• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dampak Praktek Illegal logging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dampak Praktek Illegal logging"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dampak Praktek Illegal logging

Praktek IL secara umum berupa kegiatan menebang, mengangkut, dan menjual kayu dengan melanggar ketentuan/perundangan nasional dan/atau internasional (Contreras-Hermosilla, 1997). Definisi tentang IL atau pembalakan liar menurut draft RUU Pemberantasan Pembalakan Liar adalah bentuk kegiatan secara tidak sah di bidang kehutanan yang meliputi penebangan pohon, penguasaan, pengangkutan dan peredaran kayu hasil tebangan, serta perambahan kawasan hutan. Lebih lanjut Tacconi et.al (2003) mendefinsikan IL sebagai kegiatan illegal yang berkaitan dengan ekosistem hutan, industri terkait hutan, dan juga produk hutan kayu dan non-kayu. Hermosilla (1997) mengklasifikasikan beberapa praktek kehutanan yang termasuk praktek IL, yaitu : (a) pembalakan (logging) spesies yang dilindungi; (b) pemalsuan dokumen pemanenan kayu; (c) melakukan kontrak dengan oknum pengusaha lokal untuk membeli kayu dari kawasan yang dilindungi; (d) pembalakan kayu di dalam kawasan lindung; (e) pembalakan kayu di luar batas konsesi; (f) pembalakan kayu di dalam areal yang dilarang untuk ditebang, seperti lahan dengan kemiringan lahan curam sampai sangat curam dan daerah tangkapan air; (g) pemungutan kayu melebihi ijin yang diperkenankan; (h) pembalakan kayu tanpa ijin; (i) mendapatkan konsesi melalui proses yang illegal; (j) mengkonversi lahan hutan untuk penggunaan lain tanpa ijin; (k) pengangkutan kayu tanpa ijin; (l) penyelundupan kayu; (m) ekspor dan impor spesies pohon yang dilarang oleh perjanjian internasional, misalnya CITES; (n) menyatakan nilai dan volume ekspor kayu lebih rendah daripada yang sebenarnya; (o) mengabaikan hukum lingkungan, sosial, dan tenaga kerja dalam pengelolaan hutan; dan (p) penggunaan kayu yang diperoleh secara illegal dalam proses industri. Rosander (2008) menyebutkan bahwa ITTO (International Tropical Timber Organization) membedakan istilah Illegal logging dengan illegal (timber) trade, walaupun keduanya terkait erat. Illegal logging merupakan kegiatan pemanenan

(2)

kayu yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan (forest law), sedangkan illegal trade (domestik atau luar negeri) dilihat lebih kompleks, melibatkan tidak hanya hukum kehutanan, tetapi juga hukum yang mengatur perusahaan, perdagangan, perbankan, auditing, cukai, pajak, dan sebagainya. Legalitas kayu dapat dilihat dari sumber-sumber kayu yang dianggap legal atau tidak legal. Kemenkopolhukam (2006) menyebutkan bahwa Departemen Kehutanan memberikan kriteria untuk sumber kayu legal dan kayu ilegal sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sumber-Sumber Yang Dianggap Legal Dan Ilegal

Sumber Kayu Legal Sumber Kayu Ilegal

• HPH di hutan produksi dengan ijin

konsesi kayu ijin dari Departemen Kehutanan

• Kayu berasal dari kawasan hutan

konservasi dan hutan lindung

• HTI di hutan produksi dengan ijin konsesi

dari Departemen Kehutanan •

Ijin Bupati di dalam kawasan hutan dan diterbitkan sesudah 8 Juni 2002

• IPK HTI dengan stok tebangan di bawah

<20 meter kubik •

Hutan adat yang terletak di dalam kawasan hutan produksi dan tidak memiliki ijin dari pemerintah pusat

• IPK Kebun dengan ijin tebang oleh

pemerintah provinsi mewakili pusat •

IPK HTI dengan tebangan >20 meter kubik

• Hutan rakyat • Konsesi Kopermas yang dikeluarkan

oleh Pemda setempat setelah Desember 2004

• Ijin Bupati untuk melaksanakan

penebangan di luar batas kawasan hutan, untuk industri dan atau masyarakat adat

• Hutan kemasyarakatan (Hkm)

• HPH kecil (ijin 5000 ha kayu hutan alam

berlaku 25 tahun), dikeluarkan Bupati antara 27 Januari 1999 sampai dengan 8 Juni 2002, jika potensi kayunya masih ada

• Kawasan dengan tujuan istimewa (KDTI)

yang dikeluarkan Departemen Kehutanan kepada Masyarakat Adat Pesisir, Krui Lampung Barat

• Konsesi Kopermas yang disahkan

Menteri Kehutanan dan atau dikeluarkan antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002

• Impor kayu secara sah • Lelang kayu secara sah

(3)

Permasalahan IL bukanlah isu baru, tetapi fakta yang telah lama berjalan dan saat ini kondisinya makin kompleks. Conteras-Hermosilla (2002) menyebutkan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap IL :

a. Kegiatan kehutanan melibatkan areal yang luas, terjadi di tempat yang jauh, sehingga lolos dari keamanan publik, press, dan badan pengawas. Walaupun adanya teknologi penginderaan jauh, tetapi kapasitas untuk memonitor dan menegakkan hukumnya rendah; b. Di negara yang kaya sumberdaya hutan tetapi tingkat

pembangunan ekonominya rendah jarang ditemukan informasi akurat tentang volume pohon yang ada, kualitas sumberdaya hutan, distribusi spesies, dan lokasi geografis lainnya. Kegiatan inventarisasi hutan dan rencana pengelolaan hutan tidak sempurna dilakukan, sehingga monitoring sulit dilakukan;

c. Pengelolaan sumberdaya alam lebih memprioritaskan aspek ekonomi, diantaranya dengan adanya pandangan bahwa keberadaan hutan kurang ekonomis dibandingkan dengan lahan yang digunakan untuk pertanian intensif. Dalam hal ini pengambil kebijakan mendorong konversi lahan hutan untuk menjadi pertanian;

d. Hak kepemilikan lahan hutan sering tidak jelas dan tidak eksis. Batas lahan hutan di lapangan tidak jelas.

e. Gaji pegawai pemerintah yang jauh lebih rendah harus mengawasi kayu yang bernilai ekonomi tinggi mendorong terjadi pelanggaran atas jabatan;

f. Hukuman bagi pelaku IL sangat rendah, sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Faktor penyebab terjadinya praktek IL di Indonesia tidaklah ditentukan oleh faktor tunggal, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi. Ketimpangan supply dan demand kayu, masalah sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan, rendahnya apresiasi publik terhadap nilai ekosistem hutan, penegakan hukum dan tingkat ketaatan

(4)

hukum yang masih lemah sampai maraknya korupsi dalam praktek IL merupakan beberapa faktor kunci terjadinya praktek IL di Indonesia. Permasalahan IL juga terjadi di berbagai negara walaupun dengan tipe IL yang berbeda-beda. Tabel 2 menunjukkan kategori masalah IL yang terjadi di beberapa wilayah di dunia.

Tabel 2. Kategori Masalah Illegal logging pada Beberapa Wilayah di Dunia Rusia, Timur Jauh dan Siberia Asia Tenggara Afrika Tengah Baltik Amerika Selatan Amerika Utara Korupsi Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal Pelanggaran hak asasi manusia Korupsi Pembalakan di kawasan yang dilindungi Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal Pelanggaran hak asasi manusia Konflik Non Timber Penyalah-gunaan wewenang oleh aparat pemerintah Kerusakan lingkungan dan polusi Korupsi Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal Pelanggaran hak asasi manusia Korupsi Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal Pelanggaran hak asasi manusia Korupsi Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal Pelanggaran hak asasi manusia Pelanggaran hak-hak masyarakat lokal dan pelanggaran perjanjian Pelanggaran pemanenan Pembalakan di kawasan yang dilindungi Kerusakan lingkungan dan polusi Sumber : Ottitsch,et.al (2006)

Praktek IL terkategori sebagai kejahatan terorganisir yang melibatkan jaringan yang sangat solid, luas rentang kendalinya, kuat, mapan, menggunakan pola kerja yang terorganisir dan modern dengan sistem manajemen yang rapih dan baik, serta jaringan pemasaran yang luas di dalam dan luar negeri. Kategori pelaku IL , terdiri dari : (a). Masyarakat setempat dan masyarakat pendatang; (b). Pemilik modal atau cukong; (c). Oknum pemilik industri kayu atau pemilik IUPHHK yang bertindak sebagai penadah; (d) Awak pengangkut kayu IL; (e). Oknum pejabat pemerintah dan/atau penegak hukum; dan (f). Oknum pengusaha asing sebagai pemodal dan/atau penadah. Adapun modus operandi yang sering dilakukan dalam IL adalah sebagai berikut (Sukardi, 2005) :

(5)

a. Modus operandi di daerah hulu

• Melakukan penebangan tanpa ijin, biasanya dilakukan oleh

masyarakat dan hasil tebangannya dijual kepada cukong kayu atau oknum pengusaha industri kehutanan.

• Melakukan penebangan di luar ijin yang telah ditetapkan

konsesinya oleh pemerintah, biasanya dilakukan oleh oknum pemegang konsesi HPH dan HTI.

b. Modus operandi di jalur pengangkutan dan di daerah hilir

• Pengangkutan kayu tanpa dilengkapi dokumen yang sah. • Pengangkutan kayu dilengakapi dokumen palsu

o Blangko dan isinya palsu o Blangko asli tetapi isinya palsu o Dokumen berasal dari daerah lain

• Jumlah kayu yang diangkut tidak sesuai dengan data yang ada

dalam dokumen yang sah.

• Penggunaan dokumen sahnya kayu yang berulang-ulang.

• Penggunaan dokumen lain di luar dokumen yang telah

ditetapkan, misalnya penggunaan faktur kayu sebagai pengganti dokumen sahnya kayu; hal ini disebabkan oleh terjadinya praktek kolusi antara oknum pejabat, pengusaha, dan penegak hukum.

Dampak praktek IL mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat dan pembangunan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3. Praktek IL yang terjadi memberikan dampak negatif, seperti : berkontribusi terhadap dehutanisasi dan kehilangan keanekaragaman hayati, hilangnya pendapatan negara, mendorong tata kelola pemerintahan yang buruk, berkontribusi terhadap meningkatnya kemiskinan akibat penduduk kehilangan sumberdayanya, berkontribusi terhadap pendanaan konflik nasional dan regional, serta mendistorsi pasar hasil hutan yang akan menurunkan insentif untuk pengelolaan hutan berkelanjutan (Contreras-Hermosilla, 2002). Bagi sebagian orang, praktek IL dapat memberikan keuntungan positif, misalnya: pengembangan penggunaan lahan alternatif

(6)

di lahan hutan menyediakan sejumlah manfaat lokal bagi yang terlibat, pemerintah menerima pendapatan lebih besar sebagai hasil konversi lahan ilegal atau dilegalkan serta produksi kayu yang meningkat, oknum militer dan polisi mendapat pendapatan dari kegiatan kehutanan ilegal, adanya pendapatan bagi penduduk miskin dan penggangguran yang terlibat, harga kayu yang lebih rendah meningkatkan nilai kompetetif dari industri nasional, serta konsumen mendapatkan keuntungan akibat harga kayu yang lebih rendah (Tacconi et.al.,2003).

Tabel 3. Beberapa Aspek yang Dipengaruhi Praktek Illegal logging

Aspek Keterangan

Aspek Lingkungan

Kegiatan IL meningkatkan keterbukaan lahan hutan, merusak habitat sehingga kehidupan spesies tumbuhan dan satwa terancam, mengurangi kemampuan lahan untuk mengabsorbsi emisi karbon dioksida yang berkaitan dengan dampak dari perubahan iklim.

Aspek Fisik Penghancuran penutupan hutan menimbulkan terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor, fluktuasi debit yang tinggi antara musim kemarau dan hujan, dan sebagainya.

Aspek Pendapatan Negara

Kegiatan IL menghilangkan pendapatan negara. Akibat prakek IL pemerintah Indonesia pada tahun 2003 diperkirakan kehilangan pendapatan hampir $1 milyar per tahun.

Aspek

Pembangunan Berkelanjutan

Akibat kegiatan IL generasi mendatang diperkirakan akan menanggung resiko lingkungan yang lebih berat daripada generasi saat ini. Kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan kehidupan lebih baik berkurang akibat ekosistem hutan yang memberikan produk dan jasa lingkungan menurun. Hasil studi Bank Dunia pada tahun 1997 menunjukkan bahwa akibat kegiatan IL di Kamboja dengan nilai $0.5-1 milyar dengan perkiraan 4 juta m3 setidaknya 10 kali dari volume dari penebangan kayu legal.

Aspek Sosial Kegiatan IL merusak respek terhadap hukum dan kewibawaan pemerintah. Praktek IL juga turut menyuburkan praktek korupsi dalam pemungutan kayu.

Aspek Perdagangan

Kayu yang dibalak secara illegal lebih murah daripada produk legal, sehingga mendistorsi pasar global dan merusak insentif bagi pengelolaan hutan berkelanjutan. Tacconi et.al (2004) menunjukkan bahwa biaya eksploitasi kayu illegal adalah US$32/m3 , jauh lebih murah daripada biaya eksploitasi HPH yang legal sebesar US$85/m3. Aspek Politik Di beberapa negara pendapatan dari IL digunakan untuk membiayai

konflik nasional dan regional, misalnya kasus di Liberia dan Republik Demokratik Kongo. Di Kamboja, tentara Khmer Rouge dapat bertahan dari dana yang berasal praktek IL dari kawasan hutan yang berada di bawah kendalinya selama beberapa tahun sampai pertengahan tahun 1990-an.

(7)

2.2. Pemberantasan Illegal logging

Upaya pemberantasan IL menjadi prioritas kebijakan kehutanan yang harus dituntaskan mengingat dampak IL sangat merugikan bagi kelestarian hutan, kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, juga menjadi ancaman terhadap moral bangsa, kedaulatan, dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Walaupun political will pemerintah kuat dalam pemberantasan IL, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap praktek IL yang disebut juga sebagai tindak kejahatan kehutanan belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada saat operasi pemberantasan IL dilakukan, kegiatan penebangan kayu secara illegal terus berjalan. Tampaknya kegiatan penegakan hukum belum mampu menciptakan dampak jera bagi pelaku praktek IL. Persepsi di antara penegak hukum dalam penanganan kasus IL belum sepenuhnya sama. Hal ini diindikasikan dengan masih banyaknya kasus hukum praktek IL yang divonis hukuman ringan bahkan dibebaskan. Tampaknya peningkatan apresiasi nilai ekosistem hutan perlu juga dilakukan terhadap aparat penegak hukum, dengan harapan makin tingginya apresiasi penegak hukum terhadap nilai ekosistem hutan maka makin berat hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku IL (Ramdan, 2006). Penegakan aturan hukum akan berjalan efektif apabila tingkat kepatuhan (compliance) masyarakat terhadap hukum itu besar. Hirakuri (2003) mengemukakan perbedaan compliance (tingkat kepatuhan) hukum dalam bidang kehutanan di Finlandia yang compliance-nya tinggi dan Brazil yang compliance-nya rendah. Tingkat compliance yang tinggi di Finlandia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu economic incentives, forest extention, institutional management and cooperation, small-scale forestry, forest-management plans, dan penerapan forest-certification. Adapun di Brazil, beberapa permasalahan pengelolaan hutan diantaranya:

(8)

complicated administratif procedures for procursing logging permits, deficient processes for forest control, law rates of compliance with forest-law, ineffectiveness within the legal systems for imposing penalties on violators, institutional problems within enforcement division, scarce financial resources allocated to field enforcement, dan less economic incentives. Dari kasus yang dikemukakan tersebut tampak bahwa keberhasilan penegakan hukum tidak berdiri sendiri, namun harus didukung oleh pembenahan instrumen lainnya termasuk di dalamnya instrumen politik, sosial-kelembagaan, dan ekonomi.

Pengembangan sistem pemberantasan IL terpadu merupakan upaya untuk memadu-harmoniskan antara prinsip sustainability dengan legality dalam proses pemanfaatan hasil hutan (Ramdan,2006). Lebih lanjut Ramdan (2006) menyebutkan bahwa apabila pemberantasan IL (combatting Illegal logging/CIL), sustainability (S) dan legality (L) masing-masing dinotasikan masing-masing-masing-masing sebagai CIL, S, dan L, maka CIL = f( S , L). Pemberantasan IL tidak akan berjalan apabila parameter S dan L tidak efektif dijalankan. Dalam hal ini upaya pemberantasan IL perlu dimulai dari diterapkannya S dalam pengelolaan hutan secara konsisten, transparan, dan akuntabel. Prinsip sustainability dalam pengelolaan hutan yang berintikan kelola ekologis (lingkungan), kelola produksi (ekonomi), dan kelola sosial senantiasa harus diterapkan secara utuh dalam pengelolaan hutan sesuai dengan tipologi hutan yang dikelola. Apabila terjadi gap diantara tiga kelola tersebut berdampak pada ketidaklestarian pengelolaan hutan, misalnya terjadi kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Sistem sustainability dalam pengelolaan hutan menjadi inti kegiatan dalam membangun sistem pemberantasan IL di dalam kawasan hutan. Dalam kegiatan pengelolaan hutan dikenal adanya tiga pilar, yaitu manajemen hutan (MH) sebagai inti kegiatan, manajemen kawasan (MK) sebagai prasyarat keharusan, dan kelembagaan hutan (KH) sebagai prasyarat kecukupan sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2. Masing-masing pilar tersebut saling memengaruhi satu dengan lainnya, sehingga di antara pilar tersebut ada interaksi, yaitu MH-KH, MK-KH, dan MK-KH.

(9)

Ruang interaksi tersebut selama ini belum berjalan secara sinergis, sehingga pencapaian sistem pengelolaan hutan berkelanjutan sering tidak tercapai. Implementasi MH sebagai inti kegiatan yang terdiri dari kelola ekologis, kelola produksi, dan kelola sosial apabila tidak dijalankan secara baik sesuai peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan hutan akan mengundang sistem kelembagaan lainnya untuk mengontrol pilar MH, misalnya masuknya penyidik di luar PPNS Kehutanan untuk menyidik kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. Ruang antara MH-KH perlu dianalisis model sinergisitasnya sehingga tidak mengganggu MH yang menjadi menjadi inti kegiatan. Begitu pula ruang MK-KH yang mengintegrasikan inti kegiatan dengan prasyarat keharusan. Pilar KH diantaranya adalah kesesuaian dengan tata ruang dan kepastian kawasan. Ketidakpastian kawasan sangat berdampak pada iklim investasi dalam inti kegiatan (MH), sehingga tanpa terpenuhinya secara baik pilar MK maka kegiatan MH tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu upaya untuk membangun sinergisitas diantara tiga pilar pengelolaan hutan perlu dilakukan segera, sehingga ekses negatif ketidaksinergisan diantara ketiga pilar tersebut dapat diminimalkan (Ramdan, 2006). Untuk mengkaji kinerja sustainability dalam pengelolaan hutan telah banyak dikembangkan acuan/pedoman yang dapat berfungsi sebagai sistem verifikasi kehutanan. Dalam kegiatan pengusahaan hutan dapat ditemukan beberapa lembaga dan sistem verifikasi kehutanan yang ada di Indonesia sebagai berikut :

A. Departemen Kehutanan

1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 2. Laporan Tahunan Unit Manajemen ke DepHut 3. Lembaga Penilai Independen (LPI)

4. Kelompok Kerja Restrukturisasi Pengusahaan Hutan Produksi Alam

5. Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) B. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)

(10)

2. Sertifikasi PHTL 3. Sertifikasi PHBML

4. Sertifikasi Lacak Balak (CoC) D. Forest Stewardship Council (FSC)

E. International Tropical Timber Organization (ITTO)

F. Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI)- Self Declaration (Pernyataan Diri)

G. Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) – Departemen Kehutanan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan H. The Nature Conservancy (TNC)

I. Tropical Forest Foundation (TFF)

J. Global Forest And Trade Network (GFTN)

Gambar 2. Tiga Pilar Pengelolaan Hutan

Sistem verifikasi kehutanan tersebut menjadi gerbang pertama dalam menyusun sistem pemberantasan IL secara terpadu. Belum dipahaminya sistem verifikasi kehutanan diantara stakeholders kehutanan, baik pelaku usaha, pemerintah, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat menimbulkan gap yang menimbulkan ekses negatif terhadap perkembangan pembangunan sektor kehutanan. Harmonisasi persepsi diantara stakeholders kehutanan terhadap sistem verifikasi kehutanan perlu dilakukan dengan menyusun Standar Verifikasi Kegiatan Kehutanan

(11)

yang disepakati oleh semua pihak. Keberadaan standar tersebut diharapkan akan membangun visi bersama dalam memantau proses kegiatan kehutanan secara transparan dan akuntabel, sehingga ekses negatif dari kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dapat dihindari (Ramdan, 2006).

Pemberantasan IL dengan tingkat kompleksitasnya yang tinggi tidak cukup mengacu pada proses sustainability di tingkat unit pengelolaan, tetapi harus memperhatikan pula proses legality di setiap proses pengelolaannya. Upaya membangun sistem pemberantasan IL di Indonesia mencakup beberapa tahapan kegiatan. Ramdan (2006) menyebutkan bahwa langkah pengembangan sistem dimulai dari menganalisis tiga sistem yang mempengaruhi pengelolaan hutan, yaitu sistem manajemen kawasan dan tata ruang, sistem pengelolaan hutan, dan sistem kelembagaannya yang digunakan untuk menyusun pola sinergisitasnya diantara ketiga sistem tersebut. Adanya sinergisitas antar sistem tersebut akan membangun harmonisasi antara sistem sustainabilty dan legality dalam pengelolaan hutan. Komponen utama dari sistem sustainability dan legality yang perlu dibangun menyangkut : (a) implementasi prinsip-prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan; (b) pembenahan struktur hukum terkait IL; (c) kebijakan insentif dan disinsentif; serta (d) pemberdayaan ekonomi dan partisipasi masyarakat. Koordinasi dan pengawasan antar lembaga perlu dilakukan diantara komponen (a) dan (b) sehingga diperoleh Standar Verifikasi dan Legalitas Pemanfaatan Hasil Hutan yang menjadi bagian penting dari harmonisasi sistem pengelolaan hutan dan legalitas pemanfaatan hasil hutan. Kebijakan insentif dan disinsentif diarahkan untuk mendorong pelaku pemanfaatan hutan yang legal agar mengelola hutannya secara on the track sesuai dengan sistem pengelolaan hutan berkelanjutan. Komponen pemberdayaan masyarakat dan partisipasi masyarakat terdiri dari upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan, peningkatan

apresiasi nilai sumberdaya hutan, dan sistem pengawasan

(12)

pendapatan dan apresiasi nilai terhadap sumberdaya hutan diharapkan akan membangun sistem perlindungan ekosistem hutan oleh masyarakat secara mandiri. Pengembangan sistem pengawasan oleh masyarakat didasarkan atas fakta bahwa kemampuan untuk mengontrol praktek IL tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi harus didukung penuh oleh partisipasi masyarakat. Penanganan praktek IL perlu dilakukan secara komprehensif. Tidak cukup hanya dengan penegakan hukum saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek lainnya. Ramdan (2006) menyebutkan bahwa alternatif penanganan Illegal logging dapat dilakukan dengan model BILL sebagai akronim dari Berantas yang Illegal-Lindungi yang Legal yang meliputi beberapa kegiatan sebagai berikut :

a. Penegakan Hukum

Kegiatan penegakan hukum dilakukan untuk menimbulkan dampak jera terhadap pelaku praktek IL dan meningkatkan tingkat ketaatan publik terhadap peraturan perundangan khususnya di bidang kehutanan. Proses penegakan hukum terdiri dari : penyidikan, penuntutan, pemidanaan, dan pelaksanaan/eksekusi. Tahapan penyidikan IL menjadi permasalahan tersendiri dalam pemberantasan IL terkait masih lemahnya koordinasi antar institusi penyidik dalam pemberantasan IL. Lemahnya koordinasi antar penyidik tersebut merupakan celah yang mudah diterobos pelaku IL. Oleh karena itu perlu pembenahan sistem penyidikan yang terintegrasi diantara institusi penyidik dalam pemberantasan IL2.

2 Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 ayat 1 UU No.8/1981).Ada empat institusi penyidik : penyidik Polri, penyidik PPNS, penyidik Kejaksaan, dan Penyidik Perwira TNI-AL. Tata cara penyerahan berkas perkara oleh PPNS kepada penyidik Polri diatur oleh Fatwa Mahkamah Agung No.KMA/114/IV/1990 tanggal 7 April 1990 : Baik terhadap tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus Penyidikan PNS tersebut selesai melakukan penyidikannya harus menyerahkan hasil penyidikannya secara nyata kepada penyidik Polri, barulah setelah itu Penyidik Polri menyerahkan hasil penyidikan PPNS berkas perkara kepada penuntut umum.

(13)

b. Peningkatan Apresiasi Publik terhadap Nilai Ekosistem Hutan

Upaya untuk meningkatkan apresiasi publik terhadap nilai ekosistem hutan, disamping dengan metode formal melalui penyuluhan, juga dapat dilakukan dengan pendekatan kultural. Secara kultural, publik diberikan penjelasan keterkaitan antara tata nilai sosial dengan potensi nilai yang dikandung dalam hutan sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat.

c. Kebijakan Insentif Menghindari Degradasi Hutan

Pemberantasan IL sebaiknya juga memperhatikan kelompok dunia usaha kehutanan yang melakukan kegiatannya secara legal. Insentif dan penghargaan seharusnya lebih besar diberikan pula pada kelompok dunia usaha atau masyarakat yang selama ini telah berupaya keras melakukan pencegahan dehutanisasi (deforestration avoidance). Tampaknya dalam hal ini pemerintah perlu membuat kebijakan insentif untuk merangsang dunia usaha dan masyarakat mau menjalankan aktifitasnya secara legal, sehingga gambaran bahwa berusaha secara legal lebih mahal daripada usaha ilegal dapat dihapuskan. Sebaliknya kebijakan disinsentif bagi dunia usaha yang melakukan aktifitas ilegal perlu diterapkan pula. Kebijakan disinsentif bagi pelaku aktifitas IL yang dibuat ditujukan untuk membuat efek jera bahwa apabila berusaha di bidang kehutanan secara ilegal dapat dipastikan secara ekonomi akan rugi. Tampaknya bentuk kebijakan insentif ini tidak akan efektif berjalan sepanjang korupsi masih marak, sehingga penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pengusahaan hutan mutlak diperlukan.

d. Pemberdayaan Masyarakat

Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan secara umum relatif rendah. Kelimpahan sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya tidak mampu mengangkat kondisi ekonominya menjadi lebih baik, sebaliknya akibat eksploitasi hutan yang menimbulkan eksternalitas negatif telah menjadi beban sosial masyarakat yang berkepanjangan

(14)

dan cenderung makin termarjinalkan. Kemiskinan dan sempitnya peluang berusaha bagi masyarakat sekitar hutan mendorong mereka untuk terlibat dalam praktek IL dengan dukungan dana dari pihak luar yang secara ekonomi jauh lebih kuat. Ketika sumberdaya hutan di sekitarnya yang menjadi rusak, maka pada saat itu pula kemiskinan mereka bertambah. Oleh karena itu upaya pemberdayaan masyarakat harus terintegrasi dengan program pemberantasan praktek IL. Hasil Operasi Wanalaga Lodaya Tahun 2003 di tiga kawasan konservasi (Cagar Alam Gunung Papandayan, Cagar Alam Gunung Talagabodas, dan Cagar Alam Leuweung Sancang) di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa kegiatan penegakan hukum telah berhasil membuat dampak jera pelaku perambahan lahan hutan, termasuk penggarap lahan hutan di luar kawasan tersebut. Namun ketika upaya pemberdayaan masyarakat terlambat diluncurkan, maka beberapa perambah lahan hutan yang tadinya sepakat menghentikan aktifitasnya kembali masuk merambah lahan hutan di kawasan konservasi dan lindung yang ada. Masalah kebutuhan ekonomi ternyata masih menjadi alasan klasik untuk menjarah hutan bagi kelompok masyarakat yang tingkat ekonominya rendah.

e. Kerjasama Internasional Pemberantasan Illegal logging

Sebagian dari kayu diselundupkan ke luar negeri. Beberapa negara mengimpor bahan baku kayunya secara illegal dari Indonesia. Upaya menyetop perdagangan kayu ilegal tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa kerjasama dengan negara yang disinyalir mengimpor kayu illegal. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus lebih proaktif terlibat dalam perjanjian multilateral dan bilateral yang berkaitan dengan pemberantasan praktek IL. Komitmen bersama perlu dibangun dengan negara-negara lain yang selama ini menjadi pengimpor kayu dalam memerangi praktek IL.

(15)

2.3. Analisis Stakeholders

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan kolaborasi diantara stakeholders (pemangku kepentingan) yang berbeda-beda. Kolaborasi tidak membangun persetujuan diantara masyarakat tentang apa yang akan dilakukan, tetapi lebih sering menyangkut pengaturan perbedaan dalam kepentingan (interests) dan kekuatan (power) dalam penggunaan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Oleh karena itu pendekatan dalam menganalisis stakeholders difokuskan terhadap hak-hak yang dimiliki (rights), tanggung-jawab (responsibilities), keuntungan yang diperoleh (Revenues), dan hubungan diantara stakeholders (relationships). Analisis stakeholders tersebut disebut sebagai pendekatan 4Rs (Dubois, 1998).

Pendekatan 4Rs sebagai alat analisis stakeholders dapat diterapkan dalam: (a) menganalisis situasi multi-stakeholders dan mendiagnosa permasalahan; (b) menilai dan membandingkan kebijakan-kebijakan; (c) berperan dalam proses negosiasi; (d) alat evaluasi dalam siklus proyek; (d) merekstrukturisasi dan kelembagaan dan desentralisasi (Dubois, 1998).

Pendekatan 4Rs merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk mengklarifikasi peranan (roles) yang dimainkan oleh stakeholders yang berbeda dan sifat hubungan (relationship) diantara mereka (IIED, 2005). Peranan merupakan bentuk dari perilaku, kebiasaan dan respon. Untuk memainkan peranan yang baik setiap stakeholder perlu untuk

menginterpretasikan peranannya, mengidentifikasinya,

mengembangkannya, dan bekerja dengannya. Kerangka 4 Rs membongkar peranan dari stakeholders ke dalam rights, responsibilities, Revenues (dapat disamakan dengan return, rewards atau benefits), serta menilai relationship diantara stakeholders yang terlibat (IIED, 2005). Dalam hal ini peranan stakeholders dianalisis berdasarkan karakteristik hak-haknya (rights), tanggung-jawab (responsibilities), manfaat atau hasil yang akan diperolehnya (Revenues), dan hubungan yang terbangun diantara stakeholders (relationships).

(16)

IIED (2005) menyebutkan bahwa kerangka pendekatan 4Rs ini dapat diterapkan pada berbagai tingkatan yang berbeda, baik di tingkatan lokal atau proyek, wilayah, dan nasional. Pendekatan 4Rs dianggap paling efektif sebagai participatory tool untuk membangun dialog diantara stakeholders . Di dalam praktek penggunaan pendekatan 4Rs meliputi dua komponen utama, yaitu : (a) penilaian keseimbangan dari tiga R (rights, responsibilities, dan Revenues) di dalam dan diantara stakeholders (assesment of the balance of three Rs); serta (b) penilaian status dari R keempat yaitu relationship diantara stakeholders . Tiga Rs menunjukkan progres yang sering menunjukkan kualitas dari hubungan antar stakeholders , politik lokal dan budaya, serta pengaruh tekanan eksternal (IIED, 2005).

Analisis 3 Rs sebaiknya dilakukan secara bersamaan daripada sendiri-sendiri dan di dalam serta diantara kelompok-kelompok stakeholders , karena keseimbangan (balance) diantara hak,

tanggung-jawab, dan manfaat merupakan indikasi yang baik dalam

menggarisbawahi struktur kekuatan serta insentif atau disinsentif dalam mencapai pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, misalnya : (a) tanggung-jawab yang tinggi akan meningkatkan insentif yang diberikan; dan (b) pelaksana swasta memiliki hak dan pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam tetapi memiliki beban tanggung-jawab rendah atau tanggung-jawab terhadap publik yang kurang. Hubungan diantara stakeholders dianalisis dengan memperhatikan : (a) kualitas hubungan (misalnya : baik, sedang, atau terjadi konflik); (b) kekuatan hubungan, berkaitan dengan frekuensi dan intensitas kontak diantara stakeholders ; (c) formalitas hubungan, berkaitan dengan tipe hubungan yang bersifat formal atau informal; serta (d) ketergantungan (dependence) antar stakeholders (IIED, 2005).

2.4. Proses Hirarki Analitis

Pendekatan Proses Hirarki Analitis (Analytical Hierarchy Process, AHP) dikembangkan oleh Thomas L Saaty pada tahun 1970-an yang merupakan sistem pembuat keputusan dengan menggunakan model

(17)

matematis. Pendekatan AHP membantu dalam menentukan prioritas dari beberapa kriteria dengan melakukan analisa perbandingan berpasangan dari masing-masing kriteria. Metode ini digunakan untuk menyelesaikan masalah pengambilan keputusan yang memerlukan multikriteria (terdapat banyak kriteria dan alternatif). Analisis AHP dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara manual (hitungan) dan dengan alat bantu analisis yaitu dengan program Criteium Plus. Adapun langkah – langkah analisa AHP dengan cara manual adalah sebagai berikut (Saaty, 2001) :

a. Penyusunan struktur keputusan

Penyusunan struktur keputusan dalam penentuan prioritas pada suatu permasalahan dilakukan dengan melakukan dekomposisi dari permasalahan yang ada sehingga akan tergambar faktor-faktor yang mempengaruhi serta alternatif keputusan yang ditentukan dalam bentuk hirarki dimana semua elemen yang ada di dalam struktur keputusan.

b. Penyusunan matriks pendapat

Penyusunan matrik pendapat adalah untuk menentukan nilai kepentingan dari setiap elemen pada struktur keputusan. Dalam menentukan skala kepentingan mengacu pada skala komparasi dari Saaty. Skala prioritas dilakukan guna mempermudah pemahaman penggunaan metode analisis jenjang keputusan. Matriks pendapat dibuat berdasarkan tingkatan level dari masing-masing faktor.

c. Prioritas elemen setiap level

Penentuan prioritas elemen pada setiap level dapat diketahui dengan mencari nilai komparasi berpasangan. Nilai ini dapat diperoleh dengan melakukan normalisasi dari bobot skala prioritas dari matriks pendapat. Bobot normal dari matriks komparasi berpasangan dari masing-masing level dalam struktur keputusan adalah rata-rata terhadap nilai masing-masing baris. Pembobotan normal menunjukkan prioritas dari masing-masing

(18)

elemen dalam suatu level struktur keputusan. Berdasarkan bobot normal akan didapatkan nilai eigen vector dan index konsistensi. Ketiga langkah ini diulang untuk mendapatkan bobot dari masing-masing elemen pada setiap levelnya. Selanjutnya,

d. Matriks pendapat gabungan

Untuk mendapatkan matriks pendapat gabungan maka pertama-tama dilakukan penentuan skala kepentingan relatif serta bobot dua elemen pada suatu tingkat (level II) dalam kaitannya dengan elemen pada tingkat diatasnya (level I). Penentuan skala kepentingan diulang pada semua elemen pada suatu level terhadap masing-masing elemen pada level di atasnya.

e. Prioritas pengambilan keputusan

Penentuan prioritas keputusan yang akan diambil untuk dikembangkan di suatu daerah ditentukan dengan melakukan sintesa dari bobot prioritas dari semua variabel yang ada pada tiap-tiap level pada struktur keputusan. Jika konsistensi keseluruhan dari matriks gabungan < 10% maka prioritas tersebut sudah konsisten. Pendekatan AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu:

1. Dekomposisi

Dengan prinsip ini struktur masalah yang kompleks dibagi menjadi bagian-bagian secara hierarki. Tujuan didefinisikan dari yang umum sampai khusus . Dalam bentuk yang paling sederhana struktur akan dibandingkan tujuan ,kriteria dan level alternatif. Tiap himpunan alternatif mungkin akan dibagi lebih jauh menjadi tingkatan yang lebih detail ,mencakup lebih banyak kriteria yang lain. Level paling atas dari hirarki merupakan tujuan yang terdiri atas satu elemen. Level berikutnya mungkin mengandung beberapa elemen, di mana elemen-elemen tersebut bisa dibandingkan, memiliki kepentingan yang hampir sama dan tidak memiliki perbedaan

(19)

yang terlalu mencolok. Jika perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level yang baru.

2. Perbandingan penilaian/pertimbangan (comparative judgments)

Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari semua elemen yang ada dengan tujuan menghasilkan skala kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan skala penilaian yang berupa angka. Perbandingan berpasangan dalam bentuk matriks jika dikombinasikan akan menghasilkan prioritas.

3. Sintesa Prioritas

Sintesa prioritas dilakukan dengan mengalikan prioritas lokal dengan prioritas dari kriteria bersangkutan di level atasnya dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang dipengaruhi kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau dikenal dengan prioritas global yang kemudian digunakan untuk memboboti prioritas lokal dari elemen di level terendah sesuai dengan kriterianya. AHP didasarkan atas empat aksioma utama yaitu (Amborowati, 2006) :

a. Aksioma Resiprokal

Aksioma ini menyatakan jika PC (EA,EB) adalah sebuah perbandingan berpasangan antara elemen A dan elemen B, dengan memperhitungkan C sebagai elemen parent, menunjukkan berapa kali lebih banyak properti yang dimiliki elemen A terhadap B, maka PC (EB,EA)= 1/ PC (EA,EB). Misalnya jika A 5 kali lebih besar daripada B, maka B=1/5 A.

b. Aksioma Homogenitas

Aksioma ini menyatakan bahwa elemen yang dibandingkan tidak berbeda terlalu jauh. Jika perbedaan terlalu besar, hasil yang didapatkan mengandung nilai kesalahan yang tinggi. Ketika hirarki dibangun, kita harus berusaha mengatur elemen-elemen agar elemen tersebut tidak

(20)

menghasilkan hasil dengan akurasi rendah dan inkonsistensi tinggi.

c. Aksioma Ketergantungan

Aksioma ini menyatakan bahwa prioritas elemen dalam hirarki tidak bergantung pada elemen level di bawahnya. Aksioma ini membuat kita bisa menerapkan prinsip komposisi hirarki.

d. Aksioma Ekspektasi

Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objektif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap Selanjutnya Saaty (2001) menyatakan bahwa proses hirarki analitik (AHP) menyediakan kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif atas isu kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pendukung keputusan. Pada dasarnya AHP adalah suatu metode dalam merinci suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur kedalam suatu komponen-komponennya. Artinya dengan menggunakan pendekatan AHP kita dapat memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). Tahapan prosedur dalam AHP adalah sebagai berikut:

a. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi. b. Penilaian kriteria dan alternatif

Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1988), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9

(21)

adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas

Kepentingan Keterangan

1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya

7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya 9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan

Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya Proses perbandingan berpasangan, dimulai dari level hirarki paling atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya A, kemudian diambil elemen yang akan dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Maka susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Contoh matriks perbandingan berpasangan

A1 A2 A3

A1 1

A2 1

A3 1

Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen digunakan skala bilangan dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 4. Penilaian ini dilakukan oleh seorang pembuat keputusan yang ahli dalam bidang persoalan yang sedang dianalisa dan mempunyai kepentingan terhadapnya. Apabila suatu elemen dibandingkan dengan dirinya sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen i dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j dibandingkan

(22)

dengan elemen i merupakan kebalikannya. Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode langsung (direct), yaitu metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. Biasanya nilai-nilai ini berasal dari sebuah analisis sebelumnya atau dari pengalaman dan pengertian yang detail dari masalah keputusan tersebut. Jika si pengambil keputusan memiliki pengalaman atau pemahaman yang besar mengenai masalah keputusan yang dihadapi, maka dia dapat langsung memasukkan pembobotan dari setiap alternatif.

c. Penentuan prioritas

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas melalui tahapan-tahapan beriku : (a) kuadratkan matriks hasil perbandingan berpasangan; dan (b) hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi matriks.

d. Konsistensi Logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut (Suryadi dan Ramdhani, 1998):

Hubungan kardinal : aij . ajk = aik

(23)

Hubungan di atas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut : (a) dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila anggur lebih enak empat kali dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pisang maka anggur lebih enak delapan kali dari pisang; (b) Dengan melihat preferensi transitif, misalnya anggur lebih enak dari mangga dan mangga lebih enak dari pisang maka anggur lebih enak dari pisang. Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian. b. Menjumlahkan hasil perkalian per baris.

c. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan.

d. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks. e. Indeks Konsistensi (CI) = (λmaks-n) / (n-1)

f. Rasio Konsistensi = CI/ RI, di mana RI adalah indeks random konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan. Daftar RI dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Indeks Random (Saaty, 2001)

Ukuran Matriks Nilai RI Ukuran Matriks Nilai RI

1,2 0,00 9 1,45 3 0,58 10 1,49 4 0,90 11 1,51 5 1,12 12 1,48 6 1,24 13 1,56 7 1,32 14 1,57 8 1,41 15 1,59 9 1,45 10 1,49 11 1,51 12 1,48 13 1,56 14 1,57 15 1,59

Gambar

Tabel 1. Sumber-Sumber Yang Dianggap Legal Dan Ilegal
Tabel 2. Kategori Masalah Illegal logging pada Beberapa Wilayah di Dunia
Tabel 6. Nilai Indeks Random (Saaty, 2001)

Referensi

Dokumen terkait

Integrated learning merupakan pendekatan belajar mengajar yang memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik (Developmentally Appropriate

Meskipun sekolah memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum secara penuh akan tetapi dalam tawaran tersebut dibatasi pada kurikulum yang bersifat inklusif

Tumbuhan dan hewan yang mempunyai potensi nilai ekologis, nilai budaya dan historis di Taman Panorama Baru dapat diketahui sehingga dapat dikembangkan untuk

Dinas Pariwisata, Ekonomi Kreatif dan Komunikasi Informatika merupakan unsur pelaksana otonomi daerah mempunyai tugas pokok membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan sebagian urusan

Hal ini terjadi bukan karena pertambahan jumlah stok ikan depik di danau ini, namun lebih dipicu (driven) oleh peningkatan input, penambahan jumlah trip atau

Penyusunan skripsi dengan judul “Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Melalui Metode Ceramah Terhadap Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Pada Siswa SMP Negeri 9

Southern African Development Community (SADC) adalah sebuah organisasi antar pemerintah dengan tujuan untuk menjalin kerjasama sosio-ekonomi dan integrasi lebih

Dari proses pembelajaran yang dilakukan secara berkolaborasi antara guru dengan penelitian yang melaksanakan siklus I sampai dengan siklus II penerapan model