PELARUTAN HAYATI BATUAN FOSFAT SEBAGAI PUPUK FOSFOR PADA BUDIDAYA KEDELAI DI ULTISOL
Rock Phosphate Biosolubilizing as P-Fertilizer to Soybean Cultivated at Ultisols
Oleh:
Tamad dan Joko Maryanto
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Alamat korespondensi: Tamad (tamad_fpunsoed@yahoo.com)
ABSTRAK
Ultisol merupakan tanah yang cukup potensial dari segi luas untuk dikembangkan pemanfaatannya bagi sektor pertanian di Indonesia. Namun kendala utama Ultisol ialah ketersediaan fosfor yang rendah, akibat pH tanah yang masam dan kejenuhan aluminium yang tinggi. Batuan fosfat (BF) merupakan salah satu sumber fosfor yang cukup potensial, namun kelarutan fosfornya rendah. Salah satu usaha untuk meningkatkan ketersediaan fosfor, melarutkan fosfor sukar larut dan yang terikat oleh aluminium, ialah dengan pemanfaatan mikroba pelarut fosfat (MPF). Rancangan percobaan yang digunakan ialah Rancangan Petak Terbagi. Sebagai petak utama dosis BF, yaitu: tanpa pemupukan BF, pemupukan setara 100 kg/ ha P2O5, 200 kg/ ha P2O5, 300 kg/ ha P2O5 dan 400 kg/ ha P2O5. Sebagai anak petak MPF, yaitu: tanpa MPF, Pseudomonas sp., dan Aspergillus sp. Hasil penelitian menunjukkan MPF dan BF meningkatkan pertumbuhan, hasil dan serapan P kedelai. Pengaruh MPF meningkatkan hasil dan serapan P sebesar 50 persen, sedangkan pengaruh BF meningkatkan hasil dan 200 persen serapan P sebesar 300 persen dibanding kontrol. Pseudomonas sp.dan Aspergillus sp. yang digunakan sebagai MPF, walaupun mempunyai morfologi yang berbeda, namun kemampuannya dalam melarutkan fosfor relatif sama. Pengaruh BF meningkatkan hasil dan serapan P, takaran BF optimal adalah 300 kg P2O5 ha-1 .
Kata kunci: mikroba pelarut fosfat, batuan fosfat, Ultisol, kedelai ABSTRACT
Ultisolls, ocuppy a large area in Indonesia, was a quite potential soil for agricultural development. The major constrains of its soil was the low availability of phosphorus (P) since the soil pH was acid and the high of Al. Rock phosphate (RP) was one of the source of P that was quite potential, however, its solubility from the RP was quite low. One of the efforts to increase the availability of the P, to sulubilize the insoluble P and the absorbed P by Al was the use phosphate solubilizing microorganisms (PSM). The experiment was arranged in split plot design. The main factor was the dosage of rock phosphate, consists of: 0; 100; 200; 300 and 400 kg/ ha P2O5. The sub plot was PSM, consists of: without PSM, Pseudomonas sp., and Aspergillus sp. The result showed that the treatment of PSM and RP increase the growth, yield, and P-uptake of soybean increase 50 percent of yield and P-uptake, and RP increase 300 percent of yield and 200 percent P-uptake compared with the control. Pseudomonas sp. and Aspergillus sp. used as PSM, although had a different morphology, however, the ability in solubilizing P was not different. The yield and P-uptake of soybean increase affected by RP, optimally RP dosage is 300 kgs P2O5 ha-1.
Key words: phosphate solubilizing microorganisms, rock phosphate, Ultisolls, soybean
PENDAHULUAN
Di Indonesia sebaran Ultisol cukup luas, yaitu 48 juta hektar (25% dari luas lahan) (Santoso, 1991). Ultisol memiliki beberapa permasalahan, baik sifat fisik maupun kimia tanah. Permasalahan kimia Ultisol adalah kemasaman tanah yang
tinggi (pH < 5), bahan organik rendah, kandungan N, P, K, Ca rendah, KTK rendah, KB rendah (< 35%), kandungan Al dan Mn tinggi (racun tanaman), dan daya fiksasi P yang tinggi (P tersedia rendah) (Miller and Donahue, 1990). Sifat Ultisol
Tanggeran, Banyumas yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 1.
Sebagai negara agraris, Indonesia sangat membutuhkan penyediaan fosfat cukup banyak. Indonesia mengimpor fosfat, dalam kurun waktu 1981-1994, lebih dari 13 juta ton, bernilai lebih dari 700 juta dolar AS (Sudradjat, 1997). Diperkirakan kebutuhan fosfat Indonesia tahun 2000 mencapai 3 juta ton.
Di Indonesia, jumlah cadangan fosfat yang telah diselidiki adalah 2,5 juta ton endapan guano (kadar P2O5 = 17-43%) dan
diperkirakan sekitar 9,6 juta ton fosfat marin dengan kadar P2O5 20-40%
(Sudradjat, 1997). Di Pulau Jawa sendiri ditemukan beberapa deposit seperti di
Palimanan Cirebon, Ajibarang,
Karangbolong, Pati, Tuban, dan Bojonegoro (Moersidi et al., 1983). Batuan fosfat (BF) di Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas tersebar di Dusun Cidora Desa Sawangan dengan potensi
270.000 ton, Dusun Blabursari Desa Pancasan dengan potensi 20.000 ton, dan Dusun Sidoarjo Desa Darmakradenan dengan potensi 136.000 ton (Dintam Kabupaten Banyumas, 1999).
Berdasarkan Standar Industri Indonesia (Departemen Perindustrian) kualitas pupuk fosfat harus memenuhi persyaratan yaitu: 1) kandungan fosfat larut HCl minimal 20%; 2) kehalusan minimal 80% lolos saringan 100 mesh; 3) kandungan Al2O3 dan Fe2O3 maksimal 3%;
dan 4) kandungan Cl maksimal 2% (Maryanto et al., 2000).
Kelarutan fosfor dari BF dapat ditingkatkan dengan penggunaan mikroba pelarut fosfat (MPF). Menurut hasil penelitian Hadijati (1993), 10-50% mikroba tanah dapat melarutkan fosfat. Mikroba tanah yang memiliki kemampuan dalam melarutkan fosfat tanah dapat termasuk golongan bakteri (seperti
Pseudomonas, Bacillus, dan Escherichia),
Tabel 1. Sifat Ultisol Tangeran Banyumas
Sifat Tanah Nilai Kriteria (PPT, 1983)
pH (H2O 1:2,5) 4,72 Masam
C-organik (%) 0,87 Sangat rendah
P-tersedia (ppm P2O5) Tu Sangat rendah
P-jerapan (%) 70,00 Tinggi
K-dd(cmol (+)/kg) 0,11 Rendah
Ca-dd (cmol (+)/kg) 0,88 Sangat rendah
Mg-dd (cmol (+)/kg) 0,65 Rendah
Al-dd (cmol (+)/kg) 1,51 -
KTK (cmol (+)/kg) 11,80 Rendah
KTK-efektif (cmol (+)/kg) 4,50 Rendah
Kejenuhan Al (%) 34,00 Tinggi
Kadar Air Kapasitas Lapang (%) 66,00 -
golongan cendawan (seperti Aspergillus,
Penicillium, dan Culvularia), dan golongan
Actinomicetes (seperti Streptomyces) (Rao, 1999).
Illmer and Schinner (1995) melaporkan bahwa Pseudomonas sp. dan
P. aurantiogriseum lebih efektif dalam
melarutkan BF Ca-P (apatite dan brushite), sedangkan A. niger dan P. simplicissimum lebih efektif dalam melarutkan BF Al-P (variscite). Diketahui bahwa A. niger dan
P. simplicissimum menghasilkan asam
sitrat, oksalat, dan glukonat lebih banyak, diantara ketiganya asam sitrat paling responsif dalam melarutkan Al-P. Dalam 11 hari asam sitrat mampu melarutkan 37% Al-P, asam oksalat 10%, dan asam glukonat 4%. Sedangkan pelarutan Ca-P oleh MPF dominan disebabkan karena penurunan pH akibat protonisasi asam-asam organik, asimilasi amonium, dan respirasi asam karbonat selain akibat pelarutan oleh asam-asam organik yang dihasilkan oleh MPF (Turan et al., 2006).
Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia. Sampai saat ini produksi kedelai belum mampu mengimbangi kebutuhan nasional, sehingga Indonesia merupakan negara pengimpor kedelai (Deptan, 2003). Rendahnya produksi kedelai di Indonesia, antara lain disebabkan karena menurunnya produktifitas tanah dan luasan tanah produktif yang ditanami kedelai relatif
sempit. Keterbatasan tanah produktif mendorong kita untuk mau tidak mau mengarah ke pemanfaatan tanah marginal, antara lain Ultisol.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana kemampuan inokulan MPF dalam meningkatkan kelarutan fosfor dari BF, dan 2) berapa dosis optimum dari BF pada setiap jenis inokulan MPF pada kedelai di tanah Ultisol.
Manfaat hasil penelitian ini adalah: 1) Mengurangi ketergantungan terhadap pupuk P buatan dengan memanfaatkan sumber P lokal yang relatif murah, yaitu BF, dan 2) mendapatkan teknologi dalam memanfaatkan BF sebagai sumber P bagi tanaman, dengan memanfaatkan MPF.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Tanah dan Rumah Kaca Faperta Unsoed dengan sumber dana Dosen Muda, DP2M, Ditjen Dikti tahun 2006. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan November 2006.
Rancangan percobaan yang
digunakan ialah Rancangan Petak Terbagi. Sebagai petak utama dosis BF, terdiri lima taraf yaitu: tanpa pemupukan BF, pemupukan setara 100 kg/ ha P2O5, 200
kg/ ha P2O5, 300 kg/ ha P2O5 dan 400 kg/
ha P2O5. Sebagai anak petak MPF, terdiri
sp., dan Aspergillus sp. Tiap perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 5 x 3 x 3 = 45 pot percobaan.
Tanah yang digunakan adalah Ultisol asal Tanggeran Banyumas, diambil pada kedalaman 0-30 cm, dan diayak dengan saringan berdiameter 2 mm. Tanah yang digunakan tiap pot setara dengan 6 kg bobot kering mutlak. Tanah tersebut dicampur dengan dolomit (CaMg(CO3)2)
setara 0,5 kali Al-dd, disiram sampai kapasitas lapang dan diinkubasi selama empat minggu. Pupuk yang digunakan ialah urea setara 50 kg/ ha, dan KCl setara 100 kg/ ha. Kedua pupuk tersebut diberikan pada saat tanam.
Batuan fosfat yang digunakan berasal dari Ajibarang Banyumas. Sebelum digunakan BF tersebut dihaluskan dan disaring dengan saringan 80 mesh, BF tersebut sudah diketahui kandungan P2O5
(20%). BF diberikan pada saat tanam. Isolat MPF yang digunakan ialah
Aspergillus sp., dan Pseudomonas sp..
Kedua isolat tersebut dimasukan ke dalam gelas erlnmeyer 250 ml yang telah diisi medium Pikovskaya (Subba Rao, 1999) cair steril 200 ml. Kultur tersebut diinkubasikan secara aerob pada suhu kamar selama 4 hari. Kepadatan populasi MPF 107 sel/ml medium (ditentukan dengan metode pengenceran). Inokulasi MPF diberikan pada saat tanam dengan cara menuang 20 ml suspensi pada pot.
Benih kedelai yang digunakan ialah varietas Slamet yang diperoleh dari
Soybean Research Development Centre
(SRDC) UNSOED. Tiap pot ditanami dengan tiga benih kedelai. Ketiga tanaman tersebut dibiarkan sampai akhir percobaan. Tolok ukur yang diamati terdiri dari: (1) komponen tanaman, meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, bobot brangkas, komponen hasil, dan serapan fosfor oleh tanaman; (2) komponen penunjang, berupa pH tanah setelah inkubasi selama satu bulan.
Terhadap data hasil percobaan dilakukan analisis ragam (ANOVA), dilanjutkan dengan uji tengah (ANOM) DMRT pada taraf nyata 0,05 dan/atau 0,01.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan pengapuran dolomit dengan takaran 0,5 kali Al-dd dan diinkubasikan selama satu bulan pH tanah Ultisol Tangeran naik menjadi 6,40 sampai 6,50. Hal ini disebabkan pada proses hidrolisis dolomit menghaslikan gugus OH- dan mengikat H+ penyebab kemasaman tanah tersebut P (Havlin et al., 2005).
Batuan Fosfat (BF) berpengaruh
nyata terhadap semua komponen
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai kecuali tinggi tanaman, sedangkan
berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, jumlah polong isi, bobot biji dan serapan P. Tidak terdapat interaksi antara MPF dan BF terhadap variabel yang diamati. MPF yang digunakan tidak mampu meningkatan kelarutan fosfor dari BF. Hal ini disebabkan kandungan bahan organik pada tanah Ultisol Tangeran yang digunakan dalam percobaan sangat rendah (Tabel 1). Rendahnya kandungan bahan organik menyebabkan pertumbuhan populasi dan aktivitas MPF dalam tanah tidak optimum, karena keterbatasan
sumber karbon dan sumber energi bagi MPF untuk meningkatkan populasi dan untuk beraktivitas (Rao, 1999; Pradhan
and Sukla, 2006). MPF yang digunakan
(Pseudomonas sp.dan Aspergillus sp.) mempunyai kemampuan melarutkan fosfor dari BF yang terbatas, sehingga peningkatan jumlah BF yang digunakan tidak diikuti oleh kelarutan fosfor. Perlakuan MPF dan BF cenderung
meningkatkan semua komponen
pertumbuhan dan hasil tanaman (Tabel 2 dan Tabel 3).
Tabel 2. Pengaruh MPF terhadap komponen kedelai Taraf
Perlakuan MPF
Komponen Kedelai yang Diamati
TT (cm) JD (buah/tan) BSB (g/tan) BKB (g/tan) JPI (buah/tan) BBK (g/tan) SP (ppm) Kontrol 72,85 a 23,4 a 4,54 a 0,97 a 9,5 a 1,12 a 10,67 a Pseudomonas sp. 80,33 a 27,7 b 6,06 a 1,35 a 13,1 b 1,75 b 16,36 b Aspergillus sp. 80,83 a 27,7 b 4,96 a 1,16 a 12,2 b 1,69 b 16,71 b
Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT. TT = tinggi tanaman, JD = jumlah daun, BSB = bobot segar brangkas, BKB = bobot kering brangkas, JPI = jumlah polong isi, BBK = bobot biji kering, dan SP = serapan fosfor.
Tabel 3. Pengaruh BF terhadap Rerata Komponen Kedelai
Taraf Komponen Kedelai yang Diamati
Perlakuan BF TT (cm) JD (buah/tan) BSB (g/tan) BKB (g/tan) JPI (buah/tan) BBK (g/tan) SP (ppm) Kontrol 73,48 a 20,7 a 2,42 a 0,53 a 5,7 a 0,62 a 9,67 a 100 kg P2O5/ha 76,98 a 23,9 a 5,09 b 1,09 b 10,1 b 1,36 b 11,97 a 200 kg P2O5/ha 78,68 a 30,0 b 6,01 b 1,29 b 12,6 bc 1,75 bc 12,14 a 300 kg P2O5/ha 77,10 a 27,4 b 5,43 b 1,38 b 14,7 c 1,90 c 17,76 b 400 kg P2O5/ha 83,79 a 29,4 b 6,98 b 1,52 b 15,0 c 1,97 c 21,36 b
Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT. TT = tinggi tanaman, JD = jumlah daun, BSB = bobot segar brangkas, BKB = bobot kering brangkas, JPI = jumlah polong isi, BBK = bobot biji kering, dan SP = serapan fosfor.
Jenis MPF tidak berbeda pengaruhnya terhadap komponen tanaman (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa antara Pseudomonas sp. dan Aspergillus
sp. mempunyai kemampuan dalam
melarutkan fosfor yang sama. Secara morfologi kedua mikroba ini berbeda, tetapi secara fisiologi kemampuan dalam melarukan fosfor relatif sama. Kedua MPF cenderung meningkatkan tinggi tanaman, bobot brangkas tanaman, jumlah daun, jumlah polong, bobot biji dan serapan P.
MPF meningkatkan kelarutan fosfor dalam tanah, sehingga tersedia bagi tanaman. Pemberian BF meningkatkan jumlah daun, bobot brangkas, jumlah polong isi, bobot biji, dan serapan P (Tabel 3). BF meningkatkan hasil dan serapan P sampai taraf 300 kg P2O5/ha. MPF dan
BF mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai, hal ini disebabkan MPF mampu meningkatkan ketersediaan fosfor melalui proses pelarutan fosfor (Rao, 1999). BF meningkatkan ketersediaan P karena BF sendiri mengandung senyawa fosfat (Sudradjat 1997; Maryanto et al., 2000). Serapan fosfor yang meningkat mendukung pertumbuhan tanaman yang lebih baik, tercermin dari tinggi, jumlah daun dan bobot brangkas. Pertumbuhan tanaman yang baik merupakan pondasi untuk menghasilkan produksi yang lebih baik, dalam hal ini tercermin dari jumlah
polong isi dan bobot biji yang lebih banyak pengaruh perlakuan MPF dibanding kontrol. Komponen hasil, dalam hal ini polong isi dan bobot biji merupakan indikator ketersediaan dan serapan fosfor yang terkait erat, karena fosfor merupakan komponen penting dalam pembentukan biji (Miller and Donahue, 1990; Gull et al., 2006).
Peningkatan sumber fosfor yang diberikan dalam tanah tidak meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Hal ini disebabkan ketersediaan unsur hara selain fosfor rendah (Tabel 1), sehingga produksi tanaman sebagai tanggap akhir tanaman lebih ditentukan oleh status unsur hara yang terbatas tersebut (Havlin et al., 2005).
KESIMPULAN
Pengapuran Ultisol Tangeran dengan dolomit 0,5 kali Al-dd, meningkatkan pH dari 4,72 menjadi
6,40-6,50. Perlakuan MPF dan BF
meningkatkan pertumbuhan, hasil, dan serapan P kedelai. MPF meningkatkan hasil dan serapan P sampai 50 persen, sedangkan BF meningkatkan hasil sampai 300 persen, dan serapan P 200 persen dibanding kontrol. Pseudomonas sp.dan
Aspergillus sp. yang digunakan, mampu
melarutkan fosfor dari BF tidak berbeda. Peningkatan takaran BF yang digunakan, 100-400 kg P2O5/ha, tidak meningkatkan
dan serapan P meningkat. Takaran BF optimal adalah 300 kg P2O5/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Deptan. 2003. perkembangan luas panen,
produksi, ekspor impor kedelai Tahun 1990-2003. Departemen
Pertanian RI Jakarta.
Dintam. Kabupaten Banyumas. 1999.
Informasi peluang investasi pertambangan bahan galian golongan C Di Kabupaten Banyumas. Dinas Pertambangan
Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas. Purwokerto.
Gull, M, F.Y. Hafeez, M. Saleem, and K.A. Malik. 2006. Phospharus uptake and growth promotion of chickpea by co-inoculation of mineral phosphate solubilising bacteria and a mixed Rhizobial culture. Australian Journal of
Experimental Agriculture, 44(6): 623-628.
Hadijati, T. 1993. Efektivitas bakteri pelarut fosfat dalam melarutkan fosfat secara in vitro. Majalah
Ilmiah UNSOED, 3(19): 10-16.
Havlin, J.L, J.D. Beaton, S.L. Tisdale, and W.L. Nelson. 2005. Soil fertility
and fertilizers, an introduction to nutrient management. 7th ed. Pearson Education, Inc., New Jersey, 515p.
Illmer, P, and F. Schinner. 1995. Solubilization of inorganic calcium
phosphate solubilization
mechanisms. Soil Biol. Biochem., 27(3): 257-263.
Ismangil. 2004. Potensi batu beku dan kalsit sebagai amelioran pada tanah lempung aktifitas rendah. Draff
Disertasi. Tidak dipublikasikan.
Maryanto, J, Ismangil, dan H. A. M. Suswojo. 2000. Efisiensi agronomi
relatif fosfat alam Ajibarang dan Gresik sebagai pupuk alternatif pada tanah kandiudult berkejenuhan aluminium tinggi. Majalah Ilmiah
Unsoed, 2(26): 1-12.
Miller, R. W, and R. L. Donahue. 1990.
An introduction to soils and plant growth. 6th ed. Prentice Hall International Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.
Moersidi, S, I.P.G.W. Adhi, dan M. Sudjadi. 1983. Penggunaan pupuk
fosfat alam secara langsung di Indonesia. Balai Penelitian Perkebunan. Bogor.
Pradhan, N, and L.B. Sukla. 2006. Solubilization of inorganic phosphate by fungi isolated from agriculture soil. African J. of Biotechnology, 5(10): 850-854.
Rao, S.N.S. 1999. Soil microbiology
(Fourth edition of soil microorganisms and plant growth).
Science Publisher, Inc. New Hampshire, USA.
Santoso, Dj. 1991. Agriculture land of Indonesia. Indonesian Agriculture
Research and Development J.,
13(3): 33-35.
Sudradjat, A. 1997. Fosfat. pp. 13-166.
Dalam: S. Suhala, dan M. Arifin
(Eds). Bahan Galian Industri. Puslitbang Teknologi Mineral. Bandung.
Turan, M., N. Ataoglu, and F. Sahin. 2006. Evaluation of the capacity of phosphate solubilizing bacteria and fungi on different form of phosphorus in liquid culture. J. of
Sustainable Agriculture, 28(3):