• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TANGGUNG JAWAB PRODUK (PRODUCT LIABILITY) DALAM LAYANAN PURNA JUAL. hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TANGGUNG JAWAB PRODUK (PRODUCT LIABILITY) DALAM LAYANAN PURNA JUAL. hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TANGGUNG JAWAB PRODUK (PRODUCT LIABILITY) DALAM LAYANAN PURNA JUAL

A. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab

Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Secara teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi: 37

a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.

b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya. Terkait dengan pertanggungjawaban didalamnya terdapat prinsip tanggung jawab yang merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.38

37

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), Hal. 101.

38

(2)

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability base on fault) 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability)

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of

nonliabiity)

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability)

Ad.1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability base on fault)

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan. Prinsip ini dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu:

 adanya perbuatan melanggar hukum;

perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.39

 adanya unsur kesalahan;

kesalahan ini mempunyai tiga unsur yaitu:40

39

Miru dan Yodo, Op.cit., Hal.130.

40

Purwahid Patrick, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dariPerjanjian dan

(3)

1. perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan; 2. perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya:

a. dalam arti objektif: sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya; b. dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya. 3. dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam keadaan cakap

 adanya kerugian yang diderita;

pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.41

Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang, sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan yang diharapkan.42

 adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat. Ad.2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability)

41

Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1985), Hal. 57.

42

(4)

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan kalau ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik.

Dalam prinsip beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas ini cukup relevan karena yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pelaku usaha.43

Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara

common sense dapat dibenarkan.

Ad.3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliabiity)

44

Contohnya dapat kita lihat dalam hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang, dalam hal ini pelaku usaha tidak dapt diminta pertanggungjawabannya.45 Sekalipun demikian, dalam Pasal 44 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkatan Udara, ada penegasan,”prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi, artinya bagasi kabin/tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjangbukti

43

Kristiyanti, Op.cit., Hal. 95

44

Shidarta, Op.cit., Hal.62

45

(5)

kesalahan pihak pelaku usaha dapat ditunjukkan, beban pembuktian ada padi si penumpang.46

Di Indonesia konsep strict liability (tanggung jawab mutlak, tanggung jawab risiko) secara implisit dapat ditemukan di dalam pasal 1367 dan Pasal 1368 KUHPerdata. Pasal 1367 KUHPerdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Sedangkan Pasal 1368 KUHPerdata tentang tanggung jawab pemilik atau pemakai seekor binatang buas atas kerugian yang ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun Ad.4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

Adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan force majeur. Pada prinsip ini hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab dengan kesalahannya harus ada.

Strict liability adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu

prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen karena mengonsumsi produk yang cacat merupakan suatu risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha. Karena itu, pelaku usaha harus lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen.

46

(6)

binatang itu dalam keadaan tersesat atau terlepas dari pengawasannya. Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya. Dengan perkataan lain, pemilik barang dan pemilik atau pemakai binatang dapat dituntut bertanggungjawab atas dasar risiko, yaitu risiko yang diambil oleh pemilik barang atau pemilik/pemakai binatang47

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelakuusaha dan dalam UUPK seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

.

Ad.5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability)

Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian jasa laundry misalnya jika kita barang kita hilang atau rusak maka ganti kerugian hanya dibatasi yaitu 10 kali dari biaya pencucian.

48

Tanggung jawab produk adalah terjemahan dari istilah product liability. Kata “tanggung jawab” yang dipergunakan pada pengertian tanggung jawab produk, karena kata “tanggung jawab” tersebut sudah dipakai secara umum oleh masyarakat untuk terjemahan responsibility dan liability dalam bahasa Inggris. Namun demikian banyak B. Tanggung Jawab Produk (Product Liability)

47

Sidabalok, Op.cit., Hal. 115-119.

48

(7)

kalangan sarjana hukum yang memisahkan antara kata responsibility dengan liability, yaitu menerjemahkan responsibility dengan tanggung jawab sedangkan liability dengan tanggung gugat. Tanggung gugat mengandung berbagai makna. Seringkali digunakan sinonim dengan bertanggung jawab tetapi lebih menekankan kewajiban untuk menjawab/menjelaskan perbuatan, penegakan aturan, dan atau siap menerima hukuman atas perbuatan yang salah.49

Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan

yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.

Penulis lebih memilih tetap menggunakan istilah tanggung jawab produk terhadap terjemahan product liability karena istilah tersebut lebih umum dipakai sehingga diharapkan tidak menimbulkan salah pemahaman

50

Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.51

Mengenai ciri-ciri dari product liability dengan mengambil pengalaman dari Masyarakat Eropa da terutama Negeri Balanda, dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut:52

49

Godwin Limberg, et.al, Bukan Hanya Laba: Prinsip-Prinsip Bagi Perusahaan Untuk Melaksanakan

Tanggung Jawab Sosial, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putera, 2009), Hal. 9.

50

H.E Saefullah, Tanggung jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang ditimbulkan dari Produk pada

Era Pasar Bebas, Penyunting: Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Peerlindungan Konsumen,

(Bandung : Mandar Maju, 2000), Hal. 46.

51

Agnes M.Toar, Penyalahgunaan Keadaan dan Tanggung Jawab atas Produk di Indonesia, Makalah, Disajikan dalam Seminar Dua Hari tentang Pertanggungjawaban Produk dan Kontrak Bangunan yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusat Pengkajian Indonesia bekerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 25-26 Agustus 1988, Hal. 6, dalam: Miru dan Yodo,Op.cit., Hal. 23.

52

Johannes Gunawan, Product Liability dalam Hukum Bisnis Indonesia, orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis XXXIX, Unika Parahyangan Bandung, Januari 1994, dalam Kristiyanti, Op.cit., Hal.102.

(8)

1. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah:  pembuat produk jadi (finished product);

 penghasill bahan baku;  pembuat suku cadang;

 setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu;

 importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan;

 pemasok (supplier) dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.

2. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen akhir (end-consumer atau ultimate (end-consumers);

3. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produk adalah benda bergerak, sekalipun benda bergerak tersebut telah menjadi komponen/bagian dari benda bergarak atau benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk pertanian dan perburuan;

4. Yang dapat dikualifikasikan sebagai kerugian adalah kerugian pada manusia dan kerugian pada harta benda, selain dari produk yang bersangkutan;

5. Produk dikualifikasi sebagai mengandung kerusakan apabila produk itu tidak memenuhi keamanan yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan mempertimbangkan semua aspek antara lain:

(9)

 penampilan produk;

 maksud penggunaan produk;

 saat ketika produk ditempatkan di pasaran

Tujuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab produk adalah untuk53

a. Menekan tingkat kecelakaan karena produk cacat; atau :

b. Menyediakan saran ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat dihindari.

Dari perkembangan product liability diberbagai negara, dapat dikemukakan bahwa product liability merupakan lembaga hukum yang tetap menggunakan kontruksi hum tort (perbuatan melawa hukum) dengan beberapa modifikasi antara lain:54

1. Produsen langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product liability sehingga didalamnya dianut prinsip praduga bersalah (presumption of fault) berbeda dengan praduga tidak bersalah (presumption of no fault) yang dianut oleh tort. 2. Karena produsen dianggap bersalah, konsekuensinya ia harus bertanggung jawab

untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang menderita kerugian. Jenis tanggung jawab ini disebut no fault liability atau strict

liability.

3. Karena produsen sudah dianggap bersalah maka konsumen yang menjadikorban tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan produsen. Dilihat dari segi ini, konsumen jelas sangat diringankan dari beban untuk membuktikan kesalahan

53 AZ. Nasution II, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan

Konsumen Indonesia, Cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Hal. 175.

54

(10)

produsen yang relative sangat sukar diatur seperti dianut dalam tort. Dalam hal ini beban pembuktian justru dialihkan kepada pihak produsen untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada konsumen.

Tanggung jawab produk yakni tanggung jawab hukum yang disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain). Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict-liability) atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak itu, pelaku usaha telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya55

Ada beberapa alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak tersebut diterapkan dalam tanggung jawab produk:

.

56

1. Diantara korban/konsumen disatu pihak dan produsen dilain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi /mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran.

2. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan dan bilamana terbukti tidak demikian maka dia harus bertanggung jawab.

55 Nasution II, Op.cit., Hal. 174. 56

(11)

3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen dan agen kepada produsen. Penerapan prinsip

strict liability ini dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.

Berkenaan dengan tanggung jawab produk, seorang pelaku usaha harus bertanggung jawab atas kerugian bagi konsumen baik kerugian fisik, kematian atau harta benda karena produk yang cacat. Pengertian produk yang cacat adalah setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang.57

Untuk mengetahui kapan suatu produk mengalami cacat, dapat dibedakan atas tiga kemungkinan yaitu:58

1. Kesalahan produksi

Kesalahan produksi ini dapat dibedakan atas dua bagian yaitu pertama adalah kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu, sedangkan yang kedua adalah produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksudkan oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal.

57

Emma Suratman S.H. (Ketua Tim) Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di bidang Farmasi terhadap Konsumen1990, BPHN Departemen Kehakiman RI, 1991, Hal. 9 dalam Nasution I, Op.cit, Hal.248.

58

(12)

2. Cacat desain

Pada cacat desain ini, cacat terjadi pada tingkat persiapan produk. Ini terdiri atas desain, komposisi atau konstruksi.

3. Informasi yang tidak memadai

Informasi yang tidak memadai ini berhubungan dengan pemasaran suatu produk dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas resiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk mereka itu dapat dipergunakan sebagaimana dimaksudkan. Dengan demikian, produsen berkewajiban untuk memperhatikan keamanan produknya. Hal ini tidak berakhir hanya sampai pada penempatan produk dalam sirkulasi.

Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal:59

1. melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya kasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk;

2. ada unsur kelalaian (negligence), misalnya produsen lalai memenuhi standar obat yang baik

3. menerapkan tanggung jawab mutlak

Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam tanggung jawab produk ini berlaku prinsip tanggung jawab mutlak. Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ini tidak mempersoalkan lagi mengenai ada atau tidak adanya kesalahan, tetapi pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh produknya yang cacat.

59

(13)

Pelaku usaha dianggap harus bertanggung jawab apabila telah timbul kerugian pada konsumen karena mengkonsumsi suatu produk dan oleh karena itu pelaku usaha harus mengganti kerugian itu. Dan sebaliknya, pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, yaitu bahwa ia telah melakukan produksi dengan benar, melakukan langkah-langkah pengamanan yang wajib ia ambil.

Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict

liability, akan tetapi pihak pelaku usaha masih dapat membebaskan diri dari tanggung

jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah:60

a. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian; b. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau

diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis;

c. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah;

d. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific an technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat;

e. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut; f. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan

terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence); 60

(14)

g. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.

C. Penerapan Tanggung Jawab Produk (Product Liability) dalam Layanan Purna Jual

Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besar hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum.61

a. Tuntutan berdasarkan wanprestasi

Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang ada dalam suatu perjanjian antara konsumen dengan produsen. Tuntutan untuk membayar ganti kerugian di sini tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian.

b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum

Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan wanprestasi, tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan 61

(15)

perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang merasa dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen sebelumnya.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, terkait dengan tanggung jawab produk, secara umum tanggung jawab produk adalah tanggung jawab hukum yang disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain) yang sifat tanggung jawabnya adalah mutlak (strict-liability), semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Tanggung jawab ini dapat berupa pemberian ganti rugi, Suatu produk dikatakan cacat jika terdapat kesalahan produksi, cacat desain atau informasi yang tidak memadai. Berdasarkan hal tersebut diatas penerapan tanggung jawab produk dengan sifat pertanggungjawaban mutlak hanya jika terdapat suatu produk yang cacat dan syarat adanya produk yang cacat merupakan hal yang mutlak.

Penerapan konsep product liability ternyata tidak mudah. Sebab dalam sistem pertanggungjawaban secara konvensional, tanggung jawab produk didasarkan adanya wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (fault). Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365, konsumen yang menderita kerugian akibat produk barang/jasa yang cacat bisa menuntut pelaku usaha secara langsung. Tuntutan tersebut didasarkan pada kondisi telah terjadi perbuatan melawan hukum, atau dengan kata lain, konsumen harus membuktikan terlebih dahulu kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.

(16)

Langkah pembuktian semacam itu sulit dilakukan karena konsumen berada pada kondisi yang sangat lemah dibandingkan dengan posisi pelaku usaha. Disamping sulitnya pembuktian, konsumen nantinya juga sulit untuk mendapatkan hak ganti rugi (kompensasi) atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha.

Oleh karena itu, diperlukan adanya penerapan konsep strict liability (tanggung jawab mutlak), yaitu bahwa produsen seketika itu juga harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa mempersoalkan kesalahan dari pihak produsen.62

Jika performansi produk selama waktu pemakaian tertentu ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan, maka konsumen dapat menuntut pelaku usaha dengan tanggung jawab produk karena telah memenuhi syarat yaitu adanya produk cacat yang merugikan Dengan konsep strict liability ini, setiap konsumen yang merasa dirugikan haknya bisa menuntut ganti rugi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya unsur kesalahan yang dilakukan pelaku usaha.

Dalam layanan purna jual yang kita ketahui lingkupnya adalah jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional, tanggung jawab produk dapat kita terapkan. Berkenaan dengan tanggung jawab produk, dalam layanan purna jual yang dapat diterapkan tanggung jawab produk adalah jaminan mutu/garansi. Salah satu bentuk layanan purna jual yang diberikan oleh pelaku usaha adalah pemberian garansi yang disertakan dalam setiap pembelian produk oleh konsumen. Pemberian garansi merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku usaha kepada konsumen atas terjadinya kerusakan prematur suatu produk atau ketidakmampuan produk untuk melaksanakan fungsi yang diharapkan.

62

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005), Hal. 15.

(17)

dan kriteria cacatnya adalah informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha mengenai produk tersebut. Dengan tanggung jawab produk ini, konsumen tidak perlu membuktikan kesalahan karena beban pembuktian ada pada pelaku usaha.

Oleh karena tanggung jawab produk merupakan lembaga hukum yang tetap menggunakan konstruksi hukum tort (perbuatan melawan hukum) maka ganti ruginya adalah ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yaitu suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikan dan undang-undang membatasi penggantian hanya berupa kerugian tidak termasuk biaya dan bunga.

(18)

BAB IV

HAK-HAK KONSUMEN YANG TERABAIKAN DALAM LAYANAN PURNA JUAL

A. Hak-Hak Kosumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sebelum membahas mengenai hak konsumen, ada baiknya kita memahami dulu apa pengertian hak. Dalam istilah bahasa Indonesia hak mempunyai beberapa arti, diantaranya: milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan dalam bahasa hukum hak adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena hal tersebut telah ditentukan oleh Undang-undang atau peraturan lainnya.63

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;

Dari sini dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu kekuasaan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.

Adapun hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 UUPK, yakni:

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang diperolehnya sehingga konsumen terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.64

63 Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta:PT. Pradnya

paramita,1991), Hal. 154. dalam Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cet. Kedua, (Yogyakarta:Program Studi Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, 2009), Hal. 128.

64

(19)

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari luar. Berdasarkan hak memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.65

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan diberbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk.66

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;

Hak ini berkaitan erat dengan hak untuk mendapatkan informasi. Hak ini untuk menghindari konsumen memdapatkan kerugian lebih lanjut. Ini antara lain disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan sering tidak cukup memberikan kejelasan atau ada pengaduan terhadap kerugian yang diderita, oleh karenanya konsumen berhak menggunakan hak ini dan disampaikan baik

65

Ibid., Hal. 42.

66

(20)

secara perseorangan maupun kolektif, disampaikan secara langsung atau diwakili oleh suatu lembaga tertentu seperti LSM

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan, hak ini sebenarnya juga meliputi hak untuk mendapatkan ganti kerugian.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Hak ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk. Pendidikan disini tidak harus diartikan sebagai suatu proses formal yang dilembagakan, bentuk informasi yang komprehensif sudah merupakan pendidikan konsumen

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

Untuk menghindari dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi didalam hubungan hukum pelaku usaha dengan konsumen. Klausul seperti ini merupakanhal yang

(21)

lazim ditemukan namun pencantumannya yang secara sepihak tidak menghilangkan hak konsumen mendapatkan ganti rugi.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UUPK lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas:67

a. Hak memperoleh keamanan; b. Hak memilih;

c. Hak mendapat informasi; d. Hak untuk didengar.

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:68

a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Dari rumusan-rumusan hak konsumen tersebut, secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu69

67

Miru dan Yodo, Op.cit, Hal. 38-39

68 Ibid, Hal. 39. 69

Ibid, Hal. 47.

(22)

a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;

c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.

Oleh karena ketiga hak tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK maka hal tersebut sangat penting bagi konsumen sehingga dapat dijadikan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen. Seperti yang dikemukan oleh Zoemrotin K. Susila bahwa “dengan kepastian hukum yang jelas dantegas, pelaku usaha akan semakin berhati-hati dalam memproduksi barang dan/atau jasa sehingga secara langsung memberikan perlindungan preventif terhadap konsumen”.70

Tersedianya fasilitas layanan purna jual dengan batas waktu sekurang-kurangnya setahun didalam UUPK (Pasal 25 ayat 1) sudah merupakan kewajiban pelaku usaha jika memproduksi barang yang manfaatnya berkelanjutan. Oleh karena ini merupakan kewajiban pelaku usaha maka merupakan hak konsumenlah untuk mendapatkan B. Hak-hak Konsumen yang Terabaikan dalam Layanan Purna Jual

Dalam layanan purna jual hak konsumen secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu pertama, hak konsumen yang berkaitan dengan keberadaan fasilitas layanan purna jual dan kedua, hak konsumen dalam layanan purna jual.

Ad. 1. Hak konsumen terkait keberadaan fasilitas layanan purna jual

70

(23)

fasilitas layanan purna jual ini. Jika pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya dalam menyediakan fasilitas layanan purna jual baik karena sengaja atau kelalaian, yang berarti mengabaikan hak konsumen untuk mendapatkan fasilitas tersebut maka konsumen dapat melakukan tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen dan pelaku usaha harus bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen itu. Dalam hal ini BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak dua ratus juta rupiah sebagaimana dinyatakan Pasal 60 UUPK.

Ad. 2. Hak konsumen dalam layanan purna jual

Jika konsumen telah memperoleh haknya yaitu mendapatkan layanan purna jual atas barang yang dibelinya itu maka yang sering menjadi permasalahan/sengketa adalah adanya pengabaian hak-hak konsumen.

Sebagaimana kita ketahui lingkup layanan purna jual adalah terkait dengan jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional yang didalamnya termasuk:

 pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian barang atau komponennya tidak berfungsi baik selama garansi maupun setelah garansi

 penyediaan dokumen sebagai informasi kepada konsumen yang mencakup dan tidak terbatas pada identitas dan spesifikasi barang, prosedur, buku petunjuk,

leaflet, brosur, skema/diagram/gambar atau media pendukung lainnya yang

menggunakan bahasa Indonesia dan mudah dimengerti

 Ketersediaan pusat pelayanan purna jual (service center)  Ketersediaan suku cadang

(24)

Dalam lingkup layanan purna jual inilah hak-hak konsumen sering terabaikan dan hak-hak itu antara lain:

 Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

 Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

 Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan Konsumen secara patut;

 Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

 Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

C. Penyelasaian Sengketa dalam Layanan Purna Jual

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya sengketa atau konflik seringkali terjadi dalam suatu hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya, baik konsumen yang merasa dirugikan ataupun sebaliknya namun biasanya konsumenlah yang selalu dirugikan.

Hal ini juga yang yang sering terjadi pada kegiatan pelayanan purna jual suatu barang. Keadaan ini dalam banyak kasus disebabkan oleh karena tidak terpenuhinya hak-hak konsumen, terabaikannya hak-hak-hak-hak konsumen, konsumen tidak mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Konsumen merasa tidak puas atas layanan yang telah

(25)

diberikan oleh pelaku usaha, terabaikannya hak untuk didengar keluhannya, pelayanan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat menjadi sengketa dalam layanan purna jual. Selain itu sengketa juga bisa terjadi jika dalam memproduksi barang pelaku usaha tidak menyediakan fasilitas layanan purna jual yang baru diketahui konsumen setelah membeli produknya.

Sengketa-sengketa yang terjadi membutuhkan upaya penyelesaian yang dapat memberikan solusi atau keuntungan di kedua belah pihak. Upaya penyelesaian sengketa adalah upaya atau cara mengajukan tuntutan hak secara individu atau kelompok untuk menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen.71

1. pengadilan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat 1 UUPK yang menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasal 45 ayat 2 menyatakan penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan pasal tersebut diatas penyelesaian sengketa layanan purna jual dapat diselesaikan melalui dua cara yaitu melalui:

2. di luar pengadilan

Ad. 1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan

Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan diatur dalam pasal 48 UUPK, yang menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu 71

Bagir Manan, Perspektif Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, makalah disajikan dalam seminar Perlindungan Konsumen dalam Era Pasar Bebas, Universitas 11 Maret Surakarta.

(26)

pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”.

Merujuk pada Pasal 46 ayat (1) UUPK, bentuk gugatan yang dapat dilakukan melalui pengadilan ada 3 macam, yaitu:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;

c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Dalam hukum perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam menyelesaiakan sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanya tiga macam gugatan, yaitu: 72

a. Small Claim, jenis gugatan yang dapat dilakukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat kecil. Ada tiga alasan mengapa small claim diijinkan dalam menyelesaikan sengketa konsumen yaitu:

 kepentingan dari pihak penggugat tidak dapat diukur semata karena nilai uang kerugiannya;

 keyakinan bahwa pintu keadilan terbuka bagi siapa saja; 72

(27)

 untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.

b. Class Action, adalah gugatan konsumen dimana korbanya lebih dari satu orang

atau gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Gugatan kelompok ini berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 dikenal dengan “gugatan perwakilan kelompok”. Dalam UU Perlindungan Konsumen gugatan kelompok ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 (b). Pertanyaan muncul apakah LSM dapat menjadi wakil dari para konsumen? dapat asalkan saja LSM tersebut juga berposisi sebagai korban. Apabila dia tidak sebagai korban maka berdasar pasal 46 ayat 1 (c) (legal standing). Dalam Class Action wajib memenuhi empat syarat yang ditetapkan dalam pasal 23 US Federal Of Civil Procedure:

 Numerosity, jumlah penggugat harus cukup banyak.

 Commonality, adanya kesamaan soal hukum dan fakta antara pihak yang diwakili dan pihak yang mewakili.

 Typicality, adanya kesamaan jenius tuntutan hukum dan dasar pembelaan yang digunakan antara anggota yang diwakili dan yang mewakili.

 Adequacy o f Representation , adanya kemampuan klas yang mewakili dalam mewakili pihak yang diwakili.

c. Legal Standing, adalah gugatan yang dilakukan sekelompok konsumen dengan menunjuk pihak LSM yang dalam kegiatannya berkonsentrasi pada kegiatan konsumen untuk mewakili kepentingan konsumen atau dikenal dengan Hak Gugat LSM. LSM tersebut haruslah berbadan hukum atau yayasan. Hal ini diatur dalam pasal 1 angka 9 UUPK dan secara teknis diatur dalam PP Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

(28)

Ad. 2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui “lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha”.73

Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.

Lembaga ini adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang tugasnya menyelesaikan sengketa konsumen di luar jalur pengadilan.

Dalam Pasal 47 UUPK disebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan /atau mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

74

Ketentuan pasal 47 ini tidak jelas, apabila penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan, maka logika hukum akan menunjuk bentuk penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsultasi oleh BPSK dan bukan secara arbitrase oleh karena hasil akhir penyelesaian melalui arbitrase adalah putusan.75

73

Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,Pasal 45 ayat 1.

74

Ibid., Penjelasan Pasal 47.

75

(29)

Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK hanya memperkenalkan tiga macam yaitu arbitrase, konsiliasi dan mediasi yang merupakan bentuk atau cara penyelesaian sengketa yang dibebankan menjadi tugas BPSK.

Penyelesaian ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh pihak yang bersengketa. Pada umumnya dalam setiap proses penyelesaian sengketa selalu diupayakan untuk diselesaikan secara damai. Yang dimaksud penyelesaian sengketa secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Hal ini juga berlaku dalam sengketa pada layanan purna jual, biasanya pelaku usaha jika konsumen merasa pelayanan yang diberikan tidak sesuai jaminan, akan lebih dulu menawarkan solusi dengan mengadakan negosiasi dengan konsumen bahkan kadang lebih dahulu memberikan kompensasi kepada konsumen. Ini dilakukan karena terkait dengan reputasi produk yang dimiliki pelaku usaha dan pada akhirnya akan berpengaruh pada penjualan. Pelayanan purna jual saat ini merupakan hal yang penting dan diperhitungkan pada saat konsumen membeli suatu produk sehingga sekarang pelaku usaha tidak segan-segan mengucurkan dana untuk investasi pada layanan purna jual seperti yang dilakukan PT Ford Motor Indonesia (FMI) mengucurkan dana senilai Rp 35 milyar untuk memperkuat layanan purna jual (after sales service).76

76

Augusta B. Sirait,

Oleh karena itulah dalam prakteknya pelaku usaha selalu lebih mengedepankan penyelesaian sengketa yang ada secara damai.

http://www.inilah.com/read/detail/426501/perkuat-layanan-purna-jual, diakses pada tanggal 19 Agustus 2010.

(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Lingkup layanan purna jual adalah jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional yang didalamnya termasuk pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian barang atau komponennya tidak berfungsi baik selama garansi maupun setelah garansi; penyediaan dokumen sebagai informasi kepada konsumen yang mencakup dan tidak terbatas pada identitas dan spesifikasi barang, prosedur, buku petunjuk,

leaflet, brosur, skema/diagram/gambar atau media pendukung lainnya yang

menggunakan bahasa Indonesia dan mudah dimengerti; ketersediaan pusat pelayanan purna jual (service center); ketersediaan suku cadang. Dilihat dari payung hukumnya, layanan purna jual ini sudah diatur oleh beberapa peraturan yang cukup komprehensif dan berhubungan secara harmonis dari mulai peraturan perundang-undangan sampai dengan peraturan menteri bahkan sudah ada Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai layanan purna jual ini yaitu SNI No. 7229:2007.

2. Berkenaan dengan tanggung jawab produk, dalam layanan purna jual yang dapat diterapkan tanggung jawab produk adalah jaminan mutu/garansi. Jika performansi produk selama waktu pemakaian tertentu ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan, maka konsumen dapat menuntut pelaku usaha dengan tanggung jawab produk karena telah memenuhi syarat yaitu adanya produk cacat yang merugikan dan kriteria cacatnya adalah informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha mengenai

(31)

produk tersebut. Dengan tanggung jawab produk ini, konsumen tidak perlu membuktikan kesalahan karena beban pembuktian ada pada pelaku usaha.

3. Hak konsumen yang terabaikan dalam pelayanan purna jual adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan Konsumen secara patut; hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

B. Saran

1. Penegakkan hukum terhadap peraturan-peraturan tentang layanan purna jual hendaknya lebih ditingkatkan dengan lebih mengedepankan koordinasi mengingat banyaknya instansi yang terkait dalam hal ini.

2. Perlunya sosialisasi yang dilakukan oleh instansi terkait dalam layanan purna jual ini mengenai hak-hak konsumen dan tanggung jawab produk bagi pelaku pelaku sehingga diharapkan pengetahuan konsumen lebih bertambah dan perlindungan konsumen dapat terwujud dengan baik.

Referensi

Dokumen terkait

Dari contoh yang telah disebut diatas, maka distribusi peran yang mengisi fungsi sintaksis pada pola kalimat I adalah peran tindakan selalu mengisi fungsi predikat, peran

ABSTRAK : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) terhadap hasil belajar fisika siswa kelas XI IPA SMA

Menurut pendapat kami, berdasarkan audit kami dan laporan auditor independen lain, laporan keuangan konsolidasi tahun 2002 yang kami sebut di atas menyajikan secara wajar, dalam

Salah satu faktor risiko stroke non hemoragik adalah penyakit jantung, terutama penyakit yang disebut atrial fibrilasi, yakni penyakit jantung

Efektivitas modal kerja merupakan suatu ukuran bagaimana modal kerja (kas, piutang, dan persediaan) perusahaan dapat digunakan sebaik- baiknya dalam melakukan proses

Semua madzhab fiqih dan para ulama salaf kontemporer secara tegas dan jelas telah menyatakan di banyak pendapat mereka, bahwa yang menghalalkan pembunuhan terhadap

Berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Giddens tentang strukturas. Tema sentral yang Giddens yang pertama, yaitu hubungan antara struktur dan pelaku berupa

Subtansi hukum (legal substance) dan Budaya hukum (legal culture) disimpulkan bahwa penertiban hewan ternak belum berjalan dengan baik... Perilaku masyarakat tidak