• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Landak Jawa (H. javanica) (Boudet 2008).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Landak Jawa (H. javanica) (Boudet 2008)."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Landak Jawa

Landak Jawa (H. javanica) termasuk ke dalam hewan mamalia yang mengerat sehingga dalam taksonomi diklasifikasikan sebagai ordo Rodentia. Landak Jawa tergolong ke dalam famili Hystricidae dan termasuk ke dalam Old World Porcupine yang terdiri atas 3 genus dan 11 spesies. Hewan ini hidup di daerah dataran rendah dan merupakan rodensia dengan ukuran yang besar. Berikut ini dapat dilihat morfologi secara umum landak Jawa pada Gambar 1.

Gambar 1 Landak Jawa (H. javanica) (Boudet 2008).

Menurut Nowak (1999) landak Jawa termasuk ke dalam genus Hystrix dengan nama latin Hystrix javanica. Spesies ini masuk ke dalam subfamili Hystricinae, famili Hystricidae. Landak Jawa termasuk ke dalam subordo Hystricomorpha, ordo Rodentia (DeBlase dan Robert 1981). Secara sistematis klasifikasi landak Jawa adalah sebagai berikut:

Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Subordo : Hystricomorpha Famili : Hystricidae Subfamili : Hystricinae Genus : Hystrix

(2)

Klasifikasi famili Hystricidae terbagi menjagi 3 genus utama yaitu Trichys, Atherurus, dan Hystrix. Hystrix merupakan genus yang sangat terspesialisasi dan terbagi menjagi 3 subgenus yaitu Hystrix, Acanthion, dan Thecurus (Weers 2005). Pada Tabel 1 berikut ini dapat dilihat klasifikasi landak Jawa (H. javanica) pada tingkatan genus Hystrix dan subgenus Acanthion.

Tabel 1 Klasifikasi famili Hystricidae (Old World Porcupine) (Weers 2005; Nowak 1999)

Genus Sub genus Spesies

Trichys - Trichys fasciculata

Atherurus - Atherurus africanus

Atherurus macrourus Hystrix Hystrix Acanthion Thecurus Hystrix cristata Hystrix africaeaustralis Hystrix indica

Hystrix (Acanthion) brachyura

Hystrix (Acanthion) javanica

Hystrix (Thecurus) sumatrae Hystrix (Thecurus) crassispinis Hystrix (Thecurus) pumila

Selain landak Jawa, penyebaran berbagai jenis landak lain di Afrika dan Asia Tenggara meliputi Crested porcupine (Hystrix cristata), Malayan porcupine atau landak raya (Hystrix brachyura), Sumatran porcupine (Hystrix sumatrae), dan Bornean porcupine (Hystrix crassispinis) (Weers 2005). Berikut ini morfologi umum jenis landak lain yang tersebar di Afrika dan Asia Tenggara yang membedakannya dengan morfologi umum landak Jawa dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Beberapa spesies landak. a. Hystrix cristata, b. Hystrix brachyura, c. Hystrix sumatrae, d. Hystrix crassispinis (Myers 2012).

b. a.

d. c.

(3)

2.2 Morfologi Landak Jawa

Landak Jawa (H. javanica) atau Javan porcupine atau biasa dikenal juga sebagai landak ekor pendek Jawa (Javan short-tailed porcupine) merupakan satwa endemis pulau Jawa. Landak Jawa ditemukan oleh F. Cuvier pada tahun 1823 di Jawa. Landak Jawa memiliki rata-rata bobot badan seberat 10 kg dengan panjang tubuh berkisar antara 45,5-73,5 cm dan panjang ekornya berkisar antara 6-13 cm (Gale 2004). Hewan ini memiliki kaki-kaki yang pendek, berjalan menumpu pada telapak (plantigradi), baik pada kaki depan dan belakang memiliki lima buah jari, namun digit pertama pada kaki depan mengalami rudimenter (Nowak 1999).

Landak Jawa memiliki karakteristik bagian tubuh atas yang ditutupi oleh rambut-rambut yang sangat keras berbentuk silinder yang menyerupai duri tajam, berwarna hitam yang melingkarinya atau coklat gelap dan putih. Duri-duri tajam ini digunakan sebagai alat pertahanan diri. Sedangkan pada bagian bawah terlihat tubuhnya tertutupi oleh rambut-rambut pendek berwarna hitam dan terasa agak kasar (Farida dan Roni 2011). Landak dewasa dapat memiliki kurang lebih 30.000 batang duri pada tubuhnya. Menurut Sheila (2011) duri landak Jawa dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu duri pipih, duri sejati, duri transisi, dan duri berderak. Berdasarkan pola distribusi, duri pipih terdapat pada regio kepala dan leher, dorsal scapula, thoraks bagian kranial, dan ventral abdomen. Pada duri sejati terdapat di regio thoraks bagian kaudal, lumbal, dorsal femur, pangkal coccygeal, dan median coccygeal. Sedangkan duri transisi hanya terdapat di lumbal, pangkal coccygeal, dan median coccygeal serta duri berderak yang hanya terdapat pada regio apical coccygeal dan dapat berderik seperti halnya ular derik. Bunyi derik tersebut berfungsi untuk mengancam predator landak (Findlay 1977).

2.3 Status Konservasi dan Potensi Budidaya Landak Jawa

Menurut Lunde dan Aplin (2008) dalam IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) landak Jawa termasuk ke dalam kategori least concern yang berarti populasinya dianggap masih banyak di Indonesia. Begitu pula CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) yang mengatur perdagangan spesies satwa dan tumbuhan

(4)

yang terancam punah, memasukkan landak Jawa ke dalam daftar appendix III yang artinya dianggap belum termasuk kategori terancam punah (CITES 2008).

Landak Jawa bagi beberapa masyarakat di Indonesia dapat dikonsumsi karena perdagingannya yang tebal, dagingnya bertekstur lembut, seratnya halus, dan rendah lemak (Aripin dan Mohammad 2008). Meskipun belum terbukti secara ilmiah, daging landak juga dipercaya sebagai obat tradisonal untuk mencegah keropos tulang; hati dan empedunya berkhasiat menghilangkan sakit asma, dan gerusan duri untuk obat sakit gigi dan bisul (Wardi et al. 2011). Bahkan landak Jawa telah menjadi salah satu menu khas di daerah Karanganyar, Jawa Tengah yaitu sate landak disamping sate kelinci yang sudah populer terlebih dahulu. Namun, hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging landak Jawa tersebut masih banyak diperoleh melalui perburuan liar. Apabila keadaan ini terus berlanjut, maka kelestarian populasi landak Jawa di alam akan semakin menurun dan dapat terancam punah.

Dari segi kehalalan, landak Jawa dapat ditinjau dari aspek morfologinya yaitu tidak memiliki gigi taring dan tidak bercakar. Selain itu, kehalalannya dapat didasarkan pada Surat Al Baqarah: 29 “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu”, dan dalam Surah Al Baqarah: 168 “Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi”, serta Surat Al An'am: 110 “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya”. Dari ketiga Surat dapat dipahami bahwa semua yang ada di bumi ini dapat dimakan kecuali terdapat pengecualian tertentu. Apabila tidak ada dalil yang mengecualikan suatu makanan dari keumumannya (bahwa makanan itu haram), maka makanan tersebut tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah atau boleh dikonsumsi.

Sebagai contoh, pemerintah Malaysia dengan penduduknya mayoritas muslim, sejak tahun 2005 telah menggalakkan peternakan landak raya (H. brachyura) dan pada tahun 2008 tepatnya di Banting, Selangor, Malaysia landak raya telah berhasil diternakkan secara komersial. Akibatnya jumlah dan populasi landak raya dapat dipertahankan dan ditingkatkan secara signifikan. Peningkatan

(5)

populasi landak raya ini tentunya dilakukan oleh pihak Malaysia dengan cara sistem pembiakan teratur dan aplikasi bioteknologi pembiakan terkini sehingga dapat meningkatkan kegunaan spesies ini secara lestari (Aripin dan Mohammad 2008). Didasarkan pada contoh tersebut maka dapat dimungkinkan pula jika usaha pelestarian dan pemanfaatan yang sama dapat diterapkan pada landak Jawa. Pemanfaatan landak tidak hanya terbatas pada pemanfaatan dagingnya untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Namun, duri-duri yang diperoleh dari landak dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan yang indah dan memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan dari corak duri landak seperti hitam putih, belang putih hitam, dan belang putih hitam putih yang sangat menarik (Vaughn et al. 2000). Contoh kerajinan tangan yang dapat dibuat adalah dekorasi lampu, kaca, tempat tissue, gelang, kalung, dan sebagainya. Pengkajian lebih lanjut perlu dilakukan sehingga usaha pengelolaan dan pelestarian jumlah populasi landak Jawa dapat dilakukan dengan baik.

2.4 Habitat dan Penyebaran Landak Jawa

Landak Jawa memiliki daerah penyebaran meliputi Pulau Jawa dan merupakan hewan endemis pulau tersebut (Farida dan Roni 2011). Selain itu juga, menurut Lunde dan Aplin (2008) spesies ini tersebar di wilayah yang lebih luas meliputi Jawa, Bali, Sumbawa, Flores, Lombok, Madura, dan pernah dilaporkan di Sulawesi pada akhir tahun 1800. Penyebaran yang lebih luas menurut Lunde dan Aplin (2008) terhadap landak Jawa ini dimungkinkan karena adanya perdagangan dan pengenalan (introduksi) hewan ini di luar Pulau Jawa yang dibawa oleh masyarakat.

Habitat landak Jawa berada di hutan dan dataran rendah meliputi semak belukar, padang rumput, ladang pertanian serta perkebunan (Lunde dan Aplin 2008). Hewan ini umumnya aktif pada malam hari (nokturnal) dan menggunakan sebagian waktunya di siang hari untuk beristirahat dan berlindung dengan membuat lubang hingga sedalam kurang lebih 1,5 m di bawah permukaan tanah (Michael et al. 2003). Lubang yang dibuat dilengkapi dengan pintu masuk lubang yang panjang, ruangan yang cukup besar, beberapa pintu keluar dari lubang, dan digunakan untuk beberapa tahun oleh landak yang sama (Nowak 1999).

(6)

Gambar 3 Peta persebaran H. javanica di Indonesia (modifikasi Weers 2005).

2.5 Tingkah Laku LandakJawa

Landak memiliki empat buah kaki yang berukuran pendek dan ketika berjalan maka bagian telapak kaki dan tumit dijejakkan sepenuhnya ke tanah atau lantai (Phillips 1971). Landak mempunyai bentuk tubuh yang bulat lonjong dan cenderung untuk bergerak secara lambat. Pergerakan landak yang lambat disebabkan hewan ini memiliki tubuh yang besar dan termasuk ke dalam hewan pejalan telapak (plantigradi) yang mempunyai hambatan berupa gaya gesek antara telapak kaki dengan bidang tumpuan yang besar. Karena pergerakannya yang lambat, maka landak akan berusaha menegakkan duri pertahanannya, menghasilkan suara berderak dari duri ekornya, menghentakkan kaki, dan mengibaskan ekor serta bagian belakang tubuhnya jika terancam oleh predator. Manusia dan spesies kucing yang lebih besar merupakan predator utama dari hewan ini (Vaughan et al. 2000).

Landak Jawa (H. javanica) termasuk ke dalam hewan herbivora yang memiliki sistem pencernaan lambung tunggal (monogastrik), dan di alam hewan ini dapat memakan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan seperti rumput, buah-buahan, bunga, daun, ranting, kulit batang tumbuhan, umbi-umbian, kecambah, dan beberapa biji-bijian (Farida dan Roni 2011). Pada beberapa daerah, jenis landak ini dianggap sebagai hama karena merusak area ladang pertanian maupun

Daerah persebaran landak Jawa.

(7)

perkebunan. Selain sebagai hama, populasi landak semakin terancam dikarenakan perburuan liar terhadap hewan ini yang dilakukan guna memenuhi kebutuhan pangan manusia (Feldhamer et al. 1999).

Landak Jawa berkembang biak dengan cara melahirkan (vivipar) dan menyusui anaknya. Periode kebuntingan seekor landak hanya berkisar antara 93-94 hari dan beranak 1-2 kali dalam setahun (Rudi 1985). Umumnya induk betina dapat menghasilkan 2-4 ekor anak dalam setahun. Pada fetus landak yang baru dilahirkan telah dilengkapi dengan duri-duri yang masih lunak dan dalam beberapa jam duri-duri tersebut akan mengeras dan berkembang sebagai alat pertahanan diri. Anak-anak landak tetap di dalam sarang bersama induknya hingga dewasa kelamin pada umur sekitar dua tahun (Starrett 1967). Genus Hystrix atau landak biasanya merupakan hewan yang monogami dan memiliki ikatan yang kuat antara induk jantan dan betina (Felicioli et al. 1997). Landak liar yang ada di alam dapat berumur 12-15 tahun, sedangkan landak yang dipelihara dapat berumur hingga 20 tahun (Aripin dan Mohammad 2008).

2.6 Struktur Umum Otot Kerangka

Otot kerangka memiliki serabut kontraktil yang memperlihatkan pola berselang-seling gelap (anisotrop) dan terang (isotrop) yang tersusun secara teratur membentuk pita vertikal terhadap poros otot. Setiap serabut otot merupakan sel otot dengan banyak inti, berbentuk silinder, dan memiliki membran sel yang disebut sarkolema. Serabut otot yang menyusun otot kerangka dibungkus oleh endomisium, kemudian beberapa serabut dibungkus oleh perimisum membentuk berkas otot yang dibungkus oleh epimisium membentuk gelendong otot(Pasquini et al. 1989).

Sigit (2000) menyatakan bahwa pada mamalia dikenal dua macam otot kerangka, yaitu otot merah dan otot putih. Otot merah berwarna merah karena mengandung banyak mioglobin yang dapat menyimpan oksigen, sehingga dapat berkontraksi dalam waktu lama. Sebaliknya, otot putih mengandung sedikit mioglobin sehingga kontraksinya cepat dan mudah lelah. Pada umumnya otot kerangka berawal dan berakhir pada tendon, sedangkan fungsi otot terkait dengan susunan otot, letak origo dan insersio, serta persendian yang dilewatinya.

(8)

Kekuatan otot dipengaruhi oleh jumlah serabut otot yang dikandungnya serta berbanding lurus dengan luas penampang sayatan fisiologisnya. Sedangkan kecepatan otot untuk menggerakkan bagian tubuh tergantung oleh laju konversi energi pada serabut otot, jumlah sarkomer pada otot, arah sudut daun urat selama kontraksi, dan perlekatan pada tulang (Davies 1981).

2.7 Susunan Anatomi Otot Daerah Panggul dan Paha pada Anjing dan Babi

Secara umum, susunan otot pada anjing dan babi mempunyai beberapa perbedaan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tingkah laku, sikap, posisi, cara berjalan, dan mencari makanannya. Selain itu, anjing termasuk ke dalam hewan pejalan telapak (plantigradi) dan memiliki 5 buah jari pada setiap kakinya, sedangkan babi termasuk ke dalam hewan pejalan kuku (unguligradi) dan memiliki 4 buah jari pada setiap kakinya (Nurhidayat et al. 2009). Dalam hal mencari makan, anjing harus aktif mengejar mangsanya, sedangkan babi tidak perlu berlari dalam dalam mencari makanannya.

Menurut Evans dan Alexander (2010), otot daerah panggul dan paha anjing dapat dikelompokkan menjadi: (1) Kelompok otot sublumbal yang terdiri atas musculus (m.) psoas minor, m. iliopsoas, dan m. quadratus lumborum; (2) Kelompok otot pelvis lateral yang terdiri atas m. tensor fascia lata, m. gluteus superficialis, m. gluteus medius, m. gluteus profundus, m. piriformis, dan m. articularis coxae; (3) Kelompok otot paha depan yang terdiri atas m. quadriceps femoris, m. psoas minor, dan m. iliopsoas; (4) Kelompok otot paha belakang yang terdiri atas m. biceps femoris, m. semitendinosus, m. semimembranosus, dan m. abductor cruris caudalis; (5) Kelompok otot paha medial yang terdiri atas m. sartorius, m. gracilis, m. pectineus, dan m. adductor.

Sedangkan menurut Sisson (1975), otot daerah panggul dan paha babi dapat dikelompokkan menjadi: (1) Kelompok otot sublumbal yang terdiri atas m. psoas major,m. psoas minor, dan m. quadratus lumborum; (2) Kelompok otot panggul dan paha yang terdiri atas m. tensor fascia lata, m. gluteus superficial, m. gluteus profundus, m. biceps femoris, m. semitendinosus, m. semimembranosus, m. sartorius, m. gracilis, m. pectineus, m. adductor, m. quadratus femoris, m. obturatorius internus, m. gemelli, dan m. quadriceps femoris.

Gambar

Gambar 1  Landak Jawa (H.  javanica) (Boudet 2008).
Gambar 2   Beberapa spesies landak.  a. Hystrix cristata, b. Hystrix brachyura,  c.
Gambar 3   Peta persebaran H. javanica di Indonesia (modifikasi Weers 2005).

Referensi

Dokumen terkait

Batas deteksi protein menggunakan Commassie blue adalah ~0,1 μg sedangkan menggunakan Ag adalah ~0,02 μg (Berg et al. Selain batas deteksinya yang rendah, pewarnaan dengan

Vermicomposting merupakan suatu proses perubahan bahan organik menjadi komponen yang berguna dengan melibatkan kerja sama cacing tanah dan mikroba (Edward et al.. Proses

Obat ini waktu paruhnya pendek pada sebagian besar spesies, termasuk manusia, tetapi terakumulasi di situs peradangan, dimana mencapai konsentrasi yang lebih tinggi di

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Handiani tahun 2004 (Wulandari et al., 2008) menunjukan bahwa sebaran logam berat yang lebih luas di perairan dengan konsentrasi yang semakin

Beberapa kelebihan bakteriosin sehingga potensial digunakan sebagai biopreservatif, yaitu karena bukan termasuk bahan toksik dan mudah mengalami degradasi oleh enzim proteolitik

Bakteri asam laktat termasuk di dalamnya bakteri homofermentatif yang memproduksi sebagian besar utamanya adalah asam laktat, dan heterofermentatif yang selain memproduksi

Rancangan percobaan yang sering digunakan pada pengoptimuman fase gerak KCKT ialah mixture design (Borges et al.. Mixture design digunakan saat suatu sistem terdiri atas

Isofluran digunakan sebagai anestesi inhalasi pada mamalia dan burung, dapat juga untuk ikan dengan cara dicampurkan ke dalam air meskipun ada juga efek sampingnya (Harms