• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDEKATAN, MODEL, STRATEGI, DAN METODE PEMBELAJARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDEKATAN, MODEL, STRATEGI, DAN METODE PEMBELAJARAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDEKATAN, MODEL, STRATEGI, DAN

METODE PEMBELAJARAN

Model pembelajaran dimaksudkan sebagai bentuk kegiatan sistematis dan terencana untuk membantu siswa memperoleh informasi, gagasan, skill, nilai, dan mengembangkan cara pikir (nalar), serta berpikir reflektif. Harapan dari belajar dalam jangka panjang adalah bagaimana siswa mampu meningkatkan kapabilitasnya untuk bisa belajar lebih mudah dan efektif serta secara terus menerus pada masa yang akan datang. Kemandirian belajar dan kemauan untuk belajar secara terus menerus menjadi hal yang sangat penting dalam mewujudkan keberhasilan pembelajaran. Terjadinya belajar pada siswa ditandai oleh adanya perubahan tingkah laku.

Tujuan utama pengembangan model pembelajaran adalah guru mampu membelajarkan siswa sedemikian hingga siswa mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks) serta perkembangan peradaban yang sangat cepat. Karena itu prinsip utama pengembangan model pembelajaran adalah memberikan alat (berpikir) kepada siswa untuk menghadapi tantangan dunia global di masa yang akan datang (bukan untuk saat ini). Siswa yang sedang belajar saat ini, kompetensinya (pengetahuan dan keterampilan) akan dimanfaatkan untuk menghadapi perkembangan lima, sepuluh atau bahkan dua puluh tahun yang akan datang.

Penerapan suatu pembelajaran akan berpengaruh besar terhadap kemampuan siswa dalam mendidik diri mereka sendiri. Guru yang sukses bukan sekedar penyaji

(2)

yang karismatik dan persuasive (Joice, dkk, 2009). Tetapi guru yang sukses adalah mereka yang melibatkan para siswa dalam tugas-tugas yang sarat muatan kognitif dan sosial, serta mengajari siswa bagaimana mengerjakan tugas-tugas tersebut secara produktif. Siswa bisa menjadi pebelajar efektif jika mampu menggambarkan informasi, gagasan, dan kebijaksanaan dari guru-guru mereka dan menggunakan sumber-sumber pembelajaran secara efektif. Dengan demikian peran utama dari mengajar adalah mencetak para pebelajar yang handal (powerful learners).

Hal-hal penting yang perlu dilakukan oleh guru dalam mengembangkan pembelajaran adalah (1) bagaimana guru merencanakan tahapan-tahapan pembelajaran yang akan dilakukan di kelas, (2) bagaimana guru merencanakan interaksi guru-siswa dan siswa-siswa sehingga terjadi proses belajar yang optimal, (3) bagaimana guru merencanakan suatu stimulus sehingga siswa belajar, (4) bagaimana perilaku belajar siswa dalam suatu sistem pengelolaan kelas, (5) bagaimana menyiapkan bahan pendukung (antara lain: buku, lembar kerja siswa, media, dan assesmen), dan (6) dampak apa yang diharapkan pada siswa dengan pelaksanaan pembelajaran tersebut. Agar bisa melaksanakan pembelajaran yang baik, guru perlu merencanakan hal-hal penting tersebut secara matang. Tidak cukup jika guru hanya menyampaikan apa yang ada di buku. Guru harus menyiapkan dan mengkondisikan siswa sehingga mau dan mampu belajar dengan baik.

A. Hubungan Pendekatan, Model, Strategi, dan Metode Pembelajaran

Dalam pembelajaran dikenal beberapa istilah antara lain pendekatan pembelajaran, model pembelajaran, strategi

(3)

pembelajaran, dan metode pembelajaran. Dalam praktiknya terdapat berbagai pendapat terkait dengan herarki istilah-istilah tersebut. Ada yang berpendapat bahwa pendekatan lebih umum dari model. Ada yang berpendapat model lebih umum dari pendekatan (seperti Arend, 2004). Ada yang berpendapat model lebih umum dari pendekatan dan strategi. Ada pula yang berpendapat pendekatan dan model dipandang sama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa pendekatan lebih khusus dari strategi.

Klasifikasi model, strategi, dan metode juga dilakukan oleh Saschat-chewan Education (dalam Zubaidah, 2010). Kerangka pembelajaran yang terdiri dari model, strategi, metode, dan keterampilan pembelajaran disajikan seperti Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pembelajaran (Saschatchewan Education, 1988)

Gambar 1 tersebut bukan merupakan himpunan bagian, tetapi lebih pada herarki pembelajaran. Karena itu

(4)

Saschatchewan Education menyusun tingkatan model sampai

keterampilan pembelajaran disajikan seperti Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Hubungan model, strategi, metode, dan

keterampilan pembelajaran (Saschatchewan Ed, 1988) Perbedaan herarki tersebut tidak perlu diperdebatkan, karena masing-masing pendapat berangkat dari sudut pandang berbeda. Kita bisa memilih salah satu, tentunya harus menggunakan alasan logis.

B. PENDEKATAN PEMBELAJARAN

Pendekatan (approach) diartikan sebagai a way of

beginning something atau cara untuk memulai sesuatu. Dalam

hal ini pendekatan dapat diartikan sebagai cara memulai pembelajaran. Dalam pengertian yang lebih luas, pendekatan mengacu kepada seperangkat asumsi mengenai cara belajar-mengajar. Pendekatan merupakan titik tolak dalam memandang sesuatu, suatu filsafat atau keyakinan yang tidak selalu mudah membuktikannya. Jadi, pendekatan bersifat aksiomatis. Aksiomatis artinya bahwa kebenaran teori-teori yang digunakan tidak dipersoalkan lagi. Pendekatan pembelajaran (teaching approach) merupakan landasan memulai dan melaksanakan pembelajaran suatu bidang studi

(5)

serta memberi arah dan corak kepada metode pembelajarannya. Manfaat pendekatan adalah sebagai pedoman umum dan langsung bagi langkah-langkah pembelajaran yang akan digunakan.

Pendekatan sering dimaknai mirip dengan strategi. Seperti diketahui, pendekatan merupakan titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu. Terdapat beragam pendapat tentang pendekatan pembelajaran. Killen (1998, dalam Sanjaya, 2009) misalnya, menyatakan ada dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred

approaches).

Penggolongan pendekatan yang lain seperti Depdiknas (2008), menyebutkan pendekatan untuk pembelajaran matematika, antara lain pendekatan pemecahan masalah dan pendekatan realistik matematika. Pada pembelajaran IPA, terdapat pendekatan in-kuiri, salingtemas (sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat), pemecahan masalah, keterampilan proses sains (KPS), atau pendekatan terpadu (integrated approach). Pada pembelajaran matematika, selain yang telah disebutkan oleh Depdiknas, dapat pula menggunakan pendekatan induktif dan deduktif, spiral, konstrukstivisme, dan kontekstual (CTL).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran mengacu kepada seperangkat asumsi mengenai cara belajar-mengajar dan merupakan titik tolak dalam memandang suatu pembelajaran. Pendekatan lebih mengarah kepada landasan filosofis dari suatu pembelajaran.

(6)

C. MODEL PEMBELAJARAN

Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik (teratur) dalam pengorganisasian kegiatan (pengalaman) belajar untuk mencapai tujuan belajar (kompetensi belajar). Terdapat 5 (lima) masalah yang harus menjadi perhatian dalam mengembangkan model, yaitu: sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dampak instruksional dan dampak pengiring. Karena itu model pembelajaran harus memiliki rasional teoretik yang logis yang disusun oleh penciptanya atau pengembangnya dan landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai). Menurut Joyce dan Weil (1992) terdapat empat model pembelajaran berdasar pada cara belajar dan proses konstruksi pengetahuan siswa, yaitu: model pemrosesan informasi, model personal, model interaksi sosial, dan model behavioral (perubahan tingkah laku). Model pemrosesan informasi dilandasi oleh teori pemrosesan informasi yang dipelopori oleh Atkinson dan Shiffrin. Model personal didasarkan pada teori kognitivisme individual yang dipelopori oleh Piaget. Model interaksi sosial dikembangkan dari teori kognisi sosial yang dipelopori oleh Vygotsky. Ketiga landasan tersebut sering disebut sebagai pandangan konstruktivisme. Sedangkan model behavioural dikembangkan berdasarkan pemikiran behaviorisme.

Istilah model pembelajaran juga sering dimaknai sama dengan pendekatan pem-belajaran, bahkan kadang suatu model pembelajaran diberi nama sama dengan nama pendekatan pembelajaran. Arends (2004) memilih istilah model pembelajaran didasarkan pada dua alasan penting.

(7)

daripada pendekatan, strategi, metode, dan teknik. Kedua, model dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penting, apakah yang dibicarakan tentang mengajar di kelas, atau praktik mengawasi anak-anak. Atas dasar pendapat tersebut, model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik (teratur) dalam pengorganisasian kegiatan (penga-laman) belajar untuk mencapai tujuan belajar (kompetensi belajar). Dengan kata lain, model pembelajaran adalah rancangan kegiatan belajar agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan baik, menarik, mudah dipahami, dan sesuai dengan urutan yang logis.

Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Dengan kata lain, model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat kita gunakan untuk mendesain pola-pola mengajar secara tatap muka di dalam kelas dan untuk menentukan material atau perangkat pembelajaran. Menurut Joyce dan Weil (1992) “Each model guides us as we design

instruction to help students achieve various objects”, artinya,

setiap model mengarahkan kita dalam merancang pembelajaran untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Arends (2004) menyatakan bahwa model pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu, termasuk tujuannya, langkah-langkahnya (syntax), lingkungannya, dan sistem pengelolaannya.

Fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman perancangan dan pelaksanaan pembelajaran. Pemilihan model sangat dipengaruhi oleh sifat dari materi yang akan dibelajarkan, tujuan (kompetensi) yang akan dicapai dalam

(8)

pembelajaran tersebut, serta tingkat kemampuan peserta didik.

Suatu rancangan pembelajaran dikatakan menggunakan suatu model pembelajaran tertentu apabila mempunyai empat ciri khusus, yaitu (a) rasional teoretik yang logis yang disusun oleh penciptanya atau pengembangnya, (b) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai), (c) tingkah laku yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil, dan (d) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Lebih jauh dijelaskan bahwa suatu model pembelajaran akan memuat: (a) deskripsi lingkungan belajar, (b) pendekatan, metode, teknik, dan strategi, (c) manfaat pembelajaran, (d) materi pembelajaran (kurikulum), (e) media, dan (f) desain pembelajaran.

Dalam memilih suatu model pembelajaran harus mempertimbangkan beberapa hal, antara lain: (1) karakteristik materi yang akan diajarkan, (2) tujuan akan dicapai dalam pembelajaran, (3) tingkat kemampuan peserta didik, (4) waktu yang tersedia, (5) lingkungan belajar, dan (6) fasilitas penunjang yang tersedia. Dalam hal ini, suatu model mungkin cocok untuk suatu materi tetapi tidak cocok untuk materi yang lain. Suatu model cocok untuk siswa-siswa yang rata-rata berkemampuan tinggi belum tentu cocok untuk siswa yang rata-rata berkemampuan rendah. Setiap model pembelajaran harus disesuaikan dengan konsep yang lebih cocok dan dapat dipadukan dengan model pembelajaran yang lain untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

Model digunakan untuk memilih dan menyusun struktur/strategi pembelajaran, metode, keterampilan, dan kegiatan siswa serta untuk memberikan penekanan pada pembelajaran tertentu. Seperti pendekatan, model juga

(9)

beragam penggolongannya tergantung sudut pandang para ahli. Pada tulisan ini ditunjukkan model pembelajaran menurut Joyce dan Weil (2009) yang mengidentifikasi empat model pembelajaran berdasar pada cara belajar dan proses pengembangan pribadi siswa. Keempat model tersebut adalah model pemrosesan informasi, model personal, model interaksi sosial, dan model behavioral.

1. Model pemrosesan atau pengolahan informasi

Model pembelajaran ini menekankan pada pemerolehan, penguasaan, dan pengolahan informasi dalam pikiran siswa agar mereka dapat memahami pelajaran, misalnya dengan mengorganisasi data, merumuskan masalah, mengembangkan pembentukan konsep, mendorong siswa berpikir kreatif. Model ini didasarkan pada teori pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Atkinson dan Shiffrin (1969), digambarkan seperti berikut.

Setiap saat manusia akan menghadapi stimulus yang jumlahnya sangat banyak. Dari stimulus yang jumlahnya sangat banyak tersebut diseleksi oleh register sensorik. Stimulus yang terseleksi oleh register sensorik diteruskan ke memori jangka pendek dan sebagian langsung direspon. Di memori jangka pendek diseleksi lagi, apakah stimulus tersebut penting, menarik perhatian, berguna, atau sesuai dengan kebutuhan yang sedang dipikirkan. Stimulus yang memenuhi karakteristik tersebut diteruskan untuk disimpan

(10)

di memori jangka panjang dan sebagian langsung direspon. Sedangkan stimulus yang kurang/tidak menarik, kurang/tidak sesuai kebutuhan akan segera dilupakan. Di memori jangka panjang informasi akan tersimpan secara permanen dan dapat dipanggil sewaktu-waktu. Dalam praktik pembelajaran diperlukan upaya untuk mengelola stimulus (materi pelajaran) yang dapat menarik perhatian sehingga dapat tersimpan di memori jangka panjang. Menurut Plass (2011), dalam proses pembelajaran terdapat tiga beban yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran: beban instrinsic, beban germae, dan beban extraneous. Untuk mempermudah proses belajar siswa perlu mengelola beban instrinsik, meningkatkan beban germane, dan mengurangi beban extraneous (beban luar). Dengan pengelolaan beban instrinsic, meningkatkan beban germane, dan mengurangi beban luar, proses menuju memori jangka panjang akan semakin mudah. Dengan kata lain semakin tinggi peluang berhasilnya pembelajaran.

2. Model personal atau pengembangan pribadi

Penekanan model personal ini adalah pembelajaran dilakukan dengan mengarahkan siswa untuk mengonstruksi pengetahuan secara individual. Model personal ini dibangun dari konstruktivisme individual dari Piaget. Model ini melibatkan proses pengembangan individu dalam membangun dan mengatur dirinya sebagai individu yang unik. Asumsi yang digunakan untuk membangun model personal ini, bahwa setiap manusia secara individu memiliki potensi untuk mengonstruksi pengetahuan dan setiap individu adalah unik, karena itu proses belajarpun juga unik. Peranan guru yang utama adalah memfasilitasi siswanya sehingga terjadi proses belajar. Proses belajarnya ditujukan untuk memahami kemampuan dirinya, kemudian

(11)

meningkatkannya kepada kemampuan yang lebih tinggi misalnya lebih kreatif, lebih percaya diri, lebih trampil, lebih sensitif, yang kesemuanya itu ditujukan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Fokus model personal adalah pada konsep perwujudan diri yang kuat untuk membangun hubungan yang produktif dengan orang lain dan lingkungan. 3. Model interaksi sosial

Model interaksi sosial dibangun berdasarkan pandangan konstruktivisme sosial dari Vygotsky. Bahwa proses konstruksi pengetahuan pada diri siswa bisa berlangsung secara baik apabila didukung oleh adanya interaksi sosial. Karena itu, supaya terjadi proses belajar perlu dikondisikan adanya interaksi antar peserta didik. Model ini bertitik tolak pada asumsi yang menyatakan bahwa bekerja sama akan membentuk suatu sinergi atau kekuatan sosial. Penerapan model pembelajaran ini biasanya dilakukan dalam bentuk kelompok. Fokus model interaksi sosial adalah pada peningkatan kemampuan siswa untuk berinteraksi dengan orang lain, untuk terlibat dalam proses demokrasi, dan bekerja secara produktif di lingkungannya.

4. Model behavioural (perubahan tingkah laku)

Model behavioural menekankan pada perubahan perilaku yang dapat diamati, yang diharapkan konsisten dengan konsep diri siswa. Model ini dikembangkan dengan dasar teori pengendalian stimulus atau teori penguatan (reinforcement). Model behavioural menekankan bahwa tugas-tugas pembelajaran harus dibagi-bagi menjadi serangkaian tugas dan perilaku yang berangkaian. Asumsi yang mendasari model ini adalah bahwa manusia itu memiliki sistem komunikasi umpan balik, artinya ia dapat mengubah tingkah lakunya dari informasi balik yang diterimanya. Model belajar ini didasarkan atas stimulus response. Supaya

(12)

terjadi peningkatan belajar, maka guru perlu memberikan

reinforcement. Stimulus adalah suatu kondisi belajar dalam

sembarang bentuk, dapat berupa suatu lingkungan yang pasif atau suatu perlakukan yang aktif. Reaksi terhadap stimulus ini disebut respon yang berupa tingkah laku. Selanjutnya diberi reinforcement atau penguat. Reinforcement dapat bersifat positif misalnya pujian atau hadiah dan dapat pula bersifat negatif seperti hukuman.

D. STRATEGI PEMBELAJARAN

Strategi pembelajaran merupakan serangkaian aktifitas yang didesign untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam mengembangkan strategi pembelajaran perlu menentukan (1) urutan kegiatan pembelajaran, yaitu urutan kegiatan guru dalam menyampaikan isi pelajaran kepada siswa; (2) metode pembelajaran, yaitu cara guru mengorganisasikan materi pelajaran dan siswa agar terjadi proses belajar secara efisien dan efektif; (3) media pembelajaran, yaitu peralatan dan bahan pembelajaran yang digunakan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran; dan (4) waktu yang digunakan oleh guru dan siswa dalam menyelesaikan setiap langkah dalam kegiatan pembelajaran.

Konsep strategi mencakupi empat pengertian sebagai berikut.

1. Urutan kegiatan pembelajaran, yaitu urutan kegiatan guru dalam menyampaikan isi pelajaran kepada siswa.

2. Metode pembelajaran, yaitu cara pengajar mengorganisasikan materi pelajaran dan siswa agar terjadi proses belajar secara efisien dan efektif.

(13)

3. Media pembelajaran, yaitu peralatan dan bahan pembelajaran yang digunakan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran.

4. Waktu yang digunakan oleh guru dan siswa dalam menyelesaikan setiap langkah dalam kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan, maka strategi pembelajaran me-rupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi pelajaran dan siswa, peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan dalam proses pembe-lajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Dengan kata lain, strategi pembelajaran adalah cara yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

Menurut Saschatchewan (Zubaidah, 2010) strategi pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi: pembelajaran langsung (direct instruction), Pembelajaran Tidak Langsung (Indirect Instruction), Pembelajaran Interaktif (Interactive

Instruction), Pembelajaran Melalui Pengalaman (Experiential Learning), dan Belajar Mandiri (Independent Study).

1. Pembelajaran Langsung (direct instruction)

Menurut Joice (2009) pembelajaran langsung dilakukan dengan lima tahap aktivitas: (1) orientasi, (2) presentasi, (3) praktik yang terstruktur, praktik di bawah bimbingan, dan (5) praktik mandiri. Pembelajaran ini perlu dimulai dengan diagnosis yang efektif mengenai pengetahuan atau skill siswa bahwa mereka memiliki pengetahuan dan skill yang cukup untuk melanjutkan pembelajaran yang akan dilalui. Setelah adanya diagnosis tersebut, guru bisa melakukan 5 (lima) tahap tersebut. Tahap pertama, orientasi. Dalam tahap ini,

(14)

guru menyampaikan harapan dan keinginannya, menjelaskan tugas-tugas yang ada dalam pembelajaran, dan menentukan tanggungjawab siswa. Ada tiga langkah penting untuk bisa mencapai tujuan orientasi ini: (1) guru memaparkan maksud dari pelajaran, (2) guru menggambarkan isi pelajaran dan hubungannya dengan pengetahuan dan atau pengalaman sebelumnya, dan (3) guru mendiskusikan prosedur-prosedur yang ada dalam pembelajaran.

Tahap kedua, presentasi, yakni menjelaskan konsep atau skill baru dan memberikan peragaanserta contoh. Jika materi yang akan disampaikan adalah konsep baru, maka guru harus mendiskusikan karakteristik-karakteristik dari konsep tersebut, aturan-aturan pendefinisian, dan beberapa contoh. Jika materinya adalah skill baru maka hal yang harus disampaikan adalah langkah-langkah untuk memiliki skill tersebut dengan menyajikan contoh di setiap langkah. Guru dapat menstranfer materi atau skill baru baik secara lisan maupun secara visual. Sehingga siswa dapat akan memiliki dan dapat mempelajari representasi visual sebagai referensi di awal pembelajaran. Tugas lain adalah menguji apakah siswa telah memahami informasi baru sebelum mereka mengaplikasikannya dalam tahap praktik. Bisakah mereka mengingat karakteristik-karakteristik konsep yang telah dijelaskan guru? Bisakah mereka mengingat urutan dan daftar langkah-langkah dalam skill yang baru saja dipelajari? Menguji pemahaman yang demikian sangat diperlukan untuk mengetahuai pencapaian siswa terhadap materi yang sedang dipelajari.

Tahap ketiga adalah praktik terstruktur. Guru menuntun siswa melalui contoh-contoh praktik dan langkah-langkahdi dalamnya. Biasanya siswa melaksanakan praktik dalam

(15)

sebuah kelompok dan menawarkan diri untuk menulis jawabannya. Cara yang paling baik dalam hal ini adalah menggunakan proyektor, menyajikan contoh praktik secara jelas, sehingga semua siswa bisa melihat bagaimana tahap-tahap praktik dilalui. Peran guru dalam tahap-tahap ini adalah memberi respon baik untuk menguatkan respon yang sudah tepat maupun untuk memperbaiki kesalahan dan mengarahkan siswa praktik yang tepat.

Tahap keempat, praktik di bawah bimbingan guru, memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan praktik dengan kemamuan mereka sendiri. Praktik di bawah bimbingan memudahkan guru mempersiapkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menampilkan tugas pembelajaran. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara membantu meminimalisir jumlah dan ragam kesalahan yang dilakukan siswa. Peran guru dalam tahap ini adalah mengontrol kerja siswa dan jika dibutuhkan memberikan respon yang korektif.

Tahap kelima adalah praktik mandiri. Praktik ini dimulai saat siswa telah mencapai level akurasi 85 – 90 persen dalam praktik di bawah bimbingan. Tujuannya adalah memberikan materi baru untuk memastikan dan menguji pemahaman siswa terhadap praktik sebelumnya. Dalam praktik mandiri, siswa melakukan praktik dengan caranya sendiri, tanpa bantuan dan respon balik dari guru. Praktik mandiri ini, dalam pembelajaran matematika biasanya dilakukan dengan memberikan soal-soal latihan mandiri. Langkah-langkah pembelajaran langsung menurut Joice (2009) sebagai berikut.

Sintaks Pembelajaran Langsung

Tahap pertama: Orientasi

- Guru menentukan materi pelajaran

- Guru meninjau materi pelajaran sebelumnya - Guru menentukan tujuan pelajaran

- Guru menentukan prosedur pembelajaran Tahap kedua: Presentasi

- Guru menjelaskan konsep atau keterampilan baru

(16)

2. Pembelajaran Tidak Langsung (Indirect Instruction) Menurut Bell (1978) pembelajaran tak langsung antara lain: pembelajaran membuktikan teorema, pembelajaran dengan problem solving, pembelajaran dengan memanfaatkan laboratorium, dan inkuiri. Pembelajaran tak langsung (indirect instruction) merupakan pembelajaran yang

(17)

berorientasi pada student centered, mengutamakan keterlibatan siswa pada kegiatan observasi, investigasi, menarik kesimpulan dari data, atau menyusun hipotesis. Sebagai contoh dalam problem solving, guru menyajikan masalah dalam kehidudupan sehari-hari.

Dalam suatu pertemuan diikuti oleh beberapa orang dan saling berjabat tangan. Jika pertemuan tersebut diikuti oleh 2 (dua) orang, maka banyak jabat tangan yang terjadi adalah satu. Jika jumlah orang dalam pertemuan 3 (tiga) orang, maka banyaknya jabat tangan yang terjadi adalah tiga. Jika jumlah orang dalam pertemuan 4 (empat) orang, maka jabat tangan yang terjadi sebanyak 6. Berapakah jabat tangan yang terjadi bila banyaknya orang dalam pertemuan itu 10 orang? Berapakah jabat tangan yang terjadi bila banyaknya orang dalam pertemuan itu n orang?

Dengan difasilitasi oleh guru, siswa mungkin akan melakukan eksperimen, berpikir coba-coba (trial error), atau mungkin juga menggunakan pola. Ketika jumlah yang berjabat tangan 2 orang, misalnya A dan B, maka hanya ada satu jabat tangan yang terjadi. Jika dihubungkan antara banyaknya orang dan banyaknya jabat tangan bisa dibentuk

2(2−1)

2 = 1. Jika 3 orang yang saling berjabat tangan, misalnya

A, B, dan C, maka jabat tangan yang terjadi: A dengan B, A dengan C, dan B dengan C. Berarti ada 3 jabat tangan yang terjadi, jika dihubungkan bisa berbentuk 3(3−1)2 = 3. Jika ada empat orang bisa dibentuk hubungan: 6 = 4(4−1)2 . Sehingga ketika ada n orang, banyak jabat tangannya: 𝑛(𝑛−1)2 . Pola

(18)

hubungan antara jumlah orang dan banyak jabat tangan digambarkan seperti berikut.

Begitupula mungkin saja siswa bisa berpikir sistematis dengan menggambarkan simpul-simpul sebagai orang, garis-garis sebagai proses jabat tangan. Jika ada dua orang berjabat tangan, maka garis yang terbentuk adalah satu. Jika ada tiga orang berjabat tangan, maka ada tiga garis yang menghubungkan setiap orang. Berarti ada tiga jabat tangan. Dengan cara ini siswa bisa memperoleh pola yang lebih jelas seperti berikut.

(19)

Dari proses tersebut, siswa mencoba mengidentifikasi. Jika ada dua orang, maka ada satu kali jabat tangan. Jika ada dua orang, maka orang pertama akan berjabat tangan dengan 2 orang lainnya, dan satu orang yang lain berjabat tangan dengan satu orang yang belum berjabat tangan dengan dia. Jadi banyaknya jabat tangan 2 + 1. Jika ada 4 orang dalam pertemuan, maka orang pertama berjabat tanagn dengan 3 orang lain, orang kedua berjabat tangan dengan 2 orang lain yang belum, dan orang ketiga berjabat tangan dengan satu

(20)

orang yang belum berjabat tangan dengan dia. Jadi banyaknya jabat tangan adalah 3 + 2 + 1. Proses ini diteruskan sehingga berlaku untuk n orang. Orang pertama berjabat tangan dengan n-1 orang, orang kedua berjabat tangan dengan n-2 orang yang belum berjabat tangan dengan dia, dan seterusnya, sehingga diperoleh banyaknya jabat tangan yang terjadi adalah (n-1) + (n-2)+…+2+1. Dengan pembelajaran tersebut bisa menarik perhatian siswa dan mendorong rasa ingin tahu, bahkan mendorong siswa untuk membuat alternatif-alternatif, atau pemecahan masalah.

Indirect instruction juga dapat memicu kreativitas siswa dan

pengembangan keterampilan-keterampilan, serta kemampuan interpersonal. Sebagai konsekuensi dari student

centered, dalam pembelajaran tak langsung, peranan guru

berganti dari pemberi materi (penceramah) menjadi fasilitator. Guru mengatur lingkungan pembelajaran, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam pembelajaran, dan bila dimungkinkan, memberikan umpan balik kepada siswa pada saat mereka melakukan inkuiri (Martin, 1983).

Indirect instruction dapat diterapkan oleh para guru pada

hampir semua pelajaran. Strategi ini cocok diterapkan pada saat:

 mengharapkan adanya kegiatan berpikir,

 mengharapkan munculnya sikap atau nilai interpersonal,  mengutamakan proses seperti halnya produk

pembelajaran,

 melakukan investigasi atau menemukan sesuatu,  menginginkan lebih dari satu jawaban yang sesuai,

 memfokuskan pemahaman perseorangan dan retensi terhadap konsep atau generalisasi dalam jangka waktu yang lama,

(21)

 menginginkan adanya keterlibatan ego dan motivasi intrinsik,

 mengharapkan penarikan kesimpulan atau pemecahan masalah,

 mengharapkan tercapainya kemam-puan pembelajaran sepanjang hayat. (Zubaidah, 2010)

Langkah-langkah pembelajaran tak langsung meliputi: observasi, encoding, mengingat kembali (recalling), mengklasifikasikan, membandingkan, melakukan inferensi, menginterpretasi data, memprediksi, elaborasi, meringkas,

restructuring, dan melakukan verifikasi. Seperti halnya

strategi pembelajaran yang lain, strategi indirect instruction juga memiliki beberapa kelemahan. Strategi ini memakan lebih banyak waktu jika dibandingkan dengan direct

instruction, kendali guru atas siswa bisa berkurang dan

kelu-aran tidak bisa diprediksi. Indirect instruction bukan strategi terbaik apabila ingin menyediakan informasi yang detail atau mengupayakan keterampilan pencapaian hasil belajar secara bertahap. Pembelajaran ini juga kurang sesuai apabila menginginkan hafalan secara cepat.

3. Strategi Pembelajaran Interaktif (Interactive Instruction) Pembelajaran interaktif menekankan pada interaksi antar siswa, bahwa pembelajaran akan efektif apabila dilakukan dengan mengaktifkan siswa melalui interaksi antar mereka. Interaksi juga akan bisa maksimal apabila dilakukan secara multiarah: antar siswa, siswa-guru, dan guru-siswa. Hal ini dilandasi oleh pemikiran Vygotsky bahwa siswa akan bisa mengonstruksi pengetahuan secara optimal apabila ada interaksi satu siswa dengan siswa yang lain. Karena itu pembelajaran interaktif menekankan pada diskusi dan berbagi antar siswa. Untuk mengatur posisi siswa sehingga

(22)

bisa terjadi interaksi optimal dapat dilakukan dengan berbagai cara: setting kelas melingkar dengan posisi guru di depan, setting kelas melingkar dengan posisi guru disamping, posisi berpasangan dua-dua, posisi berkelompok tiga-tiga, atau posisi berkelompok empat-empat.

Gambar 1: Susunan siswa untuk interaksi melingkar

Gambar 2: Pengelompokkan Siswa

Seaman dan Fellenz (1989) mengemukakan bahwa diskusi dan berbagi akan memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberikan reaksi terhadap ide-ide, pengalaman, wawasan, dan pengetahuan dari guru atau sesama siswa dan

(23)

untuk menghasilkan alternatif dalam cara berpikir dan merasakan. Siswa dapat belajar dari teman sebaya dan guru untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan sosial, untuk mengorganisasikan pikiran mereka, dan mengembangkan argumen rasional.

Pembelajaran interaktif bisa dilakukan dengan diskusi kelompok, diskusi kelas, diskusi berpasangan. Dalam hal ini guru harus memfasilitasi siswa untuk terjadinya interaksi berpikir. Karena itu fungsi guru adalah fasilitator dalam memberikan masalah, sehingga masalah tersebut membutuhkan pemecahan secara kelompok atau sharing dengan siswa lain. Strategi pembelajaran interaktif memerlukan kemampuan pengamatan, mendengarkan, interpersonal, keterampilan dan kemampuan intervensi oleh guru dan siswa. Keberhasilan strategi pembelajaran interaktif dan berbagai metode yang termasuk strategi interaktif sangat tergantung pada keahlian guru dalam menyusun dan mengembangkan dinamika kelompok.

4. Experiential Learning

Experientiatl learning dikembangkan atas dasar

pemikiran bahwa seseorang cenderung memiliki pengalaman pribadi yang berbeda dengan orang lain. Dari perbedaan pengalaman tersebut akan bisa memperkaya kematangan seseorang, bila difasilitasi untuk terjadinya sharing pengalaman. Pengalaman yang dimaksudkan tidak hanya terbatas pada pengalaman kehidupannya, tetapi juga pengalaman dalam memecahkan masalah (termasuk masalah matematika). Seorang siswa mungkin saja memiliki pengalaman dalam memperoleh nilai 𝜋 dengan melakukan eksperimen membagi keliling lingkaran yang berbeda-beda dengan panjang diameternya. Misalnya siswa pertama

(24)

melakukan eksperimen mengukur keliling lingkaran A yang berdiameter 7 cm; lingkaran B berdiameter 14 cm, dan lingkaran C berdiameter 21 cm.

Dalam hal ini lingkaran dimodelkan dengan media stereofom sehingga mudah diukur kelilingnya menggunakan benang. Dari pengukuran diperoleh keliling lingkaran A = 22 cm, keliling lingkaran B = 44 cm, an keliling lingkaran C = 66 cm. Siswa pertama membandingkan keliling dengan panjang diameternya, diperoleh:

Dari percobaannya siswa pertama menyimpulkan bahwa perbandingan keliling lingkaran dengan diameternya selalu tetap, dan nilai yang tetap tersebut disebut 𝝅

Siswa kedua memiliki pengalaman melakukan percobaan membandingkan keliling dengan diameter yang berbeda dengan siswa pertama. Dengan masalah sama diameter lingkaran A = 7 cm, diameter lingkaran B = 14 cm, dan diameter linkaran C = 21 cm. Pada awalnya sama-sama mengukur diameter dan kelilingnya, namun dalam membandingkan, siswa kedua melakukannya sebagai berikut. 𝐾𝐴 𝑑𝐴

=

22 7 𝐾𝐵 𝑑𝐵

=

44 14

=

22 7 𝐾𝐶 𝑑𝐶

=

66 21

=

22 7

(25)

Dari kawat yang dililitkan pada lingkaran A, di tarik memanjang sehingga menjadi datar dan membuat potongan kawat lain sepanjang 7 cm.

Diameter dibandingkan dengan keliling yang sudah terbentang, diperoleh bahwa keliling lingkaran sama dengan tiga kali panjang diameternya dan bersisa 1 cm. Karena itu diperoleh perbandingan seperti berikut.

𝐾𝐴: 𝑑𝐴= 3 +17= 217 +17 =227

Dari kawat yang dililitkan pada lingkaran B, di tarik memanjang sehingga menjadi datar dan membuat potongan kawat lain sepanjang 14 cm.

Diameter dibandingkan dengan keliling lingkaran B yang sudah terbentang, diperoleh bahwa keliling lingkaran sama dengan tiga kali panjang diameternya dan bersisa 2 cm. Karena itu diperoleh perbandingan seperti berikut.

𝐾𝐵: 𝑑𝐵= 3 +142 = 1442+142 =4414=227

Dari kawat yang dililitkan pada lingkaran C, di tarik memanjang sehingga menjadi datar dan membuat potongan kawat lain sepanjang 21 cm.

(26)

Diameter dibandingkan dengan keliling lingkaran C yang sudah terbentang, diperoleh bahwa keliling lingkaran sama dengan tiga kali panjang diameternya dan bersisa 3 cm. Karena itu diperoleh perbandingan seperti berikut.

𝐾𝐶: 𝑑𝐶= 3 +213 =6321+213 = 6621= 227. Dari percobaannya siswa

kedua menyimpulkan bahwa perbandingan keliling lingkaran dengan diameternya selalu tetap, dan nilai yang tetap tersebut disebut 𝝅

Dari pengalaman berbeda antara siswa pertama dan siswa kedua bisa menjadi pengalaman bersama setelah sharing dan memperkuat pemahaman terhadap nilai phi.

Pembelajaran melalui pengalaman dapat dilihat sebagai suatu siklus yang terdiri dari 5 fase:

experiencing (membentuk pengalaman diri melalui

percobaan atau penyelesaian masalah),

sharing (berbagi atau mempublikasikan hasil kerja dan

observasi),

analyzing (analisis atau pemrosesan bahwa dari dua

pengalaman berbeda tersebut keduanya masuk akal),  inferring (melakukan inferensi atau generalisasi,

mendapatkan prinsip-prinsip bahwa meskipun prosedur percobaannya berbeda, namun hasilnya adalah sama),  applying (mengaplikasikan, menyusun rencana untuk

digunakan pada situasi baru).

Penekanan pembelajaran melalui pengalaman adalah pada proses, bukan pada produk. Seorang guru dapat menggunakan pembelajaran melalui pengalaman sebagai

(27)

suatu strategi pembelajaran di dalam maupun di luar kelas. Dalam penerapan pembelajaran berdasarkan pengalaman ini diperlukan usaha ekstra dan perlu pengalaman secara langsung. Pembelajaran melalui pengalaman mampu meningkatkan pemahaman dan retensi jika dibandingkan dengan metode yang secara melibatkan kegiatan mendengar, membaca, atau bahkan melihat secara terpisah-pisah (McNeil & Wiles, 1990).

5. Belajar Mandiri (Independent Study)

Independent Study dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme individual dari Piaget, bahwa pada dasarnya setiap orang (termasuk siswa) memiliki kemampuan untuk mengonstruksi pengetahuan secara individual. Siswa memiliki kemampuan mengembangkan diri sesuai dengan tantangan yang dihadapi, sehingga setiap saat akan terjadi proses adaptasi terhadap lingkungannya. Dalam proses adaptasi terdapat proses asimilasi dan akomodasi. Proses ini akan berlangsung sepanjang hayat dan berlangsung maksimal ketika memperoleh tantangan. Karena itu pembelajaran akan efektif apabila siswa dihadapkan pada tantangan yang sesuai dengan perkembangannya. Peranan guru adalah memfasilitasi siswa untuk belajar dengan memberikan tantangan-tantangan yang sesuai dengan kondisi siswa. Dalam suatu kelas sudah bisa dikatakan terjadi pembelajaran, bila siswa sudah difasilitasi untuk berpikir. Seorang guru bisa dikatakan sudah melaksanakan tugas "membelajarkan siswa", bila guru tersebut sudah memfasilitasi siswa untuk berpikir. Karena itu dalam proses pembelajaran perlu diupayakan memberikan tantangan-tantangan yang mendorong siswa berpikir.

(28)

Belajar mandiri berkaitan dengan penggunaan metode-metode pembelajaran yang tujuannya adalah mempercepat pengembangan inisiatif individu siswa, percaya diri, dan pengembangan diri. Fokus strategi belajar mandiri ini adalah merencanakan belajar mandiri siswa di bawah bimbingan atau supervisi guru. Belajar mandiri dapat dilakukan siswa secara berpasangan maupun dalam kelompok kecil.

Belajar mandiri meningkatkan tanggung jawab siswa dalam merencanakan dan melaksanakan cara belajar mereka sendiri. Belajar mandiri sangat fleksibel, dapat digunakan bersama dengan metode lainnya, atau dapat pula digunakan se-bagai strategi pembelajaran tunggal untuk keseluruhan unit. Faktor kematangan dan kemandirian siswa adalah sangat penting untuk dipertimbangkan seorang guru da-lam perencanaan pembelajaran mandiri, oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Sum-ber pembelajaran yang cukup untuk be-lajar mandiri juga merupakan hal yang sangat penting untuk mendukung perkem-bangan kecakapan siswa dalam mengases dan mengolah informasi.

E. METODE PEMBELAJARAN

Istilah metode berasal dari bahasa Yunani methodos, ’jalan’ atau ’cara’, oleh karena itu, metode diartikan cara melakukan sesuatu. Dalam dunia pembe-lajaran, metode diartikan ’cara untuk mencapai tujuan’. Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara-cara menyeluruh (dari awal sampai akhir) dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Metode merupakan cara melaksanakan pekerjaan. Metode bersifat prosedural, yakni

(29)

menggambarkan prosedur bagaimana mencapai tujuan--tujuan pembelajaran. (Zubaidah, 2010).

Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan suatu strategi pembelajaran.

Dalam melaksanakan metode ada tiga tahap kegiatan: (1) persiapan, (2) pelaksanaan, dan (3) penilaian. Setiap tahap diisi pula oleh langkah-langkah kegiatan yang lebih spesifik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah rencana pembelajaran yang mencakup pemilihan, penentuan, dan penyusunan secara sistematis bahan yang akan diajarkan, serta kemungkinan pengadaan remidi dan ba-gaimana pengembangannya. Secara prosedural sebenarnya semua metode pembelajaran itu sama, yang membedakannya adalah pendekatan dan prinsip-prinsip yang dianutnya. Hal itu karena keduanya, terutama pendekatan, sangat menentukan corak sebuah metode pembelajaran. Meto-de disusun (dilaksanakan tahap-tahapnya) dengan berpedoman kepada pendekatan dan prinsip-prinsip yang dianut. Pendekatan (dan juga prinsip) inilah yang mempengaruhi setiap langkah kegiatan metode, yaitu mempengaruhi pemilihan bahan, penyusunan, pengkajian, pemantapan, dan juga penilaian.

Metode pembelajaran mengacu kepada strategi yang dipilih. Dalam strategi indirect instruction metode-metode yang bisa digunakan antara lain: studi kasus, problem solving, inkuiri, diskusi reflektif, pembentukan konsep, dan peta konsep.

(30)

Beberapa metode yang termasuk ke dalam strategi pembelajarn interactive instruction, antara lain pembelajaran kooperatif (dengan banyak ragamnya), debat, role playing,

problem solving, dan diskusi. Dua metode dalam strategi interactive instruction adalah classroom group interaction dan

small group interaction. Metode-metode pembelajaran yang

termasuk pada strategi experiential learning adalah simulasi,

games, field trips, model building, dan observasi lapangan.

Metode-metode pada strategi independent study adalah

computer assisted instruc-tion, correspondence lessons, assigned questions, learning contracts, dan proyek penelitian.

F. KECENDERUNGAN PEMBELAJARAN

Pada dasarnya setiap pembelajaran yang dilakukan dapat dipotret kecenderungan/ orientasinya dalam membentuk perilaku belajar siswa. Silver, Strong, dan Perini (2007) menggunakan istilah learning style, apa yang akan dikembangkan dari siswa dalam proses pembelajaran.

Learning style dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat)

macam, yakni: mastery (kemahiran), understanding

(pemahaman), interpersonal (hubungan social), self-expressive (ekspresi diri).

Orientasi pembelajaran mastery adalah peningkatan kemampuan siswa untuk mengingat dan menghafal prosedur dan informasi. Bentuk kegiatan pembelajaran yang mengarah pada mastery, antara lain: drill, latihan, dan ceramah. Dalam

mastery ini, yang dipentingkan adalah siswa bisa menjawab

soal (success) meskipun tidak tahu mengapa jawabannya seperti itu, siswa bisa menggunakan prosedur untuk menyelesaikan soal (meskipun tidak tahu mengapa prosedur tersebut yang digunakan), dan penyampaian materi terselesaikan (meskipun siswa hanya hafal).

(31)

Praktik pembelajaran yang berorientasi pada mastery ini, biasanya dilakukan dengan langkah-langkah: (1) guru “sedikit” menjelaskan materi matematika dengan menekankan pada prosedur, (2) memberikan contoh soal dan cara mengerjakannya (sering dengan memberikan cara singkat atau disebut “trik”) dan tidak dijelaskan munculnya cara singkat tersebut, (3) memberikan soal latihan yang “mirip” dengan contoh, (4) memberikan soal latihan di buku, dan (5) memberikan tes. Penekanan utama dalam tipe pembelajaran mastery ini adalah keterampilan mengerjakan soal. Siswa dilatih berkali-kali untuk mengerjakan soal yang mirip sedemikian hingga hafal prosedur penyelesaiannya.

Praktik pembelajaran dengan mastery ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain: (1) siswa sulit untuk mentansfer keterampilannya untuk menyelesaikan masalah lain, (2) siswa mudah lupa, dan (3) siswa sering mengalami kesalahan dalam memahami konsep dan menyelesaikan masalah. Siswa yang sudah terampil mengerjakan soal yang diberikan oleh gurunya masih tidak bisa (atau sering mengalami kesulitan) apabila soalnya diubah dalam bentuk lain, meskipun perubahannya hanya “sedikit”. Ketika guru menyampaikan bahwa luas daerah segitiga rumusnya “setengah alas dikalikan tinggi” biasa ditulis L = ½ a x t. Guru memberikan gambar dan menekankan bahwa sisi bagian bawah (horisontal) sebagai alas dan sisi vertikal sebagai tinggi.

Guru: anak-anak segitiga diperoleh dari persegi panjang yang

dipotong melalui diagonalnya. Misalkan suatu persegi panjang, panjangnya disebut alas (a) dan lebarnya disebut tinggi (t), maka segitiga yang terbentuk merupakan separoh dari persegi panjang. Sehingga luasnya setengah alas dikali

(32)

tinggi. anak-anak diingat ya, luas daerah segitiga adalah setengah alas dikalikan tinggi.

Setelah memberikan penjelasan sedikit, guru langsung memberikan beberapa contoh soal.

Soal:

Tentukan luas daerah segitiga berikut!

(33)

G: untuk menjawab soal-soal tersebut, kita bisa melakukan dengan

memasukkan bilangan-bilangan itu ke rumus L = ½ a x t. Nomor 1, luasnya L = ½ x 6 x 4 = 12. Nomor 2, L = ½ x 5 x 4 = 10. Nomor 3 luasnya L = ½ x 8 x 5 = 20.

Dalam pembelajaran yang berorientasi pada mastery, mungkin murid akan mudah menyelesaikan luas daerah segitiga yang mirip dengan gambar yang diberikan oleh gurunya. Namun akan menjadi masalah apabila siswa dihadapkan pada soal yang melibatkan segitiga tidak siku-siku seperti berikut.

Kelemahan kedua adalah siswa mudah lupa. Setelah selesai belajar luas daerah segitiga dengan menghafal rumus L = ½ a x t. Guru melanjutkan menjelaskan rumus luas daerah trapesium L = ½ (a+b) x t dan memberikan banyak latihan. Seringkali siswa menjadi lupa konsep luas daerah segitiga yang sudah pernah dipelajari. Kesalahan ketiga, siswa sering kesulitan memahami dan menyelesaikan masalah. Apabila segitinya seperti gambar di bawah ini, masih banyak siswa yang memahaminya alasnya 8 cm dan tingginya 5 cm.

Orientasi pembelajaran understanding adalah mengembangkan kemampuan siswa bernalar, menggunakan bukti dan logika. Dalam understanding, dikembangkan rasa

(34)

ingin tahu siswa (curiosity), sehingga bisa menggunakan logika untuk berdebat dan menemukan berdasarkan ide-ide yang dipelajari . Bentuk kegiatan yang mengarah ke

understanding, antara lain: membaca dengan pemahaman,

debat, project, belajar mandiri, dan membuat argument. Kekuatan dari understanding adalah siswa tertantang untuk berpikir dan menjelaskan ide-idenya.

Sebagai contoh, pembelajaran yang mengarah pada understanding bisa digambarkan sebagai berikut. Seorang guru ingin menanamkan konsep “bilangan negatif dikalikan bilangan negatif hasilnya bilangan positif”. Guru membangun pemahaman siswa melalui pola.

Guru: anak-anak perhatikan pola bilangan berikut.

Setiap turun satu baris hasil kalinya berkurang 4, pikirkan berapa hasil perkalian 4 x -1 = ...; 4 x -2 = ...; dan 4 x -3 = ...?

Siswa akan berpikir bahwa dari nol “berkurang 4” akan menghasilkan 4; dari 4 “berkurang 4” menjadi 8; dan dari -8 “berkurang 4” menjadi -12. Sehingga diperoleh hasil 4 x -1 = -4; 4 x -2 = -8; dan 4 x – 3 = -12.

(35)

Siswa akan berpikir bahwa setiap turun satu, hasil perkalian berkurang 3, sehingga dari 6 “berkurang 3” akan menghasilkan 3; dari 3 “berkurang 3” menjadi 0; dari 0 “berkurang 3” menjadi -3; dari -3 “berkurang 3” menjadi -6; dan dari -6 “berkurang 3” menjadi -9. Sehingga diperoleh hasil 3 x 1 = 3; 3 x 0 = 0; 3 x -1 = -3; 3 x -2 = -6; dan 3 x – 3 = -9. Kegiatan guru bisa dilanjutkan dengan mengingatkan kembali “hukum komutatif”, bahwa 4 x 3 = 3 x 4 dan dilanjutkan dengan menanyakan kepada siswa bagaimana penerapan hukum komutatif pada perkalian 3 x 4 = .... dan -3 x -3 = ...

Dengan menggunakan pola yang sudah dibahas, siswa akan tahu bahwa -3 x 4 = -12 dan -3 x 3 = -9.

Guru: anak-anak lanjutkan perkalian berikut dengan memanfaatkan

pola bilangan berikut.

Setiap turun satu baris hasil kalinya bertambah 3, pikirkan berapa hasil perkalian -3 x -1 = ... dan -3 x -2 = ...?

(36)

Dengan pola tersebut akan diperoleh -3 x -1 = 3 dan -3 x -2 = 6. Dengan kata lain “bilangan negatif dikalikan bilangan negatif menghasilkan bilangan positif”.

Orientasi pembelajaran interpersonal adalah menumbuhkan hubungan (relationship) siswa dengan siswa lain (atau masyarakat) dengan membentuk kelompok, persekutuan, latihan bersama. Dalam interpersonal, siswa dikondisikan untuk belajar dalam kehidupan masyarakat. Bentuk kegiatan yang mengarah ke interpersonal antara lain: diskusi, aktifitas kooperatif, dan role playing.

Orientasi pembelajaran self-expressive adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk berimajinasi dan mencipta sesuatu yang baru (originality). Siswa didorong untuk mengembangkan abstraksi dan menggunakannya untuk eksplorasi ide-ide baru. Bentuk kegiatan yang mencerminkan self-expressive antara lain: aktifitas kreatif, open ended, non rutin problems, berpikir alternative, dan problem posing.

Dalam membelajarkan siswa tentang sifat bangun datar (segi empat) , bisa dilakukan dengan praktik. Siswa diberikan beberapa potongan kawat/lidi dengan panjang ada yang sama dan ada yang berbeda. Pembelajaran dilakukan dalam beberapa langkah:

Langkah 1:

Siswa diminta mengambil 4 (empat) lidi yang panjangnya berbeda dan membentuknya menjadi segiempat.

G: Buat segiempat sebanyak-banyaknya dari empat lidi tersebut dan

hasilnya gambarkan di kertas yang disediakan!

Dalam tugas ini, siswa bisa membentuk bangun segiempat yang berbeda-beda.

(37)

Guru bisa melanjutkan dengan memberi nama bangun yang terbentuk, bahwa bangun yang dibentuk dari 4 sisi, disebut segi empat.

Langkah 2:

Siswa diminta mengambil 4 (empat) lidi dan guru meminta siswa membuat segiempat sebanyak-banyaknya dari empat lidi

tersebut dengan HANYA SEPASANG SISINYA dibuat sejajar dan hasilnya gambarkan di kertas yang disediakan!

Dalam tugas ini, siswa bisa membentuk bangun segiempat secara berbeda-beda.

G: Cari sifat yang sama dan yang berbeda dari ketiga gambar

tersebut!

Siswa akan mengidentifikasi sifat yang sama bahwa ketiga bangun tersebut memiliki empat sisi dan hanya memiliki sepasang sisi yang sejajar.

Bangun yang memiliki empat sisi dan HANYA memiliki sepasang sisi sejajar disebut TRAPESIUM.

Langkah 3:

Siswa diminta mengambil 4 (empat) lidi, sepasang-sepasang lidi (2 lidi panjangnya sama dan 2 lidi yang lain panjangnya sama).

G: Buat segiempat sebanyak-banyaknya dari empat lidi tersebut dan

(38)

Dalam tugas ini, siswa bisa membentuk bangun segiempat secara berbeda-beda, antara lain:

Selanjutnya guru bisa meminta siswa untuk mencari kesamaan dan perbedaan ketiga bangun tersebut. Hasil kesamaan dan perbedaan dapat dituliskan dalam tabel:

Unsur (a) (b) (c)

Sisi Memiliki dua pasang sisi sama panjang Memiliki dua pasang sisi sama panjang Memiliki dua pasang sisi sama panjang Dua pasang sisinya sejajar

Dua pasang sisi sejajar Sisi berdekatan sama panjang Sudut Sudut-sudut-nya siku-siku Memiliki dua pasang sudut sama besar Memiliki sepasang sudut sama besar Bangun datar (a) disebut persegi panjang. Bangun datar (b) disebut jajar genjang. Bangun datar (c) disebut layang-layang.

Kegiatan tersebut bisa dilanjutkan untuk membangun sifat-sifat bangun datar yang lain, seperti belah ketupat dan persegi.

Keempat kecenderungan tersebut digambarkan oleh Silver dalam bidang berbentuk kuadran seperti berikut.

(39)

Lebih jauh Silver dkk (2007) menegaskan bahwa setiap pembelajaran memiliki kecenderungan ke salah satu kuadran, namun tidak ada pembelajaran yang mengembangkan hanya pada satu kuadran saja. Sebagai contoh pembelajaran langsung dengan sintaks: (1) guru menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa, (2) mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan, (3) membimbing latihan soal, (4) mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, dan (5) memberikan latihan soal lanjutan dan penerapannya. Dari kegiatan pembelajaran langsung ini, memiliki kecenderungan ke mastery. Namun dalam mendemonstrasikan mungkin juga ada understanding. Karena itu kecenderungan pembelajaran langsung bisa digambarkan seperti berikut.

(40)

Pembelajaran Student Teams Achievement Divisions (STAD) dikembangkan oleh Slavin (1995) dengan langkah-langkah: (1) siswa dibentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dan sebagainya); (2) guru menyajikan materi pelajaran; (3) guru memberikan tugas kepada kelompok; (4) anggota yang sudah mengerti diminta untuk menjelaskan kepada anggota yang lain sampai semua anggota mengerti; (5) guru memberikan kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa secara individu; (6) guru mengoreksi hasil kuis; (7) guru mengumumkan hasil kuis dan pemenangnya; dan (8) guru bersama siswa membuat kesimpulan. Langkah-langkah STAD tersebut memiliki kecenderungan ke kuadran

interpersonal dan mastery, sedangkan understanding dan self expressive relatif sedikit. Karena itu bisa digambar seperti

berikut. Mastery Interpersonal Understanding Self-Expressive S uc ce s C uriosit y Or igi na li ty R elations hi p

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pembelajaran (Saschatchewan Education,  1988)
Gambar 2. Hubungan model, strategi, metode, dan
Gambar 1: Susunan siswa untuk interaksi melingkar

Referensi

Dokumen terkait

Di antara solusi yang dapat diberikan dalam meningkatkan akseptabilitas alumni Jurusan Al-Ahwal Al- Syakhsiyah pada seleksi Hakim Peradilan Agama di Mahkamah Agung

Kondisi sanitasi air cucian, kondisi sanitasi alat makan, penyimpanan makanan yang telah diolah, dan personal higiene pedagang ketoprak di kawasan kampus UNDIP

Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah kepemimpinan spiritual, rumusan masalah yang timbul dari latar belakang tersebut, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

Permasalahan kelompok ibu rumah tangga ini antara lain: belum ada pembinaan dalam meningkatkan pemberdayaan ibu rumah tangga, kegiatan kemasyarakatan (dawis, PKK,

Berdasarkan hasil penelitan diketahui bahwa internalisasi nilai kejujuran pada Pondok Pesantren Ibnul Amin Putri sebagai pesantren salafiah/tradisional, dan pesantren

Hal ini didukung faktor lain yang membuat perkembangbiakan vektor semakin pesat antara lain : perubahan lingkungan fisik seperti pertambangan, industri dan

Sehingga implementasinya dalam pembelajaran guru di kelas tidak sesuai dengan RPP yang dibawanya, dan RPP yang ditunjukkannya hanya formalitas pada saat ada supervisi oleh

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Dwijayanti (2011) mencoba membahas tentang manfaat yang dapat diperoleh indonesia dari penerapan atau pengimplementasian carbon