• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB PRODUK (PRODUCT LIABILITY) DALAM RANGKA UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN. 1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB PRODUK (PRODUCT LIABILITY) DALAM RANGKA UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN. 1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB PRODUK

(PRODUCT LIABILITY) DALAM RANGKA

UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) yang berarti adalah lawan dari produsen yaitu setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.17

Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan “Konsumen sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil industri, bahan makanan, dan sebagainya”18. Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai berikut “A person who buys goods or service for personal, family, or household use, with no intention or resale, a natural person who use products for personal rather than bussiness pupose”19

17

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 22

. Textbook on Consumer Law memaparkan “Consumeris one who purchase goods or service”.

18

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1976), hal 521 19

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minnesota: West Publishing,

(2)

Definisi tersebut menghendaki bahwa konsumen adalah setiap orang atau individu yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak sebagai produsen, pelaku usaha dan/atau pebisnis.20

Hukum positif Indonesia pada tahun 1999, belum mengenal istilah konsumen. Meskipun demikian, hukum positif Indonesia berusaha untuk menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen. Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.21

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menggunakan istilah “setiap orang” untuk pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat jasa kesehatan dalam konteks konsumen, hal ini disebutkan dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 3,4,5 dan Pasal 46. Istilah “masyarakat” juga digunakan dalam undang-undang ini dengan asumsi sebagai konsumen, hal ini termaktub dalam Pasal 9,10, dan Pasal 21.22

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 tahun tentang Perlidungan Konsumen yaitu konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan dirisendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”23

20

Zulham. Hukum perlindungan konsumen, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2013),

hal. 15 21 Ibid., hal. 14 22 Ibid., 23 Shidarta,Op.Cit., hal.1

(3)

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ini lebih luas bila di bandingkan dengan 2 (dua) Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen lainnya, yaitu :24

a. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa “Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali”.

b. Naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan RI menentukan bahwa “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”.

Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda yaitu “Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil”. Anderson dan Krumpt menyatakan kesulitannya untuk merumuskan defenisi konsumen namun, para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah “Pemakai terakhir dari benda dan/atau jasa yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha”. 25

Berdasarkan dari beberapa pengertian konsumen yang telah dikemukakan di atas, maka Az Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni:26

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

24

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2010), hal. 5-6 25

Zulham, Op. Cit., hal 16 26

(4)

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa istilah yang berkaitan dengan konsumen yaitu pembeli, penyewa, penerima hibah, peminjam, dan sebagainya. Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ditemukan istilah tertanggung dan penumpang.27

Selain konsumen, pihak lain yang berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen adalah pelaku usaha dan pemerintah. Istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha.

Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan pelaku usaha adalah

“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.28

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku

27

Zulham. Op.Cit., hal 14

28

(5)

usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, karena produsen atau pelaku usaha dapat berupa perorangan atau badan hukum.29

2. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Sebelum membahas hak dan kewajiban para pihak maka terlebih dahulu akan membahas tentang pengertian hak dan kewajiban. Hukum didalamnya mengatur peranan dari para subjek hukum yang berupa hak dan kewajiban. Hak adalah suatu peran yang bersifat fakultatif artinya boleh dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, berbeda dengan kewajiban adalah peran yang bersifat imperative artinya harus dilaksanakan. Hubungan keduanya adalah saling berhadapan dan berdampingan karena didalam hak terdapat kewajiban untuk tidak melanggar hak orang lain dan tidak menyalahgunakan haknya.30

Hak dan Kewajiban lahir karena adanya hubungan hukum. Setiap hubungan hukum mempunyai dua aspek yaitu kekuasaan disatu pihak dan kewajiban (pilot) dipihak lain. Kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada orang lain (badan hukum) disebut sebagai hak. Menurut Logeman tidak setiap peraturan hukum memberi hak. Ada peraturan hukum yang tidak memberi hak. Tetapi setiap peraturan hukum menimbulkan kewajiban.

Presiden John F. Kennedy mengemukakan empat hak konsumen yang harus dilindungi, yaitu:31

29

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Op.Cit., hal. 8-9 30

Happy Susanto. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal 22

31

(6)

a. Hak memperoleh keamanan (the right to safety)

Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Pada posisi ini, intervensi, tanggung jawab dan peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting. Karena itu pula, pengaturan dan regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen dari perilaku produsen yang nantinya dapat merugikan dan membahayakan keselamatan konsumen.

b. Hak memilih (the right to choose)

Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogratif konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai, maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen.

c. Hak mendapat informasi (the right to be informed)

Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap keterangan mengenai sesuatu barang yang akan diblinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen.

d. Hak untuk didengar (the right to be heard)

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, konsumen juga harus didengar setiap keluhannya dan harapanya dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh produsen.

YLKI menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen yang dikemukakan oleh John F. Kennedy yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sehingga keseluruhannya dikenal sebagai “Panca hak Konsumen”.32

Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 4 terdapat hak-hak konsumen antara lain :33

32

Ibid., hal 50 33

(7)

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan Advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara paksa.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain. Selain kesembilan hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ada dua hak konsumen yang berhubungan dengan product liability, yakni sebagai berikut:34

a. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas yang baik serta aman. Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu. Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk barang yang dibelinya sering kali diperdayakan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen sering dihadapkan pada kondisi jika setuju beli, jika tidak silahkan cari di tempat yang lain, padahal di tempat lain pasar pun telah dikuasainya.

b. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian. Jika barang yang dibelinya itu dirasakan cacat, rusak, atau telah membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Namun, jenis ganti kerugian yang dikalimnya untuk barang yang cacat atau rusak, tentunya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang dibelinya dan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka tuntutan konsumen dapat melebihi harga barang yang dibelinya.

34

(8)

Sementara hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian tyang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila:35

a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan; b. Cacat timbul di kemudian hari;

c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;

d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi; e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 6 menjelaskan produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut:36

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat pelindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain memperoleh hak-hak tersebut, sebagai balance konsumen juga mempunyai kewajiban, “ Menurut Pasal 5 Undang-Undang Konsumen No.8 Tahun 1999, kewajiban konsumen itu antara lain:37

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikhad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 35 Ibid.,hal 42 36 Ibid., hal. 43 37

(9)

Selain itu, dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut:38 a. Beritikhad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujure mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pelaku usaha di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa itikhad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi sampai pada tahap purna penjualan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi oleh produsen (pelaku

38

(10)

usaha). Sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.39

3. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen

Secara umum dan mendasar, hubungan antara produsen (pelaku usaha) dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lainnya.40

Produsen sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin produsen (pelaku usaha) dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya, konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil produksi produsen (pelaku usaha). Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan suatu hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang masa, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang tidak terputus-putus.

41

Hubungan antara produsen dan konsumen menimbulkan tahapan transaksi untuk mempermudah dalam memahami akar permasalahan dan mencari jalan penyelesaian. Barang atau jasa yang dialihkan kepada konsumen dalam suatu transaksi dibatasi berupa barang dan jasa yang biasa digunakan untuk keperluan

39

Ibid., hal. 54-55 40

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 9 41

(11)

kehidupan atau rumah tangga dan tidak untuk tujuan komersial. Dalam praktik sehari-hari terjadi beberapa tahap transaksi konsumen tahap tersebut adalah:42

a.Tahap Pra-Transaksi Konsumen

Tahap pra-transaksi konsumen, transaksi (pembelian, penyewaan, peminjaman, pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum terjadi. Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau jasa kebutuhannya dapat diperoleh, beberapa hanya dan apapula syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta mempertimbangkan berbagai fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan. Pada tahap ini informasi tentang barang atau jasa konsumen memegang peranan penting. Informasi yang benar dan bertanggung jawab (informative information) merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum dapat mengambil suatu keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi dalam kebutuhan hidupnya. Putusan pilihan konsumen yangn benar mengenai barang dan jasa yang dibutuhkan (informed choice), sangat tergantung pada kebenaran dan bertanggungjawabnya informasi yang disediakan oleh pihak-pihak berkaitan dengan barang atau jasa konsumen. Informasi yang setengah benar, menyesatkan, apalagi informasi yang menipu dengan sendirinya menghasilkan keputusan yang dapat menimbulkan kerugian materil atau bahkan mgkin membahayakan kesehatan tubuh atau jiwa konsumen karena keliru, salah atau disesatkan dalam mempertimbangkannya.

42

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada

(12)

b.Tahap Transaksi Konsumen

Fase ini transaksi konsumen sudah terjadi. Jual beli atau sewa menyewa barang, setelah terjadi. Berbagai syarat peralihan kepemilikan, penikmatan, cara-cara pembayaran atau hak/kewajiban mengikuti, merupakan hal-hal pokok bagi konsumen. Pada saat ini umumnya suatu perikatan antara pelaku usaha dan konsumen dengan pembayaran atau pelunasan berjangka (antara lain perjanjian beli sewa, kredit, perbankan, kredit perumahan dan sebagainya) tidak jarang memunculkan masalah. Informasi yang benar dan bertanggungjawab dapat membantu konsumen menetapkan pilihan yang tepat, begitu pula cara-cara memasarkan barang atau jasa. Cara-cara pemasaran yang wajar akan sangat mendukung putusan pilihan konsumen yang menguntungkannya. Leluasanya konsumen memilih barang atau jasa kebutuhannya salah satu hak dan juga merupakan kepentingan konsumen.

c.Tahap Purna-Transaksi Konsumen

Tahap ini transaksi konsumen telah terjadi dan pelaksanaan telah diselenggarakan. Keutuhan konsumen akan barang atau jasa, baik kebutuhan produk rohaniah dan jasmaniah maupun kebutuhan yang dirangsang oleh berbagai praktek atau strategi pemasaran dan keberanian pengusaha mengambil resiko dalam menyediakan berbagai kebutuhan konsumen tersebut, sesungguhnya merupakan dua sisi dari satu kehidupan. Tinjauan lain yang dikemukakan diatas dengan sendirinya memperhatikan makin tingginya tingkat ilmu dan teknologi dalam

(13)

memproduksi produk-produk konsumen karena itu anjuran supaya “konsumen teliti dalam membeli” (caveat emptor) seharusnya didampingi oleh kewajiban “pengusaha bertanggung jawab” (caveat venditor). Tanpa tanggung jawa pengusaha, kepentingan ekonomis, keselamatan tubuh dan keamanan jiwa dipertaruhkan dan mengahadapi resiko yang tidak sepatutnya mereka hadapi. Keadaan barang atau jasa setelah mulai digunakan atau mulai dinikmati, kemudian ternyata tidak sesuai dengan deskripsi yang klaim pengusaha, baik tentang asal produk, keadaan, sifat, jumlahnya, atau jaminan/garansi merupakan masalah pada tahap purnal jual. Dengan memperbincangkan asal produk konsumen, mutu, sifat, keadaan, jumlah, garansi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sesungguhnya masalah sudah termasuk pertanggungjawaban pelaku usaha atau tanggung jawab produk.

Hubungan antara produsen dan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi pada pemasaran dan penawaran. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan rangkaian perbuatan hukum yang tidak mempunyai akibat hukum dan yang mempunyai akibat hukum baik terhadap semua pihak maupun hanya terhadap pihak tertentu saja. Hal tersebut dimanfaatkan secara sistematis oleh produsen dalam suatu sistem distribusi dan pemasaran produk barang guna mencapai tingkat produktivitas dan efektivitas dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dihasilkan hubungan yang sifatnya massal, yakni adanya permintaan meningkat dari masyarakat sehingga produsen dituntut untuk meningkatkan produktivitasnya. Karena sifatnya massal tersebut, maka peran negara sangat

(14)

dibutuhkan dalam rangka melindungi kepentingan konsumen pada umumnya. Untuk itu perlu diatur perlindungan konsumen berdasarkan undang-undang antara lain menyangkut mutu barang, cara prosedur produksi, syarat kesehatan, syarat pengemasan, syarat lingkungan, dan sebagainya.43

Diawali dengan sistem pengawasan terhadap mutu dan kesehatan serta ketepatan pemanfaatan bahan untuk sasaran produk. Untuk itu aspek hukum publik sangat dominan. Setelah hubungan bersifat personal, hukum perdatalah yang akan lebih dominan dalam rangka meindungi kepentingan masing-masing pihak. Pada era pasar bebas di mana hubungan produsen dan konsumen menjadi makin dekat dan makin terbuka. Campur tangan negara, kerja sama antar negara dan kerja sama internasional sangat dibutuhkan, yaitu guna mengatur pola hubungan produsen, konsumen dan sistem perlindungan konsumen.44

Hubungan antara produsen dan konsumen yang bersifat massal tersebut menciptakan hubungan secara individual/personal sebagai hubungan hukum yang spesifik. Hubungan hukum yang spesifik ini sangat bervariasi, yang sangat dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain:45

a. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu; b. Penawaran dan syarat perjanjian;

c. Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya; d. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.

Keadaan-keadaan seperti diatas, pada dasarnya akan sangat mempengaruhi dan menciptakan kondisi perjanjian yang juga sangat bervariasi. Dalam praktiknya hubungan hukum seringkali melemahkan posisi konsumen karena

43

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 10 44

Ibid., hal 11 45

(15)

secara sepihak para produsen (pelaku usaha) sedah menyiapkan satu kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan pula oleh produsen atau jaringan distributornya.46

Sebagaimana umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha seringkali bersifat subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha yang lebih kuat salah satunya dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak yang harus disetujui dan diikuti oleh konsumen. Syarat sepihak ini dikenal pula dengan istilah ”klausula baku”.

Klausula baku dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.47

Memperhatikan rumsan pengertian klausula baku dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini tampak penekanannya lebih tertuju dalam prosedur pembuatannya yang dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan bukan isinya.

48

46

Ibid.

Perjanjian baku juga terkandung klausul eksonerasi, yang dalam pengertiannya tidak sekedar mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. Dengan demikian, klausula baku menggambarkan tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan konsumen dipihak lain dalam perjanjian baku jelas tidak pernah dijumpai asas kebebasan

47

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal 18

48

(16)

berkontrak.49

Selain terdapat perikatan yang dilakukan oleh PDAM dengan calon pelanggan yang ada dalam formulir pendaftaran, calon pelanggan pun harus menandatangani surat pernyataan yang menegaskan apa yang menjadi hak dan kewajiban pelanggan. Surat pernyataan pelanggan tersebut berisikan yaitu:

Salah satu contoh klausula baku dalam hubungan produsen dan konsumen, misalnya formulir pendaftaran pemasangan air oleh PDAM. Formulir yang ditandatangani oleh calon pelanggan dan PDAM tersebut merupakan klausula baku atau kontrak baku kepada pelanggan. Dimana klausula baku itu ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha yakni PDAM Tirtanadi dan mengandung ketentuan umum dimana klausula baku ini menggambarkan tidak adanya keseimbangan posisi antara pelaku usaha yang menghasilkan produk dan konsumen di sisi lain, sehingga pihak konsumen hanya memiliki dua pilihan, yakni menyetujui atau menolak.

1. Dengan mengajukan permohonan pemasangan baru saluran air minum dan menandatangani surat pernyataan ini, maka Pemohon akan mematuhi ketentuan yang berlaku di PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

2. Pemohon bersedia memenuhi kewajiban yang timbul dan menjadi tanggung jawab Pemohon berkaitan dengan pelaksanaan pemasangan baru saluran air minum di alamat Pemohon yaitu:

a.Membayar biaya pemasangan baru sesuai golongan pelanggan berdasarkan kriteria yang ditetapkan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

49

(17)

b.Membayar biaya tambahan/kelebihan pipa dinas yang jaraknya melebihi dari standar yang ditentukan PDAM Tirtanadi (lebih dari 6 meter), dimana pipa tersebut akan menjadi aset PDAM Tirtanadi dan Pemohon tidak menuntut atas penggunaan pipa tersebut apabila di kemudian hari PDAM Tirtanadi menggunakan pipa tersebut untuk penambahan/ perluasan cakupan pelayanan

c.Menyelesaikan izin/rekomendasi (apabila diperlukan) dengan pihak yang bersangkutan sehubungan dengan pekerjaan pemasangan pipa.

3. Bersedia menerima kelebihan atas pembayaran biaya pemasangan baru atau membayar kekurangan biaya pemasangan baru apabila terjadi perubahan golongan pelanggan berdasarkan kriteria PDAM Tirtanadi.

4. Apabila di kemudian hari timbul sengketa mengenai hak milik tanah/bangunan yang mengakibatkan pipa dinas/pipa persil harus dibongkar, maka hal tersebut diluar tanggung jawab PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dan pemohon tidak dapat menuntut ganti kerugian dalam bentuk apapun kepada PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

5. Apabila meter air telah terpasang dan pemohon telah menikmati pelayanan air minum dan pemohon mengundurkan diri sebagai pelanggan, maka segala sesuatu yang telah dibayarkan tidak dapat dikembalikan kepada pemohon dan kewajiban yang ditimbulkan dari pemakaian air minum harus diselesaikan oleh Pemohon sesuai ketentuan yang berlaku di PDAM Tirtanadi.

(18)

6. Bersedia untuk diputus sambungan air minum apabila melakukan pelanggaran sesuai ketentuan PDAM Tirtanadi.

Apabila dalam kontrak pelanggan tidak mengatur secara seimbang antara hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak, maka pelanggan mengajukan tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialaminya.

Kenyataannya, campur tangan pemerintah dan pemerintahan daerah dalam perjanjian baku sering kali terjadi, misalnya untuk perjanjian pengadaan barang dan lapangan agraria, seperti dalam hal hak pengelolaan tanah atau pemberian hak pakai. Akan tetapi, untuk perjanjian keperdataan yang dibuat oleh notaris tentu tidak harus distandarkan. Perjanjian-perjanjian yang disebut terakhir tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan masyarakat sendiri. Campur tangan pemerintah lebih diharapkan pada perjanjian yang berskala luas yang dimaksud berkaitan dengan kepentingan massal. Karena itu, jika diserahkan sepenuhnya pembuatannya secara sepihak kepada produsen/pelaku usaha, dikhawatirkan akan dibuat klausul eksonerasi yang merugikan masyarakat banyak.50

B. Product Liability sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Pelaku Usaha

1. Pengertian Product Liability

Permasalahan yang dihadapi konsumen di Indonesia, seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari semua pihak baik pengusaha, pemerintah, maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus

50

(19)

menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai (reasonable). Pemerintah menyadari bahwa diperluka Undang-Undang serta Peratura-Peraturan di segala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jas dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya Peraturan serta Undang-Undang tersebut dengan baik.51

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengakomodasi dua prinsip penting, yakni tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (professional liability). Kedua permasalahan ini sebenarnya termasuk dalam prinsip-prinsip tentang tanggung jawab, tetapi dibahas secara terpisah karena perlu diberikan penguraian sendiri.52

Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 (enam puluh) tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (producer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.

Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produk product liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang

51

Ibid., hal 62-63

52

(20)

bersifat intangible goods seperti listrik, produk alami (misalnya makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (misalnya peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (misalnya rumah). Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.

Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa,

Product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product”.53

Kemudian Agnes M.Toar mendefinisikan product liability sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung jawab disini diartikan sebagai tanggung jawab akibat dari adanya hubungan kontraktual (perjanjian) atau tanggung jawab menurut undang-undang (dengan prinsip perbuatan melawan hukum).54

Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan

53

Adrian Sutedi, Op.Cit., hal 64 54

(21)

yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan.55

Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.56

Product liability ini dapat diklasifikasikan ke dalam hal-hal yang berkaitan dengan berikut ini:57

a. Proses produksi,yaitu yang menyangkut tanggung jawab produsen atas produk yang dihasilkannya bila menimbulkan kerugian bagi konsumen. Misalnya antara lain menyangkut produk yang cacat, baik cacat desain maupun cacat produk.

b. Promosi niaga/ iklan, yaitu yang menyangkut tanggung jawab produsen atas promosi niaga/ iklan tentang hal ihwal produk yang dipasarkan bila menimbulkan kerugian bagi konsumen.

c. Praktik perdagangan yang tidak jujur, seperti persaingan curang, pemalsuan, penipuan, dan periklanan yang menyesatkan.

Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya:58

a. Pelanggaran jaminan (breach of warranty)

b. Kelalaian (negligence)

c. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Ketentuan tanggung jawab produk ini dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu dalam Pasal 1504 yang berbunyi

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak

55

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal 101 56

Adrian Sutedi, Op.Cit., hal 101 hal 65 57

Ibid., hal 72 58

(22)

akan mebeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang”.

Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan menyatakan,

“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.59

Tanggung jawab produk, barang/ jasa meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk (produsen) itu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini, menjadi beban dan tanggung pelaku usaha.

Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum, tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa caveat emptor (konsumen bertanggung jawab) telah ditinggalkan dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab). Ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang berakibat menimbulkan kerugian dan/atau membahayakan konsumen diatur dalam Pasal 4, Pasal 5 , Pasal 7 sampai dengan Pasal 17, Pasal 19 samap dengan Pasal 21 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

59

(23)

Seperti dikemukakan di atas, jika dilihat secara sepintas, nampak bahwa apa yang diatur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUH Perdata.60

Hanya saja, jika dilihat dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan, “Segala perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah untuk mengganti kerugian yang di derita orang atau pelaku usaha tersebut. Jadi, persaingan usaha tidak sehat yang di lakukan secara curang harus terbukti secara subjektif dan akibatnya merugikan konsumen secara langsung dan pelaku usaha secara tidak langsung”.61

Hal ini berarti, bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor, dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat diberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle). Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya adanya unsur kesalahan di pihak produsen.62

60

Adrian Sutedi, Op.Cit., hal.67 61

Ibid., hal. 36 62

(24)

Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:63

a. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (risiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/ mengeluarkan barang-barang cacat/ berbahaya tersebut di pasaran.

b. Dengan menempatkan/ mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab.

c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melauli proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.

Hukum tentang product liability, pihak korban/ konsumen yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal, yaitu:64

a. Produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen.

b. Cacat tersebut telah cacat telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian/ kecelakaan.

c. Adanya kerugian.

Namun, juga diakui secara umum bahwa pihak korban/ konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya tidak ada modifikasi-modifikasi). Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.

63

Zulham. Op.Cit, hal. 98 64

(25)

Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah sebagai berikut:65

a.Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation)

b.Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian.

c.Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis.

d.Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

e.Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific an technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat.

f. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri di mana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut.

g.Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence).

h.Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.

Namun demikian, dengan diterapkannya prinsip strict liability dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti. Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict lliability) adalah dalam mengantisipasi kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu

65

(26)

menguntungkan pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.66

2. Prinsip-Prinsip Pertanggungjawaban Pelaku Usaha

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.

Hans W. Micklitz berpendapat bahwa dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan yaitu:67

a. Kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi).

b. Kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan). Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:68

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability or liability based on fault) adalah prinsip yang cukup aman namun berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), khususnya Pasal 1365, Pasal 1366, Pasal 1367, prinsip ini

66

Ibid.,

67

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal 92 68

(27)

dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabnya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaaan dalam masyarakat.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption oif liability principle), sampai tergugat dapat membuktikan, sehingga tergugat tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada tergugat. Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip tersebut. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, 23 ( ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dengan hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha digugat tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidaklah berarti dapat sekehendak hati

(28)

mengajukan gugatan-gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika konsumen gagal menunjukkan kesalahan tergugat.

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability principle) hanya dikenal dalam lingkungan transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common dibenarkan.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolut liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalah tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majure. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembuktian (liability of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausal eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang dicuci cetak itu hilang atau

(29)

rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen, bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa SNI menjamin konsumen untuk mendapatkan barang-barang yang bagus di pasaran sesuai dengan standarnya.Secara garis besar,

konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/ atau jasa lain untuk diperdagangkan

atau tidak berbuat, bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian. Kerugian yang diderita seseorang secara garis

Tanggung jawab pihak Ekspedisi Sinar Mataram Cepat (SIMAC) terhadap barang-barang yang rusak atau hilang ialah: Bentuk kerugian dalam pengiriman barang di Ekspedisi

a. Kerusakan dan kerugian konsumen. Pencemaran dan kerugian konsumen. Tanggung jawab pelaku usaha dalam memberikan ganti rugi diatas, tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat

5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya. Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa

Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen karena mengonsumsi produk yang cacat merupakan

Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.6 Sudah seharusnya