• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI DALAM MEMPREDIKSI PERSEPSI KESIAPAN MENIKAH PADA EMERGING ADULTS DI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI DALAM MEMPREDIKSI PERSEPSI KESIAPAN MENIKAH PADA EMERGING ADULTS DI JAKARTA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI

DALAM MEMPREDIKSI PERSEPSI

KESIAPAN MENIKAH PADA EMERGING

ADULTS DI JAKARTA

Astried Trie Augustine

Pingkan C.B. Rumondor, M.Psi.

Universitas Bina Nusantara Kampus Kijang Jalan Kemanggisan Ilir No. 45 Kemanggisan – Palmerah

Jakarta Barat 11480

ABSTRACT

This study aims to look at the role of communication skills in predicting readiness for marriage among emerging adults in Jakarta. The research participants of this study amounted of 200 emerging adults, consisting of 58 men and 142 women (age: 22-29 years), residing in West Jakarta, East Jakarta, North Jakarta, Central Jakarta, and South Jakarta. The Test analysis in this study was performed by Simple Regression Testing assisted by SPSS version 22. Results of the study showed that the communication skills can positively predict perceived married readiness significant (Beta = 0.233). It means, that communication skills can predict perceived married readiness significantly in the positive direction. The higher the value of communication skills, the higher the value of perceived readiness for marriage. Based on this research the role of communication skills (X) in predicting perceived readiness for married (Y) came out with a value of 0.054.Contribution communication skills variable (X) is equal to 0.054 x 100% = 5.4%. This means a 5.4% contribution to the perceived marriage readiness variable explained by the variable communication skills (X). The remaining 94.6% was determined by other variables that are not explained in this study.

Keywords: Communication Skills, Perceived Readiness for Marriage, Emerging Adutls

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah pada emerging adults di Jakarta. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 200 responden emerging adults yang terdiri dari 58 laki-laki dan 142 perempuan (usia: 22– 29 tahun), bertempat tinggal di Jakarta barat, Jakarta timur, Jakarta utara, Jakarta pusat, dan Jakarta selatan. Uji analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan Uji Regresi Sederhana yang dibantu dengan program SPSS. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa keterampilan komunikasi dapat memprediksi persepsi kesiapan menikah secara signifikan (Beta = 0,233). Artinya, bahwa keterampilan komunikasi secara signifikan dalam arah positif. Jadi, semakin tinggi keterampilan komunikasi, maka semakin tinggi pula hasil atau nilai dari persepsi kesiapan menikah. Besarnya peranan keterampilan Komunikasi (X) terhadap persepsi kesiapan menikah (Y) adalah 0,054. Sumbangan variabel keterampilan komunikasi (x) adalah sebesar 0,054 x 100% = 5,4%. Artinya sumbangan 5,4% kepada variabel persepsi kesiapan menikah dijelaskan oleh variabel keterampilan komunikasi (X). Sisanya sebesar 94,6% ditentukan oleh variabel lainnya yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.

(2)

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Saat ini salah satu fenomena yang semakin sering muncul di Jakarta adalah perceraian. Fakta yang ada tidak semua pernikahan berjalan dengan lancar, tidak sedikit pernikahan berakhir di perceraian. Berdasarkan Pengadilan Agama Tinggi (PA) di wilayah Jakarta, pada tahun 2010 tercatat sebanyak 6.541 perceraian, sedangkan di tahun 2011 sebanyak 8.199 perceraian dan di tahun 2012 merekap sebanyak 8.784 perceraian (Edy, 2012). Jika ditelaah secara mendalam, penyebab perceraian semakin meningkat disebabkan oleh ketidaksiapan dalam menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan kurang pahamnya tentang hakikat tujuan pernikahan (Luthfan, 2014). Terkait dengan perceraian yang marak terjadi diketahui usia pertama individu yang melangsungkan pernikahan adalah perempuan berusia 22 tahun dan laki-laki berusia 25 tahun (Badan Pusat Statistik, 2012). Dari usia tersebut dapat dilihat bahwa usia pertama yang menikah berada pada masa perkembangan emerging

adults. Istilah emerging adults dicetuskan pertama kali oleh Arnett (2013), dimana masa emerging adults

adalah tahap perkembangan baru dalam kehidupan diantara remaja dan dewasa muda sehingga diberikan label “Emerging adulthood”.

Berdasarkan dari fenomena yang ada dapat dilihat bahwa pada usia tersebut, menurut Arnett dan Fishel (2013) perjalanan kehidupan pada emerging adults terutama pada aspek percintaan sebagian besar melalui 2 tahap yaitu exploring dan landing. Pada usia 22-25 tahun emerging adults memasuki tahap

exploring yaitu proses mencari cinta, mencintai, kehilangan cinta dan menemukan cinta yang baru,

namun pada tahap ini emerging adults sudah mencari sesuatu yang lebih intim dan abadi yaitu dengan mencari “belahan jiwa” seperti seseorang yang istimewa dan tepat bagi dirinya serta terlihat adanya kehidupan pernikahan yang membahagiakan. Kemudian pada usia 26-29 tahun, emerging adults memasuki tahap landing yang mana pada tahap ini kebanyakan emerging adults sudah membuat keputusan penting yang akan membentuk struktur kehidupan individu dewasa seperti menginginkan kehidupan pernikahan.

Sebelum emerging adults memasuki jenjang pernikahan, emerging adults telah memiliki persepsi tentang pernikahan dari sudut pandang dirinya.Salah satu faktor penting yang menyebabkan

emerging adults begitu mudah mempersepsikan dirinya untuk memutuskan menikah yaitu faktor

finansial, dimana merasa bahwa sudah dapat hidup mandiri dan kebutuhan ekonomi yang sudah dapat dipenuhi sendiri, sehingga menjadi alasan terbesar emerging adults memutuskan segera membina rumah tangga (Arnett dan Fishel, 2013). Selain itu, terdapat salah karakteristik emerging adults yang dapat mempengaruhi persepsi kesiapan menikah yaitu sense of possibilities. Pada masa ini, emerging adults percaya akan memiliki kesempatan yang baik dalam hidupnya dan percaya akan menemukan jodoh seumur hidupnya. Sehingga, dapat dilihat bahwa emerging adults memiliki pandangan yang optimis terhadap kehidupan pernikahan nantinya.

Pernikahan merupakan momen yang dinanti oleh setiap individu. Namun, perlu diketahui bahwa dalam kehidupan pernikahan berbeda dengan kehidupan ketika lajang, dimana seseorang tidak lagi bertanggung jawab hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk saling berbagi ikatan, tanggung jawab, dan bahkan identitas diri dengan pasangannya (Sarnoff & Sarnoff, 1989 dalam William, Sawyer & Wahlstrom 2006). Hal ini turut disampaikan oleh Wakil Menteri Agama Prof. Dr. H Nazaruddin Umar menyampaikan untuk mencegah peningkatan perceraian setiap pasangan harus memahami, bahwa menikah itu tidak mudah karena setiap pasangan membutuhkan kesiapan mental dan memiliki kematangan secara psikis (Nawawi, 2013). Artinya, resiko perceraian sebenarnya dapat dihindari, salah satu caranya yaitu dengan individu telah merasa siap untuk menjalani pernikahan.

Persepsi kesiapan menikah merupakan persepsi individu tentang seberapa siap individu tersebut untuk menjalani pernikahan dari segi emosional, seksual, finansial dan keseluruhan kesiapan menikah. Artinya, individu yang sudah lebih merasa siap untuk menikah maka individu tersebut tidak hanya sekedar merasa siap untuk menikah melainkan siap untuk memasuki kehidupan pernikahan (Holman dan Li, 1997) dan dapat terhindar dari faktor-faktor pemicu perceraian. Salah satu faktor pemicu perceraian yang tertinggi ialah ketidak harmonisan rumah tangga. Menurut Edy (2012), jumlah data kasus tertinggi penyebab pasangan bercerai salah satunya adalah faktor ketidakharmonisan yaitu kurangnya komunikasi, seperti suka mengkritik satu sama lain, tidak adanya keintiman dan mengabaikan masalah (Destriyana, 2014). Melalui penelitian Bornstein dan Bornstein (1986 dalam Alayi, Gatab & Khamen, 2011), menunjukkan bahwa pasangan meyakini masalah komunikasi dapat menyebabkan kekacauan dalam hubungan. Selain itu, berdasarkan hasil survei yang diperoleh dari masyarakat, masalah komunikasi merupakan bagian tersulit dalam suatu hubungan (Cunningham, Braiker, & Kelley, 1982 dalam Burleson

(3)

& Denton, 1997). Sedangkan, untuk tercapainya hubungan yang harmonis dengan pasangan, komunikasi merupakan bagian yang terpenting dalam suatu hubungan. Menurut Baugh dan Humphries (2010), komunikasi merupakan kunci kuat dalam menghasilkan hubungan yang harmonis. Seperti yang telah dijelaskan oleh penelitian Epstein, Warfel dan Johnson (2005), untuk menghasilkan hubungan yang harmonis dan menghasilkan hubungan romantis jangka panjang yang paling penting untuk dimiliki individu pada suatu hubungan adalah komunikasi. Sehingga pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada keterampilan komunikasi.

Keterampilan komunikasi adalah cara untuk menempuh dan mencapai tujuan dalam berkomunikasi seperti mendengarkan secara aktif, berbicara efektif, kemampuan dalam resolusi konflik, dan komunikasi yang mencakup perilaku verbal dan non-verbal (Westerop, 2002). Dengan meningkatkan keterampilan komunikasi akan menghasilkan komunikasi yang efektif dengan pasangan (Meeks, Hendrick & Hendrick, 1998). Selain itu, dengan meningkatkan keterampilan komunikasi pasangan yang belum menikah dapat meningkatkan stabilitas dan kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan nantinya (Epstein, Warfel & Johnson, 2005). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki keterampilan komunikasi yang baik dapat membuat individu tersebut akan lebih merasa siap untuk memasuki kehidupan pernikahan nantinya.

Menurut Epstein, et al (2013) manfaat individu memiliki keterampilan komunikasi yang baik terhadap pasangan adalah dapat menghasilkan keberhasilan hubungan romantis jangka panjang, kestabilan hubungan, kepuasan hubungan dan kebahagian sebelum menikah. Hal tersebut dijelaskan oleh Holman dan Li (1997) bahwa keterampilan komunikasi dapat menghasilkan kualitas komunikasi dengan pasangan dan cara berinteraksi dengan pasangan dalam menjalin suatu hubungan yang dimana hal tersebut dapat mempengaruhi persepsi individu akan kesiapan menikah. Holman dan Li (1997), melihat bahwa salah satu faktor penting untuk melanjutkan hubungan ke arah pernikahan adalah “interactional

processes” yaitu kualitas individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya untuk memahami

pengembangan hubungan dalam hal menuju pernikahan. Dalam penelitiannya, kualitas komunikasi dapat menghasilkan persetujuan bagi individu tersebut dengan pasangan untuk menuju pernikahan. Persetujuan tersebut dapat dicapai melalui berbicara dan saling berbagi kepada pasangan (Holman & Li, 1997). Oleh karena itu, individu yang dapat menghasilkan kualitas komunikasi yang baik maka akan semakin tinggi tingkat persetujuan, sehingga hal tersebut dapat membuat individu menjadi lebih merasa siap untuk menikah. Hal ini didukung oleh penelitian Meeks, Hendrick dan Hendrick (1998), bahwa memiliki keterampilan komunikasi sangat diperlukan dalam proses interaksi dengan pasangan, dimana hubungan tersebut dapat menghasilkan kualitas komunikasi yang efektif seperti menghasilkan pengungkapan yang afektif dan kemampuan pemecahan masalah yang efektif, sehingga dapat menjadi indikator keseluruhan yang kuat dari hubungan yang memuaskan karena berkontribusi terhadap interaksi yang lebih bermanfaat, sehingga dapat menghasilkan lebih besar resolusi konflik, tingkat keintiman yang lebih tinggi, kepuasan dengan pasangan dan kepuasan bagi individu itu sendiri. Dari berbagai penjelasan yang ada dapat disimpulkan bahwa keterampilan komunikasi yang dimiliki individu dan persepsi kesiapan menikah memiliki keterkaitan.

Berdasarkan penelitian Holman dan Li (1997), mengemukkan bahwa komunikasi secara signifikan berkaitan dengan kesiapan menikah, sehingga dengan memiliki komunikasi yang tinggi maka semakin tinggi tingkat persepsi individu akan kesiapan menikah. untuk itu dirasa perlu melakukan penelitian lebih jauh guna melihat bagaimana peranan keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah pada emerging adults di Jakarta.

KAJIAN PUSTAKA

Keterampilan komunikasi adalah kemampuan dalam hal mengetahui bagaimana cara mendengarkan,

berbagi pikiran dan perasaan dengan jujur serta cara bagaimana menangani konflik

(Epstein et al, 2013). Menurut Epstein et al (2013) keterampilan komunikasi terdiri dari tiga dimensi yaitu mengetahui bagaimana cara mendengarkan, berbagi pikiran dan perasaan dengan jujur dan cara bagaimana menangani konflik.

Sementara itu, persepsi kesiapan menikah merupakan persepsi individu tentang seberapa siap individu tersebut untuk menjalani pernikahan dari segi emosional, seksual, finansial dan keseluruhan kesiapan menikah (Holman & Li, 1997). Menurut Holman dan Li (1997) emotional readiness merupakan kesiapan individu secara emosional menuju pernikahan terkait dengan bagaimana individu tersebut merasa yakin akan pilihannya, pasangannya, keputusannya, dan apa yang akan dihadapi nantinya, sexual

readiness berhubungan dengan kesiapan individu mengenai aktivitas seksual dalam pernikahan nantinya,

(4)

mengungkapkan secara terbuka dalam membicarakan mengenai pandangan dalam hal seksual, financial

readiness berhubungan dengan kematangan individu dari segi finansial seperti telah memiliki penghasilan

yang cukup dalam menuju pernikahan, kestabilan dalam pekerjaan dan kesiapan dalam bertanggung jawab penuh pada masa depan nantinya dan Overall readiness mencakup kesiapan menikah secara emosional, keintiman seksual, keuangan, dan kesiapan menikah secara keseluruhan terkait dengan hubungan yang tengah dijalani dimana di dalamnya terdapat aspek tentang berkomunikasi dengan pasangan, penyelesaian masalah dengan pasangan, mempertahankan dan menjaga hubungan harmonis dengan pasangan, menerima karakter dari pasangan, dan kematangan dan keyakinan diri sendiri untuk menjalani peran di dalam pernikahan.

Selain itu, dijelaskan bahwa persepsi kesiapan menikah berdasarkan penelitian dan teori menunjukan kesiapan yang dirasakan individu untuk menikah merupakan indikator yang penting untuk bagian dari transisi yang dibangun menuju kehidupan pernikahan (Holman & Li, 1997). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi kesiapan menikah adalah, amount of support of significant

others for the relationship, dukungan orang lain yang signifikan terhadap hubungan yang sedang dijalani

dalam arti semakin banyak orang yang memberikan dukungan terhadap hubungannya dengan pasangannya maka akan semakin menimbulkan kesiapan menikah pada diri individu tersebut,

sociodemographic characteristics, berkaitan dengan usia individu, pekerjaan, tabungan atau pendapatan

(financial) dan hal-hal tersebut turut mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menikah. dan quality of

couple communication dan level of couple agreement, kualitas komunikasi dengan pasangan dan cara

berinteraksi dengan pasangan dalam menjalin suatu hubungan dengan pasangan berkaitan dengan level persetujuan dengan pasangan dimana hal tersebut menghasilkan bagaimana individu tersebut dapat melakukan persetujuan dengan pasangannya apakah sulit atau mudah. hal tersebut dapat menjadi faktor terakhir yang mempengaruhi kesiapan menikah dan menjadi faktor kuat untuk melanjutkan hubungan ke arah pernikahan (Holman & Li, 1997).

Responden dalam penelitian ini adalah emerging adults. Menurut Arnett (2013), emerging adults adalah tahap perkembangan baru dalam kehidupan antara remaja dan dewasa muda sehingga diberikan label “Emerging adulthood” yang rentang usianya adalah 18-29 tahun. Perjalanan kehidupan emerging

adults sebagian besar melalui tiga tahap yaitu, launching, exploring dan landing. Pada usia 18-21 tahun

memasuki tahap launching yang mana pada tahap ini emerging adults lebih menuju kemandirian seperti memilih perguruan tinggi, percintaan, ataupun tempat tinggal. Kemudian pada usia 22-25 tahun emerging

adults memasuki tahap exploring salah satunya ialah aspek percintaan, dalam kehidupan percintaan emerging adults melalui proses seperti mencari cinta, mencintai, kehilangan cinta dan menemukan cinta

yang baru namun pada tahap ini emerging adults sudah mencari sesuatu yang lebih intim dan abadi lebih mencari “belahan jiwa” seperti seseorang yang istimewa dan tepat bagi dirinya serta terlihat adanya kehidupan pernikahan yang membahagiakan, dan yang terakhir adalah memasuki tahap landing yaitu pada usia 26-29 tahun, pada tahap ini kebanyakkan emerging adults sudah membuat keputusan penting yang akan membentuk struktur kehidupan individu dewasa salah satunya ialah aspek percintaan seperti menginginkan kehidupan pernikahan dan kebanyakkan emerging adults melakukan hal ini dikarenakan mereka memiliki kekhawatiran belum memiliki pasangan sebelum memasuki batas usia 30 tahun.

Selain itu, menurut Arnett (dalam Arnett & Fishel, 2013) telah mengidentifikasi lima karakteristik yang menggambarkan tahap perkembangan baru dalam kehidupan di antara remaja dan dewasa muda yaitu, identity explorations ialah masa mengeksplorasi identitas seperti memutuskan apa yang mereka inginkan, pekerjaan, sekolah dan cinta. Instability masa ini ialah masa ketidakstabilan dimana ditandai dengan mengubah jurusan kuliah, pekerjaan, situasi hidup, dan percintaan dengan frekuensi yang tidak stabil. Self-focused, masa dimana emerging adults lebih memfokuskan diri sendiri terutama tentang cara untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan dan percintaan. Feeling In-Between, masa emerging adults tidak merasa seperti anak-anak atau remaja lagi sebaliknya, mereka merasa berada di-antara dan mereka memiliki perasaan yang membingungkan tentang tujuan mereka, dan yang terakhir adalah sense of Possibilities, masa emerging adults percaya akan memiliki kesempatan yang baik dalam hidupnya dan percaya akan menemukan jodohnya ataupun pekerjaan yang baik seumur hidupnya.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang telah dikemukakan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah keterampilan komunikasi berperan dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah pada emerging adults?

(5)

TUJUAN PENELITIAN

Secara teoritis, tujuan penelitian adalah mengetahui seberapa besar peranan keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah pada emerging adults di Jakarta.

METODE PENELITIAN

Responden dalam penelitian ini adalah 200 responden emerging adults pria atau wanita berusia 22 tahun sampai dengan 29 tahun yang berstatus bertunangan dan berdomisili di Jakarta. Dalam pengambilan sampel menggunakan jenis nonprobalility sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2013).

Kemudian dalam penelitian ini dua metode pengambilan sampel yang digunakan yaitu snowball

sampling dan purposive sampling. Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula

jumlahnya kecil kemudian membesar. Dalam penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dirasa belum lengkap maka dicari orang lain lagi yang ditunjukkan oleh orang sebelumnya untuk melengkapi (Sugiyono, 2013). Kemudian, purposive sampling yaitu metode penetapan responden untuk dijadikan sampel berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu (Siregar, 2013).

Desain penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif non-eksperimental. Metode ini disebut metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka dan analisis yang menggunakan statistik (Sugiyono, 2013). Dalam penelitian ini, desain penelitian yang digunakan bersifat penelitian kausal yaitu permasalahan hubungan berjenis sebab akibat yang menyatakan hubungan yang bersifat memengaruhi antara dua variabel atau lebih (Sugiyono, 2013).

Untuk metode pengumpulan data, peneliti menggunakan kuesioner yang merupakan teknik pengumpulan informasi yang memungkinkan analisis mempelajari sikap-sikap, keyakinan, perilaku, dan karakteristik yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2013). Kuesioner dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu kuesioner Epstein Love Competencies Inventories (ELCI) berfokus pada dimensi komunikasi berjumlah 10 item hasil adaptasi oleh Dr. Robert Epstein pada tahun 1996 hingga 2008. Total alat ukur ELCI berjumlah 70 item dan keseluruhan nilai alat ukur ELCI adalah r = 0.93 dam alat ukur persepsi kesiapan menikah berfokus pada dimensi readiness for marriage PREP-M berjumlah 4 item hasil adaptasi oleh Holman dan Li pada tahun 1997 dengan nilai r = 0,83.

Berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dilakukan perhitungan statistik melalui aplikasi

Statistical Package for the Sosial Sciences (SPSS) versi 22 yang nantinya akan diperoleh hasil untuk

dilakukan analisis lebih lanjut. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis regresi linear sederhana yang merupakan salah satu jenis uji statistika yang dipakai untuk melihat seberapa besar pengaruhnya antara variabel bebas (independent variable) mempengaruhi variabel terikat (dependent

variable) (Priyanto, 2013). Tujuan analisi regresi adalah untuk meramalkan atau memprediksi besaran

nilai dependent variabel yang dipengaruhi oleh independent variabel (Siregar, 2013).

HASIL DAN BAHASAN

Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan, hasil ini diperoleh berdasarkan kuesioner yang diberikan kepada 200 responden penelitian yang kemudian diolah dengan menggunakan perhitungan melalui program SPSS Statistic (Version 22). Berikut akan dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1. Data Responden Kategori Data Responden Persentase

Usia 22-25 tahun (73%)

Jenis Kelamin Perempuan (71%)

Status Bertunangan (100%)

Tempat Tinggal Jakarta Timur (34%)

Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel diatas, menunjukkan mayoritas responden dalam penelitian ini berdasarkan usia adalah 22 sampai dengan 25 tahun dengan persentase 73%. Kemudian, berdasarkan jenis kelamin, hasil menunjukkan bahwa mayoritas terbanyak berjenis kelamin perempuan

(6)

dengan persentase 71%. Selanjutnya, berdasarkan status diketahui keseluruhan responden berstatus tunangan 100% dan untuk wilayah tempat tinggal, menunjukkan mayoritas tertinggi pertama adalah di wilayah Jakarta Timur dengan persentase 34%.

Selanjutnya, dalam penelitian ini dilakukan uji hipotesis. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linear sederhana, bertujuan untuk menguji apakah keterampilan komunikasi berperan atau tidak berperan dalam memprediksi persespi kesiapan menikah pada emerging adults di Jakarta. Melalui hasil uji hipotesis yang dilakukan, diperoleh hasil yang akan dijelaskan pada tabel dibawah ini:

Tabel 2. Uji Regresi Linier Sederhana

Berdasarkan tabel diatas, keterampilan komunikasi memiliki koefisien Beta sebesar 0,233 > 0,05 dengan signifikansi sebesar 0,001 yang artinya bahwa keterampilan komunikasi dapat memprediksi persepsi kesiapan menikah secara signifikan dalam arah positif. Jadi, semakin tinggi keterampilan komunikasi, maka semakin tinggi pula hasil atau nilai dari persepsi kesiapan menikah.

Kemudian dari tabel koefisien di atas, bagian ini mengambarkan persamaan regresi untuk mengetahui angka konstan, dan uji hipotesis signifikansi koefisien regresi. Persamaan regresi adalah Y= a + bx. Oleh karena itu, persamaannya regresi sederhana menjadi Y= 10.364 + 0,134X. Artinya, menggambarkan bahwa persamaan regresi sederhana memiliki arti konstanta (10,364) menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan nilai dari variable keterampilan komunikasi (X), maka nilai persepsi kesiapan menikah (Y) adalah 10,364. Koefisien regresi sebesar 0,134 menyatakan bahwa setiap penambahan satu skor atau nilai keterampilan komunikasi akan memberikan peningkatan skor sebesar 0,134.

Tabel. 3 Model Summary

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa koefisien determinasi ditunjukkan pada kolom R

square. Besarnya peranan keterampilan komunikasi (X) dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah

(Y) adalah 0,054. Sumbangan variabel keterampilan komunikasi (X) adalah sebesar R2 x 100%, yaitu 0,054 x 100% = 5,4%. Artinya sumbangan 5,4% kepada variabel persepsi kesiapan menikah dijelaskan oleh variabel keterampilan komunikasi (X). Sisanya sebesar 94,6% ditentukan oleh variabel lainnya yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. Sehingga, R square yang diperoleh adalah 0,054 maka hubungan kedua variabel adalah lemah.

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized

Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 10.364 .866 11.965 .000 Keterampilan Komunikasi (X) .134 .040 .233 3.371 .001

a. Dependent Variable: Persepsi Kesiapan Menikah (Y)

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 .233a .054 .049 3.392

(7)

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisi regresi linear yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa F (1,198) = 11.363, p = 0,001 < 0,05, diketahui nilai signifikansi dari hasil analisis regresi linear sederhana adalah 0,001 < 0,05, maka Ho ditolak sehingga Ha diterima. Artinya keterampilan komunikasi memiliki peranan dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah pada emerging adults di Jakarta. Selain itu, diketahui bahwa keterampilan komunikasi dapat memprediksi persepsi kesiapan menikah secara positif (Beta = 0, 233 < 0,05). Artinya, semakin tinggi keterampilan komunikasi, maka semakin tinggi pula nilai dari persepsi kesiapan menikah. Kemudian besarnya kontribusi peranan keterampilan komunikasi dalam memprediksi persepsi kesiapan menikah diketahui R square sebesar 0,54. R square = 0,54 x 100% = 5,4% artinya variabel keterampilan komunikasi hanya menyumbang sebesar 5,4%. Sisanya sebesar 94,6% ditentukan oleh variabel lainnya yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.

Melalui penelitian ini yang telah dilakukan, terdapat sebuah saran teoritis yang dapat digunakan sebagai informasi tambahan bagi pembaca terkait dengan penelitian ini, yaitu bagi para emerging adults yang telah bertunangan disarankan untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan keterampilan komunikasi seperti bagaimana cara mendengarkan, berbagi pikiran dan perasaan serta menahan diri dari mengkritik. Sehingga, dengan mengembangkan dan meningkatkan ketrampilan komunikasi, individu dengan pasangan dapat mengarah kepada pembentukan dan pembinaan hubungan romantis jangka panjang yang lebih baik. Kemudian, melihat pentingnya keterampilan komunikasi dan persepsi kesiapan menikah bagi kesuksessan untuk melanjutkan hubungan ke arah pernikahan, serta ditemukannya bahwa keterampilan komunikasi dapat memprediksi persepsi kesiapan menikah secara signifikan dalam arah yang positif maka dapat dijadikan landasan bagi pembuatan materi dan dasar pelatihan dalam program pranikah yang diadakan oleh Kantor Urusan Agama, gereja-gereja ataupun penyelenggara bimbingan pranikah lainnya.

Selain itu, terdapat sebuah saran metodologis yang diharapkan dapat memberikan pencerahan terhadap penelitian selanjutnya, yaitu bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat memberikan pencerahan terhadap penelitian selanjutnya yaitu untuk penelitian selanjutnya diharapkan agar memperluas penelitian dengan menambah jumlah responden yang berada di Jakarta agar hasilnya lebih representatif, melakukan wawancara kepada responden, kemudian untuk meneliti lingkup yang lebih luas mengenai persepsi kesiapan menikah disarankan untuk mengikut sertakan dimensi significant others dan

sociodemographic, selanjutnya untuk meneliti keterampilan komunikasi alangkah baiknya turut

memperhatikan tipe kepribadian introvert dan ekstrovert, dan yang terakhir sebaiknya dalam penelitian selanjutnya yang ingin meneliti keterampilan komunikasi dan persepsi kesiapan menikah adalah pasangan bukan individu seperti pada penelitian ini agar dapat dibandingkan antara pria dan wanita.

(8)

REFERENSI

Alayi, Z., Gatab, A. T., & Khamen, Z. B. A. (2011). Relation Between CommunicationSkill and Marital-Adaptability Among University Students. Journal Procedia-Social and Behavioral Scieneces, 30, 1959-1963.

Arnett, J. J & Fishel. E. (2013). When Will My Grown-Up Kid Grow Up?: Loving And Understanding

Your Emerging adults. New York: Workman Publishing

Arnett, J. J. (2013). The Evidence for Generation We and Against Generation Me. (2013). Journal

Society for the Study of Emerging Adulthood, 1(1) 5-10. doi:10.1177/2167696812466842.

Badan Statistik Pusat. (2012). http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1 &daftar=1&id_subyek=40&notab=5. Diakses pada tanggal 12 April 2014

Baugh. E. J., & Humphries. D. (2001). Can we Talk? Improving Couples' Communication. Departement

of Family, Youth and Communication Sciences, FC2178. University of Florida

Burleson, B. B., & Denton, W.H. (1997). The Relationship Between Communication Skill and Marital Satisfaction: Some Moderating Effect. Journal of Marriage and The Family, 59 (4), 884-902. Destriyana. (2014). http://www.merdeka.com/gaya/6-hal-yang-memicu-keretakan-rumah-tangga.html.

Diakses pada tanggal 26 Februari 2014

Edy, W. C. (2012). Ada 745 Wanita DKI Jakarta Menjanda Tiap Tahunnya.

http://wartakota.tribunnews.com/2012/11/12/ada-745-wanita-dki-menjanda-tiap-bulan.Diakses pada tanggal 6 Mei 2014

Epstein, R.,Warfel, R., & Johnson. J. (2005). The Power of Relationship Skills: Intial Validation Of A Comprehensive New Test. Presented at the annual meeting of the Association for Psychological

Sciene. Los Angeles

Epstein, R., Warfel, R., Johnson, J., Smith, R., & Mckinney, R. (2013). Which Relationship Skills Count Most?. Journal of couple & Relationship Theraphy, (12), 297-313

Holman, T. B., & Li, B. D. (1997). Premarital Factor Influencing Perceived Readiness For Marriage.

Journal of Family Issues, 18 (2): 124-144

Lutfhan, U. R. (2014). http://www.arrahmah.com/news/2013/09/26/perceraian-kian-meroket.html. Diakses pada tanggal 20 September 2014

Meeks, B. S., Hendrick, S. S., & Hendrick, C. (1998). Communication, Love, and Relationship Satisfaction. Journal of Social and Personal Relationships, 15, 755-773

Nawawi. (2013). http://health.okezone.com/read/2013/12/23/482/916186/perceraian-tinggi-di-indonesia-apa-sebabnya. Diakses pada tanggal 16 Maret 2014

Priyatno, D. (2013). Mandiri Belajar Analisis Data dengan SPSS. Jakarta: Mediakom

Siregar, I. S. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Dilengkapi Dengan Perbandingan Perhitungan Manual & SPSS. Jakarta: Kencana

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung: CV. Alfabeta

Westerop, K. R. (2002). Bulding healty Couple Relationships: Do Communication Skills, Gender, Hope,

and Family Type Make A Difference?. Distertasi: Trinity Westen University

William, K. B., Sawyer, C. S., & Wahlstrom, C. M. (2006). Marriages, Families, & Intimate

(9)

RIWAYAT PENULIS

PERSONAL DETAILS

Full Name

: Astried Trie Augustine

Sex

: Female

Place, Date of Birth

: Jakarta, August 21

st

, 1985

Nationality

: Indonesian

Marital Status

: Married

Religion

: Christian

Address : Jalan Brawijaya 12 no 1 rt 05/01. Apartement Brawijaya

Mobile : 081210672700

Phone

: -

Email

: astried.augustine@yahoo.com

EDUCATIONAL BACKGROUND

1991 – 1997

: SDN 003 State Elementary School, Depok, Indonesia

1997 – 2000

: SMP 85 State Junior High School, East Jakarta, Indonesia

2000 – 2003

: SMA 46 State Senior High School, East Jakarta, Indonesia

2010 – 2014

: Binus University Major of Faculty of Psychology

ORGANIZATIONAL EXPERIENCE

1997 – 2000

: Paduan Suara Istana Negara, State Junior High School East Jakarta,

Indonesia

2000- 2003

: Pasukkan Pengibar Bendera (PASKIBRA), State Senior High School

East Jakarta, Indonesia

WORKING EXPERIENCE

Internship as assistant Psychologist at Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta for

Period 23 February – 24 April 2014.

SKILLS

Computer Ability

Microsoft Office (Microsoft Word, Microsoft Excel, Microsoft Power Point)

Languages

Gambar

Tabel 2.  Uji Regresi Linier Sederhana

Referensi

Dokumen terkait

Perhitungan dilakukan sebanyak 9 kali untuk setiap variasi yang terjadi pada setiap sambungan pipa, sehingga akhirnya didapatkan nilai head losses total pada instalasi sistem

1) Membagi siswa dalam 2 kelompok setiap kelompok beranggotakan 12 peserta didik. Pembagian kelompok ditentukan dari hasil lari kemampuan siklus I dengan menggunakan

Sebuah penelitian observasi klinik telah dilakukan di Klinik Saintifikasi Jamu “Hortus Medicus” Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu

SOSIAL EMOSIONAL 2.8 Memiliki perilaku yg mencerminkan sikap mandiri dalam melakukan kegiatannya Anak masih di bimbing dalam melaksanakan kegiatannya Anak masih di

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengadakan penelitian yang bertujuan untuk menguji dan menganalisis apakah terdapat pengaruh ekuitas merek dan iklan

Praktik otonomi akademik PTNBH pada Universitas Airlangga (Unair) Ditetapkan menjadi Badan Hukum Milik Negara (PTNBH) berdasarkan PP No.30 Tahun 2006 merupakan

Pada buku pedoman ini dijelaskan cara pengutipan berdasarkan format APA (American Psychological Association). Pada format APA, kutipan langsung ditulis dengan menyebutkan

The regression model indicated that among deceased people living with HIV, female, unmarried status and severe anemia were associated with additional 5.6 (p=0.002), 17 (p=0.000) and