• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG IJIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) DI BADAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU KABUPATEN KUTAI BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG IJIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) DI BADAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU KABUPATEN KUTAI BARAT"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

© Copyright 2017

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 16

TAHUN 2012 TENTANG IJIN MENDIRIKAN BANGUNAN

(IMB) DI BADAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU

KABUPATEN KUTAI BARAT

Klaudius Andi Leta1, Abdullah Karim2, Fajar Apriyani3 Abstraksi

Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisis Implementasi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Sumber data diambil dari key informan dan informan, Sebagai key informan adalah Kepala Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Kutai Barat, sedangkan sebagai informan adalah para pemilik bangunan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskripstif kualitatif. Analisis data yang digunakan model Interaktif yang dikembangkan Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pelayanan ijin mendirikan bangunan yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2012 secara implementatif kurang optimal atau kurang sesuai yang diharapkan. Hal tersebut dapat dikatahui dari fakta-fakta yang berkaitan dengan aspek kesiapan sumberdaya aparatur, kesiapan sarana dan prasarana, dan ketepatan waktu dalam pelayanan, kesmuanya kurang sesuai yang diharapkan, tetapi dari aspek mekanisme, koordinasi maupun keramahtamahan aparatur dapat dilaksanakan secara efektif, atau memenuhi harapan masyarakat dalam mendapatakan pelayanan kepengurusan IMB. Kurang optimalnya pelayanan/pengurusan ijin mendirikan bangunan disebabkan oleh berbagai kendala, antaran lain kurangnya sosialisasi masyarakat atas kebijakan IMB, terbatasnya sarana dan prasarana operasional, lemahnya sanksi pada pemilik banguan yang melakukan pelanggaran dan sikap pragmatisme masyarakat.

Kata Kunci : Implementasi, Ijin Mendirikan Bangunan Abstract

The purpose of this study to describe and analyze the implementation of Regional Regulation No. 16 of 2002 on Building Permit. Source data extracted from key informants and informants, as key informants is the Head of Integrated Licensing Services Kutai Barat, while the informer was the owner of the building. The method used is a method of qualitative deskripstif. Analysis of the data used Interactive models developed Miles and Huberman. The results showed that the building permit services that are governed by Regional Regulation No. 16 of 2012

(2)

for implementative less than optimal or less as expected. It can dikatahui of the facts relating to aspects of readiness resources personnel, readiness of facilities and infrastructure, and timeliness in service, kesmuanya less as expected, but from the aspect of mechanism, coordination and range of the apparatus can be effectively implemented, or meet expectations community management services in mendapatakan IMB. Less than optimal service / maintenance of building permits due to various constraints, other conduction lack of community outreach on IMB policies, limited operational facilities and infrastructure, the lack of sanctions on the owner of the building of the violation and the attitude of society pragmatism.

Keywords: Implementation of Building Permits

Pendahuluan

Pembangunan Nasional merupakan pencerminan kehendak rakyat untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan pemahaman tentang konteks pembangunan yang dirumuskan dan strategi pencapaiannya sehingga hasil pembangunan dapat terukur. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan hendaknya melibatkan seluruh elemen bangsa, sehingga hasil dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata.

Berdasarkan pendapat di atas, memperlihatkan bahwa soal pembangunan merupakan perpaduan antara pemerintah dan masyarakat. Mencermati pemikiran di atas, memperlihatkan bahwa pembangunan yang berbasis partisipasi merupakan pilihan strategis untuk dilaksanakan dan hal tersebut dapat melalui otonomi daerah. Sementara otonomi yang diberikan pada daerah kota dan kabupaten, berdasarkan pada azas desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Meskipun kebijakan otonomi daerah untuk memangkas kekuasaan pusat dan memberi ruang politik yang lebih besar kepada daerah, tetapi dalam praktek hanya mengalami pergeseran orientasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu masih adanya ketergantungan pemerintah daerah pada pemerintah pusat. Dengan demikian harapan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat belum semuanya terpenuhi.

Kabupaten Kutai Barat sebagai daerah otonom tentunya tidak terlepas dari persoalan tersebut, maka untuk mengiringi pelaksanaan otonomi daerah agar efektif, maka harus memiliki kemampuan utuk membiayai tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan umum. Ditinjau dari potensi sumberdaya alam, bahwa pemerintah Kabupaten Kutai Barat memiliki kemampuan lebih, karena mempunyai sumber pendapatan yang besar, bukan hanya dari sumber pendapatan hasil hutan, tetapi juga sumber pendapatan dari tambang. Di sisi lain yang dinilai cukup memberikan kontribusi bagi daerah adalah sumber dari perijinan, misalnya

(3)

perijinan dari ijin usaha perindustrian, perdagangan dan pembangunan infrastruktur. Disamping itu masih banyak lagi jenis perijinan lainnya yang ditangani pemerintah kabupaten. salah satunya perijinan di bidang properti.

Pelaksanaan kebijakan pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Kutai Barat, tidak selalu disertai dengan faktor pendukung, sehingga pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan kurang memenuhi kualifikasi yang diharapkan. Dari hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terpenuhi kualifikasi yang diharapkan karena terindikasi oleh 1) jalur birokrasi yang panjang, sehingga pengurusan IMB diperlukan waktu relatif lama, 2) kurang transparansi dalam pelayanan, sehingga menunjulkan perlakuan yang deskriminatif dalam pelayanan, 3) terbatasnya petugas pelaksana yang profesional, sehingga kurang mampu melaksanakan tugasnya secara optimal, 4) tidak adanya Standard Operational Procedure (SOP), sehingga layanan sulit terukur, 5) belum dilakukan verifikasi data atas jumlah bangunan yang belum memiliki IMB.

Kerangka Dasar Teori

Pelayanan Birokrasi Pemerintah

Dengan birokrasi dimaksudkan sebagai satu sistem otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan serta dimaksudkan untuk mengorganisasi secara teratur, suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang banyak. Morteins Marx (dalam Albrow, 1989 : 29) merumuskan birokrasi sebagai tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah modern untuk pelaksanaan tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.

Menurut Welker (dalam Robbins, 2004 : 338) terdapat enam karakteristik birokrasi, yaitu : 1) Adanya prinsip pembidangan tugas yang jelas, pada umumnya diatur berdasarkan hukum atau peraturan administrasi. 2) Adanya prinsip hierarki (kewenangan yang jelas). 3) Manajemen didasarkan atas dokumen-dokumen tertulis atau diarsipkan. 4) Aktivitas spesialisasi menurut kepastian pekerjaan secara penuh. 5) Terdapat spesialisasi dan pengembangan pekerjaan melalui latihan keahlian. 6) Berlakunya aturan-aturan umum mengenai manajemen. Karakteristik-karakteristik tersebut menggambarkan ideal type birokrasi yang lebih merupakan gambaran hipotesis daripada yang sebenarnya tentang bagaimana kebijakan organisasi itu distruktur. Birokrasi adalah organisasi berskala luas yang di dalamnya terdapat karakteristik-karakteristik di atas.

Osborne dan Geabler (2002 : ix) mengusulkan sembilan asas kebijakan yang berkaitan dengan tugas masyarakat yang dilakukan pemerintah dan sekaligus merupakan asas pelayanan kepada masyarakat, yaitu : 1) Mengemudikan ketimbang pemerintah yang melayani, 2) Bersainglah dalam memberikan pelayanan, 3) Organisasi yang melaksanakan aturan perlu diubah menjadi organisasi yang mempunyai misi, 4) Biaya yang menghasilkan sesuatu jangan sebaliknya,5) Perhatikan kebutuhan langganan dan bukan kebutuhan

(4)

birokrasi, 6) Mendapatkan biaya dan bukan memboroskan biaya, 7) Mencegah lebih baik ketimbang mengobati, 8) Jauhilah herarki, kembangkan partisipasi dan kerja tim, 9) Perubahan sesuaikan dengan keadaan pasar.

Ripley dan Franklin (dalam Salusu, 2001 : 440) mengungkapkan birokrasi yang berhasil memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat adalah dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :1) Melaksanakan pekerjaan dengan rajin dan bersemangat, 2) Memperlakukan semua orang yang berurusan dengannya, dengan cara yang wajar dan sederajat, 3) Mempromosikan anggota staf berdasarkan pada jasa, dan yang dapat membuktikan produktivitas kerja yang baik, 4) Merekrut anggota-anggota staf dari tenaga-tenaga yang memiliki kualifikasi profesional, 5) Memelihara data, informasi, dan berbagai hal yang mudah ditelusuri.

Lebih lanjut dikatakan bahwa birokrasi yang belum mampu memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas adalah yang dalam pekerjaannya : 1) Melakukan pekerjaan yang kurang bersemangat, lambat dan sering menyimpang, 2) Memperlihatkan favoritisme, diskriminasi dalam melayani anggota masyarakat yang berurusan dengannya, 3) Merekrut anggota staf yang memperlihatkan interes yang rendah terhadap standar profesionalisme yang diperlukan, 4) Mempromosikan seseorang atas dasar kriteria non –profesional, 5) Menciptakan setumpuk kertas yang tak berujung pangkal, dan tak mampu menemukan berkas yang relevan pada saat yang diperlukan.

Implementasi Kebijakan Publik

Van Meter dan Van Horn, (dalam Wahab, 1997 : 79), mengatakan bahwa suatu proses implementasi sangat dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Perubahan, kontrol, dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi Atas dasar pandangan tersebut, maka tipologi kebijakan dapat dibedakan, yakni : (1) jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan, dan (2) jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan relatif tinggi.

Sedangkan Grindle (dalam Wahab, 1997 : 125) mengatakan, bahwa “implementation as process politic and administration” (Implementasi sebagai proses politik dan administrasi). Pandangan Grindle ini setidak-tidaknya tidak jauh berbeda atau memiliki relevansi dengan apa yang dikatakan oleh Van Meter dan Van Horn dalam melihat implementasi dalam keterkaitannya dengan lingkungan (environment). Lebih lanjut dikatakan bahwa proses implementasi publik, yaitu : Proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula telah diperinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran negara. Perincian tujuan dari suatu kebijakan yang telah disebutkan di atas sangat dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan itu sendiri terdiri atas : (1) kepentingan yang

(5)

dipengaruhi, (2) tipe manfaat, (3) derajat perubahan yang diharapkan, (4) letak pengambilan keputusan, (5) pelaksana program, (6) sumber daya yang dilibatkan. Sedangkan konteks implementasinya terdiri atas : (1) kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat; (2) karakteristik lembaga dan penguasa; (3) keputusan dan daya tanggap. Di luar isi kebijakan dan konteks implementasi, ada tujuan kebijakan, tujuan yang telah dicapai, program aksi dan proyek individu dan dibiayai, program yang dijalankan seperti yang direncanakan, mengukur hasil kebijakan, yang kesemuanya saling berinteraksi satu sama lain dalam pengimplementasian dari suatu kebijakan.

Dengan demikian fungsi implementasi adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan negara diwujudkan sebagai “outcome” (hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah. Sebab itu fungsi imple-mentasi mencakup pula penciptaan apa yang dalam ilmu kebijakan negara disebut “Policy Delivery System” (sistem penyampaian/penerusan kebijakan negara) yang biasanya terdiri dari cara-cara atau sarana-sarana tertentu yang dirancang/didesain secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki.

Menurut Cleaves (dalam Wahab, 1997 : 125) menyatakan, bahwa implementasi mencakup ”a process of moving toward a policy objective by mean of administrative and political steps”. Keberhasilan atau kegagalan implementasi dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam meneruskan / mengoperasionalkan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program tersebut dengan tujuan kebijakan.

Demikian halnya kebijakan yang dibuat pemerintah Kabupaten Kutai Barat terutama dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas aparatur maka hal tersebut dapat terealisasi manakala adanya kebijakan lembaga yang memberikan kesempatan untuk mengikuti berbagai jenis pendidikan dan pelatihan. Diharapkan melalui kebijakan tersebut dapat menghasilkan sumber daya aparatur yang profesional, sehingga mampu menunjukkan kinerja yang baik dan memberikan kontribusi berarti bagi lembaga yang bersangkutan.

Mekanisme Pelayanan/Pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan

Retribusi sebagai salah satu jenis penerimaan pendapatan daerah dikelola dengan menggunakan sistem dan mekanisme Manajemen Pelayanan Dasar. Cara tersebut merupakan prosedur baku yang diterapkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, agar pengurusan IMB dapat diselesaikan lebih efektif. Oleh karena itu rangkaian kegiatan yang saling keterkaitan sebagai suatu sistem dan prosedur dapat dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan sehingga diperoleh efesiensi pelayanan. Sebagaimana dituangkan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan,

(6)

disebutkan bahwa maksud penyusunan sistem dan prosedur/mekanisme pelayanan dasar adalah :

a. Menciptakan perangkat untuk keseragaman gerak langkah dan merupakan rincian materi di bidang administrasi sumber-sumber pendapatan daerah, serta menyatukan penafsiran yang berbeda mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku tentang pendapatan daerah.

b. Menyediakan informasi bagi semua pihak yang berkepentingan baik terhadap pihak yang berhubungan dengan pendirian bangunan,

Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari mekanisme pelayanan dasar tersebut meliputi :

a. Sebagai penuntun, pedoman dan petunjuk praktis bagi aparatur bidang pendapatan daerah;

b. Meningkatkan ketrampilan aparatur pelaksana di bidang pendapatan daerah; c. Meningkatkan kegiatan pengawasan yang melekat pada tiap-tiap fungsi dan

sebagai standar pelaksanaan operasional bagi pimpinan pelaksana dan penanggung jawab masing-masing kegiatan/pekerjaan.

d. Meningkatkan dayaguna dan hasil guna setiap kegiatan dalam penye-lenggaraan Pendapatan Asli Daerah dan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.

Mekanisme dan prosedur pelayanan dasar ini secara filosofis merupakan tahap-tahap kegiatan administratif yang meliputi :

a. Sistem dan Prosedur Pendapatan b. Sistem dan Prosedur Penetapan c. Sistem dan Prosedur Penyetoran

d. Sistem dan Prosedur Pembukuan dan Pelaporan

e. Sistem dan Prosedur Kebesaran, Banding dan Angsuran f. Sistem dan Prosedur Penagihan/Penegakan Hukum

Penerapan sistem dan mekanisme terhadap pengurusan retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tentunya harus diseleraskan dengan Peraturan Daerah Kutai Barat Nomor 16 Tahun 2012. Penerbitan IMB secara khusus dikeluarkan oleh Seksi Perijinan Bangunan, tetapi dalam proses penerbitannya, semua seksi yang ada di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Kutai Barat turut terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Asas Pelayanan/pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan

Asas-asas pemungutan retribusi daerah diatur berdasarkan Peraturan Daerah Kutai Barat Nomor 16 Tahun 2012 tentang Ijin Mendirikan Bangunan. Kebijakan tersebut dapat dijadikan sebagai azas atau dasar hukum untuk memungut retribusi bagi bangunan yang didirkan di atas tanah. Sehubungan dengan pelayanan/pengurusan retribusi Ijin Mendirikan Bangunan, dapat dilihat dari 4 (empat) azas, antara lain :

a. Azas Keadilan : Pemungutan retribusi daerah harus memperhatikan tujuan daripada hukum yakni dapat berlaku adil, baik dalam peraturan

(7)

perundang-undangan maupun dalam pelaksanaan pemungutannya sehari-hari. Dan ini berarti bahwa peraturan dan pelaksanaan pemungutannya harus berlaku umum dan tidak membedakan satu obyek dengan obyek lainnya.

b. Azas Yuridis : Pemungutan retribusi daerah harus didasarkan pada hukum, yang berarti pemungutan retribusi harus memberikan jaminan hukum baik terhadap daerah, petugas pemungut maupun terhadap wajib bayar guna mencegah perlakuan sewenang-wenang. Disamping itu pelayanan/pengurusan harus didasarkan pada suatu peraturan yang berlaku umum yang ditetapkan dengan Undang-undang.

c. Azas Ekonomis : Pemungutan retribusi tidak boleh menggangu kelancaran jalannya perekonomian, maka azas ekonomi dalam retribusi mempunyai arti: a) Pelayanan/pengurusan retribusi harus diusahakan sedemikian rupa agar

tidak sampai menghambat kelancaran produksi dan perda-gangan.

b) Pelayanan/pengurusan retribusi jangan sampai menghalangi rakyat dalam usahanya menuju kebahagiaan dan jangan sampai merugikan kepentingan umum.

d. Azas Finansial : Dalam azas ini dapat dibagi dalam 2 (dua) pengertian sebagai berikut :

a. Sesuai fungsi budgetair, maka biaya untuk memungut dan mengenakan retribusi diusahakan agar dapat menutupi penge-luaran daerah.

b. Pengenaan retribusi harus dilakukan pada saat yang terbaik bagi wajib retribusi, misalnya tepat pada saat terjadinya perbuatan, peristiwa atau keadaan yang menjadi dasar pengenaan retribusi, agar retribusi tersebut mudah dibayar sesuai dengan besarnya beban yang dapat dijangkau oleh wajib bayar retribusi pada umumnya.

Dalam kenyataannya tentang pelayanan/pengurusan retribusi daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung atas wajib retribusi dilakukan berbagai pertimbangan. Menurut Davey (1998 : 135) pertimbangan-pertimbangan tersebut meliputi :

1. Apakah pelayanan tersebut merupakan barang-barang umum atau pribadi, mungkin pelayanan tersebut dapat disediakan kepada setiap orang dan oleh karena itu tidak wajar untuk membebankan biaya-biaya tersebut kepada pembayar-pembayar pajak yang tidak mendapatkan jasa/barang tersebut. Hal ini merupakan salah satu alasan pembebasan retribusi bagi pengadaan air minum atau untuk pendidikan secara umum. (Alasan ini tidak dapat dilakukan dimana suatu jasa dibiayai oleh pajak kekayaan dan ketersediaan atau ketidak tersediaan jasa-jasa tersebut dipengaruhi oleh penilaiannya).

2. Suatu jasa dapat melibatkan suatu sumber yang langka atau mahal dan perlunya disiplin konsumsi masyarakat. Hal ini lagi-lagi sering menjadi suatu alasan bagi pembebanan retribusi untuk menyediakan air minum (khususnya melalui sistem material) atau pada resep dokter.

(8)

3. Mungkin ada bermacam-macam variasi didalam konsumsi individu, yang berkaitan setidak-tidaknya untuk memilih daripada memerlukan. Untuk ini fasilitas rekreasi dapat diambil sebagai contoh.

4. Jasa-jasa dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan mencari keuntungan disamping memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu di dalam negeri.

5. Retribusi dapat menguji arah dan skala dari permintaan masyarakat akan jasa, dimana kebutuhan pokok atau bentuk-bentuk dan standar-standar.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini diskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Aspek-aspek yang analisis adalah mekanisme pelayanan IMB, kesiapan petugas dalam memberikan layanan IMB, sarana dan prasarana penunjang, ketepatan waktu dalam pelayanan, koordinasi antar petugas pelaksana, keramahtamahan petugas dalam memberikan layanan. Data primer berasal dari wawancara dengan para informan dan pengamatan. Sedangkan data sekunder berasal dari data yang dimiliki oleh instansi. Penarikan kesimpulan dengan menggunakan analisis data model interaktif (Miles dan Huberman,1992)

Hasil Penelitian

Mekanisme Pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan

Sehubungan dengan penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan maka pemerintah Kabupaten Kutai Barat telah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Kebijakan tersebut diharapkan dapat pemahaman terhadap warga masyarakat, sekaligus dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Terutama mengenai prosedur penerbitan surat Ijin Mendirikan Bangunan, sehingga warga masyarakat mengerti dan memahami mekanisme yang ditetapkan.

Prosedur/mekanisme merupakan tahapan-tahapan yang harus dilalui customer yang disertai dengan persyaratan-persyaratan sesuai yang ditentukan. Dengan ditentukan prosedur/mekanisme yang ditetapkan maka semua bangunan yang dibangun di atas tanah dapat ditertibkan, dan sebagai pemilik bangunan mendapat perlindungan lebih aman. Oleh karena setiap warga penduduk yang akan membangun bangunan, dihimbau agar dapat mengurus perijinan yang disediakan pemerintah kabupaten sesuai prosedur/mekanisme yang telah ditentukan.

Dari hasil observasi secara keseluruhan menunjukkan bahwa pengurusan IMB tidak memerlukan waktu berhari-hari seperti yang dibayangkan warga penduduk. Faktanya pengurusan IMB dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat, dan para pemohon tidak dihadapkan oleh pengorbanan yang tinggi karena kepentingan warga dapat diselesaikan dapat satu tempat yang disediakan oleh Badan Pelayanan Perijinan Terpadu. Disamping komitmen petugas pelaksana yang begitu tinggi maka diupayakan setiap pengurusan perijinan dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat.

(9)

Kesiapan Petugas dalam Memberikan Layanan IMB

Untuk menunjang efektivitas pelayanan publik tentunya harus dipersiapkan sumberdaya aparatur yang kompeten sehingga kepentingan publik dapat terlayani dengan baik dan memuaskan. Fakta yang berkembang justru pelayanan yang dilakukan oleh organisasi publik pada umumnya kurang baik dan memuaskan karena kurang ditunjang dengan sumberdaya manusia yang memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Demikian halnya pelayanan atau pengurusan IMB di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu kurang ditunjang sepenuhnya oleh sumberdaya aparatur yang memadai terutama dari segi kompetensi petugas pelaksana yang masih beragam, sehingga pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan di lembaga tersebut kurang optimal.

Dari hasil observasi menunjukkan bahwa tidak semua aparatur yang terlibat dalam pelayanan perijinan di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu kurang ditunjang dengan sumberdaya aparatur yang profesional. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan legalitas pelatihan yang dimiliki petugas masih ada yang menengah ke bawah. Sedangkan ditinjau secara kuantitas termasuk memadai. Tetapi ditinjau dari segi kualitas masih kurang memadai, sebab dari 32 orang pegawai 18 orang atau 63,12% berpendidikan menengah ke bawah. Disamping itu tidak semua petugas pelaksana memiliki legalitas pelatihan sesuai dengan bidang kerjanya.

Sarana & Prasarana Penunjang

Sarana dan prasarana merupakan determinan penting untuk menunjang kelancaran pengurusan perijinan. Demikian hal terhadap pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan tentunya perlu disediakan sarana dan prasarana yang memadai, baik dari segi kuantitas mauopun kualitas sehingga pelayanan dapat ditingkatkan.

Dari hasil observasi di objek penelitian menunjukkan bahwa sarana/fasilitas operasional untuk menunjang kegiatan pelayanan perijinan kurang memadai terutama sarana transportasi masih menjadi kendala sebab sarana yang disediakan lembaga tersebut tidak sebanding dengan luasnya wilayah, sehingga kurang menjangkau ke daerah pendirian bangunan Sedangkan sarana/fasilitas operasional lainnya yang digunakan untuk proses penerbitan IMB termasuk cukup memadai.

Untuk sementara mengenai keadaan sarana penunjang masih terbatas, pengurusan IMB kurang efektif karena kurang ditunjang dengan sarana dan prasanara yang memadai. Lambannya pengurusan dikuatirkan dapat menurunkan semangat warga penduduk untuk mengurus IMB. Dengan demikian perlu mendapat perhatian serius dari pimpinan lembaga, agar pengurusan IMB dapat diselesaikan lebih efektif.

(10)

Ketepatan Waktu Dalam Pelayanan

Kepastian atau ketepatan waktu dalam layanan merupakan dambaan bagi setiap warga penduduk yang memerlukan layanan. Dari hasil observasi di objek penelitian menunjukkan bahwa seiring dengan pelayanan/pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan ternyata tidak semuanya dapat diselesaikan tepat waktu. Namun demikian secara faktual pengurusan IMB ada sebagian besar yang dapat diselesaikan tepat waktu. Dengan demikian implementasi pengurusan IMB secara akumulatif dapat dikatakan cukup baik. Berbicara mengenai ketepatan waktu layanan terutama terkait dengan pelayanan atau pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Kutai Barat menjadi catatan penting, yang perlu direalisasikan karena dapat menentukan besar kecilnya pengorbanan. Untuk menyikapi persoalan tersebut maka diperlukan standarisasi pelayanan yang jelas, sehingga setiap layanan dapat terukur.

Dari hasil observasi di objek penelitian menunjukkan bahwa seiring dengan pelayanan/pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan ternyata tidak semuanya dapat diselesaikan tepat waktu. Namun demikian secara faktual pengurusan IMB ada sebagian besar yang dapat diselesaikan tepat waktu. Dengan demikian implementasi pengurusan IMB secara akumulatif dapat dikatakan cukup baik.

Koordinasi antar Petugas Pelaksana

Kerjasama antar petugas pelaksana dan instansi lain yang terkait merupakan salah satu faktor yang mendukung efektivitas pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Karena itu perlu dibangun koordinasi yang baik sehingga pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan dapat diselesaikan secara efektif. Fakta objek penelitian menunjukkan bahwa koordinasi yang dibangun oleh Kepala Badan Pelayanan Perijinan Terpadu sudah dilakukan apalagi terkait dengan pelayanan perijinan selalu dikoordinasikan jika dalam proses terdapat persoalan terkait dengan berkas atau persyaratan, selalu dikomunikasikan dengan petugas yang bersangkutan.

Dari hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa kerjasama antar petugas pelaksana yang melayani Ijin Mendirikan Bangunan termasuk cukup baik, dan hal tersebut dapat diketahui dari komunikasi antar petugas dan pimpinan unit pelaksana teknis, dilakukan secara aktif.

Keramahtamahan Petugas dalam Memberikan Layanan

Sebagai petugas yang melayani hendaknya menunjukkan sikap yang ramah dan dengan penampilan yang menarik, serta memiliki sensitivitas dalam menghadapi orang yang memerlukan layanan. Dengan demikian pengguna jasa akan merasa senang atas layanan yang diberikan. Sebagai abdi negara dan masyarakat, memang selayaknya mempunyai sikap yang demikian, agar para pengguna jasa merasa mendpat perhatian.

(11)

Dari hasil observasi di objek penelitian soal keramahtamahan personil kepolisian tidak diragukan lagi, semua petugas yang berada di garis depan telah menunjukkan sikap yang santun, sopan dan ramah ketika menghadapi pengguna jasa atau warga yang mengurus Ijin Mendirikan Bangunan.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2012 secara implementatif kurang maksimal. Untuk mengetahui fenomena yang berkenaan dengan sub fokus penelitian yang ditetapkan secara substantif dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Dari aspek mekanisme pelayanan IMB, meskipun secara normatif prosedur pelayanan jalur birokrasinya terlihat panjang, karena sistem pelayanan yang dilakukan menggunakan pola pelayanan terpadu maka pengurusan IMB di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Kutai Barat menunjukkan kesederhanaan. Pengurusan IMB tidak dihadapkan oleh pengorbanan yang tinggi, baik pengorbanan waktu, tenaga, maupun biaya.

b. Ditinjau dari kesiapan petugas pelaksana dalam memberikan layanan IMB menunjukkan kurangnya kesiapan lembaga dalam menyediakan sumberdaya aparatur yang memadai, baik dari segi kuatlitas maupun kuantitas, tidak sebanding dengan luasnya wilayah objek IMB di Kabupaten Kutai barat.

c. Dalam hal sarana & prasarana penunjang, fakta menunjukkan bahwa sarana dan prasarana operasional yang dipersiapkan kurang sepenuhnya dapat menunjang kelancaran pelayanan. Mengingat kurangnya kesiapan sarana operasional maka layanan IMB di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Kutai Barat tidak dapat diselesaikan secara efektif atau tepat waktu.

d. Ketepatan waktu dalam pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan secara loyalitas kurang tepat waktu, tetapi dari tindakan yang dilakukan petugas pelaksana termasuk cukup baik atau sebagian besar kepentingan warga yang berkenaan dengan pengurusan IMB dapat diselesaikan dengan baik. e. Koordinasi antar petugas pelaksana, sudah tercipta dengan baik, tercermin

oleh kerjasama dan komunikasi yang dilakukan para petugas maupun secara vertikal atau dengan atasan

f. Keramahtamahan petugas dalam menghadapi warga yang mengurus IMB, selalu menampakkan sikap yang ramah dan santun, baik tutur katanya maupun ekspresinya dalam menghadapi warga/pemohon.

2. Faktor yang mendukung implementasi Perda Nomor 16 Tahun 2012 tentang Ijin Mendirikan Bangunan di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Kutai Barat antara lain adalah faktor internal yang terdiri atas

(12)

kebijakan-kebijakan mengenai IMB, ketersediaan sumberdaya, dan struktur birokrasi yang sederhana, serta faktor eksternal yang terdiri atas koordinasi yang baik antar instansi terkait, dukungan anggaran dari Pemda dan komitmen yang kuat antara Bupati dan lembaga eksekutif. Sedangkan faktor yang menghambat antara lain kurangnya sosialisasi atas Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2012 tentang Ijin Mendirikan Bangunan, sikap pragmatis dan terbatasnya sarana dan prasarana operasional untuk menunjang implementasi Ijim Mendirikan Bangunan.

Daftar Pustaka

Anonim, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan, Indonesia Jakarta. _____, Peraturan Daerah Kutai Barat Nomor 16 tahun 2012 tentang Ijin

Mendirikan Bangunan dalam Wilayah Kabupaten Kutai Barat. Kabupaten Kutai Barat

Ardiansyah. 2008. Implementasi Pelayanan/pengurusan Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kutai Timur. Tesis. Universitas Mulawarman, Samarinda.

Dunn, William N. 1994. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Publik. Edisi ke Dua. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

Miles, M.B & Huberman A.M. 1984. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. 1992. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Osborne, David dan Gaebler. 2001. Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing

Government, Transformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik, Penterjemah Abdul Rosyid. Pustaka Binaman Pressindo: Jakarta. Sabatier, Paul A & Mazmanian, Daniel A. 1998. Implementation and Public

Policy. Scott Foresman and Company, University of California At Davis. Sanusi. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. CV Mandar Maju: Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun kerangka pemikiran dari penelitian terkait akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan Izin Mendirikan Bangunan pada BPPTSP&PM Kota Denpasar dan Dinas Tata Ruang

memberikan pelayanan yang tepat dan secepat mungkin kepada setiap masyarakat yang datang untuk mengurus surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tapi karna kakak

Produktivitas BPPTSP Kota Denpasar dapat dilihat dari kinerja dari badan ini dalam mengurusi permohonan masuk untuk mengurus izin mendirikan bangunan, contohnya pada

Dengan demikian pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti dapat memberikan kontribusi yang berarti untuk menunjang pelayanan pada masyarakat Dengan demikian,