• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Pneumonia Geriatri (Dok Fikri)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Pneumonia Geriatri (Dok Fikri)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

REFERAT

TATALAKSANA PNEUMONIA PADA GERIATRI

TATALAKSANA PNEUMONIA PADA GERIATRI

Disusun Oleh:

Disusun Oleh:

Mutiara Adisti

Mutiara Adisti

1102013190

1102013190

Pembimbing:

Pembimbing:

Dr. Fikri Faisal Sp.P

Dr. Fikri Faisal Sp.P

DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS

DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN

KEPANITERAAN

KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD DR. SLAMET GARUT

RSUD DR. SLAMET GARUT

(2)

KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR

 Assalamu’alaikum Wr.Wb  Assalamu’alaikum Wr.Wb..

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul “Tatalaksana Pneumonia Pada Geriatri” ini dapat diselesaikan.

“Tatalaksana Pneumonia Pada Geriatri” ini dapat diselesaikan.

Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepan

menyelesaikan kepaniteraan klinik iteraan klinik SMF Ilmu SMF Ilmu Penyakit Dalam Penyakit Dalam di RSU di RSU Dr.SlametDr.Slamet Garut. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang Garut. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

 besarnya kepada : 1.

1. dr. Fikri Faisal Sp.Pdr. Fikri Faisal Sp.P selaku dokter pembimbing.selaku dokter pembimbing. 2.

2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUDPara Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr.Slamet Garut.

Dr.Slamet Garut. 3.

3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr.Slamet Garut.Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr.Slamet Garut. Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan  bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis.  bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.

tulisan yang lebih baik di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi  pembaca,

 pembaca, khususnya khususnya bagi bagi para para dokter dokter muda muda yang yang memerlukan memerlukan panduan panduan dalamdalam menjalani aplikasi ilmu.

menjalani aplikasi ilmu.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Garut, September 2017 Garut, September 2017 Penulis Penulis

(3)

BABI

PENDAHULUAN

Kejadian pneumonia yang diakibatkan masyarakat/komunitas meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit ini terkait dengan peningkatan morbimotilitas dan sering menyebabkan perawatan darurat dan masuk ke rumah sakit. Kejadian CAP yang meningkat pada geriatri dikaitkan dengan serangkaian perubahan fisiologis yang terkait dengan penuaan, saluran pernapasan (pengurangan reflex batuk dan  pembersihan mukosiliar) dan sistem kekebalan tubuh (bawaan dan adaptasi)  bersamaan dengan adanya malnutrisi serta penyakit kronis yang melibatkan usia (diabetes mellitus, PPOK, gagal jantung kronis, kanker dan insufisiensi ginjal kronis) membuat kelompok geriatric lebih rentan terhadap peningkatan infeksi, khususnya  pneumonia, dengan hasil yang lebih buruk.

Kelompok geriatri adalah semua orang yang berusia 60 tahun atau lebih (WHO) yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.

Prevalensi insiden pneumonia pada geriatri di Indonesia adalah, contohnya di Semarang, pasien geriatri yang menjalani rawat inap karena pneumonia sebanyak 16,6%.

Sejumlah faktor meningkatkan resiko infeksi pada pasien geriatri; interaksi antara faktor-faktor resiko berupa komorbiditas, imunitas yang melemah dan faktor usia sangat kompleks. Perubahan anatmi fisiologi akibat proses penuaan memberi konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru, kemampuan untuk mengatasi penurunan komplians paru dan peningkatan resistensi saluran napas terhadap infeksi. Sekali mikroorganisme pathogen berad adi alveolus, aka n dilepaskan mediator pro inflamasi dan respon inflamasi terpicu sehingga menimbulkan manifestasi klinis.

Perawatan kesehatan pada geriatri umumnya lebih kompleks. Ini  berhubungan dengan terlambatnya diagnosis dan perawatan, peningkatan resiko komplikasi dan perawatan lebih lama di rumah sakit. Semua hal di atas membuat CAP pada geriatri menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan khusus, terlebih untuk tatalaksana pneumonia pada kelompok geriatri.

(4)

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari  bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta

menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia termasuk dalam infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) dan merupakan ISNBA yang paling sering ditemukan. Pneumonia ini dapat terjadi secara  primer atau merupakan tahap lanjutan manifestasi ISNBA lainnya misalnya sebagai  perluasan bronkiektasis yang terinfeksi.1,3

Pneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi penularan, yaitu komunitas, rumah sakit (nosokomial) atau pusat perawatan kesehatan (nursing home). Pneumonia yang berasal dari pusat perawatan kesehatan tidak dimasukan dalam golongan  pneumonia nosokomial karena pada pusat perawatan kesehatan memiliki penghuni yang bervariasi dimana terdapat penghuni yang masih berfungsi secara penuh hingga  penghuni yang hanya terbaring ditempat tidur.2

2.2 Etiologi

Terdapat lebih dari 100 mikroba (bakteri, virus, jamur, protozoa, dan parasit lainnya) yang dapat menyebabkan pneumonia komunitas. Etiologinya di sesuaikan oleh berbagai aspek seperti komorbiditas, situasi fungsional basal, keparahan episode akut, pengobatan antimikroba yang diterima hingga kontak dengan ruamah sakit atau tempat tinggal. S. Pneumoniae adalah penyebab tersering dari Pneumonia komunitas  pada lansia, dengan presentasi > 50% dari seluruh kasus pneumonia. Tabel 2.1 menunjukan urutan penyebab tersering dari Pneumonia komunitas dan mengidentifikasi petunjuk yang didapatkan dari anamnesis untuk mendapatkan kemungkinan organisme penyebab dari pneumonia.2,6

(5)

Tabel 2.12

Penyebab Terbanyak Community-Acquired Pneumonia (CAP) pada Dewasa Tua 1.S. Pneumoniae 2.C. pneumoniae 3. Enterobacteriaceae 4. L. pneumophila serogroups 1 – 6 5. Haemophilus influenzae 6. Moraxella catarrhalis 7.S. aureus 8. Influenza A virus 9. Influenza B virus

10. Respiratory syncytial virus 11. Legionella spp. 12. M. tuberculosis 13. HMPV 14. Pneumocystis jiroveci 15. Nontuberculous mycobacteria 16. M. Pneumoniae 2.3 Klasifikasi 9

1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis: a. Pneumonia komunitas (CAP)  b. Pneumonia nosocomial (HAP)

c. Pneumonia aspirasi

d. Pneumonia pada penderita immunocompromised 2. Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia bacterial / tipikal : Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa  bakteri memiliki tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphylococcus pada penderita  pasca infeksi influenza

 b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella, Chlamydia c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah

3. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia lobaris, sering pada pneumonia bacterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada 1 lobus atau segmen

(6)

kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya:  pada aspirasi benda asing atau proses keganasan

 b. Bronkopneumonia, ditandai dengan bercak infiltrat pada lapang paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus

c. Pneumonia interstitial

2.4 Patofisiologi

Dalam kondisi normal, cabang tracheobronchial bersifat steril. Saluran nafas memiliki sederet mekanisme perlindungan untuk mencegah masuknya patogen ke dalam paru, yaitu :3,7

1. Didalam hidung terdapat concha dan rambut-rambut yang menahan benda asing untuk masuk ke dlam paru.

2. Epiglottis menutupi trachea dan mencegah sekresi maupun makanan masuk kedalam trakea.

3. Cabang trakeobronkial terdiri atas sel-sel yang mensekresikan musin. Musin ini mengandung zat antibakterial seperti antibodi IgA, defesins, lisozim, dan laktoferin. Selain itu musin juga bersifat lengketsehingga bakteri dan benda asing lainnya yang berhasil melewati epiglottis akan terjebak.

4. Silia yang berada sepanjang dinding trachea dan bronkus bergetar sangat cepat, berperan sebagai sabuk konveyer yang menggerakan musin keluar. 5. Ketika sejumlah cairan atau benda asing masuk ke dalam trakea, reflek batuk

akan bekerja, dan isi yang tidak diinginkan segera dikeluarkan dari cabang-cabang trakeobronkial.

6. Apabila patogen dapat melewati seluruh mekanisme perlindungan tersebut dan masuk ke dalam alveoli, patogen akan berada di ruangan yang pada keadaan normal kering dan tidak dapat dihuni. Masuknya patogen akan memicu masuknya netrofil dan makrofag alveolar yang akan memangsa dan membunuh patogen tersebut. Immunoglobulin dan komplemen dapat ditemukan pada area ini. Surfaktan juga memiliki fungsi perlindungannya sendiri.

(7)

7. Kelenjar getah bening yang berada di alveoli bertugas untuk mengeringkan dan mengalirkan cairan, makrofag dan limfosit ke kelenjar getah bening mediastinum.

Terdapat tiga rute masuknya patogen ke dalam parenkim paru yaitu, hematogen, airborne, dan mikroaspirasi. Rute tersering adalah melalui mikroaspirasi. Penyebaran secara hematogen mungkin disebabkan akibat adanya infeksi saluran kemih pada lansia. Patogen berupa bakteri biasanya masuk ke dalam paru melalui aspirasi flor a di mulut atau melalui inhalasi droplet kecil (diameter <3 μm) yang dapat

dihantarkan melalui udara ke dalam alveoli. Ketika patogen dapat masuk dan  bertahan, mulailah timbul respon inflamasi. Respon-respon ini telah dipelajari dengan

sangat teliti pada pneumonia akibat S. pneumoniae.3, 7

Awalnya, akan terjadi dikeluarkannya sekret dan cairan kedalam alveoli sebagai akibat reaksi inflamasi, yang dimana cairan tersebut adalah media kultur yang sangat baik bagi bakteri untuk tumbuh. Saat sekret dan cairan tersebut terakumulasi, cairan tersebut akan menyebar melalui pori-pori Kohn dan bronkiolus terminalis, menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi secara sentrifugal. Batuk dan pergerakan saat respirasi akan membantu penyebaran. 3, 7

Patogen akan berperan sebagai chemotractant untuk polimononuklear leukosit. Mediator proinflamasi (TNF-α, IL-1, dan IL-6) akan dibebaskan dari leukosit dan akan meningkatkan respon inflamasi. Sel darah merah, fibrin dan leukosit akan mengisi alveoli dan mengakibatkan timbulnya konsolidasi pada paru. Akibat dari respon inflamasi ini maka timbulah demam, batuk, sputum yang purulen, nyeri otot, dan nyeri sendi. Dan apabila sitokin pro-inflamasi didalam darah cukup tinggi, maka dapat terjadi syok. Konsolidasi pada paru akan menyebabkan dispnoe (akibat dari  berkurangnya komplians) dan hypoxemia akibat dari gangguan ventilasi dan perfusi (paru yang mengalami konsolidasi dapat terjadi perfusi akan tetapi tidak dapat mengalami ventilasi). Setelah terjadi respon inflamasi berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi  permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antiobid. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi  peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitic

(8)

Stage 1 / zona luar (kongesti): alveoli yang terisi dengan bakteri dan cairan edema

Stage 2 / zona permulaan konsolidasi ( red hepatization): terdiri dari PMN dan  beberapa eksudasi sel darah merah

Stage 3 / zona konsolidasi luas (gray hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak

Stage 4 / resolusi: daerah tempat terjadi resolusi dengan bakter yang mati, leukosit dan alveolar makrofag

Gambar: 2 a) pertahanan paru terhadap benda asing. b) faktor yang mempengaruhi pertahanan paru

2.5 Manifestasi Klinis

Onset gejala dari pneumonia dapat bersifat akut ataupun insidius. Pada tabel dibawah, ditunjukan frekuensi dari setiap gejala atau tanda dari pneumonia. Pada suatu studi, pada pasien lansia dengan pneumonia mengeluhkan gejala yang lebih sedikit dibandingkan pada pasien yang berusia muda. Pada pasien lansia, gejala yang timbul dapat berupa gejala klasik respiratorius yang distai dengan delirium, kebingungan kronis yang semakin memburuk dan terjatuh. Selain itu ditemukan angka insiden yang tinggi dari “silent aspiration”  pada pasien lansia dengan  pneumonia. Pneumonia dapat menjadi salah satu penyebab penurunan dari keadaan umum dan atau aktifitas secara insidius atau non-spesifik, misalnya, kebingungan ataupun ataupun jatuh pada pasien lansia. Infeksi, termasuk pneumonia, harus dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab dari penurunan atau melambatnya  penyembuhan dari suatu penyakit primer pada pasien lansia. 2,3,6

Diagnosis dari pneumonia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik yang memiliki sensitivitas berkisar 47%-69% dan spesifitas 58%-75%, maka dari itu diagnosis klinis dari pneumonia harus dikonfirmasikan dengan menggunakan foto

(9)

rontgen dada. Ronchi, wheezing, dan tanda-tanda dari konsolidasi (pekak saat dilakukan perkusi, suara nafas

 bronkial dan aegophoni) mungkin dapat ditemukan. Tanda yang paling sensitif yang dapat ditemukan pada pasien lansia adalah peningkatan respiratory rate  (yang dihitung dalam 1 menit) dengan respiratory rate > 28x/menit menandakan pneumonia. Foto rontgen dada dapat sulit dinilai pada pasien lansia, terutama bila foto dalam  posisi AP. Terdapat setidaknya 25% kemungkinan perbedaan hasil penilaian foto antara ahli radiologi dan dokter yang memeriksa. CT scan dada sangatlah akurat untuk menentukan diagnosis dari pneumonia, akan tetapi tidak dapat dilakukan pada seluruh pasien yang diduga mengalami pneumonia. 2,3,6

Tabel 2.2 2,3,6

Frekuensi dari Berbagai Tanda dan Gejala Dewasa dengan CAP

Symptoms and Signs %

Respiratory Signs

Cough 85

Dyspnea 75

Sputum production 73

Pleuritic chest pain 57

Hemoptysis 20 Non-Respiratory Signs Fatigue 90 Fever 82 Anorexia 73 Chills 72 Sweats 70 Headache 50 Myalgia+ 45  Nausea 40 Sore throat 29 Confusion 38 Vomiting 32 Diarrhea 30 Abdominal pain 29 Signs

Altered mental status* 13

Respiratory rate (≥30/min) 30

Heart rate (≥125/min) 25

Temperature 0.7

(10)

2.6 Diagnosis Klinis

Differential diagnosis termasuk infeksius dan non-infeksius seperti bronkitis, eksaserbasi akut dari bronkitis kronis, CHF, dan emboli paru. Anamnesa cukup  berperan penting dalam hal ini. Sebagai contoh, penyakit jantung yang sudah diketahui dapat diperkirakan sebagai edema paru yang semakin memburuk,  petunjuk epidemiologi juga dapat membantu seperti bepergian ke daerah endemis

suatu patogen dapat diwaspadai untuk penyakit tertentu yang spesifik.3,6

Sayangnya sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan fisik kurang ideal, dengan rata-rata 58% dan 67%. Akan tetapi foto rontgen dada seringkali diperlukan untuk membedakan pneumonia dengan penyakit lain.penemuan radiografi juga merupakan salah satu faktor untuk menentukan tingkat keparahan dari pneumonia. Pada kebanyakan pasien manifestasi klinis dan pemeriksaan radiologi cukup untuk memastikan diagnosis klinis pneumonia sebelum dilakukan  penanganan untuk pneumonia itu sendiri, dikarenakan diperlukan waktu yang

cukup lama untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. 3,6

Diagnosis pneumonia komunitas ditegakan jika ditemukan pada foto toraks terdapat infiltrat ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini: 9

- Batuk-batuk bertambah

- Perubahan karakteristik dahak/purulent - Suhu tubuh >= 37,5 / riwayat demam

- PF: terdapat ronki atau konsolidasi atau nafas bronkial - Leukosit >= 10.000 atau <4.500

Sementara diagnosis pneumonia nosokomial (HAP) menurut CDC-Atlanta dapat ditegakan bila: 10

- Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah diraway di rumah sakit dan menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit.

- Foto toraks terdapat infiltrt atau progresif,

- Ditambah 2 diantara kriteria berikut: - Suhu tubuh >38 - Sekret purulent - Leukositosis

(11)

Gambar : Foto serial Pneumonia 2.7 Diagnosis Etiologi

Etiologi dari pneumonia biasanya tidak dapat ditentukan hanya dari manifestasi klinis saja. Dokter perlu melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mendukung diagnosis etiologi ini. Keuntungan dari menentukan etiologi dari  pneumonia ini adalah untuk mempersempit penggunaan antibiotik sehingga

menurunkan kemungkinan untuk terjadinya resistensi.3,6

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah : 3,6 a) Pewarnaan Gram dan kultur sputum

Tujuan utama melakukan pewarnaan gram pada sputum adalah untuk memastikan apakah sampel tersebut cocok untuk dikultur atau tidak. Akan tetapi, pewarnaan gram mungkin juga dilakukan untuk mengidentifikasi  beberapa pathogen seperti S. pneumonia, S. aureus, dan bakteri gram

negatif. Dengan membedakan karakteristik dari masing-masing patogen. Sputum yang adekuat untuk dikultur harus memiliki >25 netrofil, dan <10 sel epitel squamosa per lapang pandang kecil. Sensitivitas dan spesifisitas dari pewarnaan gram dan kultur sputum sangat bervariasi. Walaupun pada kasus telah terbukti pneumonia pneumokokus bakteriemia, kemungkinan untuk mendapatkan kulur positif dari sputum adalah 50%.

(12)

Pada beberapa pasien, terutama lansia, tidak dapat menghasilkan sampel sputum yang cukup. Beberapa pasien mungkin sudah diberikan antibiotik yang dapat mengganggu hasil kultur saat spesimen diambil. Ketidakmampuan untuk memproduksi sputum mungkin disebabkan oleh karena dehidrasi, dan koreksi dari keadaan ini dapat menyebabkan meningkatnya produksi sputum dan semakin jelasnya gambaran infiltrate  pada foto rontgen. Pada pasien yang dirawat di ICU dan terintubasi, dapat dilakukan “deep suction aspirate atau “bronchoalveolar lavage sample” dan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk kultur apabila segera dikirimkan ke bagian mikrobiologi.

 b) Kultur darah

Keberhasilan dari kultur darah, walaupun sampel dikumpulkan sebelum terapi antibiotic diberikan, sangatlah rendah. Hanya 5-14% dari kultur darah pasien dengan Pneumonia komunitas yang menunjukan hasil positif, dan pathogen yang paling sering ditemukan adalah S. pneumonia. Dikarenakan terapi empiric yang direkomendasikan telah mencakup bakteri  pneumokokus, hasil positif dari kultur darah ini hanya memiliki kegunaan yang sedikit. Pada beberapa pasien dengan risiko tinggi seperti pasien dengan neutropenia akibat dari pneumonia, asplenia atau defisiensi komplemen, penyakit hati kronis atau pneumonia komunitas yang berat sebaiknya dilakukan kultur darah.

c) Tes antigen

Dua tes yang saat ini ada dapat mendeteksi antigen pneumokokus dan legionella dalam urin. Test untuk L. pneumophilla hanya dapat mendeteksi serogroup1 akan tetapi serogroup ini yang sering menyebabkan pneumonia komunitas. Sensitivitas dan spesifisitas dari tes antigen urin Legionella sangatlah tinggi, 90% dan 99%. Tes antigen urine pneumokokus juga cukup sensitive dan spesifik yaitu 80 dan 90%. Kedua test tersebut dapat mendeteksi antigen walaupun setelah dilakukannya pemberian terapi antibiotik.

(13)

d) PCR

Polymerase Chain Reaction (PCR), yang dimana memperbanyak DNA atau RNA mikroorganisme, dapat mendeteksi beberapa pathogen, termasuk L.  pneumophilla dan mycobacteria. Sebagai tambahan, multiplex PCR dapat mendeteksi asam nukleat dari Legionella spp., M. Pneumoniae, dan C.  pneumonia. Akan tetapi, penggunaan dari PCR sangatlah terbatas. pada  pasien dengan pneumonia pneumokokus, kenaikan jumlah bakteri lebih dari normal menandakan meningkatnya risiko dari syok septic, kebutuhan  bantuan ventilasi mekanis, dan kematian. Tes ini dapat juga dihunakan

untuk menentukan apakah pasien membutuhkan perawatan di ICU atau tidak.

e) Serologi

Peningkatan 4 kali lipat dari titer antibodi spesifik IgM antara sampel fase akut dan konvalsen pada umumnya dipertimbangkan sebagai diagnostik infeksi dengan patogen yang dipertanyakan. Dahulu kala, tes serologi digunakan untuk mengidentifikasi patogen atipikal dan organisme yang tidak biasa seperti Coxiella burnetii. Akan tetapi baru-baru ini tes serologi ini sudah tidak digunakan karena waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil akhir cukup lama.

2.8 Evaluasi

Tempat perawatan

Evaluasi dari pasien dengan pneumonia terdiri dari penentuan tingkat keparahan dari pneumonia tersebut dan menggunakan hal tersebut untuk memutuskan apakah pasien ini perlu dipindahkan ke rumah sakit (ke tempat  perawatan biasa ataupun ICU) atau tidak. Beberapa skoring untuk menentukan

derajat keparahan dari pneumonia telah dikembangkan.2,7 Tabel 2.3 2,7

*If 2 or more of the above are present, the pneumonia is severe and patient is likely to require admission to an ICU.

British Thoracic Society Rule for Severity of Community-Acquired

Pneumonia* 

(14)

Sistem skoring yang dikembangkan oleh Fine et al. Memprediksikan angka kematian akibat pneumonia tersebut. Sistem ini telah digunakan sebagai acuan untuk memutuskan, yang dimana pasien dengan kelas I-III dapat ditangani dasar ambulatory dan pada pasien dengan kelas IV-V harus segera dilakukan perawatan di rumah sakit. Akan tetapi pada kenyataannya sistem ini memiliki beberapa kealahan dan keputusan dari pemeriksa adalah elemen terpenting untuk menentukan bagaimana pasien dirawat. Sistem yang diterapkan oleh British Thoracic Society (BTS) merupakan sistem atau acuan termudah dan paling akurat untuk menentukan tingkat keparahan dari pneumonia. Sistem tersebut telah dimodifikasi menjadi CURB-65.

Tabel 2.4 2,7

CURB-65 Rule Confusion Urea>7 mm/L

Respiratory rate >30 breaths/min

Blood pressure: systolic <90 mmHg or diastolic <60 mmHg

Age>65 yr

*Assign one point for each when present * Mortality rate: 0 - 0.7% 1 - 3.2% 2 - 3% 3 - 17% 4 - 41.5% 5 - 57%.

Transfer dari Pusat Perawatan Kesehatan ke Rumah Sakit

Beberapa studi telah menyediakan data untuk membantu kita dalam menentukan keputusan pasien yang perlu dipindahkan dari pusat perawatan kesehatan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan dari pneumonia. Pada salah satu studi beberapa keadaan brikut ini menandakan adanya kegagalan dalam  penanganan dari pneumonia pada pusat perawatan kesehatan, yaitu : 2

(15)

  Nadi > 90x/menit

 Suhu > 38oC

 Respiratory rate > 30x/menit

 Dependen terhadap NGT

Apabila tidak ditemukan faktor risiko tersebut maka tingkat kegagalan adalah 11%, apabila ditemukan ≤ 2 faktor risiko maka tingkat kegagalan mencapai 23% dan apabila ≥ 3 faktor risiko maka tingkat kegagalan mencapai 59%. Pusat  perawatan kesehatan biasanya memiliki fasilitas yang memadai dan tenaga perawat yang cukup untuk menyediakan perawatan dan penanganan pada pasien yang sakit. Berbagai keputusan yang dibuat harus berdasarkan ilmu yang sudah ada.

Perawatan ICU

Sekitar 10% pasien yang dirawat dirumah sakit dengan pneumonia memerlukan perawatan yang intensif. Dalam subgrup ini angka kematian diperkirakan 3 kali lebih tinggi dibandingkan angka kematian pada pasien  pneumonia yang tidak memerlukan perawatan intensif. Selain itu pasien dengan  pneumonia yang dirawat di ICU biasanya memerlukan waktu perawatan yang lebih lama dibandingkan dengan pasien yang dirawat di bangsal biasa. Penentuan untuk memindahkan pasien ke ICU ditentukan berdasarkan tingkat keparahan dari  pneumonia dan sering juga berdasarkan kebutuhan akan mesin ventilator (>50%), monitoring hemodinamik (30%) dan syok (15%). Umur saja tidak dapat menjadi dasar untuk memutuskan pasien ini perlu dipindahkan ke ICU atau tidak. 2,7

2.9 Penatalaksanaan Antibiotik

Dikarenakan dokter sulit untuk mengetahui etiologi dari pneumonia sebelum didapatkan hasil kultur, maka digunakan terapi empirik yang dimana berfungsi mencakup seluruh patogen yang mungkin menyebabkan pneumonia. Pada seluruh kasus, antibiotik harus diberikan secepat mungkin. Untuk mencakup patogen atipikal  perlu ditambahkan makrolid atau dengan menggunakan fluoroquinolone yang dimana

menunjukan  penurunan angka kematian dibandingkan apabila menggunakan β-lactam. Namun pengetahuan tentang tingkat resistensi antibiotikdari tiap pathogen

(16)

yang menjadi penyebab pneumonia merupakan kunci untuk menghasilkan terapi empiris yang adekuat dan menurunkan kemungkinan kegagalan terapi. Contohnya, MRSA sensitive menggunakan kortimoksazol, karena itu, terapi empiris menggunakan quinolone tidak dapat menjadi pilihan. 8

Pengobatan pneumonia pada usia lanjut harus mempertimbangkan komorbiditas dan fungsional, situasi kognitif dan sosial serta faktor resiko individual yang memungkinkan terjadinya resisten antibiotic. Terdapat 2 pertanyaan utama untung menentukan terapi empiris pada lanjut usia; apakah ada resiko dari mikroorganisme yang tidak umum? Dan kedua: apakah ada kelemahan pada pasien? Bila ada, berada pada tingkat berapa kelemahannya tersebut? 8

Berikut adalah rangkuman terapi dari tiap kemungkinan keadaan pasien lanjut usia. 8

A. Pasien tanpa adanya kelemahan

- Pasien rawat jalan   Amoxicilin/clavulanat atau cefditoren + clarithomcicin atau moxifloxacin atau levofloxacin

- Terapi saat masuk  Amoxicilin/clavulanat atau ceftriaxone + azitromicin atau moxifloxacin atau levofloxacin

B. Pasien dengan kelemahan

- Kelemahan ringan  Amoxicilin/clavulanat atau ceftriaxone + azitromicin atau moxifloxacin atau levofloxacin

- Kelemahan sedang-berat   Ertapenem atau amoxicillin/clavulanat. Ertapenem meruaka terapi ideal untuk Home Hospitalization Unit

C. Uncommon pathogens

- Enterobakteria/anaerob   Ertapenem atau amoxicillin/clavulanat. Ertapenem memiliki sensitifitas yang baik untuk bakter anaerob, S.pneumoniae dan semua enterobakteria.

- Methicilin-resistant S.Aureus (MRSA)  Tambahkan linezolid

- P. aeruginosa   Piperacilin/tazobactam atau imipinem atau merupenem atau cefepime + levofloxacin atau ciprofloxacin atau tobramycin

(17)

Berikut ini adalah terapi empiris yang dilakukan pada pasien dengan pneumonia. 1,2,6

Pilihan Terapi Antibiotik (Pertama dan Kedua) untuk Pneumonia Bila Etiologi Belum Diketahui2,6

A. Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak menggunakan antibiotic lain dalam 3  bulan terakhir

1. Makrolida (eritromisin 200 mg tiap 6 jam selama 10 hari, clarithomicin 500 mg per oral 2x/hari selama 10 hari atau azitromicin 500 mg per oral 1x/hari lalu dilanjutkan 250 mg 1x/hari selama 4 hari.

2. Doksisiklin 100 mg 2x/hari selama 10 hari

Bila terjadi COPD atau pasien meminum antibiotic dalam 3 bulan terakhir,

1. Fluoroqinolone: Levofloxacin, 750 mg 1x/hari per oral atau IV (bila creatinin clearance <50 mL/min kurangi doisis jadi 250 mg 1x/hari. moxifloxacin, 400 mg 1x/hari per oral; gatifloxacin 400 mg 1x/hari per oral atau IV.

2. Kombinasi terapi beta-lactam dan makrolida

B. Pasien yang menjalani pengobatan rawat inap di rumah sakit

1. Fluoroqinolone: Levofloxacin, 750 mg 1x/hari per oral atau IV (bila creatinin clearance <50 mL/min kurangi doisis jadi 250 mg 1x/hari. moxifloxacin, 400 mg 1x/hari per oral; gatifloxacin 400 mg 1x/hari per oral atau IV.

2. Ceftriakson 1 g 1x/hari IV atau cefotaxime 2 g tiap 6 jam IV plus azitromicin 500 mg 1x/hari

C. Pasien yang menjalani pengobtan di ICU

1. Azitomicin 1 g IV dilanjutkan 500 mg IV 1x/hari plus cefriakson 1 g tiap 12 jam IV atau cefotaxime 2 g tiap 6 jam IV (berikan ceftazidime dan

aminoglikosida jika curiga infeksi Pseudomonas aeruginosa;

 piperacillin/tazobactam; imipenem, meropenem dan ciprofloxacin yang memiliki kemampuan melawan P. Aeruginosa)

2. Fluoroquinolone tidak direkomendasikan sebagai pilihan pertama karena minimnya data klinis di ICU

(18)

D. Pasien yang menjalani pengobatan di rumah

1. Fluoroquinolne yang dapat melawan S.pneumoniae: Levofloxacin 750 mg 1x/hari per oral atau Moxifloxacin 400 mg 1x/hari per oral atau Gatifloxacin 400 mg 1x/hari per oral

2. Ceftriaxon 500-1000 mg IM 1x/hari atau cefotaxime 500 mg IM tiap 12  jam plus makrolida

E. Pasien dengan pneuonia /pneumonitis aspirasi

1. Pneumonitis: ada riwayat atau mengaku terjadi aspirasi dari komponen lambung dengan opasitas dalam foto X-Ray

Tunggu 24 jam  –   jika masih terdapat gejala, berikan antibiotik sesuai dibawah ini.

2. Pneumonia:

a. Poor dental higiene dan curiga infeksi anaerob: metronidazole 500 mg tiap 12 jam per oral, plus satu diantara: levofloxacin 500 mg 1x/hari  per oral atau moxifloxacin 400 mg 1x/hari per oral atau gatifloxacin

400 mg 1x/hari per oral atau ceftriakson atau cefotaxime.

 b. Bila tidak dicurigai infeksi anaerob: sama seperti diiatas namun tidak meliputi antibiotik untuk anaerob.

Terdapat sebuah kekhawatiran yaitu penggunaan fluoroquinolon secara luas dapat menimbulkan keadaan resistensi terhadap patogen respiratoar. Untuk itu, CDC merekomendasikan penggunaan makrolid ataupun doksisiklin sebagai terapi lini pertama dalam penanganan pneumonia dan penggunaan fluoroquinolon dibatasi hanya pada pasien berusia dewasa yang mengalami kegagalan dalam  pengobatan dengan terapi lini pertama., timbul reaksi alergi terhadap obat lini  pertama dan pada mereka yang tercatat mengalami infeksi dengan pneumokokus yang resisten terhadap obat-obatan. CDC merekomendasikan terapi lini pertama untuk pasien dengan pneumonia yang sakit cukup berat dan dirawat di rumah sakit harus dengan antibiotik β-lactam secara parenteral, yaitu : cefuroxime, cefotaxime, ceftriaxone atau dengan kombinasi dari ampisilin dan sublactam dan makrolid seperti eritromisin,azithromisin, atau clarithromisin.2,6

(19)

Apabila etiologi sudah dapat ditegakan maka perlu dilakukan pemberian antibiotik yang sesuai dengan etiologi dari pneumonia tersebut, yaitu 6,7

a) S. pneumonia

Pada bakteri yang masih sensitif terhadap penisilin, obat pilihan utama adalah penisilin G ataupun amoxicillin. Selain itu dapat juga digunakan ceftriaxone. Apabila pasien tidak mengalami perbaikan dalam waktu 48  jam, perlu dipikirkan kemungkinan bakteri tersebut telah resisten, maka dari itu flouroquinolone untuk saluran nafas (gatofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin) adalah pilihan utama. Pada kasus yang dicurigai disertai dengan adanya meningitis, flouroquinolone tidak direkomendasikan karena golongan ini tidak dapat menembus Blood brain barrier sehingga pasien ini  perlu diberikan vancomycin. Apabila pasien tersebut alergi terhadap  penisilin, dapat diberikan flouroquinolone.6,7

 b) Chlamydophilla pneumonia

Tidak terdapat pengobatan khusus untuk bakteri ini. Tetrasiklin dapat diberikan sebagai pilihan utama. Golongan makrolid dan flouroquinolone  juga dapat diberikan.6,7

c) Staphylococcus aureus

Obat pilihan utama pada S. aureus yang masih sensitif terhadap methicilin adalah nafcillin atau oxacillin intravena dosisi tinggi. Untuk pneumonia MRSA, untuk menggunakan vancomycin.6,7

d) Pneumonia Aspirasi

Antibiotik yang efektif adalah klindamisin atau penisilin untuk pneumonia aspirasi karena, kedua obat ini dapat membunuh baik bakteri aerob dan anaerob. Apabila sudah terbentuk abses paru, klindamisin dipilih sebagai obat utama. Pada aspirasi nosokomial, penggunaan antibiotik berspektrum luas seperti cephalosporin generasi ke 3 bersamaan dengan metronidazole sangatlah direkomendasikan. Pilihan alternative lainnya adalah penisilin semisintetik diberikan bersamaan dengan lactamase inhibitor (ticarcillin-clavunalate atau piperacillin-tazobactam) atau carbapenem (imipenem or meropenem) dapat digunakan. Apabila diduga terdapat aspirasi benda

(20)

Perpindahan Penggunaan Obat Intravena Menjadi Obat Oral untuk Pengobatan Pneumonia

Hasil studi penelitian menunjukan bahwa perpindahan dari penggunaan antibiotik secara intravena menjadi oral dapat dilakukan apabila Pemeriksaan leukosit mulai kembali normal, Suhu tubuh normal dengan dua kali pengukuran dengan jarak 16 jam, dan terdapat perbaikan dari batuk dan sesak nafasnya. Golongan quinolon diserap sangat baik pada traktus gastrointestinal. Pasien dapat dipertimbangkan untuk pulang ke rumah setelah selesai rawat inap bila kondisinya secara klinis stabil hingga hari ke 3-4, namun pasien lanjut usia biasanya memiliki waktu yang lebih panjang untuk mencapai stabil 2-7 hari. 2,6,8

Kriteria Stabil Secara Klinis8 - Heart rate < 100 x/m - Respiratory Rate < 24 x/m - Suhu Axilla < 37,2 C - Tekanan sistolik > 90 mmHg - Saturasi oksigen > 90% - Kesadaran baik

- Toleransi per oral baik

Evaluasi Terapi

Yang paling sering digunakan untuk menilai hasil terapi adalah dengan  pengukuran tanda vital,dan pemeriksaan fisik yang berulang. Secara umum, akan sangat jelas terlihat saat terjadi kegagalan dari terapi yang diberikan. Pada pasien yang terjadi perbaikan klinis, hanya diperlukan melakukan foto rontgen dada ulang sekali lagi untuk melihat perbaikannya. Sangatlah penting mengetahui kapan kita harus melakukan foto rontgen ulang ini. Pada pasien dengan PPOK biasanya terjadi penundaan dalam penyembuhan dari pneumonia dalam gambaran radiologi. Akan tetapi, apabila dalam 12 minggu tidak terjadi penyembuhan, maka perlu dilakukan bronkosopi.pada 2% pasien dengan CAP, pneumonia adalah salah satu manifestasi dari kanker paru. Pada 50% pasien ini, diagnosa dapat diperkirakan secara radiografi disaat timbulnya gejala. CT scan dada sangat membantu dalam  penanganan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan. Dengan ini dapat

(21)

terdeteksi efusi pleura (kemungkinan besar empiema) dan kavitas dini sebelum dapat terlihat pada rongen thorax biasa. 2,6

2.10 Komplikasi 9

Terdapat beberapa komplikasi dari pneumonia, diantaranya: -Efusi pleura - Empiema - Abses Paru - Pneumotoraks - Gagal nafas - Sepsis 2.11 Prognosis

Prognosis dari pneumonia sendiri sangatlah tegantung dari umur pasien, komorbiditas, dan tempat perawatan pasien. Pada pasien dengan usia muda dan tanpa komorbiditas, akan cepat pulih dan sembuh total setelah 2 minggu. Pada pasien yang  berusia tua dengan kondisi komorbid akan beberapa minggu lebih lama dalam  penyembuhan.2

(22)

KESIMPULAN

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang cukup sering terjadi  pada pasien lansia karena berbagai macam faktor risiko yang dimiliki oleh pasien.

Pneumonia juga merupakan penyakit infeksi yang cukup serius dan memiliki anka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Oleh karena itu, keahlian untuk mendiagnosis dini dan tepat, identifikasi etiologi dan pemilihan antibiotika yang tepat sangatlah penting guna mencegah terjadinya kematian pada pasien.

Terdapat dua diagnosis yang perlu ditetapkan pada pasien dengan  pneumonia, yaitu diagnosis klinis dan diagnosis etiologi. Diagnosis klinis belum dapat ditegakan secara pasti hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dari itu diperlukan pemeriksaan radiologi, sebagai gold standart, untuk mendiagnosis  pneumonia ini. Sedangkan untuk diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan

laboratorium, terutama pewarnaan gram, kultur, dan uji sensitivitas, untuk menemukan mikroorganisme penyebab dari pneumonia tersebut sehingga dapat dipilih antibiotika yang tepat.

Identifikasi kuman penyebab membutuhkan pemeriksaan biakan kuman dimana biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Maka sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan terapi antibiotik secara empiris. Pemberian antibiotik secara empiris dapat berupa antibiotik golongan makrolid ataupun fluoroquinolone. Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian antibiotik secara empiris jika terdapat  perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka antibiotik diganti sesuai uji

(23)

DAFTAR PUSTAKA

1. A Sanityoso 2007, Pneumonia - Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Keempat, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

2. Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME et al 2009, Pneumonia - Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th  edition, New York: McGraw-Hill; 1531-45.

3. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL 2011, Pneumonia - Harrison Principle of Internal Medicine 18th edition, London: McGraw-Hill.

4.  Niederman MS, McCombs JS, Unger AN, et al 1998, The cost of treating community-acquired pneumonia. Clin Ther; 20:820 – 837

5. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, et al 2002, Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: age- and sex-related patterns of care and outcome in the United States: Am J Respir Crit Care Med; 165:766 – 772 6. Marie TJ, Yoshikawa TT 2003, Community-acquired Pneumonia in Elderly,

 Am J Respir Crit Care Med;31:1066-78

7. Southwick F 2007, Pulmonary Infection- Infcetious Disease a Clinical Short Course 2nded, London: McGraw-Hill.

8. Castillo J G, Sanchez Francisco J et al 2014, Guidelines for the management of community acquired pneumonia in the elderly paient, Madrid; 27 (1): 69-86 9. PDPI, 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas

di Indonesia.

10. PDPI, 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial di Indonesia.

Gambar

Foto  rontgen  dada  dapat  sulit  dinilai  pada  pasien  lansia,  terutama  bila  foto  dalam  posisi  AP
Gambar : Foto serial Pneumonia

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, tanggapan responden atas sikap dan mengenai unsur-unsur komunikasi pada pagelaran seni pertunjukan terhadap tingkat kepuasan wisatawan di

Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa dari kunjungan ke berbagai kecamatan yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Arau baik dari kawasan hulu mapun hilir

Aktivitas Isolat Bakteri Aerob dari Lumpur Aktif Pengolahan Limbah Cair dalam Mendegradasi Limbah Organik.. Institut

Data hasil observasi aktivitas guru pada siklus I diperoleh gambaran tentang kemampuan guru (peneliti) dalam melakukan proses pembelajaran tentang membaca teks percakapan

Setelah dilakukan penyuluhan dengan menggunakan media audiovisual jumlah pasien dalam kategori pengetahuan mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat sebanyak 12

Selain digunakan untuk sholat wajib,biasanya masyarakat kota lama kudus melakukan sholat-sholat sunnah yang lain (secara pribadi) pada kamar masing-masing. Misalnya

Adapun pembacaan grafik diatas yaitu empat bar pada angka 2 menunjukkan kapasitansi yang diperoleh dari hasil pengukuran IDCS pada udara dan crude oil pada IDCS

(2) Memiliki SBU yang masih berlaku dengan Klasifikasi Bangunan Sipil / Sub Klasifikasi Jasa Pelaksana Konstruksi Instalasi Pengolahan Air Minum dan Air Limbah Serta