• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yanti. STULOS 12/2 (September 2013) Instructional Design, University of Groningen, The Netherlands,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Yanti. STULOS 12/2 (September 2013) Instructional Design, University of Groningen, The Netherlands,"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI ANTARA KOMUNITAS PEMBELAJARAN

PROFESIONAL (PLC), KEPEMIMPINAN

INSTRUKSIONAL (IL) DAN PRESTASI SISWA (SA):

STUDI KASUS NILAI MATEMATIKA SISWA KELAS 8

DI INDONESIA

1

Yanti

Abstrak: Usaha peningkatan kinerja sekolah secara cepat diukur dari

kemampuan dalam menghasilkan siswa-siswi berprestasi. Usaha ini tidak terlepas dari berkembangnya apa yang disebut dengan PLC (Professional Learning Communities) atau Komunitas Pembelajaran Profesiona, beberapa dekade terakhir. Wacana tersebut berfungsi mereformasi peran tim akademisi dalam mendukung usaha tersebut. Dalam kerangka institusi, usaha ini tidak terlepas dari adanya pengaruh dari peran Kepemimpinan Instruksional atau Instructional Leadership (IL). bagaimana hubungan antara PLC yang dilaksanakan dalam suatu institusi pendidikan dengan gaya IL yang diterapkannya, kemudian dapat mempengaruhi prestasi siswa (Student Achievement – SA) yang dihasilkannya?

Kata Kunci: PLC (Professional Learning Communities – Komunitas Pembelajaran

Profesional), IL (Instructional Leadership – Kepemimpinan Instruksional), SA (Student Achievement – Prestasi Siswa).

LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam beberapa dekade terakhir, pertanyaan mengenai ‘Bagaimana cara meningkatkan prestasi siswa di sekolah?’ telah menjadi bahan diskusi dan penelitian utama dalam bidang pendidikan dengan melibatkan berbagai pendekatan yang bersifat multidimensional. Hal ini tentunya

1

Tulisan ini diambil dari Thesis program M.Sc. in Educational Effectiveness and Instructional Design, University of Groningen, The Netherlands, 2010-2011.

(2)

menjadi salah satu bahasan utama dalam rangka menuju reformasi di bidang pendidikan, salah satu hasilnya adalah Professional Learning

Communities (PLC) atau yang dapat diterjemahkan secara bebas sebagai

Komunitas Pembelajaran Profesional. Komunitas ini ditujukan untuk membangun terjalinnya suatu usaha di antara tim pendidik yang bersifat individu maupun kolektif, menuju ke tingkat profesionalisme yang lebih tinggi serta mengembangkan pengaruhnya ke seluruh entitas pendidikan (sekolah) dengan tujuan akhir terciptanya kegiatan pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik/siswa.

Dengan terlibatnya para pendidik dalam aktivitas PLC maka akan mengarahkan pada terwujudnya suatu pemberdayaan bagi seluruh elemen dalam suatu entitas pendidikan, terutama para tim pendidik, dalam menciptakan proses pembelajaran yang berkesinambungan.2 Oleh karena itu, di berbagai negara PLC telah menjadi semakin populer baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah. Seiring dengan pertanyaan awal mengenai cara meningkatkan prestasi siswa dan bagaimana meningkatkan kinerja institusi pendidikan dalam menjawab tantangan globalisasi dan perubahan-perubahan yang ada, yang notabene berpengaruh terhadap proses pembelajaran, PLC mungkin dapat menjadi jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut.

Suatu perubahan dalam institusi tidak dapat dipisahkan dari faktor kepemimpinan, oleh karena itu keberadaan entitas PLC dalam suatu institusi pendidikan tidak dapat mengabaikan bagaimana peran kepemimpinan berjalan dalam insitusi tersebut. Secara khusus jenis kepemimpinan yang menonjol dalam era akuntabilitas dan tanggung jawab ini adalah Kepemimpinan Instruksional3 (Instructional Leadership

- IL). Berbagai usaha dan pemikiran telah dikerahkan dalam rangka

2Stoll, L. et al., “Professional Learning Communities: A Review of The Literature.” Journal of Educational Change 7 (2006): 221.

3Graczewski, C. et al., “Instructional Leadership in Practice: What Does It Look Like, and What Influence Does It Have?” Journal of Education for Students Placed at Risk (JESPAR) 14/1 (2009): 73.

(3)

menentukan jenis kepemimpinan yang harus dimiliki oleh pemimpin institusi pendidikan yang dinilai akan mampu berpengaruh terhadap peningkatan prestasi siswanya, baik dari segi pengetahuan maupun pengaruhnya terhadap pengajaran, dimana hal ini dilihat sebagai determinan penting dalam peningkatan prestasi siswa.4

Di tengah berkembangnya konseptualisasi mengenai kepemimpinan dalam pendidikan, muncul sebuah hipotesa bahwa IL dapat menjadi strategi kunci untuk meningkatkan prestasi siswa. Hal ini kemudian mengarah pada pertanyaan, bagaimana praktik jenis kepemimpinan ini mampu mempengaruhi kualitas praktik pembelajaran dan sejauh apa pengaruhnya?

Berdasarkan kedua penjabaran poin di atas, relasi antara PLC dan IL menjadi hal penting untuk ditemukan, serta bagaimana mereka saling mempengaruhi. Lebih lanjut, bagaimana relasi antar kedua variabel tersebut mempengaruhi prestasi siswa (Student Achievement – SA) akan menjadi tujuan akhir dari penelitian ini.

Rumusan Masalah

Penjabaran dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan ke dalam tiga pertanyaan besar yang akan dijawab melalui penelitian ini, dengan menggunakan data guru, siswa dan kepala sekolah menengah di Indonesia.

1. Sejauh apa keberadaan PLC dan IL nampak dalam tingkat pendidikan menengah di Indonesia?

2. Apakah bentuk hubungan/relasi antara PLC dan IL? 3. Apakah PLC dan IL mempengaruhi prestasi siswa (SA)?

4

Elmore, R. F. Building a New Structure for School Leadership (Washington, DC: Albert Shanker Institute, 2000).

(4)

Signifikansi Penelitian

Signifikansi penelitian ini adalah untuk meneliti rumusan masalah di atas, diterapkan dalam konteks sistem pendidikan Indonesia. Berdasarkan data TIMSS 2007, siswa Indonesia memiliki tingkat nilai Matematika yang cukup rendah bila dibandingkan dengan tingkat nilai siswa-siswi dari negara lain (dalam perbandingan Nilai Matematika International). Dalam hal ini, sangat mungkin bahwa PLC dan IL dapat menjadi acuan strategi yang tepat untuk menolong guru-guru di Indonesia dalam mengatasi permasalahan kualitas akademik tersebut, dengan spesifik mencari cara untuk meningkatkan prestasi siswa, melalui peningkatan kualitas pengajaran yang niscaya akan mampu memajukan kualitas pendidikan Indonesia.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan metode perhitungan statistik SPSS (Statistical

Package for Social Science). Data yang digunakan adalah data sekunder

yang diambil dari data temuan sebuah badan internasional yang secara rutin mengumpulkan survey untuk penelitian pendidikan (TIMMS -

Trends in International Mathematics and Science Study). Data diambil

dari TIMMS 2007, untuk nilai Matematika tingkat SMP, kelas 2 (atau kelas 8) di Indonesia. Penelitian ini bersifat korelasional dalam artian yang diteliti adalah hubungan antar variabel, tanpa adanya usaha untuk

(5)

memanipulasi variabel-variabel tersebut5. Variabel independen adalah PLC dan IL, variable dependen adalah SA.

Sampel diambil dengan menggunakan teknik acak berstrata, yang terdiri dari 149 sekolah menengah pertama di Indonesia yang mencakup seluruh wilayah (kecuali Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam) dengan partisipan: 149 guru, 149 kepala sekolah dan 4.203 siswa dari seluruh Indonesia6. Setiap guru dan siswa mewakili setiap sekolah yang menjadi sampel, oleh karena itu sampel yang digunakan dinilai mewakili seluruh populasi. Instrumen penelitian menggunakan beberapa kuesioner berbeda yang disebarkan pada tiga kelompok sampel tadi (guru, kepala sekolah dan siswa) dan nilai Matematika para siswa.

Data analisis dilakukan dengan beberapa variasi teknik analisa data dalam statistik dengan menggunakan SPSS, antara lain: Analisa Deskriptif, Analisa Reliabilitas, Analisa Korelasi, T-test, Anova dan Analisa Regresi yang berguna untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen.

Kerangka Teori

Komunitas Pembelajaran Profesional (PLC)

Langkah pertama untuk memahami apa itu PLC adalah dengan menerima fakta bahwa definisinya bersifat kontekstual, tidak universal dan didasarkan pada interpretasi yang bergantung pada konteks pendidikan tertentu.7 Konsensus internasional merumuskan definisinya secara global, PLC diidentifikasikan sebagai kelompok pengajar yang saling berbagi dan memeriksa praktik pengajaran mereka satu sama lain secara kritis, dimana di dalamnya terdapat unsur kontinuitas, refleksi, kolaborasi,

5

Fraenkel, J. R. & Wallen, N. E., How to Design and Evaluate Research in Education, 7th ed. (Singapore: McGraw-Hill International, 2010), 328.

6

Olson, J. F. et al. (eds.), TIMSS 2007 Technical Report (Lynch School of Education, Boston College: TIMSS and PIRLS International Study Center, 2008), 393.

7

Stoll, L. et al., “Professional Learning Communities: A Review of The Literature.” Journal of Educational Change 7 (2006): 222-223.

(6)

keterbukaan, berorientasi pada terciptanya pembelajaran dan kemajuan atau adanya peningkatan/pertumbuhan,8 serta beraktivitas bersama secara kolektif.9 Secara ringkas, Hord merumuskan bahwa PLC merupakan komunitas dimana di dalamnya para pengajar di sekolah dan jajaran administrasi secara berkesinambungan, mencari dan saling membagikan pembelajaran serta menindaklanjutinya. Tujuan akhir dari aktivitas ini adalah untuk meningkatkan efektivitas mereka secara professional bagi keuntungan siswa, maka dari itu aktivitas ini juga dipahami sebagai komunitas yang mengutamakan peninjauan yang terus menerus dan memprioritaskan kemajuan10.

Penelitian yang dilakukan oleh Lomos, Hofman dan Bosker merumuskan bahwa PLC didefinisikan oleh 5 (lima) karakteristik yang menjadi ciri utamanya: dialog yang reflektif, deprivatisasi dari praktek pengajaran, aktivitas yang kolaboratif, saling berbagi nilai dan prinsip, serta berfokus pada terciptanya proses pembelajaran siswa.11

Dialog yang reflektif dimengerti sebagai dialog yang terjalin antara

tim akademisi dimana pembahasan yang dilakukan di dalamnya mencakup isu-isu yang spesifik mengenai praktek pengajaran.

Deprivatisasi dari praktek pengajaran lebih mengarah kepada

seberapa jauh keterbukaan masing-masing tim akademisi untuk membiarkan praktek pengajarannya disupervisi dan dinilai oleh sesama rekan dalam tim, dengan adanya umpan balik dari tindakan supervisi atau pengawasan tadi. Aktivitas yang kolaboratif, menuju kepada kemungkinan adanya kolaborasi dalam proses pengajaran, sebagai contoh misalnya tim

8

Mitchel, C. & Sackney, L., Profound Improvement: Building Capacity for a Learning Community (Lisse, The Netherlands: Swets & Zeitlinger, 2000).

9King, M. B. & Newmann, F. M., “Building School Capacity through Professional Development: Conceptual and Empirical Considerations.” International Journal of Educational Management 15/2 (2001): 86.

10

Astuto, T. A. et al., Challenges to Dominant Assumptions Controlling Educational Reform (Andover, MA: Regional Laboratory for the Educational Improvement of the Northeast and Islands, 1993).

11Lomos, C. et al., “The Relationship between Departments as Professional Communities and Student Achievement in Secondary Schools.” Teaching and Teacher Education 27 (2011) a: 723.

(7)

akademisi dikelompokkan ke dalam spesialisasi masing-masing sehingga subjek pengajaran tidak hanya dikuasai pengajar tertentu tapi memungkinkan adanya kolaborasi beberapa pengajar dalam tiap subjek.

Saling berbagi nilai dan prinsip terwujud dalam hal terciptanya

konsensus antara tim akademisi dan jajaran manajemen yang memiliki tujuan yang sama, dimana nilai dan tujuan ini tercermin dalam kegiatan dan tindakan yang diambil sehari-hari baik oleh tim akademisi maupun jajaran manajemen.

Fokus pada terciptanya proses pembelajaran bagi siswa, proses

pembelajaran difokuskan pada terciptanya proses yang tertuju pada peserta didik/siswa, dalam artian peserta didik diberikan kesempatan untuk menikmati proses pembelajaran yang memungkinkan mereka mencapai prestasi terbaik mereka.

Louise Stoll et al. dalam karyanya Professional Learning

Communities: A Review of The Literature12 memberikan konsep teori PLC yang efektif yang memiliki kapasitas untuk mempromosikan dan memelihara keberlangsunan suatu proses pembelajaran yang melibatkan semua pihak terkait dalam komunitas suatu institusi pendidikan, dengan tujuan kolektif meningkatkan proses pembelajaran siswa.

Peran PLC dalam meningkatkan prestasi siswa tidak dapat diwujudkan tanpa adanya peran kepemimpinan yang kuat dalam suatu institusi pendidikan, dalam hal ini sekolah. PLC sebagai bagian dari manajemen sekolah dikendalikan dan didorong oleh fungsi seorang pemimpin sekolah dalam hal Kepemimpinan Instruksional (IL). Pada bagian berikutnya, konsep IL akan dibahas bersama-sama dengan faktor pendukungnya.

Kepemimpinan Instruksional (IL)

Istilah IL mulai populer pada era 1980an, yang dibahas dalam penelitian-penelitian mengenai sekolah yang efektif. Dalam periode

12Stoll, L. et al., “Professional Learning Communities: A Review of The Literature.” Journal of Educational Change 7 (2006): 223.

(8)

tersebut, IL didefinisikan sebagai pola kepemimpinan yang kuat, langsung, berfokus pada kurikulum dan pengajaran, menjadi karakteristik dari sekolah dasar yang dianggap efektif dalam mengajar anak-anak kota yang berasal dari komunitas kalangan bawah.13 Pendapat ini didukung oleh fakta bahwa penelitian sekolah yang efektif, yang berfokus pada sekolah-sekolah miskin perkotaan yang kekurangan perubahan substansial, justru sangat diperlukan. Pada waktu itu pemimpin instruksional digambarkan dengan karakteristik yang kuat, tujuan direktif, berorientasi dan terfokus pada peningkatan hasil akademik mahasiswa serta pembangun budaya.

Kepemimpinan disini hanya dilihat sebagai pemegang peran tunggal yaitu sebagai Kepala Sekolah. IL menjadi kombinasi keahlian dan karisma seorang pemimpin di mana mereka dipandang sebagai pengendali kualitas yang menuntut ekspektasi dan standar yang tinggi terhadap siswa maupun guru14.

IL dewasa ini menjadi lebih dilihat sebagai konteks kepemimpinan yang multi dimensional, melibatkan berbagai praktik kepemimpinan. IL merupakan salah satu dari 6 (enam) tipe kepemimpinan pendidikan yang diangkat oleh Moos dan Huber dalam karya Townsend.15 Konsep kepemimpinan ini menekankan pada aspek tindakan dan keputusan yang diambil seorang pemimpin sekolah yang mencakup hal-hal kemajuan belajar siswa, kegiatan pengelolaan dan kepemimpinan yang berorientasi pada aplikasi yang relevan berkaitan dengan penyediaan sumber daya untuk pengajaran, kesepakatan bersama tentang tujuan, mempromosikan

13

Edmonds, 1979; Leithwood & Montgomery, 1982 dalam Hallinger, P., “Leading Educational Change: Reflections on The Practice of Instructional and Transformational Leadership.” Cambridge Journal of Education 33/3 (2003): 329.

14Hallinger, P., “Leading Educational Change: Reflections on The Practice of Instructional and Transformational Leadership.” Cambridge Journal of Education 33/3 (2003): 331-332.

15Moos, L. & Huber, S., “School Leadership, School Effectiveness and School Improvement: Democratic and Integrative Leadership.” dalam T. Townsend (ed.), International Handbook of School Effectiveness and Improvement, part two (Dordrecht, The Netherlands: Springer Publishers, 2007).

(9)

terciptanya kerjasama antara staf dan evaluasinya serta konseling dalam tim pengajar.

Ciri khas tipe kepemimpinan IL adalah adanya efisiensi dalam praktik kepemimpinan dalam menyelaraskan tugas-tugas pendidikan dan administrasi. Dari sudut pandang ini, seorang pemimpin memiliki setidaknya empat peran. Pertama, seorang pemimpin sekolah harus mampu mengatur alokasi waktu untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab: mengajar, kegiatan manajerial, tugas administrasi, menjaga relasi dengan orang tua serta waktu untuk pengembangan diri secara profesional. Dengan demikian, seorang pemimpin sekolah juga mengambil peran sebagai pengontrol proses pembelajaran, dengan mengalokasikan waktu untuk mengawasi kemajuan siswa dan memulai program konsultasi individual. Selain itu, berdasarkan hasil pengawasan, pemimpin kemudian menetapkan prioritas pengajaran, mengusulkan modifikasi terhadap kurikulum dan metode pengajaran (apabila diperlukan), serta mengadaptasikan metode pengajaran dan pengelompokan siswa berdasarkan tingkat kemampuan mereka16.

Kedua, tipe pemimpin ini memiliki peran sebagai penasihat dan pengontrol kualitas tim pengajar, dimana peran ini dijalankan dengan cara supervisi terhadap tim pengajar. Dalam konteks kelas, seorang pemimpin sekolah juga harus memelihara dan menciptakan hubungan yang kondusif dengan tim pengajar, memberikan dukungan, penghargaan, nasihat, dan menawarkan umpan balik kepada mereka17. Selain itu, sejalan dengan tindakan pengawasan terhadap tim pengajar, seorang pemimpin harus mendorong mereka mengeksplorasi bakat mereka melalui pemantauan yang bersifat rutin terhadap hasil kerja mereka, membantu untuk meningkatkan keahlian profesional mereka. Pengawasan terhadap tim pengajar merupakan aspek penting dari IL yang meliputi pembimbingan dan konseling bagi pengajar, membahas kelebihan dan kekurangan,

16

Scheerens, J. & Bosker, R. J., The Foundations of Educational Effectiveness (UK: British Library, Pergamon, 1997).

17 Ibid.

(10)

memberikan saran untuk mengoptimalkan pengajaran dalam kelas, menemukan contoh nyata pengajar yang sukses yang dijadikan teladan bagi seluruh tim dan mendorong pengembangan lebih lanjut bagi seluruh pengajar. Sebagai bagian dari tugas pengajaran, seorang pemimpin sekolah juga dapat memodifikasi strategi mengajar, mendorong para pengajar dengan memberikan umpan balik dan pengakuan serta memelihara tingkat komunikasi yang intens dengan tim.

Peran ketiga seorang pemimpin dalam perspektif IL adalah sebagai fasilitator dari tim yang berorientasi pada pekerjaan.18 Pemimpin sekolah akan mendorong staf untuk bekerja sebagai sebuah tim, mengusulkan penetapan pembagian tugas yang jelas di antara staf dengan mengikuti pembagian keahlian khusus dalam tim pengajar, memantau orientasi umum dalam area berbagai subyek serta mengontrol secara berkesinambungan pencapaian tujuan pendidikan yang diraih dari waktu ke waktu. Lebih lanjut, seorang pemimpin harus terbuka terhadap inisiatif peningkatan kualitas pendidikan dan mengambil tindakan yang tepat ketika aspek-aspek tertentu dalam pendidikan dan organisasi tidak terpenuhi sesuai dengan yang direncanakan.

Yang terakhir adalah peran inisiator dan fasilitator dalam program profesionalisasi staf.19 Pemimpin sekolah menekankan pentingnya pengembangan tim pengajar dalam hal pendidikan lanjut; seorang pemimpin sekolah mencoba untuk menambah pengetahuannya dengan cara mengikuti program-program seperti kursus dan penelitian ilmiah, kemudian juga mendorong ditempuhnya pendidikan lanjut bagi para pengajar dalam kerangka, cara yang selektif serta memiliki target, mengatur kebijakan yang eksplisit bagi pendidikan lanjutan untuk pengajar dan mendorong mereka untuk ambil bagian dalam program yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme mereka sendiri.

Selain itu, aspek yang terkait adalah bahwa konsep IL berfokus juga

18 Ibid. 19

(11)

pada aspek-aspek tindakan kepemimpinan sekolah yang memberikan perhatian terhadap kemajuan belajar siswa. Kegiatan-kegiatan tersebut berorientasi untuk mendukung pembelajaran siswa dengan fokus pada aplikasi yang sesuai dengan sumber daya untuk mengajar, kesepakatan bersama tentang tujuan, promosi hubungan kerjasama antara staf dan evaluasinya serta konseling antara tim pengajar selama proses pengajaran melalui pengamatan kelas, umpan balik terstruktur dan pembinaan (coaching).20

Leithwood kemudian memperkenalkan suatu model IL yang telah teruji, yang dibangun bersama rekannya Hallinger dan tim. Model ini menyatakan bahwa IL mengandung setidaknya tiga kategori besar: mendefinisikan dan merumuskan misi sekolah, mengatur praktik program pengajaran dan merencanakan serta menciptakan iklim kondusif bagi proses pembelajaran dalam sekolah. 21 Untuk menyimpulkan, IL didefinisikan sebagai jenis kepemimpinan yang berfokus terutama pada peran kepala sekolah dalam melakukan tugas koordinasi, pengendalian, pengawasan dan mengembangkan kurikulum serta pengajaran dalam sekolah.22

Berdasarkan berbagai peran IL yang dibahas di atas, maka dapat diasumsikan bahwa terdapat hubungan yang erat antara IL dan PLC. Pada bagian berikutnya, akan dibahas lebih lanjut mengenai hubungan kedua variabel ini, berdasarkan studi-studi yang sudah dilakukan.

Komunitas Pembelajaran Profesional (PLC) dan Kepemimpinan Instruksional (IL)

20

L. Moos, & S. Huber, “School Leadership, School Effectiveness and School Improvement: Democratic and Integrative Leadership.” dalam T. Townsend (ed.), International Handbook of School Effectiveness and Improvement, part two (Dordrecht, The Netherlands: Springer Publishers, 2007).

21Southworth, G., “Instructional Leadership in Schools: Reflections and Empirical Evidence.” School Leadership and Management 22/1 (2002): 77.

22

Hallinger, P. & Murphy, J. “Assessing The Instructional Leadership Behavior of Principals.” Dalam Elementary School Journal 86/2 (1985).

(12)

Penelitian yang dilakukan oleh Wahlstrom & Louis23 menemukan bahwa hubungan antara pengalaman pengajar dengan kepemimpinan kepala sekolah. Ditunjukkan bahwa ketika para pengajar mulai berbagi ide tentang praktek pengajaran, mendiskusikannya atau mempresentasikannya bersama-sama secara teratur, mereka kemudian akan mengalami penurunan tingkat ketergantungan terharap pemimpin mereka secara bertahap, yang pada awalnya justru menjadi sumber pengetahuan bagi mereka. Dengan kata lain, mungkin hanya dalam kondisi dimana tingkat keberadaan PLC yang lemah, tim pengajar akan sangat bergantung kepada pemimpin mereka untuk memperoleh dukungan pembelajaran secara langsung. Namun, temuan ini tidak mencoba mengatakan bahwa peran pimpinan tidak penting, tetapi kepemimpinan dapat dilihat sebagai dukungan secara tidak langsung, bukan yang sifatnya sangat jelas atau tindakan yang eksplisit. Dengan kata lain, tingkat ketergantungan tim pelaksana PLC terhadap IL, sangat bergantung pada tingkat keahlian yang dimiliki, kemampuan bekerjasama dan tingkat kekompakan yang ada di dalam tim PLC itu sendiri.

Komunitas Pembelajar Profesional (PLC), Kepemimpinan Instruksional (IL) dan Prestasi Siswa (SA)

Membahas tentang pengaruh kepemimpinan terhadap pembelajaran siswa, kita bisa merujuk pada penelitian yang telah dilakukan oleh Leithwood, et al.24. Para penulis menyimpulkan bahwa kepemimpinan yang sukses dapat menghasilkan peran yang sangat signifikan (meskipun sering diremehkan) dalam meningkatkan pembelajaran siswa. Untuk lebih detail, temuan dari penelitian terhadap ukuran dan sifat yang

23Wahlstrom, K. L. & Louis, K. S., “How Teachers Experience Principal Leadership: The Roles of Professional Community, Trust, Efficacy, and Shared Responsibility.” Educational Administration Quarterly 44/4 (2008): 458-459.

24

Leithwood, K. et al., How Leadership Influences Student Learning (Center for Applied Research and Educational Improvement: University of Minnesota, Ontario Institute for Studies in Education: University of Toronto, The Wallace Foundation, 2004), 5-6.

(13)

dihasilkan oleh efek kepemimpinan yang sukses mempengaruhi pembelajaran siswa, membawa klaim bahwa: dari antara semua faktor terkait yang berkontribusi terhadap pembelajaran siswa di sekolah, kepemimpinan merupakan faktor kedua yang berpengaruh, mengikuti pengajaran dalam kelas sebagai faktor pertama. Sementara bukti mengenai efek kepemimpinan terhadap pembelajaran siswa sangat sulit untuk ditafsirkan, banyak penelitian yang ada justru meremehkan pengaruh tersebut dengan tidak mengukur efek tidak langsungnya secara spesifik. Namun, tetap dapat disimpulkan bahwa efek total (langsung dan tidak langsung) kepemimpinan terhadap pembelajaran siswa mengambil seperempat bagian dari pengaruh faktor sekolah secara total25. Bukti ini mendukung kepentingan luas yang timbul dalam upaya meningkatkan kepemimpinan sebagai kunci keberhasilan program reformasi sekolah.

Lebih jauh lagi, efek kepemimpinan dituntut untuk menunjukkan pengaruhnya pada waktu dan tempat yand tepat, ketika sangat dibutuhkan. Di sini kita mengacu pada peran pemimpin dalam bidang administratif formal, dimana semakin besar tantangan dari situasi tersebut, maka akan semakin besar dampak dari tindakan mereka terhadap proses pembelajaran. Walaupun bukti menunjukkan adanya efek kecil yang cukup signifikan yang diberikan oleh tindakan kepemimpinan terhadap pembelajaran siswa, dalam perspektif sekolah, penelitian lain menunjukkan bahwa efek kepemimpinan yang sukses jauh lebih besar atau jauh lebih dirasakan di sekolah atau institusi pendidikan yang tengah mengalami situasi yang sulit atau dalam masalah serius. Bahkan faktanya, hampir tidak ada sekolah bermasalah yang bisa mengalami perubahan atau perbaikan tanpa adanya intervensi dari seorang pemimpin yang kuat, dimana dalam hal ini kepemimpinan dipandang sebagai katalisator bagi perubahan.26

25 Ibid. 26

(14)

Saat meneliti hubungan antara PLC, IL dan SA, Louis, et al.27 dalam penelitian mereka tentang bagaimana kepemimpinan mempengaruhi prestasi belajar siswa, telah menguraikan dengan jelas bahwa IL diasumsikan memiliki efek langsung dan tidak langsung terhadap pengajaran. Selain itu, model penelitian mereka menunjukkan bahwa IL memberikan efek yang signifikan pada hubungan kerja yang terjalin di antara tim pengajar dalam PLC, meskipun efek IL terhadap pengajaran sifatnya terbatas. PLC memiliki efek tidak langsung yang signifikan terhadap SA berdasarkan hubungannya yang kuat dengan pengajaran yang berfokus28. Analisa mereka menggunakan suatu tes empiris yang relatif dan komprehensif dengan mengusung gagasan bahwa sejumlah variabel kepemimpinan (termasuk IL), ketika mereka dipertimbangkan secara bersama-sama, ternyata akan saling berhubungan secara positif ketika dikaitkan dengan pembelajaran siswa. Lebih lanjut, mereka menemukan bahwa IL memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap SA, melalui PLC yang berfokus pada pengajaran. Pada akhir penelitian mereka, Louis dan tim menyarankan bahwa dalam rangka meningkatkan pengaruh kepemimpinan terhadap SA, harus ada kombinasi dari beberapa tindakan kepemimpinan (seperti Il dengan tipe kepemimpinan distributif) disertai dengan kehadiran PLC yang kuat29.

Pada titik ini, sangat jelas untuk menyatakan bahwa berdasarkan studi terbaru (dalam kondisi tertentu), ada hubungan korelasi yang positif antara PLC dan IL, yang pada akhirnya akan berpengaruh secara positif terhadap prestasi siswa (SA). Menariknya, penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki apakah temuan yang sama akan dihasilkan dalam kasus sekolah menengah di Indonesia.

27Louis, K. S. et al., “How Does Leadership Affect Student Achievement? Results from a National US Survey.” School Effectiveness and Improvement 21/3 (2010): 317.

28

Ibid., 330-331. 29

(15)

PLC di Indonesia

Sampai baru-baru ini, studi mengenai PLC di Indonesia masih terhitung sedikit. Namun, setidaknya ada satu studi yang penting yaitu penelitian yang dilakukan oleh Saidah30. Penulis menyelidiki hubungan antara PLC, ekspektasi pengajar (teacher’s expectations) dan bagaimana kedua variabel tersebut mempengaruhi SA. Peneliti juga menggunakan data sekunder yang diambil dari kuesioner TIMMS tahun 2007. Survei ini berfokus pada faktor pengajar dan siswa yang dihubungkan dengan mata pelajaran matematika, di kelas delapan, sekolah menengah di Indonesia.

Temuan penting dari penelitian Saidah adalah efek signifikan PLC yang berkontribusi terhadap kinerja siswa dalam konteks Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa PLC tidak memiliki hubungan dengan SA. Namun, penulis menemukan beberapa prediktor yang signifikan yang berpengaruh pada SA, seperti faktor karakteristik siswa: usia dan tingkat pendidikan terakhir orang tua, dimana faktor-faktor ini ternyata memberikan kontribusi signifikan terhadap SA. Variabel penting lainnya adalah faktor latar belakang pengajar, seperti gender dan lama pengalaman mengajar juga ternyata memberikan kontribusi yang signifikan terhadap SA.

Studi ini bisa dilihat sebagai kelanjutan dari penelitian Saidah, dengan melihat hubungan yang mungkin antara PLC, IL dan SA yang dibahas dalam penelitian ini secara komprehensif sambil menyelidiki masalah yang serupa, serta pencarian variabel pengontrol yang relevan dalam meningkatkan SA dalam konteks Indonesia.

Analisis Data

Karena keterbatasan penjabaran dan penyajian data, bagian ini akan difokuskan pada presentasi data yang berguna untuk menjawab rumusan masalah yang disebutkan di bagian awal.

30

Saidah, U. H., Professional Community, Teacher Expectation and Student Achievement (A Secondary Analysis of TIMMS in Indonesia). Master Thesis, University of Groningen, Netherlands 2010, 32-33.

(16)

1. Sejauh apa keberadaan PLC dan IL nampak dalam tingkat pendidikan menengah di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, analisis deskriptif telah dilakukan dengan hasil seperti yang dijelaskan dalam Tabel 1 di bawah ini. Dalam beberapa variabel terjadi kekurangan jumlah responden dari yang seharusnya, dimana jumlah guru yang berpartisipasi dalam survei ini awalnya 149, masing-masing untuk tim guru dan kepala sekolah. Harap merujuk pada kolom N untuk angka aktual jumlah responden yang berpartisipasi.

Tabel 1. Analisis Deskriptif untuk Variabel Independen

Rata-rata (SD) N Frekuensi Total (hampi r) tidak pernah 2-3 kali per bulan 1-3 kali per bulan (hampi r) setiap hari Variabel PLC Dialog yang Reflektif 2.52 (.82) 146 6.7% 47% 30.9% 13.4% 98% Aktivitas yang Kolaboratif 3.05 (.94) 146 6% 22.1% 30.9% 38.9% 97.9% Deprivatisasi Pengajaran 1 1.63 (.83) 145 53% 32.9% 6% 5.4% 97.3% Deprivatisasi Pengajaran 2 1.55 (.74) 143 53.7% 34.9% 4% 3.4% 96% Frekuensi Sangat rendah

Rendah Medium Tinggi Sangat Tinggi Total Saling bagi nilai dan prinsip 2.39 (.72) 146 0% 5.4% 35.6% 49% 8.1% 98.1% Fokus pada pembelajaran siswa 1.58 (.71) 146 1.3% 0% 4.7% 42.3% 49.7% 98% Variabel IL 25.39 (9.5) 142 95.3%

Angka frekuensi PLC menunjukkan bahwa sebagian besar guru di Indonesia (47%) melakukan aktivitas dialog reflektif sebanyak 2-3 kali per bulan, sedangkan untuk aktivitas kolaboratif, sebagian besar melakukannya hampir setiap hari (39%). Di sisi lain, untuk deprivatisasi

(17)

praktek pengajaran (kedua item), terlihat bahwa para guru pada umumnya tidak melakukan hal ini di antara mereka sendiri (53% dan 54% guru menyatakan bahwa mereka tidak pernah atau hampir tidak pernah melakukan kegiatan ini). Selanjutnya, saling berbagi nilai dan prinsip, dapat dilihat bahwa sebagian besar guru melakukan kegiatan ini pada frekuensi yang tinggi (49%). Terakhir, dari analisis juga dijelaskan bahwa guru sudah memiliki kesadaran yang baik dalam hal berfokus pada pembelajaran siswa, di mana sebagian besar dari mereka (50%) mendukung siswa mereka belajar dengan frekuensi yang sangat tinggi.

Untuk IL, Tabel 1 juga menunjukkan bahwa sebagian besar kepala sekolah di Indonesia (95%) menjalankan tipe ini dalam aktivitas kepemimpinan mereka. Dengan persentase rata-rata 25,4, diasumsikan bahwa sebagian besar kepala sekolah menghabiskan ¼ (seperempat) bagian dari kegiatan mereka untuk melakukan praktik IL.

2. Apakah bentuk hubungan/relasi antara PLC dan IL?

Tabel 2. Hasil Analisa Korelasi untuk PLC dan IL

Pearson Correlation IL

N r p value

PLC 136 -.117 .176

Berdasarkan hasil dari tabel, korelasi antara PLC dan IL adalah korelasi negatif yang lemah, dengan kata lain korelasi yang dimiliki lemah dan tidak signifikan sehingga dapat diabaikan.

Berkaitan dengan adanya berbagai variabel pengontrol (prediktor) yang mungkin mempengaruhi variabel independen dan dependen, berikut merupakan ringkasan dari hasil analisa yang dilakukan terhadap beberapa variabel pengontrol yang berpotensi:

(18)

Variabel pengontrol untuk PLC terdiri atas setidaknya dua variabel yang dianggap berpotensi. Gender guru, berdasarkan hasil T-test, tidak terlihat bahwa perbedaan gender guru memberikan efek yang berbeda terhadap sejauh mana mereka menjalankan praktik PLC. Variabel kedua, lama pengalaman mengajar guru, berdasarkan hasil analisa korelasi, terlihat bahwa lama pengalaman mengajar guru tidak menentukan intensitas mereka dalam menjalankan praktik PLC, ditandai dengan hasil korelasi yang tidak signifikan.

Untuk variabel pengontrol yang berpotensi mempengaruhi prestasi siswa antara lain: umur siswa dan tingkat pendidikan orangtua siswa. Berdasarkan hasil analisa korelasi yang ditempuh untuk melihat hubungan umur siswa dengan prestasinya, ditemukan adanya tendensi bahwa siswa yang usianya di atas rata-rata teman sekelasnya, akan memiliki prestasi yang lebih rendah. Hal ini ditandai dengan adanya korelasi yang bersifat medium dan negatif antara umur siswa dan prestasinya. Kemudian berdasarkan hasil test ANOVA yang ditempuh untuk melihat hubungan tingkat pendidikan orangtua (ayah dan ibu), kedua tes menunjukkan bahwa variabel pengontrol ini memiliki korelasi dengan efek yang signifikan terhadap prestasi siswa, dalam artian semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua, akan mampu mempengaruhi secara positif terhadap prestasi anaknya di sekolah.

Variabel Pengontrol Jenis Tes Hasil Analisa

PLC

Gender Guru T-test Tidak ada efek Lama Pengalaman

Mengajar Guru

Analisa Korelasi Tidak signifikan

SA

Umur siswa Analisa Korelasi Efek yang medium Tingkat pendidikan

orangtua (Ibu)

ANOVA Efek signifikan Tingkat pendidikan

orangtua (Ayah)

(19)

3. Apakah PLC dan IL Mempengaruhi Prestasi Siswa (SA)? Untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga, beberapa analisa regresi dilakukan. Dengan demikian, hubungan dari semua variabel (variabel independen dan kontrol) dengan prestasi siswa (variabel dependen) dapat dieksplorasi. Ada 3 model analisa berbeda yang disajikan sebagai hasilnya. Pertama adalah model regresi dilakukan untuk melihat apakah PLC berkaitan dengan prestasi siswa, dalam rangka mengendalikan variabel pengontrol yang signifikan. Kedua, IL diteliti secara tersendiri dalam rangka untuk melihat apakah IL berhubungan dengan SA, kembali setelah mengontrol variabel pengontrol yang relevan. Dan terakhir, model regresi gabungan dibangun dalam rangka untuk melihat apakah PLC dan IL, bersama-sama dalam model yang sama, berhubungan dengan prestasi siswa dan untuk menemukan variabel pengontrol terkuat yang mempengaruhi prestasi siswa. Hasil analisis regresi gabungan akhir disajikan pada Tabel 4, yang akan dibahas secara lebih komprehensif melibatkan variabel pengontrol.

Tabel 4. Gabungan Hasil Akhir Tes Regresi (3x) PLC, IL terhadap SA, melibatkan variabel pengontrol

Regresi B SE (B) Β p value Hasil Tes Model/Item

1st PLC terhadap SA .886 .303 .051 .003 Tidak ada relasi 2nd IL terhadap SA -.039 .019 .019 .043 Tidak ada relasi 3rd PLC, IL dan

Variabel Pengontrol terhadap SA

Umur Siswa -1.815 .231 -.136 .000 Relasi lemah negatif Tingkat Pendidikan Terakhir (Ibu) .807 .170 .113 .000 Relasi lemah positif Tingkat Pendidikan Terakhir (Ayah) .979 .155 .149 .000 Relasi lemah positif

Tipe Masyarakat -.101 .132 -.013 .443 Tidak ada relasi Latar belakang -1.966 .213 -.177 .000 Relasi lemah

(20)

ekonomi siswa (kekurangan)

negatif

Gender Guru -2.524 .371 -.122 .000 Relasi lemah negatif

Lama Pengalaman Mengajar

.057 .024 .043 .017 Tidak ada relasi

PLC .809 .306 .047 .008 Tidak ada relasi IL -.030 .020 -.026 .131 Tidak ada relasi

Pada tes regresi pertama dilihat hubungan antara PLC dan SA yang menghasilkan tidak adanya relasi karena pertimbangan besarnya jumlah siswa yang diteliti, hasil yang sama juga diperoleh ketika IL dan SA diteliti hubungannya pada tes kedua. Tes regresi ketiga dilaksanakan dengan menggabungkan seluruh variabel independen bersama dengan variabel pengontrol untuk melihat relasinya dengan SA. Sebagai strategi terakhir, menanggapi fakta bahwa analisis regresi terpisah dari PLC dan IL masing-masing menunjukkan hubungan yang sangat lemah terhadap prestasi siswa, langkah terakhir dari analisa regresi ini menekankan pada variabel independen mana yang lebih berpengaruh terhadap SA. Ditemukan bahwa PLC dan IL bersama dengan semua variabel pengontrol sekolah, guru dan siswa, menjelaskan 20,2% dari varian untuk prestasi siswa. PLC terbukti memiliki relasi dengan SA secara signifikan, akan tetapi dengan nilai beta sangat kecil 0,047. Bahkan, dapat disimpulkan bahwa hampir tidak ada hubungan di antara PLC dan SA. Lebih lanjut, IL juga tidak memiliki relasi signifikan dengan SA.

(21)

KESIMPULAN

Keberadaan PLC dan IL

Mengenai pertanyaan pertama, analisis deskriptif terhadap variabel PLC menunjukkan bahwa 47% dari guru melakukan kegiatan dialog

reflektif dengan membahas tentang bagaimana cara mengajarkan konsep

tertentu, selama 2-3 kali per bulan. Sedangkan untuk aktivitas kolaboratif, 39% dari guru bekerja sama dalam mempersiapkan bahan ajar mereka hampir setiap hari. Namun, guru pada umumnya tidak melakukan

deprivatisasi pengajaran di antara mereka, dengan kata lain guru

mungkin tidak menyadari pentingnya praktek ini atau kurangnya kesadaran mengenai akuntabilitas dimana 53% mengatakan bahwa mereka tidak pernah mengunjungi ruang kelas rekan-rekan mereka untuk mengamati gaya pengajaran dan 54% dari mereka menyatakan bahwa mereka tidak pernah membiarkan rekan-rekan mereka mengunjungi kelas mereka untuk pengamatan. Selanjutnya, saling berbagi nilai dan prinsip, 49% dari guru melakukan kegiatan ini dengan frekuensi yang tinggi, yaitu dengan menyelaraskan pemahaman mereka mengenai tujuan kurikulum sekolah. Terakhir, 50% dari guru sudah memiliki kesadaran yang baik dalam hal berfokus pada pembelajaran siswa, di mana mereka mendukung siswa dengan memiliki harapan yang tinggi pada tingkat prestasinya, dengan frekuensi yang sangat tinggi. Untuk meringkas, kegiatan PLC seperti dialog reflektif dan aktivitas kolaboratif adalah praktek-praktek yang secara teratur dilakukan oleh para guru sekolah menengah di Indonesia.

Untuk IL, ditemukan bahwa 95% dari kepala sekolah menjawab bahwa mereka mempraktekkan IL dalam kegiatan rutin mereka, seperti pengembangan kurikulum dan pedagogi. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar kepala sekolah di sekolah menengah Indonesia, menghabiskan sekitar 25% dari waktu mereka untuk aktivitas yang berhubungan dengan IL.

(22)

Relasi antara PLC dan IL

Mengenai pertanyaan kedua, hasil analisa korelasi antara PLC dan IL menunjukkan bahwa PLC dan IL tidak terkait secara signifikan. Fakta ini mengarah pada kesimpulan bahwa baik PLC dan IL masing-masing memiliki peran tersendiri dalam praktik pendidikan. Hasil ini dapat dilihat sebagai mendukung hasil penelitian dari studi sebelumnya oleh Wahlstrom dan Louis,31 di mana dinyatakan bahwa tingkat ketergantungan PLC terhadap IL bergantung pada tingkat keahlian, kemampuan bekerjasama, dan kekompakan yang ada di dalam tim PLC. Dengan kata lain, keberadaan IL akan sangat bergantung pada tingkat independensi PLC.

Pengaruh dari PLC, IL dan Variabel Pengontrol terhadap SA di Indonesia

Pertanyaan penelitian terakhir ini berkaitan dengan kontribusi PLC dan IL untuk SA, setelah mengontrol variabel guru, sekolah dan siswa.

Variabel signifikan pertama dari siswa adalah umur siswa dan tingkat pendidikan terakhir orangtua. Umur siswa mempengaruhi SA dengan efek negatif kecil (beta - .14), yang berarti bahwa semakin tinggi umur siswa, maka akan semakin rendah nilai matematikanya, dibandingkan dengan siswa yang lebih muda. Untuk tingkat pendidikan orangtua, ditemukan bahwa variabel ini mempengaruhi SA dengan efek positif kecil (β .11 untuk ibu dan ayah .15), yang menunjukkan bahwa jika tingkat pendidikan ayah atau ibunya tinggi, ada kecenderungan bahwa tingkat SA dari siswa tersebut juga tinggi.

Variabel penting berikutnya adalah sekolah, diwakili oleh faktor latar belakang sosial ekonomi siswa dan tipe masyarakat. Untuk latar belakang sosial ekonomi, ditemukan efek yang signifikan dengan nilai β -.18 yang

31Wahlstrom, K. L. & Louis, K. S., “How Teachers Experience Principal Leadership: The Roles of Professional Community, Trust, Efficacy, and Shared Responsibility.” Educational Administration Quarterly 44/4 (2008): 459.

(23)

menunjukkan bahwa variabel ini memiliki hubungan negatif kecil dengan SA. Dengan kata lain, sekolah dengan jumlah siswa lebih banyak berasal dari latar belakang ekonomi kurang beruntung, kecenderungannya adalah siswa memiliki tingkat SA yang lebih rendah. Di sisi lain, tipe masyarakat ditemukan tidak terkait secara signifikan dengan prestasi siswa.

Variabel guru juga memberikan kontribusi yang signifikan. Gender guru ditemukan memiliki hubungan negatif kecil dengan SA (β -.12). Ini berarti bahwa guru perempuan berkontribusi menghasilkan tingkat SA yang lebih tinggi daripada guru laki-laki. Sementara itu, untuk lama pengalaman mengajar, hubungannya dengan SA hampir tidak ada. Selain itu, jenis kelamin guru ditemukan tidak berhubungan dengan tingkat intensitas kegiatan PLC. Sejalan dengan itu, variabel lama pengalaman mengajar juga tidak memiliki kaitan dengan praktik PLC yang dilakukan para guru di sekolah mereka.

Terakhir, mengenai pertanyaan penelitian ketiga, hasil analisis regresi menunjukkan bahwa PLC secara signifikan berhubungan dengan prestasi siswa, namun hubungan ini sangat lemah. Sebuah situasi yang berbeda muncul dimana IL tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan SA. Selain itu, dapat diasumsikan bahwa hasil signifikansi PLC timbul dikarenakan jumlah sampel yang besar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada atau hanya ada hubungan positif yang sangat lemah antara PLC dan SA. Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Louis et al.32 yang menunjukkan PLC memiliki efek tidak langsung signifikan terhadap SA dari hubungannya yang kuat dengan berfokus pada kualitas pengajaran. Dari sini terlihat bahwa praktek PLC yang dilakukan oleh guru, dan IL oleh kepala sekolah, keduanya tidak berhubungan atau tidak berpengaruh terhadap prestasi siswa sekolah di Indonesia, khususnya nilai Matematika. Lebih mendalam penelitian dengan menggunakan observasi dan wawancara

32Louis, K. S. et al., “How Does Leadership Affect Student Achievement? Results from a National US Survey.” School Effectiveness and Improvement 21/3 (2010): 317.

(24)

mungkin akan lebih memperjelas bagaimana PLC dan IL di sekolah menengah di Indonesia. Pengetahuan lebih lanjut tentang faktor yang dapat meningkatkan prestasi siswa sekolah menengah Indonesia sangat penting berkaitan dengan hasil Matematika yang tidak memuaskan di tahun 2007. Hanya 22% siswa Indonesia mencapai standar internasional menengah, sementara 52% ditempatkan pada standar bawah33. Sebuah penjelasan yang mungkin untuk kondisi ini, mungkin dikarenakan situasi pendidikan Indonesia yang tengah mengalami kekurangan guru berkualitas di luar Pulau Jawa, terutama daerah pedesaan.

33

Mullis, I. V. S. et al., TIMMS 2007 International Mathematics Report: Findings from IEA’s Trends in International Mathematics and Science Study at Fourth and Eight Grades (Lynch School of Education, Boston College: TIMMS & PIRLS International Study Center, 2008).

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Astuto, T. A., Clark, D. L., Read, A. M., McGree, K., & de Fernandez, L. K. P. Challenges to Dominant Assumptions Controlling Educational

Reform. Andover, MA: Regional Laboratory for the Educational

Improvement of the Northeast and Islands, 1993.

Elmore, R. F. Building a New Structure for School Leadership. Washington, DC: Albert Shanker Institute, 2000.

Fraenkel, J. R. & Wallen, N. E. How to Design and Evaluate Research in

Education, 7th ed. Singapore: McGraw-Hill International, 2010. C. Lomos, R. H. Hofman, & R. J. Bosker. The concept of Professional

Community and Its Relationship with Successful Schools and Student Performance. Groningen: GION – Institute for Educational

Research, 2011b.

Leithwood, K., Louis, K. S., Anderson, S., & Wahlstrom, K. How

Leadership Influences Student Learning. Center for Applied Research

and Educational Improvement: University of Minnesota, Ontario Institute for Studies in Education: University of Toronto, The Wallace Foundation, 2004.

Mitchel, C. & Sackney, L. Profound Improvement: Building Capacity for

A Learning Community. Lisse, The Netherlands: Swets & Zeitlinger,

2000.

T. Townsend. (Ed.). International Handbook of School Effectiveness and

Improvement, part two. Dordrecht, The Netherlands: Springer

Publishers, 2007.

Mullis, I. V. S., Martin, M. O., & Foy, P. (Eds). International

Mathematics Report: Findings from IEA’s Trends in International Mathematics and Science Study at Fourth and Eight Grades. Lynch

(26)

School of Education. TIMMS 2007. Boston College: TIMMS & PIRLS International Study Center, 2008.

Saidah, U. H. Professional Community, Teacher Expectation and Student

Achievement (A Secondary Analysis of TIMMS in Indonesia). Master

Thesis. Groningen, The Netherlands: University of Groningen, 2010. Scheerens, J. & Bosker, R. J. The Foundations of Educational

Effectiveness. Pergamon UK: British Library, 1997.

K. Leithwood & P. Hallinger (eds.). Second International Handbook of

Educational Leadership and Administration. Dordrecht, The

Gambar

Tabel 1. Analisis Deskriptif untuk Variabel Independen
Tabel 4. Gabungan Hasil Akhir Tes Regresi (3x) PLC, IL terhadap SA,  melibatkan variabel pengontrol

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Persepsi pedagang terhadap keberadaan pasar Klithikan Niten dirasakan 96,7% nyaman, 100% aman, 100% mudah dalam akses, dan 100%

Penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa yang berprofesi sebagai mucikari bagi ayam kampus di Kecamatan Tampan mendapatkan temuan latar belakang kehidupan

Salah satu bahan agregat halus tersebut adalah pasir alam.Salah satu pengujian yang dilakukan mengenai agregat halus di daerah Sungai Kampar untuk laston lapis

dan bumi mengorbit bulan mengakibatkan selang waktu dari Bulan purnama ke Bulan purnama berikutnya (atau dari bulan baru ke bulan baru berikutnya) tidak sama dengan 1 bulan

Sebagai rangkuman dari Matriks Program Investasi RPI2-JM maka berikut ini disajikan matriks keterpaduan program investasi RPI2-JM dalam bentuk matriks rekapitulasi

Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara sikap siswa terhadap cara mengajar Guru Fisika dengan motivasi belajar Fisika pada siswa SMA.. Penelitian ini

(3) Arsip yang tercipta pada lembaga negara, pemerintahan daerah, dan perguruan tinggi negeri yang berkaitan dengan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)

Peserta yang telah mengikuti uji kompetensi ini diharapkan mampu memperdalam dasar-dasar gerak senam yang dimilikinya, mampu menguasai musik, hitungan atau beat,