• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KONSUMSI PROTEIN HEWANI TERHADAP STATUS GIZI BAYI USIA 6-24 BULAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KONSUMSI PROTEIN HEWANI TERHADAP STATUS GIZI BAYI USIA 6-24 BULAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

152

HUBUNGAN KONSUMSI PROTEIN HEWANI TERHADAP STATUS GIZI BAYI USIA 6-24 BULAN

THE RELATIONSHIP OF ANIMAL PROTEIN CONSUMPTION TO STATUS OF NUTRITIONAL INFANTS THAT AGES 6-24 MONTH

Dini Anggraini*, Rinidar**, Razali**, Sugito**, T Reza Ferasyi**

*Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Program Pascasarjana,Unsyiah * Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

email: anggraini_dini89@yahoo.com

Abstrak: Setelah usia 6 bulan, bayi membutuhkan makanan semi padat yang

merupakan proses transisi dari pemberian air susu ibu menuju ke makanan semi padat untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Jenis bahan untuk makanan pendamping air susu ibu harus mengandung sejumlah besar bahan nutrisi, salah satunya adalah protein. Protein hewani lebih mudah dicerna oleh tubuh dibanding protein nabati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsumsi protein hewani terhadap status gizi bayi usia 6-24 bulan. Jenis penelitian observasional analitik dengan desain yaitu cross-sectional study. Jumlah populasi adalah semua anak usia 6-24 bulan yang berada di wilayah pesisir Kecamatan Kuala Pesisir Kota Nagan Raya. Sampel yaitu semua anak usia 6 -24 bulan yang diambil dengan menggunakan teknik proportional sampling didapatkan 86 bayi. Hasil penelitian menunjukkan hubungan hubungan konsumsi protein hewani terhadap status gizi bayi sangat siginifikan (p value <0,01). Kesimpulannya konsumsi protein hewani pada bayi usia 6-24 bulan di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya tinggi.Disarankan agar dilakukan penyuluhan kepada ibu tentang kualitas maupun kuantitas makanan pendamping air Susu ibu yang sesuai dengan usia bayi sehingga masalah gizi pada bayi dapat dicegah sedini mungkin.

Kata kunci: bayi 6-24 bulan, protein hewani, status gizi, makanan pendamping ASI Abstract: The infants after 6 months of age, they are need semi-solids which is the

process of transition from breastfeeding to get to a semi-solid food to suply their nutritional needs. The type of material for the food addition to breast milk should contain a large amount of nutrients, one of which is a protein. Animal protein more easily digested by the body than vegetable protein. This study aims to determine the relationship of animal protein consumption to the nutritional status of infants aged 6-24 months. This studi using observational analytic with a design that is a cross-sectional study. Total population is all infants aged 6-24 months in Kuala Pesisir subdistrict Nagan Raya Regency. The samples are that all children ages 6 -24 months taken by using proportional sampling obtained 86 infants. The results showed correlation relationship animal protein consumption to the nutritional status of infants is very significant (p value <0.01). In conclusion consumption of animal protein in infants aged 6-24 months in the district of Nagan Raya Kuala Pesisir is highly. Suggested to information to mothers about the quality and quantity of complementary foods breast milk according to the age of the baby so that the nutritional problems in infants can be prevented as early as possible.

Keywords: Infants 6-24 months, breast milk, animal protein and nutritional status,

(2)

PENDAHULUAN

Masalah gizi pada bayi dan anak disebabkan pemberian ASI dan MP-ASI yang tidak memenuhi standar gizi sehingga dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan bayi. World Health

Organization 1 menyebutkan bahwa

terdapat 54% kematian bayi disebabkan oleh masalah gizi,

selebihnya disebabkan oleh

pneumonia, diare, campak, dan malaria. Selain itu, faktor lain adalah kurangnya ibu memahami bahwa sejak bayi berusia 6 bulan sudah memerlukan MP-ASI dalam jumlah dan mutu yang baik 2. Oleh karena itu, prioritas utama penanganannya adalah memperbaiki MP-ASI kepada bayi dan ibu 3.

Makanan Pendamping ASI

diperlukan oleh bayi selain untuk pemenuhan gizi juga diperlukan untuk membantu proses penguatan rahang melalui proses pengunyahan untuk menunjang sistem pencernaannya. Maseko dan Owaga, 4 menyatakan

bahwa pemberian MP-ASIakan

sempurna bila diberikan pada waktu yang tepat, jenis bahan dan cara pembuatan MP-ASI. Pemberian makanan bayi tidak boleh terlalu dini ataupun terlambat. Pemberian MP-ASI

yang tidak tepat dan miskin gizi menyebabkan bobot badan yang

rendah serta terganggunya

pertumbuhan.

Bayi harus mendapat MP-ASI karena pada usia 6-12 bulan, ASI hanya menyediakan ½ atau lebih kebutuhan gizi bayi, dan pada usia 12-24 bulan ASI menyediakan 1/3 dari kebutuhan gizinya sehingga MP-ASI harus segera diberikan mulai bayi berusia 6 bulan. Makanan pendamping ASI harus mengandung zat gizi mikro

yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh ASI saja 5.

Jenis bahan untuk MP-ASI harus mengandung sejumlah besar bahan nutrisi, salah satunya adalah protein. Pasokan protein harus tetap ada untuk menjaga integritas dan fungsi seluler, kesehatan dan reproduksi. Penyusun protein adalah asam amino dan banyak terlibat sebagai koenzim, hormon, asam nukleat, katalisator, pembawa, pengerak, pengatur, ekpresi genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat immunitas dan untuk pertumbuhan1. Menurut FAO/WHO tahun 1985 asam amino yang sering kurang dalam asupan makanan anak

(3)

Methionine+Cysteine, Threonine +Tryptophan.

Pemberian makanan bayi perlu diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi, jenis, jumlah

bahan makanan, dan cara

pembuatannya. Untuk bayi usia ≥6-9 bulan diberikan MP-ASI dalam bentuk makanan lumat, untuk bayi usia ≥9-12 bulan diberikan MP-ASI dalam bentuk makanan lembek, sedangkan untuk bayi usia ≥12-24 bulan diberikan MP-ASI dalam bentuk makanan keluarga 6. Kasus kekurangan gizi pada balita masih melanda di sebagian wilayah Indonesia, salah satunya adalah di Kabupaten Nagan Raya. Menurut laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya tahun 2014, masih terdapat bayi dengan status gizi gizi buruk sebanyak 17 jiwa. Di Kecamatan Kuala pesisir terdapat 3 kasus gizi buruk. Maka karena itu, sangatlah menarik untuk mengkaji kasus gizi buruk pada bayi usia 6-24 bulan yang terjadi di kecamatan Kuala pesisir Kabupaten Nagan Raya dikaitkan dengan asupan protein pada MP-ASI.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin melihat bagaimana hubungan konsumsi protein hewani

terhadap status gizi bayi usia 6-24 bulan di kecamatan kuala pesisir Kabupaten Nagan Raya. Tujuan Penelitian untuk mengetahui apakah ada hubungan konsumsi protein hewani terhadap status gizi bayi usia 6-24 bulan di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya 7.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan desain

cross sectional survey, untuk

mengetahui data tentang hubungan konsumsi protein hewani terhadap status gizi bayi usia 6-24 bulan di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya.

Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki bayi berusia 6-24 bulan di Kecamatan Kuala Pesisir

Kabupaten Nagan Raya yang

berjumlah 650 orang yang tersebar di 16 desa. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode proportional sampling. Penentuan besar sampel berdasarkan rumus Slovin, berjumlah 86 sampel. Analisa data menggunakan aplikasi komputerisasi uji korelasi untuk menjelaskan hubungan konsumsi

(4)

protein hewani terhadap status gizi dan uji regresi linear sederhana.

HASIL PENELITIAN

Karateristik Responden dan Sampel Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya

Karakteristik Responden Frekuensi

(n) Persentasi (%) Umur 19-30 Tahun 31-35 Tahun > 36 Tahun 56 22 8 65,1 25,6 9,3 Pendidikan Dasar (SD) Menengah (SLTP,SLTA) Tinggi (Diploma,PT) 3 36 37 3,5 53,5 43 Pekerjaan Ibu

Bekerja (PNS, Swasta, Petani) Tidak Bekerja (IRT)

30 56 34,9 65,1 Pendapatan Keluarga Tinggi Rendah 42 44 48,8 51,2 Sumber: Data Primer (Diolah, 2016)

Berdasarkan data (tabel 1)terlihat bahwa distribusi karakteristik responden menurut umur yang paling banyak adalah rentang umur ibu 19-30 tahun sebanyak 56 orang (65,1%), sedangkan paling sedikit adalah rentang umur ibu >36 tahun sebanyak 8 orang (9,3%). Karakteristik responden menurut pendidikan yang paling banyak adalah tamatan pendidikan menengah (SLTP,SLTA) sebanyak 29 orang (45,5%), sedangkan yang paling sedikit adalah tamatan pendidikan Dasar (SD) sebanyak 3

orang (3,5%). Karakteristik responden menurut pekerjaan paling banyak ibu tidak bekerja (IRT) sebanyak 56 orang (65,1%) sedangkan paling sedikit adalah ibu bekerja sebanyak 30 orang (34,9%). Karakteristik responden menurut pendapatan keluarga yang paling banyak adalah berpendapatan rendah sebanyak 44 orang (51,2%) sedangkan yang paling sedikit adalah yang berpendapatan tinggi sebanyak 42 orang (48,8%).

Hubungan Konsumsi Protein Hewani terhadap Status Gizi Bayi Usia 6-24 Bulan di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya

Tabel 2. Hubungan Konsumsi Protein

Hewani terhadap Status Gizi Bayi Usia 6-24 Bulan di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya n=86

Konsumsi Protein Hewani

Status Gizi (BB/U) (%) Jlh

(%) P value Lebih Baik Kurang Buruk Tinggi 7 75,6 4,7 0 87,2 0,000 Rendah 0 0 12,8 0 12,8 Jumlah 7 75,6 17,4 0 100

Sumber: Data Primer (Diolah, 2016) Pada tabel 2, terlihat bahwa bayi yang mengkonsumsi protein hewani

dalam jumlah tinggi tidak

menggambarkan bahwa status gizi juga baik. Hal ini terlihat dari masih ditemukan bayi yang mengkonsumsi protein tinggi memiliki status gizi kurang sebanyak 4,7%, sebanyak 7% memiliki status gizi lebih, dan hanya

(5)

75,6% memiliki status gizi baik. Pada bayi yang mengkonsumsi protein hewani rendah di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya menunjukkan memiliki status gizi kurang sebanyak 12,8%. Pada penelitian ini juga memperlihatkan bahwa tidak ada bayi yang memiliki status gizi buruk.

Hasil uji korelasi bivariat untuk melihat hubungan antara konsumsi protein hewani terhadap status gizi bayi usia 6-24 bulan di Kecamatan Kuala Pesisir kabupaten Nagan Raya memperlihakan hubungan positif (P<0,01). Hasil analisis regresi variabel konsumsi protein hewani dengan status gizi bayi 6-24 bulan di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya berpengaruh sangat nyata sig 1,00<0,001. Persamaan Regresi : Y = 3.000+ 1.027x, dengan nilai analisis determinasi R2 (R square) sebesar 0,504 atau 50,4%. Analisis ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh konsumsi protein terhadap status gizi sebesar 50,4%, sedangkan sisanya sebesar 49,6%.

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini bayi yang konsumsi protein hewani rendah

memperlihatkan status gizi yang kurang (12,8%). Hal ini sesuai dengan penelitian Mamahit et al.8, berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman antara variabel asupan protein dengan status gizi BB/U diperoleh nilai (p≤0,05) yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi protein dengan status gizi BB/U.

Kurnia 9 menyatakan bahwa status gizi tergantung dari tingkat konsumsi zat gizi yang terdapat pada makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Kalau

susunan hidangan memenuhi

kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit. Status gizi atau tingkat konsumsi pangan

(6)

merupakan bagian terpenting dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi kesehatan seseorang, tetapi status kesehatan juga mempengaruhi status gizi. Maka, tingkat konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap status gizi balita. Pola pemberian makan pada anak yang berhubungan dengan status gizi. Oleh karena itu dapat mempengaruhi tingkat konsumsi energi dan protein pada balita, sehingga berimplikasi pada status gizi underweight pada balita jika tingkat konsumsinya kurang.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa masih banyak ditemukan bayi mengalami gizi kurang walaupun sudah mengkonsumsi daging, ikan dan telur. Padahal dalam 100 gram telur rebus mengandung 12,58 gram protein. Daging merah segar mengandung 25,21 gram protein.Daging domba dalam 100 gram mengandung sekitar 28,22 gram protein. Dari 100 gram ayam panggang mengandung 25 gram protein. Ikan

salmon kalengan dan

ikan herring mengandung 23 gram protein per 100 gram sajian. Ikan tuna kalengan mengandung sekitar 29 gram protein. Selain kaya akan protein, ikan

laut juga kaya akan asam lemak

omega-3 10.

Menarik umtuk dikaji bahwa walaupun di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya, sudah memakan proein dari hewan tetapi masih ditemukan status gizi bayi yang kurang. Terdapatnya bayi yang masih dalam katagori mengalami gizi kurang, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lain seperti proses pengolahan bahan pangan. Menurut Sumiati 11, mengatakan bahwa, pengolahan seperti

penggorengan, pemanggangan,

pengukusan dan perebusan serta adanya penambahan bumbu (larutan garam dan asam cuka) tidak mempengaruhi nilai mutu cerna protein pada ikan jenis mujair, namun Sundari et al., menyatakan bahwa proses pengolahan bahan pangan dengan menggunakan panas menyebabkan penurunan kadar zat gizi bahan pangan tersebut dibandingkan bahan mentahnya, tinggi atau rendahnya penurunan kandungan gizi suatu bahan pangan akibat pengolahan tergantung dari jenis bahan pangan, suhu yang digunakan dan lamanya proses pengolahan. Proses menggoreng menyebabkan penurunan kandungan gizi yang sangat signifikan karena

(7)

penggorengan menggunakan suhu yang tinggi sehingga zat gizi seperti protein mengalami kerusakan,

sedangkan proses perebusan

menyebabkan berkurangnya

kandungan zat gizi karena banyak zat gizi terlarut dalam air rebusan. Oleh karena itu, perlu suau kajian khusus mengapa di Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya masih diemukan guzi kurang walaupun sudah mengkonsumsi protein hewani.

Protein adalah suatu makanan yang diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk memperbaiki sel sel dan untuk pertumbuhan. Ketika anak lahir, tubuh, dan terutama otak, terus berkembang. Sel-sel tubuh anak juga aus, sehingga anak membutuhkan protein untuk perbaikan serta untuk pertumbuhan. Agar anak tumbuh cepat dan baik, maka diperlukan banyak asupan protein. Pada usia enam bulan pertama kehidupan bayi mendapat semua protein ASI, kemudian setelah 6 bulan ibu memperkenalkan makan lain untuk bayi, salah satunya adalah protein.

Sumber protein ada dua yaitu nabati dan hewani, namun semua makanan hewani mengandung lebih banyak protein dibandingkan dengan

tanaman dan menjadi sumber yang lebih baik untuk pertumbuhan. Menurut Menkes RI 12, kebutuhan protein untuk bayi usia 6-24 bulan sebesar 12 gram-20 gram/hari.

Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal, sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya 13

.

WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan untuk mencapai tumbuh kembang optimal di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, yaitu; pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya Air Susu Ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi

(8)

berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan 14.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian diambil kesimpulan konsumsi protein hewani pada bayi usia 6-24 bulan di Kecamatan Kuala Pesisir Nagan Raya tinggi.Diharapkan kepada peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian yang lebih cermat terhadap faktor lain seperti proses pengolahan bahan pangan, jenis bahan pangan yang dikonsumsi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Masyarakat di Kecamatan Kuala Pesisir yang telah memberi waktu terhadap penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Child Growth Standart. Geneva: WHO; 2010.

2. Hermina dan Nurfi, Hubungan Praktik Pemberian ASI Eksklusif Dengan Karakteristik Sosial,

Demografi dan Faktor Informasi Tentang ASI Dan MP-ASI (Studi Di Kota Padang dan Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat). Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan; 2010. 3. Departemen Kesehatan RI.

Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2007.

4. Maseko, M., E.Owaga. Child Malnutrition and Mortality in Swizeland Situation Analysis of the Immedate, Underlying and Basic Causes 2012. African Journal of Food, Agriculture, Nutrisi, and Development; 2012.

5. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Menteri Kesehatan RI; 2014

6. Departemen Kesehatan RI. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2009. 7. Dinas Kesehatan Nagan Raya.

Profil Kesehatan Kabupaten Nagan Raya Tahun 2014. Suka Makmue; 2014

(9)

8. Mamahit, D., E.S. Shirley.,

Kawengian, and N.H.

Kapantow.HubunganAntaraAsupan Energi Dan Protein Dengan Status GiziAnakUsia 1-3 Tahun Di Wilayah KerjaPuskesmasRanomut

Kota Manado. Manado:

FakultasKesehatanMasyarakatUniv ersitas Sam Ratulangi; 2013. 9. Kurnia, F.R. Faktor Risiko

Underweight Balita Umur 7-59 Bulan. Jakarta: Stikes Kuningan; 2014. Public Health 9 (2)115-12 10. Anna, L.K. Lebih Protein Daging

atau Telur. Kompas.

http://health.kompas.com/read/201 4/04/24/1436524/Lebih.Banyak.Pr otein.Daging.atau.Telur.2014 11. Sumiati, T. Pengaruh Pengolahan

Terhadap Mutu Cerna Protein Ikan Mujair (Tilapia mossambica). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor; 2008

12. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 Tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta; 2013

13. Ningtyas, F.W . Hubungan Pola Pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI Dengan Status Gizi Balita.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember; 2005

14. Hikmawati, I., M. Sakundarno., dan A. Purwanti. Risk factors of failure to give breast feeding during two months. 2008. http:// www.pdffactory.com.

Referensi

Dokumen terkait

Misconceptions in learning acid-base and argentometric titrations will destroy the system of student understanding of the analytical chemistry course as a whole,

Penyuluhan dan pelatihan ini meliputi Pengenalan Bank Syariah dan bank Konvensional kepada masyarakat, pengenalan manfaat menabung, dan beberapa proker lain yang menyangkut

Berdasarkan data observasi pola asuh orang tua dan orientasi tujuan berprestasi dalam kriteria baik dan motivasi belajar pada kategori tinggi, akan tetapi prestasi belajarnya rendah,

Penelitian terdahulu menggunakan 7 variabel bebas dan 1 variabel terikat, variabel yang digunakan adalah kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan, kepercayaan,

Temuan bahwa mahasiswa dengan latar belakang budaya Sunda menunjukkan sikap yang lebih negatif terhadap korban tindak kekerasan seksual dibandingkan dengan mahasiswa

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa FBIR secara parsial mempunyai pengaruh positifyang signifikan terhadap Capital Adequacy Ratio

Perbedaan penelitian yang telah diteliti oleh penulis dengan penelitian terdahulu yaitu penelitian ini berjudul “Himpunan Majelis Taklim Sabilul Muttaqin (HIMMATA)

DARMAWAN dan MANUWOTO. Kota Sawahlunto merupakan kota yang berkembang dari adanya aktivitas penambangan batubara semenjak zaman Hindia Belanda dan merupakan daerah