang digunakan dalam modul Cellular Automata-Markov.
Simulasi Model dengan CA – Markov Chain
Simulasi model dengan Cellular Automata-Markov dapat diakses pada Idrisi Selva 17,0 pada menu “GIS Analysis → Change/Time Series →
CA-MARKOV". Modul ini dijalankan dengan menggunakan data raster
perubahan garis pantai tahun 2010 sebagai gambar dasar garis pantai, kemudian memasukan Markov Transition Area File yang diperoleh dari hasil transisi probabilitas markov, selanjutnya memasukkan Transition suitability image collection yang dibangun pada modul MCE dengan memasukan sejumlah faktor pendukung mentukan 5 untuk perubahan 5 tahun dan 10 untuk perubahan 10 tahun sebagai jumlah iterasi CA dan memilih jenis filter 5 X 5 yang merupakan filter standard dalam Cellular Automata.
27
Ya III.5 Bagan Alir Penelitian
Gambar 3. 2 Bagan Alir Penelitian
Tidak
Validasi >70%
Model Perubahan Garis Pantai 2025 dan 2035
Cellular Automata Markov 10 dan 20 tahun kedepan
Selesai
Model Markov Perubahan Garis Pantai tahun 2015
Stokastik Probabilitas Markov
Digitasi dan Klasifikasi
Koreksi Geometri Faktor Pendukung : Data Angkutan Sedimen Data Arus Data Gelombang laut Data Pasang Surut, Data Batimetri Koreksi MSL
Peta Garis Pantai tahun 2010
Peta Garis Pantai tahun 2015 Model Tervalidasi MCE / AHP Weight Derivation Mulai Peta Kesesuaian faktorpendukung
Peta Garis Pantai tahun 2000 Peta Garis Pantai
tahun 2000
Peta Garis Pantai tahun 2010
Peta Garis Pantai tahun 2015 Citra Landsat tahun 2010 Citra Landsat tahun 2015 Citra Landsat tahun 2000 Citra Landsat tahun 2000 Citra Landsat tahun 2010 Citra Landsat tahun 2015 Peta RBI Kabupaten Pinrang
28
DAFTAR PUSTAKA
Antasari, K. 2011. Penentuan Lokasi Wisata Selam di Pulau Karampuang
Kecamatan Mamuju Kabupaten Mamuju dengan Menggunakan Metode Pembobotan. Makassar. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Arif, S. 2016. Model Geospasial Sistem Pendukung Keputusan (Geospatial
Decision Support System) Manajemen Lahan Pangan. Makassar. Program
Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
Baja, S. 2012. Metode Analitik Evaluasi Sumber Daya Lahan. Makassar. Identitas Universitas Hasanuddin.
[CERC] Coastal Engineering Research Center. 1984. Shore Protection Manual
Volume I, Fourth Edition.Washington: U.S. Army Coastal Engineering
Research Center.
Dewi, I. P. 2011. Perubahan Garis Pantai dari Pantai Teritip Balikpapan sampai
Pantai Ambarawang Kutai Kertanegara Kalimantan Timur. Bogor.
Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Fatihah, R. 2015. Pola Spasio - Temporal Arus Susur Pantai Periode Tahun 1983
– 2013 di Perairan Pantai Delta Muara Sungai Saddang. Makassar. Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin.
Jhonson, D. W. 1919. Shore Processes and Shorline. New York. John Wiley & Sons.
Paharuddin. 2012. Simulasi Geospasial Berbasis Cellular Automata Perubahan
Penggunaan Lahan Untuk Prediksi Sedimentasi. Makassar. Program Pasca
Sarjana Universitas Hasanuddin.
Palilu, N. R. 2015. Pola Spasial dan Kwartal Angkutan Sedimen Sepanjang
Pantai Delta Muara Sungai Saddang Periode 1983 – 2003. Makassar.
Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin.
Peruge, T. V. 2013. Model Perubahan Penggunaan Lahan menggunakan Cellular
Automata Markov Chain di Kawasan Mamminasata. Makassar. Program
Studi Geofisika Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin.
29
Suci, S. R. 2012. Perubahan Wilayah Pantai dan Penutupan Lahan Pada Muara
Sungai Pappa di Kabupaten Takalar. Makassar. Program Studi
Keteknikan Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta.
Wolfram, S. 1983. Statistical Mechanics of Cellular Automata. Reviews of Modern Physics 55. pp.601–644.
Zevenbergen, J. 2004. A System Approach to Land Registration and Cadastre. Nordic Journal of Surveying and Real Estate Research.